• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi penanda genetik mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi penanda genetik mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI PENANDA GENETIK

mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG

Goniopora

spp. (Cnidaria: Scleractinia)

DALAM UPAYA

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN

PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

JUSAK WIRA HARDJA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Jusak Wira Hardja

(3)

ABSTRACT

JUSAK WIRA HARDJA. Characterization of mtDNA COI and rDNA ITS Region as the Genetic Markers of Coral Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) in Coral Reef Management Efforts in Pramuka Island, Seribu Islands. Under direction of ARIO DAMAR, PUTRI ZAMANI and DEDY DURYADI SOLIHIN.

Condition of coral reefs in Seribu Islands have been degraded, particularly on islands adjacent to Jakarta (hard coral cover < 5%). The largest portion of coral reef damage due to human activity, including destructive and over fishing, corals and sand mining, water pollution, run-off, sedimentation and coastal development. In Indonesia, during the period 1999-2003 which corals live as coral trade is a kind of colored or have a large polyp that can be seen throughout the day, such as

Euphyllia spp. and Goniopora spp. are included in Appendix II of CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).obtained from various regions in Indonesia. Ornamental coral export development in Indonesia in general tends to increase every year along with the increasing number of importing countries International trade of corals, reef fish, live coral reefs and other organisms are activities that contribute to the decline and degradation of coral reefs. Efforts to conserve and rehabilitation of coral reefs have been carried out, such as coral transplantation, but there are problems in systematic, taxonomy, and identification of coral species level, due to frequent changes and plasticity morphology. DNA Barcoding is one solution to overcome this problem. However the genetic markers based on Cytochrome c oxidase sub-unit 1 (COI) seemly cannot be applied to species level of coral, so that other genetic markers is required. In this study was used two genetic markers of mtDNA COI (mitochondrial DNA COI) and ITS rDNA (nuclear ribosomal intra transcribed spacer region) as a comparison. Coral samples were taken from the Seribu Islands waters at Pramuka Island and Panggang Island at different locations, then performed morphological identification, isolation of DNA, PCR-based DNA amplification, and sequence analysis genomic DNA using the Mega 4.0. program and using Porites spp. nucleotide sequence from GenBank as an out-group. The research concluded that based on the genotypic characteristics suggested that the COI genes of corals were relatively can only be used at the level of genus or higher level. Whereas ITS rDNA genes were relatively can be used as genetic markers at the species level, but should be used the other gene markers as a control or comparison. By knowing the genotypic differences of coral species, is expected to be a reference in determining the donor that can be used in coral reef transplantation, especially in management coral reefs efforts in the waters of Pramuka and Panggang Islands, and as generally in the Seribu Islands waters. Furthermore, genetic markers as DNA Barcode has potentially to be used as one of identification tool in the regulation of corals trading, especially ornamental coral such as Goniopora spp.

(4)

RINGKASAN

JUSAK WIRA HARDJA. Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia)dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARIO DAMAR, NEVIATY PUTRI ZAMANI dan DEDY DURYADI SOLIHIN.

Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu telah mengalami degradasi, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Kepulauan Seribu masih memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009).

Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan

Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia. Perkembangan ekspor karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun 2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45 negara (Kudus 2005).

Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan. Beberapa negara telah mengembangkan lebih lanjut teknologi transplantasi karang dan marine culture (coral farming), yang tujuannya selain restorasi dan rehabilitasi juga budidaya untuk memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias (Clark dan Edward 1999; Green dan Shirley 1999; Berzin et al. 2008). Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplan pada terumbu karang yang akan dipulihkan.

(5)

diterapkan dalam memperkirakan besarnya keanekaragaman genetik dalam komunitas karang. Hasilnya dapat digunakan sebagai referensi untuk menghasilkan larva di laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber asalnya. (Omori dan Fujiwara 2004).

Penggunaan barkode DNA (DBC) sebagai alat untuk mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit I (COI) (Herbert et al. 2003). Urutan basa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa) dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode identifikasi morfologi spesies yang konvensional. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode DNA yang berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1 (COI) tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia tersebut (Shearer dan Coffroth 2006). Karena masih belum jelasnya apakah standar sistem penanda DNA, berdasarkan COI cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini digunakan dua penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisa karakteristik morfologik dan genotipik keragaman jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter spesies pada habitat yang berbeda di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. 2)Mengetahui perbedaan karakteristik penanda genetik COI dan ITS yang dipergunakan untuk analisa genetik karang Goniopora

spp. 3) Mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik genetika karang

Goniopora spp dengan pendekatan perbedaan susunan nukleotida dan jarak genetik masing-masing species karang Gonipora yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam penentuan donor karang yang akan ditransplantasikan. Sedangkan manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan memberikan informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda genetik (genetik marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang yang ada di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang ..

Dalam penelitian ini digunakan dua penanda genetik, COI mtDNA dan daerah ITS rDNA sebagai pembanding. Sampel karang diambil dari perairan Kepulauan Seribu di P. Pramuka dan P. Panggang pada lokasi yang berbeda, kemudian dilakukan identifikasi morfologi, isolasi DNA, amplifikasi DNA berbasis PCR dan perunutan DNA, sedangkan analisis genom menggunakan program Mega 4.0. dengan menggunakan runutan nukleotida Porites spp. dari

GenBank sebagai out-group. Berdasarkan hasil karakteristik morfologik dapat diketahui bahwa kelima spesimen karang tersebut adalah spesies yang berbeda, yaitu: G. norfolkensis, G. palmensis, G. stokesi, G. tenuidens dan G. columna.

(6)

mempunyai lebih banyak nukleotida yang kekal (conserve) dibandingkan dengan gen ITS yang lebih variabel. Berdasarkan dendrogram kedua penanda genetik pada Porites spp. dapat dilihat bahwa penanda genetik COI belum dapat membedakan karakteristik genetik inter spesies karang Porites, sedangkan penanda genetik ITS dapat membedakan karakteristik genetik inter dan intra spesies pada karang Porites. Pada penelitian ini, COI mempunyai tingkat polimorfisme yang sangat rendah dan memiliki keterbatasan sebagai alat yang berguna untuk membedakan spesies karang Goniopora, tetapi dapat dipakai sebagai penyaring (scanner) yang digunakan untuk membedakan jenis karang pada tingkat genus ke atas, dan akan sangat informatif bila dikombinasikan dan dibandingkan dengan pendekatan. penanda genetik lainnya seperti daerah ITS ribosomal.

Dengan mengetahui persamaan dan perbedaan karakteristik genetik ini, akan sangat berguna dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang rusak, yaitu dalam hal pemilihan atau penempatan donor dalam kegiatan transplantasi. Jika terdapat variasi genetik yang sangat ekstrim, maka donor harus dipertimbangkan dengan seksama, karena berpotensi mempunyai efek yang negatif bagi ekosistem yang telah ada sebelumnya, yaitu dapat terjadi dominansi, agresivitas spesies karang tertentu, kompetisi intraspesifik, percepatan penyebaran penyakit pada karang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penanda genetik yang telah disepakati secara ilmiah dapat digunakan sebagai Barkode DNA (DBC). DBC dapat diaplikasikan dalam perdagangan karang hias untuk membedakan karang yang berasal dari penangkaran atau dari alam. DBC juga dapat dijadikan alat bukti jika terjadi perdagangan karang ilegal, dapat dipakai sebagai alat identifikasi spesies karang yang sulit untuk diamati secara morfologik dan spesies karang yang langka (endemik).

Kesimpulan yang diperoleh bahwa: 1) Berdasarkan karakteristik morfologi yang dilakukan, dari lima koloni karang yang diambil di perairan Kepulauan Seribu ternyata kelima-nya berbeda spesies yaitu : G. stokesi, G. palmensis, G. columna, G. norfolkensis dan G. tenuidens. 2) Berdasarkan karakteristik genotipik diduga bahwa gen mtDNA COI pada karang relatif hanya dapat dipakai pada tingkatan genus atau tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan gen rDNA yaitu daerah ITS ribosomal relatif dapat dipakai sebagai marka genetik pada tingkatan spesies, tetapi harus digunakan marka gen lainnya sebagai kontrol atau pembanding, karena hasil dendrogramnya sangat beragam. 3) Dengan mengetahui perbedaan genotipik spesies karang, diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menentukan donor karang yang akan digunakan transplantasi karang yang mempunyai kedekatan secara genetik, khususnya dalam upaya rehabilitasi terumbu karang di perairan P. Pramuka dan P. Panggang, dan umumnya di perairan Kepulauan Seribu. 4) Lebih lanjut, marka atau penanda genetik yang digunakan dalam Barkode DNA memiliki potensi untuk digunakan sebagai alat identifikasi dalam regulasi perdagangan karang, khususnya karang hias seperti Goniopora spp., juga dalam usaha pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi dan konservasi terumbu karang di Indonesia.

Kata kunci : terumbu karang, karang, barkode DNA, penanda genetik, COI, ITS,

(7)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

(8)

KARAKTERISASI PENANDA GENETIK

mtDNA COI DAN DAERAH ITS rDNA KARANG

Goniopora

spp. (Cnidaria: Scleractinia)

DALAM UPAYA

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN

PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

JUSAK WIRA HARDJA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

Nama : Jusak Wira Hardja

NIM : C252070284

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota Anggota

Diketahui

Tanggal Ujian : 20 November 2009 Tanggal Lulus: Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

(11)

P R A K A T A

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih karunia dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian mengenai karakterisasi penanda genetik pada karang yang dilaksanakan pada Bulan Mei hingga Oktober 2009 dan menuangkannya sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada: Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., Ibu Dr. Neviaty Putri Zamani, M.Sc.,dan Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bimbingan berupa pendalaman materi dan praktek selama penelitian, serta atas perhatian, masukan, saran dan arahan dalam penulisan tesis ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf sekretariat SPL atas bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB, dan kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich ADB.

Secara khusus ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Mama terkasih, Ny. Liliana Tjandra Djaja, yang selalu berdoa dan memberikan nasihat serta dukungan demi kesuksesan penulis. Terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta, Ir. Tanti Rahayu dan kepada anakku tersayang Joanne Charmaine Tania Raharja atas segala pengorbanan, ketulusan kesabaran, kerelaan dan pengertiannya selama penulis menjalankan tugas belajar. Juga kepada kakak, Fellicia Riana Hardja dan suami, serta adik Samuel Satria Harja dan istri, yang memberikan perhatian dan dukungan terus menerus. Kepada rekan-rekan SPL-SANDWICH yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasama selama mengikuti masa studi baik di Bogor maupun di Xiamen-China serta terima kasih kepada teman-teman yang banyak membantu penulis selama penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB-LPPM IPB.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu genetika karang, serta pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terumbu karang di Indonesia.

Bogor, November 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 26 Desember 1970 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm)

Bapak Oyo Rahardjo dan Ibu Liliana Tjandra Djaya. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1994, Program Profesi Dokter Hewan ditempuh di tempat yang sama, lulus pada tahun 1996. Pada Tahun 2007 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan, dengan IPB Bogor dan Xiamen University Republik Rakyat China, melalui program COREMAP II ADB.

(13)

xii

2.2.1 Karang pembentuk terumbu ... 16

2.3 Genus Goniopora ... 19

2.4.2 Sebaran dan faktor lingkungan... 24

2.5 Marka Genetik ... 25

2.5.1 DNA mitokondria ... 26

2.5.2 Ribosomal Internal Tanscribed Spacer (ITS) ... 27

2.6 DNA Barcoding (Barkode DNA) ... 29

2.6.1 Kegunaan barkode DNA ... 30

2.6.2 Resiko karena pewarisan mitokondria ... 31

(14)

xiii

3.4.1 Pengambilan sampel... 36

3.4.2 Karakterisasi morfologi ... 37

3.4.3 Isolasi, purifikasi dan elektroforesis DNA total ... 37

3.4.4 Amplikasi COI dan ITS dengan PCR dan elektroforesis Hasil PCR ... 40

4.3 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Gen Sitokrom Oksidasi Sub Unit I (COI) ... 44

4.3.1 Amplifikasi gen sitokrom oksidasi sub unit 1 (COI) ... 44

4.3.2 Perunutan gen COI parsial dan keragaman runutan nukleotida ... 46

4.3.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ... 47

4.4 Keragaman Genetik Karang Goniopora spp. Berdasarkan Daerah Intra Transcribed Spacer (ITS) ... 49

4.4.1 Amplifikasi gen daerah ITS ... 49

4.4.2 Perunutan gen daerah ITS dan keragaman runutan nukleotida ... 51

4.4.3 Jarak genetik Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ... 52

4.5 Analisis Karakteristik Penanda Genetik COI dan ITS ... 54

5 PEMBAHASAN UMUM ... 56

5.1 Penanda Genetik untuk Identifikasi Karang dan Manfaatnya dalam Pengelolaan Terumbu Karang ... 56

5.2 Peranan Barkode DNA bagi Pengelolaan, Pemanfaatan, Perdagangan dan Konservasi Terumbu Karang ... 59

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1 Simpulan ... 62

6.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Alat yang digunakan dalam penelitian ... 35

2 Bahan yang digunakan dalam penelitian ... 36

3 Lokasi pengambilan sampel koloni karang Goniopora spp... 42

4 Hasil pengamatan karakteristik morfologi karang Goniopora spp ... 43

5 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini... 46

6 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen COI parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group 47 7 Matriks jarak genetik berdasarkan metoda pairwise distance gen COI parsial karang Goniopora spp dengan Porites spp sebagai out-group 47

8 Perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS pada Goniopora spp. hasil dari penelitian ini ... 51

9 Matriks perbedaan susunan dan jumlah basa nukleotida gen ITS karang Goniopora spp. dengan Porites spp. sebagai out-group ... 52

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik

mtDNA COI dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang

di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ... 10

2 Anatomi karang ... 12

3 Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria ... 17

4 a) G. columna b) polip dan tentakel G. columna ... 20

5 Peta gen molekul mtDNA Acropora nasuta ... 27

6 Diagram dari keluarga gen ribosomal DNA pada hewan ... 28

7 Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di perairan P. Pramuka bagian utara dan P. Panggang bagian barat dan selatan. ... 33

8 Diagram alur penelitian karakterisasi penanda genetik mtDNA CO I dan daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di peraian Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ... 34

9 Ilustrasi karakteristik morfologik yang diamati pada karang Goniopora ... 37

10 Hasil purifikasi DNA total pada: (a) G. stokesi, (b) G. palmensis, (c) G. columna, (d) G. norfolkensis, (e) G. tenuidens setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 30 menit ... 44

11 Skema letak penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR untuk mengamplifikasi gen COI parsial pada karang Goniopora spp ... 45

12 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer GJWCOIF dan GJWCOIR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit ... 45

13 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial pada kelima sampel karang Goniopora spp. ... 48

14 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000 kali ulangan dari nukleotida daerah COI parsial karang Goniopora spp. dengan Porites spp sebagai out-group ... 49

(17)

xvi

16 Hasil amplifikasi daerah COI dengan menggunakan pasangan primer ITSZF dan ITSZR setelah dimigrasikan dalam gel

agarose 1.2% pada tegangan 85 volt selama 45 menit ... 50 17 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000

kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial pada

kelima sampel karang Goniopora spp. ... 53 18 Dendrogram neighbor-joining dengan pengolahan bootstrap 1000

kali ulangan dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial dari nukleotida daerah ITS ribosomal parsial karang Goniopora spp.

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Karakteristik morfologik sampel karang Goniopora spp. yang

diidentifikasi ... 73 2 Lokasi penempelan primer GJWCOIF dan GJWCOIR pada runutan

basa nukleotida gen COI pada Poritesporites (kode akses GenBank:

NC_008166) ... 79 3 Lokasi penempelan primer ITSZF dan ITSZR pada runutan basa

nukleotida daerah gen ITS 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, 28S rRNA, runutan parsial dan lengkap, Goniopora columna

Isolate: KenGonc (kode akses GenBank: AB441414) ... 80 4 Penjajaran berganda nukleotida (612 nt) pada gen sitokrom oksidase 1

parsial karang Goniopora spp. ... 81 5 Penjajaran berganda nukleotida (719 nt) pada gen daerah ITS

ribosomal karang Goniopora spp. ... 84 6 Penjajaran berganda nukleotida (599 nt) pada gen sitokrom oksidase 1

parsial karang Goniopora spp. dan Porites spp sebagai out-group .... 87 7 Penjajaran berganda nukleotida (644 nt) pada gen daerah ITS

ribosomal karang Goniopora spp . dan Porites spp sebagai out-group 92 8 Persentase tutupan dan keanekaragaman substrat bentik di lokasi

penelitian di Kepulauan Seribu ... 96 9 Persentase tutupan genus karang keras di lokasi penelitian di

(19)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Ekosistem terumbu karang menjadi demikian penting karena ekosistem tersebut memiliki kenekaragaman yang tinggi sehingga dapat memberikan cadangan sumberdaya untuk beberapa dekade (Knowlton 2001). Terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat berharga di bumi. Menurut perkiraan, terumbu karang menyediakan jasa lingkungan ekonomi dan jasa senilai sekitar $ 375 miliar pertahun bagi jutaan manusia sebagai pelindung pantai, daerah rekreasi dan pariwisata yang terkenal karena keindahan alamnya, dan sumber makanan, obat-obatan, sumber mata pencaharian serta pendapatan bagi manusia. (Constanza et al. 1997). Namun, terumbu karang sedang mengalami degradasi serius oleh aktivitas manusia, terutama eksploitasi berlebihan sumber daya alam, praktek penangkapan ikan yang merusak, pembangunan pesisir dan limpasan akibat penggunaan lahan yang tidak benar.

Pada tahun 1998 World Resources Institute mengkaji dan menyimpulkan bahwa hampir 58% dari terumbu karang dunia beresiko dari dampak manusia, dan banyak yang telah mengalami degradasi dan sulit untuk dipulihkan (Bryant et al. 1998). Selain itu, kejadian pemutihan karang (coral bleaching) dan kematian karang telah terjadi di seluruh dunia, terkait dengan kenaikan suhu air laut yang abnormal yang dilaporkan pada tahun 1998. Pada beberapa terumbu karang di perairan Indo-Pasifik yang dangkal, tercatat 70 hingga 90% karang mati sebagai akibat peristiwa pemutihan terbesar yang pernah terjadi secara masal (Hoegh-Guldberg 1999).

(20)

kompleks serta menciptakan berbagai tipe hunian untuk ribuan jenis ikan dan biota lainnya. Meskipun hanya menempati area yang sangat kecil di lautan dan pesisir (< 1%), terumbu karang bisa disejajarkan dengan hutan hujan tropis yang ada di daratan karena keanekaragaman ha yati dan kekompleksitasan ekosistem yang dimilikinya. Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara terluas yang memiliki bentangan terumbu (1 8%), terkaya keanekaragaman hayati lautnya (karang keras 480 spesies, ikan 1 .650 spesies), serta penyumbang terbesar perikanan laut. Setidaknya 85% terumbu karang Indonesia dinyatakan memiliki ancaman kerusakan yang sangat tinggi terutama karena aktivitas manusia (antropogenik) dan faktor alam (Burke et al. 2002).

Kepulauan Seribu berada di kawasan segitiga karang (coral triangle), kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini, dan Australia Utara, membuat daerah ini sangat kaya akan berbgai kehidupan laut. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri terumbu karang di kawasan ini mengalami berbagai ancaman setiap harinya. Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia, di antaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi serta pembangunan pesisir. Meski kondisinya tidak sebaik tahun 1900-an, saat ini Kepulauan Seribu masih memiliki sumber daya yang beragam berupa terumbu karang, ikan terumbu, invertebrata, mangrove, lamun, rumput laut, penyu, dan burung laut yang patut kita jaga kelestariannya (Estradivari et al. 2007). Kondisi ini yang membuat kawasan ini menjadi menarik untuk diamati dan sebagai lokasi penelitian terumbu karang. Di perairan Kepulauan Seribu ini banyak dilakukan kegiatan rehabilitasi terumbu karang, transplantasi karang, kebun karang dan juga budidaya karang hias, yaitu di antaranya adalah di sekitar Pulau Pari, Pulau Pramuka, dan Pulau Panggang (Johan 2000; Aziz 2002; Respati 2005; Margono 2009; Nggajo 2009)

(21)

3

satwa yang oleh CITES (Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam) digolongkan ke dalam Apendiks II, dimana dalam perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah kemungkinan trejadinya eksploitasi yang berlebihan yang dapat mengakibatkan punahnya jenis-jenis hewan tersebut (Kudus 2005). (CITES) memantau bahwa lebih dari 2000 spesies karang diperdagangkan di pasar dunia. Ada 70 negara pengimpor karang pada periode 1985 – 1997 yang mengimpor sebanyak 19 262 ton karang (atau 34 600 000 buah) dan ada 120 negara-negara pengekspor karang pada periode tersebut. Amerika Serikat mengimpor lebih dari 56% dari berat total karang yang diperdagangan secara global, dibandingkan dengan Uni Eropa yang hanya sebesar 15%. Sedangkan negara utama pengekspor karang sejak tahun 1980-an adalah Filipina, Indonesia, Taiwan, dan Cina. Secara regional, pada periode 1985 – 1997 ekspor dari kawasan Asia Tenggara menempati urutan yang lebih besar dibandingkan dari kawasan Pasifik dan dua kali lipat lebih tinggi dari Karibia dan Samudra Hindia. (Green dan Shirley 1999).

Di Indonesia, selama periode 1999-2003 karang hidup yang diperdagangkan merupakan jenis karang yang berwarna atau memiliki polip berukuran besar yang dapat dilihat sepanjang hari, seperti Euphyllia spp. dan

Goniopora spp. yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia, dengan pengiriman ekspor melalui bandara di Bali dan Jakarta. Perkembangan ekspor karang hias di Indonesia secara umum cenderung terus meningkat setiap tahunnya bersamaan dengan semakin banyaknya jumlah negara pengimpor. Sampai tahun 2003 jumlah negara pengimpor karang hias dari Indonesia sudah mencapai 45 negara. Ekspor karang hias Indonesia tersebar ke negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Asia, Afrika dan Selandia Baru, dimana Amerika Serikat merupakan negara yang terus mendominasi impor karang hias Indonesia sampai 60.91% atau 409 745 buah dari 672 711 buah total ekspor karang hias dari Indonesia pada tahun 2003 (Kudus 2005).

(22)

konservasi terumbu karang yang baru dan lebih efektif menjadi lebih diprioritaskan (Bellwood et al. 2004). Namun, kemampuan untuk menilai dan menanggapi perubahan dalam komunitas karang terumbu dibatasi oleh taksonomi atau penggolongan spesies dan sistematika spesies terumbu karang yang ada saat ini. Terumbu karang dalah komunitas laut yang paling beragam, dan banyak dari spesies yang ada tetap tidak dapat dijelaskan secara tepat. Bagi beberapa kelompok, seperti Porifera dan Scleractinia, pendekatan secara tradisional yang didasarkan pada morfologi saja telah terbukti tidak dapat diandalkan (Romano dan Palumbi 1996; Lazoski et al. 2001). Di samping itu, karang memiliki kemampuan plastisitas morfologik (fenotipik) yang tinggi, sehingga hal ini sering menyulitkan identifikasi (Veron 1995; Todd et al. 2008). Masalah identifikasi, sistematisasi dan taksonomi ini juga menunjukkan bias yang ekstrim dalam melakukan survei keanekaragaman hayati dan struktur komunitas, yang membantu pengelompokan dan tahapan-tahapan hidup suatu spesies yang relatif mudah untuk identifikasi di lapangan (Mikkelsen dan Cracraft 2001).

Disamping itu, keanekaragaman hayati karang sebenarnya dapat diketahui dan dikenali bukan hanya sebatas dari ciri-ciri morfologik saja, tetapi dari karakteristik genotipik dan variasi genetik serta ekspresi genetik dari spesies bahkan infra spesies yang kadang-kadang tidak tercermin atau terlihat secara fenotipik (morfologik), sehingga sangat membantu dalam rencana pengelolaan terumbu karang (misalnya dalam melakukan transplantasi atau rehabilitasi karang yang sesuai dengan lokasi dan lingkungan yang spesifik). Menurut Hariot dan Fisk (1998), transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karnag dengan fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang merupakan salah satu alternatif upaya untuk pemulihan terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang secara alami.

(23)

5

dan Edward 1999). Yang harus diingat adalah minimalisasi kerusakan terhadap kawasan yang lebih baik yang menjadi donor transplantasi, dan memaksimalkan kemungkinan hidup transplant pada terumbu karang yang akan dipulihkan. Keanekaragaman genetik transplan hasil budidaya juga harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Sumber bibit karang untuk transplantasi didapatkan dari karang yang masih hidup di terumbu, sehingga selalu ada efek samping yang timbul. Walaupun koloni utuh lebih tahan terhadap tekanan akibat transplantasi dibandingkan dengan fragmen, pada beberapa jenis yang sensitif, 50% koloni mati dalam dua tahun. Bahkan dalam satu jenis, perubahan genotipik dapat mengakibatkan perbedaan ketahanan terhadap transplantasi. (Edwards dan Gomez 2007).

Berdasarkan penelitian transplantasi fragmen karang yang dilakukan oleh the Marine Park Center of Japan (1995) di Sekisei Lagoon dan Okinawa General Bureau di Naha Harbor, Jepang, dari beberapa jenis karang yang ditransplantasikan yaitu Acropora formosa, Acropora nobilis, Porites cylindrica, Pocillopora eydouxi, Montipora digitata, Gallaxea fascicularis, Seriatopora hystrix dan Melliopora sp, diperoleh data bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup (survival rate) karang-karang tersebut setelah 4 tahun hanya sebesar 20%. Hal ini berarti setelah dilakukan transplantasi selama 4 tahun, tidak terjadi

(24)

laboratorium dan dalam melakukan transplantasi fragmen karang dari sumber asalnya. (Omori et al. 2004).

DNA Barcoding (DBC) merupakan sebuah alternatif untuk metode taksonomi tradisional yang dapat menjadi alat yang berguna untuk melakukan monitoring (pengawasan) perdagangan karang hias, karena jenis karang pada tingkat spesies akan lebih mudah diidentifikasi dan ditandai dengan menggunakan DNA barkode (penanda DNA) yang lebih tepat dan lebih akurat dibandingkan dengan hanya menggunakan metode identifikasi morfologi secara konvensional. Selain itu DBC juga menjadi alat yang berguna bagi konservasi terumbu karang. Dalam upaya melakukan konservasi karang dan atau terumbu karang perlu diketahui karakteristik genetiknya, bukan hanya berdasarkan karakteristik morfologiknya saja. Penggunaan meluas barkode DNA sebagai alat untuk mengidentifikasi spesies dan menilai keanekaragaman hayati baru-baru ini menarik banyak perhatian. Barkode DNA adalah urutan basa-basa pendek yang mengkode gen Sitokrom Oksidase sub unit 1 (COI) Urutan basa ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies, karena setiap spesies memiliki urutan yang unik untuk gen COI tersebut. Aspek yang menarik dari sebuah metode barkode untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia adalah bahwa hal itu dapat dimanfaatkan pada setiap tahapan hidup (larva, juvenil atau dewasa) dan tidak dipengaruhi oleh plastisitas fenotipik tidak seperti metode morfologi identifikasi spesies. Walaupun masih belum jelas apakah standar sistem barkode DNA yang berdasarkan COI tersebut cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia tersebut (Shearer dan Coffroth 2006).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang mendasari penelitian ini yaitu :

(25)

7

b. Belum adanya penelitian-penelitian mengenai genotipik karang, khususnya untuk spesies karang keras (scelaractinia) yang digunakan sebagai donor dalam upaya transplantasi species karang di perairan Kepulauan Seribu. c. Belum adanya sistem yang praktis, cepat dan tepat guna yang mudah

diterapkan dalam pengelolaan, pengawasan, dan pemanfaatan karang dan terumbu karang.

d. Masih kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai penggunaan Barkode DNA (Penanda DNA) yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies-spesies karang scleractinia.

e. Belum adanya kajian terhadap karakteristik penanda genetik untuk spesies karang hias terutama Goniopora spp. yang banyak diperdagangkan, khususnya yang berasal dari wilayah perairan Kepulauan Seribu.

Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut maka sangat diperlukan penelitian mengenai “Karakterisasi Penanda Genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA Karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam Upaya

Pengelolaan Terumbu Karang”.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah bahwa sudah banyak upaya transplantasi karang yang dilakukan di Kepulauan Seribu sebagai salah satu usaha pengelolaan terumbu karang, tetapi belum mempertimbangkan kajian secara genetik dan kedekatan jarak genetik inter spesies karang yang digunakan sebagai donor dalam transplantasi tersebut.

Karang hias hidup yang banyak diperdagangkan saat ini adalah spesies yang berwarna-warni dan mempunyai polip yang besar, salah satu nya adalah

Goniopora spp. yang termasuk dalam daftar appendix II CITES. Karang jenis

Goniopora spp ini juga dapat dilakukan transplantasi untuk tujuan rehabilitasi dan sebagai komoditi perdagangan karang hias. Oleh karena itu spesies karang ini dapat digunakan sebagai model dalam kajian karakteristik genetika karang.

(26)

dapat diandalkan. Maka digunakan barkode DNA (Penyandi DNA) sebagai alternatif metode taksonomi yang dapat menjadi alat yang berguna dalam pengelolaan terumbu karang, konservasi dan penandaan karang terutama untuk karang yang banyak diperdagangkan.

Karena masih belum jelasnya apakah standar sistem penanda DNA, berdasarkan Sitokrom Oksidase subunit 1 (COI) cocok untuk mengidentifikasi semua spesies karang scleractinia, maka dalam penelitian ini menggunakan dua penanda genetik yaitu COI dan ITS (Intra Transcribed Spacer) sebagai pembanding dalam menyandi DNA karang Goniopora spp., yang juga sering dipakai sebagai penanda molekuler pada karang scleractinia.

Dengan mengetahui struktur genetika karang Goniopora, maka hasilnya dapat digunakan sebagai model bagi ketersediaan informasi dasar struktur genetik karang lainnya, sehingga akan sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, serta konservasi terumbu karang. Informasi ini juga dapat dimanfaatkan sebagai ID (Identity Data) spesies sehingga dapat dibuat dalam bentuk informasi database spesies yang sangat bermanfaat untuk legalitas hukum suatu spesies karang dalam perdagangan karang di kemudian hari.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisa karakteristik keragamanan penanda genetik dan keragaman jenis karang Goniopora spp. intra genus dan inter spesies pada habitat yang berbeda (di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang) secara morfologik dan genotipik.

2. Mengetahui perbedaan penanda genetik COI dan ITS yang dipergunakan untuk analisa karakteristik penanda genetik karang Goniopora spp.

(27)

9

Sedangkan manfaatnya adalah diharapkan analisa genetika molekuler ini akan memberikan informasi dasar tentang keragamanan genetik karang dan penanda genetik (genetik marker) karang yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan, rehabilitasi, transplantasi, pemanfaatan, perdagangan dan konservasi terumbu karang yang ada di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu yaitu di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang .

1.5. Pendekatan Masalah

(28)

Keterangan : Pada penelitian ini dibatasi hanya sampai pada analisa karakteristik penanda genetik COI dan ITS yang digunakan.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik mtDNA COI dan Daerah ITS rDNA karang Goniopora spp. (Cnidaria: Scleractinia) dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Terumbu Karang yang Rusak / Terdegradasi di Perairan Kepulauan Seribu

Komunitas Karang Goniopora spp di P. Pramuka dan P. Panggang P. Pramuka dan P. Panggang, Kepulauan Seribu

Menghasilkan berbagai macam Barkode DNA sesuai dengan fungsinya: Barkode Induk,

(29)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang Anatomi Karang

Komponen terpenting terumbu karang adalah karang keras. Karang merupakan hewan sederhana, berbentuk tabung dengan mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996). Daerah datar yang berada sekitar mulut disebut oral disc. Mulut karang dikelilingi oleh rangkaian tentakel-tentakel berkapsul yang dapat menyengat (nematokis) dan berfungsi sebagai penangkap makanan berupa plankton (Nybakken 1997). Mulut dan rongga perut dihubungkan oleh tenggorokan yang pendek. Rongga perut berisi semacam usus disebut filamen mesentari yang berfungsi sebagai alat pencernaan (Suharsono 1996). Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak yang disebut septa, septa tersusun dari bahan organik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.

Dinding polip karang terdiri dari 3 lapisan, yaitu ektodermis, mesoglea dan endodermis.

1. Ektodermis: Jaringan terluar dimana banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus dan sel knidoblast yang berisi sel nematokis. Nematokis merupakan sel penyengat yang berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri dari pemangsaan.

2. Mesoglea: Merupakan jaringan yang di bagian tengahnya berupa jelly. Di dalam lapisan jelly terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam otot.

3. Endodermis: Lapisan dalam yang sebagian besar selnya berisi sel algae yang merupakan simbion karang (zooxanthellae).

(30)

Gambar 2 Anatomi karang (Sumber: Veron 2000).

Biologi Karang

Karang tersusun dari bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan hidup binatang karang relatif sederhana dan menyerupai anemon. Tubuh seperti anemon itulah yang disebut sebagai polip dan umumnya berbentuk tabung silinder dengan ukuran diameter yang bervariasi dari satu mm hingga beberapa cm. Ada yang memanjang atau pipih sehingga membentuk kerangka yang menyatu. Mulut polip pada atas bagian silinder dikelilingi oleh banyak tentakel yang dapat dijulurkan keluar dan ditarik masuk. Secara internal struktur pencernaan terdiri dari mulut terus ke stomodeum atau faring yang pendek dan terhubung hingga ke rongga gastovascular. Rongga tersebut terbagi secara longitudinal oleh bagian-bagian yang radial yang disebut mesentri yang menyimpan gonad juga berperan penting pada proses pencernaan. Dalam proses pencernaan di mesentri sisa makanan dikeluarkan melalui mulut yang juga berfungsi sebagai anus (Veron 1986; Suharsono 1996).

Bagian lunak dari karang merupakan jaringan polip terdiri dari

(31)

11

nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ectodermis dan

gastrodermis, berbentuk seperti agar-agar (jelly). Gastrodermis adalah jaringan terdalam yang memuat sel-sel untuk pencernaan dan sebagian besar berisi

zooxanthellae (Veron 1986; Suharsono 1996).

Pada Gambar 2 menunjukan struktur kerangka keras dari individu polip yang berbentuk tabung yang berisi lempeng tegak yang menyebar dari tengah rongganya disebut koralit (corallite). Pada koralit terdapat dasar radial yang dipisahkan oleh dinding, pada bagian sebelah dalam yang disebut septa (septae) sedangkan pada bagian luarnya disebut kosta (costae). Pada septa terdapat bagian bergerigi yang menyerupai pilar pada pinggiran bagian dalam, beberapa bagian atau seluruh septanya disebut paliform lobe. Pada tengah koralit terdapat bagian bergerigi halus yang mengarah ke dalam mulut koralit disebut columella. Susunan lempengan horizontal yang menggabungkan satu koralit dengan koralit lainnya disebut coenosteum. Pada dinding koralit terdapat suatu lapisan tipis kerangka menyerupai lapisan kertas disebut epitheca (Veron 1986).

Pola pertumbuhan karang batu mengukuti pola pertumbuhan spesifik dari spesiesnya, juga dipengaruhi oleh lokasi geografik dari koloni tersebut dan faktor lingkungan seperti keterbukaan terhadap cahaya, aksi gelombang dan temperatur serta kelimpahan dari koloni karang disekitarnya yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan koloni (Barnes dan Lough 1992, 1999).

Karang menyediakan kebutuhan alga zooxanthellae dengan suatu perlindungan lingkungan dan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk fotosintesis. Termasuk di dalamnya karbon dioksida yang dihasilkan dari respirasi karang, dan materi anorganik seperti nitrat, fosfat sebagai hasil buangan metabolisme karang. Oksigen yang dihasilkan zooxanthellae dapat membantu karang memindahkan hasil buangan (metabolit). Zooxanthellae juga mensuplai karang dengan hasil organik fotosintesis. Senyawa-senyawa tersebut termasuk glukosa, gliserol dan asam amino yang digunakan oleh karang yang membangun bagian-bagian dalam sebuah proses yang menghasilkan protein, lemak dan karbohidrat, seperti proses sintesa pada kalsium karbonat (CaCO3). Mutualisme

(32)

produktivitas biologi dan kapasitas sekresi kapur dari pembentukan terumbu karang (Barnes dan Lough 1999; Sumich 1992).

Karang dapat berproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi secara aseksual dapat terjadi melalui fragmentasi, pelepasan polip dari kerangka dan produksi aseksual dari larvae. Reproduksi seperti ini dibatasi secara geografi oleh asal terumbu, bentuk koloni dan pertumbuhan. Pada reproduksi secara seksual sel-sel gamet akan melekat pada mesenteri-mesenteri biasanya terjadi setiap tahun, musiman, bulanan atau tidak tentu. Pada karang hermaprodit ataupun gonokoris, peristiwa spawning dapat terjadi melalui fertilisasi eksternal sedangkan brooding

dapat berlangsung melalui fertilasi internal, keduanya akan menghasilkan planula bersifat teleplanic atau philopatric (Veron 1995).

Umumnya ¾ dari semua karang hermatifik bersifat hermaprodit yang dapat melepaskan (spawner) dan mengerami (brooder) gamet-gamet. Perkembangan gonad dan pelepasan gamet pada karang hermaprodit dapat terjadi secara simultan ataupun berurutan, sehingga membentuk variasi potensi fertilisasi. Spawning berhubungan dengan fekunditas yang tinggi, sedangkan pada brooding nilai fekunditasnya bisa lebih sedikit atau lebih besar dengan perkembangan larva yang lebih baik (Veron 1995).

Planula yang telah dilepaskan akan berenang ke arah cahaya, kemudian berenang kembali ke arah dasar, jika kondisi menguntungkan mereka akan menempel dan membentuk suatu koloni baru. Koloni-koloni tersebut menjadi matang secara seksual pada ukuran minimum. Karang masif Favia doreyensis

matang secara seksual pada saat koloni berumur 8 tahun dengan diameter 10 cm. Beberapa karang bercabang seperti jenis Acropora, Pocillipora, dan Stylophora, mencapai matang seksual pada umur lebih muda (Barnes dan Lough 1999).

Pada tingkat spesies, mekanisme reproduksi karang bervariasi secara geografi, ekologi, demografi dan anatomi. Terdapat variasi antara spesies karang ahermatifik dan hermatifik, ukuran polip dan koloni. Variasi-variasi tersebut juga ditentukan oleh komposisi genetik dan sebaran spesies karang (Veron 1995). Alga simbion - zooxanthellae

(33)

13

karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan nama genus

Symbiodinium, dan yang bersimbiosis dengan karang adalah Symbiodium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil a dan c, zooxanthellae juga memiliki pigmen (diadinoxanthin dan piridin) yang berguna dalam fotosintesis. Mereka umumnya berwarna coklat atau merah kecoklatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna coklat (Baker dan Rowan 1997; Rowan 1998 )

Selanjutnya Rowan (1998) menjelaskan bahwa zooxanthellae ditransfer ke dalam tubuh individu karang baru melalui proses reproduksi, baik reproduksi aseksual maupun seksual. Dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae secara langsung ditransmisi dalam fragmen dasar koloni baru. Sedangkan melalui reproduksi secara seksual, zooxanthellae diperoleh secara langsung dari induk karang atau secara tidak langsung dari lingkungan. Pada saat reproduksi secara seksual, zooxanthellae langsung ditransfer ke dalam telur atau larva yang dikeluarkan. Zooxanthellae juga diperoleh secara tidak langsung dari lingkungan atau sisa dari organisme pemakan karang dan pemakan zooplankton yang didalamnya mengandung zooxanthellae.

Hubungan simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae

adalah simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan untuk keduanya. Zooxanthellae mendapatkan beberapa keuntungan dari hubungan ini, terutama tempat hidup yang cukup baik dan terlindung (jaringan karang). Selain itu mereka juga memperoleh suplai nutrien dasar yang keberadaannya berlanjut (PO4 dan NH3) serta produk metabolik lainnya (Urea dan Asam Amino) hasil

ekskresi hewan karang. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2

sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam proses fotosintesis (Tomascik et al. 1997).

(34)

Pada kondisi lingkungan yang tidak normal, zooxanthellae dapat mengalami ekspulsi (keluar dari jaringan karang) sebagai indikator stress pada karang. Penelitian mengenai hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Peristiwa pemutihan karang (bleaching) sebagai konsekuensi keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip karang disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu, perubahan salinitas, limbah panas, masukan lumpur, polusi minyak (Brown dan Howard 1985), serta short-term sedimentasi (Philipp dan Fabricius 2003).

2.2. Klasifikasi Karang

Istilah “karang” merupakan nama popular untuk anggota filum Anthozoa dan Hydrozoa. Secara umum karang dapat dibedakan menjadi dua taksa yaitu karang keras yang terdiri dari Scleractinia dan Madreporaria, karang lunak filum Anthozoa dan hidro-karang filum Hydrozoa. Kelas Scleractinia merupakan jenis karang hermitipik yang menyusun terumbu karang secara berkoloni. Kelas ini dicirikan dengan adanya kerangka keras dan simbiosis zooxantellae (Frank dan Mokady 2002).

Ciri morfologi merupakan karakter yang sering digunakan sistematika karang. Pendekatan molekuler kini mulai banyak digunakan untuk mempelajari biodiversitas karang. Menurut Veron (1995), evolusi karang tidak mengikuti hukum klasik Darwin, melainkan mengikuti kaidah Retikulata. Menurut kaidah ini, garis evolusi spesies karang secara kontinu bergabung dengan melakukan hibridisasi/perkawinan dan berpisah karena terjadi isolasi atau genetic drift.

Karang Pembentuk Terumbu Karang

(35)

15

padat atau aragonit. Kelompok karang hermatipik diwakili umumnya oleh ordo Scleractinia (subkelas Hexacorallia). Dua spesies kelompok hermatipik yang berasal dari ordo Octocorallia yakni Tubipora musica dan Heliopora coerulea, sedangkan dari kelas Hydrozoa yang masuk kelompok hermatipik yakni

Millepora sp dan Stylaster roseus (Sorokin dan Yuri 1995).

Keterangan : (----) Taxa karang yang membangun terumbu

Gambar 3 Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria.

Selanjutnya Schuhmacher dan Zibrowius (1985) menerangkan karang berdasarkan fungsi pembentukan terumbu (hermatipik dan ahermatipik) dan hubungannya dengan alga simbion maka dikelompokan kedalam 4 kelompok yakni :

a. Hermatipik-simbion, kebanyakan karang Scleractinia pembentuk terumbu, Octocoral dan Hydrocoral.

b. Hermatipik-asimbion, merupakan karang-karang yang pertumbuhannya lambat dan dapat membangun kerangka kapur masif tanpa mengandung

zooxanthellae, sehingga mereka bisa hidup pada lingkungan yang gelap misalnya dalam gua, terowongan, daerah terdalam paparan kontinen. Beberapa diantaranya Scleractinia tanpa simbion seperti Tubastrea,

(36)

c. Ahermatipik-simbion, Scleractinia yang termasuk dalam kelompok ini adalah kelompok Fungia kecil seperti Heteropsammmia dan Diaseris serta karang

Leptoseris (famili Agaricidae) yang berpolip tunggal atau koloninya kecil sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok pembangun terumbu. Kelompok ini termasuk kebanyakan Octocoral – Alcyonaceae dan Gorgonacea yang mengandung algae simbion tetapi tidak menghasilkan kerangka kapur masif.

d. Ahermatipik–asimbion, termasuk Scleractinia dari genus Dendrophyllia dan

Tubastrea yang memiliki polip berukuran kecil kecil. Termasuk pula Hexacorallia dari ordo Antipatharia dan Corallimorpharia serta Octocoral yang asimbiotik.

Komunitas karang Scleractinia yang hidup dan menempati terumbu karang di lautan pada berbagai kondisi lingkungan. Kondisi yang berbeda antar regional dan area terumbu menyebabkan tingkat keragaman karang juga bervariasi. Menurut Sorokin dan Yuri (1995), menjelaskan karang hermatipik modern sangat bervariasi dapat di kelompokan menjadi 3 kelompok yakni, sebagai berikut : a. Kelompok karang Oportunis (r-strategist)

Karang ini memiliki ukuran koloni dari kecil hingga sedang, yang ditentukan oleh pertumbuhannya, kematangan seksual pada usia muda dan sebagaian besar energinya untuk pemeliharaan keturunannya. Kebanyakan dari karang-karang tersebut matang secara seksual setiap bulan, memiliki kecepatan tumbuh dan berumur pendek. Kelangsungan hidupnya ditingkatkan melalui pemijahan yang intensif sehingga meningkatkan kesempatan rekrutmen dalam kompetisi terhadap substrat dan dapat menggandakan secara vegetatif melalui kepingan percabangannya. Karang-karang oportunis ini dapat bertahan pada berbagai kondisi tekanan fisik seperti terpapar, salinitas yang rendah akibat pemanasan, polusi, pemananasan dan kekeruhan pada perairan yang dangkal. Beberapa diantaranya merupakan karang Indo-Pasifik seperti Stylopora pistillata, Psammocora contigua, Pocilopora damicornis, Seriotopora histrix

(37)

17

b. Kelompok karang Konservatif (k-strategist)

Sebagian besar energi dari karang ini digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Koloni-koloni berumur tua dengan diameter 1 – 3 m. Karang ini menggunakan sedikit energi untuk perambatan, menanggulangi ketersediaan susbtrat dengan membentuk koloni besar dan berumur panjang, dapat hidup puluhan hingga ratusan tahun. Siklus pemijahannya secara periodik setiap tahun seperti karang-karang masif Porites dan Montastrea. c. Kelompok karang Intermediate

Umumnya merupakan karang peralihan antara dua tipe yang berlawanan tersebut diatas. Kelompok karang ini dapat hidup pada berbagai lingkungan dengan tipe substrat yang bervariasi. Karang-karang tersebut dengan sedikit spesialisasi dan polipnya aktif sepanjang hari. Secara fenotif mereka termasuk labil, terbentuk pada lingkungan terumbu yang bervariasi dengan banyak adaptasi ecomorph. Kebanyakan spesies itu merupakan genus Acropora, umumnya kelompok Faviid, genus Hydronopora, Galaxea dan

Goniopora. Komunitas biotop ini terdapat dalam terumbu yang kondisi lingkungannya stabil dimana karang yang hidup secara khusus seperti kelompok Agaricid beberapa genus dari Turbinaria, Echinophyllia, Leptoseris

dan Diaseris.

2.3 Genus Goniopora

Goniopora juga dikenal sebagai flowerpot coral, daisy coral atau

sunflower coral.

Klasifikasi

Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria

Kelas : Anthozoa

Sub Kelas : Hexacorallia Ordo : Scleractinia

Famili : Poritidae

(38)

a) b)

Gambar 4 a) G. columna dan b) polip dan tentakel G. columna.

(Sumber: Veron 2000).

Status : Termasuk dalam daftar lampiran II (Appendix II) CITES (CITES March, 2009).

Deskripsi

Penampilan karang yang cantik ini menutupi perilakunya yang agresif. Sejumlah individu polip karang membentuk koloni yang bergabung bersama pada pangkal kerangka kapurnya. Koloni ini dapat tumbuh berbentuk cabang (branches), kolom (column), koloni masif (massive) yang berbentuk kubah, atau koloni yang menjalar dekat substrat (encrusting) (Veron 2000). Koloni relatif besar dan tebal, dinding porus, septa dan kolumela bersatu membentuk struktur yang kompak. Koloni selalu mempunyai bentuk polip yang panjang dan warna yang berbeda-beda. Genus ini mempunyai sekitar 20 species yang tersebar di seluruh perairan Indonesia. (Soeharsono 1996). Koloni dapat tumbuh bermeter-meter dan kadang-kadang melintasi seluruh bagian dasar terumbu yang tertutup karang secara eksklusif oleh satu spesies Goniopora bercabang. Salah satu spesies

(39)

19

Goniopora berbeda dalam bentuk dan warna polip mereka, yang memungkinkan identifikasi dilakukan di bawah air (Veron 2000).

Daerah Penyebaran

Terdapat di Samudra Hindia dan Pasifik; dari pantai Mozambik sampai ke Laut Merah, dan Australia Selatan sampai Australia Utara, Jepang Selatan dan Hawaii (Veron 2000).

Habitat

Goniopora ditemukan terutama pada perairan keruh yang terlindung dari arus yang kuat (Veron 2000)

Biologi

(40)

Ancaman

Goniopora menghadapi banyak ancaman akibat dampak pada terumbu karang secara global. Diperkirakan bahwa 20 persen dari terumbu karang dunia telah secara efektif dihancurkan dan tidak menunjukkan prospek pemulihan langsung, dan 24 persen karang di dunia berada di bawah risiko kehancuran akibat tekanan manusia. Ancaman potensial selanjutnya adalah peningkatan kejadian

coral bleaching, sebagai akibat dari perubahan iklim global (Douglas 2003). Lebih khusus lagi, Goniopora berpotensi terancam oleh perdagangan karang hidup. Goniopora adalah salah satu dari genus yang mendominasi perdagangan karang hidup untuk dipelihara dalam akuarium. Goniopora dan

Euphyllia adalah jenis yang lebih banyak diperdagangkan dari genus lainnya, karena sebagian dari karang-karang tersebut biasanya tidak bertahan lebih dari setahun, maka harus diganti cukup sering. Sejumlah kecil flowerpot coral juga diperdagangkan sebagai ornamen ukiran, dan untuk keperluan biomedis, dan karena ada kesamaan dalam kerangka karang struktur tulang manusia, mereka dapat digunakan dalam transplantasi tulang (Green dan Shirley 1999).

Konservasi

Goniopora tercantum pada Apendix II CITES, yang berarti bahwa perdagangan spesies ini harus diatur secara hati-hati. Indonesia dan Fiji memiliki kuota ekspor untuk Goniopora. Di Indonesia, karang ini adalah salah satu dari lima genus dengan kuota tertinggi (data per Maret 2900 kuota untuk penjualan

Goniopora spp. di Indoneisa adalah sekitar 41 400 – 43 200 buah per tahun)

(CITES March, 2009), walaupun tak ada alasan ilmiah untuk menduga mengapa karang ini dapat mencapai tingkat pengambilan atau pemanenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan genus lainnya (Green dan Shirley 1999). Goniopora spp. merupakan bagian dari komunitas terumbu karang di banyak daerah perlindungan laut (MPA) sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi yang serius untuk mempertahankan keberadaannya (Wilkinson 1993).

2.4 Daerah Penyebaran Karang

(41)

21

0 hingga 30 meter antara 35 °LU dan 32 °LS. Sebaran terumbu karang sangat dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu, salinitas, tingkat sedimentasi, sementara faktor biogeorafis yang menggerakkannya dapat berhubungan dengan garis lintang yaitu suhu, cahaya dan arus atau dengan yang tidak berhubungan dengan garis lintang yaitu kualitas substrat, kualitas air, nutrient, ekologi dan batas penyebaran secara regional (Veron 1995; Suharsono 1996).

Terumbu karang Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia dengan luas areal terumbu karang lebih dari 60 000 km2. Hasil pemantauan Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPO-LIPI) sampai dengan Desember 1999 hanya sekitar 6.69 % terumbu karang Indonesia yang berada dalam kondisi sangat baik, selebihnya 26.59 % berada dalam katagori baik, 37.58 % sedang dan 29.16 % buruk (Estradivari et al. 2007; PPO-LIPI. 2008).

Sebaran Terumbu Karang

Sebaran karang secara vertikal dibatasi oleh kedalaman, dimana pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman. Faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air (Suharsono 1996). Sedangkan sebaran horizontal karang di dunia dibatasi oleh lintang, yakni antara 35 °LU– 2 °LS yang tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga subtropis (Suharsono 1996).

Sebaran horizontal terumbu karang memiliki korelasi dengan temperatur Wells (1954) dalam Veron (1995) mencatat keberadaan genus karang di daerah Indo-Pasifik sebagai berikut :

a. Kebanyakan genus karang Indo-Pasifik tersebar dengan luas dan seragam, tetapi beberapa hanya ada dalam wilayah tertentu, dan genus yang lain tersebar luas tapi jarang ditemukan.

b. Beberapa genus karang tersebar luas tetapi bukan pada habitat terumbu karang yang sebenarnya.

(42)

d. Terdapat hubungan yang jelas antara keanekaragaman kontur genus karang dan temperatur permukaan air.

e. Keanekaragaman genus karang di luar dari daerah Indo-Pasifik diindikasikan rendah.

Veron (1995) menjelaskan lebih jauh mengenai sebaran spesies karang Indo-Pasifik dan membangun hipotesis, diantaranya adalah terdapat sentral keanekaragaman spesies di Indo-Pasifik yang telah dibatasi oleh oleh kondisi marginal di daerah terluarnya. Hipotesis lain dikemukakan Rosen (1984) dalam Veron (1995), bahwa batas utama dari sebaran karang adalah lintang dan sebagai kontrol utamanya adalah temperatur dan iklim; dan secara regional adalah bujur yang dipengaruhi oleh kejadian geotektonik. Selanjutnya Newell (1971) dalam Veron (1995) berpendapat bahwa karang memiliki penyebaran yang kosmopolitan di daerah Indo-Pasifik terutama ditandai adanya pembatasan secara fisiologi.

Tiga daerah besar penyebaran terumbu karang di dunia yaitu Laut Karibia, Laut Hindia dan Indo-Pasifik (Veron 1995; Suharsono 1996). Menurut Tomascik (1997) mengemukakan bahwa di Asia Tenggara terdapat 30% dari seluruh terumbu karang di dunia, pada umumnya berbentuk terumbu karang tepi. Selanjutnya Burke et al. (2002) memperkirakan Indonesia memiliki luas terumbu karang kira-kira 51 000 km2 atau 51% dari luas terumbu karang yang ada di Asia Tenggara atau setara dengan 18% dari luas terumbu karang dunia.

Sebaran karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di sepanjang pantai timur Sumatera dan Kalimantan Barat dan Selatan dibatasi adanya sedimentasi yang tinggi dibawa oleh aliran sungai. Demikian juga sebaran karang sepanjang pantai utara pulau Jawa dipengaruhi adanya sedimentasi yang tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa karang tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah Sulawesi pada umumnya dan Sulawesi Utara pada khususnya karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari lautan Pasifik (Suharsono 1996).

Sebaran dan Faktor Lingkungan

(43)

23

tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh. Dari berbagai belahan dunia, terdapat tiga daerah besar terumbu karang yaitu: laut Karibia, laut Hindia, dan Indo-pasifik. Di laut Karibia terumbu karang tumbuh di tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Di laut Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, teluk Aden, teluk Persia, teluk Oman. Sebaran karang di laut Pasifik meliputi laut Cina Selatan sampai pantai timur Australia, pantai Panama sampai pantai selatan teluk California (Suharsono 1996).

Sebaran karang tidak hanya terdapat secara horisontal, tetapi juga secara vertikal. Pertumbuhan, penutupan, dan kecepatan tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan ekosistem terumbu karang antara lain: suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, arus dan gelombang (Suharsono 1996).

2.5 Marka Genetik

Karakter suatu organisme dapat diketahui dengan menggunakan berbagai macam teknik diantaranya dengan menggunakan penanda atau marka. Secara umum ada tiga jenis marka yang biasa digunakan dalam bidang biologi yaitu marka morfologi, marka biokimia dan marka molekuler. Marka morfologi adalah penanda organisme yang diambil dari ciri-ciri fisik yang tampak dari suatu organisme termasuk turunan yang dihasilkan. Marka biokimia adalah penanda organisme yang berasal dari senyawa atau enzim yang umum terdapat dalam suatu lintasan biokimia dan ekspresi gen yang sangat dipengaruhi faktor lingkungan, sementara marka molekuler atau sering dikenal dengan sidik jari DNA (DNA Fingerprinting) merupakan penanda organisme yang mengacu pada polimorfisme fragmen pita DNA (Sunnuck 2000).

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kerangka pemikiran karakterisasi penanda genetik
Gambar 2  Anatomi karang (Sumber: Veron 2000).
Gambar 3  Kedudukan taksa karang dalam sistem filum Cnidaria.
Gambar 4 a) G. columna  dan  b) polip dan tentakel G. columna.(Sumber: Veron 2000).
+7

Referensi

Dokumen terkait

project-based learning, problem-based learning, dan discovery learning telah direkomendasikan oleh kurikulum 2013 sebagai strategi efektif dalam pembelajaran

Dengan demikian maka dapat dimengerti, bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan

Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya.Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang

adanya kontrak tersebut tidak mematuhi materi atau isi dari Undang-Undang pertambangan tebaru terkait Pasal 169 tentang pegantian sistem kontrak karya ke sistem izin

kewajiban dalam hal ini mengembalikan kendaraan sesuai dengan tepat waktu dan tidak membayar uang sewa sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan , sesuai dengan

Berdasarkan hasil penjelasan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap model pembelajaran mata kuliah praktek teknik pemesinan untuk mahasiswa menjadi

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan bermain disentra balok dapat meningkatkan kemampuan visual spasial anak

Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.675, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kuat antara variabel harga (X1), pelayanan