• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Ketinggian Dan Kelerengan Dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Ketinggian Dan Kelerengan Dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KETINGGIAN DAN KELERENGAN DENGAN

TINGKAT KERAPATAN VEGETASI MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER

HASIL PENELITIAN

Oleh :

ZEIHAN EL AQSAR

051201023/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Ketinggian Dan Kelerengan dengan Tingkat

Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi

Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser

Nama : Zeihan El Aqsar

NIM : 051201023

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh

Komisi Dosen Pembimbing

Ketua Anggota

Pindi Patana, S.Hut.,M.Sc

NIP. 19750525 2000031 001 NIP. 19750203 2000031 003

Achmad Siddik Thoha S. Hut., M.Si

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

(3)

ABSTRACT

ZEIHAN EL AQSAR. Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung Leuser. Dibimbing oleh PINDI PATANA, S.Hut, M.Sc dan Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si.

The Gunung Leuser National Park is a protected forest area and have important

function in taking care of ekosistem and biodiversity. This area have the variety of

type of fauna and flora and have the hilly forest condition and have ramp > 40%.

Application of Geographic Information System is expected can improve

continuation of management of forest area in this case research is to seenly

relation of height and ramp with the closeness vegetation by using Digital

Elevation Model (DEM) in area of forest Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan and

Area of Ekosistem Leuser. From processing data result is can obtained that

topography predominating in research region is area which be at height 300 – 700

m broadly is 22.343,725 ha, for the inclination of farm most its topography

region very steep with the inclination gratuity > 40 % and broadly is 41.885,443

ha, and assess the index vegetation predominating in research region is vegetation

indeks that class 0,537 - 0,646 by vegetation close for the width of 39.328,19 ha.

For the relation of between place height with the closeness vegetasi obtained by a

enough lower correlation that is 0,612 and have sign to positiifity (+) what its

meaning that is contrary instruct so that excelsior of place height hence mount the

downhill closeness vegetasi progressively and relation of between ramp with the

closeness vegetation obtained rather low low that is 0,403 with the correlation

coefficient of have sign to positifity (+) what its meaning is one way relation so

that if ever greater ramp hence mount the closeness of vegetationi excelsior.

Keyword: Height and Ramp, Vegetation Indeks, Relation of Between Height and

(4)

ABSTRAK

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan lindung dan

mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan biodiversity. kawasan

ini mempunyai keanekaragaman jenis flora dan fauna dan mempunyai kondisi

hutan yang berbukit dan berkelerengan> 40%. Aplikasi Sistem Informasi

Geografis diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan pengeloalaan kawasan

hutan dalam hal ini penelitian dilakukan untuk melihat hubugan antara ketinggian

dan kelerengan dengan kerapatan vegetasi dengan menggunakan Digital Elevation

Model (DEM) dikawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan

Ekosistem Leuser. Dari hasil pengolahan data dapat diperoleh bahwa Topografi

yang mendominasi di wilayah penelitian adalah daerah yang berada pada

ketinggian 300 – 700 dengan luas 22.343,725 ha. , untuk kemiringan lahan

sebagian besar wilayah topografinya sangat curam dengan persen kemiringan > 40

% seluas 41.885,443 ha, dan nilai indeks vegetasi yang mendominasi pada

wilayah penelitian adalah kelas NDVI 0,537 – 0,646 dengan vegetasi rapat seluas

39.328,19 ha. Untuk hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan

vegetasi diperoleh korelasi yang cukup rendah yaitu 0,612 dan bertanda negatif

(+) yang artinya satu arah sehingga semakin tinggi ketinggian tempat maka

tingkat kerapatan vegetasi semakin besar dan hubungan antara kelerengan dengan

kerapatan vegetasi diperoleh agak rendah yaitu 0,403 dengan koefisien korelasi

bertanda positf (+) yang artinya hubungan satu arah sehingga jika kelerengan

semakin besar maka tingkat kerapatan vegetasi semakin tinggi.

Kata Kunci: Ketinggian dan Kelerengan, Indeks Vegetasi, Hubugan Antara

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Zeihan El Aqsar, dilahirkan di Medan pada tanggal 4

Maret 1986 dari orangtua Bapak M. Amri Yara dan Ibu Rohani. Penulis adalah

anak keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Swasta Free Methodis-2

Medan, pada tahun 2001 penulis lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Free Methodis-2 Medan. Pada tahun 2004 penulis lulus dari Sekolah Menengah

Umum Negeri 12 Medan dan pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan di

perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Program Studi Manajemen

Hutan, Departemen kehutanan, Fakultaas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan

organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS)–USU sebagai anggota dan

menjadi anggota Badan Kenaziran Mushalla (BKM) Baitul Asjjar Departemen

Kehutanan USU di bidang dakwah.

Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH

Bandung Utara Unit III Jawa Barat dan Banten, Propinsi Jawa Barat selama 2

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan

skripsi ini dapat selesai sebagai mana mestinya. Skripsi ini berjudul ”Hubungan

Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung Leuser“. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi kesempurnaan Skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada

semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan dalam

menyelesaikan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Muhammad Amri Yara dan Rohani selaku kedua orangtua tercinta yang

telah memberikan semangat, bimbingan dan dorongan selama hidup dan

selama mengikuti perkuliahan di Kehutanan USU.

2. Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing

(Dosen Pembimbing I).

3. Bapak Achmad Siddik Thoha S.Hut, M.Si selaku Anggota Komisi

(7)

4. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen

Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

5. Staf pengajar dan para pegawai di Departemen Kehutanan USU.

6. Flora And Fauna Internacional (FFI) yang telah memberikan dukungan

dan bimbingan selama penelitian.

7. Corespondence And Response Unit (CRU) Tangkahan yang telah

memberikan dukungan dan bimbingan selama di lapangan.

8. Ranger Bang Sufriyanto dan Bang Ucok yang telah memberikan arahan

dan bimbingan selama di lapangan.

9. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)-II Medan dan Balai Besar

Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah memberikan

bantuan dan informasi selama penelitian.

10.Para sahabatku yang terbaik yaitu Revina Febriani, Julia Rahmi, Lastria

Variesta, Najmi Khairiah, Kakanda Iros, Kakanda Mondang yang telah

memberikan semangat dan bantuan selama ini.

11.Kepada semua pihak dan temen-teman Kehutanan USU yang telah

membantu dalam penyelesaian Skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan

namanya satu persatu

Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya atas jasa-jasa yang telah diberikan

kepada penulis. Akhirnya penulis ucapkan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Kehutanan ke depan.

Medan, Agustus 2009

(8)

DAFTAR ISI

Jenis Flora Berdasarkan Iklim dan Ketinggian Tempat ... 9

Sistem Informasi Geografis ... 11

Penginderaan Jauh... 11

Citra Landsat TM 7 ... 12

Pembuatan Peta Ketinggian dan Kelerengan dari DEM ... 21

Overlay ... 22

(9)

Kerangka Pemikiran ... 24

KONDISI UMUM PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ketinggian Tempat... ... 25

Kemiringan Lahan ... ... 27

Indeks Vegetasi………... 30

Hubungan Ketinggian Tempat dengan Kerapatan Vegetasi ... 33

Hubugan Kelerengan dengan Kerapatan Vegetasi... 33

Uji Korelasi……….. 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. ... ... 41

Saran ... ... 41

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kisaran Tingkat Kerapata Berdasarkan NDVI Menggunakan

Data Landsat TM ... 37

Tabel 2. Hubungan Ketinggian Tempat dan Kerapatan Vegetasi... 39

Tabel 3. Interpretasi dari Nilai r ... 40

Tabel 4. Kelas Ketinggian Wilayah Penelitian ... 47

Tabel 5. Klasifikasi Tipe Hutan Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 48

Tabel 6. Kelas Kemiringan Wilayah Penelitian ... 49

Tabel 7. Kisaran Nilai NDVI Wilayah Penelitian ... 53

Tabel 8. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Ketinggian ... 56

Tabel 9. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Kelerengan ... 57

Tabel 10.Analisis Korelasi Ketinggian Tempat dan NDVI ... 58

Tabel 11. Kriteria Kelas Lereng Kawasan Hutan Lindung ... 59

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Ketinggian Tempat Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser... 27 Gambar 2. Peta Kelerengan Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan

Kawasan Ekosistem Leuser ... 28 Gambar 3. Peta Nilai Indeks Vegetasi Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang

mempunyai fungsi dan peranan sebagai perlindungan sistem penyangga

kehidupan, pengawetan serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai

kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat

besar dalam melindungi dan memberikan penyangga bagi wilayah disekitarnya

yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga merupakan habitat penting bagi

flora dan fauna karena kawasan ini memiliki peranan yang sangat besar dalam

melindungi dan memberikan jasa lingkungan kepada wilayah disekitarnya. Aspek

perlindungan yang selama ini diberikan oleh kawasan penyangga tersebut antara

lain meliputi perlindungan hidrologis, perlindungan ekosistem unik dan flora,

fauna langka serta pengawetan hutan, tanah dan air (Ahmad, 1999).

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan

tropis yang kaya keanekaragaman hayati. Kawasan ini juga mempunyai

keanekaragaman jenis flora dan fauna. Menurut Sembiring (2005), TNGL

memiliki berbagai ekosistem yang lengkap mulai dari ekositem pantai, dataran

rendah, rawa, dataran tinggi, dan pegunungan. Oleh karena itu TNGL merupakan

kawasan konservasi dengan berbagai keanekaragaman hayati baik flora maupun

fauna.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan lindung dan

mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan biodiversiti. Sebagian

(14)

kelerengan > 40%. Menurut PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan

Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

menyebutkan bahwa kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 persen

atau lebih dan berada pada ketinggian 2000 meter atau lebih di atas permukaan

laut dinyatakan sebagai kawasan lindung yang harus tetap dijaga keberadaannya

sebagai penyangga dan penyedia jasa lingkungan bagi kawasan bawahnya.

Sehingga diharapkan dapat mempertahankan fungsi-fungsi ekologis

seperti menjaga keanekaragaman hayati, perlindungan sumber air dan juga

populasi satwa dan dapat menjamin keberlangsungan hidup dan terpeliharanya

lingkungan habitat yang baik dalam ekosistem..

Dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis penelitian ini

dilakukan untuk melihat faktor fisik kawasan seperti ketinggian dan kelerengan

dan menghubungkannya dengan kerapatan vegetasi yang ada di lokasi penelitian

dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) yang dapat

menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi dan secara akurat dapat

memetakan ketinggian tempat dari permukaan bumi (Manalu dan Pramono,

2005). Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang

dibutuhkan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan pelestarian hutan Tangkahan,

Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Taman Nasional

(15)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kondisi fisik kawasan yaitu ketinggian dan kelerengan di

kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem

Leuser.

2. Menentukan hubungan ketinggian dan kelerengan dengan tingkat kerapatan

vegetasi di kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan

Ekosistem Leuser

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara ketinggian dan kelerengan

dengan tingkat kerapatan vegetasi yang terdapat di kawasan hutan Tangkahan,

Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

2. Merupakan bahan kajian dalam mendukung pengembangan aplikasi Sistem

Informasi Geografis (SIG) dalam menyediakan data terhadap kegiatan

pengelolaan hutan Taman Nasional Gunung Leuser .

Perumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara ketinggian dan kelerengan dengan kerapatan

vegetasi menggunakan Sistem Informasi Geografis.

2. Bagaimana peta informasi ketinggian, kelerengan dan kerapatan vegetasi yang

akan melengkapi data sebagai informasi dalam pengembangan pengelolaan

(16)

Kerangka Penelitian

Kebutuhan data

Potensi

Peta Informasi Ketinggian, Kelerengan dan NDVI

Kerapatan

GIS Ketinggian/Kelerengan

Peta NDVI Peta Ketinggian/

Peta Kelerengan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Kawasan Taman Nasional mempunyai beberapa karakteristik khas yang

berbeda dengan kawasan konservasi lain, khususnya dalam hal luas areal.

Karenanya, taman nasional sering mencakup beberapa ekosistem yang rata-rata

merupakan kawasan hidupan liar yaitu kawasan yang relative belum terjamah

manusia, baik berupa hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, padang

rumput, pesisr pantai, laut atau daerah gunung. Kawasan-kawasan yang relative

masih alami ini hendaknya dapat dikelola secara baik agar kondisi alamnya tetap

seperti sedia kala, sehingga satwa liar yang ada di dalamnya tetap dapat bertahan

hidup dan mampu berkembang biak dengan baik. Ada lima karakteristik umum

Taman Nasional yaitu:

1. Areal Taman Nasional harus cukup luas.

2. Taman Nasional harus mengandung isi yang istimewa, dimana jenis-jenis

vegetasi dan binatangnya, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan

alamnya masih dalam keadaan utuh.

3. Terdapat sistem penjagaan dan perlindungan yang efektif, dimana satu atau

beberapa ekosistem secara fisik tidak berubah karena adanya eksploitasi dan

pemukiman manusia.

3. Kebijakan dan manajemen dipegang oleh badan pemerintah pusat yang

mempunyai kompetensi sepenuhnya, yang harus segera mengambil

langkah-langkah pencegahan atau meniadakan semua bentuk gangguan atau

(18)

4. Kemungkinan pengembangan pariwisata, dimana para pengunjung

diperkenankan memasuki taman nasional dengan persyaratan-persyaratan

khusus untuk kepentingan mencari inspirasi, pendidikan, kebudayaan, dan

rekreasi (Wiratno dkk, 2004)

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang

mempunyai fungsi dan peranan paling lengkap jika dibandingkan dengan kawasan

konservasi lainnya. Taman Nasional mempunyai fungsi sebagai perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem,

serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Guna

menjabarkan ketiga fungsi tersebut, pengelolaan taman nasional dilaksanakan

menurut zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai

dengan fungsi dan kondisinya. Hal inilah yang membedakan sistem pengelolaan

taman nasional dengan pengelolaan kawasan konservasi lainnya. Taman Nasional

dapat dianggap sebagai monumen hidup yang menggambarkan hubungan timbal

balik antara manusia dengan alam, sehingga perlu adanya kepedulian dan peran

aktif masyarakat luas dalam pengelolaannya. Keberadaan taman nasional tersebut

belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Untuk itu harus diu

payakan pendayagunaan seluruh potensi jasa lingkungan dan optimalisasi fungsi

taman nasional, dengan tetap memperhatikan dan memegang teguh prinsip untuk

menjaga dan memelihara kepentingan fungsi utama konservasi alam dan

keseimbangan lingkungan, serta peningkatan kepedulian dan kesadaran

konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui upaya

tersebut diharapkan potensi dan fungsi taman nasional dapat ditingkatkan dan

(19)

dan pengamanan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar

kawasan taman nasional (Suratri, 1998).

Istilah Taman Nasional telah berkembang di jajaran Direktorat PPA,

hingga pada tahun 1977 lembaga itu memunculkan kriteria taman nasional dengan

definisi yang persis sama dengan kesepakatan IUCN tahun 1969. Taman Nasional

menurut definisi tersebut merupakan kawasan pelestarian alam yang luas, baik di

darat maupun di laut, yang di dalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam

yang utuh tidak terganggu terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta

habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk

kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata,

panorama yang menonjol dimana masyarakat diperbolehkan masuk ke dalam

kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Berdasarkan kriteria IUCN dan

Direktorat PPA tersebut, di Indonesia terdapat minimum tujuh suaka alam yang

berpotensi untuk ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional, yaitu Cagar

Alam Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Baluran, Cagar Aslam Gunung Leuser,

Suaka Margasatwa Meru Betiri dan Kutai, Suaka Margasatwa Komodo, serta

Cagar Alam Gunung Lorentz. Dari ketujuh calon taman nasional tersebut, Menteri

Pertanian mendeklarasikan lima taman nasional yang pertama pada tahun 1980

dengan luas total 1.430.948 ha, yaitu Taman Nasional (TN) Gunung Leuser seluas

1.094.692 ha di DI Aceh dan Sumatera Utara, TN Gunung Gede-Pangrango seluas

15.000 ha di Jawa Barat, TN Ujung Kulon seluas 122.956 ha di Jawa Barat, TN

Baluran seluas 25.000 ha di Jawa Timur serta Taman Nasional Komodo seluas

(20)

Taman Nasional Gunung Leuser

Dinyatakan sebagai Taman Nasional oleh SK Menteri Pertanian, tahun

1980 dengan luas 792.675 ha. Selanjutnya dinyatakan oleh SK Menteri Kehutanan

N0. 276/Kpts-VI/1997 dengan luas 1.094.692 ha. Terletak di Propinsi Sumatera

Utara dan Propinsi D.I. Aceh dengan temperatur udara antara 21°-28°C. Dengan

curah hujan 2000-3.200 mm/tahun, dan berada pada ketinggian tempat 0-3.381 m

dpl (Departemen Kehutanan, 2007).

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem

hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan.

Kawasan terdiri dari hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi

dan pegunungan yang sebagian besar kawasan didominir oleh ekosistem hutan

Dipterocarpaceae dengan flora langka khas Raflesia atjehensis dan

Johanesteinimania altifrons (pohon payung raksasa) dan Rizanthes zippelnii,

bunga terbesar, langka dan dilindungi dengan diamater 1,5 meter.

Taman Nasional Gunung Leuser juga kaya akan jenis fauna mulai dari Mamalia

dan Primata, Carnivora, Herbivora, Aves, Reptil, Amphibi, Pisces dan

Invertebrata. Untuk jenis mamalia dan Primata Taman Nasional Gunung Leuser

memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari keseluruhan jenis

mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia

yang ada di Indonesia. Seperti Mawasa (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung

(Hylobates lar), Siamang (Hylobates syndactilus), Kera (Macaca fascicularis),

Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa

karnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos

(21)

herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus

sumatraensisi), Rusa (Cervus unicolor) (Departemen Kehutanan, 2007).

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki penyebaran vegetasi yang

lengkap, mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan

dataran tinggi dan hutan pegunungan. Vegetasi dominan adalah hutan tropis

basah. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan taman nasional ini atas 3

(tiga) zona, yaitu

- Zona Tropika (500-1.000 m dpl) merupakan daerah berhutan lebat yang

ditumbuhi berbagai jenis tegakan yang berdiameter besar yang tingginya bisa

mencapai 40 meter, serta berbagai jenis liana dan epifit yang menarik seperti

anggrek.

- Zona Montane (1.000-1.500 m dpl) merupakan hutan montane dengan tegakan

kayu yang tidak terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 10– 20 m, banyak dijumpai

lumut yang menutupi tegakan kayu atau pohon, dengan kelembaban udara yang

tinggi.

- Zona Sub Alpine (2.900-4.200 m dpl) merupakan zona hutan ercacoid yang

tidak berpohon lagi, dimana vegetasinya merupakan campuran dari

pohon-pohon kerdil dan semak-semak serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut

(Ditjen PHKA, 2008).

Klasifikasi Tipe Hutan

Menurut Departemen Kehutanan (2003) dalam Onrizal (2005) klasifikasi

tipe hutan di Indonesia didasarkan kepada keadaan iklim, edafis, dan komposisi

(22)

disebut formasi klimatis dan formasi hutan yang pembentukannya sangat

dipengaruhi faktor edafis disebut formasi edafis. Tipe hutan yang termasuk di

dalam formasi klimatis adalah hutan hujan, hutan musim dan hutan gambut.

Pembagian tipe hutan formasi klimatis sebagai berikut:

1. Hutan hujan, yaitu:

- Hutan hujan bawah (0-1000 m dpl) dengan jenis pohon dominan adalah famili

Dipterocarpaceae, Agathis, Ficus, Castanopsos, Palaquium spp., Pomatia pinnata, Diospyros spp.

- Hutan hujan tengah (1000-3300 m dpl) dengan jenis dominan Quercus,

Castanopsis, Nothofagus, dan jenis-jenis dari famili Magnoliaceae, Pinus merkusii, Albizia Montana, Casuarina, Trema, Podocarpus imbricartus.

- Hutan hujan atas (3300-4100 m dpl) dengan jenis pohon Dacrydium,

Podocarpus, Phyllocladus, Syzyzium, dan Calophyllum.

2. Hutan musim, yaitu:

- Hutan musim bawah (0-1000 m dpl) dengan jenis pohon Tectona grandis,

Acacia leucophlea, Albizia chinensis, Eucalyptus, Santalum album.

- Hutan musim tengah-atas (1000-4100 m dpl) dengan jenis pohon Casuarina

junghuhniana, Pinus merkusii, dan Eucalyptus.

3. Hutan gambut dengan jenis Alstonia spp., Dyera spp., Palaquiuadus, Eugenia,

spp., dan Gonystylus spp.

Sedangkan untuk formasi hutan edafis tipe hutannya adalah hutan rawa, hutan

(23)

1. Hutan rawa dengan jenis pohon Xylopia spp., Palaquium leucarpus,

Campnosmerma macrophylla, Garcinia spp., Canarium spp., Koompassia spp.,

dan Callophyllum spp.

2. Hutan mangrove dengan jenis Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora

spp., Bruguiera spp., Xylocarpus spp., Lumnitzera spp.

3. Hutan pantai dengan jenis Baringtonia speciosa, Terminalia cattapa,

Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, Pisonia grandis.

Jenis Flora berdasarkan Iklim dan Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi

suatu tempat, misalnya pegunungan, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya

semakin dingin. Semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau

udaranya semakin panas. Oleh karena itu ketinggian suatu tempat berpengaruh

terhadap suhu suatu wilayah. Perubahan suhu ini tentunya mengakibatkan

perbedaan jenis tumbuhan pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan

ketinggian tempatnya. Maka berdasarkan iklim dan ketinggian tempat, flora di

Indonesia terdiri atas:

1. Hutan Hujan Tropik

Indonesia berada di daerah katulistiwa, banyak mendapat sinar matahari,

curah hujannya tinggi, dan suhu udaranya tinggi, menyebabkan banyak terdapat

hutan hujan tropik. Ciri-ciri hutan ini adalah sangat lebat, selalu hijau sepanjang

tahun, tidak mengalami musim gugur, dan jenisnya sangat heterogen. Hutan jenis

(24)

Beberapa jenis floranya misalnya kayu meranti, ulin, dan kapur. Pada

pohon-pohon ini hidup menumpang berbagai tumbuhan seperti anggrek dan tumbuhan

merambat.dan epifit. Tumbuhan merambat yang terkenal adalah rotan. Hutan ini

terdiri dari Hutan Hujan Tanah Kering (ketinggian 1000 - 3000 m dari muka laut)

dan Hutan Hujan Tanah Rawa (ketinggian 5 - 100 m dari muka laut). Hutan rawa

gambut, hutan mangrove, dan hutan rawa air tawar termasuk dalam jenis hutan

hujan tanah rawa. Sedangkan hutan fegaceae, hutan campuran Dipterocarpaceae,

dan hutan belukar, termasuk jenis hutan hujan tanah kering.

2. Hutan Musim atau Hutan Meranggas

Hutan ini terdapat di daerah yang suhu udaranya tinggi (terletak pada

ketinggian antara 800 - 1200 m dari muka laut). Pohon-pohonnya jarang sehingga

sinar matahari sampai ke tanah, tahan kekeringan, dan tingginya sekitar 12 - 35 m.

Daunnya selalu gugur pada musim kering/kemarau dan menghijau pada musim

hujan. Contohnya pohon jati, kapuk, dan angsana.

3. Hutan Sabana

Sabana adalah padang rumput yang disana sini ditumbuhi pepohonan yang

berserakan atau bergerombol. Terdapat di daerah yang mempunyai musim kering

lebih panjang dari musim penghujan, seperti di Nusa Tenggara. Terdiri dari hutan

sabana dengan pohon-pohon dan palma (900 m dari muka laut) dan hutan sabana

casnarina (terletak antara 1600 - 2400 m dari muka laut).

4. Padang rumput

Terdapat pada daerah yang mempunyai musim kering panjang dan musim

penghujan pendek, seperti di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput

(25)

laut, seperti misalnya padang rumput tanah, padang rumput pegunungan,

komunitas rumput, dan lumut (Anonimus, 2007).

Sistem Informasi Geografis

Dalam dunia sistem informasi terdapat banyak model sistem informasi

yang bertujuan akhir memberi berbagai macam informasi. Model sistem informasi

juga diharapkan dapat digunakan sebagai alat prediksi kejadian di masa depan

dengan mendasarkan pada data yang ada pada masa lalu dan masa sekarang. Dari

sekian banyak model system informasi, Sistem Informasi Geografis (SIG)

merupakan salah satu model system informasi yang benyak digunakan untuk

membuat berbagai keputusan, Perencanaan dan analisis (Budiyanto,2004).

Teknologi yang ada saat ini telah berkembang di berbagai bidang,

khususnya di bidang komputer grafik, basis data, teknologi informasi, dan

teknologi satelit penginderaan jarak jauh. Kondisi seperti ini menjadikan

kebutuhan mengenai penyimpanan, analisa dan penyajian data yang berstruktur

kompleks dengan jumlah besar semakin mendesak. Dengan demikian, untuk

mengelola data yang kompleks ini, diperlukan suatu system informasi yang secara

terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif

dan efisien, serta mampu menjawab dengan baik pertanyaan spasial maupun

pertanyaan atribut secara simultan (Prahasta, 2005).

Sistem informasi geografis terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem

analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan

data mencakup pengambilan data, input, dan penyimpanan. Subsistem analisis

data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analis data

(26)

Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan

pada suatu masalah ( Lo, 1996).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan

informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat

perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan

dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard 1996). Sedangkan menurut

Lillesand and Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis

data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek,

daerah atau fenomena yang dikaji.

Dalam menginterpretasikan suatu citra dilakukan untuk mengidentifikasi

objek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya objek tersebut.

Sutanto (1986) menjelaskan bahwa interpretasi citra secara manual berdasarkan

pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial) seperti rona

atau warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek. Dan untuk

interpretasi secara digital.

Secara umum penginderaan jauh saat ini diterima tidak hanya terbatas

sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemprosesan data mentah secara

manual dan terotomasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang

diperoleh. Penginderaan jauh biasanya dibatasi hanya pada penginderaan yang

menggunakan spektrum elektromagnetik. Penginderaan jauh tersebut

(27)

meliputi spektrum tampak, tetapi juga meliputi spektrum ultraviolet, inframerah

dekat, inframerah tengah, infra merah jauh dan gelombang radio (Howard, 1996).

Menurut Lo (1996) menjelaskan bahwa tujuan utama penginderaan jarak

jauh ialah mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Informasi

tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik. Yang

merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi.

Penginderaan jauh di dalam lingkup luas berarti setiap metodologi yang

digunakan untuk mempelajari karakteristik objek dari jarak jauh. Teknologi

penginderaan jauh telah berkembang dengan paling cepat sejak manusia semakin

sadar akan keseimbangan yang layak antara perkembangan sumber daya dan

pemeliharaan lingkungan.. Sekarang, penginderaan jauh merupakan cara yang

praktis untuk memantau secara berulang dan cermat atau sumber daya bumi

secara menyeluruh (Wolf, 1993).

Citra Landsat TM

Landsat merupakan suatu hasil program sumber daya bumi yang

dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration)

Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Landsat diluncurkan pada tanggal 22

Juli 1972 sebagai ERTS-I (Earth Resources Technology Satellite) yang kemudian

diganti namanya menjadi Landsat I. Sejak itu, tiga Landsat berikutnya telah

diluncurkan dengan berhasil. Tipe Landsat yang pertama yang memiliki

karakteristik orbit dan sistem pencitraan serupa dapat dipandang sebagai satelit

(28)

Setelah keberhasilan misi satelit berawak, NASA dan Departemen Dalam

Negeri Amerika Serikat mengembangkan seri satelit sumber daya bumi. Seri

satelit ini ialah satelit Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3. Sensornya ada dua

jenis, yaitu sistem penyiam multispektral dengan empat saluran dan tiga kamera

Return Beam Vidicon. Pada saat diluncurkannya pada bulan Juli 1972 hingga

bulan Januari 1975 namanya bukan Landsat, melainkan Earth Resources

Technology Satellite ( ERTS). Baru kemudian seluruh seri diganti namanya

menjadi Landsat (Sutanto, 1994).

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa pemeta tematik

direncanakan memiliki tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk

memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi untuk terapan bidang pertanian.

Saluran spektral yang diusulkan untuk pengandaraan pemeta tematik antara lain:

saluran satu (0,45 µm-0,52 µ m); saluran dua (0,52 µm-0,60 µ m); saluran tiga

(0.63 µ0,69 µ m); saluran empat (0,76 µm -0,90 µ m); saluran lima (1,55 µ

m-1,75 µ m); saluran enam (2,08 µ m-2,35 µ m); dan saluran ketujuh (10,40 µ m-12,50

µ m).

Interpretasi Citra Digital

Analisis dan interpretasi data penginderaan jauh atau citra digital dapat

dikelompokkan dalam tiga prosedur operasional, yaitu pra-pengolahan data

mencakup rektifikasi (pembetulan) dan restorasi (pemugaran atau pemulihan)

citra, pembuatan citra komposit, penajaman citra (Image Enhancement) atau

peningkatan mutu citra, serta klasifikasi citra mencakup klasifikasi terbimbing,

(29)

dikoreksi ketelitian hasilnya baru dikeluarkan sebagai hasil klasifikasi prosedur

pra-pengolahan dan pengolahan citra digital (Purwadhi, 2001).

Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa analisis citra menyelia

adalah proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan dan

kemudian memilih daerah latihan yang mewakili tiap kategori. Statistik yang

diperoleh dari data latihan untuk tiap kategori kemudian digunakan sebagai dasar

untuk klasifikasi. Suatu alternative pendekatan terselia ialah klasifikasi tak terselia

yang tidak menggunakan data latihan yang ditetapkan oleh analisis.

Menurut Lo (1996) bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya

merupakan rekaman pola pantulan energi elektromagnetik pantulan dan emisi

yang ditampilkan sebagai citra menyerupai gambar yang sifatnya sangat

bervariasi. Untuk dapat informasi penting dari data tersebut, diperlukan latihan

menilai kenampakan penting di luar yang tidak penting. Tingkat awal interpretasi

dilakukan sebagai deteksi. Deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spectral,

radiometrik dan temporal data. Resolusi spasial ialah kemampuan system

perekaman dalam membedakan objek yang terletak berdekatan. Resolusi spectral

merupakan perekaman gambaran yang sama pada interval spectral yang berbeda.

Resolusi radiometric untuk menghasilkan kontras yang lebih baik sehingga dapat

dicapai jumlah tingkat keabuan antara batas hitam dan putih yang mudah

dibedakan.Akhirnya resolusi temporal menjelaskan kegunaan citra yang direkam

pada interval waktu tertentu (musim) untuk mendeteksi perubahan yang telah

(30)

Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi merupakan pengukur empiris dari aktivitas vegetasi. Data

ini telah sering digunakan untuk memantau secara global variasi spasial dan

temporal yang terjadi pada vegetasi dengan ketepatan yang tinggi. Pada dasarnya

indeks vegetasi mencoba menonjolkan saluran spektral yang peka pada variasi

kerapatan tumbuhan. Karena tidak semua saluran didesain untuk maksud itu,

maka perhatian dipusatkan pada saluran merah (M) yang peka terhadap serapan

sinar merah oleh klorofil (pigmen hijau) daun, dan saluran inframerah dekat

(IMD) yang peka terhadap pantulan struktur internal daun. Dedaunan sehat

dengan kerapatan sedang dan tidak kekurangan air akan memberikan pantulan

cukup rendah pada spektrum M, dan sekaligus pantulan tinggi pada spektrum

IMD. Pantulan rendah pada saluran M disebabkan oleh kuatnya serapan oleh

kandungan klorofil pada daun sehat. Peningkatan kerapatan daun akan diikuti

dengan penurunan pantulan di saluran M dan peningkatan pantulan di saluran

IMD. Dengan memadukan dua kecenderungan yang berlawanan ini, misalnya,

besarnya pantulan IMD dikurangi pantulan M; atau besarnya pantulan IMD dibagi

pantulan M, maka variasi tingkat kehijauan tumbuhan dapat secara cepat

dipetakan dengan batuan vegetasi komputer pengolah citra digital. Indeks vegetasi

yang paling populer untuk kajian semacam ini ialah NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index) dengan rumus yang sangat sederhana, yaitu:

(31)

Digital Elevation Model

Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk

menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat

divisualisasikan kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Data DEM SRTM ini

merupakan salah satu data satelit dengan resolusi spasial 90 meter yang

memberikan gambaran tentang ketinggian tempat (Manalu dan Pramono, 2005).

Digital Elevation Model merupakan salah satu tipe data raster yang

mempresentasikan sebuah layer unsur-unsur spasial yang memiliki atribut

ketinggian. Dengan demikian layer ini dapat ditampilkan dengan efek tiga

dimensi sebagaimana permukaan bumi sebenarnya. Tipe data ini seperti halnya

tipe data raster image (citra satelit atau hasil proses scanning peta hard copy) yang

mempresentasekan nilai-nilai ketinggian digital dengan menggunakan struktur

data yang membentuk matriks atau grid. Setiap file Digital Elevation Model

(DEM) terdapat header dan content berisi nilai ketinggian sebanyak bilangan

baris dikalikan dengan kolomnya yang terdapat di dalam header. Dengan

demikian setiap nilai piksel grid atau sel grid yang terdapat di dalam DEM

memiliki koordinat tiga dimensi yaitu absis, ordinat dan ketinggian

(Prahasta, 2004).

Menurut Nurul (2006) DEM terdiri dari piksel-piksel dimana setiap piksel

mempunyai nilai tertentu. Nilai ini mencerminkan ketinggian dari permukaan

bumi. Pemetaan ketinggian didasarkan atas pengelompokan nilai ketinggian

sehingga didapatkan kelas-kelas ketinggian. Pembagian kelas ketinggian

disesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan dan kondisi medan yang akan

(32)

Peta Ketinggian Lahan

Peta ketinggian lahan merupakan informasi yang dapat digunakan untuk

mengetahui tingkat kesesuaian tumbuh vegetasi dan berkembang di dalam interval

ketinggiannya. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kenampakan yang

spesifik dari lahan dengan elevasi tertentu, sehingga vegetasi yang ada juga akan

mempunyai sifat-sifat yang khas. Tingkat kerapatan vegetasi hasil proses

transformasi mempunyai nilai dari -1 hingga 1, untuk mengetahui tingkat

kerapatannya maka citra ini harus dikelaskan sesuai dengan klasifikasi kerapatan

yang digunakan, misalkan : sangat jarang, jarang, sedang, rapat, dan sangat rapat.

Dengan klasifikasi digital tingkat kerapatan vegetasi adalah merah (sangat rapat), ,

kuning (rapat), biru muda ( sedang), dan biru tua (jarang). Proses selanjutnya

untuk memetakan tingkat kerapatan vegetasi adalah melakukan deliniasi pada

citra hasil proses klasifikasi. Deliniasi didasarkan atas perbedaan warna yang ada

pada citra. Dengan dilakukannya proses deliniasi ini berarti terjadi perubahan

format data dari data raster ke dalam format vektor

(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret - Juni 2009 di kawasan hutan

Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser Taman

Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pengelolaan dan

analisis data akan dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu,

Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Citra Landsat TM 5 tahun 2006 sumber Biotrop Training and Information

Centre (http//www.bticnet.com).

2. Peta dasar: peta Taman Nasional Gunung Leuser, peta administrasi, peta rupa

bumi Indonesia sumber Bakosurtanal.

3. Peta penutupan lahan tahun 2006 hasil klasifikasi citra landsat TM sumber

Bakosurtanal.

4. Data Digital Elevation Model (DEM) sumber United States Geological Survey

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Komputer beserta perlengkapannya, software SPSS, perangkat lunak GIS

(Erdas Imagine 8.5, Arc View versi 3.3 dan Global Mapper 6).

2. Peralatan survey: Global Positioning System (GPS), kamera digital dan printer

(34)

Metodologi

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Medan

dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Medan dilakukan

sebagai persiapan awal penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data

spasial berupa peta dasar Taman Nasional Gunung Leuser, peta administrasi, peta

penutupan lahan, dan peta rupa bumi Indonesia sumber Bakosurtanal.

Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan pengecekan ke lokasi

penelitian. Pengecekan lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System). Titik koordinat kemudian dimasukkan ke dalam Microsoft Office Excel, diblok dan disimpan dalam bentuk file DBF 4. Pada Arcview,

dibuka dengan menggunakan fitur Tables ditampilkan dengan menggunakan

menu View dan Add Event Theme. Data disimpan dalam bentuk shapefile.

2. Analisis Data

2.1. Pembuatan Data Spasial

Data spasial yang digunakan adalah peta Taman Nasional Gunung Leuser

yang didigitasi menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen.

Peta hasil digitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang diteliti. Peta kawasan

penelitian yang didigitasi adalah kawasan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan

(35)

2.2. Analisis Citra

Analisis Citra Landsat TM 5 tahun 2006 dilakukan dalam enam tahap, yaitu:

1. Mosaik Image

Mosaik image adalah menggabungkan dua citra yaitu citra landsat path/row

129/57 dan path/row 129/58 sehingga gambaran pada kedua citra tersebut

bertampalan.

1. Subset Image

Subset image adalah memotong citra untuk menentukan daerah kawasan yang

diteliti.

2. Koreksi Citra

Koreksi yang dilakukan meliputi koreksi radiometri dan koreksi geometri.

a. Koreksi Radiometri

Digunakan untuk memperbaiki nilai dari individu-individu piksel pada citra.

b. Koreksi Geometri

Digunakan untuk membetulkan geometri citra satelit agar sesuai dengan

keadaan sesungguhnya di lapangan. Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra

dengan menggunakan sistem koordinat tertentu dengan bantuan titik kontrol di

lapangan. Titik kontrol merupakan titik ikat dimana yang digunakan sebagai

pengikat adalah obyek yang sama antara obyek di dalam citra dengan obyek di

lapangan. Titik kontrol dapat diperoleh dari survey GPS maupun dari

peta-peta yang sudah ada.

3. Penyusunan Citra Komposit Warna

Komposit dilakukan dengan menggunakan 3 band dari citra satelit untuk

(36)

mempunyai interaksi yang berbeda dengan objek sehingga dengan

mengkombinasikan band tertentu diharapkan akan dapat memperjelas objek

yang akan diinterpretasi.

4. Penajaman Citra

Meningkatkan penampakan visual citra sehingga lebih mudah dianalisa.

Analisis digital data satelit untuk identifikasi kelas-kelas hutan didasarkan

pada pengamatan pantulan spektral objek di muka bumi berdasarkan

kecerahan objeknya.

3. Proses Pembuatan Peta Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI)

3.1. Menentukan Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi dihitung dengan menggunakan Normalized Difference

Vegetation Indeks (NDVI). NDVI merupakan salah satu indikator untuk

mengetahui tingkat kekeringan lahan dan mengukur tingkat kehijauan atau

kerapatan vegetasi pada suatu wilayah.

Prinsip kerja analisis NDVI adalah dengan mengukur tingkat intensitas

kehijauan. Intensitas kehijauan pada citra Landsat berhubungan dengan tingkat

kerapatan tajuk vegetasi. NDVI merupakan hasil perhitungan dari sinar tampak

dan infra merah dekat yang direfleksasikan oleh vegetasi. Nilai piksel untuk

NDVI berkisar antara -1 sampai dengan +1 (Departemen kehutanan, 2003).

Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI ) menggunakan data

dari band 3 dan band 4 dengan rumus sebagai berikut:

NDVI =

(37)

Dimana:

NDVI = Normalized Difference Vegetation Index

Band 4 = Data Landsat TM Band 4

Kisaran Nilai NDVI Estimasi Kerapatan Kanopi

(Sumber Departemen Kehutanan, 2003)

Pembuatan Peta Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI)

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Diawali dengan membuka program Erdas Imagine kemudian klik menu

(interpreter), kemudian klik (utilities),

selanjutnya klik (layer stack), kemudian dalam kotak

Layer Selection and Stacking pilih citra yang akan dianalisis serta

band-band yang akan digunakan.

b. Band yang digunakan untuk citra Landsat TM 5 tahun 2006 adalah band 1,

band 2, band 3, band 4, band 5, band 6 dan band 7. Setelah itu tentukan

nama file outputnya.

c. Penajaman spektral dengan meng-klik menu interpreter dan memilih

spectral enhancement dengan pilihan indices. Kemudian masukkan citra

input dari gabungan band tersebut, memilih select function (NDVI) dan

(38)

d. Selanjutnya buka citra hasil pengolahan tersebut dalam viewer dalam

bentuk pseudocolor.

e. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengeditan terhadap atribut citra

hasil olahan dengan meng-klik Raster dan memilih Attributes di kotak

viewer. Pada Window Raster Attribute dapat menambah kolom dengan

meng-klik column properties dan memilih kriteria untuk menentukan

selang nilai indeks vegetasi yang akan dibuat.

4. Pembuatan Peta Ketinggian dan Kelerengan dari Digital Elevation Model (DEM)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan suatu model permukaan digital

yang dibentuk dari nilai ketinggian yang terdapat pada titik-titik koordinat.

4.1. Pembuatan Peta Ketinggian

Data citra SRTM N03E097 dan N03E098 sumber United States Geological

Survey

diproses dalam Model Builder. Prosedur pembuatan peta ketinggian adalah

sebagai berikut:

a. Dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper, citra diproyeksi ke

dalam Universal Transverse Mercator (UTM) dengan datum WGS84

Zone 47 N.

b. Setelah citra diformat sesuai dengan proyeksi yang ditentukan maka tahap

selanjutnya adalah citra diubah ke dalam bentuk file DEM dengan

(39)

c. Selanjutnya pada Arcview, dengan Model Builder data yang disimpan

dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan ke grid. Setelah

dikonversikan, data tersebut di reclassification sesuai dengan kelas

ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta ketinggian.

4.2. Pembuatan Peta Kelerengan

Pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta ketinggian yang

dilakukan dengan menggunakan Model Builder di Arcview. Peta kelerengan

diperoleh dari DEM melalui proses Terrain Slope yang kemudian dikelaskan

berdasarkan kelas kemiringan lereng (%).

5. Overlay

Pembuatan overlay NDVI dan ketinggian dilakukan untuk mendapatkan

peta dengan mengoverlay-kan peta ketinggian tempat dan kelerengan dengan peta

kerapatan vegetasi yang ada di kawasan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat kerapatan di beberapa kelas ketinggian dan kelas kelerengan berdasarkan

kelas NDVI yang telah ditentukan. Operasi yang digunakan adalah intersect two

themes.

6. Analisis Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi.

Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabulasi.

Tabel 2. Hubungan Ketinggian Tempat dan Kerapatan Vegetasi No Kelas Ketinggian (m)/

Kelas Kelerengan (%)

Skor NDVI Nilai Tengah

(40)

Uji Korelasi

Korelasi adalah salah satu analisis statistik yang dipakai untuk

menunjukkan hubungan linier antara dua variabel atau lebih. Dalam korelasi

terdapat data penyebab atau yang mempengaruhi disebut variabel bebas dan data

akibat atau yang dipengaruhi disebut variabel terikat. Istilah untuk variabel bebas

disebut dengan independen yang biasanya dilambangkan dengan huruf X atau Xi.

Sedangkan istilah variabel terikat disebut juga dependen yang biasanya

dilambangkan dengan Y atau Yi. Korelasi yang digunakan adalah koefisien

korelasi Pearson yang akan menunjukkan ada atau tidaknya hubungan yang jelas

antara variabel satu dengan variabel lainnya. Besarnya angka korelasi disebut

koefisien korelasi dinyatakan dalam lambang r. Kuatnya hubungan antar variabel

dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi. Koefisien korelasi memiliki nilai

antara -1 sampai +1. Untuk r +1 disebut hubungannya positif sempurna artinya

hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat dan jika r -1 disebut

hubungannya negatif sempurna artinya variabel-variabel tersebut tidak ada

hubungan sama sekali.

Hubungan antara variabel dapat dilihat melalui angka koefisien korelasi.

Kuatnya hubungan antara variabel yang dinyatakan dengan angka korelasi dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Interpretasi dari Nilai r

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0 Tidak berkolerasi

0,01-0,20 Kolerasi sangat rendah

0,21-0,40 Kolerasi rendah

0,41-0,60 Kolerasi agak rendah

0,61-0,80 Kolerasi cukup rendah

0,81-0,99 Kolerasi tinggi

1 Kolerasi sangat tinggi

(41)

Dalam hal ini analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan

antara ketinggian tempat dan kelerrengan dengan tingkat kerapatan vegetasi.

Analisis korelasi ini dihitung dengan menggunakan dua variabel, dimana nilai

variabel terikatnya adalah nilai NDVI dan variabel bebasnya adalah ketinggian

tempat (m) dan kelerengan (%).

Persamaan Uji Korelasi Pearson:

r = n ∑XiYi – (∑Xi) (∑Yi)

√{n ∑Xi2

– (∑Xi)2 } {n ∑Yi2 – (∑Yi)2}

Keterangan:

r = koefisien korelasi

n = banyaknya pengamatan

Xi = nilai variabel untuk NDVI

(42)

Kerangka Pemikiran

Pengumpulan Data

Digital Elevation Model

(DEM)

Citra Landsat ETM 7+

Peta Ketinggian/Peta Kelerengan

Overlay

Data Tabulasi

Peta NDVI

Uji Korelasi

Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan NDVI

(43)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kawasan Ekosistem Leuser

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pertama kali diperkenalkan melalui

Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang

kemudian dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.33 Tahun 1998.

Kawasan Ekosistem Leuser merupakan bentang alam yang terletak antara

Danau Laut Tawar di Propinsi Aceh dan danau Toba di Propinsi Sumatera Utara.

Ada 11 kabupaten yang tercakup di dalamnya yaitu, Aceh Tenggara, Aceh

Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh

Tenggara, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo, dan Dairi.

Luas keseluruhannya mencapai lebih kurang 2,5 juta hektar. Kawasan ini

terletak pada posisi geografis 2,250 - 4,950 Lintang Utara dan 96,350– 98,550

Bujur Timur dengan curah hujan rata-rata 2.544 mm per tahun dan suhu hariannya

rata-rata 260 Celsius pada siang hari dan 210 pada malam hari. Kawasan

Ekosistem Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka

Margasatwa, Hutan Lindung, Cagar Alam, dan lain-lain (Sumaterautara.com,

2005).

Resort Tangkahan dan Cinta Raja 1. Letak kawasan dan Aksesibilitas

Tangkahan dan cinta raja merupakan sebuah kawasan diperbatasan Taman

Nasional Gunung Leuser di sisi Sumatera Utara. Secara geografis kawasan

(44)

Sialang dan Desa Sei.Serdang ,Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat,

Propinsi Sumatera Utara.

2. Suhu dan kelembapan udara

Suhu udara rata-rata di kawasan ini antara 21,1 0C – 27.5 0C dengan

kelembaban nisbi berkisar antara 80 – 100%. Musim hujan di daerah ini

berlangsung merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang berarti. Curah

hujan rata-rata 200 – 320 mm pertahun.

3. Topografi

Topografi kawasan berupa kawasan landai, berbukit dengan kemiringan

yang bervariasi (45 – 900).

4 . Kesuburan Tanah

Jenis tanah diklasifikasikan terdiri dari jenis tanah Podsolik dan Litosol.

Podsolik ádalah termasuk jenis tanah yang telah mengalami tingkat

perkembangan agak lanjut, umumnya terbentuk dari batu liat ( serpih ), napal dan

batu pasir atau pada beberapa bahagian telah tercampur dengan bahan vulkanis.

;Penampang tanah dengan kedalaman sedang mempunyai sifat kurang baik dan

peka terhadap erosi.Litosol ádalah jenis tanah tanpa perkembangan profil,

merupakan batuan kukuh dengan lapisan tanah Sangat tipis diatasnya. Pada

wilayah yang curam, terdapat batuan tanpa lapisan tanah. Bahan induk meliputi

(45)

5. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk dari Desa Namo Sialang pada tahun 2002 adalah 5037

jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki dan 2560 perempuan dan tersebar pada 15

dusun. Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah pekerja perkebunan,

pegawai negeri, sebagian ada yang melakukan aktivitas pertanian, beternak dan

mengusahakan perikanan. Sumber energi desa, 95% berasal dari kayu dan 5%

minyak. Sedangkan penggunaan listrik berkisar hingga 80%. Sumber air desa

berasal dari mata air sungai dan hujan.

Penduduk Desa Sei Serdang berjumlah 3120 yang terdiri dari 1531

laki-laki dan 1589 perempuan. Mata pencaharian penduduk, hampir sama dengan mata

pencaharian Desa Namo Sialang yaitu pekerja perkebunan (baik kebun milik

pribadi maupun milik investor yang berupa jeruk manis, dan karet ataupun kelapa

sawit), pegawai negeri, bertani dan beternak. Sumber energi desa adalah 90%

berasal dari kayu api, 10% dari minyak dan 100% menggunakan sumber listrik.

6. Sektor Unggulan potensial

a. Sektor Pertanian

Sektor Pertanian komoditas yang diunggulkan adalah ; Karet, Jeruk Nipis, Jeruk

Manis, Kelapa Sawit, Durian, Pisang dan lain-lain.

b. Sektor Peternakan

Sektor Peternakan yang diunggulkan adalah di wilayah ini adalah; Ternak sapi,

Kambing dan Babi. Walaupun didalam pelaksanaannya masih menggunakan pola

konvensional dan belum intensif.

(46)

Sektor Perikanan air tawar di wilayah ini belum dioptimalkan, walaupun

kesediaan lahan basah tersedia optimalkan untuk dikembangkan menjadi

petakan-petakan kolam. Dan selama ini kebutuhan masyarakat akan ikan air tawar didapat

dan dihasilkan dari Sungai.dan khusus untuk Ikan mas yang merupakan perangkat

adat istiadat masih di datangkan dari luar daerah

d. Sektor Pariwisata

Sektor Pariwisata saat ini merupakan sektor unggulan yang telah memberikan

konstribusi secara langsung maupun tidak langsung kepada penduduk desa Namo

Sialang dan Desa Sungai Serdang, terutama dalam hal pelestarian kawasan hutan

TNGL dan pelestarian sungai Batang Serangan dari kegiatan peracunan dan

perusakan ekosistem daerah aliran sungai.

Resort Sei Lepan

Sei Lepan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara

yang ibukotanya terletak di Alur Durian dengan luas 654,04 km2, jumlah

(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketinggian Tempat

Wilayah penelitian mempunyai ketinggian tempat yang bervariasi mulai

dari dataran rendah sampai pegunungan. Kelas ketinggian di wilayah penelitian

Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelas Ketinggian Wilayah Penelitian

Masing-masing resort memiliki kelas ketinggian dari tempat rendah

sampai tertinggi. Kawasan Ekosistem Leuser hanya memiliki ketinggian dari 0 –

100 m sampai 300 – 700 m yang merupakan dataran rendah umumnya merupakan

kawasan pemukiman penduduk dan dijadikan penggunaan lahan sepeti

perkebunan dan pertanian.

Resort Tangkahan, Cinta Raja dan Sei Lepan memiliki ketinggian dari

terendah (0 – 100 m) sampai tertinggi (2500 – 3000 m). Daerah yang memiliki

ketinggian 300 - 700 m adalah wilayah paling luas dengan luas 22.343,725 ha,

diikuti daerah dengan ketinggian 700 – 1200 m dengan luas 18.983,19 ha,

ketinggian 100 - 300 m seluas 15.986,72 ha, ketinggian 0 - 100 m seluas

14.675,577 ha.

No. Kelas Ketinggian Luas (ha) Luas (%)

1. 0 – 100 m 14.675,577 15,08

2. 100 – 300 m 15.986,72 16,43

3. 300 – 700 m 22.343,725 22,96

4. 700 – 1200 m 18.983,19 19,50

5 1200 – 1700 m 12.068,076 12,40

6 1700 – 2000 m 6.697,769 6,88

7 2000 – 2500 m 5.633,24 5,79

8 2500 – 3000 m 933,462 0,96

(48)

Selanjutnya pada ketinggian 1200 – 1700 m seluas 12.068,076 ha,

ketinggian 1700 - 2000 m seluas 6.697,769 ha, ketinggian 2000 – 2500 seluas

5.633,24 ha , dan terakhir adalah daerah dengan ketinggian 2500 - 3000 m seluas

933,462 ha dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian tertinggi

(puncak).

Untuk klasifikasi tipe hutan wilayah Resort Tangkahan, Cinta Raja, dan

Sei Lepan termasuk pada klasifikasi tipe hutan dari dataran rendah sampai pada

kawasan hutan subalpin dengan ketinggian 2500 – 3000 mdpl. Pembagian

klasifikasi hutan menurut Van Steenis (1972) dalam Bratawinata (1986) dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Tipe Hutan Berdasarkan Tinggi Tempat

Tinggi tempat (mdpl)

Nama Wilayah Keadaan Vegetasi

4000-4500 Alpin Bukit batu dg lumut dan kerak, sedikit rumput

3600-4000 Alpin Semak pendek berkelompok, konifer pendek

2400-3600 Subalpin Hutan belukar rapat, ada pohon tinggi jarang, sering berlumut, konifer

1500-2400 Montane Hutan tinggi rapat, di bawah 2000 m sedikit lumut

1000-1500 Submontane Hutan tinggi rapat jarang ada lumut

500-1000 Pebukitan Hutan Dipterocarpaceae

(49)

Gambar 1. Peta Ketinggian Tempat Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Kemiringan Lahan

Kemiringan lahan di wilayah penelitian bervariasi mulai dari yang datar

sampai sangat curam. Kelas kemiringan lahan di di wilayah penelitian Resort

Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelas Kemiringan Wilayah Penelitian

No. Kelas Kemiringan Luas (ha) Luas (%)

1. Datar ( 0 – 8 %) 20.118,548 20,67

2. Landai (8 % – 15 %) 9.179,123 9,43

3. Bergelombang (15% - 25 %) 10.516,428 10,81

4. Curam (25 – 40%) 15.619,483 16,05

5. Sangat Curam (> 40%) 41.885,443 43,04

(50)

Kemiringan wilayah Kawasan Ekosistem Leuser didominasi oleh lahan

dengan topografi datar (0 – 8 %) dan Resort Tangkahan, Cinta Raja dan Sei

Lepan sebagian besar didominasi oleh hutan yang bertopografi sangat curam

dengan persen kemiringan > 40 % seluas 41.885,4,43 ha, diikuti daerah

bertopografi datar (0 - 8 %) seluas 20.118,548 ha, curam (25 - 40 %) seluas

15.619,483 ha, bergelombang (15 - 25 %) seluas 10.516,428 ha, terakhir adalah

landai (8 – 15 %) dengan luasan yang paling kecil yaitu 9.179,123 ha.

Gambar 2. Peta Kelerengan Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Penggunaan citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dalam

penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan data yang berformat DEM (Digital

Elevation Model) sehingga dapat diperoleh peta ketinggian tempat dan peta

kelerengan di wilayah penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan

(51)

permukaan bumi yang direpresentasikan oleh data dalam bentuk raster/grid,

dimana setiap sel grid memiliki nilai data ketinggian dari permukaan laut. Dari

data DEM SRTM dapat diperoleh informasi spasial seperti ketinggian ataupun

kelas lereng lahan.

Kelebihan penggunaan citra SRTM ini karena dapat didownload secara

gratis dan datanya dalam bentuk digital, sehingga memudahkan peneliti dalam

mengkonversikan ke format DEM (Digital Elevation Model). Selain itu, menurut

Raharjo (2007), SRTM memiliki resolusi lumayan tinggi untuk skala tinjau.

Resolusi yang disediakan di Indonesia untuk didownload adalah 90 m sehingga

penggunaan SRTM untuk memperoleh data ketinggian dan kelerengan dilakukan

dengan tingkat ketelitian yang cukup tinggi.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980

tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung menetapkan lahan

dengan ketinggian ≥ 2000 m dan lereng ≥ 40% adalah sebagai kawasan lindung

yang dilindungi dalam rangka perlindungan dan pemeliharaan sumber daya alam.

Sehigga kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, dan Sei Lepan yang mempunyai

ketinggian ≥ 2000 m dan kemiringan ≥ 40 % ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Taman Nasional merupakan salah satu kawasan lindung dan mempunyai

fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta pemanfaatan secara lestari sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk menjaga agar hutan lindung dapat

berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka didalam hutan lindung tidak boleh

(52)

Kawasan lindung ditetapkan dengan tujuan untuk mempertahankan

fungsi-fungsi ekologis khusus ataupun mempertahankan ciri khas lainnya, yang meliputi

keanekaragaman hayati, perlindungan sumber air, dan populasi satwa yang

mampu bertahan hidup, sehingga dibutuhkan habitat yang cukup untuk menjamin

keberlangsungan dan terpeliharanya lingkungan habitat yang baik bagi vegetasi

dan satwa untuk melangsungkan hidupnya dan berkembang biak (Konsorsium

Revisi HCV Toolkit Indonesia, 2008).

Kawasan lindung yang memiliki kemiringan ≥ 40% merupakan daerah

yang harus diperhatikan dan dijaga kondisi lahannya karena kemungkinan

pengaruh terjadinya erosi berada pada kemiringan yang semakin curam. Semakin

curam suatu daerah, maka daerah tersebut berada pada tingkat pengaruh bahaya

erosi yang paling besar. Dengan demikian, potensi terjadinya erosi di daerah

tersebut adalah lebih besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasapoetra et. al,

(1991) yang menyatakan bahwa kelerengan lahan merupakan faktor yang sangat

penting. Lahan yang curam lebih mudah terganggu dan mengalami kerusakan

tanah terutama oleh faktor erosi.

Indeks Vegetasi

Salah satu tujuan pembuatan indeks vegetasi adalah untuk memperjelas

perbedaan antara berbagai tipe penutupan lahan maupun tipe vegetasi yang

berbeda. Perbaikan spectral dengan penetuan indeks vegetasi menghasilkan

tampilan citra yang bervariasi serta dapat memperjelas objek-objek tertentu yang

(53)

Nilai indeks vegetasi yang tersebar di wilayah penelitian mempunyai

tingkat kerapatan vegetasi yang bervariasi mulai dari kerapatan jarang, sedang

sampai dengan kerapatan vegetasi rapat. Kelas kerapatan vegetasi di wilayah

penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan sebagian Kawasan

Ekosistem Leuser dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kisaran Nilai NDVI Wilayah Penelitian

No. Kisaran NDVI Kerapatan Vegetasi Luas (ha) Luas (%)

1. - 0,115 – - 0,006 Jarang 6.554,258 6,79

2. - 0,006 – 0,102 Jarang 4.424,527 4,58

3. 0,102 – 0,211 Jarang 3.293,631 3,41

4. 0,211 – 0,32 Jarang 5.507,163 5,70

5. 0,32 – 0,428 Sedang 10.227,297 10,59

6. 0,428 – 0,537 Rapat 21.863,318 22,64

7. 0,537 – 0,646 Rapat 39.328,19 40,72

8. 0,646 – 0,754 Rapat 5.382,794 5,57

Luas Total 96.580,178 100

Nilai NDVI dari pengolahan data diperoleh nilai NDVI terkecil - 0,115

berupa awan sampai terbesar + 0,754 berupa vegetasi. Nilai indeks vegetasi

dengan luasan terbesar adalah pada kisaran nilai 0,537 – 0,646 dengan vegetasi

rapat seluas 39.328,19 ha dan kisaran NDVI yang kecil luasannya berada pada

(54)

Gambar 3. Peta Nilai Indeks Vegetasi Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan

dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Pada hasil pengolahan penajaman citra diperoleh NDVI yang bernilai (-)

yang berupa awan (- 0,115 – - 0,006 ) dan nilai NDVI (+) adalah berupa vegetasi

dari jarang sampai yang rapat dengan nilai NDVI tertinggi 0,646 – 0,754. Pada

hutan primer NDVI yang bernilai (-) disebabkan oleh adanya awan dan bayangan

awan menutupi vegetasi dibawahnya sehingga pantulan gelombang inframerah

dekat akan menjadi lebih rendah dan menyebabkan kerapatan vegetasi menjadi

lebih rendah. Menurut Van Dijk et al. (1987) dalam Kushardono (1992)

menyatakan bahwa NDVI akan bernilai positif (+) apabila permukaan vegetasi

lebih banyak memantulkan radiasi pada gelombang panjang infra merah dekat

(55)

pemantulan energi yang direkam oleh panjang gelombang cahaya tampak sama

dengan gelombang infra merah dekat. Hal ini sering terjadi pada daerah

pemukiman, tanah bera, daratan non vegetasi, dan awan. Sedangkan NDVI akan

bernilai negatif (-) apabila permukaan awan, air dan salju lebih banyak

memantulkan energi gelombang cahaya tampak dibandingkan pada infra merah

dekat.

Penentuan nilai indeks dihitung dengan menggunakan Normalized

Difference Vegetation Indeks (NDVI). NDVI digunakan untuk mengidentifikasi

penutupan lahan melalui tingkat kehijauan permukaan. Indeks vegetasi adalah

suatu nilai yang mencerminkan kondisi tingkat kehijauan tanaman yang

diturunkan dari data satelit melalui perekaman pada band 4 (panjang gelombang

infra merah dekat) dan band 3 (panjang gelombang infra merah). Dengan

membandingkan nilai kecerahan suatu piksel dari band-band yang berbeda pada

citra maka dalam prosesnya dipilih band-band yang dapat mendeteksi tingkat

kehijauan vegetasi dengan baik yaitu band 4 (panjang gelombang infra merah

dekat) dan band 3 (panjang gelombang infra merah) (Van Dijk et al. (1987) dalam

Kushardono (1992).

Aplikasi indeks vegetasi penggunaannya telah meluas dalam bidang

pengelolaan sumber daya alam. Pada bidang kehutanan NDVI digunakan untuk

mengidentifikasi penutupan lahan melalui tingkat kehijauan vegetasi dan dapat

mempresentasikan kondisi bahan bakar hutan untuk manajemen kebakaran hutan.

Menurut LAPAN (2004) dalam Thoha (2006) menyatakan bahwa NDVI

Gambar

Gambar 3. Peta Nilai Indeks Vegetasi Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser .............................
Tabel 1. Kisaran Tingkat Kerapatan Berdasarkan NDVI Menggunakan                                       Data Landsat TM
Tabel 2. Hubungan Ketinggian Tempat dan Kerapatan Vegetasi No Kelas Ketinggian (m)/ Skor NDVI
Tabel 3. Interpretasi dari Nilai r Interval Koefisien
+7

Referensi

Dokumen terkait

AKTIVITAS ANTIFUNGI ISOLAT BAKTERI ENDOFIT AKAR TANAMAN OBAT TERHADAP CANDIDA ALBICANS DAN TRICHOPHYTON MENTAGROPHYTES.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Efektifitas dalam kaitannya dengan proses manajemen risiko perbankan dalam mengendalikan risiko kredit, adalah upaya yang dilakukan telah memanfaatkan

[r]

Kelompok Kerja ULP III di lingkungan Kantor Pusat Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket

SEKRETARIAT JENDERAL UNIT LAYANAN PENGADAAN. KELOMPOK

Keempat peristiwa itu adalah pertanda bagi Pangeran Siddharta yang dilakukan oleh para dewa dalam rangka membantu Pangeran meninggalkan istana untuk menjadi petapa agar

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo adalah hampir setengahnya baik, sedangkan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi yang nyata (P<0,05) antara legum dengan taraf cekaman kekeringan terhadap produksi bahan kering legum Stylosanthes guianensis dan