• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risk Factors of Stunting Among School-aged Children

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Risk Factors of Stunting Among School-aged Children"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

GHAIDA YASMIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor Risiko Stunting

pada Anak Usia Sekolah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Ghaida Yasmin

(3)

RINGKASAN

GHAIDA YASMIN. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia Sekolah. Dibimbing

oleh LILIK KUSTIYAH dan CESILIA METI DWIRIANI.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, sebanyak 35.6% anak usia 6-12 tahun mengalami stunting (Balitbangkes 2010). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan

dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Stunting juga

menyebabkan penurunan signifikan pada perkembangan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik (The Lancet 2008). Stunting

mempengaruhi perkembangan proses kognitif yang sedang berlangsung pada masa usia sekolah (Kar et al. 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

pada masa usia sekolah, anak kurang mengalami catch-up growth atau tetap stabil

bahkan mengalami stunting (Friedman et al. 2005). Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) telah melakukan penelitian data dasar kesehatan skala nasional (Riskesdas) tahun 2010 yang berpotensi diolah dan dianalisis.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko

stunting pada anak usia sekolah. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai

berikut: (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh dan keluarga contoh stunting

dan normal; (2) Mengidentifikasi pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan pada contoh stunting dan normal; (3) Mengidentifikasi kejadian penyakit infeksi

(malaria) pada contoh stunting dan normal; (4) Menganalisis kuantitas dan

kualitas konsumsi pangan contoh stunting dan normal; serta (5) Menganalisis

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada contoh.

Penelitian ini seluruhnya menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2010 oleh Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan desain cross sectional study. Data yang dianalisis pada penelitian ini berasal dari delapan Provinsi

berdasarkan kategori prevalensi stunting (WHO 1997) yaitu sangat tinggi (≥40%)

di Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara, tinggi (30-39%) di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat, sedang (20-29%) di Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta, serta rendah (<20%) di Bali. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2013. Contoh penelitian ini adalah anak laki-laki dan perempuan usia 6-12 tahun dari delapan provinsi. Jumlah contoh yang terdapat pada electronic files berjumlah 11.335. Setelah melalui proses cleaning, jumlah

contoh yang diolah dan dianalisis berjumlah 8.710. Analisis menggunakan

Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 17.0. Pengolahan data status

gizi menggunakan software WHO AnthroPlus v1.0.4. Analisis yang dilakukan

yaitu univariat, bivariat dan multivariat. Dilakukan juga uji beda menggunakan uji t dan oneway Anova. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Analisis

multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik dengan metode

Backward Wald dengan kriteria kemaknaan statistik p<0.05 dan nilai confidence interval (CI) sebesar 95%.

(4)

laki-laki, Ibu dengan tinggi badan pendek (<145 cm), orangtua dengan tingkat pendidikan rendah (≤tamat SD), Ayah terbiasa merokok, Ayah dengan IMT normal dan Ibu dengan IMT kurus, besar keluarga ≥8 orang, rumah tangga dengan pengeluaran menengah ke bawah (kuintil 1 dan 2), serta wilayah pedesaan. Terdapat hubungan signifikan antara usia 10-12 tahun, jenis kelamin laki-laki, tinggi badan Ibu <145 cm, kebiasaan merokok Ayah, IMT Ayah dan Ibu kurus, keluarga besar (≥8 orang), pengeluaran menengah ke bawah (kuintil 1 dan 2), dan tinggal di wilayah pedesaan dengan stunting pada contoh.

Sebanyak 76.41% contoh di lingkungannya setidaknya ada satu fasilitas pelayanan kesehatan dan pernah memanfaatkannya. Terdapat hubungan signifikan antara ketersediaan fasilitas dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan

stunting pada contoh. Sebanyak 50.46% contoh memiliki skor sanitasi lingkungan

yang tergolong sedang dan hanya 32.57% contoh yang tergolong baik. Terdapat hubungan signifikan antara skor sanitasi lingkungan dengan stunting pada contoh.

Terdapat 2.26% contoh yang pernah didiagnosis penyakit malaria selama 1 tahun terakhir. Tidak ada hubungan signifikan antara penyakit malaria dengan

stunting pada contoh.

Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh stunting signifikan

lebih rendah daripada contoh normal, kecuali tingkat kecukupan vitamin A dan C. Persentase energi dari karbohidrat, lemak dan protein signifikan lebih rendah pada contoh stunting dibandingkan dengan contoh normal. Sebanyak 45.42% contoh

tingkat kecukupan energinya tergolong defisit tingkat berat dan tingkat kecukupan protein pada 40.24% contoh tergolong cukup. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral sebagian besar contoh tergolong kurang. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi berhubungan signifikan dengan stunting pada contoh, kecuali tingkat

kecukupan vitamin A. Sebanyak 65.03% contoh kualitas konsumsi pangannya masih tergolong buruk dan hanya 0.23% contoh yang sudah tergolong baik. Terdapat hubungan signifikan antara kategori skor HEI dengan kejadian stunting

pada contoh.

Faktor risiko stunting pada contoh yaitu pengeluaran rumah tangga

menengah ke bawah (kuintil 1 dan 2), skor HEI buruk (<50), tinggi badan Ibu <145 cm, tingkat pendidikan Ibu rendah (≤ tamat SD dan tamat SMP-SMA), besar keluarga ≥8 orang, tingkat kecukupan energi dan protein defisit tingkat berat (<70%), usia 10-12 tahun, tinggal di wilayah pedesaan, jenis kelamin laki-laki, serta skor sanitasi lingkungan kurang (<60%).

Dalam proses penanggulangan masalah stunting, khususnya pada anak

usia sekolah, diperlukan usaha peningkatan status sosial ekonomi keluarga serta peningkatan pendidikan Ibu. Program keluarga berencana juga perlu lebih digalakkan kembali agar tercipta keluarga dengan jumlah ideal. Fasilitas pelayanan kesehatan dan kondisi sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan khususnya pada provinsi dengan kategori prevalensi stunting sangat tinggi.

Pendidikan gizi, kesehatan serta perilaku hidup bersih dan sehat berbasis sekolah juga sebaiknya dilakukan agar dapat langsung mengenai sasaran primer yaitu anak usia sekolah.

(5)

SUMMARY

GHAIDA YASMIN. Risk Factors of Stunting Among School-aged Children. Supervised by LILIK KUSTIYAH and CESILIA METI DWIRIANI.

Based on the results of Indonesian Basic Health Research in 2010, the national prevalence of stunting among school aged children (6-12 years old) was 35.6%. Stunting is a major public-health problem in low and middle-income countries because of its association with increased risk of mortality during childhood. Stunting also leads to significant physical and functional deficits among survivors (The Lancet 2008). Stunting affects the development of cognitive processes during school-aged period (Kar et al. 2008). Several studies

have shown that during school-aged period, children was less experienced catch-up growth or remain stable even experienced stunting (Friedman et al. 2005).

Health Research and Development Agency of the Indonesian Ministry of Health has conducted a Basic Health Research at national scale in 2010 that could potentially be analyzed to determine the risk factors for stunting in school-aged children. Therefore, the objective of this study was to analyze risk factors of stunting among school-aged children. Specifically, objective of this study as follows: (1) identify the characteristics of the children and families of stunted and normal children, (2) identify health and environmental sanitation in stunted and normal children, (3) identifying the incidence of infectious diseases (malaria) in stunted and normal children, (4) analyzing the quantity and quality of food consumption in stunted and normal children and (5) analyze factors that influence the incidence of stunting in the children.

This study used secondary data from Basic Health Research by Health Research and Development Agency of the Indonesian Ministry of Health in 2010 with a cross-sectional study design. The data analyzed in this study were from eight Provinces which selected according category of prevalence of stunting (WHO 1997),were very high (≥ 40%) in East Nusa Tenggara and North Sumatra, high (30-39%) in West Nusa Tenggara and West Java, moderate (20-29%) in Bangka Belitung, Jakarta and Yogyakarta, and low (<20%) in Bali. Processing and data analysis was conducted in June-October 2013. Subjects of this research are boys and girls aged 6-12 years from eight provinces. Number of subjects contained in the electronic files was 11335 children. After a cleaning process, the number of children analyzed was 8710. Analysis data used Microsoft Excel 2007 and SPSS for Windows version 17.0. The t test and oneway ANOVA was used to determine mean difference of variable with data continues and mean HAZ. Chi-square test was used to determine relationship between independent variable with stunting. Multivariate analyzes were performed using logistic regression with Backward Wald method with statistical significance criteria of p<0.05, and the value of the confidence interval (CI) of 95%.

(6)

with normal BMI, children with ≥ 8 family member, low household expenditure (quintiles 1 and 2), and living in rural areas. There were significant relationship between children with older age (10-12 years), male children, low maternal height (<145 cm), paternal smoking habits, parental BMI <18.5 kg/m2, large family (≥8 member), low household expenditure (quintiles 1 and 2) and living in rural areas with stunting in children.

There was at least one health care facility in living environment of children and have used it in 76.41% children. There was a significant relationship between the availability and utilization of health care facilities with stunting in the children. A total of 50.46% children have moderate of environmental sanitation scores and only 32.57% were classified as good. There was a significant relationship between environmental sanitation scores with stunting in children.

There was 2.26% children had diagnosed with malaria during the last 1 year. There is no significant relationship between malaria and stunting in children. Mean energy and nutrients adequacy level of stunted children significantly lower than normal children, except for vitamin A and C. Mean vitamin A and C adequacy level were higher in stunted children than normal children, but only vitamin C which significantly different between stunted and normal children (p<0.05). Percentage of energy from carbohydrate, fat and protein is significantly lower in stunted children compared to normal children (p<0.05). Energy and nutrients adequacy level significantly associated with stunting in school-aged children (p<0.05), except for vitamin A adequacy level. There was a significant relationship between the percentage of energy from carbohydrate, fat and protein with stunting in school-aged children (p<0.05). There were 65.03% of children who have poor quality food consumption and only 20 (0.23%) children have good quality food consumption. There was a significant relationship between categories of HEI score with stunting in school-aged children (p<0.05).

Based on logistic regression analysis, risk factors of stunting in school-aged children were low household expenditure (quintile 1 and 2), low Healthy Eating Index score (<50), low maternal height (<145 cm), low maternal education (middle-high school and ≤ elementary school), higher family member (≥8 member), low energy and protein adequacy level (<70%), older age (age 10-12 years), living in rural area, male sex, and low sanitation score (<60%).

In the process of overcoming the problem of stunting, particularly in school-aged children, there should be an effort to improve the socio-economic status and mother education. Family planning also needs to be encouraged in order to create a family with ideal number. Health care facilities and environmental sanitation conditions need to be improved, especially in provinces with very high stunting prevalence category. School-based nutrition, health and hygiene practice education, should also be done in order to direct school-aged children as the primary targets.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

GHAIDA YASMIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(9)
(10)

Judul Tesis : Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia Sekolah

Nama : Ghaida Yasmin NIM : I151110101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si.

Ketua Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Drh. M. Rizal Damanik, M.RepSc., Ph.D

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik. Tesis ini berjudul ―Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia Sekolah‖ merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelas magister sains (M.Si) pada program magister Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc, selaku pembimbing yang selalu memberikan saran, arahan, bimbingan, motivasi dan kritik yang membangun bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hadi Riyadi, M.S. selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang membangun bagi penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang telah menyetujui permintaan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 untuk digunakan pada penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mbak Anna Vipta, SP, M.Sc dan Mbak Andiani, M.Si yang telah membantu selama proses permintaan dan pengolahan data serta teman-teman GMS angkatan 2011 ganjil (Mbak Rian, Indah, Mbak Vitria, Kemal dan Ibu Rahmi), angkatan 2011 genap (Nuvi) serta angkatan 2012 ganjil dan genap atas doa dan dukungan semangat kepada penulis. Tidak lupa juga ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pengajar dan staf di Departemen Gizi Masyarakat yang secara tidak langsung telah mendukung proses studi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama dan Adik-adik (Ririn dan Aldi) atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah tesis ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 4

Kegunaan 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Anak Usia Sekolah 5

Status Gizi 6

Stunting 7

Konsumsi Pangan 9

Healthy Eating Index (HEI) 10

Penyakit Infeksi 14

Sanitasi Lingkungan 15

Fasilitas Pelayanan Kesehatan 16

Karakteristik Keluarga 17

KERANGKA PEMIKIRAN 20

METODE 23

Desain, Lokasi, dan Waktu 23

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 23 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 24

Pengolahan dan Analisis Data 25

Definisi Operasional 33

HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Karakteristik Contoh 34

Karakteristik Keluarga 39

Pelayanan Kesehatan 47

Sanitasi Lingkungan 50

Penyakit Infeksi 62

Konsumsi Pangan 64

Faktor Risiko Stunting pada Contoh 75

Keterbatasan Penelitian 84

SIMPULAN DAN SARAN 85

Simpulan 85

Saran 86

DAFTAR PUSTAKA 87

(13)

DAFTAR TABEL

1 Angka kecukupan gizi 2004 untuk anak usia sekolah 6

2 Kategori status gizi berdasarkan TB/U 7

3 Rata-rata skor HEI 10

4 Skor HEI Amerika Tahun 2005 11

5 Sistem skor HEI Amerika tahun 2005 11

6 Komponen Thai Healthy Eating Index (THEI) dan sistem skoringnya 12

7 Penjabaran AKG menurut kecukupan energi berdasarkan kelompok

usia 14

8 Komponen Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) dan sistem

skoring 28

9 Komponen Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) untuk anak-anak

usia 4-6 tahun 28

10 Komponen Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) untuk anak-anak

usia 7-9 tahun 29

11 Komponen Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) untuk anak-anak

usia 10 – 12 tahun 29

12 Pengkategorian variabel penelitian 30

13 Sebaran contoh berdasarkan provinsi dan status gizi 34 14 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dan status gizi 35 15 Rata-rata z-skor TB/U contoh yang dikeluarkan berdasarkan provinsi 38 16 Sebaran contoh berdasarkan tinggi badan Ibu dan status gizi 39 17 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua dan status gizi 40 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua dan status

gizi 41

19 Sebaran contoh berdasarkan penyakit infeksi orangtua dan status gizi 41 20 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok orangtua dan status

gizi 42

21 Sebaran jenis pekerjaan orangtua contoh dan status gizi 44 22 Sebaran contoh berdasarkan IMT orangtua dan status gizi 45 23 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi 46 24 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran rumah tangga, wilayah dan

status gizi 47

25 Sebaran contoh berdasarkan ketersediaan dan pemanfaatan pelayanan

kesehatan dan status gizi 48

26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor sanitasi lingkungan dan

status gizi 51

27 Sebaran contoh berdasarkan penyakit infeksi (malaria) contoh dan

status gizi 63

28 Rata-rata asupan energi dan zat gizi 64

(14)

32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor HEI 71 33 Konsumsi dan asupan contoh berdasarkan komponen HEI 72

34 Rata-rata skor HEI per komponen 74

35 Faktor risiko stunting contoh yang signifikan berdasarkan hasil analisis

regresi logistik 76

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 22

2 Alur proses cleaning data 24

3 Rata-rata nilai z-skor TB/U berdasarkan usia 35 4 Sebaran nilai z-skor TB/U berdasarkan jenis kelamin 36 5 Rata-rata nilai z-skor BB/U, TB/U dan IMT/U berdasarkan status gizi 37 6 Ketersediaan pelayanan kesehatan berdasarkan kategori prevalensi

stunting per provinsi 49

7 Pemanfaatan pelayanan kesehatan berdasarkan kategori prevalensi

stunting per provinsi 50

8 Sebaran contoh berdasarkan kualitas sumber air keperluan RT dan

kategori provinsi 52

9 Sebaran contoh berdasarkan kualitas sumber air minum dan kategori

provinsi 53

10 Sebaran contoh berdasarkan akses air dan kategori provinsi 54 11 Sebaran contoh berdasarkan jumlah pemakaian air keperluan RT dan

kategori provinsi 55

12 Sebaran contoh berdasarkan jumlah pemakaian air minum dan kategori

provinsi 55

13 Sebaran contoh berdasarkan kualitas fisik air minum dan kategori

provinsi 56

14 Sebaran contoh berdasarkan penggunaan sarana pembuangan akhir

feses dan kategori provinsi 57

15 Sebaran contoh berdasarkan penggunaan sarana penampungan air

limbah dan kategori provinsi 58

16 Sebaran contoh berdasarkan sarana pembuangan akhir feses dan

kategori provinsi 59

17 Sebaran contoh berdasarkan sarana penampungan air limbah dan

kategori provinsi 60

18 Sebaran contoh berdasarkan sarana pembuangan sampah dan kategori

provinsi 60

19 Sebaran contoh berdasarkan kondisi lingkungan perumahan dan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Skoring dan pembobotan variabel sanitasi lingkungan 99 2 Data jenis pangan yang kandungan mineral Zn diperoleh dari Tabel

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) adalah kesehatan. Faktor gizi memegang peranan yang sangat penting

dalam meningkatkan derajat kesehatan. Meningkatnya derajat kesehatan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Perbaikan dan peningkatan gizi harus selalu dilakukan pada setiap siklus kehidupan manusia, yaitu mulai dari dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut.

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia hendaknya dilakukan sejak masa-masa siklus awal kehidupan seorang manusia karena hal tersebut dapat sangat menentukan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Salah satu siklus kehidupan yang sangat penting yaitu masa anak usia sekolah. Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa remaja sehingga gangguan gizi yang terjadi pada masa ini akan berdampak besar pada masa kehidupan selanjutnya.

Beberapa gangguan gizi pada masa usia sekolah diantaranya gizi kurang, seperti kependekan (stunting) dan kekurusan (wasting), bahkan juga gizi lebih

(kegemukan dan obesitas). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, sebanyak 12.2% anak usia 6-12 tahun mengalami kekurusan (IMT/U) dan bersamaan dengan itu ada 9.2% yang mengalami kegemukan. Gangguan gizi yang paling menonjol yaitu stunting, karena sebanyak 35.6% atau lebih dari

sepertiga anak usia 6-12 tahun mengalami stunting dengan rincian 15.1%

tergolong sangat pendek dan 20.5% tergolong pendek (Balitbangkes 2010). Dari 33 provinsi di Indonesia, 20 provinsi diantaranya memiliki prevalensi stunting

lebih tinggi dari prevalensi nasional (35.6%). Prevalensi stunting tertinggi di

provinsi Nusa Tenggara Timur (58.5%) dan terendah di provinsi Bali (15.6%). Riskesdas terbaru tahun 2013 menunjukkan persentase anak pendek usia 6 tahun sebesar 27.7% (laki-laki) dan 25.5% (perempuan) dan semakin meningkat sampai usia 12 tahun sebesar 37.7% (laki-laki) dan 34.9% (perempuan) (Balitbangkes 2013). Survei bernama SEANUTS (The South East Asia Nutrition Survey) yang

dilakukan di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam pada tahun 2011 terhadap 16744 anak usia 6 bulan sampai 12 tahun menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak di Indonesia sebesar 34%, hanya berbeda sedikit

dari hasil Riskesdas 2010 (Anna 2012). Hasil kajian Sandjaja et al. (2013)

berdasarkan survei yang sama pada 7211 anak 0.5-12 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi stunting masing-masing sebesar 25.2% dan 39.2%

di wilayah perkotaan dan pedesaan.

Stunting atau gangguan pertumbuhan linear merupakan dampak dari

masalah gizi kurang yang terjadi pada anak-anak di negara berkembang. Stunting

mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Selain itu, stunting juga

(17)

mental serta mengurangi kapasitas fisik (ACC/SCN 2000; WHO 2000a; The Lancet 2008). Dampak jangka panjang stunting meliputi tinggi badan yang

pendek, penurunan kapasitas kerja dan peningkatan risiko buruknya penampilan reproduktif. Stunting berkontribusi pada kematian sebesar 14.5% setiap tahunnya

dan 12.6% disability adjusted life-years (DALYs) pada anak dibawah 5 tahun

(The Lancet 2008).

Stunting juga dapat mempengaruhi perkembangan fungsi kognitif.

Penelitian di Ghana dan Tanzania menunjukkan bahwa stunting berhubungan kuat

dengan terlambatnya anak masuk sekolah dasar dan lebih banyak anak stunting

yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (Partnership for Child Development 1999). Penelitian pengaruh status gizi pada pencapaian skor akademik di sekolah dasar di Kenya menunjukkan bahwa anak perempuan yang kurang gizi mencapai skor tes yang lebih rendah (Mukudi 2003). Penelitian pada anak usia sekolah yang mengalami stunting menunjukkan buruknya tes perhatian,

memori kerja, belajar, dan kemampuan visuospasial. Stunting mempengaruhi

perkembangan proses kognitif yang sedang berlangsung pada masa usia sekolah (Kar et al. 2008) sehingga menurunkan potensi ekonomi (Senbanjo et al. 2011).

Pertumbuhan fisik anak usia sekolah merupakan hasil dari faktor lingkungan dan genetik serta interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak usia sekolah yaitu faktor lingkungan yang dialami sebelum masa pubertas. Faktor lingkungan tersebut meliputi buruknya pola konsumsi pangan, penyakit infeksi, rendahnya sanitasi, serta buruknya praktik kesehatan dan higiene (ACC/SCN 2000).

Kejadian stunting dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan penyakit infeksi

sebagai faktor penyebab langsung. Penelitian Aramico (2011) di Aceh menunjukkan bahwa pola makan berpengaruh signifikan terhadap kejadian

stunting siswa sekolah dasar (OR=6.01). Stunting juga berhubungan dengan

indeks keragaman konsumsi pangan pada anak usia sekolah di Maroko (Aboussaleh et al. 2004; Aboussaleh & Ahami 2009) dan skor keragaman

konsumsi pangan merupakan prediktor stunting yang kuat pada anak balita di

Bangladesh (Rah et al. 2010). Rendahnya asupan protein hewani dan zat gizi

mikro juga menjadi faktor risiko stunting anak balita (Black et al. 2008).

Selain konsumsi pangan, kontributor langsung lainnya terhadap kejadian

stunting yaitu penyakit infeksi kronis atau berulang, dan terkadang

dikombinasikan dengan infeksi parasit di usus (Lewit & Kerrebrock 1997). Prevalensi stunting yang cukup tinggi banyak ditemui di lingkungan yang

dikarakteristikkan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi (de Onis & Blossner 2003). Stunting mengurangi daya tahan tubuh sehingga dapat

meningkatkan derajat keparahan penyakit infeksi misalnya malaria (Verhoef et al.

2002). Hubungan signifikan antara malaria dan stunting ditemukan dari hasil

penelitian kohort pada anak balita di Kenya (Nyakeriga et al. 2004).

Sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berhubungan secara tidak langsung dengan stunting. Bhutta et al. (2008)

(18)

sanitasi yang lebih baik berhubungan dengan risiko stunting yang lebih rendah

(OR=0.73, 95% CI 0.71–0.75) dan akses terhadap air bersih berhubungan dengan risiko stunting yang lebih rendah (OR=0.92, 95% CI 0.89–0.94) pada anak balita

di 70 negara berpendapatan menengah ke bawah selama periode 1986-2007 (Fink

et al. 2011). Hasil analisis data Riskesdas 2007 oleh Hidayat dan Jahari (2012)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0.001) pada perilaku Ibu balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu lebih banyak balita dengan status gizi baik dibandingkan dengan balita yang Ibunya tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Stunting erat kaitannya dengan status sosial ekonomi (Supariasa et al.

2001). Penelitian Senbanjo et al. (2011) di Nigeria menunjukkan faktor sosial

ekonomi yang berpengaruh terhadap stunting pada anak sekolah yaitu rendahnya

pendidikan Ibu dan kelas sosial menengah ke bawah. Pekerjaan Ayah sebagai petani juga menjadi faktor risiko stunting anak sekolah dasar di Pakistan

(Khuwaja et al. 2005). Terdapat hubungan kuat antara kemiskinan rumah tangga

dan pendapatan per kapita dengan tinggi badan anak sekolah dasar di Afrika Selatan (Tinnaeus & Ngidi 2011). Hasil penelitian Dekker et al. (2010) dan

Mushtaq et al. (2011) juga menguatkan bukti bahwa tingkat pendidikan orangtua

dan status ekonomi rumah tangga berhubungan signifikan dengan stunting pada

anak sekolah dasar.

Pada negara-negara berkembang, sebagian besar kematian anak terjadi pada anak balita (Senbanjo et al. 2011) dan secara umum stunting terjadi terutama

pada anak balita (Martorell et al. 1994; Partnership for Development 2002). Oleh

karena itu, sejauh ini lebih banyak penelitian yang berfokus pada status gizi balita (Friedman et al. 2005) termasuk penelitian faktor risiko stunting. Selain itu, masih

terdapat asumsi bahwa anak usia sekolah dapat bertahan pada periode paling kritis dan tidak lagi rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Namun, banyak penyakit infeksi diderita anak usia sekolah (ACC/SCN 2000). Tingginya tingkat masalah gizi dikombinasikan dengan penyakit pada masa usia sekolah memiliki konsekuensi negatif untuk perkembangan anak secara keseluruhan dalam jangka panjang (Partnership for Development 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada masa usia sekolah, anak kurang mengalami catch-up growth atau tetap stabil bahkan mengalami stunting

(Friedman et al. 2005) yang dapat mempengaruhi kehadiran dan proses belajar di

sekolah (ACC/SCN 2000). Derajat keparahan stunting pada anak usia sekolah

yang stunting cenderung meningkat selama masa usia sekolah (Partnership for

Development 2002). Di Afrika, penelitian cross-sectional menunjukkan

peningkatan prevalensi stunting sejalan dengan meningkatnya usia (Lwambo et al.

2000; Monyeki et al. 2000) dan penelitian longitudinal menunjukkan bahwa berat

dan tinggi badan anak usia sekolah semakin menjauh dari nilai median referensi internasional sejalan dengan meningkatnya usia (Stolzfus et al. 1997). Selain itu,

Prentice et al. (2013) menyatakan bahwa masa usia sekolah-remaja dapat menjadi window of opportunity selain masa 1000 hari pertama kehidupan.

(19)

et al. 2011). Di Indonesia sendiri, kajian faktor risiko stunting sejauh ini banyak

dilakukan pada anak baduta dan/atau balita. Telah ada beberapa penelitian mengenai hubungan beberapa faktor dengan stunting pada anak usia sekolah di

Indonesia tetapi dalam skala kecil (Ginting 2005; Norliani 2005; Aramico 2011; Dewi 2012). Di samping itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) telah melakukan penelitian data dasar kesehatan skala nasional (Riskesdas) tahun 2010 yang berpotensi diolah dan dianalisis. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan mempelajari faktor risiko stunting pada anak

usia sekolah di delapan Provinsi dengan kategori prevalensi stunting berdasarkan

WHO (1997) yaitu sangat tinggi (≥40%) di Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara, tinggi (30-39%) di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat, sedang (20-29%) di Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta, serta rendah (<20%) di Bali.

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko

stunting pada anak usia sekolah. Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai

berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh dan keluarga stunting dan normal

2. Mengidentifikasi pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan pada contoh stunting dan normal

3. Mengidentifikasi kejadian penyakit infeksi (malaria) pada contoh stunting

dan normal

4. Menganalisis kuantitas dan kualitas konsumsi pangan contoh stunting dan

normal

5. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting

pada contoh

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia sekolah. Hasil

dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan strategi dan kebijakan gizi oleh para penentu kebijakan dalam menanggulangi masalah gizi terutama stunting pada anak usia sekolah di

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Usia Sekolah

Menurut Lucas (2004), anak usia sekolah yaitu anak yang berusia 6–12 tahun. Masa ini boleh dikatakan sebagai periode laten karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih bayi (Arisman 2008). Masa anak usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, otot, dan darah sehingga mereka membutuhkan makanan yang bergizi dibandingkan orang dewasa (Lucas 2004). Walaupun pertumbuhan fisik berlangsung dalam kecepatan yang lebih stabil dibandingkan tahun pertama kehidupan, masa usia sekolah merupakan periode pertumbuhan yang signifikan pada aspek sosial, kognitif, dan emosi anak usia sekolah (Lucas & Feucht 2008). Dalam masa kehidupan anak, periode ini merupakan persiapan pemenuhan kebutuhan fisik dan emosi untuk pertumbuhan pesat pada masa remaja (Wooldridge 2011).

Pertumbuhan fisik anak usia sekolah merupakan hasil dari faktor lingkungan dan genetik serta interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak usia sekolah yaitu faktor lingkungan yang dialami sebelum masa pubertas. Faktor lingkungan tersebut meliputi buruknya pola konsumsi pangan, penyakit infeksi, rendahnya sanitasi, serta buruknya praktik kesehatan dan higiene (ACC/SCN 2000).

Kebutuhan energi anak usia sekolah ditentukan oleh usia, metabolisme basal dan aktivitas (WNPG 2004). Menurut Lucas dan Feucht (2008), kebutuhan energi anak usia sekolah ditentukan berdasarkan metabolisme basal, kecepatan pertumbuhan, dan pengeluaran energi. Energi dari konsumsi pangan harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan mencegah protein digunakan sebagai sumber energi tetapi tidak sampai terjadi pertambahan berat badan yang berlebihan.

Kebutuhan energi total meningkat sedikit sejalan dengan usia, tetapi kebutuhan energi per kilogram berat badan secara aktual menurun (Whitney & Rolfes 2011). Untuk anak usia 7–9 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin, kebutuhan energinya adalah 1800 kkal. Anak laki–laki dan wanita berusia 10–12 tahun memerlukan energi sebesar 2050 kkal (WNPG 2004). Angka Kecukupan Gizi (AKG) anak usia sekolah lebih lengkap disajikan pada Tabel 1.

Kebutuhan protein total meningkat sejalan dengan usia, tetapi ketika berat badan anak juga diperhitungkan, kebutuhan protein aktual menurun sedikit. Rekomendasi protein harus mempertimbangkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan nitrogen, kualitas protein yang dikonsumsi, dan jumlah protein tambahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Whitney & Rolfes 2011).

(21)

sedangkan untuk anak laki–laki dan perempuan untuk usia 10 – 12 tahun 50 g/hari (WNPG 2004).

Masalah gizi utama pada anak usia sekolah meliputi stunting, underweight, anemia, defisiensi iodium dan defisiensi vitamin A. Pada

negara-negara yang mengalami transisi gizi, kegemukan dan obesitas merupakan masalah yang semakin meningkat pada anak usia sekolah. Masalah kesehatan utama yang dihadapi anak usia sekolah yaitu malaria, infeksi cacing, penyakit diare, infeksi pernafasan serta pengaruh langsung dan tidak langsung dari HIV/AIDS (Partnership for Development 2002).

Tabel 1 Angka kecukupan gizi 2004 untuk anak usia sekolah Energi dan Zat Gizi 4-6 tahun 7 – 9 tahun 10 – 12 tahun

(22)

sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi tertentu. Ada beberapa cara dalam mengukur status gizi anak, yaitu dengan pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorik. Diantara ketiganya, pengukuran antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak digunakan.

Pada pengukuran antropometri, dilakukan penilaian fisik individu dan menghubungkannya dengan suatu standar yang dapat menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut (Hammond 2008). Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh

dan metros artinya ukuran. Jadi, antropometri adalah ukuran dari tubuh.

Pengertian antropometri dari sudut pandang gizi yaitu hal yang berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat gizi (Supariasa et al. 2001).

Penilaian status gizi dilakukan dengan penghitungan berdasarkan z-skor yang dilakukan dengan cara melihat distribusi normal nilai pertumbuhan orang yang diperiksa. Angka ini melukiskan jarak nilai baku median dalam urutan simpangan baku. Nilai z-skor diperoleh dari hasil pembagian antara selisih ukuran antropometrik (misalkan BB, TB, LILA) orang yang diperiksa dan nilai median baku acuan dengan nilai simpangan baku populasi (Arisman 2008).

Stunting

Stunting didefinisikan sebagai rendahnya indeks tinggi badan menurut usia

(TB/U) yaitu <-2 standar deviasi (SD) dari nilai median referensi internasional

World Health Organization (WHO) Reference 2007. Indeks antropometri tinggi

badan menurut usia (TB/U) merefleksikan pertumbuhan linear yang dicapai saat pre- dan postnatal dimana terjadinya defisit pada pertumbuhan linear tersebut mengindikasikan pengaruh jangka panjang dan kumulatif ketidakcukupan gizi dan kesehatan. Pendeknya tinggi badan mengacu pada rendahnya indeks tinggi badan menurut usia (TB/U) yang merefleksikan defisit pada pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai hasil buruknya konsumsi pangan dan penyakit (ACC/SCN 2000).

Tabel 2 Kategori status gizi berdasarkan TB/U

Variabel Kategori

z-skor < -3 SD Sangat pendek (severe stunting)

-3 SD ≤ z-skor < -2 SD Pendek (stunting)

z-skor ≥ -2 SD Normal

Sumber: WHO (2007)

Penyebab utama stunting meliputi hambatan pertumbuhan dalam rahim

(intrauterine growth retardation), kurangnya gizi untuk mendukung cepatnya

pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak balita serta infeksi yang berulang (Frongillo 1999). Stunting pada anak berhubungan dengan konsekuensi jangka

(23)

badan orang dewasa dan fungsi yang kurang optimal pada masa kehidupan selanjutnya serta (2) sebagai kunci yang mendasari proses pertumbuhan dan perkembangan pada masa awal kehidupan yang dapat mengakibatkan buruknya pertumbuhan dan perkembangan serta outcome lainnya (A&T Technical Brief

2010). The Maternal and Child Undernutrition Study Group mereview penelitian

kohort dari lima negara berpendapatan menengah ke bawah yaitu Brasil, Guatemala, India, Filipina dan Afrika Selatan. Penelitian tersebut melibatkan

follow-up jangka panjang dari anak sampai masa akhir remaja dan dewasa. The Maternal and Child Undernutrition Study Group menyimpulkan bahwa ukuran

bayi lahir yang kecil dan stunting pada masa anak-anak berhubungan dengan

tinggi badan dewasa yang rendah, penurunan massa tubuh tanpa lemak, rendahnya masa sekolah, berkurangnya fungsi intelektual, berkurangnya pendapatan dan berat bayi lahir yang rendah dari Ibu yang stunting pada masa anak-anak (Victora et al. 2008).

Stunting memiliki konsekuensi negatif jangka panjang pada kesehatan

termasuk pada generasi selanjutnya. Risiko kesehatan yang berhubungan dengan

stunting dimulai dari dalam kandungan dan berlanjut selama masa hidup,

seringkali sampai generasi selanjutnya. Seperti yang dilaporkan World Bank (2006), bayi yang lahir dari Ibu yang mengalami gizi kurang atau stunting maka

kemungkinan besar akan menderita gizi kurang dan stunting juga. Dengan

demikian, gizi kurang melewati satu generasi ke generasi selanjutnya.

Stunting dapat menghambat prestasi akademik dan mengurangi

pendapatan ekonomi. Stunting sangat kuat berhubungan dengan kemampuan

belajar dan berkontribusi pada perkembangan ekonomi nasional (A&T Technical Brief 2010). Stunting mengakibatkan lebih sedikit masa sekolah dan gangguan

perkembangan kognitif. Proses menjadi stunting akibat kurangnya asupan gizi

dan/atau infeksi berulang merupakan penyebab umum dari rendahnya tinggi badan serta kerusakan struktural dan fungsional pada otak sehingga memperlambat perkembangan fungsi kognitif bahkan kerusakan kognitif secara permanen (Kar et al. 2008). Penelitian di Ghana dan Tanzania menunjukkan

bahwa stunting berhubungan kuat dengan terlambatnya anak masuk sekolah dasar

dan lebih banyak anak stunting yang tidak menyelesaikan pendidikan sekolah

dasar (Partnership for Child Development 1999). Penelitian pengaruh status gizi pada pencapaian skor akademik di sekolah dasar di Kenya menunjukkan bahwa anak perempuan yang kurang gizi mencapai skor tes yang lebih rendah (Mukudi 2003). Penelitian pada anak usia sekolah yang mengalami stunting menunjukkan

buruknya tes perhatian, memori kerja, belajar, dan kemampuan visuospasial.

Stunting mempengaruhi perkembangan proses kognitif yang sedang berlangsung

pada masa usia sekolah (Kar et al. 2008) sehingga menurunkan potensi ekonomi

(Senbanjo et al. 2011).

Stunting mengakibatkan produktivitas dan pendapatan ekonomi yang lebih

rendah. Pada penelitian cross-sectional di Brasil, peningkatan tinggi badan

(24)

lainnya seperti indeks massa tubuh (IMT) serta asupan energi dan protein per kapita (Thomas & Strauss 1997).

Konsumsi Pangan

Kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan gizi berbeda dengan kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat. Kebutuhan akan energi dan zat-zat gizi bergantung pada berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2001).

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan, yaitu: 1) karakteristik sampel, seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakteristik makanan atau minuman seperti rasa, rupa, tekstur, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makanan dan minuman; 3) karakteristik lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas, dan tingkat sosial masyarakat. Konsumsi makanan dan minuman yang mencukupi sangat dibutuhkan oleh tubuh agar tubuh dapat melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh dan aktivitas.

Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi makanan dan minuman yang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi (Suhardjo 1989). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits)

serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa et al. 2001).

Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam

yaitu dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan

berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001).

Hubungan konsumsi pangan dengan stunting

Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dapat mempengaruhi kejadian

stunting pada anak usia sekolah. Penelitian Aramico (2011) di Aceh menunjukkan

(25)

sekolah dasar (OR=6.01). Stunting juga berhubungan dengan indeks keragaman

konsumsi pangan pada anak usia sekolah di Maroko (Aboussaleh et al. 2004;

Aboussaleh & Ahami 2009) dan skor keragaman konsumsi pangan merupakan prediktor stunting yang kuat pada anak balita di Bangladesh (Rah et al. 2010).

Rendahnya asupan protein hewani dan zat gizi mikro juga menjadi faktor risiko

stunting anak balita (Black et al. 2008).

Healthy Eating Index (HEI)

Healthy Eating Index (HEI) merupakan salah satu ukuran kualitas

konsumsi pangan. Kualitas konsumsi pangan didefinisikan sebagai istilah yang merujuk pada kecukupan zat gizi yaitu konsumsi pangan yang memenuhi kebutuhan energi dan semua zat gizi esensial (Ruel 2003). HEI dapat digunakan untuk menilai kesesuaian dengan US Dietary Guidelines for American dan

memonitor perubahan pola konsumsi pangan. HEI merupakan alat yang dapat digunakan untuk penelitian epidemiologi dan ekonomi serta dapat juga digunakan dalam intervensi gizi dan program pendidikan gizi konsumen. HEI awalnya dikembangkan USDA Center for Nutrition Policy and Promotion (CNPP) pada

tahun 1995 (Kennedy et al. 1995). HEI terdiri dari 10 komponen yaitu 5

komponen pertama berdasarkan 5 kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu gandum, buah-buahan, sayuran, daging dan susu.

Komponen ke 6 sampai dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam

Dietary Guidelines for American tahun 1995 yaitu total lemak, total lemak jenuh,

kolesterol, sodium dan keragaman (Kennedy 2008). Setiap komponen HEI diberikan skor antara 0 sampai dengan 10 sehingga interval total skor HEI memiliki nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Kriteria untuk skor maksimal dan minimal ditentukan berdasarkan angka kecukupan yang dianjurkan per hari. Jika konsumsi atau asupan seseorang memiliki jumlah diantara kriteria maksimal dan minimal maka skor ditentukan secara proporsional (Kennedy 2008). Komponen, interval skor dan kriteria maksimum dan minimum HEI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata skor HEI

Komponen Skor Kriteria untuk skor maksimum Kriteria untuk skor minimum

Konsumsi gandum 0-10 6-11 porsi 0 porsi

Konsumsi sayur 0-10 3-5 porsi 0 porsi

Konsumsi buah 0-10 2-4 porsi 0 porsi

Konsumsi susu 0-10 2-3 porsi 0 porsi

Konsumsi daging 0-10 2-3 porsi 0 porsi

Intake lemak total 0-10 ≤30% total energi dari lemak ≥45% total energi dari lemak

Intake lemak jenuh 0-10 ≤10% total energi dari lemak

jenuh ≥15% total energi dari lemak jenuh

Intake kolesterol 0-10 ≤300 mg ≥450 mg

Intake sodium 0-10 ≤2400 mg ≥4800 mg

Keragaman 0-10 ≥8 jenis per hari ≤3 jenis per hari

(26)

Tabel 4 Skor HEI Amerika tahun 2005

Komponen Maks Skor Kriteria untuk skor maksimum untuk skor Kriteria

minimum

Total buah (termasuk jus) 5 ≥0.8 cup ekuivalen per 1000 kkal 0

Total buah segar utuh 5 ≥0.4 cup ekuivalen per 1000 kkal 0

Total sayuran 5 ≥1.1 cup ekuivalen per 1000 kkal 0

Sayuran hijau tua, jingga, legume

5 ≥0.4 cup ekuivalen per 1000 kkal 0

Total serealia 5 ≥3.0 oz ekuivalen per 1000 kkal 0

Serelia utuh 5 ≥1.5 oz ekuivalen per 1000 kkal 0

Susu 10 ≥1.3 oz ekuivalen per 1000 kkal 0

Daging dan kacang-kacangan 10 ≥2.5 oz ekuivalen per 1000 kkal 0

Minyak 10 ≥12 g per 1000 kkal 0

Lemak jenuh 10 ≤7% energi ≥15% energi

Natrium 10 ≤0.7 g per 1000 kkal ≥2 g per 1000

kkal Kalori dari lemak jenuh,

alkohol, dan gula tambahan 20 ≤20% energi ≥50% energi

Sumber: Kennedy (2008)

Tabel 5 Sistem skor HEI Amerika tahun 2005

Komponen Maks Skor Kriteria Pembagian skor

Skor 0 Skor maks

Total buah 5 Intake=0 ≥0.8 gls/1000 kkal (5/0.8) x (total buah/(energi/1000))

Buah utuh 5 Intake=0 ≥0.4 gls/1000 kkal (5/0.4) x (buah utuh/(energi/1000))

Total sayuran 5 Intake=0 ≥1.1 gls/1000 kkal (5/1.1) x (total sayuran/(energi/1000))

Sayuran hijau dan kuning, legume

5 Intake=0 ≥0.4 gls/1000 kkal (5/0.04) x (sayuran/(energi/1000))

Total serealia 5 Intake=0 ≥3.0 ons/1000 kkal (5/3) x (total serelia/(energi/1000))

Serealia utuh 5 Intake=0 ≥1.5 ons/1000 kkal (5/1.5) x (serealia utuh/(energi/1000))

Susu 10 Intake=0 ≥1.3 ons/1000 kkal (10/1.3) x (susu/(energi/1000))

Daging dan

kacang 10 Intake=0 ≥2.5 ons/1000 kkal (10/2.5) x (daging/(energi/1000))

Minyak (sayur, ikan, kacang, biji)

10 Intake=0 ≥12 g/1000 kkal (10/12) x (minyak/(energi/1000))

Lemak jenuh 10 ≥15% Kal ≤7% Kal Untuk lemak jenuh antara min dan maks:

Jika >10 maka HEI = 8-(8/5 x (%lemak jenuh-10))

Jika ≤10 maka HEI = 10-(2/3 x (%lemak jenuh-7))

Natrium 10 ≥2 g/1000

(27)

Skor HEI dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu skor 51–80 dikategorikan membutuhkan perbaikan (need improvement), skor >80

dikategorikan baik (good), dan skor <50 dikategorikan buruk (poor) (Kennedy

2008). Pada tahun 2005 Amerika melakukan perbaikan terhadap komponen HEI dengan mengacu pada The 2005 Dietary Guidelines for Americans, sehingga

terdapat perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan panduan yang lebih baru. HEI tahun 2005 dipublikasikan pada November 2007. Skor HEI yang dikembangkan pada tahun 2005 disajikan pada Tabel 4 dan 5.

HEI tahun 2005 menggunakan sistem skoring, sama seperti HEI sebelumnya. Namun, karena rekomendasi pada The 2005 Dietary Guildelines

untuk jumlah kelompok pangan, minyak dan discretionary calories dituliskan

dalam jumlah absolut yang bervariasi berdasarkan tingkat energi sehingga HEI tahun 2005 menggunakan standar yang ditampilkan sebagai persen energi per 1000 kalori (Guenther et al. 2007).

HEI di Negara Asia Tenggara

Negara di Asia Tenggara yang sudah mengembangkan HEI adalah Thailand dengan dasar piramida makanan Thailand. THEI terdiri dari 11 komponen dimana masing-masing komponen merepresentasikan aspek konsumsi pangan sehat yang berbeda-beda, adapun komponen itu antara lain 1) komponen 1-5 mengukur derajat konsumsi pangan/konsumsi terhadap kecukupannya untuk 5 kelompok pangan utama yaitu serealia dan pati, sayuran, buah-buahan, susu (susu, yoghurt dan keju), daging (daging, unggas, ikan, dry beans, telur dan nuts), 2)

komponen 6,7, dan 8 mengukur total lemak, lemak jenuh, konsumsi gula, terhadap persentase total asupan energi, 3) komponen 9 dan 10 mengukur total kolesterol dan asupan sodium dan 4) komponen 11 untuk mengukur keragaman konsumsi pangan (Taechangam et al. 2008).

Tabel 6 Komponen Thai Healthy Eating Index (THEI) dan sistem skoringnya Komponen Interval skor Kriteria untuk skor maksimum (10) Kriteria untuk skor minimum (0) 1.Konsumsi

nasi-pati 0-10 8-12 porsi sendok nasi 0 dan 14-18 porsi sendok nasi

2.konsumsi sayur 0-10 4-6 porsi sendok nasi 0

3.konsumsi buah 0-10 3-5 porsi 0

4.konsumsi susu 0-10 1-2 gelas 0

5.konsumsi daging 0-10 6-12 sdm 0 dan ≥ 12-18 sdm

6.intake lemak total 0-10 ≤20% total energi ≥35% total energi

7.intake lemak jenuh 0-10 ≤10% total energi >15% total energi 8.intake gula

tambahan 0-10 <6% total energi ≥10% total energi

9.intake kolesterol 0-10 ≤300 mg ≥400 mg

10.Intake natrium 0-10 ≤2400 mg ≥3300 mg

11.keragaman 0-10 ≥30 jenis per hari ≤20 jenis per hari

(28)

Pada Tabel 6 disajikan secara rinci THEI. Penilaian HEI menggunakan sistem skor. Kriteria skoring THEI berdasarkan angka kecukupan zat gizi yang direkomendasikan oleh Thailand. Setiap komponen diberi skor maksimum 10 dan skor minimum 0. Skor diantaranya dihitung secara proposional. Skor maksimal menunjukan asupan mendekati anjuran dan sebaliknya. Skor total THEI dikategorikan menjadi 3 level yaitu skor THEI lebih dari 66 dikategorikan baik, skor THEI antara 55-66 dikategorikan memerlukan perbaikan, dan skor THEI kurang dari 55 dikategorikan buruk (Taechangam et al. 2008).

HEI di Indonesia

Indonesia sampai saat ini belum mengembangkan HEI, tetapi sebagai pedoman gizi, Indonesia sudah mengembangkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang, pada tahun 1992 telah diselenggarakan kongres gizi internasional di Roma yang membahas tentang pentingnya gizi seimbang sebagai upaya untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang handal. Salah satu rekomendasi penting dari kongres itu adalah anjuran kepada setiap negara agar menyusun PUGS. Di Indonesia pernah diperkenalkan pedoman 4 sehat 5 sempurna pada tahun 1950 dan sampai sekarang pedoman ini masih dikenal. Slogan 4 sehat 5 sempurna saat itu sebenarnya adalah merupakan bentuk implementasi PUGS (Depkes 2005).

(29)

untuk mengetahui komposisi bahan penyusun (ingredients), komposisi gizi, serta

tanggal kadaluwarsa (Depkes 2005).

Penjabaran AKG ke dalam makanan

Angka kecukupan gizi (AKG) rata-rata per orang per hari dapat digunakan untuk merencanakan penyediaan makanan bagi keluarga, kelompok maupun nasional. Penjabaran AKG menurut takaran konsumsi makanan sehari, berdasarkan kelompok usia disajikan pada Tabel 7. Penjabaran tersebut berdasarkan asumsi bahwa jika kebutuhan energi dan protein terpenuhi maka kebutuhan zat gizi lain juga terpenuhi (Depkes 2005).

Tabel 7 Penjabaran AKG menurut kecukupan energi berdasarkan kelompok usia Bahan makanan 4-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun

Nasi/pengganti 1-3 p 2-3 p 2-4 p

Lauk hewani 2-3 p 2-4 p 2-4 p

Lauk nabati 1-3 p 2-3 p 2-3 p

Sayuran 1-1½ p 1-1½ p 1-1½ p

Buah-buahan 2-3 p 2-3 p 2-3 p

Susu 1 p 1 p 1 p

Minyak 4 p 5 p 5 p

Gula 2 p 2 p 2 p

Sumber: Soekirman et al. (2008)

Keterangan: p=porsi

Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi (infectious disease), yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible disease adalah penyakit yang nyata

secara klinik (yaitu, tanda-tanda dan/atau gejala-gejala medis karakteristik penyakit) yang terjadi akibat dari infeksi, keberadaan dan pertumbuhan agen biologik patogenik pada organisme host individu. Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah atau pengaruh metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan (Suhardjo 1989). Keadaan gizi kurang dan infeksi bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi dalam tubuh.

(30)

Hubungan penyakit infeksi dengan stunting

Penyakit infeksi dapat mengurangi pertumbuhan linear dengan cara mempengaruhi status gizi. Hal tersebut terjadi karena penyakit infeksi dapat menurunkan konsumsi pangan, mengganggu penyerapan zat gizi, menyebabkan kehilangan zat gizi secara langsung, meningkatkan kebutuhan zat gizi (Branca & Ferrari 2002), meningkatkan kebutuhan metabolik atau kehilangan zat gizi akibat proses katabolik serta kemungkinan mengganggu transportasi zat gizi ke jaringan target. Induksi respon fase akut dan produksi sitokin proinflamasi secara langsung mempengaruhi proses remodeling tulang yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang panjang. Infeksi pada sel-sel yang secara langsung terlibat dalam proses remodeling tulang (osteoklas dan osteoblas) oleh virus tertentu juga secara langsung mempengaruhi pertumbuhan linear (Stephenson 1999).

Penyakit infeksi kronis atau berulang, dan terkadang dikombinasikan dengan infeksi parasit di usus merupakan salah satu kontributor langsung terhadap kejadian stunting (Lewit & Kerrebrock 1997). Prevalensi stunting yang cukup

tinggi banyak ditemui di lingkungan yang dikarakteristikkan dengan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi (de Onis & Blossner 2003). Stunting mengurangi

daya tahan tubuh sehingga dapat meningkatkan derajat keparahan penyakit infeksi misalnya malaria (Verhoef et al. 2002). Hubungan signifikan antara malaria dan stunting ditemukan dari hasil penelitian kohort pada anak balita di Kenya

(Nyakeriga et al. 2004).

Sanitasi Lingkungan

Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Ruang lingkup sanitasi lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan feses, penyediaan air bersih, dan pembuangan sampah (Notoatmodjo 2007).

Menurut Sukarni (1994) keadaan perumahan mempunyai hubungan yang erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama yang menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan. Air yang bersih berperan penting dalam menjaga kesehatan karena beberapa bibit penyakit tertentu dapat ditularkan oleh air yang terkontaminasi. Air bersih dapat diperoleh melalui : (1) sumur pompa tangan, (2) penampungan air hujan jika sumber mata air yang lain tidak ada, (3) mata air yang dirawat, dan (4) sumur gali tertutup. Agar memenuhi syarat kesehatan sebagai sumber air utama rumah tangga, maka sumber air harus dilindung dari bahaya-bahaya pengotoran.

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik dikatakan baik, jika air tidak berwarna, berbau, tidak berasa, jernih dan suhu sebaiknya berada di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia dikatakan baik, jika tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4, dan lain-lain. Syarat bakteriologi dikatakan baik jika tidak mengandung bakteri E. coli yang

(31)

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Agar sampah tidak membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu dalam hal penyimpanan, pengumpulan dan pembuangan. Untuk penyimpanannya, diperlukan tempat sampah di setiap rumah. Sementara itu, yang dimaksud dengan air limbah terdiri dari kotoran manusia, dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Pengaturan air limbah sangat diperlukan diantaranya agar : (1) mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, (2) menjaga kebersihan makanan agar tidak terkontaminasi, (3) melindungi air minum dari ternak dan (4) mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit. Jamban ialah tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan sehingga tinja tidak kontak langsung dengan lingkungan sekitar. Jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sukarni 1994).

Hubungan sanitasi lingkungan dengan stunting

Penelitian mengenai perbedaan tinggi badan anak antar negara menunjukkan bahwa sanitasi berupa pembuangan feses terbuka menggambarkan sebesar 54% variasi tinggi badan anak. Pada negara berkembang, gizi dan lingkungan yang rentan menimbulkan penyakit merupakan determinan penting terjadinya stunting. Pembuangan feses terbuka dapat memudahkan perpindahan

kuman penyakit dari feses ke lingkungan, sehingga sanitasi yang buruk meningkatkan jumlah anak yang sakit. Hubungan antara pembuangan feses terbuka dengan tinggi badan anak bahkan lebih kuat pada negara dengan populasi penduduk yang tinggi, misalnya India karena anak lebih berisiko terjangkit kuman penyakit dari feses orang lain (Spears 2013).

Bhutta et al. (2008) memperkirakan bahwa intervensi sanitasi dan higiene

yang diimplementasikan dengan cakupan sebesar 99% dapat menurunkan insiden diare sebesar 30% sehingga dapat menurunkan prevalensi stunting sebesar 2.4%.

Esrey et al. (1996) dalam Humphrey (2009) menyatakan bahwa perbaikan sanitasi

berhubungan dengan peningkatan z-skor panjang badan menurut usia sebesar 0.06-0.62 pada anak di pedesaan dan 0.26-0.65 pada anak di perkotaan. Peningkatan z-skor tersebut senilai dengan penurunan sebesar 4-37% dan 20-46% prevalensi stunting masing-masing pada anak di pedesaan dan perkotaan. Akses

terhadap sanitasi yang lebih baik berhubungan dengan risiko stunting yang lebih

rendah (OR=0.73, 95% CI 0.71–0.75) dan akses terhadap air bersih berhubungan dengan risiko stunting yang lebih rendah (OR=0.92, 95% CI 0.89–0.94) pada anak

balita di 70 negara berpendapatan menengah ke bawah selama periode 1986-2007 (Fink et al. 2011).

Pelayanan Kesehatan

(32)

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat yaitu hak untuk memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan (Hidayat & Jahari 2012).

Menurut Juanita (2002), pelayanan kesehatan dibedakan dalam dua golongan, yakni:

1. Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan

masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan.

2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih

lanjut (rujukan).

Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Oleh sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya Puskesmas atau Balkesmas saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan. Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut antara lain berupa Posyandu, dana sehat, Polindes (poliklinik desa), Pos Obat Desa (POD), pengembangan masyarakat atau community development, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya peningkatan pendapatan

(income generating) dan sebagainya (Juanita 2002).

Hubungan fasilitas pelayanan kesehatan dengan stunting

Hasil analisis data Riskesdas 2007 oleh Hidayat dan Jahari (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0.001) pada perilaku Ibu balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu lebih banyak balita dengan status gizi baik dibandingkan dengan balita yang Ibunya tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan. Begitu pula Ibu balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan berbeda sangat nyata terhadap rendahnya kejadian penyakit (morbiditas) balita dibandingkan dengan Ibu balita yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan (p<0.001).

Karakteristik Keluarga

Tinggi badan Ibu

(33)

masa kanak-kanak. Dengan demikian, perempuan yang lahir dengan berat badan rendah akan cenderung menjadi perempuan dewasa kecil (UNSCN 2010). Bayi yang lahir dari Ibu yang mengalami gizi kurang atau stunting maka kemungkinan

besar akan menderita gizi kurang dan stunting juga. Dengan demikian, gizi kurang

melewati satu generasi ke generasi selanjutnya (World Bank 2006).

Ibu yang tergolong stunting dapat meningkatkan risiko negatif pada outcome janin, bayi baru lahir dan anak. Perempuan dengan tinggi badan kurang

dari 145 cm dapat dikatakan mengalami stunting (ACC/SCN 1992). Kondisi

tersebut meningkatkan risiko terhadap kondisi kesehatan dan perkembangan keturunannya (A&T Technical Brief 2010). Penelitian Ozaltin et al. (2010)

menunjukkan bahwa peningkatan tinggi badan Ibu sebesar 1 cm berhubungan dengan penurunan risiko stunting anak balita (RR, 0.968; 95% CI, 0.967-0.968).

Tingkat pendidikan orangtua

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan Ibu merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak. Terdapat hubungan positif antara pendidikan Ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan Ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan Ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2003).

Kebiasaan merokok

Terdapat beberapa bukti mengenai hubungan antara paparan asap rokok dengan indeks tinggi badan menurut usia di negara-negara berkembang. Nutrition Surveillance Project di Bangladesh melaporkan bahwa kebiasaan merokok

orangtua berhubungan dengan peningkatan risiko stunting (Best et al. 2007).

Survei rumah tangga di pedesaan Indonesia juga menemukan bahwa kebiasaan merokok orangtua berhubungan dengan stunting (OR 1.11, 95% CI 1.09-1.13)

(Best et al. 2008) dan survey di perkotaan Indonesia menunjukkan bahwa

kebiasaan merokok orangtua berhubungan stunting (OR=1.11, 95% CI 1.08–1.14)

(Semba et al. 2007). Goncalves-Silva et al. (2005) menunjukkan bahwa kebiasaan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 10  Komponen Indonesian Healthy Eating Index (I-HEI) untuk anak-anak usia 7-9 tahun
Tabel 12  Pengkategorian variabel penelitian
Tabel 12  Pengkategorian variabel penelitian (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji bivariat faktor risiko sanitasi lingkungan yang memiliki hubungan signifikan terhadap infeksi askariasis yaitu sumber air untuk keperluan rumah tangga (p =

Variabel dependen adalah status stunting anak, sedangkan variabel independen adalah faktor anak (usia, jenis kelamin, status penyakit infeksi yang diderita, asupan

However, no currently available studies at the national level have combined analysis of the coexistence of the two types of malnutrition as an intraindividual

Studi saat ini juga menemukan bahwa anak- anak dengan anemia ayah dan ibu meningkatkan risiko anemia 1,7 dan 2 kali lebih tinggi di antara anak-anak

Faktor yang berkontribusi terhadap kejadian pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat meliputi kesehatan dan nutrisi ibu yang buruk, praktik pemberian makanan

RISK FACTORS OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS AMONG ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS IN CENTRAL SUMBA – WEST NUSA TENGGARA FAKTOR RISIKO INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA ANAK USIA