• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Potensi Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Potensi Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur)."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Peningkatan Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, CFC, N2O, dan O3) di atmosfer

sudah menimbulkan dampak lingkungan yang diakibatkan naiknya panas bumi, dengan meningkatnya konsentrasi GRK. Karbon dioksida (CO2) sebagai gas

pencemar utama di atmosfir dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan disebabkan dari sebagian besar aktivitas manusia. Konstribusi utama dalam dekade terakhir ini berasal dari pembakaran bahan bakar fosil meliputi minyak pelumas, gas dan bahan bakar untuk kendaraan bermotor, industri, dan kebakaran hutan.

Untuk mencegah peningkatan suhu bumi (Global Warming) yang mengakibatkan perubahan iklim, pada tahun 1997 dideklarasikan Protokol Kyoto. Untuk mengurangi emisi udara, dalam Protokol Kyoto dihasilkan Mekanisme Pembangunan Bersih atauClean Development Mechanism (CDM) dan penjualan karbon. CDM merupakan sistem pengurangan emisi udara dengan pengukuran kandungan karbon yang diserap, reforestasi, dan penghijaun lahan kritis.

Ekosistem alam dapat menyerap karbon dengan baik dan secara signifikan dapat meningkat jika dilakukan pengelolaannya dengan baik. Hutan sebagai salah satu ekosistem yang didominasi oleh vegetasi pepohonan dapat menyerap karbon di udara yang diubah menjadi biomasa pohon dalam jumlah besar.

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan yang sangat luas, sehingga Indonesia dapat berperan penting dalam usaha menurunkan emisi CO2

melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di dalam hutan (carbon sinks). Hal ini dapat terjadi jika pengelolaan hutan dilakukan secara lestari, reboisasi serta pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.

(2)

Kadar karbon dalam setiap lokasi dan suatu jenis vegetasi berbeda karena perbedaan sifat fisik dan lingkungan tempat tumbuh yang berbeda pula. Dengan demikian untuk mengetahui kandungan karbon di suatu lokasi perlu dilakukan penelitian kadar karbon pada suatu vegetasi yang tumbuh di lokasi tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengetahui massa karbon suatu jenis pohon pada suatu lokasi. b. Merumuskan model pendugaan massa karbon dalam tegakan.

c. Menduga jumlah massa karbon di areal hutan Logged Over Area (LOA) dan hutan primer/virgin.

1.3 Manfaat Penelitian

(3)

2.1 Hutan Hujan Tropis

UU No. 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Indonesia memiliki berbagai tipe hutan yaitu Hutan Hujan Tropis, Hutan Musim, Hutan Gambut, Hutan Rawa, Hutan Payau, Hutan Kerangas, dan Hutan Pantai (Soerianegara dan Indrawan, 2005).

Hutan hujan tropis tumbuh di dekat garis equator, dimana iklim sepanjang tahun hangat dan basah. Sebagian besar hutan ini tumbuh di lembah sungai Amazon, lembah sungai Kongo, dan di wilayah Asia Tenggara.

Keanekaragaman pohon merupakan salah satu ciri khas hutan tropis dimana dapat ditemukan sekitar 100 spesies pada wilayah seluas 2,6 Km2. Hutan hujan tropis terdiri dari pepohonan yang tersusun atas strata tajuk dan berdaun lebar yang selalu hijau sepanjang tahun. Dalam hutan hujan tropis terdapat juga jenis tumbuhan palm dan paku-pakuan (Anomin, 2008).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), Indonesia memiliki hutan hujan tropis seluas ± 89,000,000 ha dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Iklim selalu basah

b. Tanah kering dan berbagai macam jenis tanah

c. Topografi berbukit pada tanah dataran rendah (< 1000 m dpl) dan terdapat pada dataran tinggi sampai dengan ketinggian 4000 m dpl.

d. Hutan hujan tropis dibedakan menurut ketinggiannya menjadi hutan hujan dataran rendah, hutan hujan sedang dan hutan hujan dataran tinggi.

(4)

6 CO2+ 6 H2O energi sel matahari berklorofil C6H12O6 + 6 O2

Soerianegara (1996) menyatakan, suhu rata-rata tahunan di hutan hujan dataran rendah adalah 26 °C yang didominasi oleh tiga jenis pohon yaitu Shorea spp.,Dryobalanops spp., danDipterocarpus spp.

2.2 Fotosíntesis

Heddy (1990) menyatakan, fotosintesis sering didefinisikan sebagai suatu proses dimana terjadi sintesa karbohidrat tertentu dari karbondioksida (CO2) dan

air (H2O)yang dilakukan oleh sel-sel berklorofil dengan adanya cahaya matahari

dan dibebaskan gas oksigen. Proses fotosintesis sering disebut dengan istilah asimilasi karbon. Sebagai persamaan total dari proses fotosintesis ditulis sebagai berikut :

Reaksi kimia dari seluruh proses fotosintesis merupakan reaksi oksidasi-reduksi antara CO2 dan H2O. Dalam proses ini CO2 direduksi dan H2O dioksidir

karena di sini terjadi perpindahan H dari air ke CO2.

Fotosintesis terdiri dari dua reaksi kimia yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Dalam reaksi terang proses reaksi reduksi CO2 dan pembebasan H

memungkinkan untuk menghasilkan reduktan untuk meredusir CO2. Proses reaksi

reduksi CO2 menjadi karbohidrat membutuhkan energi dalam bentuk ATP

(Adenin Tri Phosphat) dan NADPH2 (Nicotine Namide Di Nucleotide Hydrogen Phospat) yang dihasilkan dalam reaksi terang. Kedua energi yang dihasilkan dalam reaksi terang ini di gunakan dalam reaksi gelap yang mana karbon di udara diserap dan diubah menjadi karbohidrat.

Proses yang paling utama dalam fotosintesis adalah konversi energi cahaya menjadi energi elektrokimia dalam bentuk ikatan berenergi tinggi ATP dan NADPH2. Kedua energi tersebut ditransfer dan bereaksi dengan CO2 menjadi

karbohidrat dimana CO2 dari udara diserap dalam reaksi penyerapan energi.

Biomassa berkaitan erat dengan proses fotosintesis, biomassa bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubahnya menjadi senyawa

(5)

Fiksasi karbon merupakan penyerapan CO2dan akumulasi biomasa dalam

kayu. Pengelolaan hutan dalam hubungannya dengan fiksasi karbon dapat menyerap karbon dan menambah jumlah biomasa dalam wilayah pengelolaan tersebut. Pada dasarnya pengelolaan hutan dapat digunakan sebagai penyerap gas CO2 di atmosfer dengan meningkatkan penyerapan karbon dan mengurangi

pelepasan karbon ke udara (Costa, 1996).

2.3 Biomasa dan Karbon

Dalam Smith et. al (2004) disebutkan, biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, cabang dan tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim. Nekromasa merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang, tunggak, ranting, dan serasah yang belum terlapuk.

Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa, hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi karena keragaman jenis vegetasi yang tinggi, tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat,

kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam biomasa berupa daun, batang, ranting, cabang, bunga, dan buah.

Jumlah karbon yang disimpan dalam biomasa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman.

Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke

udara.

Menurut Tsoumis (1991), unsur kimia yang terdapat dalam kayu adalah karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O) dan nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Dalam persen berat kering oven unsur kimia pada kayu diketahui bahwa karbon 49%-50%, hidrogen 6%, oksigen 44%-45%dan nitrogen hanya 0.1%-1%.

(6)

areal bekas tebangan menyimpan massa karbon di atas permukaan tanah sebesar 57,68 – 107,71 ton C/Ha dan di hutan primer sebesar 229,33 ton C/Ha.

Berdasarkan keberadaannya di alam karbon ditemukan di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.

Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.

Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang. Karbon dalam tanah dapat berupa C-organik yang terkandung dalam bahan organik tanah yang terdiri dari sisa tanaman, hewan, dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah.

Dalam Hairiah dan Rahayu (2007) disebutkan bahwa pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan jumlah stok karbon yang diserap oleh hutan dimana karbon yang ditinggalkan di dalam tegakan terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan limbah kegiatan pemanenan kayu.

(7)

2.4 Pengukuran Biomasa dan Karbon

Dalam Stewart et al. (1992) disebutkan, pengukuran biomasa di atas permukaan tanah dapat dilakukan dengan metode destruktif dan non-destruktif. Pengukuran biomasa metode destruktif adalah pendugaan biomasa dengan melakukan penebangan pada suatu plot ukur sedangkan metode non-destruktif yaitu pendugaan biomasa menggunakan persamaan yang dihasilkan dengan membuat persamaan dari parameter terukur dimensi pohon dengan biomasa yang diketahui dari pendugaan metode destruktif. Parameter yang digunakan dalam pendugaan metode non-destruktif dapat berupa diameter setinggi dada 130 cm (dbh) atau tinggi pohon.

Menurut Chapman (1976) dalam Indrawan (1999), secara garis besar ada dua metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah yaitu metode pemanenan dan netode pendugaan tidak langsung.Allometry adalah suatu model pendugaan biomassa pohon dengan metode pendugaan tidak langsung, berdasarkan parameter yang dapat diukur yaitu diameter dan tinggi pohon. Adapun bentuk hubungan fungsional dari Allometry sederhana adalah sebagai berikut :

Y = a Db, atau dalam bentuk logaritmik : Log Y = Log a + b Log D,

dimana :

Y = biomasa pohon (Kg/Pohon)

D = diameter setinggi dada (130 cm) a, dan b adalah konstanta.

2.5 Kadar Zat Terbang dan Kadar Abu

(8)

arang yang ditetapkan pada temperatur dan selang waktu standar yaitu pada 950±20°C selama 2 menit (ASTM 1990b).

Kadar abu didefinisikan sebagai berat sisa yang tinggal, dinyatakan sebagai persen terhadap berat bahan bebas air, setelah pembakaran pada suhu tinggi dengan tersedianya oksigen yang melimpah (Haygreen dan Bowyer, 1986).

(9)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di petak tebang RKT 2009 yang merupakan petak bekas tebangan (LOA) 1983 dan hutan primer IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2009 sampai dengan September 2009.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tegakan petak bekas tebangan (LOA) 1983 dan hutan primer. Di lokasi petak bekas tebangan (LOA) 1983 dibuat petak ukur di sekitar TPN, sekitar ujung jalan sarad, dan di tengah antara TPN dan ujung jalan sarad.

Untuk mengetahui kandungan karbon pada setiap jenis pohon yang diukur diperlukan sampel kayu untuk diuji di laboratorium. Sampel kayu yang diambil beasal dari batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama cabang, ranting, dan daun.

Alat yang digunakan selama penelitian di lapangan adalah gergaji mesin, meteran, tambang, kompas, pita diameter pohon, kalkulator, alat tulis, tally sheet, tali plastik, cat, pita merah, dan timbangan.

Untuk pengujian di laboratorium alat yang digunakan adalah mesin pencacah, cawan porselen, saringan 40 – 60 mesh, oven, timbangan, dan tanur listrik.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan

(10)

a. Volume tegakan dengan mengukur dimensi tingkat vegetasi pohon, tiang, dan pancang suatu tegakan di blok tebangan Logged Over Area (LOA) dan hutan primer/virgin.

b. Berat jenis kayu jenis-jenis pohon/kelompok jenis pohon dengan pengujian sampel kayu bagian batang bebas cabang, batang setelah cabang pertama, dan cabang untuk mengetahui berat jenisnya.

c. Data berat kering, kadar air, kadar zat terbang, dan kadar abu jenis-jenis kayu yang diperoleh dengan analisis sampel kayu di laboratorium.

Data sekunder yang dikumpulkan berupa data kondisi umum lokasi penelitian antara lain :

a. Letak, luas, dan keadaan umum lokasi penelitian. b. Kondisi areal dan potensi hutan alam tanah kering.

3.4 Pengumpulan data di lapangan

Data dimensi tegakan diperoleh dari inventarisasi hutan menggunakan sistem jalur pada tingkat vegetasi pohon, tiang, dan pancang di 4 lokasi yang berbeda yakni di areal Plasma Nutfah sebagai hutan primer dan petak bekas tebangan (LOA) 1983 dibuat petak ukur di sekitar TPN, sekitar ujung jalan sarad, dan di tengah antara TPN dan ujung jalan sarad. Petak ukur pada masing-masing lokasi adalah 100 m x 100 m yang terdiri dari 25 sub-petak ukur 20 m x 20 m.

Keterangan :

: Sumbu jalur inventarisasi : Batas sub petak

dan anak petak

: Batas jalur inventarisasi

100 m

U

20

10

100 m

(11)

Sub petak 20 m x 20 m : Pengukuran tingkat vegetasi pohon (dbh 20 cm).

Anak petak 10 m x 10 m : Pengukuran tingkat vegetasi tiang (dbh 10 cm – 19 cm).

Anak petak 5 m x 5 m : Pengukuran tingkat vegetasi pancang (dbh < 10 cm dan tinggi > 1,5 m).

3.4.1 Volume tegakan Logged Over Area (LOA) dan Hutan Primer

Masing-masing pada sub petak ukur 20 m x 20 m, 10 m x 10 m, dan 5 m x 5 m diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang untuk mengetahui volume bebas cabang pohon, tiang, dan pancang.

3.5 Pengumpulan data di laboratorium 3.5.1 Kadar Air

Contoh uji diambil dari masing-masing bagian pohon (batang pangkal, batang ujung, cabang, dan batang setelah cabang pertama). Contoh uji penetapan kadar air berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Semua contoh uji harus bersih dari serabut dan ditimbang berat basahnya. Contoh uji dikeringkan dalam tanur suhu 103±2° C sampai tercapai berat konstan. Penurunan berat yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kering tanur ialah kadar air contoh uji.

Untuk mengetahui kadar air pada ranting dan daun dilakukan penimbangan berat basah dan dikeringkan pada suhu 80 ± 2 °C selama 48 jam dalam oven.

3.5.2 Berat jenis

Untuk mengetahui biomasa dengan pendekatan volume suatu jenis pohon perlu diketahui berat jenis kayu. Berat jenis kayu diperoleh dengan pengujian sampel kayu di laboratorium. Banyaknya sampel kayu diambil adalah 3 buah sampel dari bagian melintang tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama, dan batang cabang pohon pada tingkat vegetasi pohon, tiang, dan pancang dengan dimensi 2 cm x 2 cm x 2 cm berdasarkan American Society for

Kadar Air (%) = Berat Awal - Berat Kering Oven x 100%...(Haygreen dan Bowyer 1982)

(12)

Testing Material (ASTM) D 134. Cara pengambilan sampel kayu dapat dilihat pada gambar 2, 3, dan 4.

Penentuan berat jenis kayu dilakukan dengan tahap sebagai berikut : a. Setiap sampel kayu ditimbang berat basahnya.

b. Pengukuran volume sampel kayu.

c. Sampel dikeringkan dalam oven bersuhu ±105°C selama 24 jam. d. Setelah kering tanur ditimbang berat kering sampel kayu.

Berat jenis kayu dihitung dengan rumus sebagai berikut :

3.5.3 Berat Kering Oven

Berat kering cabang berdiameter <5 cm dan daun diukur sebagai berikut : a. Diambil sampel cabang < 5 cm dan daun sebanyak ± 200 gram sebagai

sampel uji.

b. Sampel yang telah diambil dikeringkan dalam oven bersuhu 80 ± 2 °C selama 48 jam.

c. Setelah kering tanur ditimbang untuk mendapatkan berat kering tanur.

3.5.4 Kadar zat terbang

Untuk mengetahui suatu kandungan karbon dalam biomasa perlu diketahui kadar zat terbang dan kadar abu. Untuk analisis kadar zat terbang dan kadar abu diperlukan sampel kayu sebanyak 2 kali ulangan dari bagian melintang tunggak, batang bebas cabang, batang utama setelah cabang pertama dan percabangan pada tingkat vegetasi pohon, tiang dan pancang dengan tebal ± 5 cm.

Berat jenis kayu = Massa kering tanur (gr) ... (Ginoga, 1974) Volume kering udara (cm3)

Sampel kayu tebal ± 5cm

(13)

Kadar zat terbang pada prinsipnya adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk air dengan menggunakan energi panas. Penentuan zat terbang ini di lakukan 2 kali ulangan. Kadar zat terbang ditentukan berdasarkan (ASTM) D 5832-98 dalam Budiyanto (2006). Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : a. Cawan porselen diisi contoh uji berupa serbuk sebanyak ± 2 g, kemudian

cawan ditutup rapat dengan penutupnya.

b. Contoh uji dimasukan ke dalam tanur listrik bersuhu 950 °C selama 2 menit. Kemudian cawan berisi contoh uji tersebut dimasukan ke dalam desikator dan selanjutnya ditimbang.

Kadar Zat Terbang diyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Zat Terbang = Kehilangan Berat Contoh x 100% Berat Contoh Uji Bebas Air

3.5.5 Kadar Abu

Kadar abu pada prinsipnya adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap) dengan membakar serbuk menjadi abu dengan menggunakan energi panas Prosedur penentuan kadar abu adalah sebagai berikut :

a. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukan ke dalam tanur listrik bersuhu 750 °C selama 6 jam

b. Selanjutnya dinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang untuk mengetahui beratnya.

Kadar Zat Abu diyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Abu = Berat sisa contoh uji x 100% Berat contoh uji bebas air

Gambar 3. Sampel kayu yang diambil dari bagian batang utama setelah cabang dan percabangan.

(14)

3.5.6 Kadar Karbon

Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah penentuan kadar karbon tetap yang telah diarangkan. Seharusnya penentuan kadar karbon yang mendekati kadar karbon sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan metode Total Organic Carbon (TOC). Namun karena metode tersebut sangat mahal dan belum banyak dikembangkan di Indonesia, maka penentuan karbon dilakukan dengan penentuan kadar karbon tetap. Prosedur penentuan karbon tetap berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut:

3.6 Pengolahan data 3.6.1 Volume

Volume bebas cabang, batang utama setelah bebas cabang, dan cabang (diameter 5 cm) dihitung dengan menggunakan rumus :

dimana : V = Volume batang (m3) B = Lbds pangkal (m2)

S = Lbds ujung (m2)

L = Panjang (m)

3.6.2 Model Penduga Massa Karbon Dalam Tegakan

Dalam penyusunan model penduga massa karbon ini digunakan satu sampai dua peubah bebas. Peubah bebas yang digunakan adalah diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang. Model penduga massa karbon dalam batang pohon adalah sebagai berikut :

a. C = aDb dan b. C = a DbHc

C = Kandungan karbon dalam pohon (kg)

D = Diameter setinggi dada (130cm dari permukaan tanah) H = Tinggi bebas cabang, dan

a, b, dan c = konstanta

Kadar Karbon = 100% - Kadar Zat Terbang Kadar Abu

(15)

3.6.3 Uji t-student

Dari data yang telah diolah dilakukan uji t-student terhadap :

1. Hubungan persen rata-rata kadar karbon terhadap bagian pohon, tingkat pertumbuhan pohon, dan jenis pohon.

2. Hubungan jumlah kandungan karbon per-Ha terhadap lokasi pangamatan.

Analisis yang digunakan adalah uji t-student dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Walpole 1995) :

t - hitung =

(

)

dimana :

t - hitung = Beda nilai tengah

= Rataan kadar karbon bagian pohon 1/tingkat pertumbuhan 1/jenis pohon 1.

= Rataan kadar karbon bagian pohon 2/tingkat pertumbuhan 2/jenis pohon 2.

d = Selisih nilai beda tengah populasi = 0 S² = Ragam rataan karbon bagian pohon 1/tingkat

pertumbuhan 1/jenis pohon 1.

S² = Ragam rataan karbon bagian pohon 2/tingkat pertumbuhan 2/jenis pohon 2.

n = Jumlah bagian pohon 1/tingkat pertumbuhan 1/jenis pohon 1.

(16)

4.1 Letak dan Luas Areal

PT. Suka Jaya Makmur merupakan salah satu anak perusahaan yang tergabung dalam kelompok Alas Kusuma Group berdasarkan Surat Keputusan IUPHHK No. 106/KPTS-II/2000 tanggal 29 Desember 2000. Luas areal berdasarkan SK Menhut No. 106/KPTS-II/2000 adalah seluas 171.340 Ha, dimana luas Hutan Produksi Terbatas seluas 128.340 Ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 13.000 Ha.

Menurut pembagian wilayah Administrasi Pemerintahan, areal PT. Suka Jaya Makmur meliputi Kecamatan Tumbang Titi, Nanga Tayap, Sandai, Matan Hilir Selatan dan Nanga Sokan, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang Kalimantan Barat.

Berdasarkan pembagian Administrasi Kehutanan, areal PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ketapang dan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat.

Berdasarkan pembagian kesatuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Wilayah ini termasuk ke dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ketapang Dinas Kehutanan Kalimantan Barat tepatnya di kelompok Hutan Sungai Pesaguan dan Sungai Biya.

Secara geografis, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur merupakan areal kompak yang terletak diantara 110°27’ BT - 111°25’ BT dan 01°00’ LS - 01°55’ LS. Sedangkan batas areal PT. Suka Jaya Makmur :

Utara : IUPHHK PT. Duaja II dan PT. Wanasokan Hasilindo Timur : Hutan Lindung dan Hutan Negara

(17)

4.2 Topografi

Topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang, datar, dan landai hingga agak curam dengan persentase kemiringan lapangan seperti pada Tabel 1. Areal tersebut memiliki ketinggian minimum 300 m dpl dan maksimum 700 mdpl.

Tabel 1. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng.

Klasifikasi Kelerangan Luas (Ha) Persentase (%)

Datar 0 – 8 13.433 7.84

Landai 0 – 15 43.794 25.56

Agak Curam 15 – 25 108.766 63.48

Curam 25 – 45 2.861 1.67

Sangat Curam >45 2.486 1.45

Jumlah 171.340 100

4.3 Geologi dan Jenis Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Propinsi Dati 1 Kalimantan Barat, diketahui bahwa batuan yang terdapat pada areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur adalah (1) Efusif (2) Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif dan Plutonik basa menengah. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api.

(18)

Tabel 2. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur

No. Macam

Bergelombang Bertekstur liat, solum dalam,

Perbukitan Berbukit Bertekstur liat berpasir, solum Sumber : Satuan Peta Tanah Tahun 1993 SKL IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur

4.4 Hidrologi

Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur pada dasarnya masuk dalam Kesatuan DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh.

Sungai utama adalah sungai Pawan dengan lebar 150 – 300 m dengan kedalaman 5 – 15 m dan sungai Pesaguan dengan lebar 60 – 150 m dengan kedalaman 4 – 10 m dimana kedua sungai tersebut bermuara ke laut Cina Selatan.

4.5 Iklim

(19)

Tabel 3. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 Pada Bulan Desember 2004.

No. Parameter Stasiun Pengamat Cuaca

Camp Arbretum Camp 128

1 Jumlah hari hujan 18 hari 28 hari

2

Curah hujan :

-Total 3720 ml 7250 ml

-Rata-rata 206.67 ml 309.09 ml

- Maksimum 510 ml 600 ml

3

Suhu rata-rata :

-Pagi 24.61 C 24.57 C

-Siang 28.06 C 28.47 C

-Sore 25.48 C 27.10 C

Sumber : Pengukuran Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128.

Bulan-bulan basah (>100mm/bulan) yang merupakan musim penghujan terjadi hampir sepanjang tahun sedangkan bulan kering tidak sampai dibawah 60 mm/bulan. Suhu udara rata-rata tahuan berkisar antara 26 – 28 °C, kelembaban udara rata-rata 85% – 95%.

4.6 Kondisi Vegetasi Hutan

Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Huajan Tropika Basah (Low Land Tropical Rain Forest) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dengan komposisi jenis secara keseluruhan adalah sebagai berikut :

a. 60 % Dipterocarpaceae yang terdiri dari 44.58% jenis Meranti (Shorea spp.), 2,45% Keruing (Dipterocarpus spp.), 1,40% Kapur (Dryobalanops spp.) dan 11.57% bangkirai/Bengkirai (Shorea laevolia).

b. 6% jenis Pisang-pisangan (Mizettia spp.), Perupuk (Lophopetalum malaccensis), dan Benuang (Octomeles sumatrana).

(20)

yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu (Helarctus malayanus), Owa/Klempiau (Hilipbates spp.), Rusa (Cervus spp.), dan Burung Rangkong/Rangkok (Bucherostidae spp.).

Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low Land Tropical Rain Forest). Sebaran jenis komersial didominasi kelompok kayu Meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti (Shorea spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Nyatoh (Palaqium spp.), Durian burung (Durio spp.), Gronggang (Cratoxilon celebious), Jelutung (Dyera spp.), Resak (Vatica spp.), Melapi (Shorea spp.), Bengkirai (Shorea laevifolia), dan Keruing (Dipterocarpus spp.). Kelompok Rimba Camuran terdiri dari : Benuang (Octomeles malaccensis), Bintangor (Callopylum spp.), Medang (Litsea firma Hook.f), Kempas (Koompasia malaccensis), Ubar (Dillenia pulchella), Kulim (Scodocarpus spp.), Kumpang, Sawang, Pulai (Alstonia spp.), dan kelompok Kayu Indah yang terdiri dari : Ulin (Eusideroxylon zwageri), Rengas (Gluta renghas), dan Sindur (Sindora spp.).

4.7 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat

Penduduk desa yang berada disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak dan sisanya merupakan Suku Melayu, Tionghoa, dan Jawa. Etnis Dayak yang berdomisili di wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Dayak Kapus, Dayak Laman Tawa, Dayak Laman Tuha, dan Dayak Keluas. Mayoritas Agama yang dipeluk oleh penduduk adalah agama Katolik. Kedua terbesar adalah agama Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama Islam dan agama lainnya.

(21)

4.8 Aksesibilitas

Areal unit hutan produksi PT. Suka jaya Makmur memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Untuk menuju areal tersebut dapat melalui dua macam rute, yaitu :

a. Jalan darat yang melalui ruas jalan Ketapang - Siduk (60 km). Siduk – Desa Sei Kelly (61 km), dan Desa Sei kelly Base Camp (38 km). Sebagian besar keadaan jalan darat tersebut dapat dilalui kendaraan bermotor pada musim kemarau.

b. Jalan air melalui Sungai Pawan antara Ketapang – Log Pond di Desa Sei Kelly (± 3 jam) dengan speed boat dan jalan darat Log pond - Base Camp (38 km).

Untuk mencapai ke setiap bagian hutan dapat melalui jalan darat berupa jalan pengerasan yang keadaannya sangat baik. Sedangkan di dalam bagian hutannya banyak terdapat jalan-jalan pengerasan dan jalan tanah yang dalam rencana akan dikembangkan menjadi jalan cabang maupun jalan batas petak.

(22)

5.1 Kadar Air

Pohon sebagai tumbuhan membutuhkan air untuk proses metabolisme. Air diserap oleh xilem bersama unsur hara yang dibutuhkan. Air yang dikandung dalam kayu diekspresikan dalam bentuk persen kadar air. Kadar air didefinisikan berat air dinyatakan dalam persen terhadap berat kering oven kayu. Tabel 4 dibawah ini merupakan hasil pengukuran kadar air pada beberapa jenis kayu. Tabel 4. Kadar Air Pada Masing-masing Bagian Pohon Yang Diteliti.

Jenis Bagian Pohon Rata-rata

Pangkal Ujung Bscp Cabang Kulit Ranting Daun

Keruing 28.55% 18.49% 17.52% 22.42% 16.63% 23.49% 23.44% 21.50% Bangkirai 21.58% 19.06% 18.12% 21.11% 17.46% 16.77% 18.39% 18.93% Resak 24.95% 17.91% 24.34% 26.31% 18.81% 17.07% 18.25% 21.09% Meranti Merah 16.86% 18.52% 18.37% 17.21% 16.83% 18.24% 20.27% 18.04% Meranti Kuning 30.84% 24.27% 22.04% 16.95% 19.04% 16.89% 17.86% 21.13% Nyatoh 28.41% 22.91% 24.39% 24.98% 24.69% 16.20% 19.70% 23.04% Mersawa 21.99% 20.36% 17.59% 20.23% 15.59% 15.79% 17.78% 18.48% Benuang 38.16% 22.81% 19.85% 28.91% 42.76% 11.36% 12.77% 25.23% Ubar 23.00% 20.14% 24.56% 26.81% 19.19% 17.04% 18.93% 21.38% Kumpang 22.71% 15.77% 18.68% 15.42% 17.32% 16.31% 19.24% 17.92% Medang 25.26% 20.56% 23.82% 20.83% 24.23% 18.87% 20.23% 21.97% Sawang 21.11% 17.24% 20.06% 20.15% 22.41% 13.89% 15.43% 18.61% Ulin 19.23% 18.30% 22.96% 19.90% 17.45% 15.26% 16.72% 18.55% Rata-rata 24.82% 19.72% 20.95% 21.63% 20.95% 16.71% 18.39%

Keterangan :Bscp (Batang setelah cabang pertama)

Bagian pohon yang diukur kadar airnya adalah pangkal batang, ujung batang bebas cabang, batang setelah cabang pertama, kulit, ranting, dan daun. Berat awal contoh yang diukur adalah pada saat berat kering udara. Kadar air tertinggi rata-rata bagian pohon adalah bagian pangkal 24,82% dan pada jenis pohon adalah Benuang (Octomeles sumatrana) 25,23% sedangkan kadar air terendah pada bagian ranting 16,70% dan pada jenis pohon yaitu Kumpang (Diospyros sp,).

(23)

disimpan sehingga kadar air yang diketahui dari hasil pengukuran dalam berat contoh kondisi kering udara tidak lebih besar dari pangkal batang yaitu 18,38% karena selama pengambilan contoh sampai pengujian, secara alami teruapkan.

Kadar air bagian ujung batang bebas cabang adalah 19,72% lebih rendah dari pada bagian batang setelah cabang pertama dan cabang yaitu 20,95% dan 21,63%. Hal ini dimungkinkan karena faktor kayu juvenil (kayu muda) lebih banyak terdapat pada bagian batang setelah cabang pertama dan pada cabang kandungan selulosanya tinggi hampir sama dengan kayu juvenil (Tsoumis, 1991).

Dalam Haygreen dan Bowyer (1986), kadar air bagian kulit sebanding dengan kadar air kayu. Hasil pengukuran menunjukan kadar air kulit kayu relatif sama terutama dengan bagian batang setalah cabang pertama yaitu 20,95%.

5.2 Berat Jenis Kayu

Sifat fisis dan mekanis kayu sangat berhubungan dengan kerapatan dan berat jenis kayu, dimana berat jenis kayu berbanding lurus dengan kekuatan kayu. Kerapatan kayu dapat menggambarkan berat material per volume dan dapat digunakan untuk mengetahui biomasa. Berat jenis dinyatakan sebagai berat kering kayu dibagi volume kayu dalam keadaan kering udara dibandingkan kerapatan air. Tabel 5 dibawah ini merupakan hasil pengukuran berat jenis pada berbagai bagian pohon pada tingkat vegetasi tiang dan pohon.

Tabel 5. Berat Jenis Kayu Berbagai Bagian Pohon Yang Diteliti.

Jenis Bagian Pohon Berkayu Rata-rata

Pangkal Ujung Bscp Cabang

Keruing 0,705 0,387 0,431 0,377 0,475

Bangkirai 0,682 0,654 0,688 0,657 0,670

Resak 0,748 0,609 0,694 0,700 0,688

Meranti Merah 0,489 0,496 0,438 0,464 0,472

Meranti Kuning 0,482 0,486 0,447 0,611 0,506

Nyatoh 0,577 0,525 0,457 0,526 0,521

Mersawa 0,530 0,645 0,478 0,653 0,576

Benuang 0,238 0,269 0,326 0,483 0,329

Ubar 0,887 0,842 0,781 0,773 0,821

Kumpang 0,468 0,297 0,398 0,414 0,394

Medang 0,672 0,547 0,610 0,578 0,602

Sawang 0,697 0,669 0,669 0,629 0,666

Ulin 1,034 0,933 0,894 1,009 0,968

Rata-rata 0,632 0,566 0,562 0,606

(24)

Berat jenis rata-rata bagian pangkal batang 0,632 merupakan bagian yang memiliki berat jenis tertinggi setelah cabang kayu 0,606, ujung batang 0,566 dan batang setelah cabang pertama 0,562. Selain faktor jenis pohon dipengaruhi juga oleh pertumbuhan kayu dimana bagian pangkal pohon, kayu dewasa lebih dominan dari pada kayu juvenil. Dalam Haygreen dan Bowyer 1986 berat jenis bagian cabang lebih besar dari pada bagian pohon lainnya hal ini berkaitan dengan pertumbuhannya yang lambat berbanding lurus terhadap berat jenis.

Berdasarkan jenis pohon berat jenis tertinggi adalah Ulin (Eusideroxylon zwageri) 0,968 dan terendah adalah Benuang (Octomeles sumatrana) 0,329 kedua berat jenis tersebut sepadan dengan Martawidjaja et al.(1989), (Ulin 0,88 - 1,19 dan Benuang 0,16-0,48). Kecepatan pertumbuhan dan anatomi kayu sangat berpengaruh pada kondisi ini. Dalam Mandang dan Pandit (2002) anatomi Benuang (Octomeles sumatrana) memliliki pori dan jari-jari dengan frekuensi sangat jarang sampai agak jarang sedangkan Ulin (Eusideroxylon zwageri) pori dipenuhi dengan tilosis dengan jari-jari sempit sampai agak lebar dan terdapat sel minyak berwarna kemerahan.

Secara berturut-turut jenis pohon Keruing (Dipterocarpus sp.) dan Resak (Vatica rassack) memiliki berat jenis 0,475 dan 0,688 sepadan dengan hasil penelitian Mandang dan Pandit (2002) untuk jenis Keruing (Dipterocarpus sp.) memiliki berat jenis 0,51-0,99 dan Resak 0,49-0,99. Sedangkan jenis Nyatoh (Palaquium sp.) dengan berat jenis 0,521 sepadan dengan Martawidjaja et al. (1981), yaitu 0,48 - 0,76.

(25)

pulchella), Kumpang (Diospyros sp,), dan Sawang (?). Hasil pengukuran berat jenis penelitian ini menunjukan berat jenis kayu Ubar (Dillenia pulchella) 0,821, Kumpang (Diospyros sp,) 0,394, dan Sawang (?) 0,666.

Kayu sering mengandung banyak bahan-bahan ekstraktif dan infiltrasi meliputi terpen, resin, polifenol seperti tanin, gula, minyak, senyawa anorganik silikat, karbonat, dan fosfat. Bahan ekstraktif yang dikandung mempengaruhi kerapatan dan berat jenis. Selain itu kerapatan kayu dipengaruhi faktor spesies, laju pertumbuhan, umur pohon setelah menghasilkan kayu, dan letak kayu (Haygreen dan Bowyer, 1986).

5.3 Berat Jenis Kulit Pohon

Berat jenis kulit pohon diukur untuk mengetahui biomasa kulit sama halnya pada bagian pohon berkayu. Berat jenis kulit pohon hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Berat Jenis Kulit Pohon.

Jenis Kulit

Keruing 0,990

Bangkirai 0,963

Resak 1,120

Meranti Merah 0,609

Meranti Kuning 1,195

Nyatoh 0,730

Mersawa 0,946

Benuang 0,612

Ubar 0,948

Kumpang 0,688

Medang 0,448

Sawang 0,890

Ulin 0,894

Rata-rata 0,849

(26)

lainnya. Haygreen dan Bowyer (1986) memaparkan bahwa kulit kayu pada sejumlah spesies memiliki berat per unit volume yang secara nyata lebih tinggi dari pada kayu.

Kenaikan berat jenis kulit luar dapat disebabkan oleh pemampatan kulit mati maupun partikel yang terbawa oleh angin dan menempel pada kulit kayu seperti partikel tanah dan debu (Corder 1976 dalam Haygreen dan Bowyer 1986).

5.4 Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang merupakan zat ekstraktif yang dapat menguap pada suhu yang sangat tinggi. Pada Tabel 7 disajikan hasil pengukuran kadar zat terbang pada berbagai bagian pohon.

Tabel 7. Rata-rata Kadar Zat Terbang Pada Berbagai Bagian Pohon.

Jenis Bagian Pohon Rata-rata

Pangkal Ujung Bscp Cabang Ranting Daun Kulit

Keruing 48,94% 57,33% 57,27% 59,56% 64,50% 69,77% 69,66% 61,00% Bangkirai 49,16% 55,82% 57,85% 60,35% 62,64% 70,84% 67,58% 60,61% Resak 49,54% 57,17% 56,01% 60,72% 68,84% 69,28% 66,05% 61,09% Meranti Merah 50,17% 55,66% 58,08% 61,76% 65,96% 68,42% 70,10% 61,45% Meranti Kuning 51,18% 56,44% 59,17% 59,19% 64,71% 59,86% 64,02% 59,23% Nyatoh 52,87% 53,83% 57,10% 57,18% 64,72% 64,45% 71,93% 60,30% Mersawa 53,05% 55,26% 58,61% 56,51% 69,88% 63,38% 63,29% 60,00% Benuang 50,96% 54,82% 55,79% 59,94% 66,29% 68,49% 69,69% 60,86% Ubar 57,81% 58,06% 55,69% 56,85% 56,37% 62,57% 64,90% 58,89% Kumpang 53,86% 56,63% 56,11% 57,89% 61,75% 66,71% 63,79% 59,53% Medang 54,22% 56,34% 57,57% 61,93% 63,55% 65,43% 60,40% 59,92% Sawang 54,29% 54,80% 58,67% 58,02% 63,73% 68,97% 69,78% 61,18% Ulin 50,78% 57,86% 55,71% 59,70% 60,61% 65,73% 67,84% 59,75% Rata-rata 52,06% 56,16% 57,20% 59,20% 64,12% 66,45% 66,85%

Keterangan :Bscp (Batang setelah cabang pertama)

(27)

Kadar zat terbang secara berurutan pada kulit kayu, daun, ranting, cabang, batang setelah cabang pertama, batang ujung, dan batang pangkal memiliki kadar zat terbang 66,85%, 66,45%, 64,12%, 59,20%, 57,20%, 56,16%, dan 52,06%

Jenis pohon yang diteliti adalah Keruing (Dipterocarpus sp.), Bangkirai, Resak (Vatica rassack), Meranti Merah (Shorea sp.), Meranti Kuning (Shorea pinanga), Nyatoh (Palaquium sp.), Mersawa (Anisoptera marginata), Benuang (Octomeles sumatrana), Ubar (Dillenia pulchella), Kumpang (Diospyros sp.), Medang (Litsea firma), Sawang (?), dan Ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada Tabel 7 dapat dilihat kadar zat terbang berdasarkan jenis pohon yang diuji relatif sama yaitu berkisar antara 59,23% - 61,45%.

5.5 Kadar Abu

Kadar abu merupakan mineral pada kayu yang tidak teruapkan pada suhu tinggi. Mineral yang tertinggal pada zat abu adalah Silika, Magnesium, Kalsium, Kalium, dan Mangan. Berdasarkan Tsoumis (1991), kadar abu pada kayu umumnya 0,1% - 5%. Hasil pengukuran kadar abu disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Kadar Zat Abu Pada Berbagai Bagian Pohon.

Jenis Bagian Pohon Rata-rata

Pangkal Ujung Bscp Cabang Ranting Daun Kulit

Keruing 1,36% 1,27% 3,18% 1,27% 1,44% 5,02% 4,21% 2,54% Bangkirai 0,32% 0,50% 0,48% 0,37% 0,80% 1,68% 3,26% 1,06% Resak 0,57% 0,56% 1,40% 1,56% 2,18% 3,39% 3,08% 1,82% Meranti Merah 0,30% 0,53% 0,49% 0,61% 1,71% 3,71% 2,13% 1,35% Meranti Kuning 0,61% 0,84% 0,59% 0,85% 3,11% 13,26% 0,64% 2,84% Nyatoh 0,90% 1,22% 0,94% 1,26% 2,57% 3,56% 2,27% 1,82% Mersawa 0,72% 0,54% 0,41% 0,54% 1,40% 8,51% 2,05% 2,03% Benuang 1,43% 1,42% 0,99% 0,75% 1,19% 6,75% 3,34% 2,27% Ubar 0,46% 0,50% 0,72% 1,04% 2,52% 6,82% 2,05% 2,02% Kumpang 1,18% 0,70% 1,19% 0,71% 2,22% 5,69% 4,15% 2,26% Medang 1,13% 0,90% 0,88% 1,72% 3,45% 4,40% 3,96% 2,35% Sawang 0,90% 1,33% 0,72% 1,46% 2,53% 3,10% 2,98% 1,86% Ulin 0,29% 0,33% 0,51% 0,40% 4,56% 3,10% 2,92% 1,73% Rata-rata 0,78% 0,82% 0,96% 0,97% 2,28% 5,31% 2,85%

Keterangan :Bscp (Batang setelah cabang pertama)

(28)

tinggi pada daun sangat tinggi hal ini dapat disebabkan daun sebagai bagian pohon yang melakukan fotosintesis dimana dalam prosesnya xilem mengangkut air dan mineral untuk proses fotosintesis.

Kadar abu pada bagian batang pangkal merupakan kadar abu paling rendah yaitu 0,78% hal ini sepadan dengan hasil penelitian Yoshida (1961) dalam Young dan Guinn (1966) mengenai seluruh bagian pohon, kandungan komponen anorganik menurun berturut-turut dari kulit, akar halus, ranting, akar, cabang, dan batang.

Pada bagian batang ujung, batang setelah cabang pertama, cabang, ranting, dan kulit, secara berurutan memiliki kadar abu adalah sebagai berikut 0,82%, 0,96%, 0,97%, 2,28% dan 2,85%.

Mineral-mineral terpenting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung terkonsentrasi pada jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi dari pada kayu (Haygreen dan Bowyer, 1986).

Tanah yang terbawa angin atau partikel-patikel pasir yang mungkin terperangkap pada kulit luar yang kasar ikut menyebabkan tingginya kadar abu kayu biasanya mencapai 5% (Corder (1976) dalam Haygreen dan Bowyer, 1986).

5.6 Kadar Karbon

Kadar karbon merupakan persen jumlah unsur karbon yang diserap oleh tumbuhan dari CO2 di udara yang diserap dalam proses reaksi penyerapan energi

(29)

Tabel 9. Rata-rata Kadar Karbon Pada Berbagai Bagian Pohon.

Jenis Bagian Pohon Rata-rata

Pangkal Ujung Bscp Cabang Ranting Daun Kulit

Keruing 49,70% 41,40% 39,54% 39,17% 34,05% 25,21% 26,13% 33,04% Bangkirai 50,52% 43,68% 41,67% 39,27% 36,56% 27,48% 29,16% 35,18% Resak 49,89% 42,26% 42,59% 37,72% 28,98% 27,33% 30,87% 35,16% Meranti Merah 49,53% 43,81% 41,44% 37,63% 32,33% 27,88% 27,77% 35,04% Meranti Kuning 48,20% 42,72% 40,24% 39,96% 32,18% 26,88% 35,33% 38,63% Nyatoh 46,23% 44,96% 41,96% 41,56% 32,71% 31,99% 25,80% 32,90% Mersawa 46,23% 44,20% 40,97% 42,94% 28,71% 28,11% 34,67% 38,08% Benuang 47,61% 43,76% 43,22% 39,31% 32,51% 24,76% 26,98% 34,36% Ubar 41,73% 41,45% 43,59% 42,11% 41,11% 30,61% 33,04% 37,39% Kumpang 44,96% 42,82% 42,69% 41,40% 36,03% 27,60% 32,07% 36,77% Medang 44,64% 42,76% 41,55% 36,34% 33,00% 30,17% 35,63% 39,20% Sawang 44,81% 43,86% 40,61% 40,52% 33,74% 27,93% 27,24% 34,76% Ulin 48,93% 41,81% 43,78% 39,89% 34,82% 31,16% 29,23% 38,05%

Rata-rata 47,15% 43,04% 41,84% 39,83% 33,60% 28,24% 30,30% Keterangan :Bscp (Batang setelah cabang pertama)

Tabel 9 menyajikan data hasil pengujian kadar karbon pada berbagai bagian pohon. Rata-rata kadar karbon tertinggi adalah 47,15% pada bagian pangkal batang dan terendah pada bagian daun yaitu 28,24%.

Berdasarkan hasil pengujian pada berbagai bagian pohon selang kadar karbon 28,24% - 47,15%. Pada bagian batang ujung, batang setelah cabang pertama, cabang, ranting, dan kulit, secara berurutan memiliki kadar karbon 43,04%, 41,84%, 39,83%, 33,60%, dan 30,30%. Kadar karbon pada bagian paling ujung pohon sampai bagian pangkal batang mengalami peningkatan kadar karbon berbanding terbalik dengan kadar zat terbang yang mengalami penurunan.

(30)

5.7 Analisis Data

5.7.1 Uji t-student Kadar Karbon Bagian Pohon

Uji kadar karbon telah dilakukan baik pada bagian-bagian pohon maupun jenis pohon dengan analisis uji t-student. Tabel 10 merupakan hasil uji t-student kadar karbon berdasarkan bagian pohon.

Tabel 10. Uji T-Student Kadar Karbon Bagian Pohon.

Bscp Cabang Ranting Kulit Daun

Batang 9,25 10-06** 1,5 10-08** 6,02 10-10** 8,22 10-19** 6,07 10-24** Bscp 0,033132* 7,8 10-06** 2,87 10-17** 1,13 10-28** Cabang 0,00053** 4,43 10-15** 1,38 10-24**

Ranting 3,31 10-13** 7,06 10-21**

Kulit 0,017682*

Keterangan : Bscp (Batang setelah cabang pertama) ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tn

tidak berbeda nyata (p > 0,05)

Dapat diketahui dari Tabel 10, pada masing-masing uji bagian pohon menunjukan kadar karbon pada bagian pohon berbeda sangat nyata kecuali pada bagian batang setelah cabang pertama dengan cabang dan bagian kulit dengan daun menunjukan perbedaan yang nyata.

5.7.2 Uji T-Student Kadar Karbon Tingkat Vegetasi

Uji t-student kadar karbon berdasarkan tingkat vegetasi disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Uji T-Student Kadar Karbon Tingkat Vegetasi.

Tiang Pohon

Pancang 0.032437* 0.001531**

Tiang 1.33 10-05**

Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tn

tidak berbeda nyata (p > 0,05)

(31)

5.7.3 Uji T-Student Kadar Karbon Jenis Pohon

Pada Tabel 12 disajikan hasil uji t-student kadar karbon berdasarkan jenis. Tabel 12. Uji T-Student Kadar Karbon Berdasarkan Jenis.

Bangkirai Resak Meranti Merah

Meranti

Kuning Nyatoh Mersawa Benuang Ubar Kumpang Medang Sawang Ulin

Keruing 0.28tn 0.51

tn 0.49

Kumpang 0.18tn 0.68tn 0.61tn

Medang 0.18tn 0.03*

Sawang 0.28tn

Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tn

tidak berbeda nyata (p > 0,05)

Uji t-student dilakukan juga berdasarkan jenis pohon yang diteliti. Pada Tabel 12 menunjukan bahwa pada setiap jenis pohon kadar karbon yang dimiliki relatif tidak berbeda nyata dimana nilai p > 0,05. Hasil uji yang berbeda nyata diketahui hanya pada uji jenis Medang (Litsea firma) dengan Nyatoh (Palaquium sp.), Medang (Litsea firma Hook.f.) dengan Mersawa (Anisoptera marginata), Medang (Litsea firma) dengan Benuang (Octomeles sumatrana), dan Medang (Litsea firma) dengan Ulin (Eusideroxylon zwageri).

5.8 Model Persamaan

5.8.1 Model Persamaan Pendugaan Biomasa

(32)

Tabel 13. Model Persamaan Pendugaan Biomasa.

Model Persamaan S R-Sq(adj) P

Pohon W =1,336595516546446 D

1,92 0,237488 87,10% 0

W =1,492794409579 D1,88 H0,039 0,239731 86,90% 0 Batang W =0,0223872113856834 D

2,92 0,281523 92,00% 0

W =0,0524807460249772 D1,99 H0,862 0,226526 94,80% 0 Bscp W =0,0173780082874938 D

2,35 0,413076 60,90% 0

W =0,012882495516931D2,22 H0,285 0,419995 59,60% 0 Cabang W =0,0000407380277804112 D

4,07 0,5989 63,70% 0

W =0,000467735141287198 D5,9 H-3,32 0,551353 69,20% 0 Daun W =0,485288500162121 D

0,663 0,152995 66,30% 0

W =0,651628394060843 D0,343 H0,296 0,143202 70,50% 0

Ranting W =0,444631267469109 D

0,709 0,133979 74,70% 0

W =0,518800038928961 D0,543H0,153 0,132287 75,30% 0 Kulit W =2,52929799644614 D

1,37 0,403434 54,60% 0

W =2,333458062281 D1,46H-0,081 0,408673 53,40% 0 Keterangan : Bscp (Batang setelah cabang pertama)

R-Sq(adj) = Koefisien determinasi P = Taraf nyata

S = Simpangan baku

Pada Tabel 13 dapat diketahui persamaan pendugaan kandungan biomasa yang dibentuk adalah persamaan pendugaan biomasa pohon, batang bebas cabang, batang setelah cabang pertama, cabang, ranting, kulit, dan daun. Masing-masing persamaan terdapat dua model hubungan antara biomasa (kg) dengan diameter (cm) dan biomasa (kg) dengan dbh (cm) dan tinggi bebas cabang (m).

Persamaan dengan peubah bebas diameter W = aDb memiliki koefisien determinasi adjusment (R-Sq(adj)) 54,60%-92,00%, sedangkan persamaan dengan dua peubah bebas diameter W = aDbHc memiliki koefisien determinasi (R-Sq(adj)) 53,40% - 94,80%.Pada Tabel 13 dapat diketahui nilai P < 0,005 hal ini menunjukan bahwa persamaan W = aDb dan W = aDbHc dapat diterima karena peubah bebas memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap biomasa.

(33)

5.8.2 Model Persamaan Pendugaan Massa Karbon

Seperti halnya model persamaan biomasa, persamaan massa karbon dibuat model hubungan antara jumlah karbon (kg) dengan dbh (cm) dan jumlah karbon (kg) dengan dbh (cm) dan tinggi bebas cabang (m). Persamaan yang dibuat adalah persamaan dengan satu peubah yaitu C = aDbatau Log C = Log a + b Log D dan persamaan dengan dua peubah C = aDbHc atau Log C = Log a + b Log D + c Log H.

Tabel 14 . Model Persamaan Pendugaan Massa Karbon.

Model Persamaan S R- Sq(adj) P

Pohon C=0,324339617349349D

2,06

0,240569 88,50% 0 C=0,3749730022454835D1,92H0,129 0,242099 88,30% 0

Batang C =0,00891250938133746D

2,97 0,279803 92,30% 0

C =0,0208929613085404D2,06H0,841 0,227527 94,90% 0 Bscp C =0,00549540873857625D

2,44

0,418483 62,10% 0 C =0,00407380277804112D2,3H0,3 0,425324 60,90% 0 Cabang C =0,0000181970085860998D

4,03 0,598452 63,30% 0

C =0,000218776162394955D5,9H-3,38 0,548425 69,20% 0 Daun C =0,137088176616485D

0,661 0,157127 64,90% 0

C =0,184926861897808D0,338H0,299 0,147494 69,10% 0 Ranting C =0,148936107771091D

0,709 0,146217 71,20% 0

C =0,176603782068616D0,522H0,172 0,144114 72,00% 0 Kulit C =0,756832895020974D

1,37 0,395062 55,80% 0

C =0,693425806016569D1,47H-0,087 0,40013 54,60% 0 Keterangan : Bscp (Batang setelah cabang pertama)

R-Sq(adj) = Koefisien determinasi P = Taraf nyata

S = Simpangan baku

Pada Tabel 14 persamaan pendugaan massa karbon dengan peubah bebas dbh (cm) C = aDb memiliki koefisien determinasi adjusment (R-Sq(adj)) yaitu 55,80% - 92,30% sedangkan persamaan dengan dua peubah bebas diameter C = aDbHc memiliki koefeisen determinasi (R-Sq(adj)) 54,60% - 94,90%.

Model persamaan pendugaan massa karbon dengan koefisien determinasi yang cukup besar dapat diterima dan pada masing-masing model nilai P < 0,005, dimana peubah bebasnya sangat berpengaruh nyata terhadap jumlah karbon yang diduga.

(34)

karbon pohon dengan peubah bebas diameter yang lebih baik dibandingkan dengan model C = a DbHc. Dengan demikian model terbaik yang dipilih adalah C = aDb dengan persamaan yang memiliki R-Sq(adj) = 88,50% dari pada model C = a DbHc yaitu C =0,324339617349349 D2,06.

5.9 Potensi Tegakan Hutan Hutan Hujan Tropis

Dari hasil inventarisasi tegakan pada lokasi pengamatan Plasma Nutfah, TPN LOA 1983, tengah antara ujung jalan sarad dan TPN LOA 1983, dan ujung jalan sarad LOA 1983, pada tabel 15 dibawah ini dapat diketahui jumlah potensi tegakan tingkat pancang, tiang, dan pohon setiap hektarnya.

Tabel 15. Potensi Tegakan (Jumlah Individu/Ha) Berdasarkan Tingkat Vegetasi.

Lokasi Pengamatan Jumlah

Pancang Tiang Pohon

Plasma Nutfah (Hutan Primer) 4192 252 136

TPN LOA 1983 3136 204 92

Antara TPN&Ujung Jalan Sarad LOA 1983 2208 152 71

Ujung Jalan Sarad LOA 1983 1584 140 99

Pada Tabel 15 diketahui lokasi pengamatan Plasma Nutfah memiliki potensi yang paling besar yaitu pancang 4192 individu/Ha, tiang 256 individu/Ha, dan pohon 135 individu/Ha. Sedangkan pada lokasi pengamatan blok tebangan LOA 1983 jumlah potensi paling rendah pada tingkat pancang terdapat di sekitar ujung jalan sarad yaitu 1584 individu/Ha dan tertinggi adalah di sekitar TPN 3136 individu/Ha. Hal ini diakibatkan keterbukaan bekas TPN, sehingga permudaan dapat melakukan fotosintesis dengan baik dari cahaya yang masuk.

Pada tingkat tiang potensi paling tinggi terdapat di sekitar TPN 208 individu/Ha. Hal ini dapat juga diakibatkan keterbukaan sehingga permudaan yang tidak rusak oleh kegiatan penebangan sebelumnya dapat tumbuh dengan baik. Pada tingkat pohon di ujung jalan sarad LOA 1983 jumlah potensinya paling tinggi dibandingkan TPN dan jalan sarad yaitu 100 individu/Ha.

(35)

Tabel 16. Potensi Volume Bebas Cabang (m3/Ha) Berdasarkan Tingkat Vegetasi.

Lokasi Pengamatan Jumlah Volume (m

3

/Ha) Pancang Tiang Pohon Plasma Nutfah (Hutan Primer) 18,45 25,80 166,33

Ujung Jalan Sarad LOA 1983 8,24 14,08 77,36

Antara TPN& Ujung Jalan Sarad LOA 1983 10,11 16,87 79,87

TPN LOA 1983 16,26 20,70 84,87

Secara keseluruhan pada tingkat pancang, tiang, dan pohon di lokasi pengamatan Plasma Nutfah memiliki potensi volume bebas cabang (m3/Ha) paling tinggi yaitu pancang 18,45 m3/Ha, tiang 29,29 m3/Ha, dan pohon 165,46 m3/Ha.

Di lokasi pengamatan blok tebang LOA 1983 potensi volume bebas cabang paling besar pada setiap tingkat vegetasi adalah di sekitar TPN yaitu pancang 16,26 m3/Ha, tiang 21,61 m3/Ha dan pohon 85,85 m3/Ha. Potensi volume bebas cabang paling rendah adalah di sekitar ujung jalan sarad yaitu pancang 8,24 m3/Ha, 14,08 m3/Ha, dan 77,36 m3/Ha. Meskipun jumlah pohon lebih banyak di ujung blok dibandingkan di TPN yang jumlahnya lebih sedikit tetapi pertumbuhannya dapat lebih baik karena keterbukaan areal sehingga memiliki potensi yang lebihg tinggi.

5.10 Pendugaan Potensi Biomasa

Biomasa merupakan berat kering dari suatu mahluk hidup. Suatu tegakan dapat dihitung jumlah biomasanya dengan persamaan biomasa per pohon yang telah didapatkan. Hasil perhitungan potensi biomasa tegakan penelitian ini disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Dugaan Potensi Biomasa (Kg/Ha) Di Atas Permukaan Tanah.

Tingkat

Pancang 70.433,55 42.580,64 47.622,43 78.122,19 59.694,55 Tiang 56.478,69 32.028,06 33.564,48 44.388,54 41.614,94 Pohon 194.636,17 120.540,97 114.992,93 132.090,30 140.565,09 Jumlah 321.548,41 195.149,67 196.179,84 254.601,03 241.874,59

(36)

tingkat pohon yang paling besar yaitu 194.636,17 Kg/Ha dan terendah adalah tiang 56.478,69 Kg/Ha. Di petak tebang LOA 1983 lokasi pengamatan yang potensi biomasa paling tinggi adalah disekitar TPN dimana jumlah permudaan yang paling banyak terutama pancang, diduga potensi biomasa 78.122,19 Kg/Ha lebih tinggi dari pada tiang yaitu 44.388,54 Kg/Ha.

Potensi paling rendah adalah di ujung jalan sarad, diduga potensi biomasa 195.149,67 Kg/Ha dan di antara TPN dan ujung jalan sarad lebih tinggi sedikit yaitu 196.179,84 Kg/Ha. Berdasarkan tingkat vegetasi rata-rata tingkat pancang per-Ha berpotensi biomasa 59.694,55 Kg/Ha, tiang 41.614,94 Kg/Ha, dan pohon 140.565,09 Kg/Ha.

5.11 Pendugaan Potensi Karbon

Berdasarkan model persamaan yang telah dihasilkan dan hasil inventarisasi di lapangan dapat diduga potensi karbon di lokasi pengamatan yaitu Plasma Nutfah sebagai hutan primer yang tidak pernah ditebang dan di petak tebang LOA 1983 yang terdiri dari ujung jalan sarad LOA 1983, antara TPN dan ujung jalan sarad LOA 1983, dan TPN LOA 1983 yang disajikan pada Tabel 18.

Dari Tabel 18 dapat diketahui potensi massa karbon di atas permukaan tanah diduga paling tinggi adalah Plasma Nutfah sebagai hutan primer 123.157,90 Kg C/Ha dan potensi paling rendah di sekitar ujung jalan sarad LOA 1983 73.633,59 Kg C/Ha, di antara TPN dan ujung jalan sarad dan di sekitar TPN masing-masing diduga memiliki potensi karbon 74.636,359 Kg C/Ha dan 93.440,999 Kg C/Ha. Dalam Junaedi (2007), menyatakan bahwa hutan primer menyimpan massa karbon 299,33 ton C/Ha sedangkan Rahayuet al.(2007) hutan primer 230,1ton C/Ha.

Tabel 18. Dugaan Potensi Massa Karbon (Kg C/Ha) Di Atas Permukaan Tanah.

Tingkat

Pancang 21.762,667 13.309,709 14.735,275 24.540,51 18.588,338 Tiang 19.998,805 11.372,657 11.888,875 15.714,13 14.743,617 Pohon 81.396,431 48.951,224 48.012,209 53.186,35

9

57.886,556 Jumlah 123.157,90 73.633,59 74.636,359 93.440,99

9

(37)

Penelitian Junaedi (2007) di areal PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah, menghasilkan massa karbon hutan primer terdiri dari tingkat pohon 188,50 ton C/Ha, tiang 25,78 ton C/Ha, dan pancang 14,57 ton C/Ha. Hasil Junaedi (2007), berbeda dengan hasil penelitian ini dimana jumlah massa karbon pada tingkat pohon lebih rendah yaitu 80.933,15 Kg C/Ha begitu pula pada tingkat tiang dan pancang yaitu 21.784,04 Kg C/Ha dan 22.034,27 Kg C/Ha.

Berdasarkan data Tabel 18 jumlah massa karbon pada hutan primer lebih rendah dari pada Junaedi (2007) dan Rahayuet al. (2007), sedangkan Murdiyarso

et al. (1995) dalam Rahayu et al. (2007), menyebutkan bahwa hutan di Indonesia diperkirakan mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161-300 ton C/Ha dan hasil pendugaan massa karbon dalam penelitian ini tidak berada dalam kisaran tersebut. Hal ini dapat diakibatkan perbedaan kondisi lingkungan dan struktur tegakan serta penggunaan kadar karbon dari biomasa dalam penelitian ini diambil berdasarkan hasil penelitian di laboratorium dan tidak mengikuti kadar karbon tetap 50%, sehingga penelitian ini dapat dikatakan lebih tepat dalam pendugaan massa karbon pada tegakan hutan hujan tropis dibandingkan penelitian sebelumnya.

Potensi karbon di atas permukaan tanah berupa pohon, berdasarkan tingkat vegetasi tingkat pohon rata-rata mengandung massa karbon sebesar 57.886,556 Kg C/Ha yang merupakan massa karbon paling tinggi dibandingkan tingkat pancang dan tiang yaitu 18.588,338 Kg C/Ha dan 14.743,617 Kg C/Ha.

Secara detail pada Gambar 5 dapat diketahui dugaan potensi massa karbon pada masing-masing lokasi pengamatan dan tingkat vegetasi.

(38)

Secara umum pada gambar 5 dapat diketahui berdasarkan tingkat vegetasi di seluruh lokasi pengamatan, pada tingkat tiang potensi karbon Kg/Ha lebih kecil dibandingkan tingkat pancang.

Pada lokasi pengamatan di blok tebangan LOA 1983 tingkat vegetasi pancang dan tiang pada ujung jalan sarad LOA 1983, antara TPN dan ujung jalan sarad LOA 1983, dan TPN LOA 1983 mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan keterbukaan yang diakibatkan kegiatan pemanenan memacu pertumbuhan permudaan.

Jumlah massa karbon di TPN LOA 1983 mencapai 75,88% terhadap jumlah massa karbon hutan primer, sedangkan di antara TPN dan ujung jalan sarad LOA 1983 dan ujung jalan sarad LOA 1983 adalah 60,60% dan 59,79%. Persen penurunan jumlah karbon pada lokasi ujung jalan sarad LOA 1983, antara TPN dan ujung jalan sarad LOA 1983, dan TPN LOA 1983 terhadap jumlah karbon di Plasma Nutfah senada dengan Lasco (2002) dalam Rahayu et al. (2007), dimana cadangan karbon hutan tropis Asia menurun akibat aktivitas penebangan berkisar antara 22%-67%, di Indonesia diperkirakan 38%-75%.

Dugaan jumlah potensi karbon di lokasi pengamatan dilakukan uji t-student untuk mengetahui hubungan potensi karbon dengan lokasi. Pada Tabel 19 dapat dilihat hubungan potensi karbon dengan lokasi.

Tabel 19. Uji Beda T-Student Dugaan Potensi Massa Karbon Di Lokasi Pengamatan Pada Tingkat Vegetasi Pancang.

Plasma Nutfah (Hutan Primer) 0.031225* 0.014092* 0.462204tn Ujung Jalan Sarad LOA 1983 0.513287tn 0.005737** Antara TPN & Ujung Jalan

Sarad LOA 1983 0.011644*

Keterangan : **berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tntidak berbeda nyata (p > 0,05)

(39)

sedangkan uji t-student pada lokasi lainnya relatif berbeda nyata dan pada lokasi TPN dengan ujung jalan sarad LOA 1983 sangat berbeda nyata dimana nilai p < 0,01. Hal ini dapat dipengaruhi oleh keterbukaan dan jumlah tingkat vegetasi pancang pada masing-masing lokasi pengamatan.

Tabel 20. Uji Beda T-Student Dugaan Potensi Massa Karbon Di Lokasi Pengamatan Pada Tingkat Vegetasi Tiang.

Plasma Nutfah (Hutan Primer) 0.009678** 0.015148* 0.267766 tn Ujung Jalan Sarad LOA 1983 0.976684 tn 0.213714tn Antara TPN & Ujung Jalan

Sarad LOA 1983 0.182041

tn

Keterangan : **berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tn

tidak berbeda nyata (p > 0,05)

Pada Tabel 20 menunjukan potensi karbon pada tingkat vegetasi tiang pada seluruh lokasi pengamatan tidak berbeda nyata kecuali antara Plasma Nutfah sebagai hutan primer dengan TPN LOA 1983 sangat berbeda nyata dan hutan primer dengan Antara TPN dan Ujung Jalan Sarad LOA 1983 memiliki perbedaan yang nyata dengan nilai p 0,01 – 0,05.

Tabel 21. Uji Beda T-Student Dugaan Potensi Massa Karbon Di Lokasi Pengamatan Pada Tingkat Vegetasi Pohon.

Plasma Nutfah (Hutan Primer) 0.031014* 0.030688* 0.045571* Ujung Jalan Sarad LOA 1983 0.921054 tn 0.640163tn Antara TPN & Ujung Jalan

Sarad LOA 1983 0.664472 tn

Keterangan : **berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05)

tn

tidak berbeda nyata (p > 0,05)

(40)

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Kadar karbon rata-rata dalam biomasa dari beberapa jenis pohon adalah

sebagai berikut Keruing 33,04%, Bangkirai 35,18%, Resak 35,16%, Meranti Merah 35,04%, Meranti Kuning 38,63%, Nyatoh 32,90%, Mersawa 38,08%, Benuang 34,36%, Ubar 37,39%, Kumpang 36,77%, Medang 39,20%, Sawang 34,76%, dan Ulin 38,05%. Jenis Medang memiliki kadar karbon paling tinggi 39,20% dan terendah adalah Nyatoh 32,90%. Hasil uji t-student terhadap kadar karbon dalam biomasa bagian-bagian pohon (batang utama, batang setelah cabang pertama, cabang, ranting, daun, dan kulit) menunjukan adanya perbedaan sangat nyata kadar karbon dalam biomasa bagian-bagian pohon.

2. Persamaan pendugaan massa karbon dalam pohon yang dihasilkan adalah C=0,324339617349349 D2,06 dan C=0,3749730022454835 D1,92H0,129. 3. Pendugaan potensi karbon di atas permukaan tanah pada tegakan hutan

hujan tropis bekas tebangan (LOA) 1983, menghasilkan massa karbon yang tersimpan adalah 93.440,999 Kg C/Ha di sekitar TPN, di tengah antara ujung jalan sarad dan TPN 74.636,359 Kg C/Ha, dan di sekitar ujung jalan sarad 73.633,59 Kg C/Ha sedangkan di Plasma Nutfah sebagai hutan primer adalah sebesar 123.157,90 Kg C/Ha. Setiap hektarnya rata-rata tersimpan potensi karbon 91.218,51 Kg C/Ha.

6.2 Saran

(41)

PENDUGAAN POTENSI KARBON DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA TEGAKAN

HUTAN HUJAN TROPIS BEKAS TEBANGAN (LOA) 1983

(STUDI KASUS IUPHHK PT. SUKA JAYA MAKMUR)

Oleh :

GITA ARDIA KUSUMA E24104088

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(42)

[Anonim]. 2008. Gunung Merbabu. Hutan Indonesia. http://www.langsing.net /gunung/artikel/hutan.html. [20 Nov 2007].

[ASTM] American Society For Testing Material. 1990b. ASTM D 5832-98.

Standard Test Method for Volatile Matter Content of Activated Carbon. Philadelphia.

[ASTM] American Society For Testing Material. 1990b. ASTM D 5832-98.

Standard Test Method for Volatile Matter Content of Activated Carbon. Philadelphia.

Abidin, R. 1996. Teknik Pemanenan Hasil Hutan Yang Berwawasan Lingkungan. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB.

Adinugroho, WC dan K Sidiyasa. 2009. http://wahyukdephut.wordpress.com/ 2009/02/03/ model – pendugaan –biomassa – pohon - mahoni-swietenia-macrophylla-king-di-atas-permukaan-tanah. [29 April 09].

Berrie, GK, A Berrie dan JMO. Eze. 1987. Tropical Plant Science. Longman Group (FE). Hong Kong.

Budiyanto, R. 2006. Kadar Karbon Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen) Pada Berbagai Bagian dan Diameter Pohon. Skripsi Fakultas Kehutanan Jurusan Teknologi Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Conway, S. 1982. Revised Editiion Logging Practice. Amerika Serikat

Costa, PM. 1996. Tropical Forestry Practise For Carbon Sequestration Biomasa dan Carbon Dipterocarp, Forest Ecosystems : Towards Sustainable Management. World Science Publishing Co. Ptc. Ltd.

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Elias. 2002. Reduce Impact Logging Buku 1.IPB PRESS. Bogor

Ginoga, B. 1974. Pengujian Sifat Fisik Dan Mekanik Kayu Di Jepang. Departemen Pertanian. Bogor.

Hairiah, K dan S Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. University of Brawijaya. Indonesia. www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/manual/MN003 5-07/MN0035-07-1.PDF. [31 Desember 2007].

Haygreen, JG dan JL Bowyer. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan Dr. Ir. Sutjipto A. Hadikusumo. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Haygreen, JG dan JL Bowyer. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu

(43)

Heddy, S. 1990. Biologi Pertanian, Tinajauan Singkat Tentang Anatomi, Fisiologi, Sistematika dan Genetika DasarTumbuh-tumbuhan. Cv. Rajawali. Jakarta.

Hidayat, Y, Yulianto, Yusran, F Harun, A Hasan, dan D Gusni. 1998. Ekosistem Hutan Hujan Tropika (Struktur dan Fungsi). Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Indrawan, A. 1999. Pendugaan biomassa pohon dengan model fractal branching pada hutan sekunder di Rantau Pandan Jambi. Departement Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.

Junaedi, A. 2007. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)Terhadap Potensi Kandungan Karbon Dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Mandang, YI dan IKN Pandit. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan PROSEA. Bogor, Indonesia.

Martawijaya, A, I Kartasujana, K Kadir, dan SA Prawira. 1981. Atlas kayu indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Martawijaya, A, YI Mandang, I Kartasujana, K Kadir, dan SA Prawira. 1989. Atlas kayu indonesia. Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Oliver, CD. 2008. Sustainable Forestry : What Is It?How Do We Achieve It?. Journal of Forestry. April – May 2008.

Rahayu, S, B Lusiana dan M van Noorddwijk. ICRAF. 2005. Bogor Carbon Stock Monitoring in Nunukan, East Kalimantan : A Spatial and Modelling Aproach.

http://www.worldagroforestrycentre.Org/SEA/Publications/files/ book /BK0089-05/BK0089-05-2.PDF. [03 Desember 2007].

Smith, EJ, LS Heath, and PB Woodbury. 2004. Journal of Forestry July/August . How to estimate forest carbon for large area from Inventory data.

Soerianegara, I dan A Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Stewart, JL, AJ Dunsdon, JJ Hellin dan CE Hughes.1992. Wood biomass estimation of central american dry zone species. Tropical Forestry Paper No.26. oxford forestry institute.USA.

(44)

Tsoumis. 1991. Science and Technology of Wood; Stucture,Properties and Utlization. Van Nostrand Reinhold. New York, USA.

Walpole, RE. 1988.Pengantar Statistika Edisi Ke-3.PT Gramedia : Jakarta. Young, HE dan VP Guinn. (1966). Chemical elements in complete mature trees of

(45)

PENDUGAAN POTENSI KARBON DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA TEGAKAN

HUTAN HUJAN TROPIS BEKAS TEBANGAN (LOA) 1983

(STUDI KASUS IUPHHK PT. SUKA JAYA MAKMUR)

Oleh :

GITA ARDIA KUSUMA E24104088

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(46)

PENDUGAAN POTENSI KARBON DI ATAS PERMUKAAN

TANAH PADA TEGAKAN

HUTAN HUJAN TROPIS BEKAS TEBANGAN (LOA) 1983

(STUDI KASUS IUPHHK PT. SUKA JAYA MAKMUR)

Gita Ardia K

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(47)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakna bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Potensi Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur)” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal satau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor , Desember 2009

(48)

Judul Penelitian : Pendugaan Potensi Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur).

Nama Mahasiswa : Gita Ardia Kusuma

NRP : E241044088

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Sub Program Studi : Pemanenan Hasil Hutan

Disetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Elias

NIP : 19560902198103 1 003

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP : 19611126198601 1 001

(49)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ” Pendugaan Potensi Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Tegakan Hutan Hujan Tropis Bekas Tebangan (LOA) 1983 (Studi Kasus IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur).”. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2009

(50)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Diding Apandi dan ibu Dasmi Maemunah.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari TK Dewi Sartika tahun 1992 SD Negeri 7 Kuningan yang diselesaikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 2 Kuningan dan diselesaikan pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Kuningan dan lulus pada tahun 2004, kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Teknologi Hasil Hutan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dan pada tahun 2005 penulis memilih sub program studi Teknologi Pemanenan Hasil Hutan.

Selama kegiatan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Kuningan sebagai anggota pada tahun 2004, Ketua Umum pada periode kepengurusan tahun 2006/2007. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah (IUTPW) tahun ajaran 2008/2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) tahun ajaran 2008/2009, serta asisten praktikum Pemanenan Hutan tahun ajaran 2009/2010.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Dan Pengelolaan Hutan (P3H). Praktek Umum Kehutanan (PUK) dilaksanakan di KPH Banyumas Barat, Cilacap dan KPH Banyumas Timur, Baturraden. Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) dilaksanakan BKPH Getas Kabupaten Ngawi, Perum Perhutani unit I Jawa Timur. Pada bulan maret sampai Juni 2007 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber (PT. SARPATIM) Sampit, Kalimantan Tengah.

(51)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembaran ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Ayahanda Diding Apandi, ibunda D. Maemunah, Teteh dan Adik yang

senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya dan segenap anggota keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan moralnya.

2. Prof. Dr. Ir. Elias selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian hingga penulis menyelsaikan karya ilmiah ini.

3. Ibu Ir. Emy Karminarsih, MS dan Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo MSc selaku dosen penguji atas masukan dan nasihatnya.

4. Ir. Nana Suparna selaku Direktur Utama PT. Alas Kusuma Gorup yang telah memberikan kesempatan untuk dapat melaksanakan penelitian ini di PT. Suka Jaya Makmur.

5. Pak Gusti dan Bu Prasti di kantor pusat PT. Alas Kusuma Group Pontianak, yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

6. Keluarga besar Camp Gunung Bunga (Pak Joko, Pak Hermanto, Mas Ringgo, Kak Duri, Kak Dewi, Om Jony, Kang Aing, Mas Sofwan dll), Camp Arboretum (Mas Agus dan Pak Petrus) dan Camp 62 (Pak Dadi, Kang Purnomo dan Mas Bangkit).

7. PT. Sarmiento Parakantja Timber yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL).

8. Seluruh staff TU dan Dosen DHH serta Dosen Pemanenan Hasil Hutan yang telah membimbing dan membantu selama kegiatan perkuliahan.

9. Rekan-rekan satu bimbingan Fadhli (’39), Refrico (’40), Syaiful R (’41), dan Jarot Erlangga (’41) yang telah bersama-sama berjuang.

10. Pihak-pihak yang telah membantu selama penelitian di laboratorium yaitu Kang Gunawan (Mamen), Kang Irfan, Pak Atin, Pak Udin, Pak Yaya, Bi Elim, Pa Kadiman dan Ibu Atikah yang telah membantu dalam peminjaman alat dari laboratorium Pengaruh Hutan.

11. Rekan-rekan THH 41, THH 42, THH 43, dan THH 44 serta rekan-rekan Fakultas Kehutanan 41 semoga tetap terjalin silaturahmi.

12. Keluarga THP 41 (Aya, Adhon, Harzan, Arman, dst) dan Wisma Alma (Mok-mok, Kusnan, Ucok, Danil, Imam dst.) yang telah memberikan pengalaman hidup.

Gambar

Gambar 3. Sampel kayu yang diambil dari bagian batang utama setelah cabang dan percabangan.
Tabel 1. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng. Klasifikasi Kelerangan Luas (Ha) Persentase (%)
Tabel 2. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT
Tabel 3. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 Pada Bulan Desember 2004.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Hubungan teori yang dikemukakan Mawardi pada penulisan nilai-nilai ritual dalam pertunjukan Barongsai Naga Sakti sama dengan pendapat penulis karena nilai merupakan suatu

Persentase berikut ini dari campuran yang terdiri dari komponen dengan bahaya toksistas akut tidak diketahui: 85

Selain kegiatan yang menjadi peran dari Pondok Pesantren Putri Ummi Kalsum, ada juga pengajaran yang santri lakukan dari segi sosial keagaaman dapat disebut dengan

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah perlu dikembangkan sarana komunikasi massa sebagai media untuk memberikan pelayanan informasi yang dibutuhkan oleh

Dependent) tidak terdapat variabel pelaku, yang berarti tidak ada variabel dalam sub elemen pelaku ini yang tidak terkait dengan sistem serta tidak ada variabel yang sangat

a) Kecerdasan (Inteligensi) adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan kedalam situasi yang baru dengan cepat

Solusi untuk mengatasi kendala pertama yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan operasi hitung pecahan khususnya pada operasi perkalian pecahan dan operasi