PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS PADA
PEMILIHAN LEGISLATIF TAHUN 2014
Nota Patrit Karsa Halawa 110906052
Dosen Pembimbing: Adil Arifin, S.Sos, M.A
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
NOTA PATRIT KARSA HALAWA (110906052)
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS PADA PEMILIHAN
LEGISLATIF TAHUN 2014
Rincian isi Skripsi, 120 Halaman,41 Tabel, 8 Gambar, 17 Buku, 2 Undang-undang, 4 dokumen, 3 situs internet.
ABSTRAK
Penelitian ini menguraikan fakta-fakta tentang pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014. Penelitian ini di latar belakangi oleh budaya patriarki yang sangat kuat di kabupaten Nias yang tampak dari kehidupan sosial budaya masyarakat nias seperti pada sistem pemargaan atau garis keturunan ayah/laki-laki, pesta adat dan pembagian warisan yang lebih mengutamakan laki-ayah/laki-laki, Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan kualitas perempuan Nias terutama dalam bidang politik.
Teori yang digunakan dalam menganalisis budaya tersebut adalah Teori budaya patriarki oleh Mansour Fakih, yang menguraikan dampak budaya patriarki terhadap perempuan. Kemudian teori Partisipasi politik politik oleh Michael Rush dan Philip Althof, Samuel P Huntington dan juan M Nelson, Gabriel A Almond, Max weber Untuk menganalisis lebih jelas alasan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam politik dan hal-hal yang mempengaruhinya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menngunakan kuesioner dan dokumen dalam pengumpulan data.Dalam kuesioner tersebut “Budaya Patriarki” sebagai variabel X dan “partisipasi politik perempuan” sebagai variabel Y.
Hasil penelitian dan pengolahan data menggunakan software SPSS 22 menunjukan bahwa koefisien korelasi r xy bernilai negatif (-0.841) kuat dan signifikan dengan jumlah sampel 270 orang, hal ini berarti jika adanya peningkatan terhadap budaya patriarki maka akan terjadi penurunan terhadap partisipasi politik perempuan begitupun sebaliknya. Pada pengujian hipotesis
dengan regresi, uji T dan uji F memperlihatkan bahwa nilai sig. 0,000 ≤
0.1.Dengan demikian, Tolak H0 dan terima Ha yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Budaya Patriarki (X) terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Kabupaten Nias. Kemudian hasil koefisien
determinananya (r2) adalah 70.7 % budaya patriarki mempengaruhi partisipasi
perempuan sedangkan sisanya, 29.3 % dipengaruhi oleh faktor lain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE
NOTA PATRIT KARSA HALAWA (110906052)
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS PADA PEMILIHAN
LEGISLATIF TAHUN 2014
Content 120 pages, 41 tables, 8 Pictures, 17 Books, 2 Constitution, 4 Document, 3 Websites.
ABSTRACT
This research review the facts about the influence of patriarchal culture to women's participation in Nias regency on the legislative elections in 2014. The background of this research because seeinga very strong patriarchal culture in Nias district looks of social and cultural life of society as the system of patrilineal, traditional feast and the inheritance that prefers men, This is a great impact on the development of women's quality of Nias, especially in politics.
The theory used in analyzing the culture is patriarchal culture theory by Mansour Fakih, who described the impact of the culture of patriarchy against women. Then the political theory of political participation by Michael Rush and Philip Althof, Samuel P Huntington and Nelson M Nelson, Gabriel A Almond, Max Weber to analyze more clearly the reasons forsomeone to participate in politics and the things that affect it. The method used in this research is quantitative method with the questionnaire and documents in the collection of data. In the questionnaire "Patriarchal culture" as a variable X and "women's political participation" as a variable Y.
The results of the study with data processing using SPSS 22 software shows that the correlation coefficient r xy is negative (-0841) strong and significant with a sample of 270 people, this means that if an increase of the patriarchal culture, there will be a decline of the political participation of women and vice versa. In regression hypothesis testing, T test and F test showed that the sig. 0.000 ≤ 0.1. Thus, reject H0 and accept Ha who expressed a significant Influencebetween a patriarchal culture variables (X) of the Political Participation of Women in Nias. Then results of coefficient determinant (r2) was 70.7%. it’s mean patriarchal culture affect women's participation and the rest, 29.3% are influenced by other factors.
Karya Ini Dipersembahkan Untuk
KATA PENGANTAR
Skripsi ini berjudul “Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi
Politik Perempuan di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun
2014. Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Puji Syukur atas berkat rahmat Allah, yang senantiasa menolong,
menghibur dan memberkati.Sehingga penulis diberikan kesehatan, kemampuan
dan kesempatan untuk menyelesaikan tahap demi tahap dalam pembuatan skripsi
ini.Semoga namamu semakin ditinggikan. Amin
Skripsi ini menjelaskan tentang budaya patriarki yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat, serta dampaknya terhadap partisipasi politik perempuan di
kabupaten Nias. Adat istiadat Patrilineal yang sangat kental di nias berdampak
terhadap Subordinasi perempuan,Marginalisasi perempuan,Membentuk Stereotip,
Peran ganda dan melahirkan kekerasan bagi kaum perempuan. Keadaan ini
disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam adat Patriarki Nias yang telah
dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat institusi-institusi
seperti keluarga, sekolah, masyarkat, agama, tempat kerja. Membuat perempuan
tidak mampu bersaing dengan laki-laki dalam politik, peran wanita dalam politik
sangat minim dan terbatas karna tidak ada ruang bagi perempuan dalam adat Nias
untuk menjadi seorang pemimpin. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini kedepan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga tercinta,
Ibunda yang selalu mendoakan,menyemangati dan juga memenuhi kebutuhan
selama masa pendidikan, Nenek yang selalu buat tertawa, kak Vian, adek Enos,
epin yang selalu menjadi semangat bagi penulis, dan sahabat-sahabat yang selalu
membantu. Dan yang sangat special untuk Alm.Ayah atas nasehat-nasehat yang
Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin , M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu. Dra. T Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Adil Arifin S,Sos. M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah
mengarahkan, mengkritik dan memberikan saran yang sangat berguna
dalam penulisan skripsi ini.
4. Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
5. Kak Ema, Kak Siti, Pak Burhan yang selalu membantu dalam urusan
administrasi.
6. Seluruh responden di kabupaten Nias, yang rela meluangkan waktunya
untuk mengisi Kuesioner dan diwawancarai.
7. Teman-teman Seperjuangan Ilmu Politik stambuk 2011, “Setiap orang
pasti akan datang dan pergi tetapi kebersamaan kita akan selalu terkenang
dalam sanubari”.
Medan, 8 April 2015
Nota Patrit K Halawa
DAFTAR ISI
Halaman Judul……… i
Halaman Persetujuan……….. ii
Halaman Pengesahan……….. iii
Abstrak………. iv
Abstract……… v
Lembar Persembahan………. vi
Kata Pengantar……… vii
Daftar Isi………... viii
Daftar Tabel dan Gambar……….. xi
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang………..……… 1
B. Perumusan Masalah……… 9
C. Pembatasan Masalah……… 9
D. Tujuan Penelitian………. 10
E. Manfaat Penelitian……….. 10
F. Kerangka Teori……… 11
F.1 Partisipasi Politik………. 11
F.2 Budaya Politik………. 16
F.3 Feminisme……… 21
G. Hipotesis……….. 26
H. Metode Penelitian……… 27
H.1 Jenis Penelitian……… 28
H.2 Lokasi Penelitian……….. 28
H.3 Populasi dan Sampel……… 28
H.5 Defenisi Konsep………... 34
H.6 Defenisi Operasional……… 37
H.7 Teknik Pengumpulan Data………... 40
H.8 Pengukuran Variabel Penelitian……….41
I. Teknik Analisa Data……….. 41
I.1 Analisis Tabel Frekuensi……… 42
I.2 Korelasi Product Moment………... 42
I.3 Uji Asumsi Klasik……….. 43
I.4 Analisis Regresi Sederhana……… 44
I.5 Koefisien Determinasi………... 45
I.6 Pengujian Hipotesis………... 45
J. Sistematika Penulisan……….... 46
BAB II Profil Kabupaten Nias,Gambaran Umum Pemilih, Gambaran Umum Dprd dan Budaya Patriarki A. Gambaran Umum Kabupaten Nias ………. 8
B. Gambaran Umum Pemilih pada Pemilihan Legislative 2014……… 54
C. Gambaran Perolehan Suara Partai Politik, Calon legislatif, danPenetapan Anggota Terpilih DPRD Kabupaten Nias.. 56
D. Gambaran Umum DPRD Kabupaten Nias periode 2014 – 2015………... 69
E. Gambaran Budaya Patriarki di Kabupaten Nias……… 76
BAB III Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Tahun 2014 A. Analisis Tabel Frekuensi……….. 88
C. Korelasi Product Moment………... 98
D. Uji Normalitas ……… 101
E. Uji Hipotesis Penelitian……… 104
F. Analisis Teoritis……… 111
BAB IV Penutup A.Kesimpulan……… 16
B.Saran……….. 17
C.Kelemahan………. 19
Daftar Pustaka……….. xvii Daftar Lampiran
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Master Data Variabel X dan Y
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Daftar Tabel
Tabel 1.1Penentuan jumlah sampel dari populasi ……….. 30
Tabel 1.2 Jumlah Sampel Tiap Kecamatan……… 33
Tabel 1.3 Alur Pemikiran……….. Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin…………. 50
Tabel 2.2Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa……… 51
Tabel 2.3Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan……….. 52
Tabel 2.4Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian…… 53
Tabel.2.5Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama………... 53
Tabel 2.6Daftar Pemilih Tetap/ Kecamatan……… 54
Tabel 2.7Partisipasi Pemilih L dan P………... 55
Tabel 2.8Rekapitulasi Jumlah perolehan Suara Sah Partai Politik….. 56
Tabel 2.9DPRD Terpilih……….…………. 58
Tabel 2.10Partai Nasdem……….……….. 60
Tabel 2.11Partai KebangkitanBangsa……… 60
Tabel2.12Partai Keadilan Sejahtera…….……… 61
Tabel 2.13PDI Perjuangan ……… 62
Tabel 2.14 Partai Golongan Karya……… 63
Tabel 2.16Partai Demokrat……… 64
Tabel 2.17Partai Amanat Nasional……… 65
Tabel 2.18Partai Persatuan Pembangunan………. 66
Tabel 2.19Partai Hati Nurani Rakyat………. 66
Tabel 2.20Partai Bulan Bintang………. 67
Tabel 2.21Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia………. 68
Tabel 3.1Karakteristik berdasarkan pekerjaan……… 89
Tabel 3.2Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan……… 90
Tabel 3.3Karakteristik Responden Berdasarkan Usia……….. 91
Tabel 3.4Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan…… 91
Tabel 3.5Jawaban Responden Bahwa Seorang Ayah/Laki-Laki yang Berhak Menentukan dan Mengambil Keputusan……… 92
Tabel 3.6Jawaban responden tentang jenis kelamin pemimpin yang disukai.93 Tabel 3.7Jawaban Responden bahwa Anak laki-laki harus berpendidikan tinggidibanding perempuan, karena laki-laki sebagai tulang punggung keluarga………. 94
Tabel 3.8Jawaban responden bahwa Budaya Nias Membuat Peran Laki-Laki Lebih Dominan dari Pada Perempuan……….... 94
menjadi anggota DPRD………..……… 95
Tabel 3.10Jawaban responden bahwa Perempuan Harus berpartisipasi dalam politik……….……… 96
Tabel 3.11Jawaban responden tentang Calon Legislatif seorang Perempuan………. 97
Tabel 3.12Jawaban responden bahwa Perempuan mempunyai kemampuan memimpin yang sama dengan laki-laki……… 97
Tabel 4.1Koefisien Korelasi Product Moment (r)………. 99
Tabel 4.2 Regresi Linier Sederhana………. 105
Tabel 4.3 Uji SecaraParsial (Uji-t) ………. 107
Tabel 4.4Uji Serempak/Simultan (Uji-F)……… 108
Tabel 4.5Goodness of Fit (R2)………. 110
Daftar Gambar Gambar 1.1 Keterwakilan perempuan di DPR RI 2014-2019……….. ..3
Gambar 1.2 Persentase anggota DPR RI 2014-2019 dari tiap partai politik berdasarkan jenis Kelamin………4
Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi Politik………..… 13
Gambar 1.4Bentuk Partisipasi Politik………... 15
Gambar 2.1Peta Wilayah Kabupaten Nias………… ……… 48
Gambar 4.1 Pegujian Normalitas………. 103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
NOTA PATRIT KARSA HALAWA (110906052)
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS PADA PEMILIHAN
LEGISLATIF TAHUN 2014
Rincian isi Skripsi, 120 Halaman,41 Tabel, 8 Gambar, 17 Buku, 2 Undang-undang, 4 dokumen, 3 situs internet.
ABSTRAK
Penelitian ini menguraikan fakta-fakta tentang pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014. Penelitian ini di latar belakangi oleh budaya patriarki yang sangat kuat di kabupaten Nias yang tampak dari kehidupan sosial budaya masyarakat nias seperti pada sistem pemargaan atau garis keturunan ayah/laki-laki, pesta adat dan pembagian warisan yang lebih mengutamakan laki-ayah/laki-laki, Hal ini berdampak besar terhadap perkembangan kualitas perempuan Nias terutama dalam bidang politik.
Teori yang digunakan dalam menganalisis budaya tersebut adalah Teori budaya patriarki oleh Mansour Fakih, yang menguraikan dampak budaya patriarki terhadap perempuan. Kemudian teori Partisipasi politik politik oleh Michael Rush dan Philip Althof, Samuel P Huntington dan juan M Nelson, Gabriel A Almond, Max weber Untuk menganalisis lebih jelas alasan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam politik dan hal-hal yang mempengaruhinya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menngunakan kuesioner dan dokumen dalam pengumpulan data.Dalam kuesioner tersebut “Budaya Patriarki” sebagai variabel X dan “partisipasi politik perempuan” sebagai variabel Y.
Hasil penelitian dan pengolahan data menggunakan software SPSS 22 menunjukan bahwa koefisien korelasi r xy bernilai negatif (-0.841) kuat dan signifikan dengan jumlah sampel 270 orang, hal ini berarti jika adanya peningkatan terhadap budaya patriarki maka akan terjadi penurunan terhadap partisipasi politik perempuan begitupun sebaliknya. Pada pengujian hipotesis
dengan regresi, uji T dan uji F memperlihatkan bahwa nilai sig. 0,000 ≤
0.1.Dengan demikian, Tolak H0 dan terima Ha yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Budaya Patriarki (X) terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Kabupaten Nias. Kemudian hasil koefisien
determinananya (r2) adalah 70.7 % budaya patriarki mempengaruhi partisipasi
perempuan sedangkan sisanya, 29.3 % dipengaruhi oleh faktor lain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE
NOTA PATRIT KARSA HALAWA (110906052)
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS PADA PEMILIHAN
LEGISLATIF TAHUN 2014
Content 120 pages, 41 tables, 8 Pictures, 17 Books, 2 Constitution, 4 Document, 3 Websites.
ABSTRACT
This research review the facts about the influence of patriarchal culture to women's participation in Nias regency on the legislative elections in 2014. The background of this research because seeinga very strong patriarchal culture in Nias district looks of social and cultural life of society as the system of patrilineal, traditional feast and the inheritance that prefers men, This is a great impact on the development of women's quality of Nias, especially in politics.
The theory used in analyzing the culture is patriarchal culture theory by Mansour Fakih, who described the impact of the culture of patriarchy against women. Then the political theory of political participation by Michael Rush and Philip Althof, Samuel P Huntington and Nelson M Nelson, Gabriel A Almond, Max Weber to analyze more clearly the reasons forsomeone to participate in politics and the things that affect it. The method used in this research is quantitative method with the questionnaire and documents in the collection of data. In the questionnaire "Patriarchal culture" as a variable X and "women's political participation" as a variable Y.
The results of the study with data processing using SPSS 22 software shows that the correlation coefficient r xy is negative (-0841) strong and significant with a sample of 270 people, this means that if an increase of the patriarchal culture, there will be a decline of the political participation of women and vice versa. In regression hypothesis testing, T test and F test showed that the sig. 0.000 ≤ 0.1. Thus, reject H0 and accept Ha who expressed a significant Influencebetween a patriarchal culture variables (X) of the Political Participation of Women in Nias. Then results of coefficient determinant (r2) was 70.7%. it’s mean patriarchal culture affect women's participation and the rest, 29.3% are influenced by other factors.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh
laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk
mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya.Hubungan patriarki tidak hanya
terjadi dalam lingkup kekerabatan saja, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan
manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan keagamaan, bahkan
seksualitas.Akibatnya, kaum perempuan selalu berada di bawah kuasa kaum
laki-laki dalam pembuatan keputusan publik.
Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki
dikontrol oleh laki-laki.Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam
masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum
dalam masyarakat.Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi
tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan.Sehingga dalam
keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau
inferior.Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik
seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral.Sementara itu, peran
laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah.Dari
berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut membuat mereka
dunia laki-laki.Apabila perempuan masuk kepanggung politik kerap dianggap
sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia
yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.1
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi
keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif
sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik,
pengambil keputusan, dan penyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih
jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.Sejak reformasi tahun 1999,
jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan. Pada
tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004
jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32%.2
1
Romany Sihite. 2007. Perempuan, Kesetaraan, keadilan : Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal.158.
Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah signifikan
Peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik
selama ini masih dirasa kurang. Untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk
mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal
30% bagi perempuan di parlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.Yaitu Pasal 8 ayat 2 e “ menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan padakepengurusan
2
Dina Martiany, SH, MSi. 2014.Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia
partai politik tingkat pusat” Kemudian Pasal 55 “Daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh
persen)keterwakilan perempuan.”3Namun Jika kita lihat pada pemilihan umum
legislatif terakhir pada 09 April 2014 hasilnya masih belum menunjukan
perubahan yang signifikan. Bahkan tidak mencapai kuota 30% sebagaimana
tercermin pada Gambar 1.1 dan 1.2 dibawah ini.
Gambar 1.1
Komposisi Anggota DPR RI 2014-2019 Berdasarkan Jenis Kelamin4
Dari tabel tersebut, PDI-P menjadi partai yang paling banyak
menempatkan anggota dewan perempuan dengan jumlah 21 orang.Sementara
yang paling sedikit adalah PKS hanya memiliki satu orang anggota dewan
perempuan.
3
Undang-undang No. 8 Tahun 2012 pasal 8 dan 53.
Gambar 1.2
Persentase Anggota DPR RI 2014-2019 dari Tiap Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin.5
Gambaran partisipasi politik perempuan diatas memperlihatkan bahwa
secara formal adanya minoritas yang cukup besar untuk perempuan berpatisipasi
aktif dalam politik yang legal.Menurut Harmona daulaybila di telusurikendala
yang dapat dijelaskan dari kondisi ini adalahPertama, sistem negara yang
patriarki. Kedua, Sistem politik yang sangat patriarkhis dan sangat identik dengan
nilai maskulin.Ketiga, Berlanjut pada partai politik yang hanya melihat
Tabel di atas menunjukkan, bahwa tidak ada satu pun partai politik yang
memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di parlemen seperti yang
diharapkan (menyentuh garis biru) atau mencapai 30%. Yang paling tinggi adalah
PPP dengan 25,6% kursi, lalu diikuti dengan Partai Demokrat dan PKB dengan
21,3% kursi. Sedangkan yang paling rendah adalah PKS dengan hanya 2,5%
kursi.
5
perempuan sebagai pengumbul suara.Keempat, Sistem sosial budaya yang sangat
seksis, misalnya perempuan tertinggal dalam pendidikan, lemahnya persiapan
mental untuk berkompetisi, diskriminasi, stereotip sosial dan marginalisasi di
partai dan institusi lainnya.6
Perempuan harus sadar bahwa ketika mereka tidak peduli kepada politik
mereka telah menggantungkan hidup mereka pada keputusan Negara yang sangat
bias gender karena diputuskan total oleh laki-laki atau oleh perempuan yang
belum sensitif gender. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama
pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada.Asumsi pentingnya
perempuan berpatisipasi dalam politik maka kaum perempuan sendiri memang Undang-undangpemilu yang disahkan tentang kuota 30% perempuan telah
memberikan pencerahan terhadap partisipasi politik perempuan dalam legislatif.
Namun kerja keras dalam mendongkrat kualitas perempuan untuk tampil di
politik,untuk bisa mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan partai serta
untuk merubah paradigma politik Indonesia yang syarat dengan ukuran laki-laki
bukanlah pekerjaan yang sederhana. Kuota yang diberikan bukan menjadi sisi
yang membuat politisi laki-laki terpaksa memberikan ruang untuk perempuan atau
disiasati dengan memilih perempuan yang gampang diatur dan tetap pada isu
mengangkat perempuan karena unsur kasihan dan unsur kuantitas yang besar yang
wajib didengar aspirasinya sebagai pengumpul suara.
6
harus berjuang untuk bisa melawan pada kondisi, sistem sosial masyarakat, sistem
politik, sistem negara dan partai politik yang sangat kental nilai
patriarki.7
Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi
dalam politik, yaitu :Pertama, Perempuan memiliki pengalaman khusus yang
dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi,
kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual
dan lain-lain.Kedua, Partisipasi perempuan diharapkan bisa mencegah kondisi
yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotip
terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan
kerja,marginalisasi di dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada
perempuan.Ketiga, Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik
dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan
perdamaian.
Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan
pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik
sangatlah diperlukan.
8
Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan
kehidupan budaya yang patriarki. Dalam adat Nias, terikat kuatoleh adanya
sistem kekerabatan yang seringdisebut dengan marga.Marga adalah sebuahsilsilah
keluarga yang menjadi identitas suku Nias sejak lahir. Dalam suatu keluargasetiap
7
Ibid. hal.31-32. 8
anak akan mengikuti marga dari ayahyang diperoleh sang ayah dari
leluhur-leluhursebelumnya.Marga merupakan identitas penting bagi masyarakat
Nias.Dengan adanya marga maka suku Nias dapatmengetahui hubungan
kekerabatan dan statuskekerabatan mereka.Hal inilah yang menjadiawal
pembentukan budaya patriarki dalamsuku Nias.Dimulai dari pengambilan garis
keturunan ayah atau marga ayah yang akan menjadi marga anak, pembagian harta
dan sampai pada adat istiadat pernikahan.
Contoh lainya Budaya patriarki Nias adalah membuat semua pesta yang
dilaksanakan selalu dalam konteks kebutuhan kaum laki-laki.Puncak dari semua
pesta yang harus ditunaikan oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta
terbesarnya.Meskipun pelakunya harus menanggung resiko ekonomi yang serius,
demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial pelaksanaan Owasa
tersebut sangat berdampak pada pelapisan sosial seorang laki-laki yang akan
menikah.Oleh karena itu peran dominasi laki-laki sangat tampak dan didukung
oleh budaya patriarki masyarakat yang semakin membuat peran perempuan
menjadi minoritas dan terkurung dalam peran domestik, mengurus anak dan
dapur.Urusan politik, hubungan dengan masyarakat diserahkan kepada laki-laki.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum tentang penetapan
nama-nama anggota DPRD terpilih untuk periode 2014-2019, terdapat 25 anggota
DPRD yang lolos sebagai pemenang pada pemilihan umum legislatif pada 9 april
medapatkan kursi, tidak seorang pun yang mewakili kaum perempuan semuanya
di dominasi laki-laki atau dengan kata lain 100% anggota DPRD terpilih
kabupaten nias adalah laki-laki. Tidak jauh berbeda pada pemilihan umum tahun
2009 silam yang hasilnya hanya 2 orang perempuan yang berhasil duduk di kursi
legislatif dari 40 orang yang lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menunjukan
bahwa minoritas kaum perempuan di DPRD kabupaten Nias tidak hanya terjadi
pada pemilihan umum tahun 2014 melainkan juga pada pemilihan umum tahun
2009 silam. Padahal Jika dibandingkan berdasarkan berita acara Nomor
156/BA/VI/2014 tentang rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) di kabupaten nias
maka di peroleh hasil DPT perempuan di kabupaten nias sebanyak 47.222 dan
DPT laki-laki adalah 42.759 yang tersebar dalam 10 kecamatan.9
9
KPU Kabupaten Nias.2014. Berita Acara nomor 156/BA/VI/2014 Tentang Rapat pleno rekapitulasi
penentapan daftar pemilih tetap (DPT) 2014.
Dari data
tersebut menunjukan bahwa pemilih perempuan di kabupaten nias sebenarnya
lebih banyak dari pada pemilih laki-laki, namun ironisnya tidak satupun dari calon
legislatif perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten
Nias.Dengan pemilih perempuan yang lebih dominan dari laki-laki seyogianya
sudah mampu untuk menempatkan wakil-wakil perempuan untuk duduk dalam
jajaran pembuat keputusan atau anggota legislatif.Hal inilah yang menjadi
ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh budaya
terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan
umum legislatif tahun 2014.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan
pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana
memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan.Berdasarkan pemaparan
pada bagian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu, Bagaimana pengaruh budaya patriarki di kabupaten Nias
terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan
umum tahun 2014?
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam
batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk
mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian
tersebut.Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan
tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah.
Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Budaya patriarki yang berkembang dalam hubungan
2. Bagaimana Pengaruh Budaya patriarki terhadap Partisipasi Politik perempuan
di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengeksplorasi budaya patriarki yang berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat di kabupaten nias.
2. Untuk menganalisis pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik
perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan legislatif tahun 2014
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
• Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat
memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap
partisipasi politik.
• Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang
pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD
kabupaten Nias. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu
• Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat
kabupaten Niassecara khusus dalam memahami pengaruh budaya patriarki
terhadap keterwakilan politik perempuan.
F. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian, teori-teori merupakan alat atau “tool”untuk
menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Teori-teori yang digunakan harus
mampu untuk menjelaskan gejala-gejala yang terjadi dalam sebuah peristiwa
dalam hal ini adalah peristiwa politik. Menurut Miriam Budiardjo, teori adalah
bahasan dan renungan atas tujuan kegiatan, cara-cara mencapai tujuan,
kemungkinan-kemungkinan atau prediksi dan kewajiban yang diakibatkan oleh
tujuan.10
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin
negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah (Public Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberi
suara dalam pemelihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (
contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen,
menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan
sebagainya.
F.1Partisipasi Politik
11
10
Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hal. 30. 11
Ibid. hal. 367.
keterlibatan secara aktif (the active angagement) dari individu atau kelompok ke
dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan. 12
• Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan
output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul
mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang
berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan
untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan
lain-lain.
F.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai
berikut :
• Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output,
dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan
melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
• Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem
politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan.
Michael Rush dan Philip Althoffmengidentifikasi bentuk-bentuk
partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi
politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau
12
administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik
adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas
politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka
semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan
oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik, dimana garis vertikal segitiga
menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari
keterlibatan orang-orang.13
Menduduki jabatan politik atau administrasi.
Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah:
Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi Politik
Mencari jabatan politik atau administrasi,
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik,
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu
politik(quasi political),
Keanggotaan pasif suatu organisasi semu
politik (quasi political),
Partisipasi dalam rapat umum
Ikut serta dalam diskusi politik informal minat
umum dalam politik
Voting (pemberian suara),
Apati total
Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 185.
13
Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelsonjuga menemukan bentuk-bentuk
partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik
meliputi :
• Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk
kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi
seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil
proses pemilihan.
• Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
• Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat
dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah.
• Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
• Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap
orang-orang atau harta benda14
14
Gabriel A. Almondjugamembedakan partisipasi atas dua bentuk,
yaitu :
• Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang
“normal“ dalam demokrasi modern.
• Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik
yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.15
Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi
[image:30.595.111.514.437.662.2]dapat dilihat pada Gambar 1.4berikut :
Gambar 1.4
Bentuk Partisipasi Politik
Kovensional Tradisional
• Pemungutan suara
• Diskusi Politik
• Kegiatan Kampanye
• Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan
• Komunikasi Individual dengan pejabat politik dan administratif
• Pengajuan Petisi
• Demonstrasi
• Konfrontasi
• Mogok
• Tindak kekerasan politik terhadap benda (Perusakan,Pembakaran)
• Tindak kekerasan Politik terhadap Manusia(Penculikan, Pembunuhan
• Perang Gerilya dan Revolusi
Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal.189
15
F.1.2 Alasan Partisipasi Politik
Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi
politik yaitu:
• Alasan Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara
rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.
• Alasan emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau
sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.
• Alasan tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan
norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok
sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum
laki-laki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan
perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga
mempengaruhi pola partisipasi politik mereka.
• Alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi
untung rugi secara ekonomi. 16
F.2 Budaya Politik
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu.17
16
Op.cit. hal 193-198. 17
Gabriel A. Almond & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik. Jakarta: Bumi Aksara hal. 16.
sistem politik serta keterikatanya. Dalam hal ini, budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya terhadap individu didalam sistem politik.Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Objek Orientasi Politik dapat digolongkan dalam beberapa unsur. Pertama, adalah sistem politik secara umum. Kedua, adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik.Ketiga, adalah Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi yudikatif. Kemudian Pemegang jabatan dan kebijakan timbal balik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses administratif atau output politik.18
18
F.2.1 TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
F 2.1.1 Budaya Politik Parokial
Budaya Politik parokialmerupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
F.2.1.2 Budaya Politik Subjek
berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
F.2.1.3 Budaya Politik Partisipan
Masyarakat dalam budaya politik partisipanmengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.19
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu
Tipe budaya politik ini sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.Budaya ini merupakan peralihan dari budaya Parokial menuju budaya Subyek.
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
Tipe budaya ini sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi-orientasi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terus diorientasikan kea rah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif.
19
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Disejumlah negara ini pada umumnya buday politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan Persoalan yang muncul adalah sering kali terjadi ketimpangan antara struktur yang yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu satu hal yang harus ditanggulangi adalah upaya mengembangkan orientasi input dan output secara perlahan sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil, yang suatu ketika kearah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi.20
Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme,
adalah mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan
oleh Rober Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung
menyinggung kaum perempuan.Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat
adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama,
pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara
terus menerus mencari keseimbangan.(equilibrium) dan harmoni dalam
F.3 Teori Feminisme
F.3.1 Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme
20
menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena
konsensus. Pola yang nonnormatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal
tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan
diri untuk mencapai keseimbangan kembali.Bagi penganut teori ini masyarakat
berubah secara evolusioner.Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak
berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan.Oleh karena itu harmoni dan
integrasi dipandang sebagai fungsional bernilai tinggi dan harus ditegakan
sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini menolak setiap usaha yang
menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan hubungan antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat.Pengaruh fungsionalisme ini dapat kita lihat
pada pemikiran Feminisme Liberal.
• Feminisme Liberalis
Feminisme Liberal. Dalam lingkup sosial, kebebasan (freedom) dan
kesamaan (equlity) berakar dari rasionlitas dan pemisahan antara
dunia privat dan public yang didalamnya ada hak perempuan dan laki-laki
sehingga sisi pembedaan tidak ada. Perempuan pun adalah makhluk rasional,
maka kalaupun perempuan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal
beranggapan bahwa hal itu disebabkan kaum perempuan sendiri.Pemecahannya
adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam situasi dunia yang
penuh dengan persaingan bebas.Sebagian usaha ini dapat dilihat dari
pembangunan (Women in Development) dengan menyediakan “program
keterampilan “serta” kebijakan yang dapat meningkatkan kaum perempuan
sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan.
F.2.2 Paradigma Konflik dalam Feminisme
Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki
kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap
hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang
termasuk dalam paradigm konflik yaitu:
• Feminisme Radikal
Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi
sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an.Penganut aliran ini
muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang
terjadi pada waktu itu21
Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas
sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi,
kedua, Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem
kelas seks dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan.Konsep
patriarki menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki,
yang didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi
perempuan.Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam .
21
melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh
laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta
ideology patriarkinya.Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap
bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual,
adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.Lebih lanjut aliran
feminism radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideologi
penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki
kekuasaan superior dan privilege ekonomi.22
• Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan
biologis sebagai dasar pembedaan gender.Bagi kaum ini penindasan perempuan
adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx,
hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan
borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status
perempuannya.
Adapun Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, yang
menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh
perubahan teknologi, melainkan karna perubahan organisasi kekayaan.Oleh
karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka
mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi
menjadi bagian dari property belaka.Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.
22
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan
oleh berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang
kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi
oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan
istrinya. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh,
dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, Kaum perempuan
dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh
murah.Ketiga, Masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka
menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh
perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki.Rendahnya
upah buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat
bahwa perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya
permpuan dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme,
karena perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak
terbatas.Akibatnya, posisi tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus
mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital menjadi
semakin cepat.Sehingga banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu
musuh kapitalisme adalah feminisme.23
Oleh karena itu, menurut feminism marxis, penindasan perempuan
merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural.Aliran ini
23
menganggap sistem kapitalisme sebagai penyebab penindasan perempuan.Maka
emansipasi perempuan tejadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan
berhenti mengurus rumah tangga. Perubahan struktur kelas inilah yang disebut
sebagai revolusi
• Feminisme Sosialis
Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistik
Marx dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal).24
G. Hipotesis
Bagi
mereka penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta
menaikkan posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan
sebelumnya yang secara tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis
mutualisme) karena tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe
Marx). Oleh karena itu kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis
patriarki dan analisis kelas, dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas
dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai
kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan
marginalisasi atas kaum perempuan.
Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara atau tentative
answer yang hendak dibuktikan kebenaranya melalui suatu penelitian. Adapun
hipotesis dalam penelitian ini adalah :
24
• Adanya pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di
DPRD Kabupaten Nias tahun 2014
Maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikannya
yaitu:
Hipotesis Nol (Ho) : Pernyataan yang menyatakan tidak ada hubungan budaya
patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y)
yang akan diteliti, atau Variabel independen tidak mempengaruhi variable
dependen.
Hipotesis alternative (Ha) : Pernyataan yang menyatakan terdapat hubungan
antara budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di
DPRD (Variabel y) atau variabel independen mempengaruhi variabel dependen.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuantitatif.Penelitian kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan
pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial.Untuk dapat
melakukan pengukuran, setiap fenomena sosial di jabarkan kedalam beberapa
komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang di tentukan di
ukur dengan memberikan simbol-simbol angka yang berbeda- beda sesuai dengan
kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan
dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku
umum di dalam suatu parameter.
H.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian deskriptitif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
bertujuan untuk menjelaskan hal ihwal masalah atau objek tertentu secara
rinci.Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa
pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.25
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam suatu penelitian atau keseluruhan gejala/satuan yang
ingin di teliti.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Penduduk Perempuan
kabupaten Nias yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan data
daftar pemilih tetap dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nias tahun 2014,
maka jumlah DPT perempuan di kabupaten nias berjumlah 47.222 orang yang
tersebar di sepuluh kecamatan.
H.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Nias, yang
terdiri dari 10 kecamatan.
H.3 Populasi dan Sampel
25
H.4 Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian terkecil dari populasi yang menjadi contoh
ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi.Oleh karena itu,sampel harus
dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu
sendiri.Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode penarikan
sampel stratified random sampling atau metode acak terlapis, untuk menentukan
jumlah responden pada 10 kecamatan yang tersebar di kabupaten nias, kemudian
akan dilakukan teknik Quota samplinguntuk memilih sampel dari masing-masing
kecamatan, teknik sampel quota ini adalah teknik yang sama dengan stratified
random samplinghanya saja bedanya penarikan sampel secara yang
berartisampeldapat terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang
tepat, dalam arti siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat
digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui itu cocok sebagai
sumber data. 26
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya sampel,
dalam artikel ini akan dibahas cara menghitung besar sampel dengan metode yang
dikembangkan oleh Isaac danMichael.Metode yang dikembangkan oleh Isaac
dan Michael adalah cara untuk menentukan jumlah sampel yang memenuhi syarat
berikut:
26
(1) diketahui jumlah populasinya;
(2) pada taraf kesalahan (significance level) 1%, 5% dan 10%; dan
(3) cara ini khusus digunakan untuk sampel yang berdistribusi normal, sehingga
cara ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak berdistribusi normal,
seperti sampel yang homogen.
Cara menggunakan metode ini sangat praktis, cukup dengan mencocokkan jumlah
[image:45.595.128.510.393.659.2]populasi dengan taraf kesalahan (significance level) yang dikehendaki.27
Tabel 1.1
Penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu Dengan taraf kesalahan, 1, 5, dan 10 %
Sumber
20.00 wib.
Dikarenakan Jumlah populasinya adalah 47.222 maka sampel yang
diambil adalah sebanyak 270 orang ( dengan tingkat kesalahan sebesar 10% dan
tingkat kepercayaan adalah 90 %.)
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus table Isaac dan
Michael maka diperoleh sampel sebanyak 270 orang. Tetapi karena kabupaten
nias yang populasinya 47.222 orang terdiri dari 10 kecamatan , maka dilakukan
lagi penentuan jumlah sampel pada tiap-tiap kecamatan. Penentuan jumlah
sampel ini menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak
terlapis ini disebabkan populasi yang hendak diteliti bersifat heterogen atau
bervariasi. Dari jumlah tersebut , maka akan diperoleh jumlah responden dari
masing-masing kecamatan dengan menggunakan rumus:
������ 1 = �������� 1
�����ℎ�������� ������������
1. Kecamatan bawolato
������ 1 =
7868
47222� 270
=44.98 dibulatkan menjadi 50
2. Kecamatan Botomuzoi
������ 1 = 2987
47222� 270
3. Kecamatan Gido
������ 1 =
6876
47222� 270
= 39.31 dibulatkan menjadi 39
4. Kecamatan Hiliduho
������ 1 = 3249
47222� 270
= 18.57 dibulatkan menjadi 19
5. Kecamatan Hiliserangkai
������ 1 =
4727
47222� 270
= 27.02 dibulatkan menjadi 27
6. Kecamatan Idanogawo
������ 1 =
8822
47222� 270
= 50.44 dubulatkan menjadi 51
7. Kecamatan Ma’u
������ 1 = 3531
47222� 270
= 20.28 dibulatkan menjadi 20
8. Kecamatan Sogae’adu
������ 1 =
3580
47222� 270
9. Kecamatan Somolo-molo
������ 1 =
2118
47222� 270
= 12.16 dibulatkan menjadi 12
10. Kecamatan Ulugawo
������ 1 =
3464
47222� 270
= 19.80 dibulatkan menjadi 20
[image:48.595.113.516.353.680.2]Jumlah sampel tiap-tiap kecamatan dapat juga dilihat pada Tabel 1.2
Tabel 1.2
Jumlah Sampel Tiap Kecamatan
No Kecamatan Populasi Sampel
1 Bawolato 7868 50
2 Botomuzoi 2987 17
3 Gido 6876 39
4 Hiliduho 3249 19
5 Hiliserangkai 4727 27
6 Idanogawo 8822 51
7 Ma’u 3531 20
8 Sogaeadu 3580 20
9 Somolo-molo 2118 12
10 Ulugawo 3464 20
Total 47222 270
Setelah mendapatkan jumlah sampel tiap-tiap kecamatan dengan
menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis, maka
selanjutnya pemilihan sampel berdasarkan kuota hasil perhitungan, dengan
menggunakan teknik Quota Sampling atau sampel Quota. Teknik penarikan
sampel kuota merupakan teknik penarikan sampel yang sejenis dengan teknik
penarikan sampel stratifikasi. Perbedaannya adalah ketika menarik anggota
sampel dari masing-masing lapisan, tidak menggunakan cara acak melainkan
melalui cara aksidental. Sampel berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat.
H.5 Defenisi Konsep
Defenisi konsep merupakan proses yang digunakan untuk menunjukan
secara tepat tentang apa yang kita maksudkan bila kita menggunakan suatu istilah
tertentu. 28
Budaya Patriarki
Untuk mendapatkan batasan istilah yang jelas dari masing-masing konsep yang
diteliti, maka defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:
Secara umum patriarki dapat didefenisikan sebagai suatu sistem yang
bercirikan laki-laki (ayah).Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa untuk
menentukan dan mengambil keputusan. Ada yang meyakini bahwa budaya
patriarki sebagai suatu sistem yang bertingkat, yang telah dibentuk oleh suatu
28
kekuasaan yang mengontrol dan mondominasi pihak lain. Pihak lain ini adalah
kelompok miskin,lemah, rendah, tidak berdaya, juga lingkungan hidup dan
perempuan.29
Patriarki dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat
institusi-institusi seperti keluarga, sekolah, masyarkat, agama, tempat kerja hingga
kebijakan negara. Patriarki merupakan bentuk cara pandang yang umum dan
membudaya di masyarakat Indonesia, yang kemudian dikenal dengan istilah
ideologi atau budaya patriarki. Ideologi ini merupakan sebuah sistem yang
dikendalikan oleh laki-laki.Pemahaman atas laki-laki dan perempuan di sini,tidak
mengacu pada jenis kelamin namun lebih pada peran gender.Gender adalah
sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat
perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dan
berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan
sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak
bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain
mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender. Gender
berbeda dengan istilah seks.Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang
secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki.30
29
Nunuk P Murniati. 2004. Getar Gender. Magelang: Yayasan Indonesia Tera hal.80. 30
Mansour Fakih, 2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 71-72.
Implikasi dari patriarki tersebut menyebabkan beberapa manifestasi
• Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan, termanifertasi
dalam posisi subordinasi kaum perempuan dihadapan laki-laki. Subordinasi
ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan
keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlah penduduk dunia,
perempuan seimbang dengan penduduk laki-laki. Subordinasi tersebut tidak
saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat atau
di masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global.
• Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses
marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam
kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.
• Membentuk penandaan atau Stereotip terhadap kaum perempuan yang
berakibat pada penindasan terhadap mereka. Stereotip merupakan satu
bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang
memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi
kaum perempuan. Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga,
sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam
kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan
politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap bertentangan atau
tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sedangkan stereotip laki-laki
sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang di hasilkan oleh
• Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karena berperan ganda yaitu
mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.
• Melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik
secara fisik maupun mental.31
Partisipasi Politik Perempuan di DPRD
Partisipasi Politik politik perempuan di DPRD adalah ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, yang secara langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah.Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik adalah
faktor Rasional, emosional, tradisional,Rasional instrumental.
H.6 Defenisi Operasional
Defenisi operasional merupakan pengambaran prosedur untuk memasukan
unit-unit analisis kedalam kategori-kategori tertentu dari tiap-tiap variabel.32
a. Variabel Independen ( Budaya Patriarki) yaitu variabel yang sering juga
disebut sebagai variabel prediktor ialah ialah variabel yang mempengaruhi
variabel dependen baik secara positif maupun negatif. Budaya patriarki di
kabupaten Nias dilihat dari sistem adat dan pola hidup masyarakat
kabupaten Nias.
.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang diteliti yaitu:
31
Ibid. hal.147-151. 32
Implikasi dari Budaya patriarki sebagai variabel independen yaitu :
• Subordinasi perempuan. Subordinasi ini berkaitan dengan politik
terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan
pengendalian kekuasaan.
• Marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi
dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan.
• Membentuk Stereotip. Stereotip merupakan satu bentuk penindasan
ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokan kaum
perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum
perempuan. Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga,
sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam
kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti
kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap
bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan.
• Peran ganda. Budaya patriarki Membuat kaum perempuan bekerja
lebih keras karna mempunyai peran ganda yaitu mengurusi pekerjaan
rumah dan pekerjaan nya di luar rumah.
• Melahirkan kekerasan. kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum
perempuan baik secara fisik maupun mental sangat didukung dan
dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menjadikan laki-laki dalam
b. Variabel dependen ( Partisipasi politik perempuan di DPRD) yaitu
variabel yang sering juga disebut variabel kriteria ( criterion variable)
adalah variabel yang nilai atau valuenya dipengaruhi oleh nilai variabel
lain.33
Partisipasi politik perempuan di DPRD sebagai variabel dependen
dipengaruhi oleh:
• Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara
rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.
• Emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau
sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.
• Tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma
tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial.
Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya ka