RIRIN IRNAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RIRIN IRNAWATI. 2007. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah. Dibimbing oleh Mulyono S. Baskoro dan Domu Simbolon.
Kawasan Kepulauan Karimunjawa merupakan sebuah taman nasional di mana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Zona untuk usaha penangkapan hanya terbatas pada zona pemanfaatan perikanan tradisional. Sehingga perlu upaya untuk menyelaraskan kepentingan perikanan tangkap yang ada di lokasi Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi sistem zonasi yang ada di TNKJ, dan (2) menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap.
Evaluasi sistem zonasi dan identifikasi keterpaduan kegiatan antar zona yang ada di Karimunjawa dilakukan secara deskriptif; pemilihan prioritas komoditas perikanan unggulan dan alat tangkap ideal yang menunjang perkembangan pariwisata bahari dirumuskan berdasarkan metode independent preference evaluation (IPE) dalam kaidah fuzzy group decision making (FGDM), di mana pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan dengan metode ordered weighted averaging (OWA). Kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan diketahui melalui analisis finansial dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR); dan untuk memilih alternatif prioritas pengembangan perikanan tangkap digunakan metode fuzzy analytical hierarchy process (fuzzy AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem zonasi yang ada saat ini sudah sesuai dan serasi dengan prinsip konservasi dan kebutuhan pemanfaatan berdasarkan fungsi dan luasan dari masing-masing zona. Hubungan antar zona yang ada di TNKJ memiliki keterkaitan yang erat, yaitu antara zona yang satu dengan zona yang lain memiliki hubungan keterpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa diarahkan pada: (a) pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang dapat menunjang sektor pariwisata bahari, yaitu dengan alat tangkap bubu dan pancing tonda untuk memanfaatkan komoditas unggulan perikanan tangkap Karimunjawa yaitu ikan kerapu, tongkol, dan cumi-cumi, (b) pembinaan masyarakat nelayan, (c) optimalisasi pemanfaatan pelabuhan perikanan, dan (e) peningkatan ketrampilan nelayan.
RIRIN IRNAWATI. 2007. Development of Capture Fisheries in Karimunjawa National Park Central Java. Under supervision of Mulyono S. Baskoro and Domu Simbolon.
Karimunjawa is a national park where more than 60,25% of people are fisherman. Zone for capture fisheries is limited to traditional fishery exploitation zone. Therefore the capture fisheries in Karimunjawa National Park should be adjusted to accommodate conservancy and marine tourism objectives. The objectives of the research are to: (1) evaluate the zoning system in Karimunjawa, and (2) establish development priority of capture fisheries in Karimunjawa.
Evaluation and identification of relation among activities in different zones were conducted by descriptive method. Selection of fishery commodities and ideal fishing gears were performed using IPE method with FGDM for weight of criteria by using OWA method. Criteria applied to find out feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR; and to compose development priority alternative of capture fisheries was carried out by fuzzy AHP.
The existing zoning system has been compatible with conservation principles and requirement of exploiting based to function and size of each zones. Relation among zones shows inherent integrity. Development priority of capture fisheries in Karimunjawa were: (1) development fishing technology which environmental friendly that supports marine tourism, those are troll line and fish trap, (2) preparing fisherman society, (3) optimization the use of fishing port , and (4) improvement of fisherman skills.
RIRIN IRNAWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah
Nama Mahasiswa : Ririn Irnawati
NRP : C451060161
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ketua,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Kepulauan Karimunjawa Jepara Jawa Tengah merupakan wilayah taman nasional di mana kegiatan konservasi maupun kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan berlangsung di wilayah tersebut. Tesis dengan judul “Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah” bertujuan untuk mengevaluasi sistem zonasi yang ada di Karimunjawa dan menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, MSi sebagai komisi pembimbing atas arahan dan saran beliau berdua kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai dengan selesainya tesis ini, serta Bapak Dr. Mustaruddin selaku penguji luar komisi pada Ujian Tesis yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada nelayan-nelayan di Karimunjawa, BTNKJ, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Jepara, Dr. Agus Suherman, Slamet Riyanto SPi, Tangguh Asrondi, segenap anggota PCH Belakang, teman-teman TKL 2006, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua: ayah Muslimin dan ibu Muta’adiyah, serta kakak-kakak tercinta atas segala bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2008
Penulis dilahirkan di Kendal Jawa Tengah pada tanggal 11 September 1983 dari ayah Muslimin dan ibu Muta’adiyah. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penelitian... 4
1.4 Manfaat Penelitian... 4
1.5 Hipotesis... 5
1.6 Kerangka Pemikiran ... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Potensi dan Produksi Perikanan Tangkap ... 7
2.2 Perikanan Tangkap ... 8
2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap ... 16
2.4 Taman Nasional ... 17
2.5 Kepulauan Karimunjawa... 20
2.6 Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation) ... 23
2.7 Kelayakan Finansial ... 26
2.8 Fuzzy Analytical Hierarchy Process (Fuzzy AHP)... 28
2.9 Penelitian Terdahulu yang Relevan... 31
3 METODOLOGI ... 34
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 34
3.2 Metode Penelitian ... 35
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.4 Metode Analisis Data... 36
3.4.1 Sistem zonasi dan keterpaduan kegiatan antar zona... 40
3.4.2 Pengembangan perikanan tangkap... 40
4 HASIL ... 49
4.1 Kondisi Perikanan Tangkap... 49
4.1.1 Produksi perikanan ... 49
4.1.2 Perkembangan jumlah alat tangkap ... 49
4.1.3 Kapal penangkap ikan ... 50
4.1.4 Nelayan... 51
4.2 Sistem Zonasi Taman Nasional Karimunjawa ... 51
4.3 Keterpaduan antar Zona... 57
4.4 Pemilihan Komoditas Unggulan... 60
4.5 Pemilihan Alat Tangkap Ideal ... 61
4.6 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap ... 62
4.7 Prioritas Pengembangan Perikanan Tangkap ... 63
5 PEMBAHASAN... 65
5.1 Kondisi Perikanan Tangkap... 65
5.2 Pemanfaatan Zonasi TNKJ... 68
5.3.4 Peningkatan ketrampilan nelayan... 94
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 98
6.1 Kesimpulan ... 98
6.2 Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 99
1 Pulau-pulau di Kepulauan Karimunjawa... 21
2 Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data primer ... 37
3 Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data sekunder... 39
4 Bobot kriteria pemilihan komoditas unggulan perikanan tangkap ... 44
5 Bobot kriteria pemilihan alat tangkap ideal... 45
6 Jenis dan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 ... 50
7 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 1996-2005 ... 50
8 Perkembangan jumlah nelayan di Karimunjawa tahun 1996-2005 ... 49
9 Sistem zonasi dan luas masing-masing zona di TNKJ... 53
10 Kondisi ekosistem tiap zona ... 55
11 Kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan TNKJ ... 58
12 Keterpaduan kegiatan antar zona ... 59
13 Skala prioritas komoditas unggulan perikanan tangkap terpilih di Karimunjawa... 61
14 Perkembangan jumlah alat tangkap di Karimunjawa tahun 1996-2005 ... 61
15 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Karimunjawa ... 62
16 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan bubu dan pancing tonda di Karimunjawa ... 62
1 Diagram alir penelitian... 34
2 Diagram alir tahap penelitian pemilihan prioritas komoditas unggulan .... 41
3 Perkembangan produksi ikan di Karimunjawa ... 49
4 Peta zonasi Taman Nasional Karimunjawa... 54
5 Keterpaduan antar zona yang ada di Karimunjawa... 60
1 Pemilihan komoditas unggulan... 103 2 Pemilihan alat tangkap ideal... 105 3 Kelayakan usaha alat tangkap terpilih... 107 4 Proses perhitungan prioritas pengembangan perikanan tangkap di
Agregasi (Aggregation)
Penggabungan seluruh output gugus fuzzy menjadi sebuah output gugus fuzzy.
Alat Penangkap Ikan
Sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.
Biodiversity Keanekaragaman hayati yang ada di dalam suatu habitat yang menunjukkan produktivitas suatu perairan.
By-catch Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies).
Consistency Ratio (CR)
Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak.
Defuzzyfikasi Pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp).
Fuzziness Kesamaran atau ketidak-jelasan, perihal ketidak-pastian (uncertainty) atau ketidak-jelasan yang berkenaan dengan deskripsi makna semantik dari kejadian, fenomena, pernyataan atau kata seperti “dingin”, “tinggi”, atau “tua”.
Fuzzyfikasi Pengubahan input tunggal ke nilai linguistic yang sesuai. Internal Rate of
Return (IRR)
Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.
Kapal Perikanan Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
Konservasi Perlindungan dan pemakaian sumber daya alam (SDA) menurut prinsip yang menjamin keuntungan ekonomi sosial yang tertinggi secara lestari.
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman SDI.
Masyarakat Nelayan
Orang yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi SDI.
Metode FuzzyAHP Suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy pada beberapa bagian seperti dalam hal penilaian sekumpulan alternatif dan kriteria.
Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.
Net Present Value (NPV)
Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Pakar (expert) Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu. Pelabuhan
Perikanan
Suatu tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan /atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan social, yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan Perikanan
Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi SDA, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Sumber Daya Ikan Potensi semua jenis ikan.
Sumber Daya Perikanan
Terdiri dari SDI, sumber daya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan SDI.
Taman Nasional Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi, berupa zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Unit Penangkapan Ikan
Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi penangkapan ikan, ekspor hasil perikanan, jumlah perahu atau kapal ikan yang beroperasi, nelayan atau tenaga kerja yang terserap, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) 2005, selama periode 2001–2004 produksi perikanan laut meningkat 4,36% per tahun, volume ekspor meningkat 25,04%, dan jumlah nelayan laut berkurang 2,81%. Pada kurun waktu tersebut PNBP juga meningkat mencapai US$ 2,14 milliar (DJPT 2005). Jika dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun, pelaksanaan pembangunan perikanan yang dilaksanakan selama ini secara keseluruhan telah menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi dari perikanan tangkap, yang telah meningkatkan pula konsumsi ikan, ekspor perikanan, pendapatan nelayan, memperluas lapangan kerja, serta dukungan bagi pembangunan industri serta menunjang pembangunan daerah.
Untuk memanfaatkan sumber daya perikanan di suatu perairan digunakan berbagai jenis alat penangkapan ikan yang biasanya telah dikembangkan oleh nelayan sendiri, maupun pemerintah dan lembaga peneliti selaku unsur pembina berdasarkan pertimbangan kondisi perairan, habitat dan tingkah laku ikan. Akan tetapi tidak sedikit dari alat tangkap tersebut telah menimbulkan berbagai problem baik sosial, lingkungan maupun sumber daya hayatinya. Karena itu penentuan alat tangkap yang sesuai dengan kondisi perairan yang sesuai prinsip konservasi dan daya dukung lingkungan sangat diperlukan agar diperoleh alat tangkap yang tepat guna di suatu wilayah, terutama di kawasan perairan yang menganut konsep konservasi dan keberlanjutan seperti taman nasional.
sebesar 92.022 kg, di mana produksi ini masih berada di bawah nilai potensi lestari Karimunjawa yaitu sebesar 167.734,45 kg (PPP Karimunjawa 2006).
Jenis komoditas perikanan yang ada di Karimunjawa diantaranya ikan karang seperti: kerapu (Ephinephelus sp), lemak (Cheilinus undulatus), dan ekor kuning (Caesio eritrogaster); ikan pelagis seperti: layang (Decapterus sp), kembung (Rastrelliger spp), lemuru (Sardinella sp), teri (Stelophorus sp), tongkol (Euthynnus affinis), tenggiri (Scomberomorus sp); ikan yang lain seperti: sunuk atau sejenis lemak (Plectropomus sp) dan cumi-cumi (Loligo sp) (BTNKJ 2001).
Komposisi alat tangkap yang ada pada tahun 2005 adalah jaring insang sebanyak 384 unit, pancing tonda sebanyak 612 unit, bubu sebanyak 2.128 unit, bagan apung sebanyak 114 unit, muroami sebanyak 38 unit, dan alat tangkap lain sebanyak 3 unit. Sedangkan komposisi armada penangkapan ikan pada tahun 2005, jumlah kapal motor sebanyak 855 buah, motor tempel sebanyak 130 buah, dan perahu layar sebanyak 10 buah (PPP Karimunjawa 2006).
Sebagian besar masyarakat Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan, di mana hampir 60,25% dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Pada tahun 2005 jumlah nelayan mencapai 2.923 orang, yang terdiri dari juragan sebanyak 299 orang, dan pandega sebanyak 2.624 orang. Dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Jepara, Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah nelayan terbesar, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 2.945 orang dari total nelayan seluruhnya sebanyak 12.382 orang. Nelayan di Kepulauan Karimunjawa dari tahun ke tahun sudah banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam penggunaan mesin kapal yaitu dari perahu tak bermesin (perahu layar) ke perahu bermesin tempel atau perahu motor. Sekarang ini di Karimunjawa telah banyak nelayan yang menggunakan perahu atau kapal motor untuk melakukan aktivitas penangkapan (PPP Karimunjawa 2006).
alam. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa jumlah penduduk yang menjadi nelayan mencapai lebih dari 60,25%, sementara zona untuk usaha penangkapan ikan hanya terbatas pada zona pemanfaatan perikanan tradisional. Hal ini merupakan salah satu titik penekanan dari penelitian ini, yaitu bagaimana kondisi zona yang ada dan menyelaraskan atau memadukan kepentingan perikanan tangkap yang dilakukan oleh mayoritas penduduk di lokasi Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) yang menganut aspek konservasi.
Kawasan Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu taman nasional laut yang ada di Indonesia. Kawasan Karimunjawa memiliki perwakilan tipe ekosistem hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan kekayaan habitat berbagai jenis biota laut. Tidak hanya itu, keragaman etnis yang tinggal di beberapa pulau dan sosio kultural masyarakat semakin menambah uniknya kawasan Kepulauan Karimunjawa. Berbagai suku bangsa seperti: Jawa, Bugis, Madura, dan Bajau banyak dijumpai di Karimunjawa dan mereka sebagian besar menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Sebagai sebuah kawasan konservasi tentu berlaku sistem zonasi yang dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi aktivitas pemanfaatan secara sosial dan ekonomi serta proses konservasi.
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tentang “pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa Jawa Tengah” penting dilakukan untuk mengembangkan dan memanfaatkan perikanan tangkap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di Karimunjawa. Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam penentuan kebijakan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa untuk masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan TNKJ dibagi menjadi tujuh zona berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Dari ketujuh zona tersebut hanya zona pemanfaatan perikanan tradisional yang terbuka dan dapat digunakan untuk usaha pemanfaatan perikanan tangkap. Karimunjawa merupakan salah satu pusat perikanan yang diandalkan di Jawa Tengah, dengan sebagian besar penduduk (60,25%) berprofesi sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya perikanan, sehingga diperlukan upaya penyelarasan kepentingan kegiatan perikanan tangkap dengan kondisi lokasi Karimunjawa sebagai taman nasional yang lebih mengutamakan aspek konservasi.
Selain itu, beragamnya masyarakat yang ada di Karimunjawa sehingga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai lingkungan yang mereka tinggali. Di sisi lain keragaman budaya dan sumber daya yang dimiliki oleh Karimunjawa dapat menjadi daya tarik bagi pihak lain untuk menikmati dan memanfaatkan keindahan alam dan budaya bahari yang ada. Namun di sisi lain menimbulkan kompleksitas keterkaitan dalam mengembangkannya.
Untuk itu perlu dievaluasi sistem zonasi yang berlaku di Karimunjawa agar tidak terjadi konflik antar pengelola zonasi, dan juga mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan yang ada di masing-masing zona, sehingga terjadi keterpaduan kegiatan antar zona yang dapat mendukung perkembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya dapat terwujud keterpaduan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di Karimunjawa dengan tetap mempertahankan aspek konservasi dan fungsi sumber daya perikanan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengevaluasi sistem zonasi yang ada di Karimunjawa.
2. Menyusun prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
(2) Kontribusi pemikiran bagi pengelola TNKJ dalam menyusun keputusan dan kebijakan untuk pengelolaan TNKJ terkait dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna.
(3) Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditindaklanjuti sebagai dasar dalam penelitian yang terkait dengan penyusunan perangkat lunak atau software untuk sistem penunjang keputusan dalam pemanfaatan perikanan tangkap di kawasan taman nasional.
(4) Sumber informasi untuk penelitian evaluasi kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan suatu wilayah perairan yang menganut prinsip konservasi.
1.5 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya sistem zonasi yang menganut azas keterpaduan memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
1.6 Kerangka Pemikiran
Wilayah Kepulauan Karimunjawa selain potensial akan sumber daya perikanan, juga memiliki potensi pariwisata air yang begitu indah, dari keadaan pantai yang masih alamiah, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan cagar alam. Sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 78/Kpts-II/1999 bahwa wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa ditetapkan menjadi taman nasional, yang berdasarkan SK Dirjen PHKA No. 79/IV/set-3/2005 dibagi menjadi 7 zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona pemukiman, zona rehabilitasi, zona budidaya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional.
dan seleksi terhadap komoditas ikan unggulan yang dapat dikembangkan untuk menunjang perekonomian masyarakat nelayan dan peningkatan PAD.
Berdasarkan uraian diatas, maka bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut, bagaimana cara merencanakan pengembangan perikanan tangkap Karimunjawa ke depan agar tidak lagi terjadi persaingan dan konflik antar nelayan serta mampu mengembangkan sektor pariwisata yang ada dengan tetap mempertahankan aspek konservasi dan keberlanjutan sumber daya. Dengan demikian, Kepulauan Karimunjawa dapat berfungsi dengan baik dan sesuai harapan, yaitu sebagai daerah penangkapan perikanan dan daerah konservasi. Untuk itu perlu dilakukan penyusunan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Karimunjawa agar dapat berhasil guna secara optimal.
Pengembangan usaha perikanan tangkap merupakan suatu proses atau aktivitas manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan tangkap dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan sebagai pihak yang secara langsung berperan dalam perikanan tangkap. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapan dengan cara mengusahakan unit penangkapan yang produktif, efisien dan sesuai dengan kondisi wilayah setempat, serta tidak merusak kelestarian sumber daya perikanan yang ada.
Kegiatan pengembangan perikanan tangkap meliputi pengembangan komoditas unggulan dan potensial, pengembangan teknologi penangkapan ikan yang efektif dan efisien, kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, dan penyusunan prioritas pengembangan perikanan tangkap di Kepulauan Karimunjawa.
Laut Indonesia memiliki luas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumber daya, terutama sumber daya
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas.
Potensi lestari SDI laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun
yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan zona ekonomi eksklusif
Indonesia (ZEEI), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama atau
wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Dari seluruh potensi SDI
tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per
tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 4,4
juta ton pada tahun 2003 atau baru 85,94% dari JTB. Sedangkan dari sisi
diversivitas, dari sekitar 28.400 jenis ikan yang ada di dunia, yang ditemukan di
perairan Indonesia lebih dari 25.000 jenis (RPPK 2005).
Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau,
Indonesia memiliki total lahan darat 1,9 juta km2 dan daerah perairan laut kurang
lebih 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial dan kepulauan seluas 3,1
juta km2, serta perairan ZEEI seluas 2,7 juta km2. Indonesia memiliki sumber
daya perikanan yang cukup potensial untuk mendukung pembangunan ekonomi
nasional, terutama sumber daya perikanan laut yang merupakan properti atau
hak milik bersama, dengan potensi produksi sekitar 6,4 juta ton/tahun (Dahuri
2002).
Kegiatan penangkapan ikan di laut masih menyumbangkan kontribusi
terbesar yaitu sekitar 73,4% terhadap total produksi ikan di Indonesia yang pada
tahun 2000 mencapai 4,77 juta ton. Mempertimbangkan potensi dan tingkat
pemanfaatan SDI di Indonesia pada saat ini maupun kecenderungan permintaan
pasar, maka dapat dikatakan bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia
masih prospektif untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
terutama untuk pemanfaatan potensi sumber daya yang berada di wilayah timur
Indonesia, perairan lepas pantai maupun ZEEI. Dengan upaya optimalisasi
pemanfaatan potensi SDI tersebut, diharapkan dapat meningkatkan produksi
ikan, membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha, mendorong tumbuhnya
kegiatan pendukung dan penunjang, meningkatkan pendapatan masyarakat
KOMNASKAJIKANLUT (2002) menyatakan bahwa potensi SDI di perairan
laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut meliputi ikan
pelagis besar sebesar 1,17 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,61 juta ton, ikan
demersal sebesar 1,37 juta ton, ikan karang konsumsi sebesar 0,15 juta ton,
udang penaeid sebesar 0,09 juta ton, lobster sebesar 0,04 juta ton, dan
cumi-cumi sebesar 0,03 juta ton. Dari potensi untuk penangkapan ikan di laut sebesar
6,4 juta ton/tahun (total allowable catch sebesar 5,12 juta ton/tahun) tersebut
diatas, sampai dengan tahun 2002 baru dapat dimanfaatkan sekitar 4,1 juta ton
atau 63,93%; sehingga masih terdapat peluang untuk pengembangan usaha
penangkapan sekitar 1,2 juta ton per tahun.
2.2 Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap adalah aktivitas atau kegiatan ekonomi yang mencakup
penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau
perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap telah memberikan kontribusi
bagi penyerapan tenaga kerja nelayan sebanyak 3.476.200 jiwa dengan
pengoperasian armada penangkapan sebanyak 474.540 unit, dan secara
kumulatif dapat diperhitungkan lebih dari 12,5 juta penduduk Indonesia
menggantungkan mata pencahariannya pada usaha perikanan tangkap secara
langsung maupun usaha ikutannya. Data yang ada menunjukkan bahwa
sebagian besar (97,41%) dari usaha penangkapan ikan tersebut tergolong skala
kecil dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang relatif rendah. Apabila
jumlah nelayan yang ada dipadukan dengan potensi SDI perairan Indonesia
sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,22 juta ton per tahun, maka
peluang produktivitas nelayan di Indonesia diperhitungkan rata-rata sebesar 1,35
ton per orang per tahun atau ekuivalen dengan 6,63 kg per orang per hari trip
penangkapan ikan (lama melaut 200 hari dalam satu tahun) (DJPT 2005).
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk didalamnya
pembangunan sub sektor perikanan tangkap, menurut DJPT (2005) merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada:
(1) peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan dan
masyarakat pesisir lainnya,
(2) peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber
(3) peningkatan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan
konsumsi ikan,
(4) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan
perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan, dan
(5) peningkatan peran laut sebagai pemersatu bangsa dan peningkatan budaya
bahari bangsa Indonesia.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila
pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan
kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit
penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan
pendapatan nelayan yang memadai (Monintja 2000).
Pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan
produktivitas dan efisiensi usaha perikanan, yang diarahkan untuk meningkatkan
konsumsi, penerimaan devisa, dan meningkatkan penyediaan bahan baku
industri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan, diidentifikasikan bahwa tujuan pembangunan perikanan
tangkap adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) menjaga
kelestarian SDI dan lingkungannya.
Sasaran pembangunan sub-sektor perikanan tangkap yang ingin dicapai
menurut DJPT (2004) pada akhir tahun 2009 adalah:
(1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,47 juta ton;
(2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan;
(3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar;
(4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan
(5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta
orang.
Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi
satu dengan lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: (1)
masyarakat atau sumber daya manusia (SDM); (2) sarana produksi; (3) usaha
penangkapan: (4) prasarana pelabuhan; (5) unit pengolahan; dan (6) unit
(1) Masyarakat atau SDM
Dalam membangun dan mengembangkan usaha perikanan tangkap sangat
dibutuhkan SDM yang cukup tangguh, handal dan profesional. Untuk
memperoleh tenaga-tenaga yang trampil dalam penguasaan teknologi,
maka sangat dibutuhkan pembinaan terhadap SDM yang merupakan
langkah awal yang harus diperhatikan sehingga dalam pelaksanaan
kegiatan operasi penangkapan dapat berjalan secara optimal.
(2) Sarana produksi
Indikator utama dan merupakan penunjang ke arah berkembangnya usaha
perikanan tangkap sangat bergantung pada fungsi sarana produksi yang
tersedia. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap,
pabrik es, galangan kapal, instalasi air tawar dan listrik serta pendidikan
dan pelatihan tenaga kerja.
(3) Usaha penangkapan atau proses produksi
Usaha penangkapan terdiri dari kapal, alat dan nelayan, aspek legal yang
meliputi sistem informasi dan unit sumber daya yang terdiri dari spesies,
habitat dan lingkungan fisik.
(4) Prasarana pelabuhan
Menurut DJPT (2004) pelabuhan perikanan (PP) adalah pusat
pengembangan ekonomi ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan
pemasaran. PP berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat
nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil
perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat
pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, serta pusat pelaksanaan
penyuluhan dan pengumpulan data. Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 31
tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa PP mempunyai peranan
penting dalam mendukung peningkatan produksi perikanan, memperlancar
arus lalu lintas kapal perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian
masyarakat perikanan, pelaksanaan dan pengendalian SDI, dan
mempercepat pelayanan terhadap kegiatan di bidang usaha perikanan.
Mengingat sampai saat ini pembangunan PP sebagai prasarana perikanan
telah banyak dilakukan, maka pembinaannya dilakukan secara ganda, yaitu
meningkatkan pemanfaatan prasarana yang telah dibangun dan terus
melanjutkan pembangunan di tempat-tempat lain yang strategis dan
(5) Unit pengolahan
Unit pengolahan terdiri dari handling atau penanganan, processing dan
packaging. Unit pengolahan bertujuan untuk mempertahankan kualitas hasil tangkapan dengan melakukan penanganan yang tepat dan
mengutamakan produksi selalu dalam keadaan higienis dan terhindar dari
sanitasi. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya
penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern
dengan menggunakan es, atau alat pendingin lainnya.
(6) Unit pemasaran
Pemasaran merupakan arus pergerakan barang-barang dan jasa dari
produsen ke tangan konsumen.
Pembangunan perikanan tangkap ke depan dinilai cerah karena potensi
dan prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : (1) luasnya perairan yang
dimiliki (laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau,
waduk, rawa dan genangan air lainnya); (2) potensi lestari ikan laut yang belum
dikelola secara optimal; (3) potensi SDM nelayan yang melimpah yang belum
dioptimalkan; (4) prospek pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk
perikanan laut; (5) permintaan ikan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat
tinggi seiring meningkatnya jumlah penduduk; dan (6) kesadaran masyarakat
akan pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan bebas
kolesterol sehingga masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi
white-meat (DJPT 2004).
Menurut RPPK (2005) peluang pemanfaatan sumber daya perikanan
meliputi:
1. Pengendalian perikanan tangkap di daerah-daerah padat nelayan dan daerah
yang telah terindikasi mengalami tekanan penangkapan ikan secara
berlebihan.
2. Rasionalisasi dan relokasi kegiatan penangkapan ikan dalam rangka mencari
keseimbangan spasial pemanfaatan sumber daya perikanan.
3. Pengembangan perikanan tangkap di daerah yang masih rendah tingkat
pemanfaatan sumber dayanya, termasuk ZEEI.
4. Promosi, inisiasi, dan pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan
di perairan internasional (high sea), utamanya di Samudera Hindia dan
5. Pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan budidaya, dengan
penekanan pada jenis-jenis yang memiliki nilai atau harga internasional yang
tinggi.
6. Pengembangan budidaya perikanan jenis atau spesies untuk kebutuhan
domestik, lokal, dan dalam negeri.
7. Pengembangan industri pengolahan perikanan yang diarahkan pada
penciptaan nilai tambah dan penciptaan produk yang dapat bersaing di pasar
global.
8. Pengembangan pemasaran ikan dan produk perikanan untuk memenuhi
konsumsi ikan dalam negeri serta sebagai sumber devisa negara.
Pemanfaatan peluang pengembangan tersebut didukung dengan jumlah
tenaga kerja di bidang perikanan yang sampai tahun 2004 mencapai kurang lebih
6,0 juta orang. Dari sisi keterkaitan antar sektor, keberhasilan pembangunan
sektor perikanan masih tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan sektor lain.
Saat ini dukungan sektor terkait belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan,
seperti dukungan permodalan, jaminan keamanan dan kepastian hukum,
penataan ruang, pengendalian pencemaran, pembangunan infrastruktur, serta
urusan kepelabuhanan (RPPK 2005).
Kebijakan pembangunan perikanan tangkap menurut DJPT (2004) adalah:
(1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian
dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke
pengolahan dan pemasaran, (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi
armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri
dalam negeri dan keberpihakan pada perusahaan dalam negeri dan nelayan
lokal, dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara
bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan.
Menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), perikanan tangkap perlu
dikelola dengan baik karena:
(1) Perikanan tangkap berbasis pada sumber daya hayati yang dapat
diperbaharui (renewable), namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan.
SDI memiliki kelimpahan yang terbatas sesuai carrying capacity habitatnya.
(2) SDI dikenal sebagai sumber daya milik bersama (common property) yang
rawan terhadap upaya penangkapan lebih (overfishing).
(3) Pemanfaatan SDI dapat merupakan sumber konflik (di daerah penangkapan
(4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan dan mampu memberi
kehidupan yang layak bagi para nelayan dan pengusahaannya. Jumlah
nelayan yang melebihi kapasitas akan menimbulkan kemiskinan para
nelayan.
(5) Kemampuan modal, teknologi dan akses informasi yang berbeda antar
nelayan menimbulkan kesenjangan dan konflik.
(6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor
lainnya, khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut.
Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di
bidang perikanan tangkap antara lain: (1) usaha perikanan tangkap masih
didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, (2) tidak ada kepastian
dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, (3) maraknya IUU fishing
baik oleh nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat
tangkap produktivitasnya menurun, (4) rendahnya kepastian hukum, (5)
kurangnya insentif investasi, (6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai
wilayah kurang kondusif, (7) banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha, baik
yang resmi ataupun yang tidak resmi (unpredictable), (8) bidang perikanan
tangkap dipandang tidak bankable, (9) rendahnya kualitas SDM, (10) sarana dan
prasarana daerah tertentu belum memadai, dan (11) tumpang tindihnya
peraturan pusat dan daerah, terutama terkait dengan pungutan, retribusi, dan
pajak pengusahaan perikanan (DJPT 2005).
Perikanan tangkap masih berpeluang untuk dikembangkan, namun disatu
sisi masih terdapat beberapa permasalahan pembangunan perikanan tangkap,
antara lain (Barani 2004):
(1) Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan
karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan.
(2) Struktur armada perikanan yang masih didominasi oleh skala kecil atau
tradisional dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
yang rendah.
(3) Masih timpangnya tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan
dengan kawasan perairan laut lainnya.
(4) Masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing,
yang terjadi karena penegakan hukum (law enforcement) di laut masih
lemah.
(6) Terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan
mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang
merupakan tempat (habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah
(spawning ground), mencari makan (feeding ground), atau membesarkan diri
(nursery ground).
(7) Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan,
terutama oleh usaha tradisional sesuai dengan selera konsumen dan
standardisasi mutu produk secara internasional (seperti hazard analysis
critical control point atau HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya).
(8) Lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen tentang
jenis dan mutu komoditas perikanan.
(9) Belum memadainya prasarana ekonomi dan sarana sistem transportasi dan
komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk
perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu, terutama di luar
Jawa dan Bali.
Ada pula kendala yang sangat mempengaruhi tingkat pendapatan dari
para nelayan menurut Barani (2004) antara lain:
(1) Terjadinya degradasi dan kerusakan sumber daya perikanan dan lingkungan
diakibatkan oleh kegiatan perikanan (destructive fishing) maupun kegiatan
non perikanan (penambangan karang, pencemaran, penebangan mangrove,
dan sebagainya).
(2) Semakin meningkatnya kasus pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh
kapal ikan berukuran besar yang secara langsung merugikan nelayan kecil.
(3) Timbulnya konflik nelayan antar daerah dalam pemanfaatan fishing ground,
terutama akibat dari pemahaman otonomi daerah yang berlebihan.
(4) Terbatasnya prasarana pendukung sehingga menghambat kelancaran usaha
nelayan.
(5) Belum berkembangnya pola kemitraan usaha yang saling menguntungkan.
(6) Produktivitas dan efisiensi usaha relatif masih rendah, terutama akibat dari
skala usaha yang masih kecil maupun posisi marginal nelayan dalam
pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil.
Beberapa strategi perencanaan pengelolaan perikanan tangkap menurut
(1) Pengikutsertaan nelayan dalam proses perencanaan merupakan suatu hal
yang mutlak untuk mendapatkan dukungan yang kuat terhadap perencanaan
pengembangan perikanan tangkap. Hal ini akan mempermudah proses law
enforcement setiap kebijakan pengelolaan.
(2) Implementasi monitoring, controlling dan surveillance (MCS), guna
pembentukan sistem informasi yang efektif dan akurat, untuk perencanaan
pengelolaan SDI, serta untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang
berkelanjutan.
(3) Code of conduct for responsible fisheries (FAO 1995) dalam artikel 10
tentang “Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir” terutama
pada artikel 10.1 :
(a) Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan
kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan sumber
daya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari
ekosistem pantai dan sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan
kebutuhan dari masyarakat pesisir.
(b) Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus
menjamin bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap
ikan harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan serta
kegiatan lainnya yang terkait dalam perencanaan pengelolaan dan
pembangunan wilayah pantai.
(c) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan
kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan sumber
daya pesisir dan untuk mengatur akses terhadapnya, dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek
kebiasaan untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan.
(d) Negara harus memfasilitasi pemberlakuan praktek-praktek perikanan
yang dapat menghindarkan konflik antar pengguna sumber daya
perikanan dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya.
(e) Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada
tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam
sektor perikanan dan antara pengguna sumber daya perikanan dengan
2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap
Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengertian proses, cara, atau perbuatan mengembangkan.
Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang
kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan
pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa
peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang
disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan
manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik
(Bahari 1989).
Monintja (1987) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan
tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas
usaha perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan
nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan
penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumber
daya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha
perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial-budaya.
Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan
tangkap di suatu kawasan konservasi antara lain:
(1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi
ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies.
(2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas
penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di
darat.
(3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak
usaha terhadap nelayan.
(4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta
efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi
stakeholders.
Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan
pada perluasan kesempatan kerja, maka menurut Monintja (1987), teknologi
menyerap banyak tenaga kerja, dengan pendapatan setiap nelayan memadai.
Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan
protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang
memiliki produktivitas unit serta produktivitas nelayan per tahun yang tinggi,
namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.
Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa
mendatang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan
IPTEK. Tetapi dengan pemanfaatan IPTEK itu pulalah kita diharapkan akan
mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang
rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah
pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek
biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991).
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh
karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi
penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: (1) jika di tinjau dari segi biologi
tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis
efektif digunakan, (3) secara sosial dapat di terima masyarakat nelayan, dan (4)
secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Selanjutnya
dikatakan bahwa satu aspek yang tidak dapat diabaikan adalah
kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah. Pengembangan jenis-jenis teknologi
penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang
tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, apabila hal ini dapat disepakati, maka
syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat:
(1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.
(2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan.
(3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi.
(4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor.
(5) Tidak merusak kelestarian SDI.
2.4 Taman Nasional
Definisi Taman Nasional menurut UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya, adalah merupakan kawasan pelestarian alam
yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi serta dapat
rekreasi, dan pariwisata. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa pengelolaan taman
nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap
ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya,
dan (3) pelestarian pemanfaatan. Selain beberapa fungsi tersebut, taman
nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah
taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui
berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan, pertanian, dan pemanfaatan
sumber daya alam (SDA) yang lain.
Berdasarkan pada artikel 32 UU No. 5 tahun 1990, pengelolaan taman
nasional berdasarkan pada sistem zonasi. Sistem zonasi meliputi zona inti, zona
rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona lain yang dibutuhkan. Kebijakan
pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa:
(1) Taman nasional sebagai kawasan konservasi alam mempunyai fungsi
melindungi fungsi ekosistem, melestarikan keanekaragaman flora dan fauna,
dan pemanfaatan secara terus menerus dari SDA.
(2) Kegiatan yang diijinkan dalam kawasan taman nasional meliputi: penelitian,
pendidikan, budaya, dan wisata alam. Semua kegiatan yang membawa
dampak negatif terhadap fungsi ekosistem taman, merubah bentang darat
secara permanen, atau berakibat pada ancaman punahnya spesies dilarang.
(3) Pengelolaan taman nasional berdasarkan sistem zonasi, meliputi zona inti,
zona rimba, zona pemanfaatan secara intensif, dan zona-zona lain yang
dibutuhkan.
(4) Di dalam zona pemanfaatan secara intensif, fasilitas pariwisata dapat
dibangun, dengan berdasarkan pada rencana pengelolaan dan masukan dari
hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
(5) Untuk tujuan wisata dan rekreasi, pemerintah menghembuskan isu dan
mendorong masyarakat lokal untuk melakukan usaha pariwisata di zona
pemanfaatan intensif taman nasional.
(6) Partisipasi masyarakat dalam taman nasional harus ditingkatkan. Organisasi
non pemerintah didorong untuk ikut dalam kegiatan lapangan, perencanaan
dan pengelolaan taman.
(7) Prosedur pemantauan dan evaluasi serta tindakan AMDAL diambil untuk
Penerapan sistem zonasi suatu kawasan laut yang dilindungi menurut UU
No. 5 tahun 1990 dimaksudkan sebagai alat bantu pengelolaan yang berperan
dalam:
(1) Penentuan izin untuk pemanfaatan khusus atau terbatas pada areal atau
daerah tertentu.
(2) Penentuan perlindungan bagi spesies tertentu dengan melindungi hewan
kritis atau habitat yang memungkinkan kehidupannya.
(3) Pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan.
(4) Mereduksi atau mengeliminasi potensi konflik.
(5) Meningkatkan dukungan masyarakat lokal bagi keberadaan kawasan laut
yang dilindungi dengan menempatkan aturan atau regulasi spesifik tentang
aktifitas pemanfaatan pada setiap zona, yang dapat diterima oleh masyarakat
setempat.
Untuk mengoptimalkan peran alat bantu seperti yang digambarkan di atas,
maka aspek-aspek penting yang harus termuat dalam suatu sistem zonasi
menurut UU No. 5 tahun 1990 adalah:
(1) Terdapatnya lokasi secara spasial dan temporal dalam suatu kawasan laut
yang dilindungi yang secara jelas diperuntukkan bagi aktifitas pemanfaatan
spesifik yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi spesies
yang terancam punah, spesies yang memiliki kepentingan khusus (ekonomi
atau lainnya) dan habitat-habitat penting.
(2) Memungkinkan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas pemanfaatan secara
berkesinambungan yang dapat meminimalisasi konflik antar pengguna.
(3) Terdapatnya informasi tentang sumber daya hayati yang mutlak ada di dalam
suatu kawasan yang dilindungi, sebagaimana halnya dengan informasi
tentang pemanfaatan sumber daya hayati tersebut.
Prinsip dasar pengelolaan taman nasional menurut UU No. 5 tahun 1990
harus berpedoman kepada:
(1) Rencana kegiatan pengelolaan suatu kawasan taman nasional harus
mengoptimalkan tiga misi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman hayati, pemanfaatan secara lestari SDA dan
ekosistemnya, eksploitasi, domestifikasi, dan berasaskan ekonomis.
(2) Optimalisasi kegiatan konservasi terutama ditekankan untuk kepentingan
(3) Perlindungan pada ekosistem yang didalamnya terdapat biota endemik agar
tidak punah.
(4) Pengelolaan harus didasarkan pada sistem zonasi yang jelas dalam bentuk
zona inti, zona perlindungan, dan zona pemanfaatan.
(5) Pengembangan zona pemanfaatan bagi kepentingan masyarakat.
(6) Diluar kawasan taman nasional bisa dikembangkan sebagai daerah
penyangga dengan memfasilitasi kegiatan masyarakat.
(7) Untuk mengetahui kemungkinan peningkatan adanya penekanan aktivitas
masyarakat terhadap kawasan taman nasional senantiasa dikembangkan
pola koordinasi dan komunikasi yang terstruktur dengan baik dengan
berbagai stakeholders terkait.
2.5 Kepulauan Karimunjawa
Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar
83 km di barat laut Kota Jepara. Secara administratif wilayah ini merupakan
salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah yang secara
geografis terletak antara 5o40’39’’-5o55’00’’ LS dan 110o05’57’’-110o31’15’’ BT
(BTNKJ 2007). Kepulauan Karimunjawa merupakan gugusan pulau yang
berjumlah 27 pulau (Tabel 1). Dari 27 pulau tersebut lima diantaranya telah
dihuni penduduk, yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau
Nyamuk, dan Pulau Genting. Karimunjawa merupakan sebuah kecamatan yang
didalamnya terdapat 3 buah desa, yaitu Desa Karimunjawa, Desa Kemujan, dan
Desa Parang, dengan wilayah dukuh sebagai berikut:
(1) Desa Karimunjawa, meliputi dukuh: Karimunjawa, Kapuran, Legon Lele, Jati
Kerep, Alang-alang, Cikmas, Kemloko, dan Genting.
(2) Desa Kemujan, meliputi dukuh: Kemujan, Mrican, Telaga, Batu Lawang,
Legon Gedhe, dan Legon Tengah.
(3) Desa Parang, meliputi dukuh: Parang dan Nyamuk.
Sejak tanggal 29 Februari 1988 Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman
Nasional Laut melalui surat Menhut No.161/Menhut-II/1988 dan dikukuhkan
melalui SK Menteri Kehutanan No.185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997
dengan luas 111.625 ha yang terdiri daratan di Pulau Karimunjawa seluas
1.285,50 ha dan daratan di Pulau Kemujan seluas 222,20 ha, serta perairan
disekitarnya seluas 110.117,30 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
seluas 110.117,30 ha dijadikan sebagai Kawasan Pelestarian Alam perairan
[image:38.595.114.516.159.684.2](BTNKJ 2007).
Tabel 1 Pulau-pulau di Kepulauan Karimunjawa
No. Nama Desa, Nama Pulau Luas Pulau (ha) % Luas Kawasan Darat
A. KARIMUNJAWA 4.619,00 64,92
1 Karimunjawa 4.302,50 60,47
2 Menjangan Kecil 56,00 0,79
3 Menjangan Besar 46,00 0,65
4 Cemara Kecil 1,50 0,02
5 Cemara Besar 3,50 0,05
6 Menyawakan 21,00 0,30
7 Geleang 24,00 0,34
8 Burung 1,00 0,01
9 Batu 0,50 0,01
10 Genting*) 135,00 1,90
11 Seruni*) 20,00 0,28
12 Sambangan*) 8,00 0,11
B KEMUJAN 1.626.00 22,85
13 Cendekian*) 13,00 0,18
14 Gundul*) 4,50 0,06
15 Kemujan 1.501,50 21,10
16 Tengah 4,00 0,06
17 Cilik 2,00 0,03
18 Bengkoang 79,00 1,11
19 Mrico 1,00 0,01
20 Sintok 21,00 0,30
C PARANG 870,00 12,23
21 Parang 690,00 9,70
22 Nyamuk 125,00 1,76
23 Kumbang 12,50 0,18
24 Katang 7,50 0.11
25 Kembar 15,00 0,21
26 Krakal Kecil 10,00 0,14
27 Krakal Besar 10,00 0,14
LUAS TOTAL DARATAN 7.115,00 100,00
Topografi Kepulauan Karimunjawa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
perbukitan, perbukitan bergelombang, dan dataran rendah. Perbukitan
terbentang luas di Pulau Karimunjawa dengan ketinggian 200-500 m. Bertekstur
kasar, berlereng terjal, dan disusun oleh batuan sedimen pra-tersier. Perbukitan
bergelombang terbentang di Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang,
dan Pulau Genting, dengan ketinggian 25-200 m, bertekstur halus hingga agak
kasar, berlereng landai, dan disusun oleh batuan sedimen dan batuan gunung
api. Gunung Walang dan beberapa gumuk (bukit kecil) merupakan tonjolan
topografi pada daerah ini. Dataran rendah terbentang di Pulau Karimunjawa,
Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Genting, Pulau Menjangan, Pulau Cemara,
Pulau Bengkoang, Pulau Geleang, dan Pulau Sintok dengan ketinggian antara
0-25 m. Penyusun substrat dataran rendah ini antara lain aluvium dan sedikit
batuan gunung api atau batuan sedimen (BTNKJ 2001).
Wilayah Kepulauan Karimunjawa mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi
oleh angin laut dengan suhu rata-rata 26-30oC. Suhu maksimum 34oC dengan
suhu minimum 22oC. Kelembaban nisbi antara 70-85%, dan tekanan udara
berkisar antara 1,012 mbar. Dalam satu tahun terdapat dua pergantian musim,
yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan musim pancaroba
diantaranya. Musim kemarau (musim timur) terjadi pada bulan Juni-Agustus.
Pada musim ini cuaca sepanjang hari cerah dengan curah hujan rata-rata <200
mm/bulan, rata-rata penyinaran matahari antara 70-80% setiap hari. Bulan kering
terjadi pada Maret-Agustus dengan curah hujan sekitar 60 mm/bulan. Arah angin
datang dari timur sampai tenggara dengan kecepatan 7-10 knot, kadang-kadang
mencapai 16 knot lebih. Musim pancaroba pertama terjadi pada
September-Oktober, pada periode ini angin didominasi dari barat dan barat laut, juga dari
timur dan utara dengan kecepatan yang sangat bervariasi (BTNKJ 2001).
Musim penghujan (musim barat) berlangsung antara November-Maret
dengan curah hujan >200 mm/bulan dan angin dengan gelombang laut yang
besar. Rata-rata penyinaran matahari 30-60% setiap harinya. Bulan Januari
merupakan bulan terbasah dengan curah hujan 400 mm/bulan. Pada saat ini
gelombang laut relatif besar, berkisar antara 0,40-1,25 m bahkan pada cuaca
buruk di laut terbuka untuk terjadi gelombang tinggi hingga mencapai 1,7 m.
Angin bertiup cukup kencang dengan arah bervariasi dari barat dan barat laut
dengan kecepatan rata-rata 7-16 knot, dan dapat pula mencapai 21 knot. Setelah
biasa terjadi antara April-Mei, arah angin lebih bervariasi dari barat dan timur silih
berganti dengan kecepatan rata-rata 4-10 knot (BTNKJ 2001).
Keadaan salinitas TNKJ sebesar 28-35 ppm, derajat keasaman (pH)
perairan pada umumnya alkalis. Keasaman tersebut disebabkan oleh tipe
substrat dasar perairan yang merupakan paparan pasir dan terumbu karang, di
mana kandungan garam biogenik khususnya kalsium cukup tinggi. Kecepatan
arus permukaan berkisar antara 8-25 cm detik. Arus yang cukup kuat dijumpai di
antara Pulau Karimunjawa dan Pulau Menjangan besar, sekitar Pulau Kembar,
sekitar Pulau Krakal Kecil dan Pulau Krakal Besar, bagian timur Pulau
Menyawakan, dan sekitar Pulau Bengkoang. Keadaan pasang surut berfluktuasi
mencapai 92 cm. Pada umumnya dasar perairan mulai tepi sepanjang
pulau-pulau yang terdapat di Kepulau-pulauan Karimunjawa adalah pasir, kemudian ke
tengah dikelilingi terumbu karang dari kedalaman 0,5-15 m. Sedangkan
kedalaman perairan dengan perhitungan berpatokan pada jarak dari pantai
antara 10-200 m berkisar antara 0,5-15 m (BTNKJ 2001).
2.6 Evaluasi Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation)
Pengembangan sistem pengambilan keputusan (SPK) didasarkan pada
pengembangan hubungan logis persoalan keputusan ke dalam suatu model
matematik dan model informasi yang mencerminkan hubungan antar faktor yang
terlibat. Analisis pada dunia nyata harus memperhitungkan faktor ketidakpastian
yang bersifat inheren. Pada banyak kasus, ketidakpastian tidak sama dengan
keacakan atau randomness, akan tetapi bersifat ambiguity dan vagueness atau
fuzziness yang tidak dapat direpresentasikan secara matematis dalam teori
peluang (Fedrizzi 1987). Tidak semua masalah dalam dunia nyata dapat
dinyatakan secara eksak dengan derajat kebenaran pada selang [0,1], yaitu
antara ya dan tidak. Hampir semua masalah mengandung ketidakpastian yang
dinyatakan dengan kata-kata “mendekati”, “kira-kira”, “hampir”, “sedikit lebih
besar dari”, “sedikit lebih kecil dari” yang kenyataannya sulit dikuantifikasi dalam
besaran eksak, sehingga dinamakan fuzzy. Representasi himpunan fuzzy pada
masalah antara “ya” dan “tidak” digunakan pendekatan seperti probabilistik
(Yager and Pilev 1994).
Proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian atau pendapat
berbagai pihak (stakeholder) atau ahli merupakan suatu perihal yang sangat
pendapat setiap stakeholder atau ahli didasarkan kepada kriteria jamak.
Persoalan proses pengambilan keputusan ini disebut sebagai multi expert
(person) multi criteria decision making atau MCDM (Yager 1993). Pada
ME-MCDM salah satu aspek yang penting adalah proses agregasi rating dan
preferensi serta penggabungan pendapat dari setiap ahli atau stakeholder
sehingga solusi yang diperoleh adalah yang paling diterima oleh kelompok
secara keseluruhan. Teknik agregasi yang digunakan tergantung kepada apakah
lingkungan keputusan bersifat deterministik, stokastik, possibilitik atau fuzzy,
serta bentuk penilaian terhadap kriteria untuk setiap alternatif keputusan berupa
numerik atau non numerik (linguistic label). Skala evaluasi atau penilaian adalah
dalam bentuk label linguistic yang secara berturut-turut adalah sempurna (S7),
sangat tinggi (S6), tinggi (S5), medium (S4), rendah (S3), sangat rendah (S2), dan
tidak ada (S1) atau himpunan S = ( s1, s2, ..., s7) (Marimin et al. 1998).
Untuk mengidentifikasi faktor atau kriteria digunakan metode ordered
weighted averaging (OWA-Operators). Jika x adalah suatu keputusan yang terdiri
atas beberapa alternatif A1, A2,...,An; dan n kriteria. Setiap kriteria Aj, Aj(X) Є (0,1)
menunjukkan seberapa besar x memenuhi kriteria yang bersangkutan. Untuk
menunjukkan suatu kisaran nilai, maka Aj(X) Є I. Fungsi keputusan menyeluruh
dari derajat x yang memenuhi persyaratan kriteria diinginkan dinyatakan D(x) Є I.
Salah satu faktor utama penentuan struktur fungsi agregasi adalah keterkaitan
antar kriteria yang terlibat. Ada dua kasus ekstrim yaitu: (1) situasi yang
diinginkan oleh semua kriteria dapat dipenuhi, maka disebut sebagai
“and”-operator, dan (2) situasi yang diinginkan salah satu kriteria dapat memuaskan
semua pihak yang disebut “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994).
Pada kasus (1), x harus memenuhi A1 dan A2 dan A3 ... dan An, yang
diformulasikan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh sebagai berikut:
D(x)=T(A1(X), A2(X),..., An(Xn)), dan T adalah operator t-norms operator, yang
memenuhi syarat commutative, monotonic, dan associative yang dibutuhkan
sebagai operator agregasi. Yager (1988) menunjukkan salah satu implikasi dari
sifat operator t-norm untuk semua aj (j=1, 2,..., n) dinyatakan:
T (a1, a2, ..., an) < Min (a1, a2, ..., an)
Untuk semua aЄ I
T(a,a) = a, menunjukkan sifat idempoten, dan
Pada kasus (2), x memenuhi A1 atau A2 atau A3 ... atau An, yang
dirumuskan dalam bentuk fungsi keputusan menyeluruh berikut:
D(x) = S(A1 (x), A2 (x), ..., An(xn))
Keterangan:
S adalah operator co-t-norms operator, yang memenuhi syarat sebagai operator
agregasi, kecuali bahwa untuk semua aj (j=1, 2, ..., n) dinyatakan: S (a1, a2,..., an)
< Min (a1, a2, ..., an), sehingga untuk semua a Є I, S (a,a) = a menunjukkan sifat
idempoten dan S (0,a) = a, yang menunjukkan kondisi at least one.
Pada persoalan ME-MCDM, proses agregasi berada pada posisi diantara
kasus dua ekstrim tersebut. OWA-operator merupakan operator agregasi yang
dengan mudah dapat melakukan penyesuaian atau menggabungkan diantara
“and”-operator dan “or”-operator (Yager 1988; Yager and Pilev 1994).
Operator OWA untuk a = (a1, a2, ..., an) dikaitkan dengan vektor pembobot
W = (w1, w2,..., wn) sehingga wi Є [0,1], Σi wi = 1 didefinisikan sebagai suatu
pemetaan F:1n I (di mana I = [0,1]). Aspek yang fundamental dari operator
OWA adalah tahap re-ordering, di mana suatu argumen ai tidak dikaitkan dengan
suatu pembobot wi tertentu, tetapi pembobot wi dikaitkan dengan suatu posisi
urutan ke-i dari argumen tertentu (Filev and Yager 1998).
Untuk melakukan evaluasi preferensi non-numerik secara bebas Yager
(1993) merumuskan suatu metode komputasi non-numerik untuk proses
pengambilan keputusan kelompok secara fuzzy. Metode komputasi dilakukan
secara bertahap, yaitu (1) agregasi terhadap kriteria ganda, kemudian (2)
agregasi terhadap semua pakar.
(1) Agregasi Terhadap Kriteria Ganda
Untuk melakukan agregasi terhadap kriteria ganda setiap proposal Pi,
setiap pakar akan memberikan suatu himpunan yang terdiri dari n nilai, yaitu:
[Pik(q1), Pik(q2),..., Pik(qn)]
Keterangan:
Pik(qj) adalah rating dari proposal ke-i pada kriteria ke-j oleh pakar ke-k.
Pik (qj) adalah elemen dalam himpunan S.
(qj) adalah tingkat kepentingan setiap kriteria, dengan skala penilaian label
linguistic.
Yager (1993) merumuskan formula agregasi kriteria sehingga didapatkan
unit skor setiap proposal oleh setiap pakar sebagai berikut:
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa kriteria yang memiliki tingkat
kepentingan rendah mempunyai pengaruh yang kecil terhadap skor keseluruhan.
Formulasi agregasi tersebut memenuhi kondisi pareto optimalitas, kebebasan
terhadap alternatif tidak relevan, asosiasi yang positif bagi skor individual
terhadap skor keseluruhan, non-dictatorship, dan simetri, yang harus dipenuhi
untuk agregasi kriteria jamak atau ganda.
(2) Agregasi Terhadap Semua Pakar
Pada proses agregasi semua pakar dilakukan penentuan suatu fungsi
agregasi Q yang menunjukkan generalisasi ide banyak pakar yang dibutuhkan
untuk mendukung suatu keputusan. Untuk nilai Q(i) diambil dari skala S = {s1, s2,
..., sn}, di mana i merupakan nilai dari 1 sampai dengan m (Yager 1993).
Y