EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria) TERHADAP GAMBARAN
KLINIS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) PADA PROSES
PEMBENTUKAN TUMOR MAMMARY YANG DIINDUKSI
DENGAN METIL-N-NITROSOUREA
DATA PUTRA S
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
DATA PUTRA S. B04050439. The Effect of Ethanol Extract of Curcuma Zedoaria Rhizome on Clinical Signs in Rabbit during the formed process of Mammary Neoplasm which Induced by Methyl-N-Nitrosourea. Under
Recommendation ofGUNANTIand RINI MADYASTUTI.
The aim of this research was to determine the effect of ethanol extract Curcuma zedoaria on clinical signs in rabbit (Oryctolagus cuniculus) during the formed process of mammary neoplasm which induced by Methyl-N-Nitrosourea. Nine rabbits were divided into three groups. First group was untreated which used as control group and also not Induced by Methyl-N-Nitrosourea, the second group was positive control which induced by Methyl-N-Nitrosourea 50 mikrogram/kg BW and gave curcumin 60 mg/kg BW treatment, the third group was induced by Methyl-N-Nitrosourea and treated with extract ethanol of Curcuma zedoaria rhizome 250 mg/kg BW each rabbit. The result showed that extract ethanol can keep the body temperature 39.23±0.59, heart rate 133±8.22 still in normal range in rabbit which induced by Methyl-N-Nitrosourea and given extract ethanol of Curcuma zedoaria rhizome and curcumin
ABSTRAK
DATA PUTRA S. B04050439. Efek Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoariae) Terhadap Gambaran Klinis (Oryctolagus cuniculus) Kelinci Pada proses Pembentukan Tumor Mammary yang Diinduki dengan Metil-N-Nitrosourea. Dibawah bimbingan GUNANTI dan RINI MADYASTUTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak etanol temu putih (Curcuma zedoaria) terhadap gambaran klinis kelinci (Oryctolagus cuniculus) pada proses pembentukkan tumor mammary yang diinduksi dengan Methyl-N-Nitrosourea. Sebanyak 9 ekor kelinci dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok pertama sebagai kontrol normal yang tidak mendapatkan perlakuan apapun, kelompok kedua sebagai kontrol positif yang mendapatkan perlakuan induksi dengan Metil-N-Nitrosourea dengan dosis 50 mikrogram/ kg BB dan curcumin selama proses induksi dilakukan dengan dosis 60 mg/kg BB,kelompok ketiga sebagai kelompok perlakuan yang diinduksi dengan karsinogen Methyl-N-nitrosourea dengan dosis 50 mikrogram/kg BB, dan diberikan ekstrak etanol temu putih dengan dosis 250mg/kg BB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak temu putih mampu mempertahankan temperatur tubuh 39.23±0.59, frekuensi jantung 133±8.22 dalam selang interval normal pada kelinci yang diinduksi dengan Metil-N-Nitrosourea dan diberikan curcumin dan ekstrak etanol rimpang temu putih
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG
TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria) TERHADAP GAMBARAN
KLINIS KELINCI (Oryctolagus cuniculus) PADA PROSES
PEMBENTUKAN TUMOR MAMMARY YANG DIINDUKSI
DENGAN METIL-N-NITROSOUREA
DATA PUTRA S
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir :Efek Pemberian Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria) terhadap Gambaran Klinis Kelinci (Oryctolagus cuniculus) pada Proses Pembentukan Tumor Mammary yang Diinduksi dengan Metil-N-Nitrosourea
Bentuk Tugas Akhir :Penelitian
Nama Mahasiswa :Data Putra S
NIM :B04050439
Disetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. drh. Hj. Gunanti, MS Rini Madyastuti, S.Si, A.pt NIP : 19620102 198703 2 002 NIP : 19780608 200604 2 001
Diketahui
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini NIP :19621205 198703 2 001
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan dan Juru Selamatku,
Jesus Kristus untuk segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai langkah kecil untuk menuju sebuah cita.
Proses penyusunan skripsi ini merupakan proses yang cukup panjang yang
tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS dan Rini Madyastuti Purwono, S.Si, Apt selaku
pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik dan
kesabarannya dalam membimbing penulis,
2. Dr.drh. Deni Noviana, drh. Novelina Savitri, M.Si dan Ir. Etih Sudarnika, M.Si
selaku dosen penilai yang telah memberikan saran, kritikan yang membangun
maupun masukan-masukan yang dapat membuat skripsi ini menjadi lebih baik,
3. Prof. drh. Bambang Pontjo, MS, PhD selaku dosen pembimbing akademik,
4. Seluruh staf laboratorium bedah dan Radiologi Departemen KRP FKH IPB (drh.
Ulum, drh Riki, Pak Katim dan Pak Taryono),
5. Rekan-rekan sepenelitian (Beta, Eva, dan Sarah) atas kerjasama, semangat, dan
kebersamaan selama penelitian ini dan sampai gelar sarjana kita peroleh,
6. Keluarga tercinta (alm Ayahanda, Ibunda, Bang Riahdo, Kak Tina, Adikku Ipan
Yose) atas segala dukungan, doa, perhatian, dan kasih sayang yang sangat besar,
7. Seseorang spesial di Medan (Elsa) makasih ya untuk melengkapi hari-hariku dan
menjadi tempat aku berbagi, semoga langkah kita di restui sampe akhir oleh Bapa,
8. Saudara-saudaraku YoNM 42 (Buyung, Desli, Dita, Ida, Leni, Margie, Niken,
Novi, Pola, Vera) dan adik-adikku YoNM 43, 44 dan 45 yang tidak bisa
kusebutkan satu-persatu,
9. Sahabat-sahabat terbaik (David, Ayu, Viktor, Dedi, Arifin, Dewi, Hesty, Amek,
Didik, Putra) terima kasih untuk semangat dan inspirasinya, kalian akan selalu ada
di hatiku. Semoga kesuksesan menjadi milik kita bersama,
10. Karona crew ( Olivier, Ucok, Ajang, Pak Mudi, Mas Agus dan istri, Tison,
Yoseph, Sigit, Divo, Ozo, Hari, Yuda) untuk kebersamaan selama di kosan baik
11. Sahabat-sahabatku di Greenpeace University Program (Lalit, Mona, Hani,
Bestson, dan Dadi) untuk kebersamaan kita selama 3 bulan mengikuti pelatihan,
dukungan dan semangat dari kalian. Semoga mimpi kita untuk menjadi agent of
change akan terwujud,
12. Crew of International Development for Indonesia Peter, terima kasih yang sangat
besar untuk perhatian dalam setiap waktu, sehingga saya dapat menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan,
13. Teman-teman terbaik selama di menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran
Hewan (Bidut, Burung, Iwied, Mieke, Reky, Lince, Mizwar, Rista, Rezi),
14. Teman-teman Goblet 42 yang tetap kompak dan saling mendukung untuk
menyukseskan seminar masing-masing. Semoga kita menjadi pelangi yang
menambah keindahan dunia.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi
ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap tulisan ini dapat member
manfaat sebagai sumber informasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Februari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karang Anyar pada tanggal 30 Juni 1987 dari ayah
Jhoni Set Depani S dan Ibu Sarliana Purba. Penulis merupakan putra ketiga dari
tiga bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMA negeri 1 Lubuk Pakam dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Penelusuran Minat dan kemampuan
(PMDK), setelah setahun melalui tingkat persiapan bersama di IPB, Penulis
memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan pada
tahun 2006.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif Menjadi Anggota Himpunan
Profesi Hewan Kesayangan dan Akuatik (HKSA) 2007-2009, Koordinator
Persekutuan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Koordinator Pengembangan
Masyarakat Youth of Nation Ministry 2007-2008, Anggota Paduan Suara Gita
Klinika FKH IPB, Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan IPB 2006-2007,
Panitia AZWMC ( Asia Zoo wildlife and Medicine Conservation) 2008,
Fasilitator Lingkungan RMI (The Indonesian Institute of Forest and Environment)
2008-2009. Penulis juga menerima beberapa beasiswa dari Dice Brucke, Germany
Association 2006-2007, Yayasan Karya Salemba 4 2008-2010, dan Aktif di
beberapa pelatihan yang dilakukan oleh LSM-LSM lokal dan Internasional,
seperti : Greenpeace University southeast Asia Program, pelatihan Fasilitator
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
ABSTRAK ... ... v
RIWAYAT HIDUP ... .. vi
PRAKATA ... . vii
I. PENDAHULUAN .. ... 1
1.1. Latar Belakang ... 2
1.2. Tujuan ... 3
1.3. Manfaat... .. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Curcumin ... 42.2. Temu putih ... 4
2.2.1. Deskripsi Tanaman ... 5
2.2.2. Komposisi dan Kandungan Kimia ... 6
2.3. Kelinci ... 7
2.3.1. Sejarah ... 7
2.3.2. Klasifikasi ... 7
2.3.3. Temperatur Tubuh ... 8
2.3.4. Sistem Kardiovaskular ... 9
2.3.5. Sistem Pernafasan ... 10
2.3.5.1. Saluran Pernafasan Atas ... 10
2.3.5.2. Saluran pernafasan Bawah ... 10
2.4. Karsinogen Metil-N-Nitrosourea ... 11
2.5. Tumor ... 12
2.5.1. Definisi Tumor ... 12
2.5.3. Penggolongan dan Transformasi Tumor ... 13
2.6. Tumor Mammary ... 15
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat ... 17
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 17
3.2.1. Bahan ... 17
3.2.2. Alat ... 17
3.3. Metode ... 17
3.3.1. Persiapan Kandang Pemeliharaan ... 17
3.3.2. Pembuatan Ekstrak Etanol Temu putih ... 18
3.3.3. Rancangan Penelitian ... 18
3.3.4. Induksi Metil-N-Nirosourea Intramammary ... 19
3.3.5. Pemberian Ekstrak Etanol dan Curcumin ... 19
3.4. Peubah yang Diamati ... 20
3.5. Analisis Data ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh terhadap Temperatur Tubuh ... 214.2. Pengaruh terhadap Frekuensi Nafas ... 23
4.3. Pengaruh terhadap Frekuensi Jantung ... 24
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
... 28
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rataan Nilai Temperatur Tubuh ... 21
Tabel 2. Rataan Nilai Frekuensi Nafas ... 23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Temu Putih ... 5
Gambar 2. Kelinci ... 8
Gambar 3. Struktur Metil-N-Nitrosourea ... 12
Gambar 4. Grafik Temperatur Tubuh ... 21
Gambar 5. Grafik Frekuensi Nafas ... 24
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber biodiversitas
tanaman obat yang besar memicu timbulnya pemikiran untuk meneliti tanaman
obat yang ada sebagai bahan yang secara aktif untuk menghambat atau membunuh
sel kanker di dalam tubuh. Di hutan tropika Indonesia, tumbuh sekitar 30.000
spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3.689 spesies diantaranya
merupakan tanaman obat (Esram 2004). Menurut Ditjen POM, baru sebanyak 283 spesies tanaman obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional
(Djauhariya & Hernani 2004). Salah satu tanaman obat yang sering digunakan
adalah tanaman Temu putih. Temu Putih (Curcuma zedoaria) di Cina, telah lama
digunakan dalam terapi kanker rahim. Kandungan aktif Temu Putih seperti tannin
dan flavonoid diduga berkhasiat antitumor (Anonima 2009). Menurut hasil penelitian American Institute Cancer Report, temu putih mengandung RIP
(Ribosome Inacting Protein), zat antioksidan dan antikurkumin. RIP berkhasiat
menonaktifkan pertumbuhan sel kanker, meluruhkan sel kanker tanpa merusak
jaringan disekitarnya dan memblokir pertumbuhannya. Zat antioksidan berfungsi
mencegah kerusakan gen, sementara zat kurkumin berkhasiat sebagai antiradang
(Anonimb 2009).
Lingkungan, genetik, dan pola hidup merupakan faktor yang saling
mempengaruhi tingkat kejadian kanker payudara pada wanita. Kejadian penyakit
kanker payudara sendiri sulit diketahui pada tahap awal timbulnya penyakit.
Kanker payudara dimulai pada jaringan payudara yang tersusun dari
kelenjar-kelenjar untuk memproduksi susu, yang dikenal dengan istilah lobulus.
Lobulus-lobulus ini dihubungkan melalui saluran-saluran hingga ke puting susu. Umumnya
tumor yang terjadi pada payudara bersifat jinak, sehingga tidak semuanya
menimbulkan kanker. Sel-sel kanker tumbuh secara abnormal tetapi tidak
menyebar seperti kanker dan tidak terlalu mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Beberapa kanker bersifat ganas dan bersifat in situ. Kanker
payudara yang bersifat in situ mempunyai batasan yang jelas dengan
carcinoma in situ) dari payudara. Umumunya jenis kanker ini tidak berkembang
menjadi tumor yang bersifat invasif dan pada awal kejadiannya masih dapat
disembuhkan. Ahli bidang kanker mengatakan jenis karsinoma payudara yang
bersifat in situ bukan merupakan jenis kanker seutuhnya, tetapi sebagai tanda
terjadinya peningkatan risiko terjadinya kanker payudara (Shelley et al. 2006).
Beberapa jenis kanker lainnya bersifat invasif dan infiltrasi jenis kanker ini
dimulai dari lobulus atau duktus yang menyebabkan rusaknya struktur dari
lobulus atau duktus pada payudara. Kejadian penyakit ini hampir terjadi di setiap
bagian dunia, dengan tingkat kematian yang beragam dari 0,2% hingga 27% di
Negara maju dan 1500 kejadian pada laki-laki, sekitar 400 orang mengalami
kematian dengan tingkat persentasi 1% ( Smigal et al. 2006)
Berdasarkan data perkembangan penyakit kanker, dapat diketahui bahwa
penyakit kanker merupakan penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus,
karena tingkat kematian yang ditimbulkan cukup tinggi. Pengobatan definitif
untuk melawan kanker sampai saat ini belum ada. Terapi untuk kanker belum
memiliki metode yang pasti seperti halnya untuk pengobatan penyakit infeksius.
Tindakan pengobatan telah dilakukan dan pada banyak kasus berhasil menekan
kanker secara temporer. Namun pada akhirnya seluruh penderita kanker berakhir
dengan kematian (Imaizumi 1982).
Ada beberapa pengobatan antitumor yang dapat dipilih, diantaranya
dengan tindakan pembedahan, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi dan terapi
hormonal. Saat ini, kemoterapi merupakan pendekatan terapi yang paling efektif
karena bersifat sistemik (Suwarni 2000). Hasil yang diberikan adalah dapat
meringankan gejala penyakit, memperpanjang hidup, bahkan menyembuhkan
(Theilen & Madewell 1987). Kendala pengobatan kanker dengan kemoterapi,
yaitu menyebabkan imunosupresi yang mengarah kepada resiko terjadinya infeksi
sekunder maupun menjadi faktor predisposisi meningkatnya keganasan tumor.
Hal ini disebabkan obat-obatan yang digunakan untuk kemoterapi memiliki efek
sitosidal sehingga tidak hanya merusak sel tumor saja namun juga sel-sel normal
lainnya (Suwarni 2000).
Hal inilah yang mendasari upaya manusia menemukan pengobatan
farmasetik modern menjadi elemen yang krusial. Potensi penggunaan produk
alam sebagai agen antitumor pertama kali ditemukan pada sekitar tahun 1950 oleh
U.S. National Cancer Institute (NCI) dibawah kepemimpinan Dr. Jonathan
Hartwell (Cragg et al. 2005). Salah satu produk alam berasal dari tumbuhan.
Beragam jenis tumbuhan dan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya
berkolerasi positif dengan khasiat yang dimilikinya.
Penelitian dengan hewan model saat ini merupakan salah satu cara untuk
mengetahui efek pemberian tanaman obat. Dengan harapan dapat diketahui
keamanan penggunaannya terhadap gambaran klinis pada proses pembentukan
tumor ataupun mengobati perkembangan tumor. Kelinci merupakan salah satu
hewan coba yang baik digunakan untuk penelitian proses pembentukan tumor dan
mengetahui keamanan didalam penggunaannya. Kelinci digunakan dalam
penelitian tumor mammary karena ukuran kelenjar mammary yang relatif besar
sehingga lebih muda diamati perkembangannya.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efek pemberian
ekstrak etanol Temu putih dan Curcumin terhadap gambaran klinis kelinci pada
proses pembentukan tumor mammary yang diinduksi dengan
Metil-N-Nitrosourea.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah
tentang efek pemberian ekstrak etanol rimpang temu putih didalam
mempertahankan gambaran klinis dalam keadaan normal.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Curcumin
Curcumin pertama kali diisolasi pada tahun 1815. Diperoleh dalam bentuk
kristal pada tahun 1870 (Vogel dan Pelletier 2006), dan diidentifikasi sebagai
1,6-Hepatadiene-3,5-dione-1,7-bis (4-hidroksi-3-metoksipenil-(1E,6E) atau
sebagai hasil penelitian secara sintetis oleh Lampe (Lampe 1910; Lampe &
Milobedzka 1913). Curcumin merupakan serbuk berwarna kuning yang bersifat
tidak larut dalam air dan ether, tetapi larut dalam etanol, dimetilsulfokside, dan
aseton. Curcumin memiliki titik cair pada 1830C, struktur molekular curcumin yaitu C21H20O6 dengan berat molekul 368,37 g/ mol (Aggarwal 2006).
Curcumin (Curcumin I) secara alami terbentuk di dalam rimpang
Curcuma longa, yang dibiakkan secara komersial dan dijual dengan nama dagang
Turmeric®, sebagai bahan celup berwarna kuning. Turmeric mengandung
curcumin yang berikatan dengan bahan kimia lain yang dikenal sebagai
curcuminoid (Srinivasan 1952). Curcuminoid dalam jumlah besar terkandung di
dalam Turmeric adalah Demethoxycurcumin (Curcumin II),
Bisdemethoxycurcumin (Curcumin III), dan saat ini diidentifikasi sebagai
Cyclocurcumin III (Kiuchi et al. 1993). Curcumin yang dijual secara komersil
mengandung curcumin I (sekitar 77%), Curcumin II (sekitar 17%), dan Curcumin
III (sekitar 3%) sebagai komponen utama. Kompleks curcumin juga dikenal
sebagai Indian saffronR, kunyit kuning, akar kuning, kacha haldi, ukon, warna kuning alami-3 (Aggarwal 2006).
2.2 Temu putih (Curcuma zedoaria)
Temu putih dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia seperti Jawa
Barat, Jawa tengah, Sumatera hingga Papua.
Tanaman ini juga banyak dibudidayakan di India, Banglades, Cina,
Madagaskar, Filipina, dan Malaysia. Di Indonesia sendiri Temu putih dikenal
dengan berbagai nama yaitu Koneng bodas (Sunda), Kunir putih (Jawa) (Syukur&
Hernani 2002)
Temu putih adalah salah satu tanaman obat-obatan dan merupakan
tanaman khas dari Indonesia yaitu temu putih (Curcuma zedoaria). Menurut
Dalimartha(2005), Temu putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatopita
Subdivisi : Angiospermae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma zedoaria
Gambar 1 Tanaman Temu putih
(http://ntsavanna.files.wordpress.com/2008/04/5-foliage.jpg)
2.2.1. Deskripsi tanaman
Temu putih (Curcuma zedoaria) merupakan sejenis tanaman obat.
Tanaman ini tersusun dari rimpang, daun, batang semu, dan bunga (Dalimartha
2003). Karakteristik temu putih adalah daun tunggal, pelepah daun membentuk batang semu, berwarna hijau coklat tua, helaian 2-9 buah, bentuk memanjang
lanset 2,5 kali lebar yang terlebar, ujung runcing-meruncing, berambut tidak
nyata, hijau dengan bercak coklat ungu di tulang daun pangkal, 43-80 cm atau
lebih. Bunga majemuk susunan bulir, di ketiak rimpang primer, tangkai berambut.
Daun pelindung berjumlah banyak, ukuran spatha dan brachtea rata-rata 3-8 x
l,5-3,5 cm (Dalimartha 2003). Panjang kelopak sekitar 3-4 cm, berwarna putih atau kekuningan, bagian tengah merah atau coklat kemerahan. Tinggi rata-rata
mahkota sekitar 4,5 cm dan mempunyai warna putih kemerahan. Tepi bunga
berwarna kuning atau kuning jeruk, dengan panjang 14-18 x 14-20 mm. Benang
sari satu buah, tidak sempuma, bulat telur terbalik, kuning terang, ukuran
panjangnya berkisar antara 12-16 x 10-115 mm, tangkai 3,5 x 2-4 mm, kepala sari
berwarna putih dengan panjang 6 mm. Waktu berbunga di mulai bulan Agustus -
Mei. Tanaman ini tumbuh di daerah tropis dengan ketinggian 750 m di atas
permukaan laut (Anonimb 2009).
Bagian rimpangnya dari tanaman ini dimanfaatkan sebagai campuran obat
karena khasiatnya bermacam-macam. Rimpang Temu putih sering digunakan
sebagai obat untuk gangguan fungsi pencernaan, seperti : perut kembung dan
gangguan lain pada saluran pencernaan serta sebagai obat pembersih dan penguat
(tonik) sesudah nifas dan juga dapat digunakan sebagai obat kudis, radang kulit,
pencuci darah (Dalimartha 2005).
2.2.2 Komposisi dan kandungan kimia
Kandungan kimia rimpang Temu putih (Curcuma zedoaria) terdiri dari:
kurkuminoid (diarilheptanoid), minyak atsiri, dan polisakarida. Diarilheptanoid
yang telah diketahui meliputi: kurkumin, demetoksikurkumin,
bisdemetoksikurkumin dan 1,7 bis (4-hidroksifenil)-1,4,6-heptatrien-3-on
(Windono 2002). Minyak atsiri berupa cairan kental kuning emas mengandung:
Monoterpen dan Sesquiterpen. Monoterpen Curcuma zedoaria terdiri dari:
monoterpen hidrokarbon (alfa pinen, D-kamfen), monoterpen alkohol (
D-borneol), monoterpen keton (D-kamfer), monoterpen oksida (Sineol).
Sesquiterpen dalam Curcuma zoedaria terdiri dari berbagai golongan dan
berdasarkan penggolongan yang dilakukan terdiri dari: golongan bisbolen, elema,
germakran, eudesman, guaian, dan golongan spironolakton. Kandungan lain
meliputi: etil-p-metoksisinamat, 3,7-dimetilindan-5-asam karboksilat (Windono
2.3 Kelinci (Oryctolagus cuniculus) 2.3.1 Sejarah
Kelinci telah diperkenalkan ke masyarakat Eropa lebih dari 200 tahun
yang lalu oleh orang romawi (O’Malley 2005). Kelinci merupakan hewan yang berasal dari Iberian Peninsula. Proses domestikasi kelinci sudah dimulai sejak
abad ke-17 sebagi hewan permainan oleh bangsawan dan menjadi popular
sebagai sumber makanan pada era industrialisasi (Batchelor 1999 diacu oleh
O’Malley 2005). Di Inggris, kelinci mulai dikenal sebagai hewan peliharaan pada
masa Victorian dan merupakan hewan peliharaan paling popular pada masa
sekarang. Selama lebih dari berabad-abad kelinci telah dikenal sebagai hewan
peliharaan, sumber protein, pakaian dan juga sebagai hewan model penelitian
(Meredith & Crossley 2002).
2.3.2. Klasifikasi
Kelinci merupakan hewan mamalia dari famili Leporidae yang dapat
ditemukan di banyak negara. Kelinci berasal dari Eropa (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Sebagian besar kelinci yang dipelihara adalah kelinci
yang berasal dari Belanda yang termasuk jenis kelinci yang berukuran kecil yang
beratnya kurang dari 2 kg. Menurut Carpenter (2003), didalam family Leporidae
terdapat 11 genus dan 54 spesies. Kelinci merupakan hewan sosial dengan
kebiasaan menggali (Meredith dan Crossley 2002). Ukuran kelinci relatif lebih
besar dibandingkan dengan hewan laboratorium lain, mudah dalam pengambilan
darah (Hrapkiewicz & Medina 2007).
Berdasarkan taksonominya, kelinci sering digunakan sebagai hewan
percobaan (domestic rabbit) memilki klasifikasi sebagai berikut ;
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus
Gambar 2 Kelinci percobaan
Sumber: Dokumentasi pribadi
Umumnya kelinci tidak berbahaya bila didekati dan dipegang dengan
lembut. Kelinci yang sudah dewasa kelamin (berumur lebih dari 3 bulan) sering
sekali berkelahi, terutama pada kelinci jantan (Hrapkiewics & Medina 2007).
Hewan tersebut harus dikandangkan terpisah (satu ekor dalam satu kandang).
Pejantan dan betina hanya dicampurkan pada saat akan kawin. Hal ini untuk
mencegah timbulnya gejala bunting semu (pseudopregnancy), infertilitas dan
terjadinya luka-luka karena berkelahi (Malole dan Pramono 1989).
Kelinci sering disamakan dengan tikus tetapi mereka sama sekali tidak
memiliki kekerabatan. Tikus masuk dalam hewan pengerat dan memiliki sebaris
gigi seri sedangkan kelinci memilki dua baris gigi seri. Di belakang baris pertama
gigi seri kelinci terdapat baris kedua gigi seri yang lebih kecil. Semua keluarga
kelinci memiliki kaki belakang yang panjang dan digunakan untuk berlari cepat
dan melompat serta telinga yang lebar untuk mendengar dan juga berfungsi
sebagai regulator temperatur tubuh (Carpenter 2003). Kelinci memiliki rata-rata
masa hidup antara 5-10 tahun dengan berat 1-10 kg (Meredith dan Crossley
2002).
2.3.3. Temperatur tubuh
Kelinci merupakan hewan yang sangat peka terhadap perubahan
lingkungan, sehingga peningkatan temperatur tubuh akan mempengaruhi laju
fisika dan kimia tubuh (Carpenter 2003). Kenaikan temperatur tubuh akan
menyebabkan terjadinya denaturasi enzim dalam tubuh, tetapi sebelum mencapai
titik denaturasinya enzim akan bekerja lebih cepat (Kay 1998). Temperatur tubuh
merupakan hewan yang sangat peka terhadap panas, hal ini dikarenakan kelinci
tidak memiliki kelenjar keringat dan tidak memiliki mekanisme panting seperti
pada anjing. Kelinci akan berteduh di bawah naungan atau merentangkan badan
sehingga permukaan tubuh meluas untuk menjaga kondis temperatur dalam
keadaan normal. Anatomi telinga kelinci yang lebar berfungsi di dalam proses
pengeluaran panas yang berlebih dari dalam tubuh (O’Malley 2005). Kelinci juga
tidak memilik lemak coklat sehingga kelinci akan menggigil pada saat dingin dan
akan mempertahankan panas tubuh melalui mekanisme pengaliran darah panas
dari telinga keseluruh tubuh. Kelinci juga mempunyai postur tubuh yang
membungkuk sehingga akan memperkecil permukaan tubuh (Cheeke 1987; O’malley 2005). Mekanisme panas tubuh diatur oleh hipotalamus. Hipotalamus memilik sistem pengaturan temperatur tubuh kelinci jika temperatur tubuh berada
diatas atau dibawah normal, maka akan terjadi mekanisme pengeluaran atau
pembentukkan panas (Anderson 1977). Mekanisme pembentukan dan
pengeluaran panas terjadi melalui thermoreceptor perifer yang akan dihantarkan
ke hipotalamus. Saraf yang ada di hipotalamus akan berintegrasi menghasilkan
sinyal eferen akhir yaitu pembentukkan atau pengeluaran panas (Cardielhac
1991).
2.3.4. Sistem kardiovaskular
Laju kecepatan jantung dapat bervariasi dari 180 sampai 250 kali/ menit.
Jantung kelinci relatif kecil. Katup atrioventrikular jantung sebelah kanan hanya
memiliki 2 buah pintu, seolah-olah membuat posisi trikuspidalis tidak normal.
Arteri pulmonaris kelinci lebih berotot dan tebal dibandingkan dengan anjing dan
kucing. Kelinci memilik sistem penghubung yang sederhana dan sinoatrial node
terdiri dari sekelompok kecil sel yang menghasilkan rangsangan. Hal inilah yang
menyebabkan kelinci dipakai pertama kali untuk melakukan penelitian tentang
peacemaker (Cruise & Nathan 1994). Tidak seperti pada anjing yang memiliki
anastomose baik dibagian dalam dan luar dengan vena jugularis interna dan vena
jugularis eksterna, sebagai pembuluh darah utama yang mengalirkan darah dari
kepala yaitu vena jugularis eksterna, oleh sebab itu kerusakan atau hambatan pada
vena ini akan menyebabkan protopsis pada mata. Hal ini juga berlaku juga jika
2.3.5 Sistem Pernafasan
2.3.5.1 Saluran Pernafasan Atas
Terdapat sistem sensoris pada pintu masuk dari setiap nostril, yang
membuat kelinci sangat sensitif jika disentuh di daerah tersebut (Nowak 1999).
Terdapat 20 sampai 25 vibril taktil yang berlokasi di setiap sisi pada bibir atas.
Nostril bergerak 20 sampai 150 kali/ menit, jika kelinci benar-benar dalam
keadaan tenang (Brewer & Cruise 1994). Tulang turbinasi memiliki epithelium
pada organ penciuman dan vomeronasal yang memberikan sensasi penciuman
yang cepat pada kelinci. Glottis pada kelinci sering tertutup oleh lidah. Intubasi
sulit karena glottisnya yang kecil, lidah yang panjang, oropharinks yang dangkal
dan laryngospasm (Carpenter 2003)
2.3.5.2 Saluran Respirasi Bawah
Toraks pada kelinci berukuran kecil dan terlihat jelas karena abdomennya
yang lebar (Harkness & Wagner 1995). Timus tetap ada sampai dewasa yang
terletak ventral ke arah jantung dan menjorok ke arah toraks. Paru-paru dibagi
menjadi bagian lobus kranial, medial dan kaudal. Lobus kranial sebelah kiri jauh
lebih kecil dibandingkan sebelah kanan karena adanya jantung (Cruise & Nathan
1994). Kelinci memiliki pleura yang sangat tipis, tidak seperti mamalia domestik
lainnya. Tidak ada batas yang membagi paru menjadi berlobus-lobus, dengan
demikian paru-paru tidak terlokalisasi seperti pada spesies-spesies lainnya
(Carpenter 2003).
Menurut Carpenter 2003 laju pernafasan kelinci sekitar 30-60 kali/ menit.
Kelinci pada keadaan istirahat menggunakan kontraksi otot diaphragma dan tidak
menggunakan otot intercostalis untuk respirasi (Brewer & Cruise 1994).
2.4 Karsinogen Methylnitrosourea
Karsinogenik merupakan suatu bahan yang dapat menyebabkan timbulnya
kanker. Kanker terjadi karena ketidakstabilan genomik ataupun gangguan pada
proses metabolisme seluler. Kanker merupakan penyakit yang ditandai dengan
rusaknya sel-sel di dalam tubuh penderita tetapi tidak mengalami kematian sel dan
tumbuh secara tidak terkontrol. Karsinogen meningkatkan risiko terjadinya kanker
Secara fisiologis, sel yang mengalami perubahan DNA yang terlalu parah akan
diarahkan untuk masuk pada program kematian sel (apoptosis), tetapi jika jalur
kematian sel ini rusak maka sel akan berubah menjadi sel kanker (Liska et al
2000).
Methylnitrosourea (Metil-N-Nitrosourea) merupakan senyawa yang
bersifat sebagai agen alkilasi, karsinogenik dan juga dapat menyebabkan
terjadinya mutasi.
Gambar 3 struktur Metil-N-nitrosourea
(http://www.chemdrug.com/databases/dataimg/15/148227.png)
Senyawa Methyllnitrosourea merupakan karsinogen yang bekerja secara
tidak langsung di dalam tubuh yaitu harus melalui proses biotransformasi untuk
membentuk metabolit yang bersifat lebih toksik dari senyawa asalnya. Aplikasi
Methyl –N-nitrosourea terhadap tikus merupakan karsinogen yang paling sering
digunakan untuk investigasi kanker payudara dan juga digunakan untuk meneliti
obat yang baik untuk digunakan pada pengobatan tumor mammari (Russo et al.
2.5 Tumor
2.5.1 Definisi tumor
Neoplasma atau tumor adalah gangguan pertumbuhan sel yang ditandai
dengan adanya proliferasi sel yang berlebihan, abnormal, dan tidak terkendali.
Tumor atau neoplasma terjadi akibat transformasi atau perubahan satu atau lebih
unsur penting di dalam tubuh hospes, dan seringkali terjadi pada satu atau lebih
tempat metastatik (Priosoeryanto 1994). Smith dan Jones (1961) mendefinisikan
tumor sebagai pertumbuhan sel baru yang berproliferasi terus-menerus tanpa
terkendali, memiliki kemiripan dengan sel normal asal, dan tidak mempunyai
keteraturan struktur, serta tidak mempunyai fungsi ataupun penyebab yang jelas.
Menurut Warshhawksky dan Landolph (2006), tumor merupakan istilah umum
untuk menunjukkan adanya massa atau pertumbuhan jaringan yang abnormal.
Tumor mengarah pada sel yang tumbuh terus-menerus secara tidak terkendali,
tidak terbatas dan tidak normal. Pertumbuhan ini tidak terkoordinasi dengan
jaringan lain sehingga berbahaya bagi tubuh (Priosoeryanto 1994).
2.5.2 Etiologi tumor
Penyebab tumor sangat kompleks, secara umum belum diketahui. Secara
sederhana, penyebabnya dibagi 2 yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.
Berdasarkan Data statistik menunjukkan bahwa kanker, 80% dari seluruh
kematian yang tejadi akibat kanker berhubungan dengan faktor ekstrinsik yang
bisa dikendalikan atau dicegah, sedangkan 5-10% merupakan faktor herediter
(Warshawsky dan Landolph 2006).
Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berasal dari lingkungan, meliputi agen
biologik, agen fisik dan agen kimia. Agen biologik meliputi parasit dan Virus.
Contoh parasit yang dapat menyebabkan tumor adalah Spirocerca lupi, cacing
nematoda pada anjing. Cacing ini memberikan rangsangan kronis pada dinding
esophagus sehingga terjadi proliferasi secara berlebihan. Menurut Warshawsky
dan Landolph (2006), yang termaksud agen fisik adalah radiasi ionisasi (sinar-X,
radium, uranium) dan radiasi nonionisasi (sinar UV). Tumor dapat juga diinduksi
senyawa organik dan senyawa inorganik. Contoh senyawa organik diantaranya
adalah hidrokarbon aromatic polisiklik, amina, amina aromatic, bifenil,
hidrokarbon klorinasi, ether dan lain-lain. Senyawa inorganik meliputi logam
berat dan metaloid, seperti timbal, nikel, mangan, kromium, kadmium, arsen,
merkuri dan sebagainya (Warshawsky & Landolph 2006).
Faktor intrinsik meliputi diet, stimulasi hormonal, genetik, dan usia tua.
Diet merupakan faktor penting yang mendukung perkembangan sel tumor dalam
tubuh, meskipun diet tidak menjadi penyebab secara langsung. Makanan
berlemak, berkolesterol, dan berprotein tinggi, tetapi rendah serat dapat menjadi
timbulnya tumor. Daging yang diawetkan baik dengan nitrit atau pengasapan juga
dapat menyebabkan tumor (Mardiana 2007). Bahan alam yang bersifat
karsinogenik dapat mengkontaminasi makanan, adalah aflatoksin (Theilen &
Madewell 1987). Stimulasi hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron, atau
prolaktin berkaitan dengan kejadian tumor terutama pada kelenjar mamari dan
prostat. Hormon ini menginduksi terjadinya tumor yang disebabkan karsinogen,
tetapi bukan penyebab langsung. Faktor genetik sangat penting dalam beberapa
jenis kanker karena perubahan dalam informasi genetik (DNA). Perubahan
informasi genetic ini merupakan dasar neoplasia dan dapat diwariskan. Usia tua
pada umumnya merupakan salah satu faktor predisposisi kejadian kanker menurut
studi epidemiologis (Spector & Spector 1993).
2.5.3 Penggolongan dan Transformasi Tumor
Peralihan suatu sel-sel normal menjadi sel-sel tumor dikenal dengan
transformasi. Dalam ilmu kedokteran, tumor dapat dibedakan antara tumor jinak
(benigna) dan tumor ganas (maligna). Tumor jinak mengandung sel-sel yang
lambat tumbuh dan masih berdiferensiasi. Sebaliknya, tumor ganas menunjukkan
pertumbuhan yang cepat dan menginfiltrasi, dan cenderung pada pembentukkan
metastasis. Terdapat 100 jenis tumor yang berbeda menurut asal jaringan, tempat
tumor berkembang (Ganiswarna 1995).
Sel-sel normal menunjukkan semua tanda-tanda sel-sel spesifik yang
berdiferensiasi untuk suatu fungsi tertentu. Sel-sel ini dihambat pertumbuhannya
dan terdapat secara umum di dalam fase G0 daur sel. Bentuk luar sel-sel tersebut
Sel tumor seringkali tidak berdiferensiasi. Karena itu sel-sel tumor
mengambil kembali sifat-sifat embrional dan membelah diri tanpa hambatan.
Permukaan selnya berubah, terutama mengakibatkan gangguan inhibisi kontak
dengan sel-sel sekitarnya. Susunan sitoskelet sel tumor berubah dan seringkali
berkurang sehingga memberikan suatu bentuk sel yang lebih bundar, inti sel
tumor dapat tidak khas dalam bentuk, jumlah maupun ukuran (Ganiswara 1995).
Menurut Ganiswarna 1995 Peralihan dari keadaan normal menjadi
keadaan yang ditransformasikan merupakan suatu proses yang terdiri atas
beberapa tahap :
1. Inisiasi tumor.
Hampir setiap tumor mulai dengan kerusakan DNA satu persatu
sel. Cacat genetik ini dapat disebabkan oleh zat karsinogen, artinya
bahan-bahan kimia yang menyebabkan tumor (misalnya komponen tar dalam
tembakau), oleh proses-proses tembakau, oleh proses-proses fisika
(misalnya cahaya U.V, penyinaran roentgen) atau oleh virus tumor, diduga
tidak kurang dari kira-kira 1014 sel manusia selama hidupnya menderita kerusakan DNA semacam ini. Untuk inisiasi tumor, hanya defek
protoonkogen yang relevan. Hal ini merupakan alasan yang menentuka
suatu transformasi. Akan tetapi, juga kehilangan suatu anti-onkogen (gen
supresor tumor) dapat membantu terjadinya inisiasi tumor.
2. Promosi tumor
Merupakan jalur perbanyakan sel-sel yang terganggu karena
inisiasi tumor. Proses ini berlangsung sangat lambat, dapat hingga
bertahun-tahun. Sebagai substansi model promoter tumor adalah
forbolester (activator sintetik kinase proten C).
3. Progesi tumor
Merupakan proses yang menyebabkan suatu tumor menjadi ganas
melalui perbanyakan, invasi dan metastasis.
Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan : (1) yang sedang membelah
(siklus proliferatif); (2) yang dalam keadaan istirahat (tidak membelah, G0); dan
(3) yang secara permanen tidak membelah. Sel tumor yang sedang membelah
sintesis DNA (fase S), fase pramitosis (G2). Akhir fase G1 terjadi peningkatan
RNA disusul dengan fase S yang merupakan saat terjadinya replikasi DNA.
Setelah fase S berakhir sel masuk dalam fase pramitosis (G2), dengan ciri: sel
berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase
lain dan masih berlangsungnya sintesis RNA dan protein. Sewaktu mitosis
berlangsung (fase M) sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba, dan
terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu sel dapat memasuki interfase untuk
kembali memasuki fase istirahat (G0). Sel dalam fase G0 yang masih potensial
untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang
menambah jumlah sel kanker ialah sel yang dalam siklus proliferasi dan dalam
fase G0 (Ganiswarna 1995).
2.6 Tumor Mammari
Salah satu tumor yang paling sering manusia, khususnya wanita yaitu
tumor mammary, seringkali tumor mammary ini tidak terdeteksi secara dini oleh
penderitanya
Tumor mammari sampai saat ini belum diketahui dengan pasti
penyebabnya, kecuali pada tumor mammari yang terjadi pada tikus yang
disebabkan oleh Oncornavirus. Walaupun banyak yang berkaitan dengan hormon
(Fossum 2002), penyebab terjadinya kanker sangat kompleks. Resiko terhadap
kanker berkaitan dengan paparan karsinogen dan faktor individu. Tumor terjadi
karena sejumlah sel pada jaringan kelenjar mammari tumbuh dan berkembang
dengan tidak terkendali (Madewell dan Theilen 1987). Setiap jenis tumor
mammari dapat membentuk tumor, namun tumor mammari biasanya berasal dari
sel ephitelial saluran (ductus) atau alveoli (lobus) kelenjar mammari (Madewell
dan Theilen 1987). Pembentukkan kelenjar, tubuli dan pertambahan jumlah
pembuluh darah merupakan salah satu ciri kejadian tumor pada jaringan (Spector
& Spector 1993).
Anjing betina sering mengalami tumor mammari, akan tetapi jarang pada
anjing jantan.menurut Madewell dan Theilen (1987) sekitar 25% sampai 50% dari
seluruh kejadian tumor yang terjadi pada anjing betina adalah tumor mammari.
Kucing yang diovariektomi (operasi pengangkatan ovarium) sebelum berumur 1
Pada anjing yang diovariektomi setelah estrus pertama berisiko terserang tumor
8%.tumor mammary tejadi pada betina intact dengan risiko 99% (Madwell &
III. BAHAN DAN METODE
3.1 TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasi dan Bagian bedah dan
Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, serta Kandang Hewan Percobaan yang dikelola
oleh Unit Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab). Penelitian ini
berlangsung mulai dari bulan April 2008-Januari 2009.
3.2BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam peneltian ini adalah ekstrak etanol rimpang
Temu putih, alkohol 70%, propilenglikol, curcumin, induksan tumor
(N-metil-n-nitrosourea/ MNU), NaCl fisiologis serta kelinci sebanyak 21 ekor.
Alat yang digunakan dalam peneltian ini adalah Pembuatan ektrak etanol
rimpang temu putih (Maserator, plastik serap, kain katun tebal, rotary evaporator,
gelas kimia dan pengaduk), Syringe 1 ml, kapas steril, kandang, tempat pakan,
dan tempat minum.
3.3 METODE
3.3.1 Persiapan Kandang pemeliharaan
Kelinci yang digunakan sebagai hewan coba, memerlukan persyaratan
yang sederhana dalam hal gedung dan kandang pemeliharaan, persyaratan yang
diperlukan antara lain: kebersihan gedung dan kandang, hewan terlindung dari
anjing, hujan, dan cahaya matahari langsung dalam waktu yang lama dan
memperloleh cahaya cukup dan udara segar. Sistem untuk mengandangkan kelinci
sedikit berbeda dengan sistem pada mencit, tikus, dan marmot, yaitu hanya satu
kelinci pada satu kandang. Sehingga disediakan 9 kandang kelinci yang berukuran
60cm x 60cm yang terbuat dari besi. Kandang terletak di dalam gedung
laboratorium penelitian hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Letak
kandang berurutan mulai dari kelompok A-C, sehingga memudahkan dalam
memberikan perlakuan terhadap setiap kelompok hewan coba. Selain itu gedung
percobaan lain kecuali kalau perlu perlindungan terhadap suhu tinggi, karena
kelinci sangat peka terhadap suhu lingkungan tinggi. Suhu ideal adalah 15oC sampai 20oC, jika suhu melebihi dari 27oC maka akan mempengaruhi fisiologis kelinci dan lebih mudah stress jika berlangsung lama. Kandang setiap kelinci
dibersihkan satu kali dalam seminggu untuk menjaga sanitasi lingkungan dan
kesehatan hewan coba sendiri. Setiap kandang kelinci dilengkapi dengan tempat
pakan dan minum yang terbuat dari aluminium untuk mencegah terjadinya proses
korosif. Tempat makan ini juga dibersihkan setiap hari mencegah agar kondisi
hewan coba tetap sehat.
3.3.2 Pembuatan Ekstrak etanol rimpang Temu Putih
Proses pembuatan ekstrak etanol rimpang temu putih diawali dengan
pembuatan simplisia rimpang temu putih. Bahan tanaman yang terpilih
dikeringkan, kemudian dihaluskan dan dilanjutkan dengan proses maserasi atau
perendaman dengan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 1:10. Maserasi
dilakukan selama 2x24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan
jenis dan jumlah pelarut yang sama dan penampungan dilakukan setiap 24 jam.
Maserat ditampung dan dikumpulkan serta dilanjutkan dengan proses pemekatan
dengan menggunakan rotary evaporator (penguap putar) sampai diperoleh ekstrak
kental (BPOM 2004).
3.3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan.
Sebanyak 9 ekor kelinci (Oryctolagus cuniculus) berjenis kelamin betina sudah
dewasa kelamin dengan umur 6-7 bulan dan berat rata-rata 1-1,5 kg dibagi ke
dalam 3 kelompok perlakuan, yaitu:
1. Kelompok A : Kelompok normal (hewan coba tidak mendapatkan
perlakuan sama sekali, hanya diberikan makan dan minum dalam
jumlah yang tak terbatas
2. Kelompok B : kontrol positif (hewan coba mendapatkan induksi
karsinogen MNU, juga diberikan curcumin sampai dengan masa
induksi selesai)
3. Kelompok C : Kelompok perlakuan (hewan coba mendapatkan induksi
3.3.4 Induksi Metil-N-Nitrosourea intramamary
Induksan yang akan dipakai terlebih dahulu dilarutkan dalam NaCl
fisiologis. Sebanyak 1 mg MNU dilarutkan 10 ml NaCl fisiologis (konsentrasi 100
mikogram/ ml). Sebelum diinduksi, kelinci ditimbang untuk menentukan dosis
MNU yang digunakan. Dosis yang telah diperoleh dibagi 2 supaya dapat
diaplikasikan pada kedua putting. Kelenjar mamari kelinci yang akan diinduksi
terlebih dahulu dibersihkan dari rambut-rambutnya (dicukur). Kelenjar mammari
yang akan diinduksi, yaitu kelenjar mammari kedua. Pengaplikasian MNU pada
masing-masing putting dilakukan tegak lurus terhadap sumbu tubuh.
3.3.5. Pemberian Ekstrak Etanol Temu Putih dan Curcumin
Ekstrak etanol rimpang temu putih dan curcumin diaplikasikan pada
kelinci secara per oral menggunakan stomach tube. Kelinci ditempatkan pada
kandang jepit untuk memudahkan pengaplikasian. Stomach tube dimasukkan
perlahan ke dalam mulut kelinci sampai masuk ke dalam salutran pencernaan
(lambung). Tahap ini hendaknya dilakukan dengan hati-hati supaya stomach tube
tidak masuk ke dalam saluran pernapasan yang berada diatas saluran pencernaan.
Untuk memudahkan, stomach tube dapat dibasahi dengan air terlebih dahulu.
Ekstrak etanol temu putih/ curcumin diambil dengan syringe tanpa jarum sesuai
dengan dosis, kemudian dimasukkan dalam lambung kelinci melalui stomach
tube. Setelah ekstrak etanol rimpang temu putih/ curcumin dipastikan masuk,
stomach tube dikeluarkan secara perlahan.
3.4. Peubah yang diamati
Pengamatan gambaran klinis yang di amati terhadap efek pemberian
ektrak temu putih dan Curcumin dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan
terhadap suhu tubuh, laju pernafasan dan frekuensi denyut nadi, data diambil dan
dicatat dalam interval selang waktu satu minggu dan dilakukan selama proses
penelitian, kemudian dari data yang diperoleh dibandingkan dengan data hewan
percobaan dari kelompok normal (tanpa perlakuan) dan kelompok positif
(kelompok yang mendapatakan perlakuan induksi dan diberikan curcumin), dari
curcumin, sehingga dapat diketahui mekanisme kerja curcumin yang diperoleh
secara komersial dan ekstrak temu putih terhadap gambaran klinis yang diamati.
3.5 Analisis data
Data hasil pengamatan yang diperoleh selama penelitian, dianalisis dengan
menggunakan uji analisis sidik ragam (ANOVA) sistem, kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test taraf 5% untuk mengetahui pengaruh
masing-masing perlakuan yang diberikan terhadap perubahan yang diamati. Uji
ANOVA merupakan uji untuk mengetahui nilai pengaruh suatu perlakuan dengan
melihat nilai P pada setiap perlakuan, sedangkan Duncan Multiple Range Test
taraf 5% yaitu mengetahui perlakuan yang memberikan perbedaan nyata pada
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Temperatur Tubuh
Rataan nilai temperatur tubuh (0C) dari setiap perlakuan dan kontrol selama induksi dengan Metil-N-Nitrosourea dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Gambar 4.
Tabel 1. Rataan nilai temperatur tubuh (0C)
Kelompok Minggu ke-
1 2 3 4 5
A 40±0,58a 39,93±0,30a 39,56±0,20a 39,30±0,43a 39,03±0,20a
B 39,03±0,60a 39,36±0,40a 39,46±0,61a 39,53±0,05a 39,10±0,60a
C 38,73±1,00a 39,13±0,73a 39,36±0,66a 38,73±0,72a 39,56±0,61a Keterangan : Kelompok A (kelompok normal), Kelompok B (kontrol positif : induksi MNU+
pemberian curcumin), Kelompok C (kelompok perlakuan : induksi MNU+ pemberian ekstrak
etanol rimpang temu putih).
Huruf superscrift menunjukkan tidak berbeda nyata, P>5%
Rataan nilai temperatur tubuh setiap minggu selama induksi pada
kelompok perlakuan berkisar antara 38,70C-400C. Menurut Carpenter (2003) temperatur tubuh kelinci normal berkisar antara 38,50C-400C. Nilai temperatur tubuh pada semua kelompok bervariasi walaupun setelah diuji dengan statistik
tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>5%) dan masih berada dalam skala
normal. Pada minggu pertama, baik pada kelompok B dan C yang mendapatkan
perlakuan induksi dan diberikan curcumin untuk kelompok B, ekstrak etanol
temu putih untuk kelompok C tidak ada pengaruh akibat perlakuan jika
dibandingkan dengan kelompok A. Hal ini juga terjadi sampai dengan minggu
kelima perlakuan diberikan.
Kedua kelompok perlakuan (B dan C) yaitu kelompok yang diinduksi
dengan MNU sampai minggu keempat terjadi sedikit peningkatan, akan tetapi
pada minggu pertama temperatur kedua kelompok yang mendapatkan perlakuan
ini lebih rendah dari kelompok A, hal ini dikarenakan pemberian curcumin atau
ekstrak etanol temu putih, yang meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sehingga
tubuh mampu merespon benda asing asing yang masuk. Peningkatan temperatur
tubuh ini disebabkan oleh induksi Metil-N-Nitrosourea (karsinogen). Suwarni
kelinci secara intramamari dapat menimbulkan reaksi radang. Chainai-wu (2003)
melaporkan bahwa penginduksian karsinogen Metil-N-Nitrosourea intramamari
menyebabkan dibebaskannya berbagai mediator atau substansi radang antara lain
bradikinin, histamine, kalidin, serotonin, prostaglandin, leukotiren dan
sebagainya. Louis (2007) menambahkan bahwa induksi karsinogen
(Metil-N-Nitrosourea) akan mengaktifkan enzim siklooksigenase untuk mengkatalisis
proses konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (PGG2) selanjutnya
diubah menjadi PGH2 yang berperan di dalam proses sintesa produk eikosanoid
(PGE2, PGI2 dan tromboksan A2). Produk yang dihasilkan ini berperan sebagai
mediator radang dan demam.
Hasil yang diperoleh pada masing-masing kelompok (B dan C) tidak
menunjukkan perbedaan nyata dengan kelompok kontrol dan dalam skala normal.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemberian curcumin ataupun ekstrak etanol
rimpang temu putih pada masing-masing kelompok. Srimal dan Dhawan (1973)
dan Ghatak dan Basu (1973) menyebutkan bahwa komponen utama yang
terkandung di dalam ekstrak etanol temu putih (Curcumin, Demethoxycurcumin,
bis-demethoxycurcumin dan ar-turmeron) sangat baik dalam menghambat sintesa
prostaglandin dan memiliki efek yang sama seperti kortison dan antiinflamasi.
Lukita-Atmadja (2002) dan Ozaki (1990) menambahkan bahwa ekstrak etanol
temu putih menghambat aktivitas enzim siklooksigenase 2 ini menyebabkan
prostaglandin yang berfungsi untuk menduduki reseptor radang tidak dapat
menstimulasi pelepasan interleukin-1 yang merangsang hipotalamus untuk
meningkatan temperatur tubuh.
[image:34.595.110.491.565.711.2]Gambar 4. Perbandingan rataan nilai temperatur tubuh kelompok kontrol dan perlakuan 38 39 40 41 MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 3 MINGGU 4 MINGGU 5 tem pera tur (0 C)
Grafik temperatur tubuh selama proses
induksi MNU
KELOMPOK A KELOMPOK B
KELOMPOK C
Menurut ( Rishikesh dan Sadhana 2003) mekanisme kerja curcumin
ataupun ekstrak etanol temu putih secara skematis dapat dilihat melalui bagan
berikut:
MNU (Karsinogen) enzim siklooksigenase Asam arakidonat
Curcumin dan temu putih Prostaglandin (PGG2)
EP 1-4 PGE2 Prostaglandin (PGH2)
TXA protrombik PGI2
4.2. Frekuensi Nafas
Rataan nilai frekuensi nafas dari setiap perlakuan dapat diamati pada tabel 2 dan gambar 5
Kelompok Minggu ke-
1 2 3 4 5
A 120±21,16a 137±2,30a 130±6,11a 126±6,11a 142±4,61a
B 114±6,11a 125±6,11a 133±11,54a 130±2,30a 145±11,54a
C 132a 129±4,61a 138±8,32a 126±6,11a 118±23,09a
Keterangan : Kelompok A (kelompok normal), Kelompok B (kontrol positif : induksi
MNU+pembetian curcumin), Kelompok C (kelompok perlakuan : induksi MNU+pemberian ekstrak rimpang temu putih)
Huruf superscrift menunjukkan tidak berbeda nyata, P> 5%
Rataan nilai frekuensi nafas setiap minggu selama induksi pada semua
kelompok berkisar antara 114-142 kali/ menit. Menurut Brewen dan Cruise (1994)
frekuensi nafas kelinci berkisar antara 30-60 kali/ menit pada keadaan istirahat.
Nilai frekuensi nafas pada semua kelompok bervariasi dan setelah diuji dengan
statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>5%).
Terjadi peningkatan nilai frekuensi nafas pada ketiga kelompok (A,B, C).
induksi karsinogen menyebabkan terjadinya proses peradangan yang diikuti
dengan pelepasan kortisol dan peningkatan β-andregenik di otot polos bronchial
sehingga terjadi peningkatan frekuensi nafas (Ferguson & Hoenig 2001), sehingga
Gambar 5. Grafik frekuensi nafas selama proses induksi MNU
Peningkatan frekuensi nafas terjadi dikarenakan faktor adaptasi kelinci
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang sangat bervariasi, kelinci diadaptasikan
secara aklimatisasi, sehingga lingkungan memegang peranan yang sangat penting
di dalam mekanisme fisiologi pernapasan. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan
saat kondisi lingkungan yang panas dan mengalami proses pemindahan tempat
terlebih dahulu. Panas yang diterima kelinci dalam jumlah yang berlebihan
menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi nafas. Hal ini di karenakan sistem
panting pada kelinci tidak efektif seperti pada anjing dan kucing, sehingga
peningkatan frekuensi nafas meningkatkan untuk tubuh dapat mengeluarkan panas
yang diterima secara berlebihan (Carpenter 2003).
Peningkatan frekuensi nafas dalam hal ini, juga terjadi karena
terstimulasinya pelepasan hormon kortisol pada anak ginjal untuk mensekresikan
kortisol dan adrenalin melalui susunan saraf pusat dan hipofisis akibat dari stress
yang terjadi yang menghambat pelepasan hormon ACTH, sehingga terjadi
peningkatan β-adregenik di otot polos untuk mengantisipasi panas yang
berlebihan dari lingkungan (William 1998), keadaan ini menyebabkan terjadinya
peningkatan frekuensi nafas pada kelompok normal.
4.3. Frekuensi jantung
Rataan nilai frekuensi jantung dari setiap perlakuan dapat diamati pada
Tabel 3 dan Gambar 6. 0
100 200
MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 3 MINGGU 4 MINGGU 5
[image:36.595.107.519.89.523.2]fr e k ue nsi na fa s (k a li /m e nit )
Grafik frekuensi nafas selama proses
induksi MNU
KELOMPOK A KELOMPOK B KELOMPOK C
Tabel 3. Rataan nilai frekuensi jantung (kali/menit
Kelompok Minggu ke-
1 2 3 4 5
A 117±25,71a 133±6,11a 136±6,92a 133±4,61a 146±12,85a
B 135±12,74a 129±2,30a 133±2,30a 129±2,30a 140±6,92a
C 136±8,00a 128±8,00a 136±4,00a 130±2,30a 133±8,32a
Keterangan :Kelompok A (kelompok normal),Kelompok B (kontrol positif : induksi
MNU+pembetian curcumin), Kelompok C (kelompok perlakuan : induksi MNU+pemberian ekstrak rimpang temu putih)
Huruf superscrift menunjukkan tidak berbeda nyata, P> 5%
Frekuensi jantung berdasarkan nilai rataan data yang diperoleh selama
proses penelitian menunjukkan peningkatan dan penurunan yang terjadi selama
proses perlakuan diberikan tidak berarti karena frekuensi jantung masih berada
dalam skala normal yaitu 133±8.27, pengujian statistik menunjukkan setiap
perlakuan tidak berbeda nyata (p>5%). Laju frekuensi jantung kelinci normal
yaitu berkisar 130-325 kali/ menit. Pada minggu pertama, kelompok B dan C
menunjukkan peningkatan frekuensi jantung dan jauh lebih tinggi dibandingkan
kelompok A sebagai kelompok kontrol, akan tetapi perlakuan tidak memberikan
pengaruh setelah diuji dengan uji analisis ragam. Hal ini juga terlihat sampai
dengan minggu kelima, saat induksi dilakukan untuk yang terakhir kali.
Ekstrak temu putih ternyata tidak hanya memiliki aktivitas dalam
mempertahankan temperatur tubuh dalam keadaan normal, akan tetapi mampu
mempertahankan kondisi frekuensi jantung dalam skala normal dan stabil sampai
dengan minggu terakhir masa perlakuan induksi dan pemberian curcumin ataupun
ekstrak etanol rimpang temu putih.
[image:37.595.106.504.555.715.2]Gambar 5. Grafik frekuensi nafas selama proses induksi MNU 0 50 100 150 200 MINGGU 1 MINGGU 2 MINGGU 3 MINGGU 4 MINGGU 5 fre ku ensi j antung (ka li /meni t )
Grafik frekuensi jantung selama proses induksi
MNU
KELOMPOK A KELOMPOK B KELOMPOK C
Induksi yang diberikan menyebabkan terjadinya peradangan, yang diikuti
dengan pelepasan prostaglandin sebagai modulator peradangan melalui jalur
siklooksigenase dan juga diikuti dengan pelepasan tromboksan. Suwarni (2000)
Pelepasan mediator peradangan, seperti histamin menyebabkan terstimulasinya
reseptor histamin H1 dan H2 yang menyebabkan vasodilatasi pada arterial dan
pembuluh darah coronaria, merendahkan resistensi kapiler dan menurunkan
tekanan darah sistemik. Prostaglandin yang dilepaskan selain bersifat sebagai
modulator peradangan, juga merupakan senyawa yang potensial untuk
vasodilatasi. Akibat terjadinya vasodilatasi dalam jangka waktu yang lama dan
penurunan tekanan pembuluh darah akan menyebabkan jantung harus memompa
lebih keras dan cepat untuk dapat mendistribusikan darah ke seluruh tubuh,
distribusi karsinogen juga menentukan respon radang yang terjadi. Dilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler juga terjadi di sekitar jaringan yang mengalami
perubahan atau kerusakan. Volume darah yang membawa leukosit ke daerah
radang bertambah, dengan gejala klinis di sekitar jaringan dengan rasa panas dan
warna kemerah-merahan, aliran darah menjadi lambat, leukosit beragregasi di
sepanjang dinding pembuluh darah dan menyebabkan pembuluh darah kehilangan
tekstur (Lukita-Atmadja 2002; Ozaki 1990). Ekstrak temu putih yang diberikan
menghambat jalur sintesa asam arakidonat melalui jalur siklooksigenasi, sehingga
terjadi hambatan pelepasan prostaglandin dan leukotrien (Aggarwal 2006).
Penghambatan terhadap sintesa prostaglandin melalui hambatan sintesa
asam arakidonat menyebabkan tidak tejadinya vasodilatasi dan penurunan tekanan
kapiler. Hal ini disebabkan karena adanya rangsangan yang menyebabkan
terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan penurunan tekanan pembuluh darah
tidak terjadi akibat dari sintesa prostaglandin yang dihambat pada jalur
siklooksigenase sehingga jantung tidak harus melakukan kerja ekstra di dalam
memompa darah ke seluruh tubuh. Ekstrak etanol Temu putih ternyata juga
bekerja menghambat agregasi platelete yang distimulasi oleh asam arakidonat,
adrenalin dan kolagen serta terhambatnya sintesa tromboksan B2 sehingga tidak
terjadinya penumpukan platelet di dalam pembuluh darah arteri yang
DAFTAR PUSTAKA
Anderson BE. 1977. Temperature Regulation and Environmental Physiology in Animal. Ed ke-5. London. Cornell university press.
Aggarwal Bharat B. 2006. Curcumin-Biological and Medical Properties : di Dalam Buku : Turmeric, hal 297. New York. CRC Press.
Anonima. 2009. Breast Cancer Epidemiology. www.son.wis.edu. [11 Desember 2009]
Anonimb .2009. Jurnal Kanker Indonesia : Tanaman Penghalau Kanker (Curcuma zedoaria). Jakarta : Indonesia
Anonim. 2001. American Cancer Society : Breast cancer Facts and Figures 2001 Dan 2002. American Cancer society inc
[Anonim] 2007. Temu Putih (Curcuma zedoaria)
http://toiusd.multiply.com/journal/item/266/curcuma_zoedaria [12 Juni
2008].
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004.
Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia. INFOBPOM. Jakarta
Bagian Patologik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1986. Tumor ganas Pada wanita, Jakarta : Indonesia.
Batchelor 1999. The Animal Welfare of Animal Surgery. [Di dalam] : Clinical Anatomy and Physiologi of Exotic Species. Germany. Elsevier. 173-175
Brewer dan Cruise 1994. Diacu oleh Frances Harcourt : Textbook of Rabbit Medicine 2002. Germany. Elseiver Health Science.
Cardielhac PJ. 1971. Metabolic Regulation and Energy Production. [Di dalam] : Breazile, JE, Editor Textbook of Veterinary Physiology. St Louis : Elseiver saunder.
Carpenter JW. 2003. Lagomorpha. [Di dalam] : miller K, editor. Zoo and Wild Animal Medicine. Edisi ke-5, st.louis : saunders. Hal 410-419
Chainai-wu. 2003. Bioactivity of Turmeric. [Di dalam] : Turmeric : The Genus Curcuma New York. CRC press
Cheeke PR. 1987. Digestive Physiology. Pp 20-32 in Rabbit Feeding and Nutrition. Orlando, FL: Academic Press.
Clifford W Welsch 1996. J of Mammary Gland Biology and Neoplasia. Springer Netherland. P 135-136
Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-4. Philadelphia : W. B. Saunders Company. Hal 47-49 dan hal 65-69.
Cragg GM, Newman DJ, Snader KM. 1997 Natural products in drug discovery And development. J Nat Prod. 60: 52-60.
Cragg GM, Newman DJ. 2005 Plants as source of anticancer agents. J Ethnopharmacol. 100: 72-79.
Cruise dan Nathan. 1994. Rabbit : di dalam Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species. CRC press
Dalimartha Setiawan 2003. Atlas tanaman obat Indonesia Jilid ke-2. Jakarta : Trubus Agriwidya.
Dalimartha Setiawan 2005. Atlas tanaman obat Indonesia jilid ke-3. Jakarta : Puspa suara.
Djauhariya E dan Hernani 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Donnelly 1997. [Di dalam] : Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species. Germany Elsevier. Hal 173-175
Ersam Taslim. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Seminar Nasional Kimia.
Ferguson DC., Hoenig M. 2001. Glucocorticoid, Mineralcorticoid and Steroid Synthesis inhibitor. Di dalam : Adams HR, Editor. Veterinary
Pharmacology and therapeutics. Ed ke- 8. Iowa : Blackwell Publishing.
Fossum 2002. Di acu dalam : Histological Grading and Prognosis in Dogs with Mammary Carcinomas : Apllication of A Grading Method. J of
Comparative Pathology (2005; 133 (246-252).
Ganiswarna Sulistia G. 2005. Farmakologi dan terapi. Ed ke-4. Jakarta : Universitas Indonesia Press
.
Ghatak dan Basu 1972. Bioactivity of Turmeric. [Di dalam]: turmeric the genus Of Curcuma. New York. CRC press
Harkness dan Wagner. 1995. [Di dalam] : Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species. New York. CRC Press
Hewitt HB. 1981. The Use of animals in experimental cancer research. Di dalam : Sperlinger D, editor. Animal in research new perspective in animal
Experimentation. New York : John Wiley&sons ltd
Hrapkiewics K dan Medina. 2007. Clinical Laboratory Animal Medicine. Ed ke-3 Iowa : Blackwell publishing Hal 198-347
Imaizumi 1982. Longitudinal Analysis of Mortality from Breast Cancer in Japan, 1950-1993: Fitting Gompertz and Weilbull Function. Elseiver Science ltd. Irlandia
Isnaeni Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Katzung Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan klinik. Buku 3. Ed ke-8. Jakarta.Penerbit Salemba Medika.
Kay I. 1998. Introduction to Animal Physiologi. New York. Bios Scientific Publisher.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis London : Bailliere Tindall
Kiuchi F., Iwakami S., Shibuya M. 1993. Inhibiton of Prostaglandine and Leukotriene Biosynthesis by Gingerols and Diaryheptanoids. J of Herbal Medicine. 40 (387-91).
Koolman jan Prof Dr rer Nat Rohm, Klaus heinrich. Prof Dr rer nat 1995. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta. Penerbit Hipokrates
Liska J., Galbavy S. ,Macejova., D, Zlatos J., Brtko J. 2000. Histopathology of Mammary Tumours in Female Rats Treated with 1-Methyl-1-Nitrosourea J Endokrin regulation 34(91-96)
Lampe 1910. The Bioactivity of Curcumin. [Di Dalam] : Turmeric : The Genus Of Curcuma. 2006. New York. CRC Press.
Lampe dan Milobedzka 1913. The Bioactivity of Curcumin. [Di Dalam ]: Turmeric: The Genus of Curcuma. 2006. New York. CRC Press.
Lorgue G., J Lechenet, A. Riviere. 1996. Clinical Veterinary Toxicology. France. Blackwell ltd.
Lukita-Atmadja 2002. Bioactivity of turmeric [di dalam] : Turmeric The Genus of Curcuma. New York. CRC press
Madewell dan Theilen.1987. Veterinary cancer Medicine. Lea and Febiger Publisher Sub edisi-2.
Malole MBM dan CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
Mardiana Saaida 2007. Polyamine Concentration in Breast and Colon Cancer Cell. Germany. Elseiver.
Meredith A., Crossley DM. 2002. Rabbit. Di dalam : Anna M, Redrobe S, Editor BSAVA manual of exotic pet. Ed ke-4 UK : BSAV. Hal 76-91
Mutchsler 1991. Bioactivity of Turmeric di dalam : Turmeric the Genus curcuma. New York. CRC press.
Nowak R. 1999. Walker’s Mammal of The World, Sixth Edition. Baltimore and London. Johns Hokins University.
O’malley B 2005. Clinical Anatomy and physiology of exotic species. Germany.
Elsevier. Hal 173-175.
Ozaki 1990. Di dalam : Turmeric the Genus of Curcuma. New York. CRC Press.
Priosoeryanto BP. 1994. Transplantation of a Cell Line Derived from a Canine Benign Mixed Mammary Tumour into Nude Mice. J of Comparative Pathology. v 113; p 383-388.
Ravindran PN., K. Nirmal Babu, K. Sivaraman 2007. Turmeric : the genus curcuma. New York. CRC press.
Rishikesh dan Sadhana 2003. Prostaglandin and Cyclooxigenase : Their Probable Role in Cancer.[ Di dalam] : India Jurnal Famakologi
Rostiana Otih, Mono Raharjo. 2005. Budidaya Tanaman Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika : sirkuler 11. Bogor.
Russo J., Reina D., Frederick J. 1990. Expression of phenotypical changes by human breast epithelial cells treated wi