• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan Dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Di Pesisir Indramayu Dan Ciamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan Dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Di Pesisir Indramayu Dan Ciamis"

Copied!
269
0
0

Teks penuh

(1)

DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM

DI PESISIR INDRAMAYU DAN CIAMIS

RUSWANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia,

supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

(3)

Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2009

Ruswandi

(4)

Penguji Luar pada waktu Ujian Tertutup: Dr.rer.nat. Totok Hestionoto Penguji Luar pada waktu Ujian Terbuka: Prof. Ir. Safwan Hadi, PhD. Dr.Ir. I Wayan Nurjaya

(5)

Indramayu and Ciamis as two marine regencies in West Java Province have huge natural coastal resources. Besides that these regency have high natural disaster potency which threat the sustainibility of the natural resources exixtence so need disaster mitigation efforts. The research’s goal is to formulate the direction of the sustainable coastal development policy which disaster mitigation perspective. This research use some analysis method that are KBMS, combination of SWOT and AHP, ISM, MPE and AHP which are packaged as the policy model of sustainable coastal zone development which disaster mitigation perspective known as MKP2B2MB. Research result shown there are four regulation have close relationship with disaster mitigation in coastal zone, that are Act number 07 year 2004, Act number 24 year 2007, Act number 26 year 2007 and Act number 27 year 2007.

Coastal zone development policy in Indramayu and Ciamis recently still not yet aims to the Integrated Coastal Zone Management. Natural disaster potency which is more dominant in Indramayu is storm tide and in Ciamis is earthquake, tsunami and storm tide. Mitigation which must be implemented in Indramayu are combination of breakwater, slope protection/bank revetment/seawalls, and groyne and in Ciamis is early warning system. Furthermore are made up development policy which will be implemented in Indramayu and in Ciamis whereas the synthesis policy is to develope the infrastructure of coastal zone with disaster perspective and to increase the stakeholder participation to attain co-management in order to eliminate the domination of other people to another people and to match the various importances by considering the national and local competences.

In order to achieve policy goal and policy objective, the policy is obliged to has basic strategy, appropriate strategy and strategic stages. The sustainable coastal development strategic base is to increase food security by coastal based green industrial development, local competitiveness capacity increasement and conservation. Disaster mitigation strategic base is to allocate proportional budget to create economic infrastructure development and its facilities based on local characteristics which fully integrated with coastal protection system.

The quarter track strategy was proposed consists of pro growth, pro job, pro poor and pro mitigation in this research known as novelty. Strategic stages of coastal sustainable development are to arrange coastal spatial planning suitable with status and area function, and to increase monitoring and controlling for natural coastal resources utilization. Strategic stages of coastal disaster mitigation are to empower coastal people on disaster mitigation affair, to revise coastal spatial plan and its regulation by considering mitigation aspect and to provide data, hazard map and risk assesment, to provide NSPM of building in prone areas, and to simplify disaster mitigation SOP with SMART.

Furthermore determinate shortterm targets and longterm targets. There are two policy goals which are obliged to achieve, that is the opimation productivity of coastal area and the optimation of livelihood prop up system. At last the policy ultimate objective are able to determinated that is the sustainable of natural coastal resources and people livelihood, safe, delicate and prosperous

(6)

geografis terletak di antara dua benua, dua samudera, pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega-plate) dan tiga sistem patahan besar (mega-fault) serta memiliki sekitar 500 gunungapi dan 128diantaranya masih aktif, beriklim tropis basah dengan kondisi topografis yang beragam, sehingga Indonesia selain memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi juga sangat rentan terhadap bencana alam. Sekitar 60% penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di wilayah pesisir seluas sekitar 4.050.000 km2, dimana sekitar 80% atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin. Mayoritas masyarakat miskin yang tinggal di pesisir dengan kondisi sub standar, adalah yang paling menderita akibat peristiwa bencana alam. Bencana alam tidak akan dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Kegiatan pembangunan yang telah dihasilkan dalam waktu yang cukup lama dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, dalam seketika dapat luluh lantak akibat dilanda bencana. Hal ini menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan agar lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir sebagai masukan bagi pemerintah. Untuk itu akan digunakan lima alat analisis yaitu: mengevaluasi implementasi kebijakan yang saat ini berjalan dengan metode knowledge based management system

(KBMS); mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir digunakan metode ASWOT yaitu gabungan metode SWOT (strengths, weakness, opportunities and threats) dan metode AHP (analytical hierarchy process); mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir dan upaya mitigasi bencana digunakan metode interpretative structural modelling (ISM); menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling efektif digunakan metode perbandingan eksponensial (MPE) dan merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana digunakan metode AHP. Kelima alat analisis tersebut dikemas dalam satu program aplikasi Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana yang disingkat MKP2B2MB.

(7)

melalui diskursus yang intensif. Knowledge sharing melalui diskursus dengan pakar setelah diolah menghasilkan kesimpulan bahwa implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indaramayu dan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat, masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management) dan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir dengan metode ASWOT , telah menentukan bahwa yang dominan di Kabupaten Indramayu adalah sektor minyak dan gas bumi serta sektor perikanan, di Kabupaten Ciamis adalah sektor pariwisata dan sektor perikanan. Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand), jadi saling melengkapi (complementary) bukan kompetitor.

Identifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir dengan metode ISM, telah menentukan bahwa yang dominan di Kabupaten Indramayu adalah gelombang badai pasang dikuti oleh abrasi dan banjir, di Kabupaten Ciamis yang dominan adalah gempabumi, tsunami dan gelombang badai pasang diikuti oleh abrasi dan banjir. Kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut, hendaknya mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi khususnya di pantai utara Jawa sejak tahun 1970an dan di pantai selatan Jawa sejak tahun 1990an. Oleh karena itu maka kebijakan pengembangan hendaknya tidak lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.

(8)

upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan.

Analisis dengan AHP telah menentukan alternatif kebijakan untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu yaitu mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana. Di Kabupaten Ciamis, meningkatkan partisipasi stakeholder untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak pada pihak lain. Sintesis dari berbagai kebijakan tersebut menghasilkan suatu model kebijakan yaitu mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai Co-management dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena kebijakan itu adalah kesepakatan yang menetapkan keputusan untuk merubah suatu kondisi menjadi lebih baik, maka perlu ditentukan strategi yang dirancang sebagai upaya untuk mencapai tujuan.

(9)

data dan peta rawan bencana alam serta prakiraan risiko bencana yang akan terjadi, dan mempersiapkan NSPM (norm standard procedure manual) bangunan rumah, bangunan gedung, bangunan jalan dan bangunan air di wilayah rawan bencana (prone area).

Berdasarkan langkah-langkah strategis tersebut akhirnya dapat ditentukan sasaran jangka pendek seperti meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan menurunkan risiko bencana, serta sasaran jangka panjang seperti meningkatkan investasi di wilayah pesisir dan meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir. Selanjutnya ditentukan tujuan kebijakan (goals policy) yaitu optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan. Adapun hasil akhir yang diharapkan (ultimate objectives) dengan terumuskannya kebijakan pengembangan wilayah pesisir ini adalah sumber daya alam pesisir yang berkelanjutan, mata pencaharian masyarakat pesisir yang berkelanjutan dan kehidupan masyarakat pesisir yang aman, nyaman dan sejahtera.

Butir-butir kesimpulan secara keseluruhan telah menjawab tujuan penelitian yang ditentukan berdasarkan permasalahan yang melatarbelakangi kegiatan penelitian, dan saran yang dikemukakan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil keputusan yang saat ini sedang mempersiapkan penyelesaian berbagai peraturan pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pihak terkait khususnya masyarakat pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis yang dalam kesehariannya bersentuhan langsung dengan permasalahan ini.

Dengan demikian, penelitian ini telah mengemukakan suatu kajian lengkap yang diawali terhadap implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang dijalankan selama ini, sampai dengan hasil akhir diharapkan dapat tercapai dan secara keseluruhan merupakan suatu model kebijakan bagi pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.

(10)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2003.

Hak Cipta dilundungi Undang-undang.

1). Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikankepentingan yang wajar IPB

(11)

DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM

DI PESISIR INDRAMAYU DAN CIAMIS

RUSWANDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Pesisir Indramayu dan Ciamis

Nama : Ruswandi

NIM : P062050544/PSL

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Asep Saefuddin, MSc., Ph.D

Ketua

Dr. Ir. Etty Riani Harsono, MS Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira

Anggota Anggota

Priyadi Kartono, PhD.

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M S Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 131 471 836 NIP. 130 891 386

(13)

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudiul ‘Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana di Pesisir Indramayu dan Ciamis’. Disertasii ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai masukan dalam penyelesaian disertasi ini, khususnya kepada Bapak Ir. Asep Saefuddin, MSc., Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Syafri Mangkuprawira, Ibu Dr. Ir. Etty Riani Harsono, MS dan Bapak Priyadi Kardono, PhD., sebagai anggota komisi pembimbing, Bapak Dr.rer.nat. Totok Hestirianoto MSc sebagai penguji luar pada waktu ujian tertutup, Bapak Prof. Ir. Safwan Hadi, PhD dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya sebagai penguji luar pada waktu ujian terbuka serta Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin sebagai Sekretaris Fakultas Pasca Sarjana dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi PSL. Saya juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para

knowledge expert, yaitu Bapak Dr. Ir. Hamzah Latief, Bapak Ir. Djoko Suroso, PhD, Bapak Dr. rer. nat. Sumantri Tahrir, Bapak Dr. Ir. Subandono Diposaptono, dan Bapak Ir. Danny Hilman, PhD. Tidak lupa saya juga menyampaikan terimakasih kepada para nara sumber Bapak Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bapeda Provinsi Jawa Barat, Bapak Ir. Darsono Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Bapak Ir. Abdul R Hakim Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan Bapak Ir. Derajad Hediana Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Ciamis. Akhirnya saya juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Bapak Prof. Ir. Bambang Bintoro Soedjito, PhD, Ibu Dr. Ir. Aida VH, Ibu Dr. Ir. Ekawati, Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, Bapak Prof. Ir. Akhmad Fauzi, PhD dan Kepala BPSDM Departemen Pekerjaan Umum Bapak Ir. Iwan ND yang telah memberikan ijin saya sekolah lagi di IPB.

(14)

saya ruang untuk selalu belajar dan menyelesaikan tugas perkuliahan. Mereka seolah-olah ikut dalam proses perkuliahan selama lebih kurang tiga tahun. Saya berkesimpulan istri saya dan ketiga anak kami, semua lulus dan berhasil mengalami berbagai kesulitan,suasana suka duka selama lebih kurang tiga tahun.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pihak manapun.

Jakarta, Januari 2009

(15)

Penulis dilahirkan di kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1952, sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan keluarga Bapak H. R. M Tahrir dan Ibu H. R. A. Aminah. Pada saat ini penulis sudah berkeluarga dengan istri tercinta Ridda Farida, dan sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Magistra, M Sandi S, dan M. Ridwan T.

Pendidikan formal dimulai dari Sekolah Dasar sampai Pasca Sarjana Strata Dua penulis selesaikan di kota Bandung. Lulus SD St. Yusuf pada tahun 1964, lulus SMP St. Aloysius pada tahun 1968, dan SMA Negeri 1 Bandung pada tahun 1971. Lulus Sarjana Teknik Arsitektur (S1) Institut Teknologi Bandung pada tahun 1976 dan Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota (S2) Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan University College London pada tahun 1985.

Pendidikan informal dimulai setelah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum, pada tahun 1980. Program Diploma Urban Studies With Areal Photography, International Institute for Aero Space and Earth Sciences (ITC) pada tahun 1981. Enschede, The Netherlands. Programme Certificate on Computerize Aided Housing Design, Building Research Institute (BRI), Tsukuba, Japan pada tahun 1985. Programme Certificate on Building Materials and Modular Coordination, UNIDO ASEAN (Kuala Lumpur, Bangkok, and Manila) pada tahun 1988. Programme Certificate on Rental Housing MOC-HUDC Tokyo Japan pada tahun 1995. Programme Certificate on Newton Development, Research Institute Human Settlement (KRIHS) Seoul Korea pada tahun 1999.

Programme Certificate on Disaster Risk Reduction, Taipei Taiwan, pada tahun 2006. Selama dua puluh delapan tahun bekerja sebagai PNS di Departemen Pekerjaan Umum, penulis pernah mengikuti program kedinasan SPADYA Departemen PU pada tahun 1993 di Bandung dan SPAMEN LAN pada tahun 1999 di Jakarta.

(16)

Kawasan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun 2001-2004. Kepala Kantor Pemberdayaan BPSDM Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun 2004-2005. Direktur Pencegahan Bakornas Penanggulangan Bencana pada tahun 2005-2008. Sejak Agustus 2008, kembali ke Departemen Pekerjaan Umum menunggu proses penempatan lebih lanjut.

(17)

i

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Kerangka Pemikiran... 8

1.3.Perumusan Masalah ... 10

1.4.Tujuan Penelitian ... 10

1.5.Manfaat Penelitian ... 11

1.6.Hipotesa dan Asumsi ... 11

1.7.Kebaruan (Novelty) ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1.Wilayah Pesisir... 12

2.1.1.Pentingnya Sumberdaya Pesisir ... 14

2.1.2.Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir... 15

2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir... 16

2.3. Potensi Bencana Bencana Alam di Wilayah Pesisir ... 23

2.4. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 26

2.5. Mitigasi Bencana Alam ... 28

2.5.1.Siklus Penanggulangan Bencana Alam... 30

2.5.1.1.Mitigasi Pasif (Non Struktural) ... 31

2.5.1.2.Mitigasi Aktif (Struktural) ... 31

2.5.2.Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana Alam ... 32

2.5.3.Gambaran Risiko Bencana Alam... 33

2.5.4.Pemetaan Risiko Bencana Alam ... 34

2.6. Keterkaitan Pengembangan Wilayah Pesisir, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana Alam... 35

2.7.Pemberdayaan Masyarakat ... 36

2.8.Permodelan ... 37

(18)

ii

3.2.Rancangan Penelitian ... 47

3.2.1.Jenis dan Sumber Data ... 49

3.2.2.Metode Pengumpulan Data ... 50

3.2.3.Metode Analisis Data ... 50

3.3.Batasan Penelitian ... 54

3.4.Definisi Operasional ... 54

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 61

4.1.Kabupaten Indramayu ... 61

4.1.1.Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan dan Iklim ... 61

4.1.1.1.Parameter Hidro Oseanografi ... 61

4.1.1.1.1.Batimetri ... 61

4.1.1.1.2.Pasang Surut ... 62

4.1.1.1.3.Gelombang ... 62

4.1.1.2.Kualitas Perairan... 62

4.1.1.3.Proses Geodinamika Pesisir... 63

4.1.1.3.1.Abrasi ... 63

4.1.1.3.2.Akresi ... 64

4.1.1.3.3.Intrusi Air Laut ... 64

4.1.1.4. Iklim dan Cuaca... 64

4.1.1.5. Geologi ... 65

4.1.2.Kondisi Sosial Ekonomi ... 65

4.1.2.1.Dinamika Perekonomian ... 65

4.1.2.2.Fasilitas Perekonomian ... 66

4.1.2.3.Sarana Pendidikan ... 66

4.1.2.4.Sarana Kesehatan... 67

4.1.2.5. Produksi Perikanan ... 67

4.1.2.6. Fasilitas Perindustrian ... 68

4.1.2.7. Fasilitas Pariwisata ... 68

4.1.2.8. Fasilitas Jasa... 69

4.2.Kabupaten Ciamis ... 69

4.2.1.Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan dan Iklim ... 70

4.2.1.1.Parameter Hidro Oseanografi ... 70

(19)

iii

4.2.1.1.4.Gelombang Laut ... 72

4.2.1.2.Kualitas Perairan ... 73

4.2.1.2.1.Parameter Fisika... 73

4.2.1.2.1.1.Padatan Tersuspensi Total (TSS) Perairan ... 73

4.2.1.2.1.2.Temperatur Laut ... 73

4.2.1.2.1.3.Salinitas ... 73

4.2.1.2.1.4.Kecerahan Perairan ... 74

4.2.1.2.2.Parameter Kimiawi Perairan ... 74

4.2.1.2.2.1.Derajat Keasaman (pH) ... 74

4.2.1.2.2.2.Nitrat ... 74

4.2.1.2.2.3.Fosfat... 75

4.2.1.2.2.4.Oksigen Terlarut... 75

4.2.1.2.2.5.Logam Berat ... 75

4.2.1.2.3.Parameter Biologi Perairan... 75

4.2.1.2.4.Indikator Potensi Perikanan Tangkap ... 76

4.2.1.3.Iklim dan Cuaca ... 76

4.2.1.4.Geologi... 77

4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi ... 77

4.2.2.1.Dinamika Ekonomi ... 77

4.2.2.2.Fasilitas Perekonomian... 77

4.2.2.3.Sarana Pendidikan... 78

4.2.2.4.Sarana Kesehatan ... 78

4.2.2.5.Fasilitas Perikanan... 79

4.2.2.6.Fasilitas Perindustrian... 79

4.2.2.7.Fasilitas Pariwisata ... 79

4.2.2.8.Fasilitas Jasa ... 80

V. EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR ... 81

5.1. Pendahuluan

...

81

5.2. Metode Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan ... 82

(20)

iv

Barat ... 89

5.3.3.Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir... 90

5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar (Rule Base) ... 90

5.3.3.2.Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat... 92

5.4. Kesimpulan Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir ... 95

VI. STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR ... 97

6.1.Pendahuluan ... 97

6.2.Model Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 100

6.3.Analisis Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 106

6.3.1.Kabupaten Indramayu ... 106

6.3.1.1.Minyak dan Gas Bumi ... 106

6.3.1.2.Pertanian dan Perkebunan ... 108

6.3.1.3.Perikanan ... 108

6.3.1.4.Pariwisata... 108

6.3.1.5. Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Indramayu ... 109

6.3.1.6. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Indramayu ... 114

6.3.2. Kabupaten Ciamis ... 115

6.3.2.1.Pertambangan ... 115

6.3.2.2.Pertanian dan Perkebunan ... 117

6.3.2.3.Perikanan ... 117

6.3.2.4.Periwisata... 117

6.3.2.5.Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Ciamis ... 118

6.3.2.6. Kesimpulan Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Ciamis ... 120

6.4. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 123

VII. POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR JAWA BARAT .. 125

(21)

v

7.3.1.Kabupaten Indramayu ... 129

7.3.1.1.Angin Kencang/Puting Beliung ... 129

7.3.1.2.Gelombang Badai Pasang ... 129

7.3.1.3.Abrasi ... 130

7.3.1.4.Erosi... 131

7.3.1.5.Gerakan Tanah ... 131

7.3.1.6.Gempa Bumi ... 131

7.3.1.7.Tsunami ... 132

7.3.1.8.Banjir ... 132

7.3.1.9.Akresi... 132

7.3.1.10.Instrusi Air Laut ... 133

7.3.2.Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Wilayah Pesisir Indramayu... 134

7.3.3.Kabupaten Ciamis ... 136

7.3.3.1.Angin Kencang/Puting Beliung ... 136

7.3.3.2.Gelombang Badai Pasang ... 137

7.3.3.3.Abrasi ... 137

7.3.3.4.Erosi... 137

7.3.3.5.Gerakan Tanah ... 138

7.3.3.6.Gempa Bumi ... 138

7.3.3.7.Tsunami ... 140

7.3.3.8.Banjir ... 141

7.3.3.9.Akresi... 142

7.3.3.10.Instrusi Air Laut ... 142

7.3.4. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Wilayah Pesisir Ciamis... 142

7.4. Kesimpulan Studi Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Jawa Barat ... 145

VIII. STUDI EFEKTIVITAS KEBERHASILAN DAN BENTUK MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR ... 147

8.1. Pendahuluan ... 147

(22)

vi

8.3.1.1. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi

Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Indramayu . 156 8.3.1.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi

Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Ciamis ... 159 8.3.2.Studi Efektivitas Mitigasi Bencana Alam ... 162

8.3.2.1. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan

Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Indramayu ... 162 8.3.2.2. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan

Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Ciamis ... 164 8.4. Kesimpulan Studi Efektivitas Keberhasilan

dan Bentuk Mitigasi Alam…... 167

IX. MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR

BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA... 169

9.1. Pendahuluan ... 169 9.2. Metode Analisis Model Kebijakan ... 170 9.2.1. Prinsip Dasar AHP ... 171

9.2.2. Langkah-Langkah Penyelesaian ... 173 9.3. Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan

Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ... 178 9.4. Kesimpulan Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir

Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ... 184

X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF

MITIGASI BENCANA ... 186

10.1. Pembahasan Umum ... 186 10.2. Rumusan Arahan Kebijakan ... 189 10.3. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yang

Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ... 195 10.3.1. Langkah-langkah strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir

Terpadu yang Berkelanjutan ... 196 10.3.2. Langkah-langkah strategi Mitigasi Bencana Alam di

Wilayah Pesisir ... 196 10.4. Sasaran dan Tujuan... 199

XI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 201

(23)

vii

(24)

viii

Halaman

1. Data yang dibutuhkan untuk pembuatan peta risiko bencana ... 34 2. Jenis dan sumber data ... 49 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Indramayu ... 61 4. Kisaran nilai suhu dan salinitas pada wilayah pantai Jawa Barat

bagian utara ... 63 5. Produksi domestik regional bruto (PDRB) atas harga konstan di

Kabupaten Indramayu... 66 6. Tingkat ketersediaan fasilitas perekonomian di

Kabupaten Indramayu ... 66 7. Tingkat ketersediaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Indramayu ... 67 8. Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Indramayu ... 67 9. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten

Indramayu... 68 10. Tingkat ketersediaan fasilitas perindustrian di Kabupaten

Indramayu... 68 11. Tingkat ketersediaan fasilitas pariwisata di Kabupaten Indramayu ... 69 12. Tingkat ketersediaan fasilitas jasa di Kabupaten Indramayu ... 69 13. Luas kecamatan pesisir, jumlah penduduk, kepadatan penduduk,

dan distribusi penduduk di setiap kecamatan Kabupaten Ciamis ... 70 14. Luas pantai dan panjang wilayah pantai Kabupaten Ciamis ... 70 15. Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga konstan

di Kabupaten Ciamis ... 77 16. Jenis fasilitas perekonomian di Kecamatan Pangandaran ... 78 17. Jumlah sekolah dan murid di pesisir Kab. Ciamis ... 78 18. Sarana dan prasarana kesehatan di Kab. Ciamis ... 78 19. Prasarana dan sarana PPI di Kab. Ciamis ... 79 20. Faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan wilayah

di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Indramayu... 104 21. Produksi minyak dan gas bumi di Kabupaten Indramayu ... 106 22. Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu .... 108 23. Potensi pertambangan di Kabupaten Ciamis ... 115 24. Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis ... 117 25. Potensi pariwisata di Kabupaten Ciamis ... 118 26. Jenis sarana dan tingkat kerusakan di Kabupaten Ciamis

(25)

ix

29. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu ... 164 30. Kriteria dalam menentukan bentuk mitigasi bencana di Kabupaten

Ciamis... 165 31. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis ... 166 32. Skala komparasi ... 172 33. Rangkuman hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir

yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ... 192 34. Kesimpulan komprehensif hasil penelitian model pengembangan

wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi

(26)

x

1.

Peta sebaran lempeng tektonik dunia

... 1

2.

Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di kepulauan

Indonesia dan sekitarnya ... 2 3. Pola arah arus permukaan laut musiman di perairan Indonesia... 2 4. Peta setting gelombang pasang di Samudra Hindia ( arah Barat

Daya) ... 3 5. Kebijakan pembangunan hasil kajian ... 5 6. Latar belakang penelitian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana ... 8 7. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan wilayah pesisir ... 9 8. Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat (coast dan

backshore) dan laut (foreshore, inshore dan offshore) ... 12 9. Sistem kebijakan ... 17 10. Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan... 17 11. Siklus penanggulangan bencana... 30 12. Kaitan kemampuan lingkungan, kerentanan, dan risiko bencana ... 34 13. Keterkaitan pengembangan wilayah pesisir, pembangunan

berkelanjutan, dan mitigasi bencana ... 36 14. Keterkaitan logika... 38 15. Kerangka mata pencaharian nelayan untuk memahami sistem

pengelolalaan sumberdaya alam pesisir ... 41 16. Lokasi penelitian pada peta skematis Provinsi Jawa Barat ... 46 17. Matrik keterkaitan pendekatan dalam penelitian ... 47 18. Tahapan pelaksanaan penelitian dengan pendekatan pembangunan

berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana ... 48 19. Kerangka analisis... 51 20. Konfigurasi model arahan kebijakan pengembangan wilayah

pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ... 51 21. Halaman pertama program aplikasi KP2B2MB dengan lima

jendela model dan alat analisis yang berbeda ... 54 22. Rencana tata ruang dan lingkungan Keaukaha ... 85

23.

Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi
(27)

xi

25. Garis besar alat analisis ASWOT ... 101 26. Garis besar hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir

Kabupaten Indramayu ... 105 27. Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ... 107 28. Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode

ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu... 109 29. Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB

untuk Kabupaten Indramayu ... 110 30. Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir

Kabupaten Indramayu ... 113 31. Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Ciamis ... 116 32. Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode

ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis... 119 33. Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB

untuk Kabupaten Ciamis ... 119 34. Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah

pesisir Kabupaten Ciamis ... 122 35. Garis besar alat analisis ISM ... 126 36. Matrik driver power-dependence dalam analisis ISM ... 128 37. Diagram alir model sumber potensi bencana ... 128 38. Abrasi di pantai Kabupaten Indramayu ... 130 39. Peta kawasan rawan banjir pesisir pantai utara Jawa Barat ... 133 40. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program

MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu ... 134 41. Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di

Kabupaten Indramayu ... 135 42. Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana

alam di Kabupaten Indramayu ... . 135 43. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam

(28)

xii

49. Contoh input hubungan antar elemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis ... 143 50. Tingkat level sub elemen potensi bencana alam

di Kabupaten Ciamis... 143 51. Matriks driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di

Kabupaten Ciamis ... 144 52. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam

di Kabupaten Ciamis... 145 53. Sistem perlindungan pantai alami... 148 54. Artificial reef breakwater di Tanah Lot, Bali ... 149 55. Berbagai pohon bakau yang mampu meredam gelombang ... 149 56. Sistem pelindung pantai alami dengan pohon dan gundukan pasir

yang ditutup oleh vegetasi. ... 150 57. Konsep slope protection dan pelaksanaannya... 150 58. Revitalisasi pasir pantai (beach nourishment)... 151 59. Kombinasi beach nourishment, groin dan detached breakwater ... 151 60. Sistem peringatan dini terintegrasi dengan sistem penyelamatan diri... 152 61. Garis besar penggabungan alat analisis ISM dan MPE... 155 62. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM

Kabupaten Indramayu ... 157 63. Hasil analisis elemen keberhasilan mitigasi

di Kabupaten Indramayu ... 157 64. Matriks driver power – dependence untuk elemen mitigasi bencana

alam di Kabupaten Indramayu... 158 65. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di

Kabupaten Indramayu ... 159

66. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program

MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis ... 160 67. Hasil analisis untuk elemen keberhasilan

mitigasi Kabupaten Ciamis ... 160 68. Matriks driver power – dependence untuk elemen mitigasi bencana

(29)

xiii

dan berperspektif mitigasi bencana... 177 72. Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir

yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di

Kabupaten Indramayu ... 179 73. Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir

yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis ... 180 74. Diagram rumusan arahan kebijakan pengembangan wilayah

pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ... 194 75. Diagram alir rumusan arahan kebijakan, landasan strategi dan

strategi empat jalur (quater track strategy) pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana serta

langkah-lagkah strategis yang dibutuhkan ... 198 76. Diagram alir strategi, sasaran jangka pendek dan panjang serta

tujuan utama... 200

(30)

xiv

Halaman

1. Substansi mitigasi di UU terkait kebencanaan ... 212

2. Garis besar diskursus akuisi pengetahuan dengan enam pakar ... 219

3. Categorisation of spatially relevant natural hazards ... 222

4. Ilustrasi posisi gelombang badai dan gelombang tsunami ... 223

(31)

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak di antara dua benua, dua samudera, pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega-plate), dan tiga sistem patahan besar (mega-fault) (Gambar 1) serta memiliki sekitar 500 gunung api dimana 128 diantaranya masih aktif, beriklim tropis basah dengan kondisi topografis yang beragam, Indonesia selain memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi (Dahuri et al., 1996) juga sangat rentan terhadap bencana alam (Diposaptono, 2007). Data BNPB (2007) tentang gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, longsor, intrusi air laut dan angin puting beliung secara keseluruhan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Sebaran gempa bumi dan kejadian tsunami dapat dilhat pada Gambar 2. Pola arah arus laut musiman di perairan Indonesia

dapat dilihat pada Gambar 3, dan gelombang pasang pada Gambar 4. Sekitar 60% penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di

[image:31.596.142.499.510.718.2]

wilayah pesisir seluas sekitar 4.050.000 km2, dimana sekitar 80% atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin (Tim KPK-Kantor Menko Kesra, 2006). Oleh karena itu mayoritas masyarakat miskin yang tinggal di pesisir (Allison dan Horemans, 2006) adalah yang paling menderita akibat peristiwa bencana alam.

(32)
[image:32.596.136.505.348.608.2]

Gambar 2. Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di kepulauan Indonesia dan sekitarnya

Sumber : ITDBL/WRL, 2005 dalam Latief dan Hadi, 2006

Gambar 3. Beberapa pola arus (permukaan dan dalam) di perairan Indonesia

Sumber : Gordon, 1996

Menurut Coburn et al. (1994) bencana tidak akan dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Kegiatan pembangunan yang telah dihasilkan dalam waktu yang cukup lama dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, dalam seketika dapat luluh lantak akibat dilanda bencana. Hal ini sepatutnya menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan

(33)

ekonomi di masa mendatang baik untuk program jangka menengah maupun jangka panjang yang lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana.

Gambar 4. Peta setting gelombang pasang di samudera Hindia (arah Barat Daya)

Sumber :LIPI dan DKP dalam Setyawan (2007).

(34)

Berkaitan dengan pertumbuhan, pemerintah berkewajiban untuk secara berkesinambungan membangun infrastruktur di seluruh negeri. Kalau infrastruktur dibangun lebih baik, maka ekonomi lokal akan tumbuh berkembang. Masyarakat akan mendapatkan keadilan, karena ada sejumlah kemudahan dalam kehidupan sehari-harinya yaitu peluang lapangan pekerjaan. Pengalokasian dana pembangunan infrastruktur yang telah mencapai triliunan rupiah harus diikuti dengan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena kalau tidak akan terjadi kemerosotan daya beli masyarakat dan kemiskinan akan terus meningkat. Kebijakan dan strategi ini secara empirik selain akan mengejar pertumbuhan, juga akan mendatangkan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat luas (Yudhoyono, 2004). Dari sudut pandang ekonomi pembangunan, langkah-langkah strategis yang ditetapkan pemerintah ini merefleksikan keberpihakan pada pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job) dan kemudahan bagi masyarakat luas dalam kehidupannya (pro poor) (Sanim, 2006). Selanjutnya juga harus diperhatikan bahwa mengembangkan ekonomi nasional tidak hanya sektoral saja, melainkan juga kedaerahan, regional dan otonomi daerah. Meniscayakan the center of growth itu juga terbagi di daerah-daerah. Mengembangkan gagasan lokal ke tingkat regional dan nasional akan meningkatkan daya saing dan keunggulan daerah adalah realistis, dan inilah pilihan pemerintah di era reformasi dan otonomi daerah (Yudhoyono, 2004).

Tetapi kejadian rangkaian bencana alam telah menyadarkan kita semua bahwa hasil pembangunan yang telah dicapai dapat dengan seketika luluh lantak. Tsunami di Provinsi NAD dan Sumut pada tahun 2004 mengakibatkan korban meninggal sekitar 200 ribu jiwa dan kerugian sekitar 48 trilyun, tsunami di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 700 jiwa dan kerugian sekityar 1,3 triliun serta gempa bumi di Provinsi DIY dan Jawa Tengah pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 5.700 jiwa dan kerugian sekitar 29 triliun (BNPB, 2007). Kerugian harta benda dan jiwa telah memberikan beban yang sangat berat bagi pemerintah sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu apakah strategi pro growth, pro job, dan

(35)

Karena pembangunan infrastruktur itu adalah untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan berdampak pada berbagai kemudahan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya, maka pro growth, pro job, dan pro poor nampaknya dapat tetap dipertahankan. Beberapa peraturan seperti Instruksi Presiden telah diterbitkan dan secara jelas mengemukakan keberpihakan pemerintah yang lebih besar kepada masyarakat miskin, antara lain Inpres No 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai dan Inpres No 5 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat.

Tetapi kajian terhadap berbagai bencana alam di Indonesia telah mengemukakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan dan ketidaksiapan aparat serta masyarakat mengakibatkan berbagai bencana alam tersebut sangat merusak lingkungan permukiman dan menimbulkan kerugian harta benda yang sangat besar dan sangat menghambat kegiatan ekonomi. Untuk itulah dikemukakan sumbangsih pemikiran yaitu, strategi pemerintah menjadi pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation yang akan dikenal sebagai quarter track strategy (Gambar 5).

Gambar 5. Kebijakan pembangunan hasil kajian

Hal inipun pada hakehatnya sudah ditempuh misalnya melalui program penanaman sepuluh juta pohon, program remangrovesasi dan program perbaikan terumbu karang serta terbitnya berbagai peraturan dan perundangan, yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 27 tentang Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memberikan nuansa perbaikan kualitas lingkungan dan mitigasi.

Strategi pembangunan saat ini (2004-2009),

‘triple track strategy’

Pro Growth, Pro Job and Pro Poor

Deklarasi Hyogo (2005), ttg paradigma penanggulangan

bencana

Preventif, Pro Aktif and Kesiapsiagaan

Strategi pembangunan mendatang (2009- ……..),

‘quarter track strategy’

(36)

Di wilayah pesisir sampai saat ini masih terdapat pemahaman regime

pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumber daya dan membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan pribadi/swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku (Pratikto, 2005). Selain itu lemahnya penegakan hukum dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan buatan di wilayah pesisir yang mengakibatkan pembangunan terus berlangsung yang akan memberikan dampak berkurangnya daya dukung lingkungan dan tidak dilibatkannya peran serta masyarakat, mengakibatkan sosialisasi program pemerintah tidak berjalan dengan baik (Pratikto, 2005) sehingga pada waktu terjadinya bencana maka yang paling besar menerima dampaknya adalah masyarakat itu sendiri.

Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies) terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia yang beroperasi dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir sehingga wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik yang sangat menghawatirkan (Pratikto, 2005). Maka sudah sewajarnya jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, agar pengembangannya tidak bertambah semerawut dan membahayakan generasimendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi tekonologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia(WCED, 1984).

(37)

pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan secara kolektif (Parsons et al.,

1994) sehingga memudahkan sosialisasi program pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, Indonesia dapat mencontoh negara lain yang memiliki permasalahan serupa, seperti penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang atau bencana taifun, banjir, dan longsor di Taiwan.Mereka memecahkan permasalahan tersebut dengan membuat dahulu ‘model untuk menentukan kebijakan dan strategi yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko bencana dengan melibatkan peran serta masyarakat. Setelah mengetahui pembangkitan (G), penjalaran (S), dan run-up Tsunami (H), Jepang mengembangkan Model TEWS (tsunami early warning system) yaitu sistem peringatan dini dan kecepatan menyampaikan informasi kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri (ACDRR, 2007). Begitupun dengan Taiwan yang telah mengembangkan

rainfall - based debris-flow warning model (NDRC, 2007). Model tersebut dapat memprediksi potensi bencana akibat terjadinya longsor pada suatu daerah dengan menggunakan parameter intensitas curah hujan (I), lamanya curah hujan (T), akumulasi curah hujan (R), dan curah hujan terdahulu (P). Dengan demikian permodelan diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dinamis dan probabilistik. Menurut Sargent (1999) permodelan sistem ini pada hakekatnya adalah perwujudan dari entitas, model komputerisasi (decision support system) dan model konseptual yang keseluruhannya didukung oleh validitas data dan informasi (Eriyatno, 2007).

(38)

Gambar 6. Latar belakang penelitian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana

1.2. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang kemiskinan, kerentanan dan dimensi pembangunan di wilayah pesisir Indonesia tersebut, pemerintah memiliki dua pilihan strategi yaitu pertama Pengembangan Wilayah Pesisir yang pro growth,

pro job dan pro poor atau kedua yaitu pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Strategi pertama menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan, tetapi dapat menguras sumberdaya ekonomi yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Ketika terjadi bencana alam, kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat. Sebaliknya strategi kedua yang

Negara Kepulauan Terbesar dengan Panjang Pesisir Kedua di dunia yang Rawan Bencana

Permasalahan yang Kompleks, Dinamis, dan Probabilistik tsb membutuhkan Pendekatan Sistem sbg Upaya Pemecahannya Mayoritas penduduk Indonesia

tinggal di pesisir sbg penduduk Miskin

Mereka tinggal di lingk. Binaan Sub Standar dgn Kerentanan

Tinggi

Adanya penguasaan regime Open Access, Common Property, Quasi-Private Property,dan State

Property Diperlukan kebijakan

baru yang berperspektif mitigasi bencana

Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Miitigasi Bencana

(39)

menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang moderat tetapi tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, sehingga dapat mempertahankan ketahanan lingkungan dan ketika terjadi bencana alam risiko yang ditimbulkan sudah tentu akan dapat direduksi. Oleh karena itu pemerintah hendaknya menempuh kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan strategi pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation (Gambar 7).

Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan wilayah pesisir

Kemiskinan dan kerentanan di

wilayah pesisir Indonesia

Dimensi pembangunan di wilayah pesisir

Indonesia

Pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro

job, pro poor dan pro mitigation

Pengembangan wilayah pesisir yang pro growth,

pro job dan pro poor

Pengurasan Sumberdaya Ekonomi yang berlebihan

Mencegah dan mengurangi risiko bencana seperti kerusakan sumber daya

ekonomi Pertumbuhan

yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan Kejadian Bencana Alam Pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana : pro growth, pro

job, pro poor dan pro mitigation Pertumbuhan yang moderat, dpt mengurangi kemiskinan dan pengangguran Kerusakan sumberdaya ekonomi dan lingkungan yg akan mengurangi lapangan pekerjaan dan

pendapatan penduduk serta meningkatkan

kemiskinan

(40)

1.3

Perumusan Masalah

Berdasarkan kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah pesisir yang ditimbulkan baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal, maka untuk membangun model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana perlu disusun dahulu rumusan permasalahan yang akan melandasi kegiatan penelitian tersebut. Perumusan masalah dalam kegiatan penelitian hendaknya terkait dengan kebijakan pengembangan, potensi pengembangan, potensi bencana alam, dan upaya mitigasinya yaitu :

1. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi pengembangan wilayah pesisir? 3. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi bencana alam di wilayah pesisir? 4. Bagaimana bentuk dan efektivitas mitigasi untuk menurunkan risiko

bencana?

5. Bagaimana model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam?

6. Bagaimana rumusan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan

2. Mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir 3. Mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir

4. Mengevaluasi efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam 5. Mengembangkan model kebijakan pengembangan wilayah pesisir

berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana

(41)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pendekatan sistem dan permodelan sistem;

2. Semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan wilayah pesisir dan penanggulangan bencana;

3. Sebagai acuan pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah pesisir serta peraturan dan perundangan tentang penanggulangan bencana.

1.6. Hipotesa dan Asumsi

Hipotesa dalam penelitian ini adalah strategi pengembangan wilayah pesisir tiga jalur (triple track development strategy) dinilai kurang memadai untuk tetap dipergunakan oleh pemerintah. Sebagai asumsi adalah merosotnya ketahanan lingkungan dan kesiapan masyarakat serta aparat, dalam menghadapi bencana alam yang telah menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa yang sangat besar.

1.7. Kebaruan (

Novelty

)

(42)

2.1. Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku (Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.

[image:42.596.120.506.459.691.2]

Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone)

(43)

Latief (2008) menyebutkan bahwa garis batas wilayah pesisir yang konkrit tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis imajiner yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan karakteristik pesisir setempat. Di wilayah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai (shoreline). Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan relatif sempit. Untuk kepentingan pengelolaan /perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat bisa sampai ke hulu daerah aliran sungai apabila di situ terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya di bagian hilir. Sedangkan ke arah laut, cenderung menyesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku di setiap provinsi, kabupaten atau kota (Dahuri et al., 1996). Batas wilayah pesisir ke arah darat adalah 50 km (Lundin, 1996 dalam

Latief, 2008) atau 150 km dari garis pantai (shoreline) (Hinrichson, 1998 dalam

Latief, 2008). Keduanya sepakat bahwa ke arah laut menggunakan batas yurisdiksi wilayah negara provinsi (Latief, 2008). Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir meliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, pasir, dan lain-lain. Sebagai pertemuan dua ekosistem, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Daerah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan di darat, laut dan udara,

sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas

untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;

3. Daerahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang

sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;

5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.

Kelima karakteristik tersebut bermuara pada tiga keunikan wilayah pesisir (Pratikto, 2005), yaitu:

(44)

berbagai kepentingan (multiple use) sehingga menimbulkan konflik;

3. Di perairan pesisir masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumberdaya dan membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku.

Wilayah pesisir memiliki beberapa bentuk dan tipe geomorfologi gisik (beach) atau pantai (shore) yang sangat bergantung pada letak, kondisi, dan posisi pantai itu seperti pantai terjal, pantai berbatu, pantai berpasir, pantai landai, pantai campuran, pantai dalam, pantai netral, pantai paparan, pantai pulau, pantai tenggelam, dan pantai timbul (Pratikto, 2005), sebagai contoh:

• Tipe pantai landai terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai selatan Kalimantan;

• Tipe pantai campuran terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur;

• Tipe pantai terjal terdapat di sebagian pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera;

• Pada pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), sering terdapat sungai besar yang mengalir ke laut, yang sangat berpengaruh terhadap bentuk dan tipe pantai di sekitarnya serta material yang membentuknya, ada yang membentuk laguna (Segara Anakan), delta (Delta Mahakam) atau gumuk pasir.

Mengingat kondisi wilayah pesisir yang unik dengan berbagai tipe tersebut, maka faktor-faktor yang bekerja di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, dan salinitas jauh lebih berfluktuasi daripada di lautan atau perairan darat (sungai dan danau). Besaran (magnitude) faktor tersebut berubah secara berangsur dari arah darat ke laut lepas. Karakteristik geomorfologi dan oseanografi yang sangat dinamis namun rentan terhadap dampak eksploitasi, inilah yang mendorong kebutuhan sehingga wilayah pesisir harus dikelola dan diatur pemanfaatannya secara khusus dan hati-hati (Latief, 2008), baik itu untuk kepentingan pemanfaatan sumberdaya alamnya, maupun mitigasi bencana.

2.1.1. Pentingnya Sumberdaya Pesisir

(45)

ekonomi, industri , dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies), terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia beroperasi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir. Sampai tahun 2000, sekitar 30 % PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa-jasa lingkungannya. Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversitas laut tropis terkaya di dunia, dimana 30 % hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30 % terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60 persen konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 % ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut dari garis pantai (shoreline) (Pratikto, 2005). Ekosistem pesisir dapat mengurangi dampak bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti tsunami, gelombang pasang, banjir, dan abrasi (Dahuri et al., 1996).

2.1.2. Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan jasa lingkungan yang penting bagi kehidupan bangsa. Menurut Ma’arif (2007) sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir berdasarkan nilai ekonomis meliputi :

• Nilai ekosistem terumbu karang (ikan karang, lobster) memberikan nilainya 466 – 567 juta US$, ekosistem mangrove sebesar 569 juta US$, dan rumput laut sebesar 16 juta US$;

• Nilai ekspor udang mencapai Rp. 1 triliun dan ikan hias sebesar 32 juta US$/thn (1996). Sumbangan pada devisa negara sebesar 1,9 milyar US$ (2005);

• 25% kegiatan perekonomian Indonesia dari kegiatan di pesisir (Hopley Suharsono, 2000) dan mampu menyerap 14 juta tenaga kerja;

• Nilai migas dari kawasan pesisir sebesar 5,2 trilliun (ADB, 1995). Selain itu wilayah pesisir memiliki potensi SDA seperti emas, nodule, mangan, pasir besi, timah, lempung kaolin, dan pasir kuarsa;

• Nilai ekonomi kegiatan pariwisata menyumbangkan 248 – 348 juta US$.

(46)

42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % mangrove telah rusak dan 40 % gisik (beach) telah mengalami abrasi (Pratikto, 2005).

2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir

Keragaman karakteristik wilayah pesisir yang dimiliki negara Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan yang terintegrasi sehingga memudahkan penerapannya. Adanya berbagai potensi sumber daya alam, bencana alam dan kendala kondisional, situasional serta lokasional di wilayah pesisir mengharuskan pemerintah menyiapkan seperangkat kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation.

Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan. Dengan demikian selain kebijakan merupakan suatu pengetahuan, masyarakat juga mempunyai rasa memiliki terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu masyarakat menjadi sangat peka dan akan cepat mengetahui bilamana kebijakan pemerintah tidak berpihak kepadanya (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Selanjutnya dikemukakan juga bahwa kebijakan adalah keputusan publik yang penyusunannya dipengaruhi oleh nilai sosial. Menurut Sanim (2006) kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Setidaknya ada tiga alasan utama perlunya kebijakan publik, yaitu (1) mencegah keterbatasan prasarana dan sarana (kegagalan pasar); (2) memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal (keterbatasan kerangka kompetitif); dan (3) menentukan harga/tarif yang terjangkau oleh masyarakat (tujuan distribusional). Dunn (1998) menyatakan bahwa ada tiga komponen atau elemen dalam suatu sistem kebijakan, yang jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah pesisir dapat digambarkan sebagaimana Gambar 9.

(47)

tetapi tidak untuk menggantikan politik dan membangun elit teknokratis (Dunn, 1998).

Gambar 9. Sistem kebijakan

Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi

Menurut Dunn dalam Nugroho (2007), metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang dipakai dalam pemecahan masalah manusia (Gambar 10).

[image:47.596.126.525.120.334.2]

Gambar 10. Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi

Dalam pembangunan wilayah pesisir, mengikuti prosedur umum analisis kebijakan (Dunn, 1998), maka lima komponen dalam analisis kebijakan dapat diuraikan sebagai berikut (Forum Mitigasi, 2007):

1. Definisi, yaitu informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan (Dunn dalam Nugroho, 2007).

Indonesia adalah negara rawan bencana alam yang mengakibatkan

PELAKU KEBIJAKAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN KEBIJAKAN PUBLIK

• Wilayah pesisir

• Aksesibilitas : Infrastruktur dan dana

• Peningkatan kapasitas

• Pengurangan risiko bencana

• Privatisasi gisik (beach)

• Kriminalitas : Penebangan pohon, peledakan perairan, penambangan pasir gisik (beach)

• Penganggur/ w arga berpendidikan rendah

• diskriminasi

• Analis Kebijakan

• Pemerintah

• Pengusaha

• Koperasi dan UKM

• Perguruan Tinggi

• Masyarakat

• LSM

Definisi Prediksi Preskripsi Deskripsi Evaluasi

Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi

yangmenimbulkan

masalah kebijakan

Menyediakan informas i mengenai nilai dari

konsekuensi alternatif

kebijakan di masa mendatang

Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah

yang terjadi saat ini

Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa

mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika

tidak melakukan sesuatu

Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa

(48)

kerugian harta dan jiwa dalam jumlah besar. Sejak tahun 1600 sampai dengan tahun 2005, bencana tsunami telah menimbulkan korban sekitar 361.905 jiwa di Indonesia dan Filipina (ITDB/WRL, 2005 dalam Latief et al.,

2000). Selain bencana tsunami yang melanda pesisir bagian Barat pulau Sumatera, bagian Selatan pulau Jawa dan lainnya, hampir sebagian besar provinsi maritim Indonesia juga dilanda gelombang pasang yang menimbulkan abrasi. Setyawan (2007) dan Prasetya (2006) menyebutkan bahwa di Indonesia, abrasi pesisir dimulai pada tahun 1970 an wilayah pantai utara pulau Jawa ketika hutan mangrove berubah menjadi tambak ikan dan kegiatan budidaya perairan lainnya, serta perkembangan disepanjang pantura yang tidak terkelola dan pengelolaan sungai-sungaii yang kurang tepat. Abrasi pesisir terjadi hampir diseluruh provinsi maritim (Bird dan Ongkosongo, 1980; Syamsudin et al., 2000; Tjardana, 1995, dalam Prasetya, 2006) seperti Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi Selatan (Nurkin, 1994 dalam Prasetya, 2006), Bali (Prasetya dan Black, 2003 dalam Prasetya, 2006) dan Jawa Barat (Setyawan, 2007). Guna menanganiabrasi pesisir tersebutdari 1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US$ 79.667 juta (Prasetya, 2006). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membutuhkan kebijakan baru untuk melakukan pengembangan wilayah pesisir.

2. Prediksi, yaitu informasi mengenai konsekuensi di masa yang akan datang akibat penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu (Dunn, dalam Nugroho 2007).

(49)

masyarakatnya. Untuk itu wilayah pesisir pengelolaannya harus diberi perlindungan yang memadai dengan solusi lunak, solusi keras atau kombinasi (Latief, 2008).

3. Preskripsi, yaitu informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang (Dunn dalam Nugroho, 2007)

Prasetya (2006) mengemukakan parameter utama yang dibutuhkan untuk memahami identifikasi abrasi sebagai masalah di zona pesisir yaitu :

• Geomorfologi pantai yaitu tipe garis pantai dan sensitivitas terjadinya pantai

• Angin merupakan faktor utama penyebab timbulnya gelombang;

• Gelombang merupakan kekuatan terpenting penyebab abrasi pantai;

• Air pasang merupakan tenaga influential terhadap morfodinamik pantai;

• Vegetasi pantai merupakan komponen yang menjaga stabilias kemiringan pantai, dan pelindung garis pantai;

• Aktivitas manusia sepanjang pantai mempengaruhi stabilitas garis pantai; Aktivitas manusia di pantai (onshore) dan lepas pantai (offshore), penambangan pasir dan terumbu karang, serta pengerukan muara dapat meningkatkan abrasi pantai (shore abrasion).

Selanjutnya tindakan peningkatan ketahanan lingkungan pesisir membutuhkan konsekuensi sebagai berikut:

• Solusi lunak, seperti pengisian gisik (beach nourishment), membangun gunuk (dune building), rekonstruksi (reconstruction), dan revegetasi pesisir (coastal revegetation).

• Solusi keras, seperti krib/tanggul tegak lurus pantai (groyne), perlindungan lereng (slope protection/seawall/bank revetment), pemecah ombak (breakwater) dan penguat ujung krib/tanggul (artificial headland).

• Kombinasi pengisian gisik (beach nourishment), krib tegak lurus gisik (groynes), revegatasi (revegetation) dan terumbu karang buatan (artificial reefs).

• Implikasi sosial dan lingkungan, pedoman umum mengelola abrasi pesisir dan pilihannya termasuk biaya.

(50)

vegetasi sangat dipertimbangkan sebagai alternatif yang paling memungkinkan untuk dipergunakan bersama struktur buatan untuk meredam berbagai bahaya alami yang sering terjadi di wilayah pesisir.

4. Deskripsi, yaitu informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan (Dunn dalam Suharto, 2006).

Untuk memperoleh informasi saat ini, masa lalu dan mendatang para pakar menggunakan alat analisis untuk membantu mengidentifikasi situasi hutan dan pepohonan yang sesuai untuk melindungi pesisir (Latief dan Hadi, 2006) terhadap (i) tsunami; (ii) siklon; (iii) abrasi/erosi pantai; (iv) angin dan semburan garam.

Langkah yang dilakukan untuk membangun alat tersebut adalah sebagai berikut:

• Mengidentifikasi berbagai kriteria yang dapat mempengaruhi kemungkinan memanfaatkan hutan untuk perlindungan pesisir.

• Membuat urutan garis besar tahapan kepentingan dan tingkat informasi yang dapat diberikan.

• Meletakan kriteria dalam format yang berbeda.

• Melakukan uji kriteria untuk kondisi lokasi spesifik.

Saran-saran yang telah dibuat untuk kriteria awal yang memungkinkan sebagai berikut:

• Apakah garis pesisir dipengaruhi oleh bahaya alami?

• Apakah perlindungan pesisir saat ini ada?

• Apakah disitu ada penduduk atau aset yang hendak dilindungi? Kriteria yang muncul dalam alat analisis disarankan sebagai berikut:

• Adakah ruang yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?

• Adakah biaya yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?

• Adakah bentuk lain perlindungan pesisir yang lebih sesuai?.

5. Evaluasi yang akan mengemukakan kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah, (Latief dan Hadi, 2006; Fritz dan Blaunt, 2006; Takle

et al., 2006; Prasetya, 2006; Preuss, 2006; dalam FAO, 2006) adalah sebagai berikut :

(51)

semburan garam serta abrasi pesisir.

• Tingkat perlindungan yang ditawarkan/diberikan perisai hidup pesisir terga

Gambar

Gambar 1.  Peta sebaran lempeng tektonik dunia   Sumber : Departemen ESDM, 2007
Gambar 2. Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di
Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone) Sumber : Brahtz 1972; Soegiarto, 1976; Beatley, 1994; Dahuri, dkk., 1996 dalam Latief, 2008
Gambar 10.   Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Penjurian dilakukan dengan menggunakan sistem Blind Referee yang terdiri dari. Regulator, Praktisi,

diketahui secara keseluruhan hasil penelitian dari 50 responden menunjukkan bahwa nilai tertinggi untuk pengaruh teman sebaya terhadap perilaku merokok berada pada kategori

Kinerja link yang efektif menyerap gempa ditunjukkan dengan kelelehan yang mampu membentuk sudut rotasi inelastik yang cukup besar pada link, dimana hal ini direncanakan terjadi

pembelajaran. Siswa ditanya tentang cuaca dan iklim. Siswa dilihatkan beberapa video tentang cuaca dan iklim. Siswa dimintai pendapat tentang video yang telah

Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri bertujuan untuk mengoptimalkan seluruh kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah dengan analisa yang

1) tidak menyelesaikan studi sesuai dengan kualifikasi program yang tertera pada Surat Keputusan Penerima Beasiswa tanpa unsur kesengajaan. 2) mengundurkan diri setelah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan sawit muda dan pertumbuhan serta produksi jagung sebagai tanaman sela diantara tanaman sawit pada

A.24 Apakah implementasi kebijakan pengelolaan aset di DPKAD Kota Tangerang sudah sesuai dengan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota yang