• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS

BUMI SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGKIT LISTRIK

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Bahroin Idris Tampubolon

(4)

RINGKASAN

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan METI EKAYANI.

Kebutuhan energi listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat setiap tahun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.4 persen per tahun. Supply yang disediakan oleh PLN untuk tenaga energi listrik nasional adalah sebesar 90 persen dari pembangkit listrik berbahan baku fosil. Ketersediaan bahan baku energi fosil tersebut di Indonesia sangat terbatas jumlahnya dan akan habis dalam jangka waktu tertentu. Sifat sumberdaya fosil yang tidak terbarukan akan menyebabkan kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga di masa yang akan datang. Penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yaitu berupa emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 57 persen.

Disisi lain, Indonesia memiliki berbagai sumber energi terbarukan yang dapat menghasilkan tingkat emisi yang lebih ramah lingkungan, dan kepastian keberadaan cadangan sumberdaya. Rasio pemanfaatan energi terbarukan masih rendah, misalnya tenaga panas bumi pada tahun 2011 misalnya hanya mencapai 4.17 persen dari potensi yang dimiliki sebesar 28.54 GW. Perlunya pengembangan sumber energi terutama untuk energi listrik dengan telah mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Tujuan dalam penelitian ini untuk menganalisis persepsi masyarakat mengenai dampak yang timbul di sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi dan mengestimasi biaya kerugian ekonominya dengan metode effect on production, mengestimasi besaran biaya produksi yang telah memperhitungkan biaya sosial dengan metode benefit transfer dan biaya produksi listrik, serta menganalisis kebijakan yang dapat mendorong pengembangan pembangkit listrik panas bumi sebagai alternatif pembangkit listrik diesel dan batubara dengan metode

multicriteria decision analysis (MCDA).

Hasil analisa mengenai persepsi masyarakat menunjukkan mayoritas responden menyatakan dampak yang dirasakan akibat aktivitas pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah perubahan kualitas dan kuantitas air dengan nilai kerugian ekonomi rata-rata sebesar Rp. 5 289 727 per orang. Biaya sosial yang telah memasukkan biaya kerugian ekonomi akibat pembangkitan listrik adalah sebesar 1 517.98 Rp/KWh untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga diesel sebesar 9 866.89 Rp/KWh, dan tenaga uap sebesar 12 841.02 Rp/KWh. Analisa kebijakan untuk pengembangan listrik dengan memperhitungkan kriteria lingkungan, sosial, dan ekonomi menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pembangkit listrik tenaga panas bumi memiliki nilai tertinggi untuk rancangan kebijakan Bussiness as Usual dan Feed in Tariff jika dibandingkan dengan PLTU dan PLTD. Kesimpulan yang dihasilkan adalah pembangkit listrik yang sebaiknya diprioritaskan untuk dikembangkan adalah PLTP, sehingga deplesi terhadap sumberdaya fosil dapat berkurang, degradasi lingkungan dari pembangkit listrik bertenaga fosil dapat dihindari namun ketersediaan energi dapat dicapai.

Kata kunci: Biaya Sosial, Effect On Production, Multi Criteria Decision Analysis,

(5)

SUMMARY

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON. Analysis of Geothermal Energy Use Policies as Alternative Power Plant. Supervised by AKHMAD FAUZI and METI EKAYANI.

The electrical energy needs in Indonesia is estimated to be increased 8.4 persen per year in couple of years to go. PLN (Indonesia Electricity Company) supply electrical energy for Indonesia from power plant with 90 persen fossil fuel fired. Stock of raw material for fossil energy is very limited in Indonesia and it will be depleted within a certain period. Fossil resources is not renewable and will cause scarcity eventually will rose the energy price in future. The use of fossil energy as fuel contributed to the largest greenhouse gas emission in the world, it is 57 persen of carbon dioxide (C02) emission.

On the other hand Indonesia has several renewable energy resources that can provide sustainable reserve energy and more eco-friendly as well. Nowadays, utilization of renewable energy ratio is still low. The use of geothermal energy for example is only 4.17 persen of its capacity (28.54 GW) in 2011. Therefore, it is necessary to develop energy resources particularly electrical energy that had considered the environment, economic and social factors.

The objective of this research is to analyze public perceptions about the impact geothermal power plant and estimate the cost of economic loss using effect of production method, estimate social cost using benefit transfer method and cost of production method, and analyze policies that able to encourage the development of geothermal power plant as alternative energy of diesel and coal powerplant using multicriteria decision analysis method (MCDA).

Public perceptions that observed in this research is resulted majority of respondents said that the impact of geothermal powerplant is quality and quantity of water changed with average economic loss value is Rp. 5 289 727 per person. Result of calculation of social cost is 1 517.98 Rp/KWh for geothermal, 9 866.89 Rp/KWh for diesel powerplant, and 12 841.02 Rp/Kwh for coal powerplant. Considering environment, social and economic criteria resulting policy in development of power plant that geothermal power plant has the highest score on the design of policies that have been made (Business as Usual and Feed in Tariff Scheme) comparing to coal and diesel power plant. In conclusion, the power plant should be prioritized to be develop is geothermal power plant in order the depletion of fossil resources can be reduced and environmental degradation caused by fossil power plant can be avoided, but the availability of the energy is attainable.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI

SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGKIT LISTRIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah ekonomi energi, dengan judul Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi MSc, Dr Meti Ekayani SHut MSc selaku pembimbing, Dr Fifi Diana Thamrin SP MSi selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran dan masukan. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ir Sahat M.H Simanjuntak MSc dari Institut Pertanian Bogor, Ir Abadi Poernomo DiplGeoth En.Tech dari Dewan Energi Nasional (DEN), Dr Suryadarma dari Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Prof Dr Ir Iwa Garniwa dari Universitas Indonesia, dan Pimpinan beserta seluruh Staf PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Kamojang, yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Fia (Istri), Abang Ucok, Eri, Teman-teman serta seluruh keluarga besar ESL-FEM IPB, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Pembangkit Listrik 9

Eksternalitas 10

Energy Pricing 12

Multi-Criteria Analysis Method 12

Effect On Production Approach 14

Penelitian Terdahulu 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 17

4 METODE PENELITIAN 19

Tempat dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengambilan Sampel 19

Metode Analisis Data 20

Perhitungan Biaya Eksternalitas 21

Perhitungan Biaya Produksi 23

Estimasi Biaya Sosial 24

Analisis Kebijakan 24

5 GAMBARAN UMUM 28

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 28

Karakteristik Responden 29

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak 31

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 32

Persepsi Masyarakat dan Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi

Akibat Dampak PLTP 32

Biaya Sosial Produksi Listrik 35

Analisis Kebijakan Pengembangan Listrik Non-Fosil 38

(14)

Simpulan 43

Saran 43

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 47

(15)

DAFTAR TABEL

1 Proyeksi kebutuhan listrik Indonesia tahun 2015- 2030 2 2 Jumlah unit pembangkit listrik dan energi yang diproduksi

pembangkit PLN di Indonesia tahun 2012 2

3 Perkiraan sumberdaya, kapasitas unit dan ratio energi terbarukan

di Indonesia tahun 2011 4

4 Margin biaya pembangkitan listrik PLTU, PLTP dan PLTD di

Indonesia 5

5 Perbandingan rata-rata emisi NOx, SO2, CO2 pada PLTP,PLTU,

dan PLTD. 6

6 Klasifikasi pembangkit listrik 9

7 Tabel evaluasi 13

8 Sebaran responden berdasarkan tempat tinggal responden 19

9 Matriks metode analisis data 21

10 Kriteria dan sub kriteria dalam penelitian 25

11 Karakteristik responden penelitian 29

12 Hasil perhitungan kerugian responden akibat perubahan kualitas

air 34

13 Tingkat emisi udara, unit dan total damage cost dari

masing-masing pembangkit listrik 36

14 Penyesuaian nilai kerugian berdasarkan nilai tukar mata uang

Rupiah 36

15 Biaya-biaya dalam pembangkitan listrik 37

16 Penilaian pemangku kebijakan dalam penentuan bobot 39

17 Matriks Keputusan 40

18 Matriks keputusan ternormalisasi 40

19 Matrik keputusan normal terbobot 41

20 Jarak solusi ideal positif dan ideal negatif 41

21 Koefisien terdekat pembangkit listrik 41

22 Hasil perhitungan koefisien terdekat dan uji sensitivitas

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Konsumsi energi final Indonesia tahun 2000 – 2011 1 2 Harga bahan bakar minyak, batubara dan subsidi listrik Indonesia

tahun 2007 – 2012 3

3 Emisi gas rumah kaca dunia tahun 2004 berdasarkan kandungan

gas 4

4 Kurva Eksternalitas 11

5 Diagram alur kerangka pikir 18

6 Peta lokasi pembangkit listrik dan sumur panas bumi di Gunung

Salak 31

7 Sebaran persepsi responden mengenai penurunan kualitas

lingkungan yang dirasakan 32

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema bussiness as usual

perubahan bobot setara (equal rate) 48

2 Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema feed in tarif bobot

hasil penentuan key person 49

3 Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema feed in tariff

perubahan bobot setara (equal rate) 50

4 Dokumentasi penelitian proses wawancara dengan masyarakat 51

(18)
(19)

778 802 800 840 875 865 880 917 907 978 1.068 1.115 0 200 400 600 800 1000 1200

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

K o n su m si E n erg i (Ju ta S B M) Tahun juta SBM

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 diperkirakan menjadi tonggak pemanfaatan energi secara besar-besaran di berbagai belahan dunia (AESF 2010). Pemanfaatan energi sejak saat itu hingga sekarang terus mengalami perkembangan baik sumber maupun pemanfaatannya, termasuk di Indonesia. Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2011, Indonesia mengalami peningkatan konsumsi energi final. Pada tahun 2011, Indonesia mencapai tingkat konsumsi energi final sebesar 1.115 Juta Setara Barel Minyak (SBM) dengan tingkat peningkatan rata-rata konsumsi energi tersebut sebesar 4.68 persen tiap tahunnya (KESDM,2012). Energi final tersebut terdiri atas batubara, bahan bakar minyak, gas, briket, Liquified Petroleum Gasses (LPG), biomasa dan listrik. Gambar 1 menjelaskan tentang konsumsi energi final di Indonesia. Terlihat grafik yang meningkat tiap tahunnya menggambarkan kebutuhan energi semakin tinggi, termasuk kebutuhan untuk energi listrik.

Sumber : BPPT 2012

Kebutuhan akan energi khususnya listrik diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam Outlook Energy Indonesia 2013 memperkirakan kebutuhan Indonesia akan tenaga listrik pada tahun 2030 meningkat secara signifikan (Tabel 1). Peningkatan diperkirakan akan mencapai lima kali lipat dibandingkan tahun 2011,atau akan mencapai 738 Tera Watt hour (TWh) dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.4 persen per tahun. Tingginya pertumbuhan pemanfaatan tenaga listrik tersebut sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian yang signifikan, perkembangan industri, kemajuan teknologi serta meningkatnya standar kenyamanan hidup masyarakat.

(20)

2

Tabel 1 Proyeksi kebutuhan listrik Indonesia tahun 2015- 2030

Tahun 2015 2020 2025 2030

Kebutuhan listrik (TWh) 266 408 558 738

Sumber : BPPT 2013

Energi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang terdapat di Indonesia diantaranya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara, Tenaga Gas (PLTG), Tenaga Gas Uap (PLTGU), Tenaga Panas Bumi (PLTP), Tenaga Diesel (PLTD), Tenaga Surya (PLTS) dan Tenaga Bayu atau angin. Mayoritas pembangkit listrik yang beroperasi masih didominasi oleh pembangkit yang berbahan baku energi fosil seperti batubara dan diesel (Tabel 2).

Supply energi listrik yang terbesar pada Tahun 2012 dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan baku batu bara dengan sekitar 49.31 persen dari total kapasitas unit pembangkit. Jumlah unit pembangkit listrik terbanyak yang beroperasi yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yaitu sebesar 4576 Unit atau 90.65 persen dari total pembangkit yang ada (PLN, 2012).

Tabel 2 Jumlah unit pembangkit listrik dan energi yang diproduksi pembangkit PLN di Indonesia tahun 2012

Pembangkit listrik Jumlah unit terpasang (unit)

Produksi Energi (GW)

PLT Air 216 10 524.61

PLT Uap 66 73 823.06

PLT Gas 76 5 668.01

PLT Gas Uap 66 34 568.51

PLT Panas Bumi 14 3 557.54

PLT Diesel 4576 3 484.45

PLT Surya 30 2.85

Jumlah 5048 131 629.03

Sumber : PLN 2012

(21)

3

Sumber : IISD (2012) dan PLN (2012)

Gambar 2 Harga bahan bakar minyak, batubara dan subsidi listrik Indonesia tahun 2007 – 2012

Terlihat kenaikan harga bahan bakar minyak dunia yang terjadi pada tahun 2008, 2011, dan 2012 (IISD 2012). Kenaikan harga bahan bakar minyak yang sulit untuk dihindari karena sesuai dengan hukum ekonomi apabila terdapat permintaan terhadap barang yang langka atau terbatas maka pasar akan merespon dengan menaikkan harga barang tersebut. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan batubara tersebut berimplikasi kepada kenaikan subsidi terhadap listrik yang dikeluarkan pemerintah. Hal tersebut menjadi konsekuensi penggunaan energi fosil apabila digunakan sebagai sumber energi.

Konsekuensi lain dari penggunaan energi fosil seperti batubara dan diesel adalah memberikan dampak negatif pada lingkungan yang cukup signifikan. Dampak lingkungan ini tidak hanya berpengaruh terhadap suatu negara saja, tetapi akan berdampak secara global seperti pemanasan global yang disebabkan meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca terdiri atas gas CO2, CH4, N2O, HFC,PFC, dan SF6 (IPCC 2007). Penggunaan bahan bakar

fosil menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu berupa emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 57 persen. Penjelasan tentang

kontribusi gas-gas yang menimbulkan emisi gas rumah kaca dan penghasilnya ditampilkan pada Gambar 3.

Pada laporan yang diterbitkan oleh Intergovermental Panel On Climate Change (IPCC) pada tahun 2007 menyatakan beberapa dampak yang akan timbul akibat pemanasan global yang disebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Dampak yang mayoritas terjadi adalah terkait dengan gangguan terhadap kesehatan manusia, penurunan ketersediaan air dan meningkatkan kekeringan di pertengahan garis lintang, ancaman pangan, peningkatan terjadinya coral bleaching, peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas, banjir dan kekeringan. 4881,43 7906,23 5186,76 5185,65 8188,09 8629,8

338,76 489,23 732,32 656,71 698,62 746,22 33,07 83,91 49,55 57,6 90,45 94,58 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Su bsid i List ri k Ha rga B B M dan B a tuba ra Tahun

Harga BBM (Rp/liter) Batubara (Rp/Kg)

(22)

4

Sumber: IPCC (2007)

Gambar 3 Emisi gas rumah kaca dunia tahun 2004 berdasarkan kandungan gas

Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki energi fosil memaksa untuk mencari alternatif sumber energi lain sebagai sumber energi untuk mencukupi kebutuhan energi listrik dimasa yang akan datang seperti energi non fosil. Energi non fosil dapat bersumber dari panas bumi, angin, nuklir, sinar matahari, arus/gelombang dan air. Pemanfaatan untuk energi non-fosil sebagai pembangkit listrik ini memang belum maksimal misalnya untuk pemanfaatan tenaga mikrohidro hanya mencapai 28.31 persen dari potensi yang tersedia (Tabel 3).

Tabel 3 Perkiraan sumberdaya, kapasitas unit dan ratio energi terbarukan di Indonesia tahun 2011

No Energi terbarukan Sumber daya (MW) Kapasitas unit pembangkit (MW) Rasio pemanfaatan (persen)

A B C D E = D/C

1 Tenaga Air 75 670.00 5705.29 7.54

2 Panas Bumi 28 543.00 1189.00 4.17

3 Mini/Mikro Hidro 769.69 217.89 28.31

Sumber : Bappenas 2012

Rasio pemanfaatan untuk tenaga panas bumi pada tahun 2011 misalnya hanya mencapai 4.17 persen dari potensi yang dimiliki dan merupakan yang terkecil dibandingkan dengan tenaga air dan mikro hidro. Rendahnya ratio pemanfaatan dan besarnya potensi yang dimiliki oleh panas bumi menjadi potensi untuk pengembangan energi dimasa yang akan datang terutama sebagai alternatif pengganti sumber energi fosil berbanding besarnya potensi energi terbarukan dengan pemanfaatan yang memiliki berbagai kekurangan seperti yang disampaikan pada penjelasan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud melakukan kajian terhadap pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit tenaga listrik sebagai salah satu alternatif energi pendamping pembangkit listrik bersumber energi fosil dalam upaya mencapai kemandirian energi dan pengurangan emisi.

F-Gas 1% N2O 8% CH4 14% CO2 (fosil fuel use)

57persen CO2

(deforestratio n &decay of

biomass) 17persen

(23)

5 Perumusan Masalah

Panas Bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan, berkelanjutan, dan dapat diandalkan (Kagel 2006). Potensi yang besar dan sumberdaya yang terbarukan yang dimiliki oleh panas bumi mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Perkembangan pemanfaatannya di Indonesia relatif lambat jika dibandingkan dengan negara Filipina. Filipina merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi panas bumi sebesar 6 GW atau hanya seperempat dari potensi yang dimiliki Indonesia. Pemanfaatan di Filipina dilakukan sejak tahun 1979 dan telah mencapai 48 titik panas bumi yang aktif beroperasi dengan kapasitas daya yang dihasilkan sebesar 1 840.9 MW pada tahun 2011. Indonesia memulai pemanfaatan panas bumi pada tahun 1978 dan sampai tahun 2011 hanya mencapai 23 titik yang aktif beroperasi dengan total kapasitas daya yang dihasilkan sebesar 1 134 MW (DiPippo 2012). Laju rata-rata peningkatan energi listrik yang diproduksi PLTP di Indonesia per tahunnya hanya sebesar 2.49 persen sementara laju produksi rata-rata energi pada PLTU sebesar 5.59 persen per tahunnya (PLN 2012). Berdasarkan laju produksi energi listrik yang dihasilkan terlihat Indonesia masih terkonsentrasi pada PLTU, padahal cadangan sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas, disisi lain energi panas bumi memiliki potensi yang besar (28,5 GW) namun perkembangan pemanfaatannya masih lambat.

Penyebab lambatnya perkembangan tersebut diantaranya disebabkan dari kurangnya minat investor karena tingginya biaya investasi, rumitnya birokrasi, disparitas biaya operasi dan harga jual yang tinggi dibandingkan dengan energi fosil, dan minimnya insentif (BPPT 2012). Penelitian ini mencoba mengkaji tentang penentuan biaya dalam produksi listrik. Kajian tentang biaya yang nantinya akan menghasilkan instrumen harga yang diharapkan dapat memberikan stimulan pada pengembangan listrik bertenaga panas bumi. Margin biaya operasi dan harga jual yang diterima per KWh (Kilo Watt hour) dari PLTP masih lebih rendah dibandingkan dengan PLTD (Tabel 4). Dibandingkan dengan tiga pembangkit yang akan diteliti dalam penelitian ini, PLTU memang merupakan jenis pembangkit dengan margin terkecil, hal ini salah satu penyebabnya adalah karena biaya operasi dan harga jual listrik per KWh PLTU yang paling rendah dibandingkan PLTP dan PLTD.

Tabel 4 Margin biaya pembangkitan listrik PLTU, PLTP dan PLTD di Indonesia

PLTU PLTP PLTD

Margin (Rp/KWh) 66.87 131.36 387.65

Sumber : PLN, 2012

Kegiatan pemanfaatan panas bumi sama seperti pemanfaatan sumber energi yang lain yaitu menghasilkan dampak baik negatif maupun positif. Dampak yang terjadi tidak hanya dampak yang dapat diduga atau diperhitungkan, namun juga dampak yang sulit dikuantifikasikan secara ekonomi dan biasanya tidak tercantum dalam perhitungan biaya produksi. Dampak yang dimaksud adalah eksternalitas (Kagel 2006). Eksternalitas yang timbul dari pemanfaatan panas bumi memang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan energi yang berasal dari fosil seperti

(24)

6

Eksternalias negatif berupa emisi gas sebagai contoh, dari pembangkit panas bumi relatif lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik energi fosil. PLTU batu bara menghasilkan emisi gas karbon dioksida (CO2) per KWh lebih

tinggi jika dibandingkan dengan PLTP dengan perbandingan 36:1 (Tabel 5). Karbon dioksida merupakan komponen Gas Rumah Kaca dimana peningkatan konsentrasinya dapat menimbulkan ancaman pemanasan global, peningkatan muka air laut, resiko banjir dan mencairnya es di kutub. Emisi berikutnya yaitu Nitrogen Oksida (NOx) tertinggi dihasilkan dari PLTU dimana emisi tersebut berpotensi menimbulkan dampak iritasi pada paru-paru, batuk, pembentukan kabut asap, penurunan pada kualitas air (Kagel et al 2007).

Tabel 5 Perbandingan rata-rata emisi NOx, SO2, CO2 pada PLTP,PLTU, dan PLTD.

Pembangkit listrik

Bahan bakar utama NOx (gr/MWh) SO2 (gr/MWh) CO2 (gr/MWh)

PLTU Batu Bara 1.95 4.71 994.0

PLTD Diesel 1.81 5.44 758.0

PLTP Panas Bumi 0 0.15 27.2

Sumber : DiPippo 2012

Eksternalitas terhadap lahan dikaji melalui kebutuhan akan lahan untuk kegiatan pembangkitan listrik. Perbandingan kebutuhan luasan lahan untuk PLTP diestimasi sebesar 1 260 m2/MW sedangkan PLTU sekitar 40 000 m2/MW (DiPippo

2012). Perhitungan tersebut sudah memasukkan kebutuhan untuk lahan kawasan pertambangan bahan baku dari masing-masing pembangkit. Tingginya kebutuhan lahan pada PLTU tersebut berpotensi menimbulkan peningkatan konversi lahan dimasa yang akan datang.

Eksternalitas selanjutnya adalah terkait dengan kualitas air. Karakteristik kualitas air dari kegiatan pemanfaatan panas bumi memiliki ciri-ciri tingkat temperatur yang tinggi, kaya akan mineral karena berasal dari perut bumi, dan bergaram (Kagel et al 2007). Garam, dan mineral-mineral yang berpotensi mencemari lingkungan tersebut dikembalikan ke dalam geothermal reservoir

(kolam panas bumi) melalui proses injected back. Proses pengembalian tersebut memiliki tujuan untuk mengurangi pencemaran air permukaan dan sebagai proses meningkatkan ketahanan pada geothermal reservoir, sehingga pembangkitan ini relatif ramah lingkungan dibandingkan energi fosil.

Dalam rangka upaya untuk pemenuhan kebutuhan listrik dimasa yang akan datang maka diperlukan suatu perumusan dalam kebijakan pengembangan energi listrik. Tujuan untuk mengembangkan sumber energi yang terbarukan seperti panas bumi sebagai alternatif sumber energi pengganti energi fosil perlu dikaji lebih lanjut. Panas bumi masih memiliki potensi permasalahan lingkungan seperti pemakaian dan pencemaran air, emisi gas-gas, penurunan muka tanah, menimbulkan gempa, menimbulkan pergeseran tanah, polusi suara, gangguan terhadap ekosistem dan potensi terjadinya bencana dalam pemanfaatannya walaupun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan energi fosil (DiPippo 2012).

(25)

7 1. Belum diketahuinya persepsi masyarakat dan nilai kerugian ekonomi yang timbul terkait dengan dampak pembangkit listrik bertenaga panas bumi yang telah beroperasi.

2. Produksi listrik bertenaga energi diesel, batubara dan panas bumi di Indonesia belum menginternalisasi biaya eksternalitas dalam fungsi produksi.

3. Pengembangan listrik bertenaga energi panas bumi relatif lambat dibandingkan dengan energi diesel dan batubara serta potensi yang dimilikinya.

Tujuan Penelitian

Pemanfaatan energi fosil dan non-fosil untuk menghasilkan listrik menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Ketersediaan bahan baku fosil yang terbatas dan peningkatan harga produksi listrik berbahan baku fosil yang terus terjadi menyebabkan perlunya pengembangan sumber energi terutama untuk energi listrik. Panas bumi sebagai energi dengan tingkat emisi yang rendah, mempunyai potensi sumberdaya yang besar dan terbarukan sangat berpeluang menjadi sumber energi alternatif tenaga listrik dimasa yang akan datang menggantikan energi fosil. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis persepsi dan mengestimasi nilai kerugian masyarakat sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi mengenai dampak yang timbul akibat beroperasinya pembangkit tersebut.

2. Mengestimasi besaran biaya sosial yang sudah mempertimbangkan biaya eksternalitas (internalisasi) akibat produksi listrik untuk masing-masing pembangkit listrik panas bumi, diesel dan batubara.

3. Menganalisis kebijakan untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik panas bumi sebagai alternatif pembangkit listrik diesel dan batubara.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menjadi bahan kajian dan gagasan untuk pemerintah sebagai penentu kebijakan penggunaan dan produksi energi di Indonesia

2. Kebijakan yang dihasilkan dapat menciptakan penyediaan energi listrik yang telah menerapkan teknologi ramah lingkungan dan pengurangan emisi yang dihasilkan.

3. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya untuk para akademisi. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

8

(27)

9

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangkit Listrik

Pembangkit listrik didefinisikan sebagai sekumpulan peralatan atau mesin yang tersusun untuk membangkitkan energi listrik (Raja 2006). perlatan yang utama dalam pembangkitan listrik adalah generator. Terdapat berbagai jenis pembangkit listrik yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar yaitu jenis konvensional dan non-konvensional. Penjelasan terkait dengan klasifikasi tersebut ditampilkan dalam Tabel 6 (Raja 2006).

Tabel 6 Klasifikasi pembangkit listrik

No. Pembangkit Listrik Sumber Energi Primer A. Konvensional

1. Tenaga Diesel (PLTD) Bahan bakar minyak atau gas 2. Tenaga Uap (PLTU) Batu bara, minyak atau gas 3. Tenaga Gas (PLTG) Bahan bakar gas atau minyak

4. Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Bahan bakar gas dan minyak atau batubara

5. Tenaga Nuklir (PLTN) Uranium B. Non-konvensional

1. Tenaga Panas Bumi (PLTP) Panas bumi

2. Tenaga Air (PLTA) Air

3. Tenaga Angin Angin

4. Tenaga Arus dan Pasang Surut Arus dan Pasang Surut Air Laut

Sumber : Raja 2006

Pembangkit listik tenaga uap (PLTU) merupakan pembangkitan dengan mengkonversi energi primer menjadi energi listrik dengan bahan bakar berupa batubara (padat), minyak (cair), dan gas. Terdapat beberapa potensi masalah lingkungan yang timbul dari pengoperasian PLTU seperti masalah gas buang. Gas buang yang dikeluarkan dari cerobong PLTU seperti SO2, NOx, dan CO2 kurang

baik bagi kesehatan manusia. Penggunaan bahan-bahan kimia seperti untuk air pendingin dan endapan dari proses pengolahan air ketel dapat membunuh mikroorganisme laut. PLTD umumnya digunakan pada daerah yang baru oleh PLN untuk menyalakan listrik, namun dalam perkembangannya jika tenaga listrik telah melebihi 100 MW, penyediaan listrik melalui PLTD tidak ekonomis lagi. Bahan bakar minyak yang digunakan dalam PLTD berdasarkan besarnya nilai ppm mesin diesel yang dipakai, contohnya High Speed Diesel Oil (HSD), Intermediate Diesel Oil (IDO), dan Marine Fuel Oil (MFO). Umumnya unit pembangkit diesel dapat dinyalakan tanpa memerlukan sumber tenaga listrik dari luar (dapat melakukan

black start) seperti dengan engkol, bateri aki, atau udara tekan. Segi lingkungan untuk pembangkit listrik diesel perlu mendapat perhatian karena menghasilkan kebisingan, gas buang (CO2), dan masalah minyak pelumas bekas yang dapat

mencemari lingkungan (Marsudi 2011).

(28)

10

dan biasanya dilakukan perusahaan pertambangan yang kemudian menjual uapnya kepada perusahaan listrik. Perusahaan listrik harus memperhitungkan biaya uap sebagai biaya operasi yang belum tentu lebih murah dari bahan bakar PLTU. Masalah lingkungan yang memerlukan perhatian adalah masalah kebisingan dan uap yang mengandung belerang yang dalam udara dapat menghasilkan H2S.

Pelestarian hutan sebagai daerah kantong uap sangat diperlukan agar kantong uap selalu mendapat air tanah sehingga uapnya tidak cepat habis.

Masalah utama dalam pembangkitan tenaga listrik diantaranya adalah penyediaan energi primer, penyediaan air pendingin, limbah, kebisingan, operasi, pemeliharaan, gangguan dan kerusakan, pengembangan pembangkitan, serta perkembangan teknologi pembangkit (Marsudi 2011).

Eksternalitas

Menurut Fauzi (2004), eksternalitas adalah dampak positif atau negatif atau dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Tipologi eksternalitas terbagi menjadi empat yaitu eksternalitas teknologi, pecuniary, privat, dan publik (Fauzi 2004).

Eksternalitas teknologi disebabkan karena adanya perubahan konsumsi atau produksi oleh suatu pihak terhadap pihak lain yang lebih bersifat teknis. Eksternalitas yang menyangkut kedua belah pihak yakni produsen dan konsumen memyebabkan bisa terjadi eksternalitas dari konsumsi ke konsumsi, dari konsumsi ke produksi dan juga sebaliknya. Eksternalitas pecuniary terjadi karena adanya perubahan harga dari beberapa input maupun output dimana terjadi aktivitas ekonomi seseorang mempengaruhi kondisi finansial pihak lain. Eksternalitas privat melibatkan hanya beberapa individu, bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill over (limpahan) kepada pihak lain (Fauzi 2004). Sedangkan pada eksternalitas publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.

Eksternalitas erat kaitannya dengan efisiensi alokasi sumber daya. Alokasi sumberdaya dapat diatur melalui pengaturan kelembagaan seperti kediktatoran (dictatorship), perencanaan terpusat (central planning) atau melalui mekanisme pasar (free market) (Fauzi 2004). Dalam teori ekonomi standar, pengaturan selain

free market bisa saja menghasilkan alokasi yang efisien, namun hanya mekanisme pasar yang menghasilkan alokasi yang efisien dan optimal. Eksternalitas dapat menimbulkan kegagalan pasar, dimana transaksi pasar tidak terjadi akibat mekanisme pasar tidak berjalan dengan sempurna. Individu dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi harga, namun bila terjadi kegagalan pasar keputusan yang dibuat akan berimplikasi pada timbulnya alokasi sumberdaya yang tidak efisien.

Dampak dari terjadinya eksternalitas ditampilkan dalam Gambar 4. Permintaan terhadap suatu komoditas Z digambarkan dalam kurva permintaan D (demand curve) dan biaya privat marjinal (private marginal cost) untuk memproduksi komoditas Z tersebut digambarkan dalam MCp. Bila produsen

(29)

11 memaksimumkan surplus privat produsennya. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya efisien karena pihak produsen belum memasukkan biaya pengurangan emisi dan kerusakan yang terjadi. Apabila produsen memasukkan perhitungan pengurangan emisi dan kerusakan dalam biaya produksi mereka, maka kurva biaya akan berubah menjadi MCs dengan tingkat produksi sebesar Q*, dan harga P*. Dari Gambar 4

terlihat bahwa eksternalitas dalam alokasi suatu komoditas dapat menyebabkan output yang dihasilkan dari sebuah komoditas terlalu besar sebanding dengan tingkat polusi yang dihasilkan. Harga yang berlaku dari sebuah produk yang dihasilkan terlalu rendah untuk tingkat produksi yang dihasilkan.

Terdapat berbagai solusi dalam mencegah atau mengurangi eksternalitas yaitu, memberikan hak kepemilikan (assigning property right), internalisasi, dan pemberlakuan pajak (Pigouvian Tax). Pemberian hak kepemilikan akan sangat bergantung pada biaya transaksi. Menurut teori Coase dalam Fauzi (2004) menyatakan pemberian hak kepemilikan akan mengurangi masalah eksternalitas namun tidak akan menghilangkannya.

Sumber: Teitenberg, 1992.

Gambar 4 Kurva eksternalitas Pp

Harga/unit

Ps

MCs

MCp

D

(30)

12

Energy Pricing

Menurut Bhattacharyya (2011) menyatakan bahwa terdapat dua konsep dasar dalam energy pricing yaitu average cost pricing dan marginal cost pricing. Prinsip average cost pricing mempertimbangkan komponen biaya capital dan biaya operasional lalu membaginya dengan output yang dihasilkan. Dalam perspektif teoritis, di pasar kompetitif dengan asumsi (skala ekonomi konstan, teknologi konstan, modal dibagi sempurna), biaya rata-rata sama dengan biaya marjinal pada tingkat optimum dalam jangka panjang. Dalam rumus matematik dijelaskan ;

�� � ��

=

��� ��

=

�. �−��

=

�.��−��

=

(1)

Hal tersebut berarti dalam jangka panjang kurva biaya rata-rata mendefinisikan expantion path dari sebuah perusahaan dan average cost pricing berjalan dengan baik ketika dalam jumlah yang banyak perusahaan bersaing di pasar untuk memproduksi barang yang homogen. Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan seperti;

1. Tidak memberikan insentif bagi peningkatan kinerja dan memungkinkan perusahaan lebih lemah untuk bekerjasama dengan perusahaan berperforma lebih baik.

2. Bergantung pada biaya yang sudah ada dan tidak mengambil biaya untuk peningkatan kapasitas baru sebagai pertimbangan.

3. Tidak memberikan sinyal yang memadai untuk investor

Pendekatan marginal cost-based didapatkan dari model pasar persaingan dimana harga ditentukan atas marginal cost. Marginal cost (MC) merupakan tambahan biaya akibat adanya perubahan komponen biaya input. Fungsi marginal cost menunjukkan slope dari fungsi total cost Persamaan matematik untuk marginal cost adalah sebagai berikut (Debertin 2012) :

= � /��

(2)

Multi-Criteria Analysis Method

Multi-criteria method menurut Bergh (1999) dalam Handbook Of Enviromental and Resources Economic adalah suatu metode yang bergerak diseputaran preferensi pengambilan keputusan. Metode ini mencoba untuk mempertimbangkan berbagai konflik kriteria secara simultan. Pembuatan keputusan dalam permasalahan lingkungan sering kali melibatkan persaingan kepentingan diantara grup, konflik tujuan, dan perbedaan tipe informasi. Ciri khas dari masalah multi-kriteria digambarkan dengan cara berikut:

(31)

13 penentuan masalah. Alternatif a1lebih baik dari alternatif a2menurut kriteria i jika �(a1) > �(a2). Dalam hal ini langkah penentuan masalah dapat ditampilkan dalam

tabel atau bentuk matriks yang disebut Tabel Evaluasi seperti dalam Tabel 7.

Tabel 7 Tabel evaluasi Kriteria Satuan (Unit)

Alternatif

a1 a2 a3 a4

g1 - g1(a1) g1(a2) g1(a3) g1(a4)

g2 - . . . .

g3 - . . . .

g4 - . . . .

g5 - . . . .

g6 - g6(a1) g6(a2) g6(a3) g6(a4)

Sumber : Bergh 1999

Adapun tipologi dari metode evaluasi adalah : Set of alternatives : discrete vs. continuous problems

Discrete decision problem melibatkan sekumpulan alternatif yang terhingga seperti contohnya pemilihan dari 9 lokasi yang memungkinkan dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sementara continuous decision problem memiliki karakteristik jumlah yang tak terbatas dalam alternatif yang mungkin contohnya alokasi nuklir, batubara, gas alam untuk memproduksi listik.

1. Measurement scale : quantitative vs. qualitative attribute scales

Sebagian besar permasalah lingkungan melibatkan percampuran antara informasi qualitatif dan quantitatif. Regime method, permutation method, evamix method dan expected value method dapat memproses masalah tersebut. Jika informasi tidak tersedia, dapat digunakan fuzzy evaluation methods.

2. Decision rule : priorities or prices

Decision rule memiliki ciri spesifik untuk setiap metode yang digunakan. Apabila ingin memaksimumkan mengenai biaya, manfaat maka gunakan

benefit-cost analysis atau cost-effectiveness analysis. Selain itu bila ingin meminimumkan jarak dari solusi terbaik gunakan ideal point method. 3. Valuation function : standardization vs. valuation

Angka kuantitatif dapat diukur dalam berbagai satuan pengukuran. Untuk dapat membandingkan, angka tersebut harus ditranformasikan kedalam dimensi/unit yang sama. Liniear standardization function dapat digunakan untuk hal tersebut.

(32)

14

Effect On Production Approach

Pendekatan effect on production merupakan salah satu pendekatan berbasis biaya yang banyak digunakan untuk menilai jasa lingkungan (Garrod 1999). Nilai tersebut didekati dengan menggunakan harga pasar (market price) yang melihat perubahan pada tingkat produksi akibat adanya perubahan kualitas lingkungan (Dosi 2000). Estimasi nilai yang diperoleh dengan metode ini tidak diinterpretasikan sebagai nilai sebenarnya tetapi merupakan suatu pendekatan terhadap dampak kesejahteraan akibat adanya perubahan kualitas lingkungan.

Berbagai metode kuantitatif telah banyak digunakan untuk mengestimasi biaya atau manfaat ekonomi dari perubahan lingkungan yang berdampak pada aktivitas produksi. Hanley dan Spash (1993) mengelompokkan beberapa metode tersebut yaitu; model tradisional / historical approach, model optimasi, dan model ekonometrik. Metode tradisional merupakan metode yang cukup sederhana, dan kelebihannya adalah informasi yang dibutuhkan tidak terlalu rumit. Teridentifikasinya hubungan antara kualitas lingkungan dengan tingkat output produksi suatu aktivitas, maka nilai moneter dari perubahan lingkungan dapat diestimasi dengan mengalikan perubahan tingkat output dengan harga output tersebut.

Model optimasi membutuhkan kumpulan data dalam jangka yang panjang, namun akan menyediakan informasi yang lebih rinci, dan dapat mempertimbangkan efek tidak langsung. Model quandratik memungkinkan untuk mengolah harga, kuantitas, dan variabel endogenus lainnya. Permasalahan mungkin muncul antara model dan kenyataan yang terjadi sehingga untuk mengidentifikasinya diperlukan kajian yang cukup rumit.

Model ekonometrika tidak menggunakan pendekatan yang normative melainkan observasi dan variasi data dari berbagai waktu. Pendekatan ini mencoba mendapatkan bukti yang nyata saling keterkaitan dari suatu hal. Hasil yang didapatkan dari perhitungan model ini dapat diuj i melalui metode ilmiah ataupun metode statistik (Hanley 1993).

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu terkait dengan penilaian biaya eksternalitas pada pembangkit listrik telah dilakukan oleh S. Mirasgedis dan D. Diakoulaki (1997) dalam tulisan berjudul Multicriteria Analysis vs. Externalities Assessment for the Comparative Evaluation of Electricity Generation System. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan umum untuk membandingkan dari sudut pandang lingkungan tentang perbedaan sistem pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi berbeda seperti batubara, lignite, minyak bumi, gas alam, nuklir, angin dan air. Hasil penelitian didapatkan dengan menggunakan metode External Cost Estimates (ECE), dan Multicriteria Analysis (MCA). Penelitian tersebut hanya mencakup pembangkit listrik yang berada di kawasan Eropa.

Hasil yang didapatkan adalah dampak emisi terhadap lingkungan yang terbesar dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar fosil yang terdiri atas batubara,

(33)

15 Emisi yang diteliti dalam penelitian ini adalah SO2, NOx, dan CO2. Penilaian

terhadap biaya eksternal dari pembangkit listrik yang tertinggi dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batubara sebesar 29.88 satuan moneter/KWh dan yang terendah adalah pembangkit listrik bertenaga angin sebesar 1.50 satuan moneter/KWh. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang ditampilkan pada dampak lingkungan yang dihasilkan.

Hasil yang didapatkan dengan metode external cost estimates dibandingkan dengan hasil dari multicriteria analysis untuk mendapatkan cakupan yang lebih luas sebagai preferensi pengambilan kebijakan. Terdapat lima skenario yang digunakan dalam multicriteria analysis. Berdasarkan hasil perhitungan dengan pembobotan, disimpulkan bahwa pembangkit listrik batu bara menempati posisi teratas sebagai yang berdampak paling berbahaya dan pembangkitlistrik tenaga angin merupakan solusi terbaik dalam generasi pembangkit listrik. Namun dalam beberapa perhitungan terlihat terdapat perbedaan dalam prioritas hasil secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil ECE adalah berasal dari pandangan

scientific dan collective terhadap atribut yang signifikan terhadap perbedaan dampak dari degradasi lingkungan. Sementara MCA berdasarkan pendekatan subjektif dimana beberapa individu menentukan nilai terhadap dampak berdasarkan persepsi mereka.

Penelitian Ines Wilkens dan Peter Schmuck (2012) dengan judul

Transdiciplinary Evaluation of Energi Scenario for a German Village Using Multi Criteria Decision Analysis bertujuan untuk melakukan evaluasi antar disiplin keilmuan pada penggunaan energi. Metode yang digunakan adalah Multi Criteria Decision Analysis (MCDA) dan indikator-indikator ekologi,ekonomi, serta sosial dalam pembahasannya. Hasil dari penelitian tersebut adalah partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan menghasilkan hasil positif dalam pembahasan. Proses MCDA menawarkan platform untuk pertukaran argumen dan perspektif yang berbeda; menyediakan data yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat; dan menggabungkan data ilmiah dengan perspektif aktor-aktor sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara seimbang. Prosedur pembobotan untuk proses evaluasi memudahkan bagi para aktor dalam menggunakan metode ini. Peringkat yang didapatkan dari skenario energi dapat meyakinkan kelompok bahwa skenario bioenergi lebih berkelanjutan untuk desa daripada sumber energi yang tak terbarukan.

(34)

16

(35)

17

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebutuhan akan energi sudah menjadi kebutuhan pokok manusia pada masa saat ini termasuk salah satunya kebutuhan energi listrik. Energi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik. Kegiatan pembangkitan listrik memerlukan bahan baku yang terdiri atas energi fosil dan atau non fosil. Pembangkit listrik energi fosil contohnya Pembangkit Lisrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan (PLTD). Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) salah satu contoh pembangkit listrik yang bersumber dari energi non-fosil. Permasalahan yang timbul dari penggunaan bahan baku fosil adalah eksternalitas negatif, biaya produksi pembangkitan listrik yang tinggi, dan harga beli listrik oleh PLN yang tinggi seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1.

Dampak negatif yang timbul dan dirasakan oleh masyarakat yang tinggal disekitar pembangkit listrik digambarkan melalui persepsi masyarakat yang dianalisa dengan menggunakan deksriptif kuantitatif. Dampak tersebut akan menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain. Sehingga dibutuhkan perhitungan dalam mengestimasi biaya kerugian yang dihasilkan dari masing pembangkit listrik untuk selanjutnya diketahui biaya sosial dari masing-masing pembangkit listrik. Metode yang digunakan dalam mengestimasi biaya kerugian tersebut adalah effect on production, dan benefit transfer.

Harga beli listrik bersumber enegi non fosil masih rendah jika dibandingkan energi fosil. Fenomena tersebut diduga sebagai salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi listrik non-fosil karena tidak menarik bagi investor. Penetapan harga beli listrik dan biaya produksi pembangkitan listrik perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terutamanya untuk pengembangan energi non-fosil sebagai alternatif energi dimasa yang akan datang. Biaya-biaya yang timbul akibat dampak negatif dari energi fosil perlu dimasukkan dalam perhitungan biaya produksi pembangkit listrik (Internalisasi) sebagai pertimbangan dalam penetapan harga energi (energy pricing). Internalisasi biaya lingkungan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode biaya produksi, biaya kerugian ekonomi dan benefit transfer.

(36)

18

Energi

Listrik

Fosil (PLTU & PLTD)

Non-Fosil (PLTP)

Energy Pricing

Multi Criteria Analysis

Biaya Eksternalitas

Kebijakan untuk mendorong pengembangan pembangkit non-fosil sebagai alternatif pembangkit listrik pengganti pembangkit listrik fosil.

Eksternalitas Negatif :

PLT fosil > PLT

Margin Harga: PLT Fosil > PLT Non

Fosil Kerusakan

Lingkungan

PLTP Non Fosil lambat berkembang Pemerintah

Fosil (PLTU & PLTD)

Multi Criteria Decision Analysis

Nilai Kerugian Ekonomi Persepsi, Effect on Production, Benefit

Transfer

Eksternalitas Negatif : PLT fosil > PLT non Fosil

Margin Harga:

PLT Fosil > PLT Non Fosil

Kerusakan Lingkungan

Ket :

[image:36.595.27.565.68.650.2]

= Batasan Penelitian = Alur Pemikiran = Metode Analisis

Gambar 5 Diagram alur kerangka pikir

Biaya Eksternalitas, Biaya Produksi, Benefit Transfer

(37)

19

4

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PLTP Gunung Salak, Desa Purwabakti dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan lokasi keberadaan pembangkit listrik panas bumi terbesar yang beroperasi di Indonesia (DiPippo 2012). Pengambilan data primer dilaksanakan dari September hingga November 2014.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section.

Sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui proses wawancara dengan responden yaitu masyarakat dan key person.

Responden dalam kelompok masyarakat adalah merupakan unit rumah tangga. Key person yang akan menjadi responden adalah perwakilan tokoh masyarakat, pihak akademisi, pihak perusahaan, dan pemerintah. Wawancara untuk key person

dilakukan dengan in-depth interview. Wawancara tersebut dilengkapi dengan panduan wawancara untuk masing-masing responden. Data sekunder diperoleh dari jurnal ilmiah, laporan instansi terkait, laporan pelaksanaan perusahaan terkait, serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel untuk responden masyarakat dilakukan dengan menggunakan prosedur purposive sampling. Metode tersebut digunakan karena pemilihan responden sebagai sampling didasarkan hanya kepada responden yang merasakan dan mengalami kerugian akibat perubahan kualitas lingkungan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebesar 71 orang dikarenakan responden bersifat homogen. Karakteristik penduduk yang tinggal di pegunungan dimana hidup berkelompok dan memiliki kesamaan jenis pekerjaan dan aktivitas kesehariannya. Jumlah tersebut adalah jumlah rumah tangga yang tinggal di dalam kawasan lingkar satu (ring satu) pembangkit listrik tenaga panas bumi (IP 2013). Sebaran responden berdasarkan desa tempat responden tinggal ditampilkan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan tempat tinggal responden

No. Desa Jumlah Responden

1 Ciasmara 33

2 Purwabakti 38

Jumlah 71

Sumber : Data Primer 2015

Prosedur penentuan yang digunakan untuk responden key person adalah

(38)

20

responden dengan kriteria responden memahami/ahli dalam pembangkitan listrik. Jumlah responden untuk key person adalahsebesar empat (4) orang yang terdiri atas masyarakat, pihak perusahaan pembangkit listrik, pihak pemerintah dan akademisi.

Metode Analisis Data

(39)
[image:39.595.65.511.99.676.2]

21 Tabel 9 Matriks metode analisis data

No Tujuan penelitian Jenis, sumber data, dan data yang dibutuhkan

Metode analisis data

1 Menganalisis persepsi dan mengestimasi nilai kerugian masyarakat sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi mengenai dampak yang timbul akibat beroperasinya pembangkit

 Deskripsi persepsi masyarakat mengenai dampak yang timbul: a. Jenis: Data primer b. Sumber data:

Wawancara c. Data yang

dibutuhkan: data kualitas lingkungan sekitar lokasi penelitian.  Estimasi nilai kerugian:

a. Jenis : Data primer b. Sumber data:

Wawancara responden c. Data yang dibutuhkan:

biaya atas kerugian-kerugian yang dirasakan responden

Persepsi masyarakat: Analisis Deskriptif Kuantitatif

Nilai kerugian masyarakat: Effect on production

2 Mengestimasi biaya sosial

yang sudah

mempertimbangkan biaya kerugian (internalisasi) dari produksi listrik untuk masing-masing

pembangkit listrik fosil dan non-fosil

 Estimasi biaya kerugian pembangkit listrik: a. Jenis : Data sekunder b. Sumber data: Jurnal

ilmiah dan penelitian terdahulu

c. Data yang dibutuhkan: data kerugian ekonomi per satuan KWh listrik  Biaya Sosial:

a. Jenis: Data sekunder b. Sumber data: Laporan

perusahaan,dan penelitian terdahulu c. Data yang dibutuhkan:

Biaya investasi, biaya operasional, dan biaya penyusutan dari masing-masing pembangkit listrik

Biaya kerugian pembangkit listrik:

Benefit transfer

Biaya Sosial :

Biaya eksternalitas, Biaya Produksi

3. Menganalisis kebijakan untuk mendorong pengembangan

pembangkit listrik non-fosil sebagai alternatif pembangkit listrik pengganti energi fosil.

 Analisis Kebijakan: a. Jenis: Data Primer b. Sumber data:

Wawancara pada key person

c. Data yang dibutuhkan: Jumlah Alternatif, Kriteria-kriteria penilaian, besaran nilai pada masing-masing kriteria, dan bobot untuk masing-masing kriteria tersebut.

Analisis kebijakan: Multi Criteria Analysis

Perhitungan Biaya Eksternalitas

(40)

22

1. Mengidentifikasi jasa lingkungan yang akan dinilai

Penggunaan pendekatan EOP membutuhkan hubungan yang jelas antara tingkat manfaat yang disediakan dengan kualitas atau kuantitas air dari sebuah ekosistem sungai dengan proses produksi ikan tambak yang diusahakan oleh para petani tambak.

2. Membuat scenario sebelum dan sesudah

Penggambaran mengenai kondisi ekosistem / jasa lingkungan pada kondisi sebelum terjadi eksternalitas dan kondisi pada saat ada pencemaran. 3. Mengestimasi penerimaan sebelum terjadi perubahan di ekosistem / layanan

jasa lingkungan

Penerimaan yang diterima oleh petani tambak dari hasil output produksi sebelum terjadinya eksternalitas. Penerimaan petani tambak ikan sebelum terjadi eksternalitas dijabarkan dalam persamaan berikut :

= =

(3)

Keterangan :

= Penerimaan pada kondisi sebelum terjadi eksternalitas untuk responden ke- i (1,2,3…n)

= Kuantitas output ikan yang dihasilkan sebelum terjadi eksternalitas untuk responden ke-i (1,2,3…n)

= Harga output untuk responden ke-i (1,2,3…n)

4. Mengestimasi penerimaan bersih setelah terjadi perubahan di ekosistem / layanan jasa lingkungan

Pengerjaan seperti langkah ke-3, namun dibedakan adalah kondisi ketika telah terjadi perubahan ekosistem input/ layanan jasa lingkungan yang dialami oleh petani tambak. Penerimaan petani tambak ikan setelah terjadinya eksternalitas dijabarkan dalam persamaan berikut :

= =

(4)

Keterangan :

= Penerimaan pada kondisi sesudah terjadi eksternalitas untuk responden ke- i (1,2,3…n)

= Kuantitas output ikan yang dihasilkan sesudah terjadi eksternalitas untuk responden ke-i (1,2,3…n)

= Harga output untuk responden ke-i (1,2,3…n)

5. Menghitung perubahan pada penerimaan

(41)

23

∆ = × − (5)

Keterangan :

∆ = Perubahan penerimaan akibat terjadi eksternalitas = Harga output untuk responden ke-i (1,2,3…n) = Kuantitas output ikan yang dihasilkan sesudah terjadi

eksternalitas untuk responden ke-i (1,2,3…n)

= Kuantitas output ikan yang dihasilkan sebelum terjadi eksternalitas untuk responden ke-i (1,2,3…n)

Metode selanjutnya yang digunakan untuk estimasi nilai kerugian akibat pembangkit listrik fosil adalah benefit transfer yang berasal dari data sekunder. Nilai yang didapatkan dari metode benefit transfer perlu dilakukan penyesuaian untuk penyetaraan nilai karena adanya perbedaan waktu. Perhitungan yang digunakan adalah penyetaraan dengan menggunakan konversi nilai tukar Rupiah Indonesia (Rp) terhadap Dolar Amerika (US$). Konversi nilai tukar ini digunakan karena transfer nilai yang digunakan dalam penelitian ini merupakan nilai eksternalitas akibat pembangkit yang ditampilkan dalam satuan cent US$. Tujuan yang ingin dicapai dari konversi mata uang dalam transfer nilai ini adalah untuk mendapatkan kesetaraan nilai mata uang (Fauzi 2014).

Perhitungan Biaya Produksi

Besarnya biaya untuk membangkitkan tenaga listrik per KWh memerlukan informasi tentang jumlah biaya yang telah dikeluarkan atau diperkirakan akan dikeluarkan dalam kurun waktu tertentu. Kemudian jumlah tersebut dibagi dengan produksi atau jumlah tenaga listrik yang dihasilkan selama waktu tertentu. Unsur biaya yang terdapat dalam produksi listrik secara umum terdiri atas beberapa biaya yaitu (IEA 2010):

a. Biaya modal (capital cost)

b.Biaya operasi dan pemeliharaan (O&M cost) c. Penyusutan

(42)

24

� = ��

( 6)

Keterangan :

ATC = Biaya rata-rata produksi listrik per KWh yang dihasilkan (Rp/KWh) Q = Jumlah listrik yang diproduksi dalam satuan waktu tertentu (KWh) TC = Biaya total produksi listrik (Rp)

C1 = Biaya modal (capital cost) (Rp)

C2 = Biaya operasi dan pemeliharaan (O&M cost) (Rp) C3 = Biaya Penyusutan (Rp)

Estimasi Biaya Sosial

Biaya yang dikeluarkan oleh produsen pada umumnya seperti upah, biaya bahan mentah, mesin, energi dan lainnya merupakan private cost (biaya privat) dan akan muncul pada laporan laba rugi perusahaan. Pada kegiatan produksi barang/jasa masih banyak jenis biaya yang tidak tampil dalam laporan laba rugi perusahaan padahal biaya tersebut adalah biaya sesungguhnya yang ditanggung masyarakat atau disebut external cost.

Tingkat output yang efisien secara sosial, keputusan mengenai penggunaan sumberdaya harus dimasukan kedalam perhitungan kedua jenis biaya yaitu biaya privat dan biaya eksternal. Perhitungan tentang biaya sosial tersebut ditampilkan sebagai berikut (Mangkoesoebroto 1993):

Social Cost = Private Cost + External (Environmental) Cost (7) MSC = MPC + MEC

Keterangan:

MSC = Marginal Social Costs

MPC = Marginal Private Cost

MEC = Marginal External Cost

Analisis Kebijakan

Pembuatan keputusan untuk permasalahan dengan berbagai kriteria penentuan sering kali melibatkan persaingan kepentingan diantara grup, konflik tujuan, dan perbedaan tipe informasi (Bergh, 1999). Masalah dengan berbagai kriteria tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan metode multicriteria decision analysis (MCDA) dengan pendekatan Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). Prinsip sederhana dalam penentuan pilihan dengan TOPSIS adalah alternatif pilihan merupakan pilihan terdekat dengan solusi ideal positif dan yang terjauh dari solusi ideal negatif (Kahraman 2008).

Langkah-3 2

1 C C

C

(43)

25 langkah yang digunakan dalam menggunakan pendekatan TOPSIS adalah sebagai berikut (Wang 2009):

1. Membangun matriks keputusan

[image:43.595.117.509.189.663.2]

Asumsikan terdapat sejumlah m alternatif � = , , … , yang akan dievaluasi terhadap sejumlah n kriteria = , , … , . Kriteria dan sub kritera yang digunakan dalam analisa kebijakan ditampilkan dalam Tabel 10. Tabel 10 Kriteria dan sub kriteria dalam penelitian

Kriteria Sub kriteria Deskripsi kriteria Satuan

Ekonomi (EKO)

Harga (HG) Harga beli yang ditetapkan oleh pemerintah untuk pembelian listrik oleh PLN dari penyedia jasa listrik

Rp/KWh

Biaya (BY) Biaya pembangkitan listrik dari sebuah pembangkit listrik untuk setiap daya yang dihasilkan

Rp/KWh

Stok (ST) Cadangan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia sebagai bahan baku produksi listrik

Tahun

Sosial (SOS)

Konflik lahan (KL) Potensi konflik lahan yang timbul akibat keberadaan pembangkit listrik

Skala Likert (1-5)

Tenaga kerja (TK) Jumlah tenaga kerja tetap (WNI) yang terserap persatuan daya yang dihasilkan

Orang/KWh

Perubahan budaya (PB)

Perubahan budaya yang timbul akibat keberadaan pembangkit listrik

Skala Likert (1-5)

Lingkungan (LING)

Udara (KU) Emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan

per satuan daya dari suatu pembangkit listrik

Kg/MWh

Suara (KS) Polusi suara yang dihasilkan per satuan daya dari suatu pembangkit listrik

dBA/KWh

Air (KA) Kadar pencemar air per satuan daya yang dihasilkan dari suatu pembangkit listrik

Ph

Sumber: Wilkens 2012

Penilaian subjektif dihasilkan dari para pembuat kebijakan (decision maker) dalam penentuan vektor bobot = ( , , … , , … ). Bobot vektor (W) memrepresentasikan kepentingan relatif dari n kriteria =

, , … , dalam penentuan keputusan. Matriks keputusan dapat ditampilkan

(44)

26

D=

[

⋱ …

]

=

,

, …

2. Menghitung matriks keputusan ternormalisasi

Nilai proyeksi dari masing-masing kriteria dapat dihasilkan dari perhitungan matriks keputusan yang telah dinormaliasasi. Persamaan yang digunakan dalam menghitung matriks keputusan ternormalisasi adalah sebagai berikut;

= �

√∑ �� ; = , … , ; = , … ; (8)

3. Menghitung matriks keputusan normal terbobot

Perhitungan matriks keputusan normal terbobot ( ) menggunakan persamaan sebagai berikut;

= , = , … , ; = , …

(9)

dimana adalah bobot dari kriteria ke-j dan jumlah dari bobot keseluruhan adalah 1

(

=

=

)

(10)

4. Penentuan solusi ideal positif �+ dan solusi ideal negatif �−

Perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan solusi ideal positif

�+ dan solusi ideal negatif menggunakan persamaan sebagai

berikut;

�+ = { +, … , +}{( � , ∊ )|( , ∊ )} (11)

(45)

27 dimana + menandakan nilai maksimum dari dan − merupakan nilai minimum dari dari . adalah terkait dengan kriteria manfaat dan diasosiasikan dengan kriteria biaya.

5. Penentuan jarak solusi ideal positif �+ dan solusi ideal negatif �− Perhitungan jarak solusi ideal positif adalah dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

�+ = {∑ ( +)

= } , = , … (13)

Serupa dengan solusi positif, pemisahan dari solusi ideal negatif dituliskan dalam persamaan berikut;

�− = {∑ (= − −) } , = , … (14)

6. Penentuan koefisien terdekat (closeness coeficient)( ).

Perhitungan koefisien terdekat merupakan langkah yang dipakai untuk merangking tiap-tiap alternaltif. Perhitungan dituliskan dalam persamaan berikut;

=(�+�+ �− −) ; = , … ,

(15)

dimana merupakan nilai akhir dari sebuah alternatif dalam perhitungan dengan menggunakan pendekatan TOPSIS.

7. Penentuan Urutan

Urutan terhadap nilai ditujukan untuk mendapatkan solusi terbaik dari permasalahan energi listrik ini. Alternatif dengan nilai koefisien terdekat ( ) yang tertinggi merupakan pilihan yang terbaik.

8. Uji Sensitivitas

(46)

28

5

GAMBARAN UMUM

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa yang menjadi lokasi penelitian dalam pengambilan data primer adalah Desa Ciasmara dan Desa Purwabakti. Kedua desa tersebut terletak di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Desa Ciasmara merupakan desa yang berada di sekitar Lereng Gunung Salak. Desa dengan ketinggian diantara 500 – 600 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini memiliki luas wilayah sebesar 625,250 ha. Luas wilayah tersebut terbagi menjadi 325 Ha Lahan Pertanian, 200 Ha Lahan Kehutanan, dan 101, 250 Ha Lahan pemukiman penduduk. Suhu rata-rata yang terjadi dapat mencapai 22 – 32 derajat celcius. Terdapat dua aliran sungai yang mengalir dan sekaligus menjadi batas administratif desa, yaitu Sungai Ciasmara di sebelah Utara dan Sungai Ciparabakti di sebelah selatan. Adapun batas-batas Desa Ciasmara adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Desa Ciasihan - Sebelah Selatan : Desa Purwabakti

- Sebelah Timur : Desa Kabandungan Kabupaten Sukabumi - Sebelah Barat : Desa Cibunian

Tingkat pendidikan yang mayoritas dimiliki oleh penduduk Desa Ciasmara adalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Kondisi tersebut terjadi karena kesadaran untuk mendapatkan pendidikan baru terjadi beberapa tahun. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah sebagai petani dan buruh industri. Desa Ciasmara termasuk kedalam desa tertinggal dikarenakan jumlah kepala keluarga (KK) dengan tingkat Pra Sejahtera mendominasi yaitu sebesar 42,5 persen dari total KK keseluruhan (Kantor Desa Ciasmara 2013).

Desa Purwabakti adalah desa yang memiliki luas lahan sebesar 1 962 Ha. Terletak di ketinggaian 520 -1350 meter diatas permukaan laut (mdpl) dan dengan curah hujan mencapai 120 mm/tahun. Desa ini terbagi dalam lima dusun, 12 Rukun Warga (RW), dan 41 Rukun Tetangga hanya berjarak 50 kilometer dari Ibukota Kabupaten Bogor. Batas Desa Purwabakti adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Desa Ciasmara - Sebelah Timur : Desa Ciasmara - Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi - Sebelah Barat : Desa Cibunian

(47)

29 tanah, dan hanya sebagian yang sudah berbentuk jalan aspal (Kantor Desa Purwabakti 2013).

Karakteristik Responden

[image:47.595.111.510.195.758.2]

Karakteristik umum responden masyarakat Desa Ciasmara dan Purwabakti Kecamatan Pamijahan ditampilkan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Karakteristik responden penelitian

Karakteristik Responden

Jumlah (orang) Persentase (persen) A. Jenis Kelamin

Laki-Laki 64 90.14

Wanita 7 9.86

B. Tingkat Pendidikan

Tidak sekolah 13 18.31

SD 41 57.75

SMP 11 15.49

SLTA 5 7.04

Universitas 1 1.41

C. Jenis Pekerjaan

PNS 1 1.41

Wiraswasta 12 16.90

Petani 29 40.85

Buruh 25 35.21

Pegawai Swasta/BUMN 4 5.63

D. Tingkat Pendapatan

≤ 1 Jt 13 18.31

> 1 Jt - ≤ 2 Jt 25 35.21

> 2Jt - ≤ 3 Jt 13 18.31

> 3 Jt - ≤ 4 Jt 6 8.45

> 4 Jt - ≤ 5 Jt 2 2.82

> 5 Jt 12 16.90

E. Lama Tinggal

1 -10 Tahun 5 7.04

11-20 Tahun 10 14.08

21-30 Tahun 14 19.72

31-40 Tahun 16 22.54

> 40 Tahun 26 36.62

F. Usia

17-34 14 19.72

35-52 30 42.25

53-70 25 35.21

>71 2 2.82

(48)

30

Variabel yang menjadi perhatian dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, lama tinggal, dan usia responden. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki karena target responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga. Dalam sebuah keluarga atau rumah tangga, pada umumnya pengambilan keputusan dibuat oleh laki-laki sebagai perwakilan keluarga sehingga dalam menjawab pertanyaan survei, laki-laki lebih berperan.

Tingkat usia responden dari hasil survei yang dilakukan cukup bervariasi dengan sebaran usia 17 tahun sampai 75 tahun. Persentase tertinggi terjadi pada kelompok usia 35 – 52 tahun sebesar 42 persen. Responden dengan kelompok usia 53 – 70 tahun berjumlah 35 persen, kelompok usia 17 – 34 tahun berjumlah 20 persen, dan k

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambar 2 Harga bahan bakar minyak, batubara dan subsidi listrik Indonesia tahun
Gambar 3 Emisi gas rumah kaca dunia tahun 2004 berdasarkan kandungan gas
Gambar 4  Kurva eksternalitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Kasus ini terjadi jika pivot dipilih secara acak dari elemen tabel, dan peluang setiap elemen dipilih menjadi pivot adalah sama.. Click to edit

Dimensi empathy (empati) dapat dilihat dari keramahan pegawai dalam proses layanan kesehatan dan kemudahan untuk dihubungi oleh masyarakat dalam

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor: 16.44/DAK.SD/167/PPBJ/434.101/2011 tanggal 17 Nopember 2011 untuk paket pekerjaan sebagai berikut :. Kegiatan :

Pengendalian pemanfaatan ruang kota pada umumnya dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rote Ndao Nomor

Mahasiswa menjawab semua pertanyaan tentang reaksi kualitatif anorganik yang terdapat dalam diktat petunjuk praktikum3. Yogyakarta, Juni 2013 Dosen Pengampu

Berdasarkan uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran NHT-CTL memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada NHT dan pembelajaran langsung,

Prinsip keija baterai udara adalah mengambil sebagian udara sekitar yang kontak langsung dengan katoda karbon aktif sehingga molekul-molekul udara tersebut akan

5% melakukan pengesahan hasil u"i &erkala mo&il penumpang umum' mo&il &arang tunggal' mo&il &us tunggal lantai tunggal' rangkaian mo&il