• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 830/ Pid. B/2010/ PN. Mdn. terhadap Perkara Kasus Pencurian dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 830/ Pid. B/2010/ PN. Mdn. terhadap Perkara Kasus Pencurian dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 830/ PID.B/ 2010/ PN. MDN. TERHADAP PERKARA KASUS PENCURIAN DENGAN

PEMBERATAN PASAL 363 KUHP SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh :

YOHANA 080200042

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 830/ PID.B/ 2010/ PN. MDN. TERHADAP PERKARA KASUS PENCURIAN DENGAN

PEMBERATAN PASAL 363 KUHP S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Yohana 080200042

Departemen Hukum Pidana Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(DR. M. Hamdan SH. M. H.) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(M. Nuh SH, M. Hum.) (DR. Marlina, SH, M. Hum.) NIP : 194808011980031003 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan berkat dan rahmat-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “ Analisis Putusan Pengadilan Negeri Nomor 830/ Pid. B/2010/ PN. Mdn. terhadap Perkara Kasus Pencurian dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP “. Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh staf-stafnya.

(4)

3. Bapak M. Nuh SH. M. Hum selaku Pembimbing ke I, yang telah menyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu DR. Marlina SH. M. Hum selaku Pembimbing ke II, yang telah meyediakan dan meluangkan waktunya untuk memberikan segala bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Syaiful Azam SH. M. Hum. selaku Dosen Wali penulis, terima kasih atas saran dan petunjuknya kepada penulis selama penulis selama penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.

7. Kepada Bapak Subiharta SH. MH. selaku Hakim Ketua Majelis Pengadilan Negeri Medan pada putusan yang di analisis Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas waktu yang telah diberikan kepada Penulis sehingga dapat melakukan wawancara terkait dengan penulisan skripsi ini. 8. Kepada Bang Wahyu Probo SH. MH. terimakasih yang sebesar-besarnya

karena telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(5)

sehingga penulis dapat tumbuh sampai saat ini dan menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada adikku tersayang Agus Dermawan, semoga sukses dalam pekerjaan, cita, dan cintanya.

11. Kepada keluarga d’ Paket, Cindy, dan Ko Ahok, terima kasih yang sebesar-besarnya karena kalian sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup penulis. 12. Kepada keluarga besar ku, Alm. dan Almh. Atuk,Andung, dan Ama, serta

uwak, om, tante, serta sepupu ku, terima kasih atas semangat yang telah kalian berikan kepada penulis.

13. Kepada guru-guruku baik TK, SD, SMP, SMA, bahkan Guru Ngaji penulis, terima kasih yang sebesar-besarnya karena dari kalian lah penulis mendapatkan ilmu dasar sebelum masuk ke Perguruan Tinggi Negeri Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Kepada d’paket yang terdiri dari Sari, Memey, Lia, Bibah, juga Panca dan Kak Yuna, terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan atas masa-masa indah yang telah penulis lewatkan bersama kalian baik dalam keadaan susah maupun senang. Kalian adalah sahabat terbaik penulis.

(6)

16. Kepada BTM Aladdinsyah, SH., terima kasih penulis hanturkan atas pengalaman organisasi yang telah penulis alami mulai dari penulis masuk kuliah sampai sekarang.

Akhir kata, penulis hanya dapat berdoa agar kiranya setiap bantuan dan dukungan mereka memperoleh balasan dari Allah SWT.

Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pihak yang membacanya. Amin.

Medan, Januari 2012 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….... v

ABSTRAKSI ……….. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...……... 1

B. Perumusan Masalah ………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….... 7

D. Keaslian Penelitian ………... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ……….. 9

1. Pengertian Kejahatan ………. 9

2. Pengertian Pencurian ……….….... 10

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana …………..….. 12

4. Pengertian Hukuman ……….. 14

5. Pengertian Penjatuhan Hukuman ………... 15

6. Pangertian Penuntutan ………... 16

7. Pengertian Putusan ………... 18

F. Metode Penelitian ………... 20

G. Sistematika Penulisan ……… 23

(8)

B. Unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan ( Dalam Kasus yang Terdapat Dalam Putusan PN Medan No. 830/

Pid.B/ 2010/ PN. Mdn. ) ……… 35

BAB III ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (STUDI PUTUSAN) A. Kasus Posisi ………... 48

1. Kronologis Perkara ………... 48

2. Dakwaan ………... 50

3. Fakta-Fakta Hukum ……….... 57

4. Amar Putusan Pengadilan Negeri ……….... 61

B. Analisis Kasus ……… 62

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ………..……… 90

B. Saran ……….…………... 92

DAFTAR PUSTAKA ……….… 94

(9)

ABSTRAKSI Yohana*

M. Nuh SH., M. Hum** DR. Marlina SH., M. Hum***

Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di Indonesia.

Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara Yuridis Normatif, yaitu dengan cara melihat apa saja yang menjadi unsur atas kejahatan pencurian pada waktu malam hari, dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam Mengambil Putusan di Pengadilan.

Pasal 363 KUHP yakni Pencurian dengan Pemberatan adalah pasal 362 KUHP yakni Pencurian Biasa, hanya bedanya pencurian yang dimaksud pasal 363 KUHP ditambah dengan ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan pencurian dan ancaman pidananya lebih berat daripada pencurian biasa.

Unsur pemidanaan yang harus terdapat ketika Majelis Hakim membentuk suatu putusan berupa Kemanusiaan, Edukatif, dan Keadilan. Unsur ini dipenuhi oleh Hakim secara keseluruhan tanpa pengecualian.

Aspek atau landasan lain yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam membentuk suatu putusan selain landasan yuridis juga berupa landasan ekonomis, hak asasi manusia, psikologis, dan sosiologis. Kerugian yang dialami oleh korban juga merupakan salah satu dasar pertimbangan bagi Hakim dalam memutus suatu perkara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dasar pertimbangan hakim selain dari yang tercantum di dalam putusan, yang penerapannya terimplementasi pada saat Majelis Hakim bermusyawarah untuk mengambil suatu putusan.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana

* Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

ABSTRAKSI Yohana*

M. Nuh SH., M. Hum** DR. Marlina SH., M. Hum***

Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat dilihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di Indonesia.

Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara Yuridis Normatif, yaitu dengan cara melihat apa saja yang menjadi unsur atas kejahatan pencurian pada waktu malam hari, dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam Mengambil Putusan di Pengadilan.

Pasal 363 KUHP yakni Pencurian dengan Pemberatan adalah pasal 362 KUHP yakni Pencurian Biasa, hanya bedanya pencurian yang dimaksud pasal 363 KUHP ditambah dengan ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan pencurian dan ancaman pidananya lebih berat daripada pencurian biasa.

Unsur pemidanaan yang harus terdapat ketika Majelis Hakim membentuk suatu putusan berupa Kemanusiaan, Edukatif, dan Keadilan. Unsur ini dipenuhi oleh Hakim secara keseluruhan tanpa pengecualian.

Aspek atau landasan lain yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam membentuk suatu putusan selain landasan yuridis juga berupa landasan ekonomis, hak asasi manusia, psikologis, dan sosiologis. Kerugian yang dialami oleh korban juga merupakan salah satu dasar pertimbangan bagi Hakim dalam memutus suatu perkara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dasar pertimbangan hakim selain dari yang tercantum di dalam putusan, yang penerapannya terimplementasi pada saat Majelis Hakim bermusyawarah untuk mengambil suatu putusan.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana

* Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi kodratnya manusia itu harus hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Pada kehidupan bermasyarakat itu telah ada norma-norma pergaulan hidup yang berkembang sejak zaman dahulu kala sampai sekarang ini. Norma-norma pergaulan hidup itu tercipta atau diciptakan sedemikian rupa untuk mengatur tata tertib masyarakat, mengatur hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain, antara individu dengan penguasa dan lain-lainnya yang ada kaitannya dengan kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama, seperti hukum dan tradisi, oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptkan ketertiban itu.1 Hukum menjadi aspek dari kebudayaan, seperti halnya dengan agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan, yang masing-masing menjadi anasir kebudayaan kita.2

Pada kehidupan bermasyarakat itu sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup masyarakat terutama yang dikenal dengan nama norma hukum. Penyimpangan norma hukum di masyarakat disebut dengan kejahatan. Sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma pergaulan hidup, kejahatan merupakan masalah sosial yaitu masalah yang timbul

1

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, halaman 13.

2

(12)

di tengah-tengah masyarakat dimana pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari timbulnya gejala sosial itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan berbagai perkembangan baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum, maupun teknologi. Kejahatan ini juga ditimbulkan dari perkembangan-perkembangan lain sebagai akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perkembangan sosial di masyarakat.

Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan modernisasi. Perkembangan dan modernisasi tersebut terutama dapat dirasakan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan tersebut juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan pertumbuhan perekonomian.

Satjipto Rahardjo menulis bahwa modernisasi menekankan pada rasio, penampilan manusia secara individual, kebebasan manusia, orientasi kepada dunia serta penggunaan rasio sebagai alat untuk memecahkan berbagai masalah.3 Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya “ Hukum dan Proses Modernisasi di Indonesia “ menulis antara lain bahwa proses modernisasi menyangkut perubahan kelakuan dan nilai-nilai kebudayaan yang sejalan dengan perubahan sikap hidup dan cara berpikir manusia. Menurut Sutan Takdir, kebudayaan modern bersifat progresif dan ditandai oleh diterapkannya nilai teori dan nilai ekonomi.4

3

Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi

Kejahatan Kejahatan Baru yang Berkembang Dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988,

halaman 33.

4

(13)

Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di Indonesia.

Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian.

Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat tersebut, serta keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari masyarakat tersebut.

(14)

maka akan semakin berkembang pula bentuk dan jumlah kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat sederhana maupun modern.

Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah dijelaskan di atas bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli yang sangat rendah.

Diluar Provinsi Sumatera Utara sendiri banyak sekali kasus pencurian, namun sangatlah tidak memiliki hati nurani karena kasusnya sampai dilaporkan ke Polisi dan dilimpahkan ke Pengadilan. Memang pencurian tetaplah bentuk kejahatan, akan tetapi alangkah baiknya jika disesuaikan kejahatan pencuriannya apakah memang pantas untuk disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan.

(15)

Provinsi Jawa Tengah, Minah yang mencuri tiga biji kakao yang diputus bersalah dan diberi sanksi berupa hukuman penjara satu bulan 15 hari.5

Sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia, bahwa pencurian pada waktu malam hari adalah pencurian yang tergolong dalam pencurian berat, hal ini dikarenakan pada waktu malam hari adalah waktu yang Masih banyak contoh kasus lainnya yang sebenarnya masih bisa diselesaikan melalui jalur kekeluargaan seperti kasus AAL di Provinsi Sulawesi Tenggara yang mencuri sepasang sandal jepit, dan kasus lainnya seperti anak yang mencuri sebuah voucher pulsa senilai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) serta pembantu yang mencuri 6 buah piring milik majikannya. Semua kejadian ini berbanding terbalik dengan kasus para koruptor yang hingga kini belum tuntas. Memang dengan adanya sanksi ini diharapkan memberi efek jera kepada pelaku mengingat kasus pencurian juga merugikan orang lain.

Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam gedung perkantoran. Pencurian ini sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula. Salah satu contoh kasus Pencurian dengan Pemberatan Pasal 363 KUHP adalah kasus dengan Terdakwa Andy Azwar. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat, bahwa apakah yang menjadi unsur-unsur pembeda antara jenis tindak pidana pencurian yang satu dengan yang lain ?.

5

(16)

umumnya digunakan oleh setiap orang untuk beristirahat, sehingga pada saat itu pemilik dari barang tersebut tidak dapat melakukan perlindungan atau penjagaan terhadap harta benda miliknya, oleh sebab itulah pencurian pada malam hari digolongkan sebagai pencurian dengan pemberatan, dan berarti dalam penjatuhan hukuman akan mendapatkan saksi yang lebih berat, sehingga muncul pertanyaan apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim kelak ketika akan menjatuhkan putusan ?.

Hal inilah yang menjadi latar belakang dari penulisan skripsi yang diberi judul : “ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 830/ PID.B/ 2010/ PN. MDN. TERHADAP PERKARA KASUS PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN PASAL 363 KUHP”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diangkat, yaitu sebagai berikut :

(17)

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan pada putusan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap Terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan pada kasus tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan adalah merupakan suatu alasan penting bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat

tuntutan dan dasar pertimbangan bagi hakim dalam membuat putusan. 2. Manfaat Penelitian

(18)

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu malam hari.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan pemberatan yang dilakukan pada malam hari, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

D. Keaslian Penelitian

(19)

E. Tinjauan Kepusakaan 1. Pengertian Kejahatan

Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.

Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksudnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapan berbagai jenis perbuatan yang merupakan kejahatan.6

a. Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.

Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas, maksudnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik Undang-Undang. Menurut beberapa Ahli Hukum, pengertian kejahatan adalah :

7

b. W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.8

6

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Studi Hukum

dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998 halaman 28. 7

(20)

c. Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.9

Kejahatan ditinjau dari segi psikologis adalah merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kejahatan dari segi psikologis menitikberatkan sejauh manakah pengaruh kejiwaan yang dapat menimbulkan tingkah keabnormalan individu dalam tingkah lakunya yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai dengan penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.10

2. Pengertian Pencurian

Menurut Pasal 362 KUHP, pencurian berarti mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Apabila barang yang diambil itu sudah ada dalam kekuasaannya atau dipercayakan kepadanya, maka ini tidak dapat digolongkan ke dalam pencurian, tetapi masuk kepada penggelapan.

Pencurian itu sendiri terbagi atas beberapa jenis yaitu :11 a. Pencurian biasa

b. Pencurian dengan pemberatan

8

Ibid.

9

Ibid, halaman 29.

10

Ibid, halaman 31.

11

(21)

c. Pencurian ringan

d. Pencurian dengan kekerasan e. Pencurian di lingkungan keluarga.

Adapun dari rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 364 KUHP dapat diketahui bahwa yang oleh undang-undang disebut pencurian ringan itu dapat berupa :12

a. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok;

b. Tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; atau

c. Tindak pidana pencurian, yang untuk mengusahakan jalan masuk ke tempat kejahatan atau untuk mencapai benda yang hendak diambilnya, orang yang bersalah telah melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatan atau telah memakai kunci palsu, perintah palsu, atau seragam palsu.

Dengan syarat :

a. Tidak dilakukan di dalam sebuah tempat kediaman

b. Tidak dilakukan di atas sebuah pekarangan tertutup yang diatasnya terdapat sebuah tempat kediaman

c. Nilai dari benda yang dicuri itu tidak lebih dari du ratus lima pulh rupiah.

Terhadap pencurian dengan kekerasan Pasal 365 KUHP, dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan

12

(22)

yang tidak terlalu ringan. Kekerasan tersebut tidak perlu merupakan sarana atau cara untuk melakukan pencurian, melainkan cukup jika kekerasan tersebut terjadi sebelum, selama, dan sesudah pencurian itu dilakukan dengan maksud seperti yang dikatakan di dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP yakni :13

a. Untuk mempersiapkan atau untuk memudahkan pencurian yang akan dilakukan;

b. Jika kejahatan yang mereka lakukan itu diketahui pada waktu sedang dilakukan, untuk memungkinkan dirinya sendiri atau lain-lain peserta kajahatan dapat melarikan diri;

c. Untuk menjamin tetap mereka kuasai benda yang telah mereka curi.

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang yang telah melakukan tindak pidana akan dapat dihukum apabila pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya. Masalah pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas

Geen Straft Zonder Schuld (Tidak dipidana tanpa ada kesalahan) untuk

menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah

13

(23)

ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari segi terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.14

a. Keadaan jiwanya

Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :

b. Kemampuan jiwanya

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 44 KUHP, yang mana disebutkan bahwa menurut pasal ini orang yang tidak dapat dihukum adalah orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena :15

a. Kurang sempurna akalnya; b. Sakit berubah akalnya.

Apabila ternyata perbuatan itu memang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku disebabkan oleh kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal maka dapatlah hakim memerintahkan dia untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T. (Memori van Toelichting) dalam penjelasannya mengenai alasan penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjwabkannya seseorang atau

14

http://ilmucomputer2.blogspot.com/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html. 15

(24)

alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu :16

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjwabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut, dan

b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar diri orang tersebut.

Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.

4. Pengertian Hukuman

Hukuman adalah sanksi fisik maupun psikis untuk kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Hukuman mengajarkan kepada masyarakat apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.17

Pengertian pidana sebagai sanksi berupa penderitaan yang sengaja dikenakan Negara kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan

Pada istilah umum, hukuman adalah untuk segala macam sangsi baik perdata, administratif, disiplin, dan pidana. Menurut bahasa Belanda untuk menyebut istilah hukuman disebut straf.

16

M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, USU Press, Medan, 2008, halaman 3.

17

(25)

mempunyai kesalahan. Adapun pengertian pidana menurut beberapa Ahli Hukum ialah :18

a. Menurut Ted Honderich, pidana adalah suatu pengenaan pidana yang dijatuhkan oleh penguasa, berupa kerugian atau penderitaan, kepada pelaku tindak pidana.

b. Menurut Rupert Cross, pidana adalah pengenaan penderitaan oleh Negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan. c. Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan

kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

d. Van Hammel memeberikan arti pidana menurut hukum positif yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum.

5. Pengertian Penjatuhan Hukuman

Penjatuhan hukuman adalah pemberian sanksi kepada si pelaku tindak pidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya sendiri sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera kepada si pelaku.

KUHP sendiri menetapkan beberapa jenis pidana yang dapat dijatuhkan bagi si pelaku, yakni terdapat dalam Pasal 10 KUHP yaitu :19

18

(26)

a. Pidana pokok, yang terdiri dari : 1. Pidana mati

2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Denda

5. Pidana tutupan

b. Pidana tambahan, yang terdiri dari : 1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu 2. Perampasan beberapa barang yang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim.

Bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. Pembebanan rangkap lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan, akan tetapi dalam tindak pidana ekonomi dan subversi, kumulasi hukuman dapat dijatuhkan, yakni hukuman badan dan hukuman denda.

Menurut Pasal 35 KUHP, dalam beberapa hal yang ditentukan, selain dari satu hukuman pokok dijatuhkan pula dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan hanya sebagai penambah dari hukuman pokok sehingga tidak dapat dijatuhkan sendiri.20

6. Pengertian Penuntutan

Penuntutan diatur dalam Bab XV, Pasal 137 – 144 KUHAP. Menurut Wirjono Prodjodikoro menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah

19

Ibid, Pasal 10.

20

(27)

menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus perkara pidana itu terhadap terdakwa.21

Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Penuntut umum adalah jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum, atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah jaksa, karena menurut ketentuan hanyalah jaksa yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.

Penuntutan dengan singkat dapat dikatakan merupakan perbuatan penuntut umum menyerahkan perkara kepada hakim untuk diperiksa dan diputus.

22

“ jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap “.

Sementara, Pasal 1 butir 1 UU Nomor 5 Tahun 1991 menyebutkan :

23

Jaksa melakukan penuntutan untuk dan atas nama Negara, sehingga jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang mempunyai wewenang melakukan penuntutan.24

21

Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, halaman 4.

22

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, halaman 223.

23

Yudi Kristiana, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, halaman 51.

24

Dalam perkembangannya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memiliki kewenangan yang sama, bahkan lebih luas dibandingkan dengan kejaksaan.

(28)

bisa menampung seluruh kepentingan masyarakat, Negara, dan korban kejahatan agar bisa dicapai rasa keadilan masyarakat.25

7. Pengertian Putusan

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP Putusan Pengadilan adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana”.26

Leden Marpaung menyebutkan pengertian Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian dimuat dalam buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktik” yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221. Rumusan tersebut terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata “putusan” dan “keputusan” di campuradukkan. Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai “vonis tetap”.

27

Dasar dalam penjatuhan putusan ialah surat dakwaan dan pemeriksaan di sidang.28

Hakim dan kewajiban-kewajibannya seperti tersirat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang UU Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai “sense of justice of the people". Hakim sebagai penegak hukum Memang yang menjadi tujuan akhir dari suatu proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri adalah diambilnya suatu putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang dilaporkan.

25

Yudi Kristiana, Op.cit, halaman 52.

26

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 11.

27

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, halaman 406.

28

(29)

dan keadilan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk melaksanakan peran tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas perkara-perkara di Pengadilan atau 'agent of conflict", tetapi seharusnya juga mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal selain memiliki kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya, karena pada hakikatnya mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan.

Putusan dijatuhkan oleh hakim yang berjumlah ganjil dalam setiap persidangan. Semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.29

29

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Nomor : 047/ KMA/ SKB/ IV/ 2009 dan 02/ SKB/ P. KY/ IV/ 2009 tentang Kode Etik

(30)

Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.30

F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terdiri dari : 31

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang hidup di dalam masyarakat.

b. Penelitian terhadap sistem hukum.

Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing

30

Ibid.

31

(31)

pengertian pokok / dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut, sedang apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi secara horisontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan akan mempergunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum.

e. Penelitian perbandingan hukum.

(32)

Negara yang satu dengan Negara yang lain, atau membanding-bandingkan sistem hukum positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.32

2. Metode Pendekatan

Sesuai dengan judul dari skripsi ini, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yang menghubungkan asas-asas hukum dengan sinkronisasi hukum yang memperoleh data-data dan bahan-bahan yang telah ada, yang diperoleh dari berbagai sumber.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara normatif yuridis, yaitu dengan cara melihat apa saja yang menjadi unsur atas kejahatan pencurian pada waktu malam hari, dan dibantu dengan yuridis empiris yakni dengan mewawancarai hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri di Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum.33

32

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, CV. Cahaya Ilmu, Medan, 2006, halaman 107.

33

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 146.

(33)

4. Analisis Data

Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif. Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang bersifat representatif (sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan).

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu sebagai berikut :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian pene;itian, tinjauan kepustakaan (yang terdiri dari Pengertian Kejahatan, Pengertian Pencurian, Pengertian Pertanggungjawaban Pidana, Pengertian Hukuman, Pengertian Penjatuhan Hukuman, Pengertian Penuntutan, Pengertian Putusan), metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Merupakan bab yang membahas unsur tindak pidana pencurian biasa dan unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan (dalam hal ini terkait dengan putusan PN Medan No. 830/ Pid.B/ 2010/ PN.Mdn. ).

(34)

dengan pemberatan yang berisi kasus posisi (yang terdiri dari kronologis perkara, dakwaan, fakta-fakta hukum, amar putusan pengadilan negeri), dan analisis kasus.

(35)

BAB II

UNSUR TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

A. Unsur Tindak Pidana Pencurian Biasa

Mengenai tindak pidana pencurian biasa ini diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“ Barangsiapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah “.34

1. Tindakan yang dilakukan ialah “mengambil”;

Tindak pidana ini masuk dalam golongan pencurian biasa yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

2. Yang diambil ialah “barang”;

3. Status barang itu “sebagian atau seluruhnya menjadi milik orang lain”; 4. Tujuan perbuatan itu ialah dengan maksud untuk memiliki suatu

barang dengan melawan hukum (melawan hak).

Barang yang diambil untuk dimiliki dengan melawan hukum itu belum berada di tangannya, dikenakan pasal ini, tetapi apabila barang itu sudah ada dalam kekuasaannya (dipercayakan kepadanya), tidak dapat digolongkan dalam

34

(36)

pencurian, tetapi masuk “ penggelapan “, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 372 KUHP yakni :35

Tiap-tiap unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menetukan atas suatu perbuatan. Barang siapa berarti adalah “ orang “ atau subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana.

“ Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Sembilan ratus rupiah “.

Perbuatan mencuri itu dapat dikatakan selesai, apabila barang yang diambil itu sudah berpindah tempat, bila si pelaku baru memegang barang tersebut, kemudian gagal karena ketahuan oleh pemiliknya, maka ia belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi baru melakukan apa yang dikatakan “ percobaan mencuri “.

36

Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif yaitu sebagai berikut :37

a. Unsur subjektif ; met het oogmerk om het zich wederrechtlijk toe te

eigenen atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara

melawan hukum.

b. Unsur objektif ; 1). Hij atau barangsiapa 2). Wegnemen atau mengambil 3). Eenig goed atau sesuatu benda 4). Dat geheel of

35

Ibid, Pasal 372.

36

Suharto RM. , Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Obyektif sebagai Dasar

Dakwaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, halaman 38. 37

(37)

gedeeltelij aan een ander toebehoort atau yang sebagian atau

seluruhnya kepunyaan orang lain.

Agar seseorang dapat dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana pencurian, orang tersebut harus terbukti telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana pencurian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 362 KUHP.

Walaupun pembentuk undang-undang tidak menyatakan secara tegas bahwa tindak pidana pencurian seperti yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa tindak pidana pencurian tersebut harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena undang-undang pidana kita yang berlaku tidak mengenal lembaga tindak pidana pencurian yang dilakukan dengan tidak sengaja.38

Kesengajaan pelaku itu meliputi unsur :39 a. Mengambil

b. Sesuatu benda

c. Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain

d. Dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

Kiranya sudah jelas bahwa inti pengertian dengan sengaja ialah menghendaki dan mengetahui, karena yang dapat dikehendaki atau yang dapat dimaksud hanyalah perbuatan-perbuatan sedang keadaan-keadaan itu hanya dapat diketahui, maka untuk dapat menyatakan seorang pelaku telah memenuhi unsur

38

Ibid.

39

(38)

kesengajaan, di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat dibuktikan bahwa pelaku :40

a. Telah menghendaki atau bermaksud untuk melakukan perbuatan mengambil;

b. Mengetahui bahwa yang diambilnya itu ialah sebuah benda;

c. Mengetahui bahwa benda yang diambilnya itu sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain;

d. Telah bermaksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

Apabila kehendak, maksud atau pengetahuan ataupun salah satu dari kehendak, maksud atau pengetahuan pelaku itu ternyata tidak dapat dibuktikan, maka orang juga tidak dapat mengatakan bahwa pelaku telah terbukti memenuhi unsur kesengajaan untuk melakukan pencurian seperti yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP, sehingga hakim harus memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum bagi pelaku.41

Barang ialah semua benda yang berwujud seperti : uang, baju, perhiasan dan sebagainya termasuk pula binatang, dan benda yang tak berwujud seperti Hakim memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum tersebut sudah cukup jelas karena yang tidak terbukti ialah unsur kesengajaan, sedangkan unsur kesengajaan tersebut oleh pembentuk undang-undang ternyata tidak disyaratkan secara tegas sebagai unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP.

40

Ibid, halaman 3.

41

(39)

aliran listrik yang disalurkan melalui kawat serta gas yang disalurkan melalui pipa. Selain benda-benda yang bernilai uang pencurian pada benda-benda yang tidak bernilai uang, asal bertentangan dengan pemiliknya (melawan hukum), dapat pula dikenakan pasal ini, misalnya seorang jejaka mencuri dua tiga helai rambut dari seorang gadis cantik tanpa izin gadis itu, dengan maksud untuk dijadikan kenang-kenangan, dapat pula dikatakan “ mencuri “, walaupun yang dicuri itu tidak bernilai uang.

Mengenai arti kepunyaan menurut Pasal 362 KUHP harus ditafsirkan sesuai dengan pengertian kepunyaan/milik menurut hukum perdata. Di Indonesia berlaku dualisme hukum perdata yakni :42

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku untuk orang-orang asal Tionghoa dan Eropa. KUHPerdata juga berlaku bagi mereka yang dimasukkan golongan Timur Asing dan Tionghoa serta berlaku bagi orang-orang Indonesia yang secara sukarela atau dianggap menundukkan diri terhadap KUHPerdata.

b. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) tetap berlaku hukum adat. Secara yuridis istilah kepunyaan di dalam Pasal 362 KUHP seharusnya ditafsirkan menurut pengertian hukum perdata tertulis dan hukum adat, sesuai dengan persoalannya.43

Barang yang dicuri itu sebagian atau seluruhnya harus milik orang lain, misalnya dua orang memiliki bersama sebuah sepeda, kemudian seorang diantaranya mencuri sepeda itu, dengan maksud untuk dimiliki sendiri. Walaupun

42

Hasim, Op.cit., halaman 207.

43

(40)

sebagian barang itu milikinya sendiri, namun ia dapat dituntut juga dengan pasal ini, akan tetapi sebaliknya jika ia mengambil barang yang tidak dimiliki seseorang, tidak dapat dikatakan mencuri, misalnya mengambil binatang yang hidup di alam bebas atau barang yang telah dibuang.

Untuk dapat dituntut menurut pasal ini, “ pengambilan “ itu harus dengan sengaja dan dengan maksud untuk dimilikinya maupun diperjualbelikan. Orang yang karena keliru mengambil barang orang lain, tidak dapat dikatakan “ mencuri “. Seseorang yang memperoleh barang dijalan kemudian diambilnya dengan maksud untuk dimiliki, dapat pula dikatakan mencuri, tetapi apabila barang itu kemudian diserahkan kepada polisi, tidak dapat dikenakan pasal ini. Apabila kemudian setelah orang itu sampai dirumah kemudian timbul niatnya untuk memiliki barang tersebut, padahal rencana semula akan diserahkan kepada polisi, maka orang itu dapat dituntut perkara penggelapan (Pasal 372 KUHP), karena saat barang itu dimilikinya, sudah berada di tangannya.

Menurut sejarah perkembangan ilmu hukum pidana banyak sarjana-sarjana ilmu hukum pidana mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai arti mengambil.44

Menurut Simons dan Pompe, mereka menyatakan menyamakan arti mengambil dengan istilah wegnehmen dalam KUHP Negara Jerman yang berarti Menurut Noyon Langemeyer, pengambilan yang diperlukan untuk pencurian adalah pengambilan yang eigenmachtig, yaitu karena kehendak sendiri atau tanpa persetujuan yang menguasai barang.

44

(41)

tidak diperlukan tempat dimana barang berada, tetapi memegang saja belum cukup, pelaku harus menarik barang itu kepadanya dan menempatkan dalam penguasaannya.45

Menurut Van Bemmelen arti wegnehmen dirumuskan sebagai berikut :46 1. Tiap-tiap perbuatan dimana orang menempatkan barang atau harta

kekayaan orang lain dalam kekuasaannya tanpa turut serta atau tanpa persetujuan orang lain.

2. Tiap-tiap perbuatan dengan mana seseorang memutuskan ikatan dengan cara antara orang lain dengan barang kekayaannya itu.

Dalam teori tentang mengambil ada 3 jenis bentuk mengambil :47

1. Kontrektasi : bahwa suatu perbuatan mengambil apabila seorang pelaku telah menggeser benda yang dimaksud, dengan perbuatan itu berarti pelaku telah mengambil.

2. Ablasi : pelaku dikatakan mengambil sesuatu barang, apabila pelaku meskipun tidak menyentuh atas benda yang dimaksud, tetapi benda telah diamankan dari gangguan orang lain dengan harapan benda dapat dimiliki.

3. Aprehensi : mengambil berarti pelaku telah membuat suatu benda dalam kekuasaannya yang nyata.

45

Ibid.

46

Ibid, halaman 39.

47

(42)

Menurut Yurisprudensi dianggap mengambil yaitu :48

1. Orang yang menggunting kantong baju orang lain, sehingga isinya jatuh kemudian diambilnya.

2. Putusan Rechtbank tanggal 10 – 12 – 1919 tentang pencurian ternak sapi sangat menarik. Duduk perkaranya sebagai berikut :

a. Pelaku menjual sapi kepunyaan orang lain yang sedang diikat di pasar hewan. Pelaku tahu bahwa pemiliknya sedang pergi dari tempat dimana sapi diikat, lalu pelaku berdiri di samping sapi itu, sehingga orang mengira bahwa dialah pemilik sapi tersebut, kemudian jual beli dilakukan antara pembeli dengan pelaku.

b. Dalam perkara ini terdakwa sama sekali tidak melakukan perbuatan apa-apa yang berhubungan dengan pemindahan sapi, meskipun demikian putusan pengadilan menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk sebagai perbuatan mengambil.

c. Pendapat Van Bemmelen lebih jauh lagi dalam menafsirkan kata

wegnehmen, dikatakan meskipun tidak ada penempatan barang

dalam kekuasaannya, pelaku adalah sudah mengambil. Van Bemmelen memberi contoh sebagai berikut :

A seorang Nyonya kehilangan cincin dalam taman kota dan B tukang taman melihat cincin yang jatuh tersebut, pada suatu saat B memindahkan pot bunga diatas cincin sehingga cincin tertutup. B

48

(43)

bermaksud kalau sudah lama cincin tidak dicari, cincin akan diambil untuk dimiliki.

Menurut Van Bemmelen dengan ditutupnya cincin dengan pot bunga sudah ada pencurian.

Memiliki berarti bahwa suatu barang yang diambil oleh pelaku harus dapat dinyatakan bahwa memang barang tersebut akan dimiliki. Praktek peradilan yang dimaksud “ memiliki “ ialah barang yang telah diambil itu :49

a. Ia kuasai selaku seorang tuan, b. Ia kuasai selaku seorang pemilik, c. Ia kuasai selaku seorang penguasa.

d. Bahwa perbuatan atas suatu barang yang diambil itu sudah menyatakan kepastian kehendak akan menguasai secara de

facto.

Unsur dimiliki secara melawan hukum berarti mengambil dengan paksa atau tanpa izin pemilik hak barang tersebut. Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Untuk itu dalam menentukan tindak pidana yang digunakan, selain unsur-unsur tindak pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari tindak pidana tersebut. Misalnya : “Seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung”. Rumusan tersebut memenuhi

49

(44)

unsur penadahan seperti yang diatur dalam Pasal 480 KUHP namun karena kualifikasi kejahatan sebagai pencuri maka ia tetap melanggar Pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah. Pompe dengan tegas berpendapat “ Seorang pencuri yang tidak segera menjual hasil curiannya dengan hasrat mendapat untung, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan penadah, sebab perbuatan itu tidak dapat dimasukkan kualifikasi penadah”. Sehingga didalam pemberian pidana yang diperbuat pidananya haruslah dengan melihat beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan penjatuhan pidananya yang mana dimulai dari pembuktian, sistem pembuktian, jenis pidana dan tujuan pemidanaan serta kemampuan bertanggung jawab dari si pelaku. Kesemuannya yang diuraikan di atas saling terkait dan merupakan suatu sistem dalam proses untuk tercapainya rasa keadilan dan kepastian hukum, didalam wilayah Hukum Negara Indonesia.50

a. Cara mengambilnya dengan sembunyi-sembunyi. Yang dimaksud dengan mengambil secara sembunyi-sembunyi adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang bepergian.

Berdasarkan definisi pencurian diatas, dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut:

b. Barang yang dicuri adalah berupa harta. Dalam hal ini barang yang dicuri disyaratkan: 1) Berupa harta yang bergerak, 2) Berharga menurut pemiliknya, 3) Disimpan di suatu tempat yang layak.

50

(45)

c. Barang yang dicuri adalah murni milik orang lain dan si pencuri tidak mempunyai hak apapun pada barang tersebut.

d. Adanya unsur kesengajaan melakukan perbuatan pidana.

e. Pencurinya merupakan orang mukallaf. Pencuri tersebut orang dewasa dan berakal. Dengan demikian, maka anak kecil dan orang gila yang mencuri tidak bisa dikenakan hukuman.

f. Ditetapkannya pencurian berdasarkan dua saksi yang adil dan adanya tuntutan dari orang yang dicuri.

g. Adanya niat untuk dimiliki.51

Hal – hal yang tersebut di atas, menjadi unsur yang harus di penuhi agar suatu kasus dapat digolongkan menjadi tindak pidana pencurian biasa.

B. Unsur Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :

“ (1). Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun : Ke – 1. Pencurian ternak;

Ke – 2. Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru – hara, pemberontakan atau bahaya perang; Ke – 3. Pencurian waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya atau tiada dengan kemauannya yang berhak;

Ke – 4. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama; Ke – 5. Pencurian yang dilakukan, untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu dengan jalan

(46)

membongkar, memecah atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian-pakaian palsu.

(2). Jika pencurian yang diterangkan dalam Nomor 3 disertai dengan salah satu hal tersebut dalam Nomor 4 dan 5, maka dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun”.52

Delik pencurian dengan keadaan yang memberatkan juga disebut delik yang dikualifisir.

Pencurian dalam pasal ini dianamakan “pencurian berat”, dan ancaman hukumannya pun lebih berat. Pencurian dengan pemberatan ialah pencurian biasa (Pasal 362), hanya bedanya bahwa pencurian yang dimaksud dalam Pasal 363 ini ditambah dengan ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan, waktu serta jenis barang yang dicuri sehingga dinilai memberatkan kualitas pencurian, maka perlu ancaman pidananya lebih berat daripada pencurian biasa. Delik tersebut keadaan objektif memberatkan pidana meskipun perbuatan itu tidak diliputi kesengajaan (Dolus ; dengan kepastian, tujuan dan kemungkinan, Culpa ;

levis/berat dan lata/ringan).

53

Kata pencurian di dalam rumusan tindak pidana pencurian dengan kualifikasi seperti yang diatur dalam Pasal 363 KUHP di atas mempunyai arti yang sama dengan kata pencurian sebagai pencurian dalam bentuk pokok dan dengan demikian juga mempunyai unsure-unsur yang sama, masing-masing yakni:54

a. Unsur subjektif ; dengan maksud untuk menguasai secara melawan hukum.

52

KUHP Pasal 363.

53

Suharto RM. , Op.cit, halaman 72.

54

(47)

b. Unsur objektif ; 1). Barangsiapa 2). Mengambil 3). Sebuah benda 4). Yang sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain. Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 ayat 1 angka 2 KUHP ialah karena tindak pidana tersebut telah dilakukan pelaku:55

a. Pada waktu terjadi kebakaran; b. Pada waktu terjadi ledakan; c. Pada waktu terjadi bahaya banjir;

d. Pada waktu terjadi gempa bumi atau gempa laut; e. Pada waktu terjadi letusan gunung berapi; f. Pada waktu ada kapal karam;

g. Pada waktu ada kapal terdampar;

h. Pada waktu terjadi kecelakaan kereta api; i. Pada waktu terjadi suatu pemberontakan; j. Pada waktu terjadi huru-hara;

k. Pada waktu terjadi bahya perang.

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 ayat 1 angka 3 KUHP ialah karena tindak pidana pencurian telah dilakukan pada malam hari, yakni:56

a. Di dalam sebuah tempat kediaman;

55

Ibid, halaman 42.

56

(48)

b. Di atas sebuah pekarangan tertutup yang diatasnya terdapat sebuah tempat kediaman;

c. Dilakukan oleh seseorang yang berada disana tanpa sepengetahuan atau bertentangan dengan keinginan orang yang berhak.

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 ayat 1 angka 4 KUHP ialah karena tindak pidana pencurian seperti yang dimaksud oleh Pasal 362 KUHP telah dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.57

Unsur yang memberatkan pidana pada tindak pidana pencurian yang diatur pada Pasal 363 ayat 1 angka 5 KUHP ialah karena untuk dapat memperoleh jalan masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mencapai benda yang akan diambilnya itu, pelaku telah melakukan pembongkaran, perusakan, pemanjatan atau telah memakai kunci palsu, perintah palsu, atau seragam palsu.58

Pencurian dalam Pasal 363 KUHP disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut :59

a. Barang yang dicuri itu adalah hewan.

Hewan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 101 ialah semua jenis binatang yang memamah biak (kerbau, lembu, kambing, dan sebagainya), binatang yang berkuku satu (kuda, kedelai) dan babi.

57

Ibid, halaman 45.

58

Ibid, halaman 48.

59

(49)

Kucing, anjing, ayam, itik, dan angsa tidak termasuk hewan, karena tidak memamah biak, tidak berkuku satu, dan bukan pula sejenis babi. b. Pencurian itu dilakukan pada waktu sedang terjadi bermacam-macam

bencana, seperti kebakaran, peletusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung berapi, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang.

Pencurian yang dilakukan dalam waktu seperti ini diancam hukuman lebih berat, karena pada waktu semua orang sedang menyelamatkan jiwa dan raganya serta harta bendanya, si pelaku mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan kejahatan, yang menandakan bahwa orang itu adalah rendah budinya. Tentang kapal ini dapat dilihat pada Pasal 95 KUHP dan tentang pemberontakan dapat di lihat pada Pasal 96 KUHP.

(50)

menggunakan kesempatan peristiwa kebakaran yang terjadi pada waktu itu.60

c. Pencurian itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada di situ tiada dengan setahunya atau tiada dengan kemauannya yang berhak.

Waktu malam sebagaimana dimaksud oleh Pasal 98 KUHP, adalah waktu antara matahari terbenam dan terbit kembali.

Makna rumah disini ialah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal siang dan malam. Gudang dan toko yang tidak didiami pada waktu siang dan malam, tidak termasuk dalam pengertian rumah, sebaliknya gubug, gerbong kereta api dan petak-petak kamar di dalam perahu, apabila didiami siang dan malam, termasuk dalam pengertian rumah.

Pengertian pekarangan tertutup di sini ialah dataran tanah yang pada sekelilingnya ada pagarnya (tembok, bambu, pagar tumbuh-tumbuhan yang hidup) dan tanda-tanda lain yang dapat dianggap sebagai batas. Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, si pelaku pada waktu melakukan pencurian itu harus masuk ke dalam rumah atau pekarangan tersebut. Apabila hanya menggaet saja dari jendela, tidak dapat digolongkan dengan pencurian yang dimaksud di sini.61

60

Ibid.

61

(51)

d. Pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

Supaya dapat dituntut menurut pasal ini, maka dua orang atau lebih itu harus bertindak bersama-sama sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 KUHP, yakni :

1). Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu;

2). Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan, namun dalam hal ini orang yang boleh diminta pertanggungjawaban kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.62

62

KUHP Pasal 55.

Pada persekutuan dimana pencurian dilakukan beberapa orang dan tiap-tiap pelaku dalam perbuatannya mempunyai kedudukan yang mungkin berbeda-beda, tetapi yang penting jumlah orang pada saat dilakukan pencurian itu terdiri dari dua orang atau lebih, ancaman pidananya tetap sama.

(52)

Namun dalam praktek peradilan tidak selalu mudah untuk menetukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan, membantu atau yang menganjurkan.63

1. Melakukan perbuatan

Biasanya orang yang melakukan perbuatan disebut pembuat artinya orang yang melakukan delik yang memenuhi unsur tindak pidana yang dilakukan itu.

2. Menyuruh Melakukan

Apabila orang yang disuruh melakukan atau si pembuat materil (manus ministra) tidak dapat dipidana karena ; dipaksa, tidak mampu bertanggungjawab, adanya perintah jabatan, dan tidak memenuhi unsur delik, maka pelaku adalah orang yang menyuruh melakukan (manus domina). Pertanggungjawaban orang yang menyuruh melakukan dibatasi sampai apa yang disuruhnya, apabila terjadi lebih daripada yang disuruhkan, perbuatan dipertanggungjawabkan kepada pembuat materil.

3. Turut Melakukan

Mereka yang turut melakukan tindak pidana adalah mereka dengan sengaja bersama-sama melakukan tindak pidana, jadi dalam pelaksanaan ada kerjasama yang erat antara mereka, maka untuk dapat menetukan apakah pelaku turut serta melakukan atau tidak,

63

(53)

kita tidak melihat kepada perbuatan masing-masing pelaku secara satu per satu dan berdiri sendiri, melainkan kita lihat semua sebagai kesatuan.

4. Menganjurkan

Menganjurkan melakukan tindak pidana pelaksanaannya dilakukan dengan perantaraan orang lain. Pada perbuatan menyuruh melakukan pembuat materil tidak dapat dipidana, tetapi yang menganjurkan pembuat materil dapat dipidana dengan syarat ; memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memakai kekerasan, memakai ancaman atau penyesatan, dan memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan yang dipertanggungjawabkan.

Tidak seperti halnya yang dimaksud oleh Pasal 56 KUHP, yakni yang seorang bertindak, sedang seorang lainnya hanya sebagai pembantu saja. Menurut pasal tersebut pembantu melakukan (mede

plichtigheid) dapat diperinci menjadi dua jenis yakni :

(54)

Hal ini menurut Pasal 56 KUHP pembantu melakukan kejahatan yang disengaja sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 86 KUHP.

e. Untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu, pencurian tersebut melakukan dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian-pakaian palsu.

Pengertian membongkar adalah mengadakan perusakan yang agak besar, misalnya membongkar tembok, pintu, jendela dan sebagainya, dalam hal ini harus ada sesuatu yang rusak, pecah dan sebagainya. Apabila pencuri hanya mengangkat daun pintu dari engselnya dan tidak terdapat kerusakan apa – apa, tidak dapat diartikan membongkar.

Pengertian memecah ialah membuat kerusakan yang agak ringan, misalnya memecah kaca jendela dan sebagainya.64

Mengenai memanjat, terdapat pengaturannya dalam Pasal 99 KUHP. Menurut arti kata sesungguhnya, memanjat ialah membawa diri ke suatu ketinggian tertentu, dengan menggunakan atau tanpa sesuatu alat seperti tangga, tali, dan alat-alat lain yang dipakai untuk membawa diri ke atas. Tetapi dalam Pasal 99 KUHP memanjat termasuk pula :65

64

Penjelasan KUHP Pasal 363.

65

(55)

1. Masuk ke dalam rumah melalui lubang yang telah ada yang sedianya tidak untuk jalan masuk atau jalan ke luar;

2. Masuk ke dalam rumah melalui lubang dalam tanah yang sengaja digali;

3. Masuk ke dalam rumah melalui selokan atau parit yang gunanya sebagai penutup jalan.

Mengenai anak kunci palsu, terdapat pengaturannya dalam Pasal 100 KUHP. Pengertian anak kunci palsu ialah segala macam anak kunci yang tidak diperuntukkan membuka kunci dari sesuatu barang yang dapat dikunci, seperti almari, peti dan sebagainya, oleh yang berhak atas barang itu. Demikian juga anak kunci duplikat yang penggunaannya bukan oleh yang berhak, dapat dikatakan anak kunci palsu.66

Pakaian palsu ialah pakaian yang dikenakan oleh orang yang tidak berhak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang mengenakan pakaian seragam polisi, dapat masuk ke dalam rumah seseorang

Pengertian perintah palsu ialah perintah yang dibuat sedemikian rupa, seolah-olah perintah itu asli dan dikeluarkan oleh yang berwajib, padahal tidak asli. Dimisalkan disini, seorang pencuri mengaku dirinya sebagai pegawai PLN dan membawa surat keterangan dari petinggi PLN, akhirnya ia dapat masuk ke dalam rumah, padahal sebenarnya itu adalah perintah palsu.

66

(56)

kemudian mencuri barang, yang dimaksudkan pakaian palsu di sini tidak saja pakaian jabatan pemerintah, tetapi boleh juga pakaian seragam perusahaan swasta.

Pada ayat (1) sub ke 5 pasal ini antara lain dikatakan, bahwa untuk dapat masuk ke tempat kejahatan itu pencuri tersebut melakukan perbuatan dengan jalan membongkar, bukan yang diartikan jalan untuk keluar, sehingga apabila si pencuri berada di dalam rumah sejak petang hari ketika pintu-pintu rumah itu sedang di buka, kemudian ke luar pada malam harinya, setelah para penghuni rumah itu tidur nyenyak, dengan jalan membongkar, tidak dapat digolongkan dengan pencurian yang dimaksudkan di sini.

Pada ayat, sub dan pasal ini juga antara lain dikatakan, bahwa untuk dapat mengambil barang yang akan dicuri itu, dengan jalan membongkar dan sebagainya. Hal ini dapat diartikan bahwa seorang pencopet yang akan mencopet uang di dalam saku baju seseorang, menggunting saku baju seseorang tersebut, dapat dikenakan pasal ini.

(57)

perbuatannya dapat dikatakan sebagai perbarengan atau juga disebut

concurcus idealis seperti yang diatur dalam Pasal 63 KUHP.67

67

Suharto RM. , Op.cit, halaman 77.

(58)

BAB III

ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN ( STUDI PUTUSAN )

A. Kasus Posisi 1. Kronologis Perkara

Perkara kasus pencurian pemberatan dengan No. Register 830/ Pid. B/ 2010/ PN. Mdn. di Pengadilan Negeri Medan memiliki kronologis perkara sebagai berikut :68

Terdakwa Andy Azwar alias Andy pada hari Senin, tanggal 07 Desember 2009, sekitar pukul 03.30 WIB bertempat di Aula KPLP Pelabuhan Belawan Kecamatan Medan Belawan telah mengambil 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha

Terdakwa Andy Azwar lahir di Belawan pada tanggal 09 September 1978 anak dari ayah bernama Azwar dan ibu bernama Nur Asiah yang merupakan anak ke II dari III orang bersaudara, pendidikan terakhir SMA (tamat), dan pada tahun 1998 masuk PNS di Dinas Perhubungan Laut dan penempatan di kantor KPLP Tanjung Periok, hingga saat sekarang in tinggal di Komplek Griya Martubung Blok 3 Kecamatan Medan Labuhan.

Korban atau pemilik barang berupa satu unit sepeda motor Yupiter MX BK 5137 ED warna merah maron yang diambil terdakwa adalah milik Syarifuddin Sihombing, anggota KPLP Belawan, alamat Jalan P. Enggano Nomor 127 Lingkungan X c Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan.

68

(59)
(60)

Selanjutnya pada hari minggu tanggal 03 Januari 2010, Zulfan Pasaribu bersama Sahrani membawa sepeda motor tersebut dan menggadaikannya kepada Taufik sebesar Rp. 2.650.000,- (dua juta enam ratus lima puluh ribu rupiah), dan saksi mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 650.000,- (enam ratus lima puluh ribu rupiah). Terdakwa menemui Zulfan 2 (dua) minggu setelah kejadian untuk menanyakan keberadaan sepeda motor yang digadaikannya dan baru mengatakan bahwa sepeda motor itu adalah barang curian, dan pada hari Selasa tanggal 05 Januari 2010 sekitar pukul 13.00 WIB terdakwa ditangkap oleh POLRES K.P.P.P Belawan yang berpakaian preman untuk pemeriksaan lebih lanjut. Taufik sekarang sedang menjadi DPO karena menghilang dan tidak tau bagaimana kabar dan keadaan sepeda motor yang telah dicuri tersebut.

Akibat dari perbuatan terdakwa ini menyebabkan korban Syarifuddin Sihombing mengalami kerugian sebesar Rp. 14.000.000,- (empat belas juta rupiah).

2. Dakwaan

Surat dakwaan merupakan salah satu tugas Jaksa Penuntut Umum, surat dakwaan dibacakan pada permulaan sidang, selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila

Referensi

Dokumen terkait