• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Kamal Fuadi 105018200722

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Kamal Fuadi 105018200722

Di bawah Bimbingan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan

lulus dalam Ujian Munaqasyah pada hari Jum’at, 11 Maret 2011 di hadapan dewan

penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan.

Jakarta, 11 Maret 2011

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI) Tanggal dan Tanda Tangan

Drs. Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil. NIP. 19560530 198503 1 002

(………..……..) (……..…..……)

Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan

Drs. H. Mu’arif SAM, M.Pd

NIP. 19650717 199403 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji I

Prof. Dr. H. Armai Arief, MA NIP. 19560119 198603 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji II

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA NIP. 19540802 198503 1 002

(………..……..) (………..……..)

Mengetahui

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Kamal Fuadi

Tempat dan Tanggal Lahir : Tegal, 20 Maret 1986

NIM : 105018200722

Jurusan : Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Pembimbing : Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi saya ini merupakan karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 25 Februari 2011

Penulis

(5)

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yang diwujudkan dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Provinsi DKI Jakarta merupakan satu-satunya daerah yang mengeluarkan kebijakan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menyisakan berbagai permasalahan seperti belum adanya pemahaman mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, belum tertampungnya anak-anak yang teridentifikasi berkebutuhan khusus dalam sekolah-sekolah inklusif dan belum tersedianya sumber daya pendidik sekolah inklusif yang memadai. Maka dari itu, penulis mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini berusaha untuk mendeskripsikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan implementasi kebijakan tersebut di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI), dan Guru Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa, pertama, pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Walaupun peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kedua, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak menggunakan model sebagaimana terdapat dalam literatur dan ketentuan umum pendidikan inklusif. Model hanya merupakan bagian dari strategi yang perlu diketahui dan dilaksanakan guru. Ketiga, belum semua kategori anak berkebutuhan khusus diterima menjadi peserta didik program pendidikan inklusif. Hal tersebut berkaitan dengan belum terpenuhinya sumber daya sekolah yang memadai.

Keempat, penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Kelima, Pemerintah Provinsi DKI selalu bekerja sama dengan pihak sekolah dengan memberikan pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

(6)

i

Kata Pengantar Bismillaahirrahmaanirraahiim

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tak pernah berhenti melimpahkan rahmat dan ridla-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Shalawat teriring salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabi’in, dan para pengikut beliau yang setia menjalankan ajaran -ajarannya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini bukan sekadar pemenuhan kewajiban tugas akhir yang harus penulis tunaikan sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun lebih jauh penulisan skripsi ini merupakan pembuktian penulis sebagai mahasiswa untuk menulis sebuah karya tulis di akhir masa kuliah.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan kepada penulis baik semasa penulis berkuliah maupun semasa penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau untuk memberikan arahan selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi

2. Bapak Rusydi Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam,

(7)

3. Bapak Drs. Syauki, M.Pd, Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan saran dalam menjalani perkuliahan

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan yang telah mendidik dan membimbing penulis dengan ketulusan, profesionalisme, dan dedikasi yang tinggi

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Bapak Dr. Taufik Yudi Mulyanto, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan dan Ibu Drs. Septi Novida, M.Pd, Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta beserta staf dan jajarannya yang telah memfasilitasi penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

7. Bapak Drs. Sugiyono, M.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 66 Jakarta dan Bapak Dr. H.A. Otjin Kusnadie, M.Pd, Kepala Sekolah SMP Negeri 223 yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian dan wawancara

8. Ibu Fitri selaku Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children

(OVC) Hellen Keller International (HKI) yang telah meluangkan waktu beliau untuk penulis

9. Bapak Drs. Moh. Djazeri (alm) dan Ibu Dra. Umi Azizah, orangtua penulis yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan, serta doa dimanapun penulis berada

10. Fikri Ali, SE, Muthmainnah (feat. Muhammad Nidzam Ardiyan) dan Rofik Habibi, kakak-kakak penulis yang tidak pernah lelah memotivasi. Muhammad Auva Ahdi, Charis Luthfi, dan Shovia Afida, adik-adik penulis yang selalu menjadi penyemangat. Kalian yang terbaik yang penulis miliki

(8)

iii

Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan limpahan rahmat kepada beliau.

12. Sahabat-sahabat DARUS SUNNAH 2005, A. Syarif Hidayatullah, S.Th.I, Lc., Rikza Ahmad, S.Th.I, Lc., Edo Abdullah Faqih, S.Si, Lc., Fathuddin, SH.I, Lc., Agus Gunawan, S.Th.I, Lc., Zainal Muttaqin, S.Th.I, Lc., Abdul Aziz,

Lc., Arya ‘Izzudin, Lc., Alvian Iqbal Zahasfan, S.SI, Lc., Ahmad Masy’ari

SH.I, Rahmat, Devita Zuliati, S.Pd.I, Lc., Dida Farida, S.SI., Lc., Fajriyati Aljabhati, S.SI, Lc., Fitriyani, S.SI, Lc., dan Maryam Shofa, S.SI, Lc.. Kita adalah sahabat terbaik

13. Sahabat-sahabat AL BARKAH INSTITUTE, Syarif Zakky Azizi, Muhammad Fatkhurrahman, Rohim, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Nasihin Aziz Raharjo, dan Ana Mulyana

14. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan (BEMJ KI-MP) Periode 2007-2008 yang telah bersama-sama mewarnai aktivisme kampus

15. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat. Gus Aqib Malik, Abdul Latif, Abraham Firdaus, Iqbal Kaukabuddin, Fatkhul Muin, M. Shobahur Rizqi, Zainal Muttaqin, Hendri Pradiyanto, Alimuddin Tarlay, Atfiyanah, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini. Sungguh kalian menjadi saudara terbaik di perantauan

16. Teman-teman kelas A dan terutama kelas B Jurusan Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan (KI-MP) angkatan 2005. Maaf saya bukan teman yang baik

(9)

minimal bagi diri penulis. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.

Ciputat, 25 Februari 2011

(10)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Perumusan Masalah ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II : KAJIAN TEORI ... 10

A. Kebijakan ... 10

1. Pengertian Kebijakan ... 10

2. Tahap-Tahap Kebijakan ... 14

3. Analisis Kebijakan ... 16

B. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 20

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 25

3. Model Pendidikan Inklusif ... 27

4. Komponen Pendidikan Inklusif ... 31

5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler ... 35

BAB III : METODE PENELITIAN ... 39

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

B. Tujuan Penelitian ... 39

C. Metode Penelitian ... 39

D. Sumber Data ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 41

(11)

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 44

A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 44

1.Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 44

a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 44

b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 44

2.Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 47

a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta... 48

b. Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 48

3.Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 49

4.Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 49

5.Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 49

6.Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 50

7.Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta... 50

8.Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ... 51

B. Deskripsi dan Analisis Data ... 53

1.Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ... 53

2.Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta ... 78

BAB V : PENUTUP ... 102

A. Kesimpulan... 102

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(12)

vi

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar

Gambar 1 Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah … Hal. 18 Gambar 2 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan

Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar

Biasa ……….. Hal. 38

Gambar 3 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta ………... Hal. 51 Gambar 4 Jumlah Siswa di Provinsi DKI Jakarta ……….. Hal. 52 Gambar 5 Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta ………. Hal. 53 Gambar 6 Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ….. Hal. 62

Tabel

Tabel 1 Daftar Nama TK, SD, SMP, SMA/SMK Negeri Penyelenggara Pendidikan Inklusi Provinsi DKI

Jakarta ……… Hal. 66

Tabel 2 Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta …… Hal. 74 Tabel 3 Daftar Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa

Tahun Anggaran 2010 ………... Hal. 82 Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan

Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran

2009 ………... Hal. 93

Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap upaya pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling mendasar yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia. Komitmen ini kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan:

1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran

2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang1

Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

1

(14)

2

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa2.

Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik, karena merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki keragaman baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki peserta didik ini mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan kemampuan peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga pendidik.

Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah. Kesulitan terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau kecerdasan dan bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat perhatian dari tenaga pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.

Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah Pendidikan Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang

2

(15)

diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah3.

Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di atas. Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa4.

Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang dimaksud dalam pasal di atas.

Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang secara khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk pendidikan bagi peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa5. Peraturan pemerintah ini hanya mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Dalam peraturan ini tidak disebutkan adanya aturan yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa atau istimewa.

Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini didesain secara khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta

3

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

5

(16)

4

didik yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak memiliki kelainan fisik dan mental (normal).

Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.

(17)

belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar biasa6. Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak berkekhususan sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu tidak lain adalah peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu berkekhususan. Indonesia juga mengalami perkembangan yang hampir sama. Sampai saat ini terdapat banyak sekolah yang mulai membuka program pendidikan inklusif7. Yang melandasi pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara umum adalah semangat egalitarianisme yang berarti terdapat kesempatan yang sama bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan. Masing-masing anak harus mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda ini tidak meniscayakan adanya pendidikan yang dipisahkan, namun berangkat dari perbedaan yang terdapat dalam individu anak8.

Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang

6

Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), Cet. Ke-8, h. 4-6.

7

Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, (Jakarta: Prenada, 2007), h. 8-9.

8

(18)

6

menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah siswa mencapai 15.1819. Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif10. Aturan terbaru yang mengatur pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.

Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Secara terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 1011. Jumlah ini bukanlah jumlah ideal sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang

9

Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 5.

10

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 13.

11

(19)

menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusi12.

Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44 kecamatan13. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu, seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak 132 sekolah. Jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMA/SMK dan MA/MAK sebanyak 15 Sekolah.

Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya, penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan khusus)14.

Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang

12

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007.

13

Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011

14

(20)

8

pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah di kota besar15.

Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Pemerintah menyatakan ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah.

Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut:

1. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum direncanakan dengan baik

2. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum diimplementasikan dengan efektif

3. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di provinsi DKI Jakarta belum disosialisasikan secara maksimal

4. Belum adanya pemahaman yang sama mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

5. Belum adanya persepsi yang sama mengenai urgensi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

15

(21)

6. Kurangnya guru-guru yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

C.

Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta, untuk memfokuskan penelitian dan efisiensi waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta 2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta

D.

Perumusan Masalah

Dari pembatasan terhadap masalah-masalah yang muncul, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta?”

E.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan tambahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif

2. Bagi sekolah, sebagai pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

(22)

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan-pernyataan tertulis1. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh

1

(23)

seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu2.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu.

James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1)bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan, (2)bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3)bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4)bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5)bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif)3. Dalam pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

Pernyataan bahwa kebijakan terkait dengan pemerintah tidak hanya disampaikan oleh James E. Anderson. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan

2

James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), cet. ke-3, h. 3.

3

(24)

12

perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah4.

Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan5.

Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi Amerika”, “Kebijakan Minyak Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup makro (baca: negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson

seperti pada penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi

di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin”6

.

Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat7.

Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah.

4

George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978), h.2.

5

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005), h. 1.

6

James E. Anderson, dkk., Public Policy and Politics in America, (California: Brooks/Cole Publishing Company, 1984), cet. ke-2, h. 3.

7

(25)

James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di lapangan. Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses8. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes)9.

Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Keputusan kebijakan dimengerti sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasil-hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat.

8

James, dkk., Public Policy and Politics in America, h. 3.

9

(26)

14

2. Tahap-tahap Kebijakan

Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu:

a. Penyusunan Agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas10. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi.

Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing11. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan12.

10

Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation, (Boston: Wadsworth, 2009), h. 50-52.

11

Winarno, Kebijakan Publik…, h. 33.

12

(27)

c. Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut13. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi14. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.

d. Implementasi Kebijakan

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

e. Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan15.

Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali16.

13

Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34.

14

Robert, Public Administration…, h. 53.

15

Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34.

16

(28)

16

3. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial terapan yang secara sistematis disusun dalam rangka mengetahui substansi dari kebijakan agar dapat diketahui secara jelas informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan dan masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan17.

Penelitian kebijakan sedapat mungkin melihat berbagai aspek dari kebijakan agar dapat menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan serta masalah-masalah yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan menjadi fokus dari analisis kebijakan.

Sudarwan Danim menyatakan bahwa proses penelitian kebijakan pada hakikatnya merupakan penelitian yang dimaksudkan guna melahirkan rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan18. Sudarwan Danim secara jelas menyatakan hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu menghasilkan rekomendasi yang mungkin diperlukan pembuat kebijakan dalam rangka pemberian solusi terhadap masalah-masalah sosial. Selain itu, penelitian kebijakan perlu dipahami sebagai bentuk dukungan kepada kebijakan itu sendiri.

Rekomendasi yang dihasilkan dari proses penelitian kebijakan dapat berupa dukungan penuh terhadap kebijakan, kritik dan saran mengenai bagian mana dari kebijakan yang perlu diperbaiki, atau dapat juga berupa rekomendasi agar kebijakan tidak lagi diterapkan.

Karakteristik dari penelitian kebijakan secara terperinci dijelaskan oleh Allen D. Putt dan J. Fred Springer. Mereka menyatakan bahwa penelitian

17

William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000), cet. ke-IV, h. 95-97.

18

(29)

kebijakan dicirikan sebagai penelitian yang terfokus pada manusia, plural, multi-perspektif, sistematis, berhubungan dengan keputusan, dan kreatif19.

Penelitian mengenai kebijakan berkaitan erat dengan manusia dan permasalahannya. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu mengenai informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi dalam rangka pemecahan masalah yang terkait dengan kebijakan.

Karakteristik plural dari penelitian kebijakan berasal dari hubungan penelitian dengan manusia. Penelitian kebijakan tidak dapat dipisahkan dari konflik nilai dan kepentingan terdapat dari interaksi manusia.

Karakteristik yang plural meniscayakan adanya pendekatan penelitian yang juga plural, dalam arti multi-perspektif. Informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi sebagai hasil yang ingin dicapai oleh penelitian kebijakan mengharuskan adanya pendekatan yang menyeluruh sehingga informasi yang dihasilkan juga dapat berupa rekomendasi yang sesuai dengan kondisi yang ada.

Sebagai sebuah penelitian, penelitian kebijakan harus secara sistematis disusun berdasarkan prosedur penelitian sebagai upaya untuk memperoleh informasi terkait dengan kebijakan.

Penelitian kebijakan selalu terkait dengan keputusan. Keputusan yang dihasilkan berasal dari rekomendasi yang disampaikan. Keputusan dapat berupa keputusan untuk tetap melanjutkan kebijakan, keputusan untuk memperbaiki kebijakan atau keputusan untuk menghapus atau tidak melanjutkan kebijakan.

Informasi yang berkaitan dengan kebijakan berupa masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi20. Masing-masing dari informasi kebijakan berkaitan dengan prosedur kebijakan. Secara lebih jelas Dunn menggambarkan hubungan

19

Allen D. Putt dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, (New Jersey: Prentice Hall, 1989), h. 19-24.

20

(30)

18

antara lima informasi kebijakan dan lima prosedur kebijakan yang ia formulasikan sebagai analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah dengan gambar di bawah ini:

[image:30.595.111.513.174.535.2]

Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah

(William Dunn, 2000: 21)

Kelima informasi yang terkait dengan kebijakan saling berkaitan satu sama lain seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Tanda panah yang menghubungkan tiap komponen informasi menggambarkan proses dinamis dimana satu tipe informasi dipindahkan ke informasi lain dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan yang tepat.

Perumusan masalah (definisi) merupakan upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai masalah-masalah yang menimbulkan masalah kebijakan. Melalui prosedur perumusan masalah dapat diidentifikasi mengenai masalah kebijakan yang tepat yang akan dijadikan sebagai fokus. Peramalan (prediksi) berisi informasi mengenai kondisi yang mungkin dapat terjadi pada masa

(31)

mendatang sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai kegunaan dari dari konsekuensi di masa mendatang dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dari penerapan kebijakan. Evaluasi menyediakan informasi mengenai kegunaan dari pemecahan suatu masalah.

Analisis kebijakan dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk. Menurut Dunn terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu:

a. analisis kebijakan prospektif

analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif. b. analisis kebijakan retrospektif

analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif. c. analisis kebijakan integratif

analisis kebijakan integratif adalah bentuk perpaduan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif21.

Bentuk analisis kebijakan prospektif memiliki kelemahan karena hanya berkutat pada analisis kebijakan yang mengarahkan perhatian pada konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Pun dengan bentuk analisis kebijakan retrospektif yang hanya memfokuskan kajiannya pada konsekuensi kebijakan setelah kebijakan diterapkan. Maka analisis kebijakan seharusnya menggunakan bentuk kebijakan integratif, yaitu dengan memadukan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif.

Pada umumnya, analisis kebijakan memfokuskan kajiannya pada tiga hal. Ketiga fokus tersebut merupakan pijakan yang dipedomani dalam melakukan analisis kebijakan. Tiga fokus tersebut, yaitu:

a. Definisi masalah sosial b. Implementasi kebijakan

21

(32)

20

c. Akibat-akibat kebijakan22

Dengan memfokuskan kajian pada ketiga hal diatas, proses analisis kebijakan akan berusaha mendefinisikan secara jelas permasalahan yang akan menjadi fokus kajian untuk ditanggulangi oleh kebijakan. Setelah masalah yang menjadi fokus kajian analisis kebijakan ditentukan, analisis kebijakan bertugas menentukan kebijakan yang sesuai dengan masalah sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik.

Kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan tentu menghasilkan konsekuensi dalam bentuk akibat-akibat. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa akibat positif dan atau akibat negatif. Untuk itulah, analisis kebijakan mengupayakan upaya prediktif dengan meramalkan akibat yang dapat ditimbulkan sebelum kebijakan diimplementasikan dan atau sesudah kebijakan diimplementasikan.

Dengan demikian, analisis kebijakan selalu berkaitan dengan hal-hal sebelum dan sesudah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan. Analisis kebijakan berusaha memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan suatu masalah kebijakan, prediksi yang berkaitan dengan kebijakan, rekomendasi atau preskripsi yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan, deskripsi atau pemantauan terhadap kebijakan, dan evaluasi mengenai kebijakan. Semuanya berjalan sebagai proses yang runtut dan sistematis dalam rangka mendukung kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah.

B.

Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan

22

(33)

saling berkaitan satu sama lain23. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah24.

MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat25.

Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan

23

Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88.

24

J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45

25

(34)

22

perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut26. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya27.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki

26

Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53.

27

(35)

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil28.

Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah29.

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti

28

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 4.

29

Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari

(36)

24

pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment)30, disability dan handicap31.

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children)32.

30

Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1.

31

Beberapa istilah selain ABK, seperti impairment, handicap, dan disability seringkali disamakan dalam penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut. Impairment digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya rusak/cacat. Handicap digunakan untuk menunjukkan adanya kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ tubuh. Disability digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen. Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley&Sons, 1982), h. 27. Lihat juga Hornby, Oxford Advanced..., h. 327. Disability berarti batasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan kepada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering

muncul ungkapan “jangan sampai disability menjadi handicap”. Lihat John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004), h. 175

32

(37)

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus33. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersama-sama dalam satu kelas.

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah

33

(38)

26

ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur‟an sebagai berikut:



















Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal34.

(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur‟an menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:































34
(39)









Artinya: (1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2)karena telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4)atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6)Maka kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9)sedang ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu mengabaikannya, (11)sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12)Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, (13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang ditinggikan lagi disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat), (16)yang mulia lagi berbakti35.

(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:

35QS. „Abasa Ayat 1

(40)

28

ْنَع َناَقْرُ ب ُنْب ُرَفْعَج اَنَ ثدَح ٍماَشِه ُنْب ُرِثَك اَنَ ثدَح ُدِقانلا وٌرْمَع اَنَ ثدَح

ِهللا ُلوُسَر َلاَق َلاَق َةَرْ يَرُه َِِأ ْنَع ِمَصَأا ِنْب َديِزَي

هيلع ها ىلص

ملسو

:

ْمُكِرَوُص ََِإ ُرُظْنَ ي َا َهللا نِإ

ْمُكِبوُلُ ق ََِإ ُرُظْنَ ي ْنِكَلَو ْمُكِلاَوْمَأَو

ْمُكِلاَمْعَأَو

Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian36.

(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:

َنَ ثدَح ُليِعاَِْْإ اَنَ ثدَح

َعَِْ ْنَم َِِثدَح َةَرْضَن َِِأ ْنَع يِرْيَرُْْا ٌديِعَس ا

َلاَقَ ف ِقيِرْشتلا ِمايَأ ِطَسَو ِِ َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا ِلوُسَر َةَبْطُخ

َا َاَأ ٌدِحاَو ْمُكاَبَأ نِإَو ٌدِحاَو ْمُكبَر نِإ َاَأ ُسانلا اَه يَأ اَي

ٍَِِرَعِل َلْضَف

َدَوْسَأ َاَو َدَوْسَأ ىَلَع َرََِْْأ َاَو ٍَِِرَع ىَلَع ٍيِمَجَعِل َاَو ٍيِمَجْعَأ ىَلَع

ىَوْق تلاِب اِإ َرََْْأ ىَلَع

Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak kalian satu, maka sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas

36

(41)

orang ‘Ajam, begitu pula sebaliknya, tidak ada keutamaan yang

merah atas yang hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali taqwa37.

3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.

b. Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: 1) UUD 1945

2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat 3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan

7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat)

Gambar

Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah
Gambar 2. Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar Biasa (Bandi Delphie, 2006: 8)
Gambar 38 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta
Gambar 49 Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) Kondisi faktual implementasi kebijakan pendidikan inklusif di provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan Permendiknas Nomor 70

Kebijakan yang termuat dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang.. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif sebenarnya sama seperti Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Tujuan Pendidikan Inklusif.. Peraturan Menteri

Kebijakan yang termuat dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang.. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif sebenarnya sama seperti Peraturan Menteri

bahwa sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki

Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Ppserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan

Salah satu analisis SNP yang harus dilakukan adalah analisis pengelolaan pendidikan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 19 Tahun 2007

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua