ASETILKOLINESTERASE PADA
PETANI BAWANG MERAH
(
STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
EVY NURYANA. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan DYAH ISWANTINI PRADONO.
Peningkatan agroindustri berkaitan dengan peningkatan penggunaan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Jenis pestisida yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan karbamat, yang merupakan penghambat enzim asetilkolinesterase (AChE). Kandungan AChE dapat digunakan seb agai penanda biologis terjadinya keracunan pestisida. Penelitian bertujuan mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap penurunan aktivitas enzim AChE petani. Daerah penelitian adalah desa Sisalam, Jagalempeni dan Kedunguter Kabupaten Brebes. Kandungan AChE diukur dengan spektrofometer, menggunakan reagen S-butiril tiokholin iodida. Data mengenai kondisi petani, lama dan seringnya menggunakan pestisida, teknik dan perlengkapan pelindung, dikumpulkan dari petani yang diambil darahnya. Hasil penelitian menunjukan di Desa Sisalam 3 orang keracunan sedang (10,71 %) dan 5 orang keracunan ringan (17,86 %), Desa Jagalempeni 6 orang keracunan ringan ( 24 %) serta Desa Kedung Uter 5 orang keracunan ringan (19,23 %). Pengetahuan petani Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) lebih tinggi dibandingkan dengan non SLPHT pada semua jenjang pendidikan. Penurunan aktivitas enzim AChE dipengaruhi oleh penggunaan alat pelindung diri, jenis bahan aktif, toksisitas pestisida, lamanya waktu terpapar dan sebagainya. Penurunan aktivitas enzim AChE disebabkan keracunan organofosfat dan karbamat, karena kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) normal. Gejala keracuanan seperti sakit kepala, penglihatan kabur, mata berair, mual, kram, lemas, dada tertekan, lemah, kaku dan otot wajah kaku sering diderita sebag ian besar petani walaupun kandungan AChE masih normal. Dari hasil penelitian ini perlu diadakan penyuluhan mengenai cara penggunaan pestisida yang baik, dengan menekankan pentingnya pemakaian alat pelindung diri oleh petani.
EVY NURYANA. Impact of Pesticide Application On Declining Activity of Acetylcholinesterase among shallot farmers. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and DYAH ISWANTINI PRADONO
Development of agro industry is closely related to increasing use of pesticide in eradicating pests and plant diseases. The kinds of pesticides commonly used in Indonesia are those of organophosphate and carbamat. These pesticides inhibit acethylcholinesterase enzyme. This acethylcholinesterase enzyme concentrate in the body can be used as a biological indicator of pesticide poisoning. The research was conducted among shallot farmers applying pesticide in their farming. The locations of the research were villages of Sisalam, Jagalempeni, and Kedung Uter in Brebes Regency. The concentrate of acethylcholinesterase (AChE) was measured with a spectrophotometer involving a reagent of S-butiryl tiocholine iodide. The periode, frequently, and using of equipment during the farmer work, that had been collected by quistioner/dialogue. The result indicat ed that three farmers in Sisalam village experienced medium poisoning (10,17%) and five others were in light poisoning condition (17.86%). In Jagalempeni village 6 farmers were in slightly poisoned condition (24%) while five farmers in Kedung Uter village were also slightly poisoned (19,23%). Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) farmers have more knowledge than the non SLPHT ones in all levels of educatio n. Declining activity of acethylcholinesterase enzyme was mostly due to farmers’ carelessness in handling pesticides, the absence of protecting equipment during spraying, the kind of pesticide active materials, pesticide toxicity, the exposure duration, and so on. The declining activity of acethylcholinesterase activity among farmers was caused by organophosphate poisoning and that of carbamat as the concentrate of glutamate piruvat transamine enzyme (GPT) among all farmers was in a normal level. The symptoms of getting poisoned such as a headache, a chest pain, hard of sight, watering eyes, feeling sick, getting crammed, feeling weak, and stiffening. Feeling sick and stiffening face muscles are often suffered by farmers despite the normal concentrate of acethylcholinesterase (AChE) in their blood. Due to these obtained figures to propose encouragement to the proper use of pesticides while stressing the importance of the uses of protective devices by these farmars.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA TERHADAP PENURUNAN
AKTIVITAS ENZIM ASETILKOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG
MERAH.
(Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah).
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2005
EVY NURYANA
TERHADAP PENURUNAN AKTIVITAS ENZIM
ASETILKOLINESTERASE PADA
PETANI BAWANG MERAH
(
STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
@ Hak cipta milik Evy Nuryana, tah un 2005 Hak cipta dilindung
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagaina atau seluruhnya dalam bentuk
(Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah)
Nama : Evy Nuryana
NIM : P025014061
Dis etujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, M.S. Ketua
Dr. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini, dengan judul Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Penurunan Aktivitas
Asetilkolines terase Pada Petani Bawang Merah. (Studi Kasus Kabupaten Brebes
Jawa Tengah).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Ir. Latifah K.Darusman, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Dyah
Iswantini Pradono, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing.
Terima kasih kepada Dirjen PPM dan PL, Direktur Penyehatan
Lingkungan, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan serta kepada Bagian Proyek Peningkatan Surveilans Pusat Provincial
Health Project (PHP II) Jakarta yang telah memberikan beasiswa.
Ucapan terima kasih juga kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, atas
bantuannya dalam penelitian ini.
Bogor, Juni 2005
Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 31 Januari 1968 sebagai anak
pertama dari pasangan H. Muhamad Rifai dengan Hj. Sofro Rifai, menikah
dengan Sunaryo, S .Kom dan dikaruniai seorang putra Zaki Kamal Saputra.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Pakuan Bogor, lulus sarjana pada
tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek Peningkatan Surveilans Pusat
Provincial Health Pro ject (PHP II) Jakarta, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Penulis bekerja di Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan sejak tahun 1999
Daftar Tabel ………..……….…
Daftar Gambar ……….………...
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………..
1.2. Tujuan Penelitian...………..………...
1.3. Manfaat Penelitian..………
1.4. Perumusan Masalah………....…...
1.5. Kerangka Pemikiran..………..………….…………..
1.6. Hipotesis……….
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pestisida……….
2.2. Penggolongan Pestisida………...
2.3. Insektisida………
2.4. Pestisida Bawang Merah……….
2.5. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)...………...
2.6. Dampak Pestisida………
2.7. Cara Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia………
2.8. Faktor yang Mempengaruhi Masuknya Pestisida ke dalam Tubuh Manusia………...
2.9. Asetilkolinesterase……….
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian……….
3.2. Bahan dan Alat………...
3.3. Metode Penelitian………...
3.4. Pengumpulan Data………
3.5. Analisis Data……….
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
4.1. Goelogi dan Topografi……….. 4.2. Kependudukan……….. 4.3. Iklim………. 4.4. Luas Areal dan Produksi Bawang Merah………... 4.5. Karakteriktik Petani Responden………... 4.6. Golongan Pestisida Yang Dipergunakan Petani………...
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan Petani mengenai Pestisida………...
5.2. Pengetahuan Petani mengenai Peraturan Pestisida.…...
5.3. Pengetahuan Petani mengenai Dampak Pestisida…………....
ASETILKOLINESTERASE PADA
PETANI BAWANG MERAH
(
STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
EVY NURYANA. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Penurunan Aktivitas Enzim Asetilkolinesterase Pada Petani Bawang Merah. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan DYAH ISWANTINI PRADONO.
Peningkatan agroindustri berkaitan dengan peningkatan penggunaan pestisida untuk membasmi hama dan penyakit tanaman. Jenis pestisida yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan karbamat, yang merupakan penghambat enzim asetilkolinesterase (AChE). Kandungan AChE dapat digunakan seb agai penanda biologis terjadinya keracunan pestisida. Penelitian bertujuan mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap penurunan aktivitas enzim AChE petani. Daerah penelitian adalah desa Sisalam, Jagalempeni dan Kedunguter Kabupaten Brebes. Kandungan AChE diukur dengan spektrofometer, menggunakan reagen S-butiril tiokholin iodida. Data mengenai kondisi petani, lama dan seringnya menggunakan pestisida, teknik dan perlengkapan pelindung, dikumpulkan dari petani yang diambil darahnya. Hasil penelitian menunjukan di Desa Sisalam 3 orang keracunan sedang (10,71 %) dan 5 orang keracunan ringan (17,86 %), Desa Jagalempeni 6 orang keracunan ringan ( 24 %) serta Desa Kedung Uter 5 orang keracunan ringan (19,23 %). Pengetahuan petani Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) lebih tinggi dibandingkan dengan non SLPHT pada semua jenjang pendidikan. Penurunan aktivitas enzim AChE dipengaruhi oleh penggunaan alat pelindung diri, jenis bahan aktif, toksisitas pestisida, lamanya waktu terpapar dan sebagainya. Penurunan aktivitas enzim AChE disebabkan keracunan organofosfat dan karbamat, karena kandungan enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) normal. Gejala keracuanan seperti sakit kepala, penglihatan kabur, mata berair, mual, kram, lemas, dada tertekan, lemah, kaku dan otot wajah kaku sering diderita sebag ian besar petani walaupun kandungan AChE masih normal. Dari hasil penelitian ini perlu diadakan penyuluhan mengenai cara penggunaan pestisida yang baik, dengan menekankan pentingnya pemakaian alat pelindung diri oleh petani.
EVY NURYANA. Impact of Pesticide Application On Declining Activity of Acetylcholinesterase among shallot farmers. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and DYAH ISWANTINI PRADONO
Development of agro industry is closely related to increasing use of pesticide in eradicating pests and plant diseases. The kinds of pesticides commonly used in Indonesia are those of organophosphate and carbamat. These pesticides inhibit acethylcholinesterase enzyme. This acethylcholinesterase enzyme concentrate in the body can be used as a biological indicator of pesticide poisoning. The research was conducted among shallot farmers applying pesticide in their farming. The locations of the research were villages of Sisalam, Jagalempeni, and Kedung Uter in Brebes Regency. The concentrate of acethylcholinesterase (AChE) was measured with a spectrophotometer involving a reagent of S-butiryl tiocholine iodide. The periode, frequently, and using of equipment during the farmer work, that had been collected by quistioner/dialogue. The result indicat ed that three farmers in Sisalam village experienced medium poisoning (10,17%) and five others were in light poisoning condition (17.86%). In Jagalempeni village 6 farmers were in slightly poisoned condition (24%) while five farmers in Kedung Uter village were also slightly poisoned (19,23%). Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) farmers have more knowledge than the non SLPHT ones in all levels of educatio n. Declining activity of acethylcholinesterase enzyme was mostly due to farmers’ carelessness in handling pesticides, the absence of protecting equipment during spraying, the kind of pesticide active materials, pesticide toxicity, the exposure duration, and so on. The declining activity of acethylcholinesterase activity among farmers was caused by organophosphate poisoning and that of carbamat as the concentrate of glutamate piruvat transamine enzyme (GPT) among all farmers was in a normal level. The symptoms of getting poisoned such as a headache, a chest pain, hard of sight, watering eyes, feeling sick, getting crammed, feeling weak, and stiffening. Feeling sick and stiffening face muscles are often suffered by farmers despite the normal concentrate of acethylcholinesterase (AChE) in their blood. Due to these obtained figures to propose encouragement to the proper use of pesticides while stressing the importance of the uses of protective devices by these farmars.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA TERHADAP PENURUNAN
AKTIVITAS ENZIM ASETILKOLINESTERASE PADA PETANI BAWANG
MERAH.
(Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah).
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan. Sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2005
EVY NURYANA
TERHADAP PENURUNAN AKTIVITAS ENZIM
ASETILKOLINESTERASE PADA
PETANI BAWANG MERAH
(
STUDI KASUS KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH)
EVY NURYANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
@ Hak cipta milik Evy Nuryana, tah un 2005 Hak cipta dilindung
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagaina atau seluruhnya dalam bentuk
(Studi Kasus Kabupaten Brebes Jawa Tengah)
Nama : Evy Nuryana
NIM : P025014061
Dis etujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Latifah K.Darusman, M.S. Ketua
Dr. Dyah Iswantini Pradono, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini, dengan judul Dampak Penggunaan Pestisida terhadap Penurunan Aktivitas
Asetilkolines terase Pada Petani Bawang Merah. (Studi Kasus Kabupaten Brebes
Jawa Tengah).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
Ir. Latifah K.Darusman, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Dyah
Iswantini Pradono, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing.
Terima kasih kepada Dirjen PPM dan PL, Direktur Penyehatan
Lingkungan, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan serta kepada Bagian Proyek Peningkatan Surveilans Pusat Provincial
Health Project (PHP II) Jakarta yang telah memberikan beasiswa.
Ucapan terima kasih juga kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, atas
bantuannya dalam penelitian ini.
Bogor, Juni 2005
Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 31 Januari 1968 sebagai anak
pertama dari pasangan H. Muhamad Rifai dengan Hj. Sofro Rifai, menikah
dengan Sunaryo, S .Kom dan dikaruniai seorang putra Zaki Kamal Saputra.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Pakuan Bogor, lulus sarjana pada
tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Proyek Peningkatan Surveilans Pusat
Provincial Health Pro ject (PHP II) Jakarta, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Penulis bekerja di Direktorat Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan sejak tahun 1999
Daftar Tabel ………..……….…
Daftar Gambar ……….………...
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………..
1.2. Tujuan Penelitian...………..………...
1.3. Manfaat Penelitian..………
1.4. Perumusan Masalah………....…...
1.5. Kerangka Pemikiran..………..………….…………..
1.6. Hipotesis……….
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pestisida……….
2.2. Penggolongan Pestisida………...
2.3. Insektisida………
2.4. Pestisida Bawang Merah……….
2.5. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)...………...
2.6. Dampak Pestisida………
2.7. Cara Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia………
2.8. Faktor yang Mempengaruhi Masuknya Pestisida ke dalam Tubuh Manusia………...
2.9. Asetilkolinesterase……….
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian……….
3.2. Bahan dan Alat………...
3.3. Metode Penelitian………...
3.4. Pengumpulan Data………
3.5. Analisis Data……….
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
4.1. Goelogi dan Topografi……….. 4.2. Kependudukan……….. 4.3. Iklim………. 4.4. Luas Areal dan Produksi Bawang Merah………... 4.5. Karakteriktik Petani Responden………... 4.6. Golongan Pestisida Yang Dipergunakan Petani………...
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan Petani mengenai Pestisida………...
5.2. Pengetahuan Petani mengenai Peraturan Pestisida.…...
5.3. Pengetahuan Petani mengenai Dampak Pestisida…………....
Diri………...
5.7. Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap………
5.8. Data Ekonomi………..
5.9. Data Lingkungan……….
5.10. Data Kesehatan………
5.11. Hubungan antara Kadar AChE d engan Lama Bekerja dan Frekuensi Penyemprotan………. 5.12. Hubungan antara Kadar AChE dengan Kebiasaan Tidak Menggunakan Masker dan Sarung Tangan……….
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ……….
6.2. Saran-saran ……….
DAFTAR PUSTAKA………...
LAMPIRAN ………...
49 54 57 59 62
73
75
76 77
78
1. Penggolongan pestisida berdasarkan jenis organisme pengganggu…. 2. Pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit
tanaman bawang merah………
3. Jumlah penduduk Kabupaten Brebes Tahun 2000-2003………..
4. Luas areal dan produksi bawang merah Kabupaten Brebes tahun 1999-2003………. 5. Karakteristik responden berdasarkan umur dan lama bertani……….. 6. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dan kursus………..
7. Golongan pestisida yang digunakan responden petani………....
8. Pengetahuan petani mengenai pestisida………...
9. Pengetahuan petani mengenai peraturan pestisida………...
10. Pengetahuan mengenai dampak pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan………..
11. Sikap petani y ang berhubungan dengan penggunaan pestisida………
12. Data petani yang melakukan pengoplosan pestisida………
13. Data petani yang menggunakan pestisida tidak sesuai dosis………...
14. Sikap yang berhubungan dengan personal hygiene……….
15. Data kebiasaan petani merokok samb il menyemprot………...
16. Sikap petani yang berhubungan dengan alat pelindung diri………….
17. Kebiasaan tidak menggunakan masker pada saat menyemprot pestisida……… 18. Kebiasaan tidak memakai sarung tangan pada waktu berhubungan
dengan pestisida………... 19. Kebiasaan tidak memakai baju pelindung pada saat menyemprot…..
20. Hubungan antara Pengetahuan dengan Sikap Petani………...
21. Harga pestisida, biaya produksi dan hasil produksi……….
22. Harga pestisida dan besarnya biaya produksi untuk pestisida……….
23. Pendapatan petani dan pekerjaan lain………..
24. Pendapatan petani bawang merah per bulan………
25. Sikap petani dalam melakukan penyemprotan pestisida………..
26. Tindakan petani dalam pencucian alat penyemprot di saluran air sawah………....
27. Tindakan petani terhadap bekas/wadah pestisida……….
28. Gangguan kesehatan petani dan anggota keluarga………...
29. Tingkat keracunan petani akibat penggunaan pestisida………...
30. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glu tamat piruvat transaminase (GPT) pada petani di desa Sisalam………. 31. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat
transaminase (GPT) pada petani di desa Jagalempeni………. 32. Kandungan asetilkolinesterase (AChE) dan glutamat piruvat
transaminase (GPT) pada petani di desa Kedunguter……….
33. Dampak pestisida terhadap gangguan kesehatan petani………
35 Hubungan antara kadar AChE dengan kebiasaan tidak memakai
1. Bagan alir kerangka pemikiran………. 2. Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai pestisida…………...
3. Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai peraturan
pestisida…………... 4. Rata-rata kategori pengetahuan petani mngenai dampak pestisida terhadap lin gkungan dan kesehatan……….…………...
5. Rata-rata sikap yang berhubungan dengan penggunaan
pestisida…………...
6. Rata-rata kategori sikap yang berhubungan dengan personal
hygiene………..…...
7. Rata-rata kategori sikap yang berhubungan dengan penggunaan
pestisida…………... .
Halaman
5 38
40
41
44
1. Petani melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) di lokasi penelitian……….……… 2. Petani melakukan penyemprotan tanpa menggunakan alat pelindung
diri (APD) di lokasi penelitian……….……… 3. Petani melakukan penyemprotan hanya menggunakan kaos dan celana pendek di lokasi penelitian..……….………….…… 4. Petani menggunakan pelindung sederhana dan celana pendek……… 5. Petani melakukan penyemprotan dengan pelindung muka yang sederhana, baju dan celana panjang……….……… 6. Wadah/tempat bekas pestisida yang dibuang sembarangan, dekat dengan hasil panen bawang merah yang sedang dijemur……… 7. Sampel darah petani responden untuk pemeriksaan AChE dan GPT.. 8. Peta wilayah Kabupaten Brebes………... 9. Kuesioner penelitian………. 10. Data kolinesterase tahun 2003……….. 11. Jenis pestisida yang digunakan petani……….. 12. Hasil pengolahan data………..
82
82
83 83
84
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sangat kaya akan sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman
hayati yang terkandung didalamnya. Sumberdaya alam yang tersebar diberbagai
wilayah Indonesia disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya
dilakukan secara tidak berkelanjutan. Dalam rangka melestarikan dan
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan pengelolaan
secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam ditujukkan pada dua hal yaitu
pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam dan kedua, perlindungan
dan konservasi (Santoso, 2003).
Sehubungan dengan itu ditetapkan berbagai kebijakan oleh Pemerintah
antara lain menetapkan kawasan tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan yang
dieksploitasi, baik eksploitasi sumberdaya alam hutan, tambang, minyak dan gas
ataupun sumberdaya laut yang dapat dieksploitasi dengan semena-mena dan
melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun
upaya-upaya rehabilitasi. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan
ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam menjadi
semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya
alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai realitas pembukaan
hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya dari tahun
ke tahun semakin meningkat, dengan demikian tentunya kawasan-kawasan
eksploitasi ter sebut kian terancam habis.
Kawasan konservasi di Indonesia sangat luas, khusus cagar alam
mempunyai luas ± 4.635.456.29 ha atau 17 % dari kawasan konservasi lainnya,
kawasan cagar alam di Provinsi Papua mencapai 2.386.061.25 ha atau 23% dari
luas kawasan konservasi lainnya (Direktorat Jendral PAPH, 2004).
Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC) yang luasnya 22.500 ha,
ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian Nomor 56/Kpts/um/I/1978 dan SK
Menteri Kehutanan Nomor 365/Kpts-II/1987 dengan memperhatikan fungsi :
a. Pusat endemis dan evolusi penting biogeography pulau Papua. Tikusan
hutan mayr (Ralina mayri) dan tikus air rusuk merah (Paraleptomys refilatus)
terrbatas hidup di daerah ini, banyak tanaman dan satwa endemik pulau
b. Pegunungan Cycloop/Dafonsoro relatif terisolir dari wilayah pegunungan
lainnya dengan batuan ultrabasa khusus yang tidak dapat ditumbuhi atau
toleran terhadap jenis tumbuhan tropis. Sifat batuan memberikan tempat bagi
keragaman species yang lebih besar.
c. Keragaman ketinggian kawasan ini meliputi spektrum luas jenis-jenis habitat
termasuk daerah pantai berbatu, hutan pantai, hutan daratan rendah, hutan
gunung rendah, hutan lumut, hutan ultra basik dan padang rumput.
d. Letaknya berdekatan dengan Ibukota Propinsi memungkinkan kegiatan
penelitian, pendidikan lingkungan hidup dengan pengenalan tipe-tipe hutan.
e. Pensuplai air bagi penduduk Kabupaten/Kota Jayapura dan kegiatan
pertanian sekitar CAPC serta sumber air bagi danau sentani yang berada
pada wilayah selatan.
Sehubungan dengan status dan fungsi konservasi /lindung, CAPC hampir
tidak dapat dirasa kan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat sekitar yang
secara turun temurun telah memanfaatkan sumberdaya alam yang berada
diwilayah kawasan CAPC, sementara kelestarian fungsinya dihadapkan dengan
tekanan dan ancaman oleh penduduk yang berada disekitar CAPC.
Pertamb ahan penduduk yang semakin cepat, mengakibatkan kebutuhan
lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan, pertambangan golongan C dan
pembangunan pemukiman serta infrasruktur semakin berkurang. Fenomena ini
mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak
dapat dihindari, sementara itu pilihan ini sangat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tentang konservasi seperti UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyatakan
kegiatan yang dapat dilakukan pada wilayah cagar alam adalah kegiatan penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya, kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan cagar alam. Dengan jelas
aturan diatas telah mengatur kegiatan yang dapat dilakukan dan yang tidak
dilakukan, namun faktual yang terjadi adalah konversi dan peruntukan lahan terus
dilakukan dikawasan lindung cycloop.
Untuk mengatur berbagai kegiatan disekitar kawasan Cycloop, Pemerintah
Kabupaten/Kota Jayapura menetapkan kebijakanpemanfaatan ruang yang dibahas
RUTRW Kota Jayapura tahun 1995-2004 yang ditetapkan dengan Perda No.
16 tahun 1995 di bagi dalam struktur Tata Ruang menjadi tiga bagian antara lain:
bagian pertama, tata jenjang pusat-pusat pelayanan (pasal 10), bagian kedua,
sistem transportasi (pasal 11 dan 12) dan bagian tiga, Pengembangan prasarana
dan sarana lain (pasal 13,14,15) (Watori, 2003).
Seiring dengan kebutuhan transportasi di Kota Jayapura, Pemerintah Kota
Jayapura membangun jalan alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam dan Skyline -
Uncen Waena, kedua jalan alternatif ini melintasi kawasan inti dan penyangga
CAPC. Pembangunan Jalan alternatif memberikan akses masyarakat untuk
mengeksploitasi sumberdaya hutan dan potensi lainnya yang berada dikawasan ini.
Kebijakan Pemkot Jayapura telah memberikan nilai positif untuk kemajuan daerah
ini, namun bukan berarti pembangunan ini tidak memberikan dampak negatif,
sebab nilai sosial budaya dan lingkungan atau konservasi telah mengalami
degradasi . Berbagai aktifitas pembangunan dan alih fungsi lahan mengakibatkan
penurunan daya dukung lingkungan (hasil analisis Citra landsat tahun 2000).
Sedangkan struktur RUTRW Kabupaten Jayapura tahun 2002 - 2010 yang dibagi
menjadi tiga bagian yaitu: jaringan prasarana dan transportasi, pusat pelayanan
serta fungsi primer (Bappeda Kab. Jayapura, 2001). Mengacu pada UU Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka Kabupaten Jayapura dalam
pemanfaatan ruang dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Dalam implementasi pemanfaatan ruang, dengan jelas
kawasan lindung ada akses penduduk disekitar buffer zone dan ka wasan inti
dengan berbagai kegiatan antara lain perladangan berpindah, pemukiman liar oleh
masyarakat migran Papua dan non Papua, pertambangan golongan C (pasir, batu)
oleh masyarakat lokal dan pengusaha/swasta, pembangunan pemukiman dan
infrastruktur / jalan melintasi CAPC, penjarahan kayu dan anggrek disekitar
wilayah penyangga dan kawasan inti yang berdampak pada degradasi lahan, tanah
longsor, banjir, kebakaran hutan dan terjadi pengeringan pada sumber-sumber air
(PKBI dan NRM II, 2003).
Semenjak pemekaran wilayah kabupaten Jayapura tahun 1993, wilayah
Kabupaten Jayapura pindah ke Sentani yang sekarang menjadi pusat
pemerintahan Kabupaten Jayapura dan Kotamadaya Jayapura di Jayapura yang
Dengan berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk menentukan kebijakan
yang akan diberlakukan pada wilayahnya, pasal 10 ayat 1 daerah berwenang
mengelola sumberdaya alam nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung
jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini termasuk kawasan konservasi yang diberlakukan Kebijakan
pemanfaatan ruang yang dibahas dalam RUTRW kedua pemerintahan.
Semenjak diberlakukan berbagai program di kawasan ini telah terjadi
berbagai gangguan terhadap potensi sumberdaya alam di kawasan CAPC, baik
dalam kawasan inti maupun penyangga antara lain:
a. Eksploitasi kayu, anggrek dan tanaman paku-pakuan yang dilakukan dengan
pola destruktif.
b. Perburuan binatang liar seperti kus-kus, burung dan binatang mamalia.
c. Eksploitasi kayu soang (Xentrosstemon sp) sebagai bahan baku pembuatan
arang dan pembangunan rumah/jembatan dipinggiran laut.
d. Penggalian batu kapur dan pengambilan batu kali / kerikil.
e. Perladangan berpindah.
f. Pemukiman masyarakat yang masuk dalam kawasan CAPC.
g. Rawan terhadap kebakaran hutan.
Gangguan ini dilakukan oleh masyarakat migran Papua dan pendatang
(Lamuasa et al. 1991 ). Penduduk migran ini cukup memahami konservasi
tradisional, namun desakan ekonomi mengakibatkan tekanan serius terhadap
fungsi kawasan CAPC. Bersamaan dengan tekanan yang dilakukan dikawasan
CAPC mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan lahan untuk
mengantisipasi tekana n yang terjadi. Kebijakan Pemerintah Kota Jayapura tentang
Pemanfaatan Lahan diatur dalam UU Nomor 16 tahun 1995 tentang Rencana
Umum Tata Ruang Wilayah tahun 1995-2004, sedangkan Kabupaten Jayapura
Perda RUTRW Revisi tahun 2000-2013 masih dalam tahap proses. Kedua RUTRW
ini dengan jelas telah dibagi peruntukan lahan/ruang untuk berbagai kegiatan
termasuk kawasan konservasi/lindung. Namun realitas dilapangan menunjukkan
inkonsisten kedua Pemerintah Daerah dalam hal pemanfaatan ruang , oleh sebab
itu masyarakat menuding bahwa salah satu sumber kerusakan pada kawasan
CAPC diakibatkan oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota Jayapura dalam
Jika hal ini dibiarkan berlangsung, maka pertanyaan yang timbul adalah
sejauhmanakah kewenangan Pemerintah Daerah untuk menanggulangi tekanan
yang berakibat pada kerusakan di dalam kawasan CAPC dan bagaimana kinerja
institusi yang diberi kewenangan untuk menangani permasalahan konservasi di
wilayah CAPC.
Kerusakan kawasan akibat kebijakan banyak terjadi pada wilayah Kota
Jayapura, padahal luas CAPC diwilayah Kota Jayapura ± 26 %. Kerusakan akibat
kebijakan pemanfaatan lahan di Kota Jayapura antara lain: Pembangunan
pemukiman dan perkantoran yang berbatasan dengan kawasan inti, pembangunan
Markas Kodam XVII/Trikora dan Lapangan Golf Cenderawasih, pembangunan jalan
alternatif Polimak IV - Kelurahan Hedam yang melintasi kawasan inti CAPC dan
jalan Angkasa – Kampung Ormu yang telah dibatalkan akibat tidak dilengkapi
dokumen AMDAL. Pengambilan material batu kapur di daerah Bucen dan Entrop,
pengambilan kayu untuk pembangunan jembatan bagi penduduk yang berada di
daerah pantai di Teluk Humbolt dan Dok IX. Hal ini membuktikan bahwa
Pemerintah Kota Jayapura tidak memperhitungkan nilai atau aspek
ekologis/lingkun gan kawasan CAPC, namun lebih mementing kan nilai atau aspek
ekonomi.
Menurut PKBI dan NRM II (2003), kerusakan akibat kebijakan Pemerintah
Daerah Kabupaten Jayapura antara lain: Perladangan berpindah disekitar kawasan
penyangga, penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging), pengambilan
material batu dan pasir pada daerah aliran sungai yang berada disekitar kawasan
penyangga dan masuk dalam kawasan inti, pemukiman liar oleh penduduk yang
melakukan perkebunan dan berbagai pemukiman yang diizinkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Jayapura. Permasalahan kerusakan ini menurut Petocz (1987)
adalah ketidak tahuan masyarakat terhadap status kawasan yang telah ditetapkan
menjadi kawasan cagar alam dengan berbagai fungsi dan desakan ekonomi
sehingga disarankan untuk melakukan pendekatan dalam bentuk penyuluhan atau
sosialisasi tentang status kawasan dan fungsinya serta perlu dicari solusi tentang
peningkatan ekonomi masyarakat dengan tidak menebang hutan atau pengambilan
sumberdaya alam secara berlebihan.
Kondisi empiris menujukkan, bahwa masyarakat Jayapura menyadari adanya
momentum pergeseran kewenangan sebagai peluang dan kesempatan untuk
Kabupaten/Kota Jayapura. Kesadaran itu ditandai dengan semakin meningkatnya
tuntutan masyarakat bahwa, mereka tidak lagi sebagai obyek pembangunan tetapi
menjadi subyek dan lebih dari itu sebagai pelaku pembangunan.
Pada kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop masih
bertumpuk berbagai kepentingan baik kepemilikan adat, kebijakan pemerintah dan
swasta (pemanfaat), yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam. Pendeknya sejak terberbentuknya Kabupaten / Kota Jayapura,
tuntutan terhadap upaya penyempurnaan segala bentuk kebija kan daerah
khususnya dengan pengelolaan sumberdaya lahan cenderung meningkat.
Kebijakan Pembangunan Pemerintah Provinsi Papua saat ini lebih diarahkan
pada pembangunan aspek ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sejalan dengan
substansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Provinsi Papua. Aspek-aspek tersebut juga merupakan penjabaran dari visi
Provinsi Papua yang pada tahapan jangka menengah pertama (Perform Project,
2001), dimana meletakan Tahun 2005 sebagai tonggak tapal batas (Milestone)
tercapainya kerangka landasan ekonomi, sosial, budaya dan politik yang kuat bagi
terwujudnya masyarakat Papua menjadi tuan di negeri sendiri (Pemerintah Provinsi
Papua, 2001).
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi kesesuaian peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan kawasan konservasi.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penghambat yang timbul
dalam penerapan peraturan perundang-undangan pada kawasan konservasi
Cagar Alam Pegunungan Cycloop (CAPC).
c. Menganalisis alternatif pemanfaatan yang optimal terhadap Kawasan
Konservasi CAPC.
d. Mengetahui sumber mata air dan nilai ekonomi.
1.3. Kerangka Pemikiran
Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia karena SDL diperlukan disetiap kegiatan manusia
(Sitorus, 2004).
Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segalah tindakan atau perlakuan yang
diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas
lahan tersebut ( Sitorus, 2004).
Perkembangan budaya, kegiatan dan kepadatan penduduk yang relatif cepat
umumnya terjadi di perkotaan. Perkembangan ini dibaringi dengan kebutuhan akan
sumberdaya lahan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjangan
keberlanjutan hidup.
Lahan yang berada diperkotaan telah diperuntukan untuk pengembangan
sentra ekonomi dan berbagai infrastruktur mengakibatkan nilai ekonomi lahan
semakin mahal sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar perkotaan
terdesak ke pinggiran kota bahkan masuk dalam wilayah kawasan
lindung/konservasi.
Pada tahun 1993 kebutuhan lahan untuk pengembangan Kota dan
Kabupaten Jayapura mulai meningkat, dikarenakan kedua daerah ini telah
dimekarkan. Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua)
membutuhkan lahan yang sangat luas untuk pembangunan berbagai infrastruktur
perkantoran, jalan, perumahan dan sentra-sentra ekonomi yang membuat tidak ada
pilihan lain untuk terhindar dari konversi lahan kawasan lindung bagi
pembangunan. Sementara itu kebutuhan lahan untuk masyarakat melakukan
kegiatan seperti pertanian/perkebunan, pengambilan kayu, pertambangan galian C
dan pariwisata memberikan pihan mereka pada penggunaan lahan yang berada
pada kawasan lindung/konservasi.
Kawasan CAPC merupakan kawasan yang penting bagi perlindungan flora
dan fauna endemis Papua yang terwakili disini, sebagai kawasan penyimpan dan
pensuplai air bagi penduduk Jayapura dan sekitarnya serta sebagai penyangga
kehidupan bagi suku Tepra, Ormu, Moy, Sentani, Humbolt selaku masyarakat
pemilik ulayat dan masyarakat/penduduk disekitarnya.
Pengelolaan kawasan CAPC tergolong dalam terminalogi kawasan/hutan
Potensi kawasan CAPC, saat ini sebagian besar mengalami keadaan rusak
berat akibat perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan galian C,
pembangunan pemukiman dan infrastruktur/jalan yang melintasi wilayah inti CAPC.
Kegiatan-kegiatan diatas ada yang mendapat legitimasi hukum dalam bentuk ijin
prinsip dan pinjam pakai yang di dasari dengan terjemahan peraturan
perundang-undangan dan adapula yang dilakukan secara illegal, oleh sebab itu perlu
diidentifikasi peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengelolaan kawasan
konservasi dan faktor pengambat dan pendorong yang dilakukan oleh para pihak
yang berkepentingan dengan CAPC, mengetahui potensi sumber air bersih dan
nilai ekonominya bagi penduduk Jayapura, menganalisis alternatif yang optimal
untuk pengelolaan CAPC dan menyusun strategi pengembangan CAPC. Untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan, perlu dilakukan analisis terhadap
institusi yang menyangkut dengan peraturan perundang -undangan serta fungsi dan
kewenangan dari lembaga/institusi yang berkaitan dalam pengelolaan CAPC.
Institusi merupakan suatu sisten kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup
idiologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tak terlepaskan dari
lingkungan. (Pakpahan, 1990 dalam Kartodihardjo, 1998). Menurut North (1991)
dalam Kartodihardjo (1998), institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh
seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu.
Oleh karena itu intitusi adalah instrumen yang mengatur hubungan individu.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang
di break down dengan Perda Nomor 16 Tahun 1993 tentang RUTRW Kota
Jayapura (Watori, 2003) dan RUTRW Kabupaten Jayapura (Bappeda Kab.
Jayapura, 2001) telah diatur dengan baik ruang-ruang yang aka n dilakukan
kegiatan, sedangkan untuk daerah - daerah yang dilindungi seperti CAPC
diberikan ruang yang disebut buffer zone untuk kegiatan masyarakat setempat
seperti perkebunan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman serta berbagai
infrastuktur adat maupun pemerintah. Hal-hal diatas dengan jelas telah di Perdakan
dan tersusun dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah kedua pemerintah
daerah, namun dalam implemetasi terjadi inkonsisten terhadap RUTRW yang
dikeluarkan oleh kedua pemerintah. Salah satu yang menjadi masalah urgen
adalah pengelolaan terhadap sumberdaya lahan yang berada pada kawasan
dan air yang semakin hari berkurang. Berbagai gejala alam seperti longsor, erosi
dan banjir terjadi di kedua wilayah administratif.
Keberadaan kawasan CAPC memberikan manfaat yang besar bagi
penduduk yang berada disekitarnya dan Jayapura pada umumnya. Pada kawasan
ini telah berlangsung lama kearifan tradisional masyarakat adat untuk melakukan
konservasi secara tradisional namun dengan kebijakan pemerintah dan tuntutan
ekonomi maka nilai-nilai adat lambat laun mulai terkikis. Hal ini dapat dilihat
dengan jelas pada wilayah selatan CAPC, dimana masyarakat tidak lagi
mempertahankan cycloop sebagai ibu dalam apresiasi dan kepercayaan adat
mereka, namun sebaliknya dibiarkan untuk dirusaki atau diperkosa demi mencapai
kenikmatan sesaat dengan berbagai kegiatan seperti: pertambangan golongan C,
pemukiman, perladangan berpindah, pembangunan jalan, pariwisata, pelayanan
jasa dan penebangan hutan tanpa perencanaan (illegal logging).
Kebijakan pemerintah dan adat berupa pemberian izin kegiatan
pertambangan, pengambilan kayu, pemukiman, perladangan dan pertanian,
pariwisata dan penebangan hutan pada kawasan ini te lah memberikan implikasi
jelek terhadap kawasan yang dilindungi dan dibanggakan oleh penduduk
Jayapura. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, yang mengesampingkan fungsi dan manfaat
ekologi/lingkungan dan sosi al budaya yang mengakibatkan berbagai benturan
dalam pemahaman kebijakan pada level masyarakat.
Berbagai fenomena sosial yang terjadi akibat kebijakan pemerintah membuat
gaya hidup/budaya setempat menjadi kendor dan mengikuti tren konsumtif yang
ingin mengkonsumsi seluruh sumberdaya alam yang ada dalam kawasan ini, tanpa
memperhitungkan status kawasan, tetapi lebih banyak memperhitungkan status
sosial yang berdampak pada pemenuhan ekonomi.
Berdasarkan fenomena diatas, maka penelitian ini akan mengkaji seberapa
jauhkah faktor pendukung dan pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap
kelestarian kawasan konservasi Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan seberapa
jauh pandangan atau persepsi mereka terhadap kawasan ini sehubungan dengan
penyelenggaraan Otonomi Khusus Provinsi Papua. secara lebih rinci dapat dilihat
1.4. Perumusan Masalah
Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumberdaya
alam secara berkelanjutan maka pengelolaan sumberdaya alam ditujukan pada
dua hal yaitu pertama, pemanfatan atau eksplorasi sumberdaya alam dan kedua,
perlindungan atau konservasi. Pola pengelolaan sumberdaya yang baik adalah
harus dapat menetapkan sumberdaya sebagai obyek dan subyek pembangunan
sehingga dapat berperan dalam pembangunan regional maupun nasional secara
menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah merupakan suatu
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada daerah tersebut
untuk mensejahterakan manusia secara lestari. Sumberdaya lahan dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi tidak boleh
mengorbankan fungsi sumberdaya lahan tersebut sebagai penopang kehidupan.
Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah antara lain dengan
menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan yang dapat di eksplorasi,
dan kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti
kawasa-kawasan tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasa-kawasan yang dapat dieksploitasi,
baik eksploitasi sumberdaya hutan, tambang, minyak dan gas ataupun sumberdaya
lahan, dapat dieksploitasi dengan semena-mena sehingga melupakan perhatian
aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan, maupun upaya-upaya
rehabilitasi.
Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
industrialisasi maka tekanan terhadap sumberdaya alam semakin besar, karena
tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam sangat tinggi. Hal
ini dapat dilihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumberdaya
alam lainnya dari tahun ke tahun semakin meningkat/besar. Dengan demikian
tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara
suksesi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitasi
membutuhkan waktu lama untuk diperbaharui kembali.
Ancaman tidak hanya me ncul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap
sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan
tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan
lindung ataupun kawasan konservasi. Ancaman tersebut disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, pengrusakan lingkungan, konversi lahan, penangkapan
Sehubungan dengan pengembangan Kota dan Kabupaten Jayapura, kedua
Pemda telah menyusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) dari
masing-masing daerah yang behubungan dengan penggunaan lahan pada kedua
wilayah masing-masing. RUTRW dengan jelas mengatur tentang pengunaan
ruang/lahan yang berada disekitar CAPC, namun dalam implementasi RUTRW ada
berbagai kegiatan yang telah masuk kawasan cagar alam pegunungan cycloop.
Kegiatan yang dimaksud adalah pembangunan infrastruktur/jalan alternatif Polimak
IV – Keluarahan Hedam (status izin pinjam pakai), dan jalan melingkar
Angkasa – Kampung Ormu sepanjang 25 km yang telah dibatalkan karena tidak
dilengkapi dengan dokumen AMDAL, kegiatan ini sangat mengganggu sumber
mata air bersih dan berbagi flora fauna dalam kawasan CAPC. Kegiatan lain yang
memberikan kerusakan bagi sumberdaya lahan seperti perladangan berpindah,
penebangan hutan secara liar, pertambagan galian C masih marak dilakukan
disekitar wilayah ini, belum ditata oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Peruntukan lahan disekitar kawasan ini masih terbentur oleh kepemilikan
adat, sehingga luas lahan/tanah tertentu harus melalui persetujuan/ pelepasan
adat. Fenomena sosial budaya masyarakat disekitar CAPC masih kuat dengan
adat istiadat, namun akhir-akhir ini terlihat bahwa adat-istiadat dari masyarakat
khusus dibagian selatan kawasan ini telah mengalami degradasi nilai adat
diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat.
Fenomana diatas sangat berhubungan dengan sistem dalam lembaga
masyarakat dan pemerintah yang melaksanakan berbagai program pengelolaan
kawasan konservasi CAPC. Mengingat kelembagaan ini harus dilatarbelakagi
dengan kapabilitas dan kapasitas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan
konservasi dan juga dapat memberikan alternatif terhadap tekanan dan ancaman
yang terjadi dalam kawasan CAPC.
Untuk meminimisasi tekanan dan ancaman yang terjadi dikawasan ini maka
dibutuhkan koordinasi terintegrasi antara para pihak yang berkepentingan dengan
kawasan CAPC, sumberdaya manusia dan dana yang cukup, lembaga yang
kredibel.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan di CAPC, dibutuhkan kebijakan
lingkungan/ekologi, sosial budaya dan ekonomi dan tidak seb aliknya. Berdasarkan
kondisi faktual di atas, telah memberikan indikasi, bahwa dasar-dasar
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan
harus didukung oleh berjalannya prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan
berwawasan lingkungan (enviromental good governance) yaitu dilakukan secara
terbuka, partisipatif, bertanggung jawab, bertanggung-gugat, demokratis dan
berpihak pada kepentingan publik. Semangat untuk merespon kondisi empiris ini
dan menangkap momentum seperti diuraikan diatas, perlu dijadikan pendekatan
bagi semua bidang pembangunan dalam menetapkan rencana kegiatan dan
program strategi. Dari uraian diatas timbul tiga pertanyaan penelitian yang
ditimbulkan oleh stakeholders berkepentingan pada kawasan konservasi CAPC
antara lain:
a. Bagaimanakah fungsi dan kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota
Jayapura dalam pengelolaan Sumberdaya Lahan pada kawasan CAPC.
b. Seberapa besar nilai ekonomi air sebagai dasar pengambilan keputusan
c. Seberapa besar faktor pendorong dan penghambat dapat mempengaruhi
kelestarian CAPC.
1.5. Hipotesis
Pembaharuan kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya lahan dapat
tercapai, apabila faktor-faktor pendorong lebih besar dari pada faktor
penghambatnya, dan kebijakan dapat dilaksanakan, apabila ekspektasi rasional
masing-masing pelaku (aktor) sesuai dengan tujuan pembangunan yang
diharapkan.
1.6. Manfaat
a. Memberikan informasi evaluasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan
Kota Jayapura sebagai arah pengambilan keputusan dan atau kebijakan
sesuai kewenangan yang diberikan guna pengelolaan sumberdaya lahan
kawasan konservasi CAPC.
b. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholders yang berkepentingan dengan
Kebijakan Pemerintah ttg Peraturan Per-UU Konservasi dan Kewenangannya
(Pemerintah Pusat, Prov, Kab/Kota)
Faktor Pendorong
Faktor Penghambat
KINERJA YG DICAPAI
KONDISI AWAL
PROGRAM BERJALAN
KINERJA SAAT INI
Tim Pokja Cycloop yang terdiri dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan Cycloop al. Pemerintah, Swasta, PT, Masyarakat/ LMS
Ekspetasi Rasional
PENYEMPURNAAN KEBIJAKAN
Fak. Pendukung
Faktor Penghambat
KINERJA HARAPAN
Perilaku dan Adaptasi
AKTOR
ALTERNATIF SOLUSI
[image:38.792.106.723.126.453.2]1.1. Latar Belakang
Peningkatan pembangunan nasional terutama sektor pertanian
memerlukan berbagai sarana untuk mendukung tercapainya hasil yang
memuaskan, dan mencukupi kebutuhan nasional di bidang pangan.
Sarana-sarana yang mendukung pen ingkatan hasil pertanian adalah alat-alat pertanian,
pupuk dan bahan-bahan kimia lainnya termasuk pestisida.
Penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman
telah memberi konstribusi positif terhadap peningkatan produksi pertanian.
Tetap i juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan gangguan
kesehatan petani serta masyarakat lainnya. Selain itu penggunaan pestisida
yang berlebihan menyebabkan gangguan terhadap musuh alami hama.
Kematian musuh alami dan terjadinya resistensi hama terhadap pestisida
menurunkan efektivitas pestisida sehingga penggunaan pestisida meningkat.
Di Kabupaten Brebes penggunaan pestisida sangat intensif untuk
budidaya bawang merah, demikian juga di tempat lain seperti di Ban jarnegara
dan Wonosobo untuk budidaya kentang dan Karanganyar untuk budidaya
sayur-sayuran.
Menurut prakiraan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Program
Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP), 1,5 juta kasus keracunan
pestisida terjadi pada pekerja di sektor pertanian. Sebagian besar kasus
keracunan pestisida tersebut terjadi di negara berkembang yang 20.000 kasus
diantaranya berakibat fatal. Jumlah keracunan yang sebenarnya terjadi
diperkirakan lebih tinggi lagi, mengingat angka tersebut diperoleh dari kasus
yang dilaporkan dari angka statistik. Banyak kasus keracunan yang terjadi di
lapangan tidak dilaporkan oleh korban sehingga tidak tercacat oleh instansi
terkait (infokes, 2004)
Petani di Kabupaten Brebes Jawa Tengah khususnya petani cabai dan
bawang merah cenderung berlebihan dalam penggunaan pestisida, yang dapat
biaya produksi penanaman cabai dan bawang merah yang berlebihan dalam
pemakaian pestisida menyebabkan pembengkakan pembiayaan, karena
rata-rata petani mengeluarkan biaya sampai Rp. 2.800.000 per hektar (Suara
Merdeka, 2002).
Pada umumnya petani dalam menggunakan pestisida hanya
memperhatikan masalah pengendalian hama dan penyakit saja, tanpa
memperhatikan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida
merupakan rutinitas yang seolah -olah tidak mendatangkan bahaya. Seringkali
terlihat petani merokok sambil menyemprot, tidak menggunakan alat pelindung
diri saat menyemprot, mencuci tangki semp rot di sungai dan membuang wadah
bekas pestisida sembarangan.
Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapas an,
pencernaan, kulit dan kontak langsung. Masuknya pestisida melalui saluran
pernapasan karena pada saat bekerja tidak menggunakan masker. Pestisida
juga dapat masuk melalui kulit yang terkena percikan pestisida, serta sejumlah
kecil dapat masuk mulut karena menggunakan tangan atau peralatan yang
tercemar. Selain itu pestisida dapat masuk melalui mata akibat tidak
menggunakan pelindung mata.
Pestisida organofosfat bila masuk ke dalam tubuh akan mengikat
enzim kolinesterase sehingga asetilkolin terkumpul dalam jaringan. Jika kadar
enzim turun kira-kira 20 % dari keadaan normal maka akan tampak gejala
pupil mata atau celah iris mata menyempit sehingga penglihatan menjadi
kabur, mata berair, mulut berbusa, berkeringat banyak, mual, pusing, muntah
-muntah, banyak mengeluarkan air liur, kejang-kejang, sesak napas, detak
jantung menjadi cepat, otot tidak bisa digerakan akhirnya pingsan (Wudianto,
1990).
Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Brebes tahun 2002 sebanyak 29
dari 80 orang petani bawang merah terinfeksi racun dari pestisida. Dari semua
petani yang terinfeksi pestisida 4 diantaranya dengan katagori keracunan
petani dengan menggunakan alat Cholinesterase Test Kit I.
Kolinesterase adalah enzim, suatu ben tuk katalis biologik yang dalam
jaringan tubuh berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan
sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis (DepKes, 1992). Ada dua
tipe kolinesterase yang dijumpai dalam darah, yaitu “true” cholinesterase
(acethylcholinesterase) dalam sel darah merah dan “pseudocholinesterase”
(acethylcholine acylhydrolase) pada serum/plasma (Jacob et al. 1990).
Asetilkolinesterase dalam butir/sel darah merah lebih banyak dibandingkan
dengan pseudokolinesterase. Keduanya merupakan indikator, plasma dipakai
sedikit penurunannya bila kontak dengan organofosfat meskipun dalam jumlah
sedikit.
Insektisida organofosfat merupakan golongan terpenting yang
menimbulkan keracunan, karena kerjanya sangat kuat dan lama. Intoksikasi
dapat ditimbulkan karena absorpsi melalui kulit. Tergantung dari jenis
antikolinesterase, keracunan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai
beberapa minggu (Darmansyah dan Gan, 1995). Keracunan pestisida dapat
menurunkan aktivitas enzim kolinesterase pada tingkat tertentu sesuai dengan
tingkat keracunannya. Penurunan aktivitas kolinesterase juga terjadi pada
beberapa penyakit seperti hepatitis, sirosis hati dan tumor hati. Penyakit infeksi
akut, malnutrisi, anemia dan ginjal kronis dapat pula menurunk an aktivitas
kolinesterase (Dirdjoatmodjo, 1991).
Untuk mengetahui adanya gangguan kesehatan akibat keracunan
pestisida, maka ditentukan kandungan enzim asetilkolinesterase pada darah
petani. Aktivitas enzim ini dapat dipergunakan sebagai indikator keracunan
pestisida organofosfat dan karbamat. Selain itu juga ditentukan aktivitas enzim
glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan enzim glutamat piruvat
transaminase (GPT), untuk menyingkirkan kemungkinan penurunan aktivitas
asetilkolinesterase bukan karen a keracunan organofosfat.
Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian guna
mengetahui dampak penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani,
piruvat transaminase (GPT) pada darah petani bawang merah.
1.2. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dampak penggunaan pestisida yang berlebihan
terhadap gangguan kesehatan petani
2. Mengetahui pengetahuan dan sikap petani terhadap penggunaan
pestisida.
3. Menentukan kandungan enzim asetilkolinesterase (AChE) dalam
darah petani bawang merah.
4. Menentukan kandungan enzim glutamat piruvat transaminase
(GPT) dalam darah petani bawang merah.
1.3. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah sebagai bahan
evaluasi kebijakan berkenaan dengan tingkat pencemaran
pestisida.
2. Sebagai bahan informasi bagi pemerhati dan pengelola lingkungan
agar dapat mengambil tindakan untuk meningkatkan kesehatan
petani dan masyarakat.
3. Mendapatkan validasi kadar enzim asetilkolinesterase dalam darah
yang dapat ditoleransi.
1.4. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penekanan
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Banyaknya penggunaan pestisida dalam budidaya tanaman bawang
merah, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan
kesehatan.
2. Interaksi lama kerja antara petani dalam menggunakan pestisida.
3. Tingkat keracunan yang dicirikan oleh penurunan kandungan
dampaknya yang ditimbulkannya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian. Banyaknya penggunaan pestisida mengakibatkan
masalah kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan pada petani. Petani
berpotensi menderita keracunan pestisida, yang diakibatkan sikap dan perilaku
petani itu sendiri, kurangnya pengetahuan, rendahnya pendidikan dan
ketidakpedulian petani untuk menggunakan alat pelindung diri. Untuk itu
[image:43.612.148.537.304.659.2]kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran.
DAMPAK
Kesehatan Lingkungan :
Air, tanah, udara, dan tanaman
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan
insektisida
Pemaparan (manusia)
Keracunan ringan > 50-75 %
Keracunan berat 0-25 % Keracunan
sedang > 25- 50 %
Manfaat :
Peningkatan produksi
- umur - jenis kelamin - lama pajanan - APD
- alat penyemprot - cuaca
- suhu - kelembaban - arah angin
Asetilkolinesterase ( AChE) - glutamat
oksaloasetat - glutamat
1. Semakin lama bekerja /lama pajanan (exposure) aktivitas enzim
asetilkolinesterase pada darah petani semakin menurun.
2. Terdapat hubungan antara kebiasaan menggunakan alat
pelindung masker dengan aktivitas enzim asetilkolinesterase.
3. Terdapat hubungan antara kebiasaan menggunakan alat
pelindung sarung tangan dengan aktivitas enzim
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida artinya
pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama
(Soemirat, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 pasal
1 mengenai “ Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida” yang
dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah
hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas rerumputan,
mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur
atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak
termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas
atau mencegah binatang -binatang yang menyebabkan penyakit pada manusia
atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman , tanah
dan air.
2.2. Penggolongan Pestisida
Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk
membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya
yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya (Tarumingkeng,
2004).
Menurut Novizan (2002) Pestisida dikelompokkan berdasarkan
kelompok organisme pengganggu tanaman (OPT) yang akan dikendalikan dan
berdasarkan fungsi pestisida. Penggolongan ini sering menimbulkan salah
pengertian dari pemakainya, sehingga menimbulkan kesalahan dalam
Jenis pestisida Fungsi
Insektisida Untuk mengendalikan serangga
Herbisida Untuk mengendalikan gulma
Fungisida Untuk mengendalikan cendawan
Bakterisida Untuk mengandalikan bakteri
Rodentisida Untuk merngendalikan binatang pengerat
Nematisida Untuk mengendalikan nematoda/cacing
Moluskisida Untuk mengendalikan siput
Sumber : Wudianto, R (1990).
Berdasarkan ketahanannya di lingkungan maka pestisida dikelompokan
menjadi dua golongan yaitu pestisida yang presisten, yaitu pestisida yang
meninggalkan pengaruh terhadap lingkungan dan yang kurang presisten.
Pestisida organoklorin termasuk yang presisten pada lingkungan dan dapat
terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya DDT,
cyclodienes, heksakloroheksana (HCH), endrin. Pestisida organo fosfat
mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdeg radasi di tanah,
contohnya disulfoton, paration, d iazinon, azodrin, dan lain -lain.
2.3. Insektisida
Insektisida digunakan untuk mengendalikan serangga, misalnya
membunuh hama tanaman, membunuh serangga pembawa penyakit,
membasmi hama gudang dan sebagainya. Dengan perkembangan teknologi
pada saat ini yang paling banyak digunakan adalah insektisida organik sintetik.
Insektisida merupakan kelompok pestisida terbesar dan terdiri dari beberapa
sub kelompok kimia yang berbeda.
Insektisida organik sintetik dibedakan atas tiga kelompok berdasarkan
struktur dan komposisiya yaitu :
1. Insektisida organoklorin, misalnya DDT, metoksikhlor, aldrin, dieldrin,
lindan, endosulfan dan sebagainya.
2. Insektisida organofosfat, misalnya paration, malation, diazinon,
dan sebagainya.
2.3.1. Insektisida Organoklorin
Insektisida ini merupakan turunan dari etana berklor, siklodien,
heksaklorosikloheksana. DDT dan metoksiklor adalah derivat dari etana
berklor, tetapi metoksiklo r jauh kurang toksik dan tidak bertahan di lingkungan
(Frank, 1995). Insektisida jenis ini masih digunakan di negara-negara
berkembang terutama negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan
persisten. Organoklorin dibagi dalam beberapa bagian yaitu diklorodifenil etan
(DDT, DDD, portan, metoksiklor, metioklor), siklodien (aldrin, dieldrin,
heptaklor, klordan dan endosulfan) dan sikloheksana benzene terklorinasi
seperti HCH dan HCB (Soemirat, 2003).
Dieldrin dan klordan bersifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air,
stabil agak lama dari beberapa bulan sampai setahun. Gangguan keracunan
adalah tremor dan kejang-kejang. Lindan bersifat tidak larut dalam lemak, larut
dalam oli, minyak atau lemak. Lindan bersifat menstimulasi susunan saraf
pusat sehingga ataxia, kejang-kejang, oedema paru-paru, dan kegagalan
vaskular. Pengaruh lindan mulai tampak setelah 6 jam keracunan dan lamanya
lebih kurang 4 hari. Gejala umum keracunan organoklo rin adalah sakit kepala,
mual, muntah -muntah, mencret, badan lemah, gemetar, kejang-kejang dan
pingsan (Wudianto, 1990).
2.3.2. Insektisida Organofosfat
Golongan ini merupakan salah satu jenis insektisida yang paling
banyak digunakan di bidang pertanian, dan dikenal sebagai inhibitor untuk
enzim kolinesterase . Menurut Soemirat (2003) jenis insektisida organo fosfat
sering disebut sebagai insektisida antikolinesterase, karena dapat menghambat
aktivitas enzim kolinesterase.
Organofosfat sering disebut esterfosfat, yang merupakan turunan atau
persenyawaan asam fosfat dengan bahan-bahan organik. Kebanyakan
dibasahkan. Jenis pestisida yang termasuk golongan organofosfat antara lain
diazinon, fention, dichlorvos, dim etoat, fenitrothion, fentoat, klorpirifos
(Wudianto, 1990). )
Organofosfat bekerja menghambat asetilkolinesterase (AChE) yang
mengakibatkan akumulasi asetilk olin (ACh). Asetilkolin yang ditimbun dalam
SSP akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang dan lain -lain.
Dalam sistem saraf autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinasi
tanpa sadar, miosis dan sebagainya. Akumulasi pada neuromuskuler akan
mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti kelemahan, hilangnya reflek dan
paralisis. Senyawa organofosfat tertentu misalnya DFP (diisopropil fluofosfat)
menyebabkan penghambatan yang tidak dapat pulih, penyembuhannya hanya
melalui sintesis AChE baru (Frank, 1995).
Beberapa organofosfat larut dalam air, juga mengakibatkan keracunan
sistemik pada serangga dan mamalia. Karena bahan ini secara cepat dapat
didistribusikan ke seluruh tubuh maka gejala cepat timbul beberapa jam setelah
pemajanan. Organofosfat yang larut dalam lemak seperti k lorfentio dan fention
dapat menimbun dalam lemak dan menimbulan gejala tetap sampai beberapa
minggu dan dapat kambuh secara periodik serta memerlukan pengobatan yang
tepat.
2.3.3. Insektisida Karbamat.
Insektisida golongan ini mengandung bahan aktif yang merupakan
turunan asam ditiokarbomin yang disebut ditiokarbamat. Yang termasuk
golongan ini adalah karbaril, karbofuran, BPMC, MIPC, dan propoksur
(Wudianto, 1990). Kelompok insektisida ini bekerja menghambat AChE tetapi
pengaruhnya terhadap enzim jauh lebih reversible dibandingkan efek
insektisida organofosfat.
2.4. Pestisida Pada Bawang Merah
Bawang merah (Allium ascolanicum L) merupakan sayuran rempah
yang tinggi dan tidak sulit untuk dibudidayakan. Kebutuhan masyarakat
terhadap bawang merah semakin meningkat. Produksi bawang merah hampir
tersebar di seluruh wilayah nusantara dan selalu mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun.Tanaman bawang merah banyak dibudidayakan pada dataran
rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas dan cuaca cerah,
terutama yang mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam.
Gangguan hama dan penyakit yang menyerang tanaman bawang merah
antara lain ulat tanah, hama thrips, ulat daun, ulat grayak, kutu daun (kutu dan
tungau),nematoda akar, bercak ungu, embun tepung, busuk leher batang,
antraknosa, busuk umbi, dan sebagainya. Petani pada umumnya menggunakan
pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman bawang merah.
Para petani sudah terbiasa menggunakan pestisida, tingkat ketergantungan
terhadap pestisida tinggi. Petani bawang merah di Kabupaten Brebes
cenderung berlebihan dalam pemakaian pestisida. Akibatnya merusak
lingkungan, mengganggu kesehatan petani dan masyarakat, penyakit tanaman
lebih resisten,