• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian perkara prodeo di pengadilan agama Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian perkara prodeo di pengadilan agama Jakarta Timur"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : KAMELIA NIM : 104044101399

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : KAMELIA NIM : 104044101399

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA

JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :

KAMELIA NIM : 104044101399

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Sayed Usman., SH. MH. Kamarusdiana., S.Ag, MH

NIP. 150 216 755 NIP. 150 285 972

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(4)

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN

Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 11 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.

Jakarta, 11 Maret 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 442

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA ( )

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH ( )

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing I : Drs.H. Sayed Usman, SH. MH. ( ) NIP. 150 216 755

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH ( )

NIP. 150 285 972

5. Penguji I :Prof.DR.H. M. Amin Suma, SH,MA, MM ( ) NIP. 150 210 442

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Maret 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puja dan puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat diantaranya nikmat Iman, Islam dan juga nikmat sehat wal afiat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah hingga zaman ini.

Selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta banyak pengalaman baik suka maupun duka yang penulis alami dan juga banyak pelajaran yang dapat penulis ambil. Dengan itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.

2. Ketua Program Studi Peradilan Agama, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Kepada Sekretaris Program Studi Peradilan Agama, Kamarusdiana, S.Ag., M.H. yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat membantu selama penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Pembimbing Skripsi penulis, Drs. H. Sayed Usman, SH. MH. dan Kamarusdiana,

(7)

4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia memberi ilmu pengetahuannya kepada penulis dan mahasiswa/i lainnya.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Umum serta pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah membantu dalam pencarian literatur yang berkenaan dengan skripsi ini.

6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur dan seluruh pegawainya yang telah mengizinkan dan membantu penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Timur guna penyelesaian skripsi ini.

7. Kedua Orang Tua Halimah Tusadiah dan Abdul Karim tercinta yang telah memberikan kasih sayang, perhatian dan dukungan baik moril maupun materiil yang tiada henti-hentinya kepada anaknya yang manis ini. Semoga penulis dapat membuat kedua orang tua bangga serta Kakak-Kakak tersayang.

8. Kepada teman-teman tersayang (Mutia Rahmadany, Eka Sri Hilayati, Laila Rifaatul Mahmudah, Yusi Alawiyah, Trisna Laila Yunita, Siti Niayah, Tresna Agustian Suryana, Janatul Firdaus, Latifah, Zakaria, Muhammad Sauqi, Taufik Hidayat, Mursalim dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu) yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.

(8)

Ferdiansyah, Muchamad Syaiban, Dadang Samsul Bahri dan teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu) yang telah memberikan support, dukungan dan mengisi hari-hari penulis di KSR tercinta. 10.Keluarga besar Peradilan Agama (PA) Angkatan 2004 yang telah membantu dan

mengisi hari-hari penulis selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

11.Keluarga besar Pondok Pesantren AINURRAHMAH (Abina Al-Habib Muhammad bin Abdurrahman Al-Attos, Umi Jaitun, Syarifah Aisyah Al-Attos, Dian Purwanti, Neneng Sulastri, Siti Julaeha, Nur Hikmah, Okta Rafianti, Putri Purnayati, Iis Nurseha dan teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu) yang telah memberikan kenangan terindah baik suka maupun duka selama di penjarah suci.

12.Dan kepada semua orang yang berjasa telah membantu dan mendukung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu terima kasih untuk semuanya.

Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya khususnya bagi penulis sendiri dan dan bagi para pihak yang turut membantu semoga amal ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Amiiin…

Jakarta, 27 Februari 2009 01 Rabiul Awal 1430

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …... v

DAFTAR ISI ………..…….. viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….…….... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 6

D. Metode Penelitian ....………. 7

E. Sistematika Penulisan ………. 10

BAB II GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama ...…..………….... 11

B. Susunan Badan Pengadilan Agama ………...………….... 23

C. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama .…………... 26

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO A. Prosedur Teoritis Prodeo ...…….…………. 33

(10)

C. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo…..……….. 39

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN

AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur ……….….…. 41 B. Prosedur pengajuan Administratif Perkara Prodeo di

Pengadilan Agama Jakarta Timur ……….. 47 C. Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Prodeo di

Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 53 D. Faktor-Faktor Penyebab dan Kendala-Kendala Berperkara

Prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Timur ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran-Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk hidup yang diciptakan Allah berpasang-pasangan. Hubungan antara pasangan-pasangan itu membuahkan keturunan, agar hidup di alam semesta ini berkesinambungan. Dengan demikian, penghuni dunia ini tidak pernah sunyi dan kosong tetapi terus berkembang dari generasi ke generasi.

Allah sengaja menumbuhkan rasa kasih sayang ke dalam hati masing-masing pasangan agar tercipta keharmonisan dan ketentraman dalam membina suatu rumah tangga.1

Banyak diantara mereka sungguh-sungguh dalam melaksanakan keinginannya untuk membina dan mempertahankan kerukunan, kedamaian dan keserasian diantara mereka. Dan banyak dari mereka melakukan usaha ke arah terwujudnya situasi yang diidam-idamkan itu, walaupun usaha tersebut biasanya dilakukan tanpa rencana, tanpa ilmu dan tanpa pengalaman. Walaupun keinginan dan usaha itu serius, namun dalam kenyataannya kerukunan dan keharmonisan itu kadang-kadang tidak berhasil diciptakan dan sering mengalami gangguan-gangguan. Gangguan-gangguan ini

1

Muhammad Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), h.2.

(12)

ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan yang muncul atau menampakkan diri. Dengan demikian terjadilah ketegangan yang akhirnya menjadi persengketaan atau konflik.2

Sebagian besar dari konflik-konflik itu tidak sampai menghasilkan perceraian. Tetapi bukan berarti persengketaan tersebut telah selesai. Bukan tidak mungkin hal tersebut nantinya akan menjadi pemicu yang kuat untuk terjadinya perceraian.3

Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat dimana hukum itu berada.4 Kebutuhan akan keadilan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pancasila sila ke-5 yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “ dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat (1) yang menyatakan Setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.5

Pasal di atas tidak membedakan antara warga negara yang satu dengan yang lain, semua sama dihadapan hukum dan berhak memperoleh perlindungan hukum

2

Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Konseling Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2004), h. 92-93.

3

Ibid., h. 135. 4

Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), cet.ke 4, h.20.

5

(13)

termasuk fakir miskin.6 Hal ini berarti bahwa negara berkewajiban melindungi fakir miskin sebagai bagian dari warga negaranya. Tetapi negara tidak menjamin keberlangsungan hidup mereka semua, realitanya masih banyak rakyat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan. Apalagi rakyat kurang mampu hampir semuanya buta huruf dan pada umumnya mereka tidak mengetahui hak dan kewajibannya serta tidak tahu bagaimana menghadapi dan menyelesaikan perkara hukumnya sendiri.7 Masalah ini menjadi kendala terhadap aspek hukum yang pada akhirnya orang miskin tidak bisa berperkara didepan hukum karena alasan ekonomi.

Seharusnya, masyarakat yang memiliki masalah hukum seputar perkawinan menyelesaikan masalahnya itu lewat Pengadilan Agama (PA). Tentu apabila berbagai cara kekeluargaan sudah tidak menemukan penyelesaian. Namun faktanya, masih banyak masyarakat yang tak bisa menyelesaikan masalahnya di Pengadilan Agama. Mereka adalah masyarakat dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang kurang.8

Sebuah survei yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), yang dirilis akhir Agustus tahun 2007, berkesimpulan bahwa masyarakat miskin yang masih menjadi calon pengguna Pengadilan Agama rata-rata hanya berpenghasilan Rp. 225.000 per bulan. Dari segi pendidikan 43% mereka adalah

6

Binziad Kadafi, dkk, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi ;Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), cet ke 3, h.167.

7

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1981), Cet.ke3, h.15.

8

(14)

lulusan SD, dan 3,9% tidak pernah duduk di bangku sekolah, serta 2,5% buta huruf. Sementara itu, masyarakat yang telah menggunakan jasa Pengadilan Agama rata-rata berpenghasilan Rp. 956.500 per bulan. Dari segi pendidikan 32,3 % mereka tamatan SD, dan 67,7 % menerima pendidikan yang lebih tinggi. Survei ini melibatkan lebih dari seribu responden yang tersebar di 35 lokasi di seluruh Indonesia. Tidak hanya pengguna jasa Pengadilan Agama, hakim dan calon pengguna Pengadilan Agama pun dilibatkan. Tingkat akurasi survei ini sekitar 95 %.9

Untuk berperkara di Pengadilan Agama, masyarakat kurang lebih harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 1.000.000 Uang sejumlah itu tentu cukup memberatkan bagi masyarakat kurang mampu. Selain itu, mereka juga harus mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp. 35.000 jika hendak ke Pengadilan Agama, untuk pulang dan pergi.10

Sedangkan dana bantuan untuk Pengadilan Agama naik 7 %. Khusus untuk pos peningkatan pelayanan dan bantuan hukum, anggarannya naik sampai berlipat-lipat. Anggaran untuk Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung

(Badilag) naik 7 % dari Rp. 36.313.269.000 pada tahun 2007 menjadi Rp. 38.929.226.000 pada tahun 2008, dan Sebesar Rp. 1.000.000.000 di antaranya

dipergunakan untuk peningkatan pelayananan dan bantuan hukum.11

9

htt:// Hukum.Online.Com/detail asp?id=1759 dan ci=Berita “Semilyar Rupiah Untuk Perkara Prodeo di Pengadilan Agama”, Artikel diakses pada 21 Februari 2008.

10

Ibid., Hukum Online, Semilyar Rupiah Untuk Perkara Prodeo, h.1. 11

(15)

Menurut Dirjen Badilag Wahyu Widiana mengatakan, anggaran satu miliar itu akan dipergunakan untuk perkara prodeo alias perkara yang tidak dipungut biaya.12 Pengalokasian Rp. 1.000.000.000 untuk perkara prodeo itu merupakan upaya tindak lanjut atas temuan sebuah survei tahun 2007. Hasil survei itu menyatakan, masih banyak masyarakat yang enggan membawa perkaranya ke Pengadilan Agama karena terkendala biaya, baik biaya perkara maupun biaya transportasi.13

Menghadapi situasi sosial seperti ini, maka perlu adanya perembukan strategi perubahan hukum dimana harus dimulai dari bawah ke atas, bukan dari atas kebawah. Hukum juga harus bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kurang mampu, dalam arti tidak semata membebaskan mereka dari keterangan hukum tetapi justru memperkuat dan menjadikan mereka sebagai rakyat yang menentukan masa depan mereka, sesuai dengan misi Mahkamah Agung yaitu mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis dan biaya yang terjangkau bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. Maka dengan alasan tersebut penulis berinisiatif untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul ”PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR”.

12

Ibid., 13

(16)

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Penulis membatasi pembahasan skripsi ini pada penelitian perkara prodeo (biaya cuma-cuma atau pembebasan biaya perkara) pada kasus perceraian dari tahun 2006-2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

Pengadilan Agama seharusnya memberikan jalan bagi masyarakat kurang mampu yang memiliki masalah hukum seputar perkawinan untuk menyelesaikan perkaranya dengan adanya prodeo. Namun kenyataannya, hanya terdapat sedikit sekali perkara prodeo yang ada dan diselesaikan, dibandingkan ratusan kasus yang masuk ke Pengadilan Agama. Padahal ada anggaran dana bantuan yang sangat besar untuk perkara prodeo dan tidak adanya aturan yang jelas secara tertulis tentang tata caranya sehingga terkesan dipersulit. Sehingga adanya selisih antara teori yang semestinya dengan kenyataan. Agar masalah lebih terarah dan fokus, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan diantaranya :

1. Bagaimana prosedur administratif pengajuan perkara prodeo di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Timur?

2. Bagaimana peran Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam menyelesaikan perkara prodeo?

3. Apa faktor-faktor penyebab dan kendala-kendala berperkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

(17)

1. Memaparkan prosedur administratif perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Timur guna mempermudah pengajuannya.

2. Menjelaskan bagaimana peran Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam menyelesaikan perkara prodeo.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perkara prodeo di Pengadilan Agama dan memberikan solusinya bagi pihak yang ingin berperkara.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoretis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan mengembangkan wawasan serta memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dibidang hukum, khususnya yang berkenaan dengan perkara prodeo, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat untuk melanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak.

2. Manfaat Praktis: diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan praktisi dalam menyelesaikan kasus perceraian di Pengadilan Agama dengan

alasan prodeo.

D. METODE PENELITIAN

Metode penulisan yang digunakan penulis untuk memperoleh data yang valid dalam pengumpulannya yang kemudian dianalisis dan diuji kebenarannya dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :

(18)

a. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan deskriptif Kualitatif, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai prosedur dan faktor-faktor yang merupakan pendukung14 terhadap penyelesaian perkara prodeo di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

b. Pendekatan

Sedangkan pendekatan penelitiannya menggunakan studi lapangan yaitu mengumpulkan informasi langsung ke Pengadilan Agama Jakarta Timur guna mendapatkan data dan fakta yang berkaitan dengan perkara prodeo15 dan studi pustaka dengan mempelajari berbagai literatur.

2. Tempat Penelitian

Adapun tempat penelitiannya adalah di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berlokasi di Jl. Raya PKP No. 24, Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Ciracas, Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549, Faks (021) 87717548, Kode pos 13750.

3. Sumber Data

1) Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Pengadilan Agama Jakarta Timur, berupa dokumen dan berkas-berkas mengenai

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: suatu Pendekatan Praktek, (Yogayakarta: Rineka Cipta, 1993), Cet. IX, h.82.

15

(19)

perkara prodeo serta wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka.16 Data ini terdiri dari Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, HIR dan Rbg dan buku – buku yang berhubungan dengan perkara prodeo.

4. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Wawancara atau Interview

Dengan teknik ini peneliti menggunakan tanya jawab secara lisan dan berpedoman pada daftar pertanyaan dengan Dra, Hj. Saniyah. KT selaku Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, dengan demikian dapat diperoleh jawaban-jawaban langsung.

b. Metode Dokumenter

Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data-data pendukung yang penulis perlukan yang dilakukan dengan cara mendokumentasikan hasil wawancara dan tempat Penelitian penulis.

5. Tehnik Analisis Data

Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif analisis. Di mana digunakan untuk menuturkan, menafsirkan, serta

16

(20)

menguraikan data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari wawancara dan dokumenter.

Adapun tehnik penulisannya, penulis mengacu pada “Pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi UIN Syarif Hidatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermudah pembahasan, penulis membagi penyusunan skripsi ini ke dalam lima bagian :

Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Gambaran Umum Pengadilan Agama di Indonesia, terdiri dari sejarah singkat Pengadilan Agama, tugas dan wewenang Pengadilan Agama, serta susunan organisasi Pengadilan Agama.

Bab III Tinjauan Teoritis tentang Prodeo,tentang prosedur teoritis Prodeo, katagori biaya prodeo di Pengadilan Agama, masalah yang muncul dalam prodeo.

(21)
(22)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama

Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia disamping Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang terdapat dalam penjelasan UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 10 ayat (1) yang telah dirubah menjadi UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pengadilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu. Misalnya mengadili perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah (PP) No.45 tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah diluar jawa dan madura, serta Intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No.7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.17

17

(23)

Pengadilan Agama secara histori merupakan lembaga penegak hukum Islam di bumi nusantara, yang tumbuh dan berkembangnya seiring dengan pertumbuhan hukum Islam di Indonesia karena kesadaran dan kebutuhan hukum sesuai dengan keyakinan masyarakat.18

Keberadaan Pengadilan Agama sebenarnya sudah lama ada di Indonesia, terbukti sebelum Islam masuk ke Indonesia dengan telah dikenalnya dua macam Peradilan yaitu Peradilan Padu dan Peradilan Pradata.19 Peradilan Pradata mengurusi perkara yang menjadi urusan raja dan Peradilan Padu mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.20 Jika dilihat dari segi materi hukumnya, Peradilan Pradata bersumber pada hukum Hindu yang dilukiskan dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sedangkan Peradilan Padu

18

Munawir Syadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam Dalam Rangka Menentukan Pengadilan Di Indonesia, (Yogyakarta: UII PRESS, 1998), h.47.

19

Departemen Agama, Peradilan Agama di Indonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta: Dirokterat Badan Pengadilan Agama Islam, 2001), Cet ke3, h.1.

20

(24)

bersumber pada hukum Indonesia asli yang diambil dari praktek kehidupan sehari-hari sehingga terkenal dengan hukum tidak tertulis.21

Dalam proses selanjutnya hukum islam masuk ke indonesia bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia.22 Selanjutnya sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia dapat kita bagi dalam beberapa periode yaitu :

1. Periode sebelum tahun 1882

Pada periode ini penyelesaian perkara-perkara antar penduduk yang beragama Islam dilakukan melalui tahkim yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama baik faqih, ulama atau mubalig untuk diselesaikan dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan ahli agama itu. Periode selanjutnya disebut periode Tauliyah Ahl al Halli wa al Aqd. Periode ini dapat dilihat ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menyerahkan sebagian wewenang peradilan kepada sultan-sultan atau raja. Periode berikutnya disebut periode Tauliyah dari Imam. Pada periode ini para hakim pelaksana Peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau wali al amr.23 2. Periode tahun 1882 sampai dengan tahun 1937

21

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.33.

22

M.Daud Ali, Kedudukan Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia "Dalam Taufik Daulah" Tradisi dan Kebangkitan di Asia Tenggara, (Jakarta: LP2ES, 1987), h.208

23

(25)

Pada periode ini berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi Indonesia asli adalah undang-undang Agama mereka yaitu hukum Islam. Teori ini yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg yang kemudian dikenal dengan teori receptie in complexu. Dengan berpegang pada teori ini, Van den Berg berpendapat bahwa Pengadilan Agama sudah seharusnya ada termasuk juga di Batavia yang menjadi pusat kolonial yaitu didasarkan pada aturan kebiasaan semenjak zaman dahulu dan sebagai tatanan nasional, dimana perundang-undangan dari penguasa bangsa Eropa sendiri memberikan kemungkinan untuk itu dan karenanya sebelum ada Staatsblad 1882 No. 152 adalah sah.24

Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882.25

Kemudian seiring dengan berjalannya waktu terdapat golongan yang menentang pendapat Van den Berg. Tokoh yang terkenal dari golongan ini adalah Christian Snouck Hurgronye yang berpendapat bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Kedalam hukum adat ini dimasukkan sedikit-sedikit pengaruh hukum Islam. Pengaruh hukum Islam

24

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh ( Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h.49.

25

(26)

itu, baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Teori ini mengubah atau menggantikan Teori Receptie in Complexu dengan teori Receptie.26

3. Periode tahun 1937 sampai dengan tahun 1942

Dengan berkembangnya teori receptie maka lahirlah staatsblad 1937 Nomor 116 Pasal 2a ayat (1) yang berlaku tanggal 1 April 1937, dengan itu kompetensi Peradilan Agama menjadi terbatas dan lebih sempit. Tegasnya, dengan Staatsblad ini wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan. Penggunaan teori Receptie oleh pemerintah Belanda dengan mengenyampingkan hukum Islam dan memakai hukum adat bertujuan untuk melemahkan kedudukan hukum Islam.27

4. Periode tahun 1942 sampai dengan tahun 1945

Pada tahun 1942, Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintah Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan kecuali hanya pergantian namanya.28

26

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.52-53. 27

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.16-17. 28

(27)

5. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1957

Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri Agama yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam Tinggi dari kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Penetapan Pemerintah Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946.29

Kemudian pada tanggal 21 Nopember 1946 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini, diambillah tindakan memisahkan urusan Nikah Talak Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani Pengadilan Agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu Kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungan negara, sedangkan pegawai-pegawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke kas negara.30

29

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.19. 30

(28)

Setelah persetujuan Linggarjati dan Renville, kemudian disusul dengan konfrensi antara delegasi Republik Indonesia dan BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg) pertemuan untuk permusyawaratan Federal akhirnya pada tanggal 29 Oktober 1949 di Scheveningen ditanda tangani Piagam Persetujuan Atas Konstitusi Republik Indonesia Serikat oleh delegasi RI dan seluruh delegasi BFO. Dalam konstitusi RIS, Pengadilan Agama tetap diakui eksistensinya sesuai dengan Staatsblad 1882 No 152.31

Ternyata rakyat Indonesia menghendaki bentuk kesatuan RI maka dibubarkanlah RIS dan diundangkanlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 (lembar Negara Nomor 56) tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dimana Konstitusi RIS diganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dan lahirlah Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan. Dalam UUDS, keadaan peradilan adalah sama dengan zaman RIS demikian halnya Peradilan Agama.32

Pada tahun 1951, di lingkungan peradilan diadakan perubahan penting yang salah satunya adanya kelanjutan Peradilan Agama. Karena UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka pada tanggal 26 Oktober 1954 disahkan

31

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.22. 32

(29)

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.33

6. Periode tahun 1957 sampai dengan tahun 1970

Pada tahun 1957, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam yang hal ini menjadikan keadaan dasar hukum Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura sangat berragam. Ditambah lagi dengan penampungan pejabat-pejabat Badan Peradilan Agama dalam formasi Kantor Urusan Agama sebagai akibat pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk, sehingga seolah-olah Badan Peradilan Agama terhapus. Oleh karena itu perkara-perkara yang menjadi wewenang Pengadilan tidak mendapat perhatian dan pelayanan semestinya, dan juga untuk melaksanakan Pasal 1 ayat (4) UU Darurat Nomor 1951, maka untuk daerah luar Jawa dan Madura (kecuali sebagian daerah Kalimantan Selatan dan Timur yang termasuk dalam daerah hukum dari Pengadilan Kadi) diadakan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (LN 99) yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama

33

(30)

(Mahkamah Syar’iyah) yang isinya sama dengan Peraturan Nomor 29 Tahun 1957 sehingga PP No. 29 Tahun 1957 dicabut oleh PP No. 45 Tahun 1957.34

Menurut Peraturan Pemerintah ini, kewenangan Pengadilan Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan meliputi perkara-perkara nikah, talaq, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah, hadhanah, waris, wakaf, hibah, shadaqah dan baitul mal.35

7. Periode tahun 1970 sampai dengan tahun 1974

Dalam rangka memenuhi Ketentuan Pasal 24 UUD 1945, pada tahun 1964, keluarlah UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh 4 lingkungan Peradilan yaitu:

a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata Usaha Negara.36

34

Ibid., h.74-75. 35

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.26-27. 36

(31)

Dengan adanya jaminan Yuridis UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Peradilan Agama semakin kuat.

8. Periode tahun 1974 sampai dengan tahun 1989

Pada tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun peraturan pelaksanaannya diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 68 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ini menyatakan yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi lainnya.37

Perkembangan berikutnya sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam periode 1974 – 1989 ini adalah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.38

Dengan diundangkannya kedua undang-undang di atas, maka wewenang Pengadilan Agama semakin luas dan mantap.

9. Periode tahun 1989 sampai dengan sekarang

37

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Peradilan Agama di Indonesia, h.32. 38

(32)

Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkanlah sebuah undang-undang dalam Lembaran RI Tahun 1989 No. 49. Undang-undang tersebut diberi nama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, undang-undang tersebut juga merupakan lanjutan yang melengkapi UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.39 Lahirnya undang-undang ini merupakan suatu kemajuan yang pesat dalam dunia Peradilan Agama yang memperkukuh eksistensi lembaga Pengadilan Agama sebagai lembaga yang memiliki landasan, kedudukan dan kekuasaan yang jelas.

Sosialisasi dan pembinaanpun mulai dilakukan pemerintah. Namun, dirasakan masih adanya beberapa kelemahan seperti hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama cenderung simpang siur karena adanya perbedaan pendapat ulama hampir dalam setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya,

39

(33)

untuk menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum.40 Karena itulah maka pada tahun 1991, dikeluarkanlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang menjadi dasar yang digunakan hakim dalam menyelesaikan perkara yang merupakan kekuasaan absolut Pengadilan Agama.

Kemudian pada 31 Agustus 1999 disahkanlah UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan kemudian lahir pula UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mana hal ini menyebabkan perpindahan kekuasaan Pengadilan Agama dari tangan Departemen Agama menjadi di bawah Mahkamah Agung seperti layaknya Pengadilan-Pengadilan lainnya.41

Puncak dari semuanya adalah dengan lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Dalam undang-undang ini kompetensi absolut Pengadilan Agama diperluas meliputi ekonomi syariah. Dan dengan adanya undang-undang ini maka kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi

40

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.110.

41

(34)

lebih kuat dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.42

B. Susunan Badan Pengadilan Agama

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.43

Dalam kasus perceraian tidak menutup kemungkinan untuk melakukan upaya hukum baik banding atau kasasi, dalam hal tingkat banding pemerintah menyediakan sarana untuk para pencari keadilan disaat upaya pertama gagal dan tidak sesuai dengan harapan. Untuk menggambarkan terjadinya banding maka terlebih dahulu harus mengetahui susunan organisasi baik secara hirarki institusional ataupun secara struktural. Susunan Pengadilan Agama secara umum yang diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang-Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yaitu:

1. Secara Hirarki Institusional

Susunan hirarki institusional Pengadilan Agama diatur dalam pasal 6 UU No.7 Tahun 1989 Jo UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, menurut pasal ini lingkungan Pengadilan Agama terdiri dari dua tingkatan yaitu:44

42

Lihat UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.

43

(35)

a. Pengadilan Agama tingkat I : Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kotamadya atau ibukota kabupaten dengan wilayah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Merupakan Pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan dan pemutusan setiap perkara pada tahap paling awal dan paling bawah, yang diajukan masyarakat pencari keadilan dan dilarang menolak untuk menerima perkara yang diajukan dengan dalih apapun. Hal ini sesuai pasal 56 UU No 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutuskan suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,

melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya” .45

b. Pengadilan Tinggi Agama : Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.46 yang bertindak memeriksa ulang suatu perkara yang telah diperiksa dan telah diputuskan oleh Pengadilan Agama tingkat pertama, dengan demikian jika dikaitkan secara hirarkis institusional maka putusan Pengadilan

44

Lihat UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

45 Ibid., 46

(36)

Tinggi Agama dalam tingkat banding disebut “Putusan Tinggi Terakhir”.

Adapun mengenai kehadiran Mahkamah Agung (MA) sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan pasal 10 Ayat (3) UU No.7 Tahun 1970 merupakan “Peradilan Tinggi Terakhir (Kasasi) bagi semua lingkungan Peradilan” oleh karena itu Mahkamah Agung bukan Pengadilan tingkat tiga, dia bukan instansi Peradilan yang berwenang bertindak sebagai “Judex Factie” Mahkamah Agung berkedudukan Peradilan “Kasasi” ,47 yang kewenangannya hanya sebatas memeriksa dan memutuskan dalam hal-hal tertentu yang diatur dalam pasal 30 UU No.14 Tahun 1989.

2. Secara Struktural

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.48 Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 1989 dan SK ketua MA RI No.004 Tahun 1990 serta SK Mentri Agama RI No.303 Tahun 1990 ditetapkan bahwa

47

Lihat, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, h.12. 48

(37)

struktur organisasai Pengadilan Agama dilingkungan Departemen Agama adalah :

• Susunan Pengadilan Agama terdiri dari :

1. Pimpinan yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, 2. Hakim Anggota,

3. Panitera, 4. Sekretaris, 5. Jurusita.

• Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari :

1. Pimpinan yang terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, 2. Anggota yaitu Hakim Tinggi,

3. Panitera, 4. Sekretaris.49

C. Tugas Dan Wewenang Pengadilan Agama

Kata “kekuasaan” sering disebut “kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan “kewenangan” dan terkadang dengan “kekuasaan”.50

49

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, h.17. 50

(38)

Berbicara tentang wewenang (kekuasaan) Pengadilan Agama dalam kaitannya dengan hukum acara perdata biasanya menyangkut dua hal yaitu kekuasaan relatif dan kekuasan absolut, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat pengajuan gugatan atau permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan tersebut.51

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (yudicial power) di Indonesia dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan pada keempat lingkungan Peradilan itu memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing. Cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtmacht) itu, ditentukan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.52

Berkenaan dengan hal itu, terdapat atribusi cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing badan Peradilan. Kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum di bidang pidana umum, perdata adat, dan perdata barat minus perkara pidana militer dan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota tentara dan polisi. Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di bidang perdata tertentu di kalangan orang-orang yang beragama Islam, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer di bidang pidana militer dan pidana umum yang dilakukan oleh anggota tentara dan polisi. Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara di bidang sengketa tata usaha negara.53

51

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2003), Cet.Ke10, h.25.

52

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990), h.89.

53

(39)

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (absolute competentie).54

1. Kekuasaan Relatif (Relative Competentie)

Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan tingkatannya, misal: Pengadilan Agama Depok dengan Pengadilan Agama Batu raja.55 Serta berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.56

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa daerah hukum Pengadilan sebagaimana Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, meliputi daerah kota atau kabupaten. Sedangkan daerah hukum Pengadilan Tinggi Agama, sebagaimana Pengadilan Tinggi, meliputi wilayah propinsi. Namun demikian, dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) dinyatakan, “Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibukota kabupaten,

54

Ibid., h.218. 55

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.26.

56

(40)

yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi

tidak tertutup kemungkinan adanya kekecualian”.57

“Adanya kekecualian” itu banyak sekali ditemukan, oleh karena proses pemecahan daerah kota dan kabupaten terjadi terus menerus seiring dengan pertumbuhan dan penyebaran penduduk, selain proses perubahan dari kawasan pedesaan menuju kawasan perkotaan (urbanisasi). Di samping itu, pembentukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (PA dan PTA) dilakukan secara terus menerus. Hal itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan karena beban perkara semakin besar; dan untuk melakukan penyesuaian dengan pengembangan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum (PN dan PT). Dengan sendirinya terjadi “pembagian” daerah yuridiksi antara pengadilan yang terlebih dahulu dibentuk dengan “saudaranya” atau “tetangganya” yang baru dibentuk.58

Pembentukan pengadilan dalam suatu kawasan pengembangan, khususnya kawasan pemukiman penduduk memiliki arti yang sangat penting karena terdapat korelasi positif antara jumlah penduduk, terutama yang beragama Islam, didalam daerah hukum Pengadilan (PA dan PTA) dengan jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan itu. Sedangkan secara teknis efektivitas kekuasaaan relatif pengadilan tergantung kepada para pihak yang

57 Ibid., 58

(41)

bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan. Dengan kata lain, Pengadilan Agama memiliki kekuasaan untuk memeriksa dan memutus perkara di daerah hukumnya.59

Jadi tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai “Yurisdiksi Relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau kabupaten dan dalam keadaan tertentu sebagai pengecualiannya mungkin lebih atau kurang. Yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat. 2. Kekuasaan Mutlak (Absolute Competentie)

Kekuasaan mutlak Pengadilan berkenaan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan dan tingkat Pengadilan dalam perbedaannya dengan pengadilan lain. Misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi atau di Mahkamah Agung (MA).

59

(42)

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut “eksepsi absolut” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, bahkan sampai di tingkat banding atau kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk salah satu di antara tiga alasan yang memperbolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya.60

Adapun kekuasaan absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 dan 50 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang berbunyi :

Pasal 49 :Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di bidang” : a. Perkawinan;

60

(43)

b. Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infak;

h. Sedekah; dan i. Ekonomi syariah.

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau sengketa lain dalam

perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29, khusus

objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam. Objek

sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama perkara

yang dimaksud dalam Pasal 49.61

61

(44)

BAB III

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PRODEO

A. Prosedur Teoritis Prodeo

Salah satu asas hukum acara perdata yaitu pengenaan biaya

saat beracara. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan

biaya untuk panggilan pemberitahuan para pihak serta biaya

materai. Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya

perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo)

dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya

perkara.

62

Hal ini dijelaskan dalam pasal 237 HIR dan 273 RBg

yang berbunyi : “

Penggugat atau tergugat yang tidak mampu

membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa

biaya.”

Tetapi ada diantara biaya yang tidak dibebaskan yaitu biaya

administrasi kepaniteraan dan pembayaran upah juru sita.

63

62

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 1999), Cet. 2, h. 16.

63

(45)
(46)

peminta, yang berisi keterangan bahwa ia benar-benar dinyatakan

tidak mampu. Kemudian pada ayat (4) pasal 274 RBg dijelaskan,

jika bukti tertulis tidak dapat diajukan, maka pengadilan bebas

untuk meyakinkan diri tentang kemiskinan pemohon yang

bersangkutan dengan jalan keterangan-keterangan lisan atau

dengan cara lain.

64

Kemudian pada waktu menghadap kemuka pengadilan,

pertama kali diputuskan oleh pengadilan adalah putusan sela yang

berisi tentang dikabulkan atau tidak permohonan prodeonya. Hal ini

dijelaskan dalam pasal 239 HIR/275 RBg.

65

Pada pasal 240 HIR/276 RBg ayat 1 dan 2 dijelaskan mengenai, balai harta peninggalan dan balai budel, tanpa mengajukan tanda surat keterangan tidak mampu baik ia sebagai penggugat atau tergugat, dan ia diperbolehkan berperkara tanpa biaya jika budel yang diurusnya atau kekayaan orang yang diwakilinya pada waktu perkara dijalankan, diperkirakan tidak akan mencukupi untuk membayar biaya perkara.

64

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, h. 44.

65

(47)

Kemudian, mereka pada waktu mengajukan permohonan untuk berperkara tanpa biaya secara singkat memperlihatkan keadaan kekayaan itu kepada hakim.66

Pasal 242 HIR/278 RBg ayat 1-4 menjelaskan tentang, permohonan untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya harus disertai pernyataan tidak mampu seperti tersebut dalam pasal 274 RBg ayat (3), secara lisan atau tertulis disampaikan kepada panitera pengadilan negeri yang memutus dalam tingkat pertama, oleh pihak yang naik banding dalam waktu empat belas hari setelah keputusan dijatuhkan atau sesudah diberitahukan, oleh pihak lawan disampaikan dalam waktu empat belas hari setelah diberitahukan adanya permohonan banding atau sesudah diberitahukan menurut ayat terakhir pasal ini.67

Kemudian jika pemohon bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah, jaksa ditempat kedudukan pengadilan negeri atau panitera pengadilan negeri tidak ada di tempat itu, maka ia dapat minta agar permohonannya dicatat oleh jaksa di tempat tinggalnya atau tempat ia berdiam. Setelah permohonan itu dicatat, ketua memerintahkan agar permohonan itu dalam waktu empat belas hari sesudah catatan itu, diberitahukan kepada pihak lawan dan memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk menghadap di hadapannya.68

66

Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, h. 45.

67

Ibid., h. 45. 68

(48)

Pada pasal 243 HIR/ 279 RBg ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa, jika pemohon tidak datang menghadap, maka pemohon dinyatakan gugur. Jika pemohon datang menghadap pada hari yang telah ditentukan, maka ketua mendengar pemohon dan lawannya.69

Pasal 244 HIR/280 RBg menjelaskan, berita acara persidangan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, satu turunan resmi surat keputusan pengadilan dan ringkasan catatan yang ada di dalam daftar tentang permohonan untuk berperkara tanpa biaya, dikirimkan oleh panitera pengadilan negeri kepada raad van justitie yang akan memeriksa permohonan banding itu. Akan tetapi, raad van justitie memutus tanpa memeriksa para pihak, hanya berdasarkan surat-surat. Dengan sesuatu alasan seperti tersebut dalam pasal 275, juga karena jabatannya raad justitie dapat menolak permohonan itu dan panitera raad van justitie secepat mungkin mengirimkan turunan resmi putusan raaf van justitie tersebut dengan disertai surat-surat seperti tersebut dalam pasal yang lalu kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian memberitahukannya kepada para pihak. Hal ini dijelaskan pada ayat (1) dan (2) pasal 245 HIR/281 RBg.70

Secara teoritis telah dijelaskan mengenai prosedur dalam

mengajukan perkara secara prodeo di muka pengadilan sampai ke

tingkat banding.

69

Ibid., h. 46. 70

(49)

B. Kategori Biaya Perkara di Pengadilan Agama

Pada asasnya berperkara di Pengadilan dalam perkara perdata, dikenakan biaya sesuai ketentuan pasal 4 ayat (2), pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 182, pasal 121 ayat (4) HIR, kemudian dalam pasal 192-194 RBg. Artinya suatu perkara perdata di Pengadilan baru dapat didaftar di kepaniteraan setelah pihak pemohon atau penggugat membayar sejumlah biaya perkara yang lazimnya disebut panjar atau verschot.71

Berdasarkan surat Mahkamah Agung RI Nomor: 43/TUADA/AG/III-UM/XI/1992, tanggal 23 November 1992 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan agama di seluruh Indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 ayat (4) HIR/ pasal 145 ayat (4) RBg meliputi biaya kepaniteraan (yustisi costen) dan biaya proses (process costen).72

Kemudian dalam suratnya MA/KUMDIL/214/XII/K/1992, tanggal 21 Desember 1992 perihal pola keuangan perkara di lingkungan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI merinci biaya kepaniteraan yang kemudian dikenal dengan istilah Hak-Hak Kepaniteraan (HHK) yang terdiri dari:73

71

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Buletin Berkala Hukum dan Peradilan, (Jakata: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 2002), h. 39.

72

Ibid., h. 40. 73

(50)

a. Biaya pendaftaran perkara tingkat pertama; b. Biaya Redaksi;

c. Biaya Pencatatan permohonan Banding; d. Biaya Pencatatan permohonan Kasasi; e. Biaya pencatatan permohonan PK;

f. Biaya pencatatan permohonan sita konservatoir; g. Biaya permohonan sita Refindikatoir;

h. Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita; i. Biaya pencatatan pelaksanaan lelang.

Dengan kata lain, biaya kepaniteraan adalah pungutan-pungutan sebagai pelayanan pengadilan. Biaya-biaya inilah yang harus disetorkan ke Kas Negara. Sedangkan biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan Peradilan dalam rangka menyelesaikan suatu perkara. Dalam pasal 90 ayat (10) UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara tegas telah ditentukan bahwa biaya proses tersebut meliputi:74

a. Biaya pemanggilan para pihak dan pemberitahuan; b. Biaya untuk saksi/ saksi ahli dan penerjemah; c. Biaya pengambilan sumpah;

d. Biaya penyitaan;

74

(51)

e. Biaya eksekusi;

f. Biaya pemeriksaan setempat;

g. Biaya-biaya lain atas perintah Ketua Pengadilan.

Dengan memperhatikan kedua surat Mahkamah Agung RI dan pasal 90 ayat (1) di atas, dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Biaya Perkara adalah biaya yang meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kategori biaya perkara sesuai tingkat dan kepentingan pemeriksaan perkara inilah yang merupakan biaya yang harus dibayar sebagai panjar.

C. Masalah Yang Muncul Dalam Prodeo

Mengenai penyelesaian perkara prodeo terdapat anggapan masyarakat bahwa, dalam prakteknya pembebasan biaya perkara dari pemohon prodeo di Pengadilan Agama hanya dibebaskan untuk biaya kepaniteraan saja, sedangkan biaya proses masih tetap menjadi tanggungan pemohon prodeo. Namun ada juga yang membebaskan keseluruhan biaya kecuali biaya materai. Tetapi umumnya para praktisi hukum berpendapat bahwa keseluruhan biaya perkara dibebaskan dari pemohon prodeo.75

Namun pada kenyataannya, masih ada lembaga Peradilan Agama yang melakukan pemungutan biaya dari para pemohon prodeo. Alasannya adalah selain karena belum ada petunjuk yang jelas mengenai sumber dana untuk penyelesaian

75

(52)

perkara prodeo, juga karena masalah pemanggilan pihak yang berperkara tempat tinggalnya terlampau jauh sehingga sulit dijangkau, selain itu juga membutuhkan biaya transportasi yang sangat besar. Sebelum tahun 2008, masalah-masalah di atas memang yang menjadi kendala dalam proses penanganan perkara prodeo. Tetapi di tahun 2008 ini masalah tersebut sudah ada pemecahan masalahnya. Yaitu dengan adanya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang sudah disetujui oleh pemerintah. Mengenai prosedur untuk mendapatkan biaya dari DIPA yaitu, pengadilan mengumpulkan perkara-perkara prodeo yang sudah diselesaikan terlebih dahulu, dengan mencatat seluruh biaya yang telah dikeluarkan, kemudian dilaporkan ke Bendahara DIPA. Berdasarkan laporan tersebut Bendahara DIPA akan menggantikan seluruh biaya yang telah dikeluarkan pengadilan dalam penyelesaian perkara prodeo.76

Setelah pemohon/ penggugat mengajukan syarat-syarat berupa surat keterangan miskin dari lurah yang dilampirkan pada gugatan, maka pada saat itulah peranan dari negara (DIPA) dalam membiayai perkara prodeo.77

Setelah diadakannya Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), maka tidak ada lagi biaya yang harus dibebankan kepada para pemohon prodeo. Selain itu

76

Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama, Jakarta, 29 April 2008. 77

(53)

masalah-masalah yang terjadi dalam penanganan prodeo di Pengadilan Agama dapat terselesaikan dengan baik.78

78

(54)

BAB IV

PENYELESAIAN PERKARA PRODEO DI PENGADILAN AGAMA

JAKARTA TIMUR

A.Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Sejarah Lahirnya Peradilan Agama Jakarta Timur

Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur erat

berkait

mata

rantainya

dengan

sejarah

pembentukan

Pengadilan Agama pada umumnya diseluruh kepulauan

Indonesia, terutama di wilayah Daerah Khusus Ibukota

Jakarta. Secara khusus sejarah lahirnya Pengadilan Agama

Kelas IA Jakarta Timur adalah dibidani oleh Menteri Agama

RI sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI

No. 67 Tahun 1963 jo No. 4 Tahun 1967. Adapun secara

kronologis saat-saat lahirnya Pengadilan Agama Jakarta Timur

sebagai berikut :

79

a. Pada saat itu Pengadilan Agama di tanah tumpah darah si Pitung ini hanya memiliki satu Pengadilan Agama yaitu “Pengadilan Agama Istimewa Jakarta

79

(55)

Raya” yang dibantu 2 (dua) Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Kemudian warga Ibukota ini kian bertambah sehingga terbitlah Keputusan Menteri Agama Nomor 67 tahun 1963 yang berbunyi

antara lain “

Membubarkan Kantor-kantor Cabang Pengadilan

Agama (bentuk lama) dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Raya”.

b.

Pada tahun 1966 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota

Jakarta melalui keputusan beliau Nomor Ib.3/I/I/1966

tanggal 12 Agustus 1966 membentuk Ibukota negara ini

menjadi 5 (lima) wilayah dengan sebutan Kota Administratif.

Dengan pembentukan kota Administratif tersebut, secara

yuridis formil keberadaan Pengadilan Agama Istimewa berikut

2 (dua) kantor cabangnya di pandang sudah tidak aspiratif lagi

untuk melayani kepentingan masyarakat pencari keadilan yang

berdomisili di 5 (lima) wilayah.

80

Secara cerdik, Kepala

Inspektorat Peradilan Agama menyambut baik kebijakan

Gubernur dimaksud seraya megajukan nota usul kepada

80

(56)

Direktorat Peradilan Agama melalui surat beliau Nomor

B/I/100 tanggal 24 Agustus 1966 tentang usul pembentukan

kantor cabang Pengadilan Agama dalam Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Raya sesuai dengan pembagian 5 (lima)

wilayah administrasi yang baru terbentuk. Dengan memetik

rekomendasi brilian tersebut, secara sigap Direktur Peradilan

Agama meneruskan nota usul dimaksud kepada Menteri Agama

RI melalui surat beliau Nomor B/I/1049 tanggal 19 September

1966 tentang persetujuan atas usul Kepala Inspektorat

Pengadilan Agama.

81

Kedua surat pejabat teras Pengadilan

Agama tersebut menjadi bahan pertimbangan Keputusan

Menteri Agama RI Nomor 4 Tahun 1967 tentang Perubahan

Kantor-kantor Cabang Pengadilan Agama dalam Daerah

Khusus Ibukota Jakarta Raya, tanggal 17 Januari 1967.

82

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, akhirnya

melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor Ib.3/I/I/1966 tanggal 12 Agustus 1966, maka

81

Ibid., h.3. 82

(57)

pada tanggal 18 Februari 1967 diresmikanlah sebutan maupun

operasional Pengadilan Agama di 5 (lima) wilayah Daerah

Khusus Ibukota, terutama Pengadilan Agama Jakarta Timur

menjadi sebagai berikut :

83

1.

Pengadilan Agama Jakarta Pusat,

2.

Pengadilan Agama Jakarta Utara,

3.

Pengadilan Agama Jakarta Barat,

4.

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan

5.

Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Timur

Pengadilan Agama Jakarta Timur, dibentuk dan berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 4 tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967. Pendirian Pengadilan Agama di Wilayah Hukum Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.84

3. Wilayah Yurisdiksi.

Wilayah yurisdiksi yang dimaksud pada pembahasan ini

bermuara pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan

83

Ibid.,

84

(58)

dan meyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan. Dalam istilah

“kewenangan” mengadili ini sebagaimana bersinonim dengan

kata “kekuasaan”. Adapun yang dimaksud dengan kewenangan

dan kekuasaan atau pada HIR dikenal pula dengan istilah

kompetensi. Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi

kepada 2 (dua) aspek yaitu :

85

1.

Kompetensi Absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan

untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu

perkara bagi Pengadilan yang menyangkut pokok perkara

itu sendiri.

86

Pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama disebut pada Bab III yang

berjudul Kekuasaan Pengadilan pasal 49 ayat (1) yang

berbunyi “

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara

85

Ibid., Laporan Tahunan, h.17. 86

Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 1998), Cet ke.6, h.25.

(59)

ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam

dibidang :

87

a.

Perkawinan;

b.

Kewarisan,

Wasiat

dan

Hibah

yang

dilakukan

berdasarkan hukum Islam;

c.

Wakaf dan Shodaqoh

d.

Ekonomi syariah.

2.

Kompetensi Relatif, yaitu kewenangan atau kekuasaan

untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu

perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan

wilayah atau domisili pihak atau para pihak pencari

keadilan.

88

Hal demikian tersebut pada ketentuan sebagai

berikut :

a.

HIR pasal 118 ayat (1 s/d 4) jo pasal 142 (2) dan

b.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 pasal 66 ayat (1

s/d 5). Tentang kompetensi relatif ini bagi Pengadilan

87

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama pasal 49 ayat (1).

88

(60)

Agama yang berkedudukan di 5 (lima) wilayah Daerah

Khusus Ibukota Jakarta telah ditetapkan pada saat

kelahirannya yaitu dalam Keputusan Menteri Agama

Nomor 4 Tahun 1967 yang berbunyi antara lain :

“Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur yang

daerah hukumnya meliputi kekuasaan Kota Jakarta

Timur”.

4. Data dan Keterangan Wilayah Pengadilan Agama

Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan.89

Adapun batas-batas wilayahnya adalah :

1. Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat. 2. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan.

3. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor /Kodya Depok. 4. Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi.

Luas wilayah Jakarta Timur : 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa.90 Jumlah penduduk yang beragama Islam 2.569.390 jiwa.91

89

Ibid., Laporan Tahunan 2007. h.7. 90

(61)

Kodya Jakarta Timur adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur, dengan 10 wilayah kecamatan .92

Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa Dua Wetan, alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kelurahan Kelapa Dua Wetan Kecamatan Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717548 kode pos 13750. Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas tanah hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa indikator good corporate governance (ukuran dewan komisaris dan kepemilikan manajerial), karakteristik perusahaan (ukuran perusahaan dan

[r]

Analisa kewajiban diestimasi atas imbalan kerja karyawan pada tanggal 31 Oktober 2009 dan 31 Oktober 2008 dan beban imbalan kerja karyawan yang dicatat dalam laporan laba rugi

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan segala rahmat serta karuniaNya sehingga penyusun telah dapat menyelesaikan Tugas Akhir “Pra Rencana

Alhamdulillah Puji Syukur sedalam dalamnya penulis panjatkan kepada Allah SWT karena Rahmat dan HidayahNya Penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul

Dari ke- dua gambar dapat dilihat bahwa aproksimasi analitik dan solusi numerik untuk nilai-nilai parameter pada (5.3) menunjukkan kesesuaian yang sangat baik antara keduanya..

Dari wawancara, observasi, dan kajian pustaka, upacara seba dapat diartikan sebagai berikut: (1) kegiatan puncak dari ritual religius masyarakat Baduy, setelah

Jika telah yakin bahwa gejala yang dipilih adalah benar gejala yang dirasakan oleh sapi tersebut, maka pengunjung dapat menekan tombol proses diagnosa yang terdapat