KARYOTIPE KROMOSOM KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) DENGAN MENGGUNAKAN
METODE PENCET (SQUASH)
SKRIPSI
SIMLAH WATHI 050805034
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARYOTIPE KROMOSOM KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) DENGAN MENGGUNAKAN
METODE PENCET (SQUASH)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
SIMLAH WATHI 050805034
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : KARYOTIPE KROMOSOM KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica
Danser.) DENGAN MENGGUNAKAN METODE
PENCET (SQUASH)
Kategori : SKRIPSI Nama : SIMLAH WATHI
Nomor Induk Mahasiswa : 050805034
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diluluskan di Medan, Maret 2010
Komisi Pembimbing :
Pembimbing 2 pembimbing 1
Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc Dra. Elimasni, M.Si
NIP. 196212 111998 031001 NIP. 196505 241991 032001
Diketahui/Disetujui oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
KARYOTIPE KROMOSOM KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) DENGAN MENGGUNAKAN
METODE PENCET (SQUASH)
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Maret 2010
PENGHARGAAN
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan limpahan berkat dan kasihnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul: “Karyotipe Kromosom Kantong Semar (Nepenthes
reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) dengan Menggunakan Metode Pencet (Squash)”. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu Dra.
Elimasni, M.Sc dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan panduan dan kepercayaan kepada saya dalam penyempurnaan skripsi ini, demikian juga kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc dan Bapak Dr. Syafruddin Illyas, M.BioMed selaku dosen penguji yang telah memberikan bantuan, masukan serta saran demi penyempurnaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto dan Ibu Dra. Nunuk Priyani M,Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Biologi, Bapak Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Kepala Laboratorium Genetika FMIPA USU, Ibu Masitta Tanjung, S.Si, M.Si selaku penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama pendidikan dan perkuliahan. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama masa perkuliahan, serta Ibu Roslina Ginting, Bang Erwin, Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak Sukirmanto selaku pegawai di Departemen Biologi, FMIPA, USU.
Skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta khususnya kedua orang tua saya yang paling saya sayangi W. Tayale Segeren dan T. Raje Kumari, serta saudara saudariku Nilendra, S.Kom, Emalita, Rosita Dewi, Prema, dan Nares Kumar yang telah memberikan bantuan dengan meminjamkan laptop demi mempercepat penulisan skripsi ini, serta kakekku Saminathan yang selalu memberikan dukungan dan semangat bagi penulis, terima kasih banyak atas doa, kasih sayang serta dukungan moral dan material. Terkhusus kepada Sanjaya Kumar, S.Kom sahabat istimewa yang senantiasa memberikan doa, perhatian, semangat serta kasih sayangnya. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan asisten di Laboratorium Genetika Bang Franhot Nainggolan S.Si, kak Maria, Kalista, Ruth, Delni, Siti, Riris, Julita, Hilda, desmina, Tetty, terkhusus Santi giant sahabatku mulai dari pendaftaran perkuliahan hingga akhir perkuliahan, terima kasih atas dukungan serta dorongan dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Tak lupa rekan-rekan stambuk 2005 yang menjadi teman seperjuangan Rico, Wulan, Susi, Nikmah, Widya, Toberni, Rebecca, Irfan, Kabul, Sarah L.P, Susanti, Eric, Yanti, Seneng, Dwi, Andini, Nalverta, Patimah, Fitria, Rosida, Valentina, Misran, Taripar, Erna, Erni, Sidahin, Andi, Putri, Rahmad, Diana, Fifi, Efendi, Mustika, Gustin, Dini, Elfrida, Maysarah, Ummi, Juned, Nia, dan Winda. Adik-adikku di Biologi Farid, Affan, dan Ncai terima kasih atas foto kromosomnya di BFS.
ABSTRAK
THE KARYOTYPE OF KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. AND Nepenthes tobaica Danser.) BY USING SQUASH METHOD
ABSTRACT
DAFTAR ISI
BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Tumbuhan Kantong Semar (Nepenthes spp.) 5 2.2 Habitat Nepenthes spp. 7
BAB 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Hasil Foto Preparat Nepenthes reinwardtiana 19
4.3 Hasil Pengukuran Kromosom Nepenthes reinwardtiana 22
4.4 Hasil Penghitungan % PR dan % IS N. Reinwardtiana 24
4.5 Karyotipe Nepenthes reinwardtiana 25
4.6 Hasil Foto Preparat Nepenthes tobaica 26
4.7 Penghitungan Jumlah Kromosom Nepenthes tobaica 27
4.8 Hasil Pengukuran Kromosom Nepenthes tobaica 29
4.9 Hasil Penghitungan (%PR) da (%IS) Nepenthes tobaica 30
4.10 Karyotipe Kromosom Nepenthes tobaica 32
4.11 Perbandingan Karyotipe Nepenthes tobaica 33
BAB 5 Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 35 5.2 Saran 36 Daftar Pustaka 37
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.3 Tipe dan Panjang Lengan Kromosom Nepenthes reinwardtiana 22 Tabel 4.4 Persentase Panjang relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS)
Kromosom Nepenthes reinwardtiana 24 Tabel 4.8 Tipe dan Panjang Lengan Kromosom Nepenthes tobaica 29 Tabel 4.9 Persentase Panjang relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1 Sel radiks Nepenthes reinwardtiana dengan perbesaran 1000x 19 Gambar 4.2.1 Gambar sel akar N. reinwardtiana dengan teknik kroping
Photoshop CS2 20 Gambar 4.2.2 Rentangan kromosom N. reinwardtiana pada metafase dengan
perbesaran 1500x 21 Gambar 4.5 Karyotipe kromosom N. reinwardtiana 26 Gambar 4.6 Sel radiks Nepenthes tobaica dengan perbesaran 1000x 27 Gambar 4.7.1 Gambar sel akar N. tobaica dengan teknik kroping
Photoshop CS2 27 Gambar 4.7.2 Rentangan kromosom N. tobaica pada metafase dengan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Komposisi Bahan 40 Lampiran 2 Contoh perhitungan persentase panjang relatif lengan (%PR)
ABSTRAK
THE KARYOTYPE OF KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. AND Nepenthes tobaica Danser.) BY USING SQUASH METHOD
ABSTRACT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tanaman hias dapat digolongkan menjadi tanaman hias bunga dan tanaman hias daun.
Tanaman hias daun merupakan tanaman dengan daun yang menarik. Jumlah tanaman
hias daun tidak dapat dihitung secara pasti karena makin banyak tumbuhan liar yang
kini digolongkan menjadi tanaman hias (Prihmantoro, 1997). Tanaman hias daun
dipilih karena penampilan aneka ragam daunnya yang berwarna-warni. Mulai dari
yang berwarna tunggal merah, hijau, kuning, oranye, perak, warna kombinasi, warna
strip-strip, warna zebra, warna bintik-bintik dan warna totol-totol merah-ungu.
Tanaman hias daun berasal dari alam terbuka, di alam terbuka itu tanaman
mendapatkan latihan terus menerus secara alami. Tanaman tersebut terlindung dari
terpaan terik matahari, sebab tanaman tersebut tumbuh di bawah pepohonan besar.
Tanaman hias ini sengaja dicoba dan dilatih untuk hidup di lingkungan baru dengan
cara memberi penyinaran yang terbatas (Sudarmono, 1997).
Nepenthes dikenal sebagai tanaman hias unik, banyak di antara para hobis
dan kolektor tanaman hias mencoba untuk memiliki dan mengembangkannya. Bentuk
kantong dan corak warna Nepenthes memiliki nilai seni yang unik dan artistik, apabila
dikembangkan Nepenthes mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai
tanaman hias pot, pekarangan, pengisi rangkaian vas bunga, tanaman hias dalam botol
hasil pengembangan kultur jaringan. Pecinta tanaman hias menggunakan batang
Nepenthes sebagai tali pengikat, sangkar burung, dan pagar. Akar dan cairan kantong
Kemampuan menangkap serangga pada Nepenthes disebabkan oleh adanya
organ berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcher
atau kantong. Kemampuannya yang unik dan asalnya yang dari negara tropis itu
menjadikan Nepenthes sebagai tanaman hias pilihan yang eksotis di Jepang, Eropa,
Amerika dan Australia. Tetapi, di Indonesia tanaman ini belum banyak dikenal dan
dimanfaatkan. Selain kemampuannya dalam menjebak serangga, keunikan lain dari
tanaman ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya sangat menarik
(Rischer, 2001).
Sebagai upaya untuk peningkatan kualitas Nepenthes perlu diketahui terlebih
dahulu kromosom dan karyotipenya. Karyotipe adalah pengaturan kromosom secara
standar berdasarkan panjang, jumlah serta bentuk kromosom dari sel-sel somatis suatu
individu (Suryo, 2003). Menurut Russell (1992), karyotipe adalah satu set lengkap
kromosom sel yang berada pada tahap metafase. Sebuah karyotipe merupakan
kromosom pada fase metafase yang tersusun secara khusus, berpasangan, menurut
skala tangan kromosom dan posisi sentromer (Merten & Hammersmith, 2001).
Jumlah kromosom dalam setiap sel somatik adalah sama bagi semua anggota
suatu spesies tertentu. Jumlah diploid dari suatu spesies tidak menyatakan hubungan
langsung terhadap posisi spesies dalam klasifikasi filogenetis. Struktur kromosom
dapat dilihat sangat jelas pada fase-fase tertentu pada waktu pembelahan nukleus pada
saat mereka bergulung. Setiap kromosom dalam genom biasanya dapat dibedakan satu
dengan yang lainnya oleh beberapa kriteria, termasuk panjang relatif kromosom,
posisi suatu struktur yang disebut sentromer yang membagi kromosom dalam dua
tangan yang panjangnya berbeda-beda, kehadiran dan posisi bidang (area) yang
membesar disebut kromomer, adanya perpanjangan halus pada terminal dari material
kromatin yang disebut satelit dan sebagainya. Suatu kromosom dengan sentromer
median (metasentris) akan mempunyai tangan-tangan dengan ukuran yang kira-kira
sama. Kromosom yang submetasentris atau akrosentris mempunyai tangan-tangan
yang jelas ukurannya tidak sama. Jika sentromer suatu kromosom berada di dekat atau
dekat sekali dengan salah satu ujung kromosom, disebut telosentris. Setiap kromosom
dari genom (dengan pengecualian kromosom-kromosom seks) diberi nomor secara
berurutan menurut panjangnya, dimulai pertama kali dengan kromosom yang paling
Karyotipe memiliki peranan yang penting dalam pengamatan sifat keturunan,
dengan melihat karyotipe dapat dicari hubungannya dengan anatomi, morfologi
ataupun fisiologi suatu individu (Yatim, 1983). Pada sebuah karyotipe, kromosom
disusun dan dinomori dengan ukuran dari yang terbesar sampai terkecil. Berdasarkan
susunan inilah dapat ditentukan perubahan kromosom yang mungkin terjadi akibat
kesalahan genetis atau mutasi (Lewin, 1995).
Salah satu cara yang digunakan untuk analisis kromosom tumbuhan adalah
dengan metode pencet. Metode pencet merupakan salah satu metode untuk
mendapatkan sediaan dengan cara memencet suatu potongan jaringan atau suatu
organisme secara keseluruhan, sehingga didapat suatu sediaan yang tipis yang dapat
diamati di bawah mikroskop (Suntoro, 1983).
1.2Permasalahan
Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser. memiliki bentuk dan
struktur yang berbeda terutama dari warna kantongnya, meskipun berasal dari genus
yang sama, namun karakter kedua tanaman ini berbeda, maka perlu dilakukan
penelitian tentang karyotipe kromosom kantong semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.
dan Nepenthes tobaica Danser.) dengan menggunakan metode pencet (squash).
1.3Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karyotipe kromosom kantong semar
(Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) dengan menggunakan
1.4Hipotesis
Terdapat perbedaan karyotipe kromosom kantong semar (Nepenthes reinwardtiana
Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) dengan menggunakan metode pencet (squash).
1.5Manfaat
Dengan didapatkannya karyotipe kromosom kantong semar (Nepenthes reinwardtiana
Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) diharapkan dapat membuka peluang penelitian
yang mengarah pada pendayagunaan potensi genetik tanaman tersebut sehingga dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Kantong Semar (Nepenthes spp.)
Kantong semar dikenal sebagai tumbuhan yang unik dan merupakan bentuk tumbuhan
berbunga yang tidak umum dijumpai. Tumbuhan tersebut sebenarnya tidak memiliki
bunga yang memikat, tetapi variasi warna dan bentuk dari kantong-kantong yang
dimilikinya, menjadikan kantong semar memiliki keindahan yang khas. Kantong
bernektar tersebut secara ekologis berfungsi sebagai perangkap serangga, beberapa
reptil dan hewan kecil lainnya (Hernawati, 2001). Hewan yang terperangkap
kemudian diproses secara kimiawi oleh mikroorganisme dekomposer yang mendiami
cairan di dalam kantong. Proses dekomposisi tersebut menyediakan beberapa nutrisi
penting yang mungkin tidak tersedia dan tidak dapat diperoleh secara optimal oleh
Nepenthes spp. dari lingkungannya (Frazier, 2000).
Nepenthes spp. tergolong dalam ‘carnivorous plant’ atau tumbuhan
pemangsa, namun sering juga disebut dengan ‘insectivorous plant’ atau tumbuhan
pemangsa serangga. Tumbuhan ini memiliki kantong unik yang berfungsi sebagai
sumber hara seperti nitrat dan fosfat. Aktivitas enzim proteolase sangat dipengaruhi
oleh pH (keasaman) cairan kantong dan setiap jenis Nepenthes memiliki nilai pH yang
berbeda. Umumnya pH di bawah 4. Nepenthes hidup di tanah yang miskin unsur hara
menjadikan Nepenthes mengembangkan kantongnya sebagai alat untuk memenuhi
kekurangan suplai nutrisi dari tanah. Sulurnya dapat mencapai permukaan tanah atau
menggantung pada cabang-cabang ranting pohon sehingga berfungsi sebagai pipa
penyalur nutrisi dan air. Perbanyakan Nepenthes dapat dilakukan dengan beberapa
Kantong semar tergolong ke dalam tumbuhan liana (merambat), berumah
dua, serta bunga jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Tumbuhan ini
hidup di tanah (terestrial), ada juga yang menempel pada batang atau ranting pohon
lain sebagai epifit. Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran dan corak
warna kantongnya. Sebenarnya kantong tersebut adalah ujung daun yang berubah
bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya.
Nepenthes mengeluarkan enzim yang disebut dengan protease. Enzim ini dikeluarkan
oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong. Dengan bantuan enzim yang disebut
dengan nepenthesin, protein serangga atau binatang lain diuraikan menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Mansur, 2006).
Nepenthes termasuk ke dalam famili Nepenthaceae yang monogenerik, yaitu
famili yang hanya memiliki satu genus (Keng, 1969). Famili tersebut merupakan satu
dari tiga famili tumbuhan berbunga yang ketiga-tiganya dikenal sebagai tumbuhan
pemangsa (Core, 1962). Morfologi kantong Nepenthes adalah kunci utama dalam
determinasi jenis-jenis tumbuhan tersebut. Namun untuk beberapa jenis,
karakteristik-karakteristik akar dan daun juga sangat penting untuk diperhatikan dalam menentukan
jenis Nepenthes spp. (Lauffenburger & Arthur, 2000).
Kantong Nepenthes yang dindingnya penuh bercak merah kekuningan
menarik perhatian serangga untuk mendekat. Semut atau lalat yang mendekat akan
tertarik pada aroma manis yang menyengat. Aroma itu berasal dari deretan kelenjar
pada bibir lubang kantong, karena bibir lubang kantong licin serangga pun terpeleset
jatuh ke dasar kantong. Di dalam kantong terdapat cairan asam (pH<4), sehingga
dapat membunuh serangga. Selanjutnya deretan kelenjar di dinding kantong
mengeluarkan enzim protease yang disebut juga dengan nepenthesin. Dengan bantuan
enzim pemecah protein itu, protein dari bangkai serangga atau hewan lain yang
terjebak dalam cairan kantong tersebut diuraikan menjadi nitrogen, fosfor, kalium, dan
garam mineral. Setelah serangga ini lisis maka zat sederhana kemudian diserap oleh
tanaman ini. Kantong Nepenthes bukan bunga, melainkan daun yang berubah fungsi
yang mirip daun sebenarnya adalah tangkai daun yang melebar, dan tetap berfungsi
sebagai dapur untuk fotosintesis (Mansur, 2006).
Menurut Jones & Luchsinger (1998), klasifikasi lengkap Nepenthes spp.
berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan berbunga adalah sebagai berikut:
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subclass : Dilleniidae
Ordo : Nepenthales
Family : Nepenthaceae
Genus : Nepenthes
Jenis : Nepenthes spp.
2.2 Habitat Nepenthes spp.
Nepenthes spp. hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat yang
miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Nepenthes bisa
hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan
kerangas, gunung kapur, dan padang savana. Jenis Nepenthes dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu Nepenthes dataran rendah, Nepenthes dataran menengah (dengan
ketinggian 500-1000 m diatas permukaan laut) dan Nepenthes dataran tinggi. Karakter
dan sifat Nepenthes spp. berbeda pada tiap jenisnya (Azwar, 2006). Contoh Nepenthes
dataran tinggi diantaranya yaitu N. burbidgeae, N. lowii, N. rajah, N. villosa, N.fusca,
N. sanguinea, N. diatas, N. densiflora, N. dubia, N. ephippiata. Jenis-jenis tersebut
adalah penghuni daerah pegunungan berketinggian lebih dari 1000 m di atas
permukan air laut. Kisaran suhu malam hari yang dibutuhkan yaitu 20–12ºC.
Sedangkan kisaran suhu siang hari antara 25–30ºC. Contoh Nepenthes dataran rendah
diantaranya yaitu N. alata, N. eymae, N. khasiana, N. mirabilis, N. ventricosa, N.
ampullaria, N. bicalcarata, N. gracilis, N. maxima, N. reinwardtiana dan N. tobaica.
Jenis-jenis ini tumbuh subur di dataran berketinggian 0–500 m di atas permukaan air
pepohonan. Namun ada juga yang hidup secara terestrial di atas tanah bercampur
serasah dedaunan. Suhu harian yang dibutuhkan berkisar antara 22–34º C dan
kelembaban udara yang diinginkan yaitu 70–95%. Sedangkan contoh Nepenthes
dataran menengah yaitu N. raflesiana, N. adnata, N. clipeata, dan N. mapuluensis
(Sutoyo, 2007).
Selain berfungsi sebagai tanaman hias kantong semar juga dapat digunakan
sebagai obat tradisional. Cairan dalam kantong muda yang masih menutup dapat
digunakan sebagai obat mata, batuk dan mengobati kulit yang terbakar. Selain itu,
perasan daun atau akarnya dapat digunakan sebagai astringen (larutan penyegar) serta
rebusan akarnya sebagai obat sakit perut atau disentri, obat batuk dan demam.
Beberapa jenis kantong semar memiliki batang yang cukup liat sehingga tidak jarang
penduduk lokal pun menggunakannya sebagai tali pengikat, sangkar burung dan pagar
seperti halnya rotan dan bambu. Selain itu kantongnya digunakan juga untuk
membungkus ketupat (Mansur, 2006).
Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser. termasuk
jenis Nepenthes dataran rendah. Perbedaan di antara keduanya terlihat pada Gambar 1
dan Gambar 2 di bawah ini:
Nepenthes reinwardtiana Miq. (Gambar 1) pada bagian kantong bawah membulat.
Memiliki dua spot mata di dalam dinding bagian belakang, penutup kantong bagian
bawah bundar hingga elips. Ukuran kantongnya berkisar antara 15-20 cm. Habitatnya
hutan rawa gambut dan hutan kerangas. Sedangkan kantongnya berwarna hijau atau
merah maron (merah bata) (Mansur, 2006).
Gambar 2. Morfologi Kantong Nepenthes tobaica Danser. (Julianti, 2008).
Nepenthes tobaica Danser. (Gambar 2) pada bagian kantong bawah berbentuk oval,
memiliki dua spot mata pada dinding bagian atas, mulut kantongnya berbentuk oval,
penutup kantong bagian bawah agak bundar. Ukuran kantongnya berkisar antara
20-25 cm. Habitatnya hutan pegunungan. Sedangkan kantongnya berwarna kuning
kehijau-hijauan (Mansur, 2006).
Tumbuhan Nepenthes spp. merupakan herba atau semak, epifit hingga liana
tahunan. Perawakan anakan roset, sedangkan dewasa selalu memanjat dan jarang
tegak. Akar tunjang kadang berimpang dan sering tidak berimpang. Batang umumnya
panjang memanjat mencapai 20 m dan kadang berdiri tegak, bulat, bersegi atau
bersayap. Daun umumnya lanset dengan modifikasi ujung daun berupa tendril dan
pertulangan umumnya sejajar dan melengkung atau kadang menyirip, duduk tersebar,
berseling dan melekat setengah memeluk batang. Kantong bernektar, pada roset
(lower pitcher) memiliki sayap yang berambut, tetapi tidak pada kantong atas (upper
pitcher), bentuk dan komposisi warna antara kedua jenis kantong jauh berbeda. Bunga
jantan dan betina terpisah, masing-masing pada tumbuhan yang berbeda (dioecious),
keduanya majemuk, regularis, tandan ataupun malai, terminal ataupun aksilar. Buah
kapsul (fusiform), berlokus, memiliki banyak biji (Lauffenburger & Arthur, 2000).
Tumbuhan dewasa Nepenthes spp. tumbuh memanjat pada tumbuhan lain.
Anakan dan tumbuhan yang belum dewasa daunnya tersusun dalam bentuk roset akar
yang dilengkapi dengan tendril pada setiap ujungnya. Sebagian besar daun dalam roset
membentuk kantong yang membulat dan lonjong dengan dua sayap yang terletak di
depan tabung. Setelah dua sampai tiga tahun pertumbuhannya relatif lambat,
tumbuhan mulai masuk pada tahap memanjat. Internodus batang memiliki jarak yang
lebih panjang dari pada internodus pada roset (Clarke, 2001).
Contoh dari jenis Nepenthes spp. yang liar maupun yang telah
dibudidayakan sebagai tanaman hias adalah sebagai berikut: Nepenthes mirabilis, N.
reinwardtiana, N. rafflesiana, N. xhookeriana, N. ampullaria, N. gracilis, N. truncata,
N. bellii, N. khasiana, N. ventricosa, N. ventrata, N. adrianii, N. veitchii dan N.
northiana (Julianti, 2008).
2.3Faktor Fisik Lingkungan
Menurut Mansur (2006) menyatakan bahwa adapun faktor-faktor fisik lingkungan
yang diperlukan agar tanaman Nepenthes spp. tumbuh dengan baik adalah sebagai
berikut:
1. Suhu
Nepenthes dataran rendah umumnya hidup pada kisaran suhu 20-35oC,
sedangkan jenis dataran tinggi pada suhu 10-30oC. Ada beberapa jenis
Nepenthes dataran tinggi yang menghendaki suhu rendah hingga 4oC, untuk
2. Kelembaban
Kelembaban udara yang tinggi (di atas 70%) merupakan syarat penting bagi
Nepenthes untuk tumbuh baik dan membentuk kantong. Jika kelembaban
terlalu rendah, dipastikan Nepenthes tidak akan membentuk kantong dan
tumbuhan ini tidak akan tumbuh dengan baik. Kelembaban tinggi bisa
dihasilkan dengan cara menyiram tanaman setiap hari, media tanam dapat
menyimpan banyak air, namun tidak perlu terlalu banyak air. Di samping itu,
memelihara tanaman dekat dengan sumber atau genangan air dapat membantu
agar kelembaban udara tetap tinggi. Intensitas penyiraman tergantung dari
keadaan cuaca harian dan posisi tanaman Nepenthes ditempatkan. Penyiraman
dapat dilakukan 2-3 hari sekali pada tanaman yang ditempatkan di dalam
ruangan (indoor). Untuk tanaman yang ditempatkan di luar ruangan (outdoor)
yang tidak beratap, sebaiknya disiram sehari sekali pada pagi atau sore hari
jika tidak ada hujan. Meskipun Nepenthes toleran terhadap air yang
mengandung larutan garam-garam mineral (seperti air leding, air sungai dan
air sumur), air hujan akan sangat ideal untuk menyiram Nepenthes. Selain
tidak mengandung larutan garam mineral, umumnya air hujan bersifat asam.
Air yang mengandung garam mineral diketahui dapat menurunkan kualitas
media tanam sehingga berpengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan
kantong semar.
3. Sinar Matahari
Tingkat kebutuhan Nepenthes akan intensitas cahaya tergantung dari
masing-masing jenisnya. Ada jenis-jenis yang menghendaki sinar matahari secara
langsung dan ada juga yang butuh sinar matahari secara tidak langsung.
Meskipun intensitas cahaya yang dibutuhkan berbeda untuk setiap jenisnya,
tetapi penggunaan paranet dengan intensitas cahaya 50% yang diterima
tanaman, umumnya sangat baik untuk semua jenis Nepenthes dataran rendah
2.4Kromosom dan Karyotipe
Bagian terkecil dari tubuh makhluk hidup dinamakan sel. Di dalam inti sel dari
kebanyakan mahkluk terdapat kromosom, yaitu benda-benda halus berbentuk batang
panjang atau pendek yang lurus atau bengkok. Kromosom adalah pembawa bahan
keturunan yang mudah menyerap zat warna. Salah satu bagian kromosom dinamakan
sentromer, yaitu bagian yang membagi kromosom menjadi dua lengan. Satu set
kromosom haploid dari suatu spesies dinamakan genom. Jumlah kromosom yang
dimiliki berbagai macam mahkluk hidup tidak sama dan pada umumnya tidak berubah
selama hidupnya (Suryo, 1991).
Menurut Prassad (1998), menyatakan ada dua gambaran kromosom set dari
suatu spesies yaitu karyogram merupakan fotomikrograf kromosom dari gambaran
tunggal sel somatis metafase yang dipotong dan disusun pada bagian homolog
berdasarkan ukurannya. Idiogram merupakan grafik gambaran dari karyotipe. Secara
umum, idiogram merupakan sediaan yang memperlihatkan komplemen kromosom
haploid dari suatu spesies, idiogram ini adalah ukuran dari kromosom somatis
metafase. Kromosom digambarkan seperti sosis dengan garis yang mengitari tepinya,
meskipun mirip sosis namun mempunyai membran yang menutupinya. Kromosom
memiliki area yang luas yang tersusun dari serat-serat yang menggulung yang terlihat
seperti jari-jari lingkaran, yang dapat dideteksi saat kromosom dalam keadaan padat
ketika pembelahan mitosis dan meiosis (Lloyd, 1992).
Menurut Suryo (1995), kromosom dapat dibedakan berdasarkan letak
sentromernya, yaitu:
1. Kromosom metasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di tengah,
sehingga kromosom dibagi atas dua lengan sama panjang. Biasanya kromosom
membengkok di tempat sentromer sehingga kromosom berbentuk huruf V.
2. Kromosom submetasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer tidak di
tengah, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang. Bila kromosom ini
membengkok di tempat sentromer, maka kromosom berbentuk huruf J. Lengan
3. Kromosom akrosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di salah satu
ujungnya, sehingga kedua lengan tidak sama panjang. Biasanya kromosom ini
lurus, tidak membengkok.
4. Kromosom telosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di salah satu
ujungnya, sehingga kromosom tetap lurus dan tidak terbagi atas dua lengan.
Kromosom ini tidak dijumpai pada manusia, dan sangat langka pada
tumbuh-tumbuhan. Pada hewan ada kalanya dapat ditemukan kromosom telosentris ini.
Pada umumnya jumlah kromosom berkisar antara 12 sampai 50 buah atau 6
sampai 25 pasang kromosom homolog dalam keadaan diploid. Keadaan ekstrim
dijumpai pada cacing kuda (Ascaris megalocephala) yang hanya mempunyai sepasang
kromosom saja, sedangkan pada paku (Ophioglossum petiolatum) terdapat 510 pasang
kromosom homolog (Suryo, 1995).
Pada tingkat metafase dalam proses pembelahan sel dapat difoto kromosom
suatu organisme. Pada fase ini kromosom berada pada bidang ekuator, dan jika
sayatan tepat melewati bidang ekuator, maka dapat dibuat sediaan yang mengandung
kromosom yang terdapat dalam sel. Kromosom disusun dan dikelompokkan
berdasarkan panjang dan bentuknya. Pada saat metafase kromosom berada dalam
pemadatan maksimum dan paling mudah diwarnai. Saat itu pula kromosom dalam
keadaan ganda, masing-masing terdiri dari 2 kromatid yang sentromernya masih satu.
Karena itu dalam gambar-gambar kromosom, biasanya diperlihatkan setiap kromosom
itu memiliki lengan yang selalu ganda (Yatim, 1983).
Jumlah kromosom dalam sel sudah tertentu, di dalam sel dari jenis
organisme yang sama jumlah kromosom pada umumnya konstan, tetapi antarjenis
jumlah kromosom sangat bervariasi. Ada organisme yang hanya memiliki satu pasang
atau dua kromosom, ada pula yang memiliki ratusan kromosom. Kromosom yang
berpasangan akan memiliki pola garis yang sama, tetapi tidak jarang ditemukan pada
2.5Metode Pencet (Squash) dan Pewarnaan
Metode pencet merupakan salah satu metode untuk mendapatkan sediaan dengan cara
memencet suatu potongan jaringan atau suatu organisme secara keseluruhan, sehingga
didapat suatu sediaan yang tipis yang dapat diamati di bawah mikroskop. Dalam
pembuatan sediaan diusahakan agar supaya sel terpisah satu sama lain, tetapi tidak
kehilangan bentuk aslinya dan tersebar dalam suatu lapisan di atas suatu gelas benda
(Suntoro, 1983).
Menurut Moro et al., (2000), untuk mendapatkan preparat kromosom yang
baik, perlu diperhatikan proses pemotongan akar, penghambatan mitosis, waktu
pengambilan akar dan analisa pewarnaan. Waktu yang baik untuk memotong akar
adalah antara jam 11-12 siang ketika sel-sel tersebut pada tahap metafase.
Penghambatan mitosis saat metafase mungkin sangat efektif dilakukan dengan
menggunakan 8-hydroxiquinole (0,03% selama 5 jam) atau dengan air dingin (0o C
selama 18-20 jam).
Metode pencet biasanya menggunakan larutan fiksatif asam asetat 45%.
Menurut Subowo (1995), dengan perlakuan fiksasi membuat sel dapat lebih ditembus
oleh zat warna dan dapat menstabilkan kedudukan molekul-molekul yang membentuk
struktur sel. Menurut Suntoro (1983), menyatakan fiksatif umumnya mempunyai
kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian
dalam sel tersebut mudah terlihat di bawah mikroskop dan memiliki kemampuan
membuat jaringan mudah menyerap zat warna.
Kromosom akan lebih mudah dilihat apabila digunakan teknik pewarnaan
khusus selama nukleus membelah. Ini disebabkan karena pada saat itu kromosom
mengadakan kontraksi sehingga menjadi lebih tebal, lagi pula dapat menghisap zat
warna lebih baik daripada kromosom yang terdapat di dalam suatu inti yang sedang
istirahat (Suryo, 2003). Pewarnaan yang digunakan berupa acetocarmin (yang
merupakan campuran dari carmin dan asam asetat). Carmin merupakan zat warna
alam, zat warna ini diperoleh dari jenis insekta golongan Hemiptera yang disebut
Sedangkan asam asetat merupakan cairan yang tidak berwarna dengan bau yang
tajam. Asam asetat ini memiliki fungsi untuk mencegah pengerasan dan mengeraskan
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2009 sampai oktober 2009 di Laboratorium
Genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan sebagai percobaan adalah akar kantong semar yang
telah dewasa (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) yang di
ambil dari Taman Wisata Alam Sicikeh-cikeh terdapat di Dusun Pancur Nauli, Desa
Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatra Utara.
Sedangkan media tanaman yang digunakan adalah sekam bakar dan kompos dengan
perbandingan 1:1.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis secara deskriptif.
3.4 Pengambilan Sampel
Sampel yang digunakan adalah akar Nepenthes tobaica Danser. dan akar Nepenthes
Dusun Pancur Nauli, Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi,
Provinsi Sumatra Utara. Kemudian dibawa ke Laboratorium Genetika, Departemen
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara. Di laboratorium sampel ditumbuhkan pada media sekam bakar dan kompos,
disiram setiap dua kali sehari.
3.5 Pembuatan Preparat Dengan Metode Pencet (Squash)
Ujung akar kantong semar dipotong sepanjang ± 0,5 cm, kemudian dimasukkan dalam
larutan asam asetat 45% dengan komposisi seperti pada lampiran 1 halaman 45, yang
berfungsi sebagai fiksatif dan disimpan dalam lemari pendingin selama 30 menit.
Bahan akar dicuci dengan aquadest sebanyak 3 kali, dihidrolisis dengan menggunakan
HCl 1N yang terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 50o C selama 1 menit, lalu dicuci
dengan aquadest sebanyak 3 kali. Ujung akar tersebut direndam dalam pewarna
acetocarmin dengan komposisi seperti pada lampiran 1 halaman 45, selama 1 jam.
Bahan diletakkan pada gelas objek dan diberi gliserin 1 tetes, lalu ditutup dengan
gelas penutup dan dipencet sampai akar hancur (Merten & Hammersmith, 1995).
3.6 Proses Pemotretan Kromosom
Preparat dilihat di bawah mikroskop cahaya, dari mulai perbesaran yang kecil sampai
yang besar untuk melihat sel yang mempunyai kromosom yang jelas. Setelah
didapatkan sel yang mempunyai kromosom yang jelas difoto dengan perbesaran
1000X menggunakan kamera digital.
3.7Penghitungan Jumlah Kromosom
Foto perbesaran 1000X ditransfer ke program Photoshop CS 2, dipilih satu sel yang
mempunyai kromosom yang jelas dan di crop. Sel yang telah di crop diperbesar 50%
memperjelas kromosom. Rentangan kromosom metafase diberi warna ungu dengan
latar warna hitam. Kemudian dihitung jumlah kromosomnya (Zhu et al., 1996).
3.8Pengukuran, Penghitungan dan Penyusunan Kromosom
Dari masing-masing kromosom diukur panjang keseluruhan kromosomnya, lengan
panjang dan lengan pendek. Berdasarkan panjang kromosom tersebut, selanjutnya
dihitung persentase panjang relatif (%PR) dan persentase indeks sentromer (%IS)
dengan menggunakan rumus Zhang (1996), yaitu:
Keterangan: P = kromosom lengan pendek
Q = kromosom lengan panjang
Kemudian kromosom disusun berdasarkan panjang dan posisi sentromer,
sehingga diperoleh karyotipe.
3.9 Analisis Data
Karyotipe dari kantong semar (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Foto Preparat Kantong Semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.) dengan
Menggunakan Metode Pencet (Squash)
Hasil pengamatan radiks kantong semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.) dengan
menggunakan metode pencet (squash) dan pewarnaan acetocarmin, dengan perbesaran
1000x, diperoleh hasil seperti pada Gambar 4.1 berikut ini:
Gambar 4.1 Sel Radiks Nepenthes reinwardtiana Miq. dengan perbesaran 1000x; a.Dinding Sel, b. Kromosom, c. Nukleus, = 13 µm.
Dari Gambar 4.1 di atas terlihat kromosom berukuran sangat kecil seperti
bintik-bintik berwarna gelap. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Stansfield
(1991), yang menyatakan bahwa bila dilakukan pengamatan di bawah mikroskop
cahaya, maka kromosom-kromosom tampak hanya sebagai butiran-butiran kromosom
yang halus. Kromosom menjadi terlihat terangkai karena menggulung, memendek dan
menebal karena adanya penambahan matriks-matriks protein pada proses metafase
berlangsung kromosom kelihatan seperti badan gelap dalam sel.
a
b
Pada tahap metafase kromosom-kromosom lebih berkondensasi, lebih tebal
dan lebih pendek dibandingkan dengan keadaan pada tahapan-tahapan lainnya
(Sutrian, 1991). Pada fase inilah paling mudah untuk menghitung banyaknya
kromosom atau mempelajari morfologinya, karena kromosom-kromosom tersebar di
bidang tengah dari sel (Suryo, 1995).
4.2Penghitungan Jumlah Kromosom Kantong Semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.)
Hasil foto sel dari Gambar 4.2.1a dilakukan pengkropan dari satu sel dan diperbesar
sebanyak 50% seperti tampak pada Gambar 4.2.1b. Selanjutnya diperjelas dengan
teknik program Photoshop CS 2, dengan prosedur-prosedur yang telah disebutkan
pada metode penelitian. Hasil teknik program Photoshop CS 2 diperoleh rentangan
kromosom yang lebih jelas, yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.1b berikut:
a b
Gambar 4.2.1 Gambar sel akar Nepenthes reinwardtiana Miq. dengan teknik kroping Photoshop CS 2; a. Foto nukleus perbesaran 1000x nukleus, = 13 µm), b. Foto nukleus dengan teknik kroping Photoshop CS 2 dan dengan perbesaran 1500x
Hasil pengkropan satu nukleus diperjelas dengan menggunakan program
Photoshop CS 2 dan dilakukan penghitungan jumlah kromosom, maka didapat jumlah
kromosom kantong semar (Nepenthes reinwardtiana Miq.) adalah sebanyak 78 (2n)
Gambar 4.2.2 Rentangan kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. dengan perbesaran 1500x
Berdasarkan Gambar 4.2.2 di atas, dapat dilihat bahwa sentromer berwarna
lebih cerah dibandingkan dengan warna lengan kromosom dan ditandai dengan
lekukan ke arah dalam. Hal ini sesuai dengan Suryo (1995), dalam preparat
mikroskopis, sentromer biasanya tampak sebagai lekukan ke arah dalam dan
warnanya lebih terang dibandingkan dengan warna lengan kromosom. Menurut
Crowder (1990) menyatakan bahwa sentromer disebut kinetokhore atau tempat
melekatnya benang-benang gelendong atau spindel (spindle fiber), yang berfungsi
untuk menggerakkan kromosom selama mitosis.
Menurut Kondo (2002), jumlah kromosom dari dua jenis tanaman kantong
semar atau sering disebut dengan tanaman karnivora yaitu Nepenthes rafflesiana dan
Nepenthes thorelii adalah 78 kromosom pada sel somatik. Menurut Sutrian (1992),
menyatakan bahwa jumlah kromosom pada tumbuhan umumnya kurang dari 100,
yang paling sedikit ditemukan pada Crepis yaitu 6 kromosom. Namun pada beberapa
jenis tumbuh-tumbuhan tertentu, misalnya pada tumbuhan Kalanchoe dan Bryophllum
4.3Hasil Pengukuran Kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq.
Masing-masing kromosom yang tampak diukur panjang lengan dan sentromernya lalu
ditentukan tipe kromosomnya, yang ditunjukkan pada Tabel 4.3 di bawah ini:
Tabel 4.3 Tipe dan Panjang Lengan Kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq.
Kromosom
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa Nepenthes reinwardtiana Miq. memiliki 3
6, 11, 12, 13, 15, 16, 21 dan 23 merupakan kromosom submetasentris. Kromosom 2,
4, 5, 7, 8, 9, 10, 14, 17, 18, 19, 20, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35,
36, 37, 38 dan 39 merupakan kromosom metasentris. Sementara kromosom 3
merupakan kromosom akrosentris. Menurut Lewis (2003), kromosom dibagi menjadi
4 jenis yaitu kromosom metasentris, jika sentromer membagi dua lengan yang sama
panjang. Kromosom submetasentris, jika sentromer membagi dua lengan yang tidak
sama panjang. Kromosom akrosentris ialah kromosom yang terbagi menjadi dua
lengan, yang satu panjang dan lengan yang lain sangat pendek. Sedangkan kromosom
telosentris ialah kromosom yang hanya terdiri atas satu lengan, memiliki sentromer di
salah satu ujungnya, sehingga kromosom tetap lurus.
Menurut Suryo (1995), tidak semua tipe kromosom dimiliki oleh suatu
spesies. Contohnya tanaman Callisia fragrans (2n=12) memiliki 6 kromosom
metasentris dan 6 kromosom akrosentris. Tanaman Oxalis dispar (2n=12) memiliki 2
kromosom metasentris, 2 kromosom akrosentris dan 8 kromosom telosentris.
Tanaman bawang merah diploid 2n=16, dikelompokkan menjadi 3 macam kromosom
yaitu 4 pasang kromosom metasentris, 3 pasang kromosom submetasentris dan 1
pasang kromosom telosentris (Sulistyaningsih, 2004). Menurut Siregar (2005), bahwa
Salak sidempuan memiliki 14 pasang kromosom yaitu: 3 kromosom metasentris, 4
submetasentris, 3 akrosentris, dan 4 telosentris. Sedangkan Terong belanda memiliki
12 pasang kromosom yaitu: 3 kromosom submetasentris dan 9 kromosom metasentris.
Dari Tabel 4.3 dapat dilihat kromosom yang terpanjang adalah kromosom 1
dengan ukuran 1,34 µm, dan yang terpendek adalah kromosom 39 dengan ukuran
panjang 0,40 µm. Menurut Sutrian (1992), ukuran dan besar kromosom ternyata
sangat bervariasi yaitu antara 0,1 µm sampai 30 µm. Tanaman Spirodela memiliki
ukuran panjang kromosom sekitar 0,2 µm, Aloe memiliki ukuran panjang kromosom
sekitar 17 µm, sementara Drosophyllum memiliki ukuran panjang kromosom sekitar
4.4 Hasil Penghitungan Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS) Nepenthes reinwardtiana Miq.
Setelah diukur panjang masing-masing lengan kromosom dan sentromer, selanjutnya
dari setiap kromosom dihitung panjang relatif (%PR) dan persentase indeks sentromer
(%IS). Pengukuran panjang masing-masing lengan dan panjang sentromer adalah
untuk memperoleh data karyotipe yang lebih akurat, dan dapat ditampilkan dalam
bentuk idiogram. Hasil perhitungan persentase panjang relatif (%PR) dan persentase
indeks sentromer (%IS) dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4 Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS) Kromosom
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa persentase panjang relatif (%PR)
yang terbesar adalah pada kromosom 1 sebesar 3,97 %, dan persentase panjang relatif
yang terkecil adalah pada kromosom 39 dengan nilai 1,01 %, sedangkan untuk nilai
indeks sentomer (%IS) yang terbesar adalah pada kromosom 27 sebesar 50 % dan
nilai indeks sentromer terkecil terdapat pada kromosom 3 dengan nilai 24,3 %.
Menurut Zhang (1996), bahwa karyotipe didasarkan atas perhitungan persentase
panjang relatif (%PR) dan persentase indeks sentromer (%IS).
Menurut Pai (1987) menyatakan bahwa berbagai kromosom mempunyai
sentromer pada lokasi-lokasi yang berbeda di sepanjang kromosom, dan dengan
mengenali karakteristik ini serta perbedaan panjangnya, maka kita bisa membedakan
satu kromosom dengan kromosom yang lainnya.
4.5 Karyotipe Kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq.
Dengan diperolehnya jumlah dan ukuran tiap-tiap kromosom dari Nepenthes
reinwardtiana Miq. maka dapat dibuat susunan karyotipenya. Menurut Boschman et
al. (1992) dalam Vrana et al. (2002), karyotipe telah terbukti sebagai suatu pendeteksi
adanya kesalahan kromosom dari segi jumlah maupun strukturnya. Ketika membuat
pemetaan kromosom atau karyotipe maka kromosom dicocokkan dalam pasangan
yang homolog, selalu dari ukuran yang terbesar sampai ukuran yang terkecil
berdasarkan posisi sentromer. Berdasarkan susunan inilah dapat ditentukan perubahan
Gambar 4.5 Karyotipe kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. diurutkan berdasarkan panjang kromosom
4.6 Foto Preparat Nepenthes tobaica Danser. dengan Menggunakan Metode
Pencet (Squash).
Hasil pengamatan radiks kantong semar (Nepenthes tobaica Danser.) dengan
menggunakan metode pencet (squash) dan pewarnaan acetocarmin, dengan perbesaran
Gambar 4.6 Sel Radiks Nepenthes tobaica Danser. dengan
Perbesaran 1000x; a. Dinding Sel, b. Kromosom, c. Nukleus, =17 µm
4.7 Penghitungan Jumlah Kromosom Nepenthes tobaica Danser.
Hasil foto dari Gambar 4.7.1a dilakukan pengkropan dari satu sel dan diperbesar
sebanyak 50% seperti tampak pada Gambar 4.7.1b Kemudian dengan teknik
Photoshop CS 2 diperoleh rentangan kromosom yang lebih jelas, yang ditunjukkan
pada Gambar 4.7.1b berikut:
a b
Gambar 4.7.1 Gambar sel akar Nepenthes tobaica Danser. dengan teknik kroping Photoshop CS 2; a. Foto nukleus perbesaran 1000x µm; nukleus,
= 17 µm; b. Foto nukleus dengan teknik kroping Photoshop CS 2 dan dengan perbesaran 1500x
a b
Hasil pengkropan satu nukleus diperjelas dengan menggunakan Photoshop
CS 2 dan dilakukan penghitungan jumlah kromosom. Dari rentangan kromosom pada
Gambar 4.7.2 maka dapat dihitung jumlah kromosom pada Nepenthes tobaica Danser.
yaitu 78 (2n), hal ini sesuai dengan pernyataan Kondo (2002) yang menyatakan bahwa
jumlah kromosom dari kantong semar adalah 2n=48.
Gambar 4.7.2 Rentangan kromosom Nepenthes tobaica Danser. dengan perbesaran 1500x
Menurut Yatim (1983), pada suatu spesies banyak kromosom itu tertentu,
ada spesies yang memiliki kromosom banyak sekali, ada yang sedikit sekali.
Sedangkan menurut Solomon et al. (1996), sebagian besar tumbuhan dan hewan
4.8Hasil Pengukuran Kromosom Nepenthes tobaica Danser.
Masing-masing kromosom yang tampak diukur panjang lengan dan sentromernya lalu
ditentukan tipe kromosomnya, yang ditunjukkan pada Tabel 4.8 di bawah ini:
Tabel 4.8 Tipe dan Panjang Lengan Kromosom Nepenthes tobaica Danser.
Kromosom
Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa Nepenthes tobaica Danser. memiliki 3 tipe
kromosom yaitu 27 metasentris, 10 submetasentris dan 2 telosentris. Kromosom 4, 5,
dan 38 merupakan kromosom telosentris. Sementara kromosom 1, 2, 3, 6, 7, 12, 14,
15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 35, 36 dan 39
merupakan kromosom metasentris. Kromosom yang terpanjang adalah kromosom 1
dengan ukuran panjang 1,27 µm, dan yang terpendek adalah kromosom 39 dengan
ukuran panjang 0,30 µm.
Menurut Nath (1997), batasan panjang kromosom metafase pada
pembelahan mitosis pada hewan dan tumbuhan secara umum antara 0,5 µm dan 32
µm dan diameter 0,2 µm dan 3,0 µm. Sedangkan kromosom raksasa ditemukan pada
Diptera, dengan panjang kromosom 300 µm dengan diameter 10 µm.
4.9Hasil Penghitungan Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS) Kromosom Nepenthes tobaica Danser.
Setelah diukur panjang masing-masing lengan kromosom dan sentromer, selanjutnya
dari setiap kromosom dihitung panjang relatif (%PR) dan persentase indeks sentromer
(%IS). Pengukuran panjang masing-masing lengan dan panjang sentromer adalah
untuk memperoleh data karyotipe yang lebih akurat, dan dapat ditampilkan dalam
bentuk idiogram. Idiogram merupakan grafik gambaran dari karyotipe. Secara umum,
idiogram merupakan sediaan yang memperlihatkan komplemen kromosom haploid
dari satu spesies, yang mana idiogram merupakan ukuran dari kromosom somatis
metafase (Prasad, 1998). Hasil perhitungan persentase panjang relatif (%PR) dan
Tabel 4.9 Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Indeks Sentromer (%IS) Kromosom
Nepenthes tobaica Danser.
Kromosom haploid (n) %PR %IS
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa persentase panjang relatif (%PR)
yang terbesar adalah pada kromosom 1 sebesar 4,33 %, dan persentase panjang relatif
yang terkecil adalah pada kromosom 39 dengan nilai 0,91 %, sedangkan untuk nilai
indeks sentomer (%IS) yang terbesar adalah pada kromosom 1 sebesar 49,1 % dan
4.10 Karyotipe Kromosom Nepenthes tobaica Danser.
Setelah didapat jumlah kromosom, tipe, dan panjang lengan, maka dapat diurutkan
kromosom berdasarkan panjangnya, mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil.
Menurut Rusell (1992), karyotipe adalah satu set lengkap kromosom sel yang berada
pada tahap metafase. Ada dua gambaran kromosom set dari suatu spesies yaitu
karyogram merupakan fotomikrograf kromosom dari gambaran tunggal sel somatis
metafase yang dipotong dan disusun pada bagian homolog berdasarkan ukurannya.
Idiogram merupakan grafik gambaran dari karyotipe. Secara umum, idiogram
merupakan sediaan yang memperlihatkan komplemen kromosom haploid dari suatu
spesies, yang mana idiogram merupakan ukuran dari kromosom somatis metafase
(Prasad, 1998). Urutan kromosom dapat dilihat pada Gambar 4.10 berikut:
4.11 Perbandingan Karyotipe Kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. dengan Nepenthes tobaica Danser.
No Perbedaan Nepenthes reinwardtiana Nepenthes tobaica
1 Jumlah kromosom 39 pasang 39 pasang
2 Tipe kromosom 3 tipe 3 tipe
3 Kromosom terpanjang 1,34µm 1,27µm
4
Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser. memiliki jumlah
kromosom 78 (2n). Kedua tanaman ini termasuk ke dalam satu genus yaitu Nepenthes.
Menurut Prasad (1998), bahwa pada tanaman umumnya terdapat variasi ukuran
kromosom yang berbeda pada genus dari famili yang sama. Makin dekat hubungan
kekerabatan (kedudukan sistematik) makhluk hidup, makin mendekati jumlah
kromosomnya. Menurut Sarma & Tanden (1994) menyatakan bahwa pada suatu
spesies banyak kromosom tertentu, ada spesies yang memiliki kromosom banyak
sekali, ada yang sedikit sekali. Pada umumnya jumlah kromosom suatu organisme
yang terbesar adalah 12 sampai 50 atau 6 sampai 25 pasang kromosom homolog pada
keadaan haploid.
Namun karyotipe kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes
tobaica Danser. juga memiliki perbedaan dari segi ukuran dan tipe kromosom yang
dimiliki. Nepenthes reinwardtiana Miq. memiliki 3 tipe kromosom, yaitu metasentris,
submetasentris dan akrosentris sedangkan Nepenthes tobaica Danser. memiliki 3 tipe
kromosom, yaitu metasentris, submetasentris dan telosentris. Menurut Supriharti et al.,
(2007), mengemukakan bahwa terong belanda (Solanum tuberosum Cav.) memiliki
kromosom 12 pasang yang hanya mempunyai dua tipe kromosom yaitu
submetasentris dan metasentris. Hal ini sesuai dengan pernyataan Russell (1992),
walaupun hubungan kekerabatan suatu organisme sangat dekat, namun terdapat
Menurut Yatim (1983), karyotipe memiliki peranan penting dalam
pengamatan sifat keturunan, dengan melihat karyotipe dapat dicari hubungannya
dengan anatomi, morfologi atau fisiologi suatu individu. Pada sebuah karyotipe,
kromosom disusun dan dinomori dengan ukuran dari yang terbesar sampai terkecil.
Berdasarkan susunan inilah dapat ditentukan perubahan kromosom yang mungkin
terjadi akibat kesalahan genetis atau mutasi (Lewin, 1995).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.
yang dianalisis dengan menggunakan metode pencet (squash) berjumlah 78
(n) atau 39 (2n) dimana, kromosom Nepenthes reinwardtiana Miq. terdiri dari
3 tipe kromosom yaitu metasentris, submetasentris dan akrosentris sedangkan
kromosom Nepenthes tobaica Danser. terdiri dari 3 tipe kromosom yaitu
metasentris, submetasentris, dan telosentris.
2. Persentase panjang relatif (%PR) yang terbesar Nepenthes reinwardtiana
adalah pada kromosom 1 sebesar 3,97 %, dan persentase panjang relatif yang
terkecil adalah pada kromosom 39 dengan nilai 1,01 %, sedangkan untuk nilai
indeks sentomer (%IS) yang terbesar adalah pada kromosom 27 sebesar 50 %
dan nilai indeks sentromer terkecil terdapat pada kromosom 3 dengan nilai
24,3 %.
3. Persentase panjang relatif (%PR) yang terbesar Nepenthes tobaica adalah pada
kromosom 1 sebesar 4,33 %, dan persentase panjang relatif yang terkecil
adalah pada kromosom 39 dengan nilai 0,91 %, sedangkan untuk nilai indeks
sentomer (%IS) yang terbesar adalah pada kromosom 1 sebesar 49,1 % dan
nilai indeks sentromer (%IS) terkecil terdapat pada kromosom 19 dengan nilai
22,5 %.
4. Kromosom yang terpanjang pada Nepenthes reinwardtiana adalah kromosom
1 dengan ukuran 1,34 µm, dan yang terpendek adalah kromosom 39 dengan
Nepenthes tobaica adalah kromosom 1 dengan ukuran panjang 1,27 µm, dan
yang terpendek adalah kromosom 39 dengan ukuran panjang 0,30 µm.
5.2 Saran
Untuk melihat perbedaan lebih jelas tentang karyotipe Nepenthes reinwardtiana dan
Nepenthes tobaica perlu kiranya dilakukan analisis karyotipe lebih lanjut dengan
menggunakan metode ”banding” seperti metode banding C, N, O, G dan R.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, F. 2002. Kantung Semar (Nepenthes spp.) di Hutan Sumatra, Tanaman Unik
yang Semakin Langka. http: // www.LIPI.go.id
Clarke, C. 2001. Nepenthes of Sumatra and Peninnsular Malaysia. Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia: Natural Publication (Borneo). 11 (5): 2-6
Core, L., E. 1962. Plant Taxonomy. 3rd printing. USA: Prentice-Hall, Inc,. hal : 324-325.
Crowder, L. V. 1990. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal : 4
Supriharti, D., Elimasni & E, Sabri. 2007. Identifikasi Karyotipe Terung Belanda (Solanum tuberosum Cav.) Kultivar Berastagi Sumatera Utara. Sumatran
Journal of Biology. 2 (1): 7-11
Frazier, K. C. 2000. The Enduring Controversis Concerning the Process of Protein Digestion in Nepenthes (Nepenthaceae). International Carnivorous Plant
Society (ICPS) – Sciences Article. 29 (2): 56-61
Hernawati, 2001. A Preminilary Research to Conserve Nepenthes spp. In West Sumatra. Final Report Nepenthes Project 2001. Padang: Supported by BP
Conservation. Nepenthes Team. 8 (2): 152-156
Irawan, B. 2008. Genetika Molekuler. Cetakan I. Surabaya: Airlangga University Press. hal : 214
Jones, S., B. & A., E. Luchsinger. 1998. Plant systematics. 2rd Edition. New York: Mc Graw-Hill, Inc., hal : 477
Julianti, A. 2008. Sinar Ultraviolet Pada Tanaman http:// arxGorhRuCoJ/kompas-cetak/jateng/. htm sinar ultraviolet pada tanaman.id
Keng, H. 1969. Orders and Families of Malayan Seed Plants. Hongkong: University of Malaya Press. hal : 104-105
Kondo, K. 1969. Chromosome Numbers of Carnivorous Plants. Bulletin of the Torrey
Lauffenburger, A. & Arthur W. 2000. The Nepenthaceae of the Netherlands Indiens. http://www.omnistera. Com/botany/cp/ pictures/nepenthes/densering/dans 10.
Lewin, B. 1995. Karyotyping Activity. Egland: Oxford University Press. hal : 782
Lewis, R. 1995. Human Genetics Concepts and Application. 5th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal : 238
Lloyd, J. R. 2003. Giemsa and Chromosomes. London: Dimension of Science Mac Millan Education. Ltd. hal : 66
Mansur, M. 2006. Nepenthes, Kantung Semar yang Unik. Jakarta: Penerbit Swadaya. hal : 23-26
Merten, R. T & Hammersmith, R. L. 2001. Genetic Laboratory Investigation. Tenth Edition. New Jersey: Englewood Cliffs. hal : 102
Moro, M. R., A. S. Silva, J & J. S. Geraldo. 2000. International Symposium on Ornamental Palms & Other Monocots from the Tropics. ISHS Acta
Horticultura 486 (II). http:// www.acthort. Org/books/486/486-33.htm
Nath, R. 1997. Principles of Cytogenetic, Evolution Molecular Biology Plant
Breeding, Genetic Engineering Biotechnology & Biostatistic. India: Kalyani
Publishers. hal : 60
Pai, A. C. 1992. Dasar-dasar Genetika. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal : 277
Prassad, G. 1998. Introduction to Cytogenetics. Kududabhiram Das. hal : 95
Prihmantoro, 1997. Tanaman Hias Daun. Cetakan 1. Jakarta: Penebar Swadaya. hal : 31
Rischer, H. 2001. A Nepenthes Introductions. Dalam www. Schwaben. 31 (2). De/home/schmid/nepenthes /nepintro. Htm Nerz & Rischer
Russell, P.J. 1992. Genetics. Third Edition. New York: Harper Collins Publishers. hal : 7
Sarma, N. P & Tanden, S. L. 1994. Banding Techniques and Plant Chromosome.
Siregar, M. 2005. Karyotipe Kromosom Salak Sidempuan (Salacca sumatrana Reinw
var. Sidempuan) dari Desa Sibakua Tapanuli Selatan dengan Menggunakan Metode Pencet (Squash). Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
Solomon, E. P., Berg, L. R., Martin, D. W & Villee, C. 1996. Biology. Fourth Edition. America: Saunders Collage Publishing. Page : 220
Stansfield, W. D. 1991. Genetika. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal : 337-339
Subowo. 1995. Biologi Sel. Bandung: Angkasa. hal : 129
Sudarmono, A. S. 1997. Mengenal dan Merawat Tanaman Hias Ruangan. Cetakan 7. Yogyakarta: Kanisius. hal : 5, 16
Sulistyaningsih, E. 2004. Fertilitas Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L.) Double Haploid. Ilmu Pertanian. 11 (1): 4-9.
Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. hal : 14
Suryo, H. 1995. Sitogenetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal : 57
______2003. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal : 13
Sutoyo, E., 2007. Jenis Kantung Semar Liarhttp://www kebonkembang.com/panduan- dan-tip-rubrik- idPekanbaru, Riau, Indonesia.
Sutrian, Y. 1992. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan (Tentang Sel dan Jaringan). Edisi Revisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta. hal : 91
Vrana, J., Marie, K & Hana, S. 2000. Flow Sorting of Mitotic Chromosomes in Common Wheat (Triticum aestivum L.) Genetics. Vol 156: 2033-2041.
http://www.genetics.org/cgi/content/abstract/156.
Yatim, W. 1983. Genetika. Edisi Ketiga. Bandung: Tarsito. hal : 24
Zhang, Q. 1996. Cytogenetic and Molecular Analysis of Channel Fish Genom. Baton Rouge, Lousiana: Lousiana State University.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Bahan
Komposisi asam asetat 45%
Asam Asetat glasial 45 ml
Aquadest 55 ml
Komposisi pewarna acetocarmin
Carmin 1 g
Lampiran 2. Contoh perhitungan persentase panjang relatif lengan (%PR) dan persentase indeks sentromer (%IS).
%
Keterangan: P = kromosom lengan pendek
Q = kromosom lengan panjang
Untuk Kromosom 1 Pada Nepenthes reinwardtiana Miq