• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik pemberian dispensasi nikah (studi penetapan pengadilan agama Tigarakasa Kabupaten Tangerang tahun 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktik pemberian dispensasi nikah (studi penetapan pengadilan agama Tigarakasa Kabupaten Tangerang tahun 2013)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Yulianti 1110044100074

K O N S E N T R AS I P E R A D I L A N A G A M A PRO GRAM ST UDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI AH DAN H UKUM UNI VE RSITAS ISL AM NE GE RI

SYARI F HI DAYAT ULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. isi: x + 77 halaman + 55 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemberian dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa. Permohonan dispensasi nikah diajukan dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat keluarga dari segala perilaku yang dilarang dan menyimpang dari nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku. Demi menghindari kemudharatan yang lebih besar, pernikahan di bawah umur seringkali menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi kalangan remaja, yang disebabkan hamil di luar nikah. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan “calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Serta adanya faktor-faktor yang menjadi alasan pemohon dalam mengajukan sebuah permohonan dispensasi nikah dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan dispensaasi nikah apakah lebih mengarah kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangganya atau sebaliknya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif, jenis data yang dipergunakan adalah data primer berupa putusan-putusan Pengadilan Agama Tigaraksa dan data sekunder. Mengenai data penelitian penulis memperoleh data dari wawancara dan studi kepustakaan. Dan teknik penulisannya berdasarkan pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menjadi alasan pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah, yaitu karena faktor pendidikan, faktor psikologis, faktor hamil sebelum menikah dan karena faktor ekonomi. Faktor-faktor yang menjadi alasan pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Tigaraksa adalah menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah penetapan dispensasi nikah bahwa hakim melihat atas dasar menolak kemafsadatan adalah lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.

(6)

vi

Puji Syukur Penulis panjatkan Kehadirat Allah subhanahu wata'ala atas segala

limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya , sehingga Penulis mendapatkan kekuatan

menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Praktik Pemberian Dispensasi Nikah

(Studi Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun

2013)”.

Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi persyaratan guna meraih

gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Program Studi

Konsentrasi Peradilan Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Banyak pihak yang berperan besar dalam memberikan bantuan sampai

selesainya skripsi ini, untuk itu ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak H. Kamarusdiana, S. Ag, MH, dan Ibu Sri Hidayati. M. Ag, selaku Ketua

dan sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Maskufa , MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Syari‟ah dan

(7)

vii

karyawan Pengadilan Agama Tigaraksa yang telah membantu memberikan data,

referensi dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen di Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang dengan tulus telah

menyalurkan ilmunya kepada penulis selama kuliah dikampus tercinta ini,

semoga apa yang telah menjadi diajarkan menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia

dan akhirat.

7. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum dan Perpustakaan

Utama (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka.

8. Teristimewa buat ayahanda Suhendra dan ibunda Asmawati yang selalu

memberikan kasih sayang, perhatian, nasehat dengan penuh keikhlasan dalam

menghadapi penulis karena mereka menjadi sumber inspirasi bagi penulis.

Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat dan kesehatan serta membalas atas

kebaikan mereka berdua. Serta terimakasih kakakku tersayang Jaenal, Romdon

dan yang tersayang Ahmad Muhajir, S.Pd., SD, yang tidak pernah berhenti selalu

memberikan support agar tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan studi ini.

9. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Kostan Kerta Mukti Inayah Maily, Khoirun

nisa, Sainah, Azizah Mufti, Rena soraya, Rifki Abdurahman, Neneng

(8)

viii

10.Teman KKN Gemeter 2013 Bogest, Falwan, Amir, Deni, Maul, Daud, Reza,

Fadli, Rahmat, Cu‟ul, Vida, Rika, Dita, Ulfiyii, Eka, Arini, yang banyak

memberikan masukan, motivasi dan support dalam banyak hal termasuk canda

tawa yang menghibur.

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT.

Akhirnya semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat

balasan dari Allah SWT. Amin yarabbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Jakarta, 07 Januari 2015

(9)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Review Penelitian Terdahulu ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II DISPENSASI NIKAH DAN BATASAN USIA PERNIKAHAN ... 15

A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah ... 15

B. Batasan Usia Minimum Pernikahan ... 18

C. Faktor Pendorong Pernikahan di Bawah Umur ... 29

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA DAN MASYARAKAT KABUPATEN TANGERANG ... 35

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa ... 35

B. Visi, Misi Dan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa ... 36

C. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa ... 38

(10)

x

B. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim dalam Pemberian

Dispensasi Nikah Tahun 2013 di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 47

1. Deskripsi Putusan Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa Tahun 2013... 47

2. Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...

1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ...

2. Surat Permohonan Data/Wawancara...

3. Surat Keterangan Melakukan Penelitian (Hasil Data/Wawancara) ...

4. Hasil Data Wawancara Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa ...

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan

manusia. Ia bahkan menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia normal. Tanpa

perkawinan, kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna dan lebih dari itu,

menyalahi fitrahnya.1

Perkawinan merupakan bagian dari aturan-aturan yang disyari‟atkan oleh

Islam yang secara umum mempunyai tujuan yang sama yaitu memperoleh

kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak.2 Perkawinan menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 yang berbunyi:

“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”3

Perkawinan dianggap sah

apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan

1

Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Untuk Kawin (Jakarta : Kencana Mas Publishing House, 2006), h. 3.

2

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 25.

3

Direktorat jendral pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum

(12)

kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwenang menurut

perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.4

Oleh karena itu pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua belah pihak

agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan demikian perlu

adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak secara mental maupun material.

Tujuan mendirikan rumah tangga yang bahagia dan harmonis sering tidak seperti

yang diharapkan, atau bisa dikatakan kandas ditengah jalan. Kegagalan ini

biasanya disebabkan oleh pemangku tanggung jawab belum cukup dewasa, baik

secara fisik maupun mental.5

Adapun salah satu bentuk permasalahan yang sering muncul dalam

pelaksanaan perkawinan adalah tentang penentuan batas umur untuk

melangsungkan perkawinan. Penentuan batas umur melangsungkan perkawinan

sangatlah penting sekali. Karena suatu perkawinan di samping menghendaki

kematangan biologis juga psikologis. Maka dalam penjelasan umum

Undang-undang perkawinan dinyatakan, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak

jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan

perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat

4

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor; Kencana, 2003), h. 22.

5

(13)

keturunan baik dan sehat. Selain itu pembatasan umur ini penting pula artinya

untuk mencegah praktek kawin yang terlampau muda seperti banyak terjadi di

desa-desa yang mempunyai akibat negatif.6

Pernikahan berubah menjadi haram apabila dilakukan oleh orang-orang

yang berusia relatif muda (belum cukup umur), belum mampu menafkahi dan

mengurus rumah tangga. Apabila kawin dalam usia yang belum cukup umur, ia

akan membawa sengsara bagi hidup dan kehidupan keluarganya. Memang dalam

keadaan ini, ia tidak berdosa kalau berumah tangga, tetapi perbuatannya untuk

menikah dapat dikatakan perbuatan tercela.7

Oleh karena itu perlu adanya pendewasaan usia kawin dalam arti

mengusahakan penundaan kawin sampai seseorang cukup dewasa agar mencapai

kematangan fisik, psikis, ekonomis dan mental adalah suatu ikhtiar manusia yang

patut dihargai dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini telah terbukti bahwa

kawin diusia muda banyak membawa penderitaan dan tidak sedikit yang

mengalami perceraian, sebaliknya kawin dalam usia cukup dewasa banyak

membawa manfaat dan kemaslahatan, baik bagi keluarga yang bersangkutan

maupun bagi masyarakat dan negara untuk menunjang berhasilnya program

6

K. Wantjik Saleh, hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta; Balai Aksara, 1987), h. 26.

7

(14)

kependudukan dan keluarga berencana dalam rangka memperlambat laju

pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.8

Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan perkawinan diperlukan

suatu dispensasi nikah dari pengadilan melalui permohonan dari orang tua atau

wali yang bersangkutan. Pengadilan merupakan salah satu badan hukum yang

berwenang dalam memberikan izin nikah bagi mereka yang masih belum

mencapai umur yang telah ditetapkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan yang termuat dalam pasal 7 ayat (1) “ Perkawinan

hanya diijinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun.” Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal

15 ayat (1): “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16

tahun”.9

Masalah pembatasan umur ini penting sekali artinya karena bermaksud

untuk mencegah terjadinya praktek kawin yang terlalu muda atau perkawinan

anak-anak, dimana hal ini dikarenakan oleh kurangnya informasi, pergaulan bebas

dan kurangnya penyuluhan yang diterima oleh suatu masyarakat. Sehingga hal ini

8

Fokusmedia, (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan TentangPerkawinan), h. 4.

9

(15)

menyebabkan terjadinya perkawinan yang masih di bawah usia minimum

perkawinan.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, pasal 1

dijelaskan bahwa definisi anak adalah yang usianya di bawah 18 tahun. Pasal 26

ayat (1) poin (c) yaitu tentang orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.10

Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam

pelaksanaannnya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Banyak sekali terjadi

perkawinan pada anak masih dibawah umur, semantara umur mereka belum

mencapai standar yang ditentukan Undang-undang. Sebenarnya Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) adalah untuk mendorong agar orang

melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah.

Hal ini seperti kebanyakan yang terjadi di Kabupaten Tangerang bahwa

masyarakatnya masih ada yang telah melakukan perkawinan diusia muda.

Kenyataan tersebut dapat terlihat dalam fenomena dispensasi perkawinan yang

terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa. Sesuai dengan data yang diperoleh tahun

2013 terdapat 5 penetapan yang diputus. Nampak jelas dari kenyataan tersebut

bahwa kasus dispensasi kawin yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa,

apabila masalah dispensasi perkawinan diamati secara individual, dianalisis pada

10

(16)

level individu calon pasangan, maka akan ditemukan beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya dispensasi kawin anak dibawah umur.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Kabupaten

Tangerang melakukan dispensasi perkawinan. Sebagian besar dikarenakan

kemerosotan moral (banyaknya pergaulan bebas) dimasyarakat Kabupaten

Tangerang, atau dikarenakan faktor ekonomi dalam keluarga yang memaksa

mereka untuk kawin diusia muda, atau karena faktor pendidikan.

Sehubungan dengan hal tersebut yang dikarenakan oleh suatu keadaan

yang memaksa, maka pemerintah telah membuat peraturan mengenai

penyimpangan terhadap batas usia perkawinan yang telah ditentukan yaitu yang

berbentuk Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2) menjelaskan

bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat menerima

dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang

tua pihak pria maupun pihak wanita.”11

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi kawin

terhadap anak dibawah umur (belum mencapai batas usia minimum) berlaku sejak

disahkannya Undang-undang Perkawinan dalam Peraturan Menteri Agama No. 3

Tahun 1975. Adapun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang

maupun peraturan pelaksanaannya tidak memberi alasan-alasan terperinci dalam

mengabulkan dispensasi kawin anak dibawah umur hanya didasarkan atas

11

(17)

penilaian hakim. Karena dengan tidak disebutkan suatu alasan yang penting itu,

maka dengan mudah saja setiap orang mendapatkan dispenasi kawin tersebut.

Penyusun merasa tertarik melakukan penelitian ini untuk lebih mengetahui

tentang apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan

dispensasi kawin di bawah umur di Pengadilan Agama Tigaraksa karena pada

daerah Kabupaten Tangerang berada pada daerah yang masyarakatnya masih

kurang pengetahuan tentang aturan hukum yang berlaku dan diteliti pula adakah

indikasi yang menunjukan bahwa perkawinan dibawah umur (19 tahun bagi pria

dan 16 tahun bagi wanita) dengan pemberian dispensasi nikah, lebih mengarah

kepada timbulnya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga mereka atau

sebaliknya, sehingga penulis menyajikan dalam bentuk judul :

“PRAKTIK PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH (Studi Penetapan

Pengadilan Agama Tigaraksa Kabupaten Tangerang Tahun 2013)”.

B. Pembatasan dan Perumusam Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarahnya pembahasan ini, maka penulis membatasi

penelitian ini. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Tigaraksa.

Penelitian terfokus pada praktek Pengadilan Agama Tigaraksa tentang

(18)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1): Perkawinan hanya diijinkan jika

pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

tahun. Jika belum mencapai umur untuk melangsungkan pernikahan

diperlukan suatu dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Tetapi

kenyataannya masih ada masyarakat yang melakukan perkawinan dengan

usia laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan perempuan belum mencapai

usia 16 tahun, tanpa melakukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama.

Dari persoalan di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

“Apa saja dasar pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa

dalam memutuskan perkara tentang dispensasi nikah pada tahun 2013?”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang muncul dalam penulisan ini,

maka tujuan penelitian ini bertujuan untuk :

“Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim di Pengadilan Agama

(19)

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas cakrawala

berpikir kita tentang hukum Islam khususnya dalam permasalahan yang

berkaitan dengan masalah perkawinan.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi kalangan

remaja untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah ilmiah mengenai

permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan di usia dini.

D. Review Terdahulu

Dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya

dengan dispensasi kawin. Masih ada peneliti sebelumnya yang telah melakukan

penelitian tentang permasalahan dispensasi perkawinan dibawah umur,

diantaranya :

Pertama, Nurul Khadijah (103044228121) / 2009 M/1430 H. dengan judul

Pemahaman masyarakat kec. Bogor Barat Kota Bogor tentang Dispensasi Nikah.

Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana pemahanan masyarakat Bogor Barat

tentang Dispensasi nikah. Bahkan skripsi yang penulis buat itu tentang praktik

pemberian Dispensasi Nikah hakim dalam memberikan pertimbangannya untuk

mengabulkan permohonan dispensasi nikah.

Kedua, Mauly Shofia Chaerani (107044201826) / 2012 M/1433 H. Yang

(20)

16/Pdt.P/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi ini

mengungkapkan atau menjelaskan mengenai analisis penetapan perkara No:

16/Pdt.P/2008/PA.JT, tentang diperbolehkannyapernikahan di bawah umur.

Skripsi yang penulis bahas terfokus kepada praktik pemberian dispensasi nikah di

Pengadilan Agama Tigaraksa dan Tujuan dariUndang-undang No. 1 Tahun 1974

pada Pasal 7 ayat (2) dan lebih mengarah kepada pertimbangan hakim untuk

kemaslahatan rumah tangga mereka.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan penggabungan dari penelitian normative dan

penelitian empiris. Penelitian normative dilakukan dengan cara mempelajari data

sekunder berupa buku-buku dan perUndang-undangan yang berkait dengan

masalah yang dibahas. Sedangkan penelitian empiris dilakukan dengan

menganalisa penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa dari beberapa penetapan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan masalah disini adalah pendekatan kualitatif yuridis normativ

yaitu metode ini dilakukan dan ditunjukkan pada praktik pelaksanaan hukum

terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis serta praktiknya dan

(21)

3. Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber

data yaitu :

a. Data Primer

Sumber Data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Sumber data primer yang digunakan adalah berupa berkas-berkas surat

permohonan dispensasi nikah, hasil Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa

tentang dispensasi nikah tahun 2013 terdapat 5 penetapan yang diputus yaitu:

Penetapan No. 0352/Pdt.P/2013/PA.Tgrs, 0455/Pdt.P/2013/PA.Tgrs,

172/Pdt.P/2013/PA.Tgrs, 173/Pdt.P/2013/PA.Tgrs dan

0375/Pdt.P/2013/PA.Tgrs. Kemudian data yang diperoleh langsung melalui

wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari Al-Qur‟an,

hadits, buku-buku ilmiah, artikel, Undang-undang serta peraturan-peraturan

lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berupa:

a. Studi Dokumenter

Mencari dan melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan

(22)

b. Wawancara (Interview)

Wawancara yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Wawancara ini

dilakukan langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu

dengan Bapak Drs. Muhyar, S.H., M.H terhadap pertimbangan dan

mekanisme dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi nikah

5. Pengolahan Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan

diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu

usaha menggolongkan data berdasarkan kategori tertentu.

6. Teknik Analisis Data

Bahan yang telah diperolah lalu diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa sehingga agar menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Data-data yang ada dianalisis untuk dijadikan dasar pijakan dalam

menyelesaikan dan pemberi jawaban atas persoalan yang diteliti, yakni sebab

timbulnya adanya dispensasi pernikahan dibawah umur yang diperbolehkan di

Pengadilan Agama Tigaraksa.13

12

Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 135.

13

(23)

Metode Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.14

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah bab perbab, dimana antara bab satu dengan bab yang lainnya itu memiliki

keterkaitan, sistematika yang penulis maksud adalah sebagai berikut:

Bab satu dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah. Dalam hal ini penulis mengemukakan tentang pernikahan dan

tujuan dari perUndang-undangan. Setelah itu, dikemukakan pembatasan dan

perumusan masalah. Kemudian dijelaskan mengenai tujuan dan manfaat

penelitian, review terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang dispensasi nikah di bawah umur yang di

dalamnya akan diuraikan tentang pengertian dan landasan hukum dispensasi

nikah, batasan usia minimum pernikahan, faktor pendorong pernikahan dibawah

umur.

Bab tiga membahas tentang profil Pengadilan Agama Tigaraksa dan Profil

masyarakat Kab. Tangerang yang di dalamnya memuat sejarah singkat

Pengadilan Agama Tigaraksa, visi misi dan struktur organisasi Pengadilan Agama

14

(24)

Tigaraksa, tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa serta dikemukakan juga

tipologi Kabupaten Tangerang.

Bab empat mengemukakan tentang hasil penelitian penulis yaitu analisis

terhadap Penetapan dan pertimbangan hakim dalam pemberian dispensasi nikah,

yang terdiri dari faktor dan dampak pernikahan dibawah umur, serta analisis

terhadap pertimbangan hukum hakim dalam pemberian dispensasi nikah.

Bab lima disajikan penutup berupa kesimpulan dari data dan kajian yang

telah diolah dan dianalisis menjadi pokok permasalahan. Selain itu, kesimpulan

juga disertai saran-saran yang berhubungan dengan dispensasi nikah. penulis juga

(25)

15

A. Pengertian dan Landasan Hukum Dispensasi Nikah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dispensasi berarti pengecualian

dari peraturan umum untuk suatu keadaan khusus, pembebasan dari suatu

kewajiban atau larangan. Dalam hal dispensasi dibenarkan apa-apa yang biasanya

dilarang oleh pembuat Undang-Undang.1 Sedangkan menurut C.S.T Kansil dan

Christine S.T Kansil, Dispensasi adalah suatu penetapan yang bersifat deklaratoir,

yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang memang tidak berlaku

bagi kasus sebagai diajukan oleh seorang pemohon.2

Peraturan tentang pelaksanaan pernikahan telah di atur dalam

undang-undang nomor 1 tahun 1974. Termasuk diatur tentang syarat-syarat perkawinan ,

salah satu syaratnya adalah ditentukannya batasan usia untuk melangsungkan

pernikahan, yaitu bagi laki-laki sudah berumur 19 tahun dan 16 tahun bagi

perempuan. Jika salah satu dari calon mempelai tidak memenuhi syarat dalam hal

usia, maka harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama. Sesuai

dengan tugas dan wewenang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi Ke-4, h. 335.

2

(26)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:3

a. Perkawinan

b. Warisan

c. Wasiat

d. Hibah

e. Wakaf

f. Zakat

g. Infak

h. Shadaqah dan

i. Ekonomi Syari‟ah

Yang dimaksud dengan “Bidang Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur

dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang

dilakukan menurut syari‟ah, antara lain, dispensasi nikah dalam Pasal 7 ayat (1)

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang batas usia minimal atau seseorang

belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan jika tidak terpenuhi maka

seseorang tidak dapat melangsungkan pernikahan.

3

(27)

Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

“ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita”.

Yang dimaksud dengan Pengadilan disini adalah Pengadilan Agama bagi

mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan

kompetensi Peradilan Agama.

Adapun ketentuan landasan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang

belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita adalah

pasal 7 ayat (1) sampai (3) undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam pasal 7 ayat (1) dinyatakan: “Bahwa perkawinan hanya diizinkan bila

pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.

Kemudian dalam ayat (2), “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini

dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh

kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita”. Dan ayat 3 adalah “K

etentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6

ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi

tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6

ayat (6)”.4

4

(28)

Kompilasi Hukum Islam juga menetapkan batasan usia untuk menikah

yang belum mencapai usia minimum perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1) dan (2) mengatur calon mempelai yang ingin

menikah tetapi belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi

perempuan, dalam pasal tersebut disebutkan dalam ayat (1) “Bahwa untuk

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan

calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7

Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur

19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Kemudian ayat

(2) juga menyatakan “bahwa bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21

tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3),

(4) dan (5) UU No.1 Tahun1974”.5

B. Batasan Usia Minimum Pernikahan

Sebelum Perkawinan dilakukan, tentunya persyaratan untuk dapat

melangsungkan perkawinan harus dipenuhi. Misalnya tentang ketentuan batas

usia minimum untuk menikah sangatlah penting. Calon suami atau isteri harus

berusia minimal 19 tahun, karena kematangan usia tersebut idealnya berupa hasil

akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama dan

5

(29)

budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan sekedar bersifat

biologis, tetapi juga kematangan psikologis dan sosial.6

1. Batasan Usia minimum Perkawinan Menurut Hukum Islam

Perkawinan merupakan hubungan sesama manusia oleh agama di atur

dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu

syarat utama keabsahan suatu perkawinan adalah apabila yang bersangkutan

(calon suami isteri) telah akil baligh. Akil baligh inilah yang dijadikan patokan

sebagai umur minimal bagi calon suami-isteri yang layak untuk kawin. Ajaran

Islam tidak pernah memberikan batasan yang definitive pada usia berapa seorang

dianggap dewasa.7 Tidak adanya ketentuan agama tentang batasan usia minimal

menikah dianggap sebagai sebuah rahmat, sehingga dalam penentuan untuk

menikah membuka kesempatan timbulnya masalah ijtihadiyyah. Dalam arti diberi

kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas untuk menikah.

Dalam soal usia nikah, Islam memberi ancar-ancar dengan kemampuan

(Istitho’ah), yaitu kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah lahir bathin kepada isteri dan anak-anak maupun kemampaun dalam

mengendalikan gejolak emosi yang menguasai diri. Jika kemampuan telah ada,

ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk menikah, namun jika belum

mampu dianjurkan untuk berpuasa terlebih dahulu. Selain itu, sebelum

6

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis (Jakarta: Grahacipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 33

7

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

(30)

melangsungkan perkawinan calon mempelai patut memiliki kemampuan dan

kesediaan untuk merawat diri sendiri.8

Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama, disebutkan bahwa pria dapat

melangsungkan perkawinannya kalau telah “mimpi” dan wanita juga telah

menstruasi. Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita

telah dewasa atau akil baligh. Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada

kondisi (alam) dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada

umumnya pada usia 13 (tiga belas) atau 14 (empat belas) tahun. Kini keluarga

dalam masyarakat kontemporer menentukan batas umur untuk dapat

melangsungkan perkawinan, disandarkan pada kondisi Negara masing-masing.9

Menurut para ulama, masalah usia dalam perkawinan sangat erat

hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena

perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan

dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah

tangga diminta kemampuannya secara utuh. Kemampuan yang dihubungkan

dengan hukum sebagai terjemahan dari kata ahliyah dalam bahasa arab yang

berarti kesanggupan, kecakapan atau kewenangan yang ada.10

8

Abd al-Rahim Umar, Islam dan Kb, terj. Muhammad Hasyim, (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), Cet. Ke-1, h. 68

9

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2, h.96.

10

(31)

Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda. Kedatangan

tanda-tanda tersebut diatas tidak dalam usia yang sama antara pria dan wanita ada

kemungkinan tidak sama pula. Tergantung kematangan fisik masing-masing, ada

yang lebih cepat ada yang sedikit lambat dari yang lainnya. Berdasarkan uraian

itu maka kedewasaan ditentukan dari mimpi dan rusyd. Akan tetapi umur mimpi

dan rusyd terkadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah

bermimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan

dalam perbutan sehari-hari.11

Karena itu pada dasarnya kedewasaan dapat di tentukan dengan umur dan

dapat pula dengan tanda-tanda. Tanda-tanda kedewasaan seseorang dapat dilihat,

misalnya pada laki-laki terjadi perubahan suara yang besar, tumbuh bulu ketiak,

tumbuh zakun dan lain sebagainya. Dan bagi wanita yaitu telah mengalami

menstruasi, tumbuh bulu ketiak, perubahan pada payudaranya dan lain sebagainya

ini adalah tanda-tanda kedewasaan yang wajar dan alamiah, yang akan dialami

oleh setiap orang dan biasanya bagi laki-laki ketika menginjak umur 15 tahun dan

wanita sekitar 9 tahun.12

Apabila batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka

perkawinan di bawah umur adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut

11

Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer (buku dua); Kedewasaan Untuk Menikah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-3, h. 83.

(32)

mayoritas ahli fiqh, dan di bawah usia 17 tahun atau 18 tahun menurut Abu

Hanifah.13

Adapun Hukum melakukan Pernikahan di bawah umur, menurut

pandangan Jumhur Fuqoha menyatakan mengesahkan perkawinan di bawah

umur. Menurut mereka, untuk masalah perkawinan, kriteria baligh dan berakal

bukan merupakan persyaratan bagi keabsahannya, beberapa argument yang

dikemukakan antara lain adalah sebagai berikut:14





s









Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka

masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan

yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu

ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang

bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam

urusannya.(QS. At-Thalaq (65): 4)

13

Imam Alaudin Al-kasani Abu Bakar Bin Mas‟ud, Badai’ al shanai, (Kairo: Dar al-hadits, 1426H/2005M), Juz III, h. 457.

14

Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,

(33)

Ayat ini menjelaskan masa iddah (masa menunggu) untuk

perempuan-perempuan yang sudah menopause dan untuk perempuan-perempuan yang belum haid. Masa

Iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Dengan demikian

secara tidak langsung ayat ini juga mengandung pengertian bahwa perkawinan

bisa dilaksanakan pada perempuan usia belia atau remaja, karena Iddah hanya

bisa dikenakan kepada orang-orang yang sudah menikah dan bercerai.15

Para ulama mazhab pada umumnya dahulu membolehkan seorang bapak

sebagai wali mujbir menikahkan anaknya baik itu laki-laki atau perempuan yang

masih di bawah umur seperti:

1. Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan „Aisyah yang masih belia. Dalam hadits disebutkan: “sesungguhnya Nabi menikahi (Aisyah) pada saat usia 6

tahun dan menggaulinya pada saat usia 9 tahun dan hidup bersama selama 9

tahun.” Riwayat Al-Khamsah. Imam Muslim menambahkan “pada saat Nabi

meninggal usia Aisyah saat itu adalah 18 tahun.”16

2. Diantara para sahabat Nabi SAW, ada yang menikahkan putra-puytrinya atau

keponakannya yang dianggap belia. Seperti Abu Bakar menikahkan anak

perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih belia.17

15

Muhammad Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,

(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 69.

16

Manshur „Ali Nasif, Al-Taj Al-Jami’ Al Ushul Fi Ahadits Al-Rasul, (Beirut: Dar-al-Kutub al-„Arabiyah), Jilid II, h. 259.

17

(34)

2. Batasan Usia Minimum Perkawinan Menurut Hukum Positif

Batasan usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin.

Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara

atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah dibawah umur,

batasan usia nikah dibawah umur dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut:

1. Batasan usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, terdapat dalam BAB II syarat-syarat perkawinan pasal 6 ayat (2),

yaitu: “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan

pada pasal 7 ayat (1), yaitu: “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapaiusia 16 (enam belas) tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Dalam hal

penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada

Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria

atau pihak wanita. Dan pada ayat (3), yaitu: “Ketentuan-ketentuan mengenal

keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat(3) dan(4)

Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut

ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat

(6)”.18

18

(35)

2. Batasan usia nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 15 ayat (1),

yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16

tahun”. Dan pada ayat (2), yaitu: “Bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6

ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 Tahun1974.” 19

3. Sedangkan batasan usia nikah menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata

(KUHper), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: “Laki-laki yang

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang

belum mencapai 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan

mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah

berkuasa menghapus larangan ini dengan memberi “Dispensasi”.20

19

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 5-6.

20

(36)

3. Perbandingan Negara Batasan Usia Minimun Pernikahan

a. Negara Turki

Dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak

menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki 17 tahun bagi perempuan. Dalam

kasus tertentu pengadilan dapat mengijikan pernikahan pada usia 15 tahun

bagi laki-laki dan 14 tahunbagi perempuan setelah mendapat ijin dari orang

tua atau wali. Undang-undang yang mengatur umur nikah ini sudah

diamandemen pada tahun 1938. Saat ini (tahun 1972) dalam kasus-kasus

tertentu, pengadilan masih boleh mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun

bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Dalam Fiqh Hanafi wacana

tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut umur, hanya

secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan dalah berakal dan

baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi

operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh

hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan

syarat keabsahan pernikahan.21

b. Negara Iran

Usia minimum boleh melaksanakan pernikahan bagi pria adalah 18

tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita. Bagi seseorang yang menikahkan

anaknya yang masih di bawah usia minimum nikah dapat dipenjara antara 6

21M. Atho‟ Muzdhar dan Khaerudd

in Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,

(37)

bulan hingga 2 tahun. Jika seseorang anak perempuan dikawinkan di bawah

usia 13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat di penjara selama 2 hingga

3 tahun. Di samping itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat

dikenai denda 2-20 riyal.

Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan tersebut bebeda

dengan pandangan hukum mazhab Ja‟fari. Menurut mazhab Ja‟fari, seseorang

telah dipandang dewasa (karenanya dapat melangsugkan perkawinan) jika

telah berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja‟fari juga

memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih

dibawah umur. dengan demikian, ancaman hukuman bagi wali yang

mengawinkan anak di bawah umur merupakan pembaharuan hukum keluarga

di Iran yang bersifat administratif.22

c. Negara Yaman Selatan

Sebagaimana hukum keluarga di negara-negara yang lain, Yaman

Selatan juga ditetapkan adanya batasan usia minimum pernikahan, yakni 18

tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, batasan ini

terkait dengan keabsahan akad nikah, hamnya disebutkan bahwa itu

merupakan sesuatu yang perlu untuk diperhatikan.

Masih terkait dengan usia calon pengantin, juga ditetapkan bahwa

perbedaan usia antara kedua calon pengantin tidak boleh lebih dari umur 20

tahun, kecuali bila calon perempuannya telah mencapai usia 35 tahun. Dalam

22

(38)

pandangan Fuqaha Klasik, tidak ada larangan seperti ini, yang sering

dijadikan rujukan adalah perkawinan Nabi dengan Aisyah, yang beda usia

keduanya sangat jauh pada saat pernikahan.23

d. Negara Tunisia

Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika telah

berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5

Undang-undang 1956, yang mana sebelum diubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi

perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki

maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan pernikahan,

bagi perempuan yang masih berusia 17 tahun harus mendapaat izin dari walinya. Jika

sang wali tidak memberikan izin, maka perkara tersebut dapat diputuskan oleh

pengadilan. Akan tetapi, pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah, yaitu bahwa

untuk dapat melangsungkan pernikahan, seorang laki-laki harus sudah mencapai usia

20 tahun dan perempuan telah mencapai umur 17 tahun. Sehingga bagi mereka yang

belum sampai batasan usia tersebut, harus mendapat izin khusus dari Pengadilan. Izin

tidak dapat diberikan jika tidak ada alasan-alasan yang kuat dan keinginan yang jelas

dari masing-masing pihak.24

e. Negara Maroko

Batas minimum usia di Negara Maroko bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan

bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan

dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.

Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-Qur‟an, al-Hadits

23

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 2003, h.73.

24

(39)

maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh

merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali

mempelai. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun

perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara madzhab Syafi‟i dan Hambali

menetukan umur 15 tahun, dan hanya madzhab Hanafi yang membedakan batas umur

baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun, sedangkan perempuan 17 tahun.

Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batas minimal adalah laki-laki

15 tahun, dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa pada umur itu ada laki-laki

yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid sehingga bisa

hamil.25

C. Faktor Pendorong Perkawinan di Bawah Umur

1. Faktor Pendidikan

Pada dasarnya orang tua harus tahu dan paham bahwa pendidikan

merupakan upaya untuk memberikan bimbingan, tuntunan dan pembinaan pada

generasi bangsa dengan karakter sesuai cita-cita bangsa dan Negara. Tetapi

Rendahnya tingkat pendidikan maupun tingkat pengetahuan orang tua, anak dan

masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang

masih dibawah umur. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk

perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

25

(40)

Tingkat pendidikan yang tinggi akan memberikan pemahaman secara

matang kepada individu untuk memilih atau memutuskan suatu hal. Individu

tersebut tidak menginginkan jika hal yang buruk yang tidak diinginkan menimpa

dirinya akibat dari keputusan yang telah diambil olehnya. Kalau pernikahan

dilakukan di bawah umur 20 tahun, maka secara emosi remaja masih ingin

berpetualang menemukan jati dirinya.

Kurangnya pendidikan bisa dikarenakan faktor ekonomi, dari faktor

ekonomi inilah seseorang tidak mampu melanjutkan pendidikan dan juga

dikarenakan oleh keluarga yang relative besar. Selain itu faktor social budaya

juga mempengaruhi kurangnya pendidikan, pendidikan masyarakat di lingkungan

sekitar yang tergolong rendah menyebabkan para remaja malas melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.26

2. Faktor Psikologis

Menurut teori psikologis seseorang dikatakan sudah memasuki usia

remaja yaitu usia 16 atau 17 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. Seseorang

disebut masa remaja apabila sudah ditandai dengan kematangan seksual dan

memantapkan identitasnya sebagai individu terpisah dari ketergantungan keluar,

mempersiapkan diri menghadapi tugas, menentukan masa depan dan mencapai

usia matang secara hukum.

26

(41)

Masa remaja disebut sebagai masa peralihan karena ada peralihan dari

masa pubertas menuju dewasa. Peralihan berarti terputusnya atau berubah dari

apa yang pernah terjadi sebelumnya. Peralihan berkaitan dengan perkembangan

dari setiap tahap. Apa yang pernah tertinggal pada satu tahap akan memberikan

dampak ketahap yang berikutnya. Selama periode peralihan, anak remaja banyak

mengalami perubahan baik secara fisik, psikologis, atau sosial.

Bentuk fisik remaja yang semakin sempurna dan mirip dengan orang

dewasa. Dengan demikian juga perkembangan intelektual, psikis, dan social. Dia

semakin ingin dapat status, bebas menetukan sikap, pendapat dan minat, ingin

menolong dan ditolong orang lain, belajar bertanggung jawab dan pola

pergaulannya yang sudah mengarah pada heteroseksual.27

3. Hamil sebelum menikah

Faktor ini saya pisahkan dari faktor di atas, karena jika kondisi anak

perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan

anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua

gadis ini tidak setuju dengan calon mantunya.tetapi karena kondisi kehamilan si

gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan

ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon

27

(42)

suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan

permohonan dispensasi kawin.28

Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis,

orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini,

jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana

perkawinan yang diamanatkan Undang-undang bahkan agama. Karena sudah

dapat di bayangkan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja di

kemudian hari bisa goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan

keterpaksaan (kehamilan).

4. Faktor Ekonomi

Kita masih menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang

sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi

mempunyai anak gadis, maka anak gadisnya akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada orang yang mempiutangi. Dan setalah anak itu dikawinkan,

maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.29

Banyak juga orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan

menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan

mengurangi beban ekonomi keluarga dapat membantu beban ekonomi kelurga

28

Abu Zahlan, Kawin Usia Muda Antara Citra Islam dan Keluarga Berencana, (Rindang NO. V tahun XII), h. 12.

29

(43)

tanpa berpikir akan dampak positif atau negatif yang terjadi atas pernikahan

anaknya yang masih di bawah umur.

5. Faktor Perintah Orang Tua

Pada kenyataannya, masih banyak orang tua yang melaksanakan

keinginannya untuk mengawinkan anak-anaknya, pada hal usianya masih relatif

muda yaitu belum mencapai usia minimal untuk menikah yang diatur dalam

undang-undang Perkawinan. Si anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali

mematuhi keinginan orang tua. Anak dinikahkan dengan laki-laki yang sama

sekali tidak dikenal.30

Orang tua kerapkali memaksakan keinginannya untuk mengawinkan

anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan untuk kebahagiaan anaknya.

Agar tidak menjadi perawan atau perjaka tua. Mereka berasumsi manikah di atas

usia ideal adalah aib, sebab ada kekhawatiran turunnya minat pria menikahinya.

Selain itu, Memet Tanumidjaja menambahkan faktor lain yang menjadi penyebab

perkawinan di bawah umur yaitu : Pertama, kurangnya perhatian atau pengertian

tentang agama Islam yang menekankan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang

tinggi dan mulia. Kedua, kurangnya pengetahuan tentang Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiga, adanya anggapan bahwa perceraian

bukan merupakan hal tercela, bahkan ada daerah yang bisa dikatakan kawin-cerai

beberapa kali sudah menjadi tradisi dan akan menambah status. Keempat, banyak

30

(44)

yang belum mengerti pentingnya pendidikan, dan banyak orang tua yang tidak

menyadari dampak negatif perkawinan usia muda terhadap kesalahan ibu dan

anak.31

31

(45)

35

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa

1. Legalitas Intitusi

Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor : 85 tahun 1996 tanggal 01 Nopember 1996 dan

Pengadilan Agama tigaraksa diresmikan pada hari kamis tanggal 21 Agustus 1997

bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awal 1418 H oleh Direktur Peradilan

Agama atas nama Menteri Agama bertempat di gedung Negara (Pendopo)

PEMDA Kabupaten DT.II Tangerang yang pada saat itu Bapak Let.Kol. Agus

Junara menjabat sebagai Bupati.

2. Legalitas Yurisdiksi Relatif

Yurusdiksi relatif ( kewanangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum

kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara kabupaten

Tangerang dan kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996

antara Drs. H. ABDURAHMAN ABROR selaku Ketua pengadilan Agama

Tangerang kepada Drs. A.D. DIMYATI, SH selaku ketua pengadilan Agama

(46)

berdasarkan PERDA Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi

36 Kecamatan.

3. Infrastruktur Kantor

Pada saat diresmikan Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jln. raya

serang Km. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten

Tangerang dengan luas bangunan 7 x 12 meter di atas tanah 864 meter. Pada

tahun 2002 Pengedailan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak

di Jalan mesjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten

Tangerang dengan luas tanah 2000 M dengan gedung berlantai 2 yang terdiri dari

ruang ketua, ruang wakil ketua, Ruang Panitera sekertaris, Ruang hakim, ruang

kesekretariatan, ruang kepaniteaan, 2 buah ruang sidang, ruang arsip, ruang

tunggu para pihak, ruang register, ruang komputer, ruang perpustakaan dan ruang

kasir.

B. Visi, Misi Dan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa

1. Visi

Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa

depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi. Visi

Mahkamah Agung dan kebijakan pimpinan selalu menjadi landasan berpijak dan

arah kebijakan Pengadilan Agama Tigaraksa, sesuai dengan tugas pokok dan

(47)

Visi Mahkamah Agung RI adalah "Terwujudnya Badan Peradilan

Indonesia Yang Agung". Pengadilan Agama Tigaraksa sebagai underbow

Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk

mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat.

Atas dasar itu maka Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan visi. visi

Pengadilan Agama Tigaraksa, yaitu : Mewujudkan Pengadilan Agama

Tigaraksa yang modern dan dipercaya.

2. Misi

Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh suatu

institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan

berhasil dengan baik. Misi Mahkamah Agung dijabarkan sebagai berikut :

a. Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.

b. Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Para Pencari

Keadilan

c. Meningkatkan kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan.

d. Meningkatkan Kredibelitas dan Transparansi Badan Peradilan.

Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan misi sebagai berikut:

a. Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan professional dengan biaya ringan

b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal

pada peradilan

c. Memperbaiki akses pada layanan hukum dan peradilan

(48)

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa

Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa mengacu pada

Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, surat keputusan ketua

Mahkamah Agung nomor : KMA/004/II/92 tentang organisasi dan tata kerja

kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan KMA nomor

5 tahun 1996 tentang struktur organisasi peradilan. Berikut bagan struktur

organisasi pengadilan agama tigaraksa :

[image:48.612.126.526.127.519.2]

Struktur Organsasi Pengadilan Agama Tigaraksa Kelas 1 B

Gambar.3.1. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa

C. Tugas Pokok Pengadilan Agama Tigaraksa

Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari

keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang

(49)

Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di

Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili

perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam

struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di

tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan

kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan

oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Tugas-tugas lain Pengadilan Agama ialah :

1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam

kepada instansi Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.

2. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.

3. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian,

pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.

4. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa

antara orang-orang yang beraga Islam.

Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk

menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di bidang

perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah, dan ekonomi

(50)

Fungsi:

1. Melakukan pembinaan terhadap pejabat strukturan dan fungsional dan

pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun

administrasi umum

2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan

pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)

Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.

D. Tipologi Masyarakat Kabupaten Tangerang

Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat yang dinamis

dan gemar akan kesenian. Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini

adalah Seni Musik Gambang Keromong dan Tari Krecek yang merupakan tarian

pergaulan yang banyak berkembang di kawasan Teluknaga dan Kosambi.

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tangerang pertahun selama

sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 3,77 persen lebih

tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Banten yang

hanya 2,78 persen per tahun. Dengan luas wilayah Kabupaten Tangerang sekitar

959,61 kilo meter persegi yang didiami oleh 2.834.376 orang maka rata-rata

tingkat kepadatan penduduk Tangerang adalah sebanyak 2.954 orang per kilo

meter persegi.

Pada tahun 2011, dari jumlah penduduk Kabupaten Tangerang sebanyak

(51)

Penduduk Usia Kerja (PUK 15 th keatas). Dari jumlah tersebut, hampir 70

persennya merupakan angkatan kerja dan sisanya adalah penduduk bukan

angkatan kerja. Selama tiga tahun terakhir ini jumlah angkatan kerja di Tangerang

terus menurun. Berbeda dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang

terus meningkat dari tahun ke tahun, terakhir pada tahun 2011 sampai pada level

69,46 persen.Jumlah penduduk yang terserap dalam dunia tenaga kerja dalam tiga

tahun terakhir juga terus menurun, untuk tahun 2011 sebesar 1,21 juta orang. Hal

ini sejalan dengan penduduk yang menganggur juga terjadi peningkatan yang

mengakibatkan tingkat pengangguran meningkat dari 14,01% di tahun 2010

menjadi 14,42% di tahun 2011.Berdasarkan lapangan pekerjaan, sektor industri

pengolahan menduduki peringkat pertama penyerapan tenaga kerja di Tangerang

dengan persentase mencapai 44,89 persen. Sektor industri merupakan sektor

ekonomi utama untuk menunjang perekonomian Kabupaten Tangerang. Disusul

kemudian oleh sektor perdagangan menduduki peringkat kedua dengan persentase

23,01 persen, sektor jasa sebesar 13,12 persen, sektor pertanian sebesar 6,22

persen dan sektor lainnya selain sektor diatas sebesar 12,76 persen. Sedangkan

menurut status pekerjaan, sebagian besar penduduk Tangerang atau sekitar 62,68

persennya berstatuskan buruh/karyawan. Selanjutnya peringkat kedua adalah

status berusaha sendiri sekitar 18,94 persen dan yang terendah adalah status

berusaha dibantu pekerja tetap hanya sebesar 2,3 persen.1

1

(52)

Kualitas sumber daya manusia sangatlah bergantung dari pembangunan di

bidang pendidikan. Indikator atau ukuran yang bisa digunakan untuk melihat

tingkat kemajuan pendidikan disuatu daerah antara lain adalah dengan melihat

prosentase melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendidikan tertinggi yang

ditamatkan. Tercatat tahun 2011 sekitar 95,86 persen dari total penduduk berusia

lima belas tahun ke atas memiliki kemampuan membaca dan menulis serta

rata-rata bersekolah selama 8,95 tahun atau kebanyakan memutuskan berhenti saat

menduduki kelas 3 SLTP.

Sedangkan untuk angka partisipasi sekolah penduduk Tangerang untuk

berbagai kelompok usia tercatat untuk tahun 2011, angka partisipasi sekolah

untuk kelompok usia SD, usia SLTP, dan usia SLTA masing-masing sebesar

98,66 persen, 88,41 persen dan 48,88 persen. Walaupun tamatan jenjang

pendidikan lebih tinggi dari pada SD mengalami peningkatan, namun bila melihat

kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi persaingan (antar

daerah dan global), maka pemerintah daerah masih harus bekerja keras untuk

dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Disamping berupaya untuk

memperbesar kesempatan masyarakat (khususnya dari masyarakat miskin) agar

dapat memperoleh pendidikan ke jenjang lebih tinggi, tapi juga berupaya

meningkatkan akses masyarakat untuk bisa menamatkan pendidikan di perguruan

(53)

Angka kemiskinan menunjukkan persentase penduduk miskin yang ada di

daerah tersebut. Batasan yang digunakan dalam menentukan penduduk miskin

adalah “garis kemiskinan” yaitu berdasarkan pengeluaran penduduk untuk

konsumsi makanan yang mencapai 2100 kalori per hari. Angka kemiskinan

Kabupaten Tangerang pada tahun 2010 sebesar 7,18 persen lebih tinggi

dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 6,55 persen. Berdasarkan data

Susenas 2010, jumlah penduduk miskin di Tangerang sekitar 205.100 orang.

Sedangkan garis kemiskinan untuk tahun 2010 sebesar 258.155

(54)

44

HAKIM DALAM PEMBERIAN DISPENSASI NIKAH DI

PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA TAHUN 2013

A. Faktor dan Dampak Pernikahan di Bawah Umur

Faktor yang menjadi alasan pemohon dalam mengajukan permohonan

dispensasi nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu: Hamil di luar nikah,

banyaknya kejadian hamil di luar nikah merupakan dampak dari kurangnya

perhatian orang tua kepada anaknya, terutama mengenai persoalan ajaran agama.

Kehamilan sebelum perkawinan merupakan hal yang tidak seharusnya

terjadi. Hal ini dikarenakan dalam ajaran agama, pasangan yang bukan suami istri

dilarang untuk melakukan hubungan seksual. Apabila seseorang telah mengetahui

adanya larangan ini dalam agama, maka seharusnya dia tidak melakukan hal

tersebut. Namun, nilai-nilai agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam

menjalankan hidup. Orang tua sudah jarang mengingatkan anak-anaknya tentang

ajaran agama. Hal ini menimbulkan kemerosotan moral yang dialami oleh

anak-anak. Mereka cenderung tidak memperdulikan aturan-aturan agama. Orang tua

seringkali bertindak terlambat. Mereka mengingatkan anak-anaknya ketika dalam

(55)

remaja adalah sesuatu yang wajar dan telah dianggap biasa. Padahal anak-anak

tetap butuh kontrol dari orang tua agar tidak bertindak berlebihan.

Gambar

Gambar.3.1. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa

Referensi

Dokumen terkait

Hormon IAA merupakan hormon yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga sintesis oleh bakteri tertentu merupakan alasan yang menyebabkan peningkatan

Hakim mempunyai tugas pokok dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana pada Pengadilan Agama

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas V dalam pembelajaran bahasa Indonesia Sekolah Dasar Negeri 11 Pontianak Kota (lampiran 10), maka

diterima peserta didik di dalam kelas. Materi pembelajaran elektronik diprogramkan bagi peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang begitu sederhana

Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, pada tahun 2016 Balai Besar Kerajinan dan Batik melaksanakan kegiatan yang terdiri dari empat (5) Sasaran Strategis

Data pokok yang digali dalam penelitian ini adalah prestasi peserta didik yang menginap dan tidak menginap asrama. 1) Perbandingan prestasi belajar Fiqh siswa kelas VII yang

286 Oikeuskirjallisuudessa on katsottu, että tapauksen perustelut on kirjoitettu täysin siitä lähtien, että samastettava yhtiö olisi ollut suomalainen osakeyhtiö,

Lalu, diluar Sentul City, daya tarik utama BKSL adalah kepemilikannya atas PT Bukit Jonggol Asri (BJA), perusahaan patungan yang dimiliki bersama-sama dengan ELTY, dimana BJA