Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Yulianti 1110044100074
K O N S E N T R AS I P E R A D I L A N A G A M A PRO GRAM ST UDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI AH DAN H UKUM UNI VE RSITAS ISL AM NE GE RI
SYARI F HI DAYAT ULLAH J A K A R T A
v
Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. isi: x + 77 halaman + 55 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemberian dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa. Permohonan dispensasi nikah diajukan dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat keluarga dari segala perilaku yang dilarang dan menyimpang dari nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku. Demi menghindari kemudharatan yang lebih besar, pernikahan di bawah umur seringkali menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kalangan remaja, yang disebabkan hamil di luar nikah. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan “calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Serta adanya faktor-faktor yang menjadi alasan pemohon dalam mengajukan sebuah permohonan dispensasi nikah dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan dispensaasi nikah apakah lebih mengarah kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangganya atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif, jenis data yang dipergunakan adalah data primer berupa putusan-putusan Pengadilan Agama Tigaraksa dan data sekunder. Mengenai data penelitian penulis memperoleh data dari wawancara dan studi kepustakaan. Dan teknik penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menjadi alasan pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah, yaitu karena faktor pendidikan, faktor psikologis, faktor hamil sebelum menikah dan karena faktor ekonomi. Faktor-faktor yang menjadi alasan pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Tigaraksa adalah menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah penetapan dispensasi nikah bahwa hakim melihat atas dasar menolak kemafsadatan adalah lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
vi
Puji Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Allah subhanahu wata'ala atas segala
limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya , sehingga Penulis mendapatkan kekuatan
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Praktik Pemberian Dispensasi Nikah
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun
2013)”.
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna meraih
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Program Studi
Konsentrasi Peradilan Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan sampai
selesainya skripsi ini, untuk itu ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Kamarusdiana, S. Ag, MH, dan Ibu Sri Hidayati. M. Ag, selaku Ketua
dan sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Maskufa , MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Syari‟ah dan
vii
karyawan Pengadilan Agama Tigaraksa yang telah membantu memberikan data,
referensi dalam penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen di Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang dengan tulus telah
menyalurkan ilmunya kepada penulis selama kuliah dikampus tercinta ini,
semoga apa yang telah menjadi diajarkan menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia
dan akhirat.
7. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum dan Perpustakaan
Utama (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka.
8. Teristimewa buat ayahanda Suhendra dan ibunda Asmawati yang selalu
memberikan kasih sayang, perhatian, nasehat dengan penuh keikhlasan dalam
menghadapi penulis karena mereka menjadi sumber inspirasi bagi penulis.
Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat dan kesehatan serta membalas atas
kebaikan mereka berdua. Serta terimakasih kakakku tersayang Jaenal, Romdon
dan yang tersayang Ahmad Muhajir, S.Pd., SD, yang tidak pernah berhenti selalu
memberikan support agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini.
9. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Kostan Kerta Mukti Inayah Maily, Khoirun
nisa, Sainah, Azizah Mufti, Rena soraya, Rifki Abdurahman, Neneng
viii
10.Teman KKN Gemeter 2013 Bogest, Falwan, Amir, Deni, Maul, Daud, Reza,
Fadli, Rahmat, Cu‟ul, Vida, Rika, Dita, Ulfiyii, Eka, Arini, yang banyak
memberikan masukan, motivasi dan support dalam banyak hal termasuk canda
tawa yang menghibur.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT.
Akhirnya semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari Allah SWT. Amin yarabbal alamin.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 07 Januari 2015
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Review Penelitian Terdahulu ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II DISPENSASI NIKAH DAN BATASAN USIA PERNIKAHAN ... 15
A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah ... 15
B. Batasan Usia Minimum Pernikahan ... 18
C. Faktor Pendorong Pernikahan di Bawah Umur ... 29
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA DAN MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG ... 35
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa ... 35
B. Visi, Misi Dan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa ... 36
C. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa ... 38
x
B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pemberian
Dispensasi Nikah Tahun 2013 di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 47
1. Deskripsi Putusan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa Tahun 2013... 47
2. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...
1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ...
2. Surat Permohonan Data/Wawancara...
3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian (Hasil Data/Wawancara) ...
4. Hasil Data Wawancara Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa ...
1 A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia. Ia bahkan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia normal. Tanpa
perkawinan, kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna dan lebih dari itu,
menyalahi fitrahnya.1
Perkawinan merupakan bagian dari aturan-aturan yang disyari‟atkan oleh
Islam yang secara umum mempunyai tujuan yang sama yaitu memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.2 Perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”3
Perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
1
Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Untuk Kawin (Jakarta : Kencana Mas Publishing House, 2006), h. 3.
2
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 25.
3
Direktorat jendral pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum
kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.4
Oleh karena itu pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah pihak
agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan demikian perlu
adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak secara mental maupun material.
Tujuan mendirikan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sering tidak seperti
yang diharapkan, atau bisa dikatakan kandas ditengah jalan. Kegagalan ini
biasanya disebabkan oleh pemangku tanggung jawab belum cukup dewasa, baik
secara fisik maupun mental.5
Adapun salah satu bentuk permasalahan yang sering muncul dalam
pelaksanaan perkawinan adalah tentang penentuan batas umur untuk
melangsungkan perkawinan. Penentuan batas umur melangsungkan perkawinan
sangatlah penting sekali. Karena suatu perkawinan di samping menghendaki
kematangan biologis juga psikologis. Maka dalam penjelasan umum
Undang-undang perkawinan dinyatakan, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat
4
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor; Kencana, 2003), h. 22.
5
keturunan baik dan sehat. Selain itu pembatasan umur ini penting pula artinya
untuk mencegah praktek kawin yang terlampau muda seperti banyak terjadi di
desa-desa yang mempunyai akibat negatif.6
Pernikahan berubah menjadi haram apabila dilakukan oleh orang-orang
yang berusia relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan
mengurus rumah tangga. Apabila kawin dalam usia yang belum cukup umur, ia
akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang dalam
keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk
menikah dapat dikatakan perbuatan tercela.7
Oleh karena itu perlu adanya pendewasaan usia kawin dalam arti
mengusahakan penundaan kawin sampai seseorang cukup dewasa agar mencapai
kematangan fisik, psikis, ekonomis dan mental adalah suatu ikhtiar manusia yang
patut dihargai dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini telah terbukti bahwa
kawin diusia muda banyak membawa penderitaan dan tidak sedikit yang
mengalami perceraian, sebaliknya kawin dalam usia cukup dewasa banyak
membawa manfaat dan kemaslahatan, baik bagi keluarga yang bersangkutan
maupun bagi masyarakat dan negara untuk menunjang berhasilnya program
6
K. Wantjik Saleh, hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta; Balai Aksara, 1987), h. 26.
7
kependudukan dan keluarga berencana dalam rangka memperlambat laju
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.8
Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan perkawinan diperlukan
suatu dispensasi nikah dari pengadilan melalui permohonan dari orang tua atau
wali yang bersangkutan. Pengadilan merupakan salah satu badan hukum yang
berwenang dalam memberikan izin nikah bagi mereka yang masih belum
mencapai umur yang telah ditetapkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang termuat dalam pasal 7 ayat (1) “ Perkawinan
hanya diijinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.” Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
15 ayat (1): “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16
tahun”.9
Masalah pembatasan umur ini penting sekali artinya karena bermaksud
untuk mencegah terjadinya praktek kawin yang terlalu muda atau perkawinan
anak-anak, dimana hal ini dikarenakan oleh kurangnya informasi, pergaulan bebas
dan kurangnya penyuluhan yang diterima oleh suatu masyarakat. Sehingga hal ini
8
Fokusmedia, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan TentangPerkawinan), h. 4.
9
menyebabkan terjadinya perkawinan yang masih di bawah usia minimum
perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, pasal 1
dijelaskan bahwa definisi anak adalah yang usianya di bawah 18 tahun. Pasal 26
ayat (1) poin (c) yaitu tentang orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.10
Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam
pelaksanaannnya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Banyak sekali terjadi
perkawinan pada anak masih dibawah umur, semantara umur mereka belum
mencapai standar yang ditentukan Undang-undang. Sebenarnya Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) adalah untuk mendorong agar orang
melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah.
Hal ini seperti kebanyakan yang terjadi di Kabupaten Tangerang bahwa
masyarakatnya masih ada yang telah melakukan perkawinan diusia muda.
Kenyataan tersebut dapat terlihat dalam fenomena dispensasi perkawinan yang
terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa. Sesuai dengan data yang diperoleh tahun
2013 terdapat 5 penetapan yang diputus. Nampak jelas dari kenyataan tersebut
bahwa kasus dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa,
apabila masalah dispensasi perkawinan diamati secara individual, dianalisis pada
10
level individu calon pasangan, maka akan ditemukan beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya dispensasi kawin anak dibawah umur.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Kabupaten
Tangerang melakukan dispensasi perkawinan. Sebagian besar dikarenakan
kemerosotan moral (banyaknya pergaulan bebas) dimasyarakat Kabupaten
Tangerang, atau dikarenakan faktor ekonomi dalam keluarga yang memaksa
mereka untuk kawin diusia muda, atau karena faktor pendidikan.
Sehubungan dengan hal tersebut yang dikarenakan oleh suatu keadaan
yang memaksa, maka pemerintah telah membuat peraturan mengenai
penyimpangan terhadap batas usia perkawinan yang telah ditentukan yaitu yang
berbentuk Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2) menjelaskan
bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat menerima
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita.”11
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi kawin
terhadap anak dibawah umur (belum mencapai batas usia minimum) berlaku sejak
disahkannya Undang-undang Perkawinan dalam Peraturan Menteri Agama No. 3
Tahun 1975. Adapun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang
maupun peraturan pelaksanaannya tidak memberi alasan-alasan terperinci dalam
mengabulkan dispensasi kawin anak dibawah umur hanya didasarkan atas
11
penilaian hakim. Karena dengan tidak disebutkan suatu alasan yang penting itu,
maka dengan mudah saja setiap orang mendapatkan dispenasi kawin tersebut.
Penyusun merasa tertarik melakukan penelitian ini untuk lebih mengetahui
tentang apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan
dispensasi kawin di bawah umur di Pengadilan Agama Tigaraksa karena pada
daerah Kabupaten Tangerang berada pada daerah yang masyarakatnya masih
kurang pengetahuan tentang aturan hukum yang berlaku dan diteliti pula adakah
indikasi yang menunjukan bahwa perkawinan dibawah umur (19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita) dengan pemberian dispensasi nikah, lebih mengarah
kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga mereka atau
sebaliknya, sehingga penulis menyajikan dalam bentuk judul :
“PRAKTIK PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH (Studi Penetapan
Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun 2013)”.
B. Pembatasan dan Perumusam Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarahnya pembahasan ini, maka penulis membatasi
penelitian ini. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Tigaraksa.
Penelitian terfokus pada praktek Pengadilan Agama Tigaraksa tentang
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1): Perkawinan hanya diijinkan jika
pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan pernikahan
diperlukan suatu dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Tetapi
kenyataannya masih ada masyarakat yang melakukan perkawinan dengan
usia laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan perempuan belum mencapai
usia 16 tahun, tanpa melakukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama.
Dari persoalan di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apa saja dasar pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam memutuskan perkara tentang dispensasi nikah pada tahun 2013?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang muncul dalam penulisan ini,
maka tujuan penelitian ini bertujuan untuk :
“Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas cakrawala
berpikir kita tentang hukum Islam khususnya dalam permasalahan yang
berkaitan dengan masalah perkawinan.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi kalangan
remaja untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah ilmiah mengenai
permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan di usia dini.
D. Review Terdahulu
Dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya
dengan dispensasi kawin. Masih ada peneliti sebelumnya yang telah melakukan
penelitian tentang permasalahan dispensasi perkawinan dibawah umur,
diantaranya :
Pertama, Nurul Khadijah (103044228121) / 2009 M/1430 H. dengan judul
Pemahaman masyarakat kec. Bogor Barat Kota Bogor tentang Dispensasi Nikah.
Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pemahanan masyarakat Bogor Barat
tentang Dispensasi nikah. Bahkan skripsi yang penulis buat itu tentang praktik
pemberian Dispensasi Nikah hakim dalam memberikan pertimbangannya untuk
mengabulkan permohonan dispensasi nikah.
Kedua, Mauly Shofia Chaerani (107044201826) / 2012 M/1433 H. Yang
16/Pdt.P/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi ini
mengungkapkan atau menjelaskan mengenai analisis penetapan perkara No:
16/Pdt.P/2008/PA.JT, tentang diperbolehkannyapernikahan di bawah umur.
Skripsi yang penulis bahas terfokus kepada praktik pemberian dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Tujuan dariUndang-undang No. 1 Tahun 1974
pada Pasal 7 ayat (2) dan lebih mengarah kepada pertimbangan hakim untuk
kemaslahatan rumah tangga mereka.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan penggabungan dari penelitian normative dan
penelitian empiris. Penelitian normative dilakukan dengan cara mempelajari data
sekunder berupa buku-buku dan perUndang-undangan yang berkait dengan
masalah yang dibahas. Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan
menganalisa penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa dari beberapa penetapan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan masalah disini adalah pendekatan kualitatif yuridis normativ
yaitu metode ini dilakukan dan ditunjukkan pada praktik pelaksanaan hukum
terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta praktiknya dan
3. Sumber Data
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu :
a. Data Primer
Sumber Data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Sumber data primer yang digunakan adalah berupa berkas-berkas surat
permohonan dispensasi nikah, hasil Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa
tentang dispensasi nikah tahun 2013 terdapat 5 penetapan yang diputus yaitu:
Penetapan No. 0352/Pdt.P/2013/PA.Tgrs, 0455/Pdt.P/2013/PA.Tgrs,
172/Pdt.P/2013/PA.Tgrs, 173/Pdt.P/2013/PA.Tgrs dan
0375/Pdt.P/2013/PA.Tgrs. Kemudian data yang diperoleh langsung melalui
wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari Al-Qur‟an,
hadits, buku-buku ilmiah, artikel, Undang-undang serta peraturan-peraturan
lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa:
a. Studi Dokumenter
Mencari dan melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan
b. Wawancara (Interview)
Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Wawancara ini
dilakukan langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu
dengan Bapak Drs. Muhyar, S.H., M.H terhadap pertimbangan dan
mekanisme dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi nikah
5. Pengolahan Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan
diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu
usaha menggolongkan data berdasarkan kategori tertentu.
6. Teknik Analisis Data
Bahan yang telah diperolah lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa sehingga agar menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Data-data yang ada dianalisis untuk dijadikan dasar pijakan dalam
menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan yang diteliti, yakni sebab
timbulnya adanya dispensasi pernikahan dibawah umur yang diperbolehkan di
Pengadilan Agama Tigaraksa.13
12
Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 135.
13
Metode Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.14
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah bab perbab, dimana antara bab satu dengan bab yang lainnya itu memiliki
keterkaitan, sistematika yang penulis maksud adalah sebagai berikut:
Bab satu dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah. Dalam hal ini penulis mengemukakan tentang pernikahan dan
tujuan dari perUndang-undangan. Setelah itu, dikemukakan pembatasan dan
perumusan masalah. Kemudian dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat
penelitian, review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang dispensasi nikah di bawah umur yang di
dalamnya akan diuraikan tentang pengertian dan landasan hukum dispensasi
nikah, batasan usia minimum pernikahan, faktor pendorong pernikahan dibawah
umur.
Bab tiga membahas tentang profil Pengadilan Agama Tigaraksa dan Profil
masyarakat Kab. Tangerang yang di dalamnya memuat sejarah singkat
Pengadilan Agama Tigaraksa, visi misi dan struktur organisasi Pengadilan Agama
14
Tigaraksa, tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa serta dikemukakan juga
tipologi Kabupaten Tangerang.
Bab empat mengemukakan tentang hasil penelitian penulis yaitu analisis
terhadap Penetapan dan pertimbangan hakim dalam pemberian dispensasi nikah,
yang terdiri dari faktor dan dampak pernikahan dibawah umur, serta analisis
terhadap pertimbangan hukum hakim dalam pemberian dispensasi nikah.
Bab lima disajikan penutup berupa kesimpulan dari data dan kajian yang
telah diolah dan dianalisis menjadi pokok permasalahan. Selain itu, kesimpulan
juga disertai saran-saran yang berhubungan dengan dispensasi nikah. penulis juga
15
A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian
dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu
kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya
dilarang oleh pembuat Undang-Undang.1 Sedangkan menurut C.S.T Kansil dan
Christine S.T Kansil, Dispensasi adalah suatu penetapan yang bersifat deklaratoir,
yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku
bagi kasus sebagai diajukan oleh seorang pemohon.2
Peraturan tentang pelaksanaan pernikahan telah di atur dalam
undang-undang nomor 1 tahun 1974. Termasuk diatur tentang syarat-syarat perkawinan ,
salah satu syaratnya adalah ditentukannya batasan usia untuk melangsungkan
pernikahan, yaitu bagi laki-laki sudah berumur 19 tahun dan 16 tahun bagi
perempuan. Jika salah satu dari calon mempelai tidak memenuhi syarat dalam hal
usia, maka harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Sesuai
dengan tugas dan wewenang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi Ke-4, h. 335.
2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:3
a. Perkawinan
b. Warisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infak
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi Syari‟ah
Yang dimaksud dengan “Bidang Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari‟ah, antara lain, dispensasi nikah dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang batas usia minimal atau seseorang
belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan jika tidak terpenuhi maka
seseorang tidak dapat melangsungkan pernikahan.
3
Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
“ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”.
Yang dimaksud dengan Pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi
mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan
kompetensi Peradilan Agama.
Adapun ketentuan landasan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang
belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita adalah
pasal 7 ayat (1) sampai (3) undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pasal 7 ayat (1) dinyatakan: “Bahwa perkawinan hanya diizinkan bila
pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.
Kemudian dalam ayat (2), “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Dan ayat 3 adalah “K
etentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6
ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6
ayat (6)”.4
4
Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan batasan usia untuk menikah
yang belum mencapai usia minimum perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1) dan (2) mengatur calon mempelai yang ingin
menikah tetapi belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan, dalam pasal tersebut disebutkan dalam ayat (1) “Bahwa untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Kemudian ayat
(2) juga menyatakan “bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) UU No.1 Tahun1974”.5
B. Batasan Usia Minimum Pernikahan
Sebelum Perkawinan dilakukan, tentunya persyaratan untuk dapat
melangsungkan perkawinan harus dipenuhi. Misalnya tentang ketentuan batas
usia minimum untuk menikah sangatlah penting. Calon suami atau isteri harus
berusia minimal 19 tahun, karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil
akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama dan
5
budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan sekedar bersifat
biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial.6
1. Batasan Usia minimum Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan merupakan hubungan sesama manusia oleh agama di atur
dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu
syarat utama keabsahan suatu perkawinan adalah apabila yang bersangkutan
(calon suami isteri) telah akil baligh. Akil baligh inilah yang dijadikan patokan
sebagai umur minimal bagi calon suami-isteri yang layak untuk kawin. Ajaran
Islam tidak pernah memberikan batasan yang definitive pada usia berapa seorang
dianggap dewasa.7 Tidak adanya ketentuan agama tentang batasan usia minimal
menikah dianggap sebagai sebuah rahmat, sehingga dalam penentuan untuk
menikah membuka kesempatan timbulnya masalah ijtihadiyyah. Dalam arti diberi
kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas untuk menikah.
Dalam soal usia nikah, Islam memberi ancar-ancar dengan kemampuan
(Istitho’ah), yaitu kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir bathin kepada isteri dan anak-anak maupun kemampaun dalam
mengendalikan gejolak emosi yang menguasai diri. Jika kemampuan telah ada,
ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk menikah, namun jika belum
mampu dianjurkan untuk berpuasa terlebih dahulu. Selain itu, sebelum
6
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta: Grahacipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 33
7
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
melangsungkan perkawinan calon mempelai patut memiliki kemampuan dan
kesediaan untuk merawat diri sendiri.8
Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama, disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan perkawinannya kalau telah “mimpi” dan wanita juga telah
menstruasi. Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita
telah dewasa atau akil baligh. Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada
kondisi (alam) dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada
umumnya pada usia 13 (tiga belas) atau 14 (empat belas) tahun. Kini keluarga
dalam masyarakat kontemporer menentukan batas umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi Negara masing-masing.9
Menurut para ulama, masalah usia dalam perkawinan sangat erat
hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena
perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan
dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah
tangga diminta kemampuannya secara utuh. Kemampuan yang dihubungkan
dengan hukum sebagai terjemahan dari kata ahliyah dalam bahasa arab yang
berarti kesanggupan, kecakapan atau kewenangan yang ada.10
8
Abd al-Rahim Umar, Islam dan Kb, terj. Muhammad Hasyim, (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), Cet. Ke-1, h. 68
9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2, h.96.
10
Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda. Kedatangan
tanda-tanda tersebut diatas tidak dalam usia yang sama antara pria dan wanita ada
kemungkinan tidak sama pula. Tergantung kematangan fisik masing-masing, ada
yang lebih cepat ada yang sedikit lambat dari yang lainnya. Berdasarkan uraian
itu maka kedewasaan ditentukan dari mimpi dan rusyd. Akan tetapi umur mimpi
dan rusyd terkadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah
bermimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan
dalam perbutan sehari-hari.11
Karena itu pada dasarnya kedewasaan dapat di tentukan dengan umur dan
dapat pula dengan tanda-tanda. Tanda-tanda kedewasaan seseorang dapat dilihat,
misalnya pada laki-laki terjadi perubahan suara yang besar, tumbuh bulu ketiak,
tumbuh zakun dan lain sebagainya. Dan bagi wanita yaitu telah mengalami
menstruasi, tumbuh bulu ketiak, perubahan pada payudaranya dan lain sebagainya
ini adalah tanda-tanda kedewasaan yang wajar dan alamiah, yang akan dialami
oleh setiap orang dan biasanya bagi laki-laki ketika menginjak umur 15 tahun dan
wanita sekitar 9 tahun.12
Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka
perkawinan di bawah umur adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut
11
Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer (buku dua); Kedewasaan Untuk Menikah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 83.
mayoritas ahli fiqh, dan di bawah usia 17 tahun atau 18 tahun menurut Abu
Hanifah.13
Adapun Hukum melakukan Pernikahan di bawah umur, menurut
pandangan Jumhur Fuqoha menyatakan mengesahkan perkawinan di bawah
umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal
bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya, beberapa argument yang
dikemukakan antara lain adalah sebagai berikut:14
s
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (QS. At-Thalaq (65): 4)
13
Imam Alaudin Al-kasani Abu Bakar Bin Mas‟ud, Badai’ al shanai, (Kairo: Dar al-hadits, 1426H/2005M), Juz III, h. 457.
14
Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
Ayat ini menjelaskan masa iddah (masa menunggu) untuk
perempuan-perempuan yang sudah menopause dan untuk perempuan-perempuan yang belum haid. Masa
Iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Dengan demikian
secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan
bisa dilaksanakan pada perempuan usia belia atau remaja, karena Iddah hanya
bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah menikah dan bercerai.15
Para ulama mazhab pada umumnya dahulu membolehkan seorang bapak
sebagai wali mujbir menikahkan anaknya baik itu laki-laki atau perempuan yang
masih di bawah umur seperti:
1. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan „Aisyah yang masih belia. Dalam hadits disebutkan: “sesungguhnya Nabi menikahi (Aisyah) pada saat usia 6
tahun dan menggaulinya pada saat usia 9 tahun dan hidup bersama selama 9
tahun.” Riwayat Al-Khamsah. Imam Muslim menambahkan “pada saat Nabi
meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.”16
2. Diantara para sahabat Nabi SAW, ada yang menikahkan putra-puytrinya atau
keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar menikahkan anak
perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.17
15
Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 69.
16
Manshur „Ali Nasif, Al-Taj Al-Jami’ Al Ushul Fi Ahadits Al-Rasul, (Beirut: Dar-al-Kutub al-„Arabiyah), Jilid II, h. 259.
17
2. Batasan Usia Minimum Perkawinan Menurut Hukum Positif
Batasan usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin.
Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara
atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah dibawah umur,
batasan usia nikah dibawah umur dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut:
1. Batasan usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, terdapat dalam BAB II syarat-syarat perkawinan pasal 6 ayat (2),
yaitu: “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan
pada pasal 7 ayat (1), yaitu: “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapaiusia 16 (enam belas) tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Dalam hal
penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria
atau pihak wanita. Dan pada ayat (3), yaitu: “Ketentuan-ketentuan mengenal
keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat(3) dan(4)
Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut
ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat
(6)”.18
18
2. Batasan usia nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 15 ayat (1),
yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16
tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Bagi calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6
ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 Tahun1974.” 19
3. Sedangkan batasan usia nikah menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHper), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: “Laki-laki yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang
belum mencapai 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah
berkuasa menghapus larangan ini dengan memberi “Dispensasi”.20
19
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 5-6.
20
3. Perbandingan Negara Batasan Usia Minimun Pernikahan
a. Negara Turki
Dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak
menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki 17 tahun bagi perempuan. Dalam
kasus tertentu pengadilan dapat mengijikan pernikahan pada usia 15 tahun
bagi laki-laki dan 14 tahunbagi perempuan setelah mendapat ijin dari orang
tua atau wali. Undang-undang yang mengatur umur nikah ini sudah
diamandemen pada tahun 1938. Saat ini (tahun 1972) dalam kasus-kasus
tertentu, pengadilan masih boleh mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun
bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam Fiqh Hanafi wacana
tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut umur, hanya
secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan dalah berakal dan
baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi
operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh
hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan
syarat keabsahan pernikahan.21
b. Negara Iran
Usia minimum boleh melaksanakan pernikahan bagi pria adalah 18
tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita. Bagi seseorang yang menikahkan
anaknya yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara antara 6
21M. Atho‟ Muzdhar dan Khaerudd
in Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
bulan hingga 2 tahun. Jika seseorang anak perempuan dikawinkan di bawah
usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat di penjara selama 2 hingga
3 tahun. Di samping itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenai denda 2-20 riyal.
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut bebeda
dengan pandangan hukum mazhab Ja‟fari. Menurut mazhab Ja‟fari, seseorang
telah dipandang dewasa (karenanya dapat melangsugkan perkawinan) jika
telah berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja‟fari juga
memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih
dibawah umur. dengan demikian, ancaman hukuman bagi wali yang
mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga
di Iran yang bersifat administratif.22
c. Negara Yaman Selatan
Sebagaimana hukum keluarga di negara-negara yang lain, Yaman
Selatan juga ditetapkan adanya batasan usia minimum pernikahan, yakni 18
tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, batasan ini
terkait dengan keabsahan akad nikah, hamnya disebutkan bahwa itu
merupakan sesuatu yang perlu untuk diperhatikan.
Masih terkait dengan usia calon pengantin, juga ditetapkan bahwa
perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari umur 20
tahun, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam
22
pandangan Fuqaha Klasik, tidak ada larangan seperti ini, yang sering
dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang beda usia
keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.23
d. Negara Tunisia
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah
berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5
Undang-undang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi
perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki
maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan pernikahan,
bagi perempuan yang masih berusia 17 tahun harus mendapaat izin dari walinya. Jika
sang wali tidak memberikan izin, maka perkara tersebut dapat diputuskan oleh
pengadilan. Akan tetapi, pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa
untuk dapat melangsungkan pernikahan, seorang laki-laki harus sudah mencapai usia
20 tahun dan perempuan telah mencapai umur 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang
belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari Pengadilan. Izin
tidak dapat diberikan jika tidak ada alasan-alasan yang kuat dan keinginan yang jelas
dari masing-masing pihak.24
e. Negara Maroko
Batas minimum usia di Negara Maroko bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan
bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan
dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.
Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-Qur‟an, al-Hadits
23
Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h.73.
24
maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh
merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali
mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun
perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara madzhab Syafi‟i dan Hambali
menetukan umur 15 tahun, dan hanya madzhab Hanafi yang membedakan batas umur
baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan perempuan 17 tahun.
Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki
15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa pada umur itu ada laki-laki
yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid sehingga bisa
hamil.25
C. Faktor Pendorong Perkawinan di Bawah Umur
1. Faktor Pendidikan
Pada dasarnya orang tua harus tahu dan paham bahwa pendidikan
merupakan upaya untuk memberikan bimbingan, tuntunan dan pembinaan pada
generasi bangsa dengan karakter sesuai cita-cita bangsa dan Negara. Tetapi
Rendahnya tingkat pendidikan maupun tingkat pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang
masih dibawah umur. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk
perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
25
Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan pemahaman secara
matang kepada individu untuk memilih atau memutuskan suatu hal. Individu
tersebut tidak menginginkan jika hal yang buruk yang tidak diinginkan menimpa
dirinya akibat dari keputusan yang telah diambil olehnya. Kalau pernikahan
dilakukan di bawah umur 20 tahun, maka secara emosi remaja masih ingin
berpetualang menemukan jati dirinya.
Kurangnya pendidikan bisa dikarenakan faktor ekonomi, dari faktor
ekonomi inilah seseorang tidak mampu melanjutkan pendidikan dan juga
dikarenakan oleh keluarga yang relative besar. Selain itu faktor social budaya
juga mempengaruhi kurangnya pendidikan, pendidikan masyarakat di lingkungan
sekitar yang tergolong rendah menyebabkan para remaja malas melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.26
2. Faktor Psikologis
Menurut teori psikologis seseorang dikatakan sudah memasuki usia
remaja yaitu usia 16 atau 17 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. Seseorang
disebut masa remaja apabila sudah ditandai dengan kematangan seksual dan
memantapkan identitasnya sebagai individu terpisah dari ketergantungan keluar,
mempersiapkan diri menghadapi tugas, menentukan masa depan dan mencapai
usia matang secara hukum.
26
Masa remaja disebut sebagai masa peralihan karena ada peralihan dari
masa pubertas menuju dewasa. Peralihan berarti terputusnya atau berubah dari
apa yang pernah terjadi sebelumnya. Peralihan berkaitan dengan perkembangan
dari setiap tahap. Apa yang pernah tertinggal pada satu tahap akan memberikan
dampak ketahap yang berikutnya. Selama periode peralihan, anak remaja banyak
mengalami perubahan baik secara fisik, psikologis, atau sosial.
Bentuk fisik remaja yang semakin sempurna dan mirip dengan orang
dewasa. Dengan demikian juga perkembangan intelektual, psikis, dan social. Dia
semakin ingin dapat status, bebas menetukan sikap, pendapat dan minat, ingin
menolong dan ditolong orang lain, belajar bertanggung jawab dan pola
pergaulannya yang sudah mengarah pada heteroseksual.27
3. Hamil sebelum menikah
Faktor ini saya pisahkan dari faktor di atas, karena jika kondisi anak
perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan
anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua
gadis ini tidak setuju dengan calon mantunya.tetapi karena kondisi kehamilan si
gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan
ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon
27
suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan
permohonan dispensasi kawin.28
Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis,
orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini,
jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana
perkawinan yang diamanatkan Undang-undang bahkan agama. Karena sudah
dapat di bayangkan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja di
kemudian hari bisa goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan
keterpaksaan (kehamilan).
4. Faktor Ekonomi
Kita masih menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang
sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi
mempunyai anak gadis, maka anak gadisnya akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada orang yang mempiutangi. Dan setalah anak itu dikawinkan,
maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.29
Banyak juga orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan
menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan
mengurangi beban ekonomi keluarga dapat membantu beban ekonomi kelurga
28
Abu Zahlan, Kawin Usia Muda Antara Citra Islam dan Keluarga Berencana, (Rindang NO. V tahun XII), h. 12.
29
tanpa berpikir akan dampak positif atau negatif yang terjadi atas pernikahan
anaknya yang masih di bawah umur.
5. Faktor Perintah Orang Tua
Pada kenyataannya, masih banyak orang tua yang melaksanakan
keinginannya untuk mengawinkan anak-anaknya, pada hal usianya masih relatif
muda yaitu belum mencapai usia minimal untuk menikah yang diatur dalam
undang-undang Perkawinan. Si anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mematuhi keinginan orang tua. Anak dinikahkan dengan laki-laki yang sama
sekali tidak dikenal.30
Orang tua kerapkali memaksakan keinginannya untuk mengawinkan
anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan untuk kebahagiaan anaknya.
Agar tidak menjadi perawan atau perjaka tua. Mereka berasumsi manikah di atas
usia ideal adalah aib, sebab ada kekhawatiran turunnya minat pria menikahinya.
Selain itu, Memet Tanumidjaja menambahkan faktor lain yang menjadi penyebab
perkawinan di bawah umur yaitu : Pertama, kurangnya perhatian atau pengertian
tentang agama Islam yang menekankan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang
tinggi dan mulia. Kedua, kurangnya pengetahuan tentang Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiga, adanya anggapan bahwa perceraian
bukan merupakan hal tercela, bahkan ada daerah yang bisa dikatakan kawin-cerai
beberapa kali sudah menjadi tradisi dan akan menambah status. Keempat, banyak
30
yang belum mengerti pentingnya pendidikan, dan banyak orang tua yang tidak
menyadari dampak negatif perkawinan usia muda terhadap kesalahan ibu dan
anak.31
31
35
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa
1. Legalitas Intitusi
Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor : 85 tahun 1996 tanggal 01 Nopember 1996 dan
Pengadilan Agama tigaraksa diresmikan pada hari kamis tanggal 21 Agustus 1997
bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awal 1418 H oleh Direktur Peradilan
Agama atas nama Menteri Agama bertempat di gedung Negara (Pendopo)
PEMDA Kabupaten DT.II Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.Kol. Agus
Junara menjabat sebagai Bupati.
2. Legalitas Yurisdiksi Relatif
Yurusdiksi relatif ( kewanangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum
kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara kabupaten
Tangerang dan kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996
antara Drs. H. ABDURAHMAN ABROR selaku Ketua pengadilan Agama
Tangerang kepada Drs. A.D. DIMYATI, SH selaku ketua pengadilan Agama
berdasarkan PERDA Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi
36 Kecamatan.
3. Infrastruktur Kantor
Pada saat diresmikan Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jln. raya
serang Km. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
Tangerang dengan luas bangunan 7 x 12 meter di atas tanah 864 meter. Pada
tahun 2002 Pengedailan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak
di Jalan mesjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten
Tangerang dengan luas tanah 2000 M dengan gedung berlantai 2 yang terdiri dari
ruang ketua, ruang wakil ketua, Ruang Panitera sekertaris, Ruang hakim, ruang
kesekretariatan, ruang kepaniteaan, 2 buah ruang sidang, ruang arsip, ruang
tunggu para pihak, ruang register, ruang komputer, ruang perpustakaan dan ruang
kasir.
B. Visi, Misi Dan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa
1. Visi
Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa
depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi. Visi
Mahkamah Agung dan kebijakan pimpinan selalu menjadi landasan berpijak dan
arah kebijakan Pengadilan Agama Tigaraksa, sesuai dengan tugas pokok dan
Visi Mahkamah Agung RI adalah "Terwujudnya Badan Peradilan
Indonesia Yang Agung". Pengadilan Agama Tigaraksa sebagai underbow
Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk
mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat.
Atas dasar itu maka Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan visi. visi
Pengadilan Agama Tigaraksa, yaitu : Mewujudkan Pengadilan Agama
Tigaraksa yang modern dan dipercaya.
2. Misi
Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh suatu
institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan
berhasil dengan baik. Misi Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut :
a. Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.
b. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Para Pencari
Keadilan
c. Meningkatkan kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan.
d. Meningkatkan Kredibelitas dan Transparansi Badan Peradilan.
Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan misi sebagai berikut:
a. Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan professional dengan biaya ringan
b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal
pada peradilan
c. Memperbaiki akses pada layanan hukum dan peradilan
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa
Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa mengacu pada
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, surat keputusan ketua
Mahkamah Agung nomor : KMA/004/II/92 tentang organisasi dan tata kerja
kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan KMA nomor
5 tahun 1996 tentang struktur organisasi peradilan. Berikut bagan struktur
organisasi pengadilan agama tigaraksa :
[image:48.612.126.526.127.519.2]Struktur Organsasi Pengadilan Agama Tigaraksa Kelas 1 B
Gambar.3.1. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa
C. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa
Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di
Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam
struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di
tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Tugas-tugas lain Pengadilan Agama ialah :
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam
kepada instansi Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.
2. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
3. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian,
pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.
4. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa
antara orang-orang yang beraga Islam.
Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk
menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang
perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah, dan ekonomi
Fungsi:
1. Melakukan pembinaan terhadap pejabat strukturan dan fungsional dan
pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun
administrasi umum
2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan
pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)
Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.
D. Tipologi Masyarakat Kabupaten Tangerang
Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat yang dinamis
dan gemar akan kesenian. Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini
adalah Seni Musik Gambang Keromong dan Tari Krecek yang merupakan tarian
pergaulan yang banyak berkembang di kawasan Teluknaga dan Kosambi.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tangerang pertahun selama
sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 3,77 persen lebih
tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Banten yang
hanya 2,78 persen per tahun. Dengan luas wilayah Kabupaten Tangerang sekitar
959,61 kilo meter persegi yang didiami oleh 2.834.376 orang maka rata-rata
tingkat kepadatan penduduk Tangerang adalah sebanyak 2.954 orang per kilo
meter persegi.
Pada tahun 2011, dari jumlah penduduk Kabupaten Tangerang sebanyak
Penduduk Usia Kerja (PUK 15 th keatas). Dari jumlah tersebut, hampir 70
persennya merupakan angkatan kerja dan sisanya adalah penduduk bukan
angkatan kerja. Selama tiga tahun terakhir ini jumlah angkatan kerja di Tangerang
terus menurun. Berbeda dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang
terus meningkat dari tahun ke tahun, terakhir pada tahun 2011 sampai pada level
69,46 persen.Jumlah penduduk yang terserap dalam dunia tenaga kerja dalam tiga
tahun terakhir juga terus menurun, untuk tahun 2011 sebesar 1,21 juta orang. Hal
ini sejalan dengan penduduk yang menganggur juga terjadi peningkatan yang
mengakibatkan tingkat pengangguran meningkat dari 14,01% di tahun 2010
menjadi 14,42% di tahun 2011.Berdasarkan lapangan pekerjaan, sektor industri
pengolahan menduduki peringkat pertama penyerapan tenaga kerja di Tangerang
dengan persentase mencapai 44,89 persen. Sektor industri merupakan sektor
ekonomi utama untuk menunjang perekonomian Kabupaten Tangerang. Disusul
kemudian oleh sektor perdagangan menduduki peringkat kedua dengan persentase
23,01 persen, sektor jasa sebesar 13,12 persen, sektor pertanian sebesar 6,22
persen dan sektor lainnya selain sektor diatas sebesar 12,76 persen. Sedangkan
menurut status pekerjaan, sebagian besar penduduk Tangerang atau sekitar 62,68
persennya berstatuskan buruh/karyawan. Selanjutnya peringkat kedua adalah
status berusaha sendiri sekitar 18,94 persen dan yang terendah adalah status
berusaha dibantu pekerja tetap hanya sebesar 2,3 persen.1
1
Kualitas sumber daya manusia sangatlah bergantung dari pembangunan di
bidang pendidikan. Indikator atau ukuran yang bisa digunakan untuk melihat
tingkat kemajuan pendidikan disuatu daerah antara lain adalah dengan melihat
prosentase melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendidikan tertinggi yang
ditamatkan. Tercatat tahun 2011 sekitar 95,86 persen dari total penduduk berusia
lima belas tahun ke atas memiliki kemampuan membaca dan menulis serta
rata-rata bersekolah selama 8,95 tahun atau kebanyakan memutuskan berhenti saat
menduduki kelas 3 SLTP.
Sedangkan untuk angka partisipasi sekolah penduduk Tangerang untuk
berbagai kelompok usia tercatat untuk tahun 2011, angka partisipasi sekolah
untuk kelompok usia SD, usia SLTP, dan usia SLTA masing-masing sebesar
98,66 persen, 88,41 persen dan 48,88 persen. Walaupun tamatan jenjang
pendidikan lebih tinggi dari pada SD mengalami peningkatan, namun bila melihat
kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi persaingan (antar
daerah dan global), maka pemerintah daerah masih harus bekerja keras untuk
dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Disamping berupaya untuk
memperbesar kesempatan masyarakat (khususnya dari masyarakat miskin) agar
dapat memperoleh pendidikan ke jenjang lebih tinggi, tapi juga berupaya
meningkatkan akses masyarakat untuk bisa menamatkan pendidikan di perguruan
Angka kemiskinan menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di
daerah tersebut. Batasan yang digunakan dalam menentukan penduduk miskin
adalah “garis kemiskinan” yaitu berdasarkan pengeluaran penduduk untuk
konsumsi makanan yang mencapai 2100 kalori per hari. Angka kemiskinan
Kabupaten Tangerang pada tahun 2010 sebesar 7,18 persen lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 6,55 persen. Berdasarkan data
Susenas 2010, jumlah penduduk miskin di Tangerang sekitar 205.100 orang.
Sedangkan garis kemiskinan untuk tahun 2010 sebesar 258.155
44
HAKIM DALAM PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH DI
PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA TAHUN 2013
A. Faktor dan Dampak Pernikahan di Bawah Umur
Faktor yang menjadi alasan pemohon dalam mengajukan permohonan
dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu: Hamil di luar nikah,
banyaknya kejadian hamil di luar nikah merupakan dampak dari kurangnya
perhatian orang tua kepada anaknya, terutama mengenai persoalan ajaran agama.
Kehamilan sebelum perkawinan merupakan hal yang tidak seharusnya
terjadi. Hal ini dikarenakan dalam ajaran agama, pasangan yang bukan suami istri
dilarang untuk melakukan hubungan seksual. Apabila seseorang telah mengetahui
adanya larangan ini dalam agama, maka seharusnya dia tidak melakukan hal
tersebut. Namun, nilai-nilai agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam
menjalankan hidup. Orang tua sudah jarang mengingatkan anak-anaknya tentang
ajaran agama. Hal ini menimbulkan kemerosotan moral yang dialami oleh
anak-anak. Mereka cenderung tidak memperdulikan aturan-aturan agama. Orang tua
seringkali bertindak terlambat. Mereka mengingatkan anak-anaknya ketika dalam
remaja adalah sesuatu yang wajar dan telah dianggap biasa. Padahal anak-anak
tetap butuh kontrol dari orang tua agar tidak bertindak berlebihan.