GAMBARAN KEPRIBADIAN SUKU BANGSA BATAK TOBA
DI PEMATANGSIANTAR
MENGGUNAKAN BIG FIVE INVENTORY
SKRIPSI
Guna memenuhi persyaratan
Sarjana Psikologi
Oleh:
SURYATI MAHDALENA SIANIPAR
031301042
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Suyati M. Sianipar : 031301042
Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory
X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.
Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.
Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008
Suyati M. Sianipar : 031301042
Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory
X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.
Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.
Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebudayaan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang dunia, yaitu
cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau
optimisme. Selanjutnya pemahaman tentang dunia tersebut memberikan
pemahaman tentang manusia dan perilaku serta nilai-nilai yang mendasarinya.
Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk
menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya,
kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku tertentu
(Harahap dan Siahaan, 1987). Pemantapan perilaku tersebut dapat terlaksana
dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan,
upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat (Purba, 2004).
Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa individu sejak kecil telah
dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, sehingga hal
itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwanya dan tidak dapat diganti dengan
nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Proses pemberian pengaruh itu
merupakan proses internalisasi nilai budaya yang terjadi sepanjang hidup.
Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat,
nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.
Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang
tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi,
membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan individu secara tidak langsung melalui
konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda
pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain
dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).
Matsumoto dan Juang (2004) juga menambahkan bahwa kekhasan suatu
budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena
setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara
individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu
munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya. Dewi (2004)
memberi contoh fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni orang akan marah
ketika orang lain yang usianya jauh lebih muda memanggilnya dengan
menggunakan nama saja, tanpa diawali kata sapaan seperti ‘kakak’, ‘ibu’, ataupun
‘bapak’. Hal ini tidak berlaku pada kebanyakan orang Amerika, sehingga dapat
disimpulkan bahwa cara memanggil dengan menggunakan hanya nama dapat
menjadi penyebab munculnya kemarahan pada orang Indonesia yang tidak
berlaku bagi orang Amerika. Lebih lanjut Dewi mengatakan bahwa latar belakang
budaya yang berbeda mengakibatkan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah
yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitiannya yang menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai anteseden kemarahan
interpersonal, trait-anger, anger expression-in, anger expression control-out, dan
anger expression control-in pada orang Batak dan orang Jawa. Orang Batak
terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan trait-anger cukup
Suku bangsa Batak Toba adalah salah satu dari enam suku bangsa Batak
yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi,
Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Sibeth, 1991; Bangun dalam
Koentjaraningrat, 2002). Suku bangsa Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli
Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau
Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah
dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara
(ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten
Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong),
Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul) (Wikipedia, 2007).
Selain di daerah-daerah tersebut, suku bangsa Batak Toba juga banyak tersebar di
Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini
terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
kota Pematangsiantar tahun 2006. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk
kota Pematangsiantar dirinci menurut suku bangsa dan kecamatan.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan
Kecamatan/ Distrik
Suku Bangsa
Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak
Siantar Marihat 37 680 1.150 26.602 654 30
Siantar Selatan 28 1.088 1.345 14.142 441 13
Siantar Barat 688 367 1.666 8.954 4.646 17
Siantar Utara 317 321 3.885 24.303 4.042 39
Siantar Timur 190 1.134 4.683 26.448 1.784 100
Siantar Martoba 394 811 3.806 17.203 2.441 51
Jumlah 1.654 4.401 16.490 117.652 14.008 250
Lanjutan....
Kecamatan/ Distrik
Suku Bangsa
Nias Jawa Minang Cina Aceh Lainnya
Siantar Marihat 150 2.904 31 28 34 256
Siantar Selatan 100 1.300 126 2.667 13 437
Siantar Barat 126 21.371 1.769 3.052 263 5.132
Siantar Utara 137 8.700 2.965 1.688 91 4.499
Siantar Timur 298 5.380 526 1.865 101 1.363
Siantar Martoba 265 23.745 566 269 212 962
Jumlah 1.076 63.400 5.974 9.569 714 12.649
Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007
Berdasarkan hasil wawancara dengan Praeses1 HKBP2 (Huria Kristen Batak
Protestan) Distrik V Sumatera Timur3(termasuk kota Pematangsiantar), Pendeta
DR. Plasthon Simanjuntak, tanggal 3 Mei 2008, mengungkapkan bahwa adat
Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola
hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna
mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya.
Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba yang ada
di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba
yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.
Suku bangsa atau etnis dapat diartikan sebagai identitas sosial, berasal dari
garis keturunan atau budaya asal, yang juga dipengaruhi oleh budaya di
lingkungan tempat tinggalnya (Helms dalam Dalton, Elias, dan Wandersman,
2001). Suku bangsa seseorang tampak dalam bahasa, adat, nilai-nilai, ikatan
sosial, dan berbagai aspek lain dari subjektif budaya, bukan dari penampilan
fisiknya (Feagin & Feagin dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku
bangsa Batak Toba adalah individu yang berasal dari (keturunan) suku bangsa
sehingga marga yang dimiliki seorang anak suku bangsa Batak Toba adalah
berasal dari marga ayahnya.
Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang artinya tiga
tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial tersebut adalah Hula-hula
(pihak keluarga ibu atau pemberi istri), Boru (keluarga saudara perempuan atau
penerima istri), dan Dongan Tubu (anggota keluarga yang berasal dari satu
keturun atau teman semarga). Falsafah hidup suku bangsa Batak Toba yang
berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba marhula-hula, elek
marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada Hula-hula, ramah dengan
melakukan pendekatan/membujuk Boru, dan berhati-hati dalam menjaga
hubungan baik dengan teman semarga. Ketiga status sosial tersebut akan dijalani
oleh setiap suku bangsa Batak Toba (yang sudah menikah, suami dan istri)
sehingga hubungan kekerabatan berupa Dalihan Na Tolu mendidik suku bangsa
Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka. Dalam kehidupan
sehari-hari, konsep Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi
landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan suku bangsa Batak
Toba. Sistem kekerabatan tersebut tidak bertujuan menciptakan sistem kelas atau
kasta melainkan untuk membangun hubungan saling mengasihi dan menghormati
agar tetap bersatu dan bekerjasama (Harahap dan Siahaan, 1987; Simanjuntak,
2000).
Simanjuntak (2000) menjelaskan bahwa demokrasi dalam suku bangsa
Batak Toba diartikan sebagai demokrasi yang kolektif, yaitu cara/seni yang
status sosial dalam Dalihan Na Tolu mengindikasikan bahwa Hula-hula memiliki
status khusus atau paling tinggi. Hal ini dikarenakan suku bangsa Batak Toba
percaya bahwa Hula-hula adalah sumber berkat dan perlindungan bagi Boru. Hal
inilah pula yang mengharuskan Boru memberikan hormat pada Hula-hula dan
menganggap Hula-hula sebagai ‘raja’ atau pemimpin. Hula-hula disisi lain
diharapkan membina hubungan yang baik dengan Boru secara
persuasi/membujuk. Hula-hula diharapkan berhati-hati menjalankan fungsinya
sebagi ‘raja’, bukan berarti Hula-hula memiliki posisi yang tinggi dapat
memperlakukan Boru secara bebas karena Boru adalah pendukung kehidupan
Hula-hula. Semakin banyak Boru, maka dapat diartikan semakin besar kekuasaan
Hula-hula, dan tanpa ada Boru, Hula-hula tidak memiliki arti karena tidak
memiliki kekuasaan. Budaya Batak Toba juga mengajarkan seseorang untuk
berhati-hati dengan Dongan Tubu. Dongan Tubu merupakan saudara sehingga
memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama. Kesamaan atau kesetaraan
tersebut sering menjadi motivator Dongan Tubu untuk bersaing mendapatkan hak,
status, kehormatan, dan sebagainya, yang kemudian berpeluang besar
menimbulkan konflik. Itulah sebabnya setiap orang berhati-hati dalam menjaga
hubungan baik dengan Dongan Tubu.
Kemandirian suku bangsa Batak Toba di dalam Dalihan Na Tolu
menghasilkan potensi konflik yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan
lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut
dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late
menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit
menyatakan dirinya telah gagal.
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi
(emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari
budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa
Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada
mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pada
satu sisi hal tersebut dapat mempercepat penyelesaian konflik namun di sisi lain
menciptakan benturan fisik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan atau
agresivitas. Lebih lanjut ia membandingkannya dengan suku bangsa Batak
Simalungun yang memiliki kontrol diri lebih tinggi dan tidak terbuka
menyelesaikan konflik sehingga benturan lebih terhindari. Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat dikatakan bahwa suku bangsa Batak Toba pada umumnya kurang
memiliki kontrol diri.
Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula sembilan nilai budaya Batak
yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi
(haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,
hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang
sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan),
dan hasangapon (kehormatan), yang dalam pembahasan selanjutnya disingkat
dengan misi budaya 3H. Misi budaya tersebut juga dituangkan dalam lagu yang
diciptakan oleh Nahum Situmorang berjudul Marragam-ragam, berikut ini
Marragam-ragam do sita-sita di hita manisia
Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma Hamoran, Hagabeon, Hasangapon ido dilului na deba Inna deba asalma tarbarita goarna tahe....
DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan hasangapon adalah cita-cita suku
bangsa Batak Toba yang dicapai dengan adanya hagabeon dan hamoraon. Konsep
hasangapon ini menyatu dengan ide-ide dan beritegrasi dengan kepribadin suku
bangsa Batak Toba. Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa
Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu
dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak (Harahap dan Siahaan, 1987).
Adanya konflik dalam kebersamaan merupakan hal yang unik dalam
kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi suku non-Batak sukar difahami.
Oleh sebab itu hubungan suku bangsa Batak Toba dengan suku bangsa lain sering
menimbulkan salah pengertian. Kebebasan mengemukakan pendapat pada suku
bangsa Batak Toba mungkin akan mengalami benturan bila suku bangsa Batak
Toba terlibat dalam masalah yang menyangkut diri orang lain dari suku bangsa
lain yang menganut budaya hubungan manusia atas-bawah dan tertutup. Suku
bangsa Batak Toba dapat saja memberi kesan kepada suku lain sebagai orang
yang suka turut campur urusan orang lain, atau melanggar tata krama sopan
santun, meskipun menurut ukuran nilai budaya tradisional suku bangsa Batak
Toba, keterlibatan itu adalah wajar atau bahkan wajib (Harahap dan Siahaan,
1987).
Junjungan dan Zulkifli (dalam Lubis, 2005) menjelaskan bahwa bukti
hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga
memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Sedemikian
seringnya terjadi konflik, sehingga tidak heran muncul anggapan sinis yang
mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba senang berkelahi dan bahkan terdapat
stereotip yang mendukung penilaian yang demikian, yaitu cara berbicara atau
berkomunikasi suku bangsa Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan
amarah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi (2005) yang menunjukkan
bahwa suku Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya. Sebagai
tambahan, Harahap dan Siahaan (1987) mengatakan bahwa suku bangsa Batak
Toba lebih agresif dibanding suku Batak Angkola-Mandailing.
Nadapdap (dalam Lubis, 2005) menggambarkan bahwa secara umum pada
diri manusia Batak Toba terdapat dualisme kepribadian. Di satu sisi mereka
adalah manusia yang senang bekerja, senang mengumpulkan harta, senang
mengabdi pada Tuhan, mencintai masyarakat, dan pandai bergaul. Di sisi lain
mereka juga adalah manusia yang pencemburu, pesaing, tidak kenal kompromi
dan belas kasihan, serta sering bertindak destruktif, yakni mencari segala macam
cara untuk bisa merusak bahkan melenyapkan harta dan atau nama baik orang
yang menjadi saingannya.
Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang
memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat
menggambarkan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan
bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah
kepribadian secara umum dipandang sebagai kumpulan karakter perilaku dan
kognitif, trait atau predisposisi seseorang yang relatif menetap pada berbagai
situasi, konteks, dan dalam berhubungan dengan orang lain, serta membentuk
perbedaan individual (Matsumoto dan Juang, 2004).
Hal yang perlu diperhatikan ketika melihat konstruk kepribadian dalam
suatu budaya adalah indigenous personality dan cultural psychology. Indigenous
personality (kepribadian pribumi) merupakan kumpulan trait kepribadian dan
karakteristik yang ditemukan hanya pada budaya tertentu. Cultural psychology
(psikologi budaya) dan kepribadian bukanlah hal yang terpisah, melainkan
merupakan sistem yang saling menguntungkan, masing-masing memelihara dan
membentuk yang lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi
(Matsumoto dan Juang, 2004). Hasil penelitian menggunakan Big Five
Personality atau yang dikenal juga dengan Five Factor Model (FFM),
menunjukkan tampilan kepribadian yang berbeda pada budaya yang berbeda
(Santrock, 2003). Cina, Jepang dan Filipina menunjukkan openness yang rendah
(De Raad dalam Pervin, 2005). Penelitian menggunakan trait personality pada
budaya Asia menunjukkan mereka lebih membiasakan diri pada hubungan
individual dengan keluarga dan kelompok sosial dari pada trait kepribadian
individu yang tertutup (Pervin, 2005). Penelitian lain menyatakan orang dewasa di
Hong Kong rendah pada extroversion daripada di Inggris dan pada anak-anak di
Hong Kong rendah pada extroversion dan neuroticism daripada di Inggris
Teori yang menggambarkan kekonsistenan kepribadian adalah Trait
Theory oleh Allport (dalam Lahey, 2005). Trait adalah pola perilaku (pikiran,
tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran
kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait
(Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality
traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu
neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan
concientiousness.
Big Five Personality adalah konsep model yang dibuat berdasarkan
dimensi kepribadian yang jelas dan mendasar yang tampil universal untuk semua
orang. Model ini diawali oleh berbagai penelitian Eysenk dengan menggunakan
EPQ yang banyak mendukung bahwa extroversion dan neuroticism bersifat stabil,
skala kepribadian yang universal. Berbagai penelitian lintas budaya mengenai
validitas FFM belakangan ini dilakukan untuk mendukung universalitas tersebut,
termasuk pula penelitian ini. Universalitas FFM menggambarkan bahwa semua
manusia memiliki struktur kepribadian yang mirip yang dapat dikarakteristikkan
oleh lima trait atau dimensi Big Five Personality tersebut (Matsumoto dan Juang,
2004).
Peneliti kepribadian, sama seperti ilmu-ilmu lain, mengandalkan
pengukuran data konkrit yang dapat digunakan untuk menguji “what people are
like”. Dalam hal inilah Big Five memegang peranan penting. Big Five mula-mula
berasal dari dua tim penelitian yang berdiri sendiri di tahun 1970-an—Paul Costa
Warrent Norman (di University of Michigan) dan Lewis Goldberg (di University
of Oregon)—yang melakukan cara sedikit berbeda dengan hasil sama:
kebanyakan trait kepribadian manusia dapat dipersempit menjadi lima dimensi
kepribadian, tanpa memperhatikan bahasa maupun budaya. Kelima dimensi ini
diperoleh dengan menanyakan ribuan orang dengan ratusan pertanyaan kemudian
menganalisa data menggunakan prosedur statistik yang dikenal dengan analisa
faktor (outofservice, 2002). Big Five dibangun menggunakan pendekatan Lexical
Hypothesis yang menyatakan bahwa hampir semua perbedaan kepribadian orang
yang menonjol dan tampak dalam kehidupannya dikenal dalam bahasanya
(wikipedia, 2007).
Big Five merupakan model gambaran kepribadian yang secara empiris
berdasarkan fenomena, bukan teori, sehingga dapat digunakan dalam berbagai
area penelitian psikologis (Srivastava, 2008; wikipedia, 2007). Kelima faktor Big
Five atau FFM juga dikenal dengan model kepribadian OCEAN atau CANEO
karena akronim yang terbentuk dari huruf-huruf inisialnya, yaitu Openness to
experience, Concientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism.
Pengelompokkan trait didasarkan pada generalisasi perhitungan statistik sehingga
mungkin saja terjadi pengecualian pada profil kepribadian seseorang (wikipedia,
2007) namun tentu saja lebih banyak benarnya daripada salah (outofservice,
2002).
Barent Roberts dan beberapa ahli psikologi (dalam Srivastava, 2008)
mengatakan bahwa pengaruh lingkungan (seperti aturan sosial) turut berinteraksi
(dalam John dan Srivastava, 1999) menemukan bahwa dalam Big Five, konsep
trait dan state digabungkan. State adalah konsep asli kepribadian yang lebih
mudah berubah-ubah, ringkas, dan disebabkan faktor eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang
dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi
conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba
mungkin berhubungan dengan dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di
sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal
kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor
di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang
keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin
dapat dilihat sebagai traitneuroticism.
Sarlito (dalam Atmosiswoyo, dkk., 1999) menyatakan pentingnya
mempelajari keragaman budaya untuk menjaga integrasi bangsa, dalam hal ini
bangsa Indonesia. Pengakuan akan keragaman atau eksistensi suatu suku bangsa
merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu peneliti melakukan
penelitian deskriptif pada salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa
Batak Toba. Penelitian mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba
menggunakan Big Five Inventory (BFI) belum pernah dilakukan sehingga peneliti
tertarik untuk melakukannya. Penelitian ini mengunakan skala Oliver’s Big Five
I.B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran
kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five
Inventory (BFI).
I.C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Penggambaran
kepribadian suku bangsa Batak Toba ini menggunakan Big Five Inventory (BFI)
yang diadaptasi dan dimodifikasi.
I.D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana
pengetahuan di bidang Psikologi Sosial, khususnya mengenai suku bangsa
Batak Toba. Penelitian ini diharapkan pula mampu menjadi landasan
penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan:
a. Informasi bagi pengamat sosial dalam mengamati dan menganalisa
kondisi dan fenomena sosial yang terjadi yang berkaitan dengan suku
b. Informasi bagi masyarakat khususnya yang berinteraksi dengan suku
bangsa Batak Toba, sehingga mereka dapat lebih arif dalam
memberikan respon terhadap perilaku suku bangsa Batak Toba.
c. Informasi bagi pihak-pihak pengembang yang berhubungan dengan
suku bangsa Batak Toba sehingga dapat meningkatkan integrasi
bangsa dan menghindari konflik yang destruktif.
I.E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan
suku bangsa Batak Toba dan Big Five Personality.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode
pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan metode analisis data.
Penelitian ini bersifat kuantitatif, dengan sampel penelitian adalah suku
dengan teknik pengambilan sampel proportional incidental sampling.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Big Five
Personality yang diadaptasi dan dimodifikasi. Metode analisis data
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. SUKU BANGSA BATAK TOBA
II.A.1. Sistem Sosial Batak Toba
Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara
manusia dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba diatur dalam sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi ciri khas kebudayaan
Batak. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan
kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, yaitu
tokoh-tokoh yang paling dekat dalam kehidupannya terutama ibu, ayah, dan
saudara-saudaranya. Orang lain di luar dirinya secara evolusionistis diperkenalkan
sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bersamaan dengan
perkenalan orang-orang lain itu diperkenalkan kepadanya marga dan nilai yang
terkandung di dalamnya, lengkap dengan aturan Dalihan Na Tolu yaitu somba
marhula-hula (hormat pada hula-hula), elek marboru (membujuk pihak boru),
dan manat mardongan tubu (baik kepada suhut). Diperkenalkan pula kepadanya
silsilah keluarga batih, hula-hula, boru dan marga Batak pada umumnya. Proses
sosialisasi awal ialah perkenalan tutur, panggilan kekerabatan lengkap dengan
kata-kata kunci yang terdapat dalam perbendaharaan hubungan kekerabatan
berdasar Dalihan Na Tolu.
Sosialisasi Dalihan Na Tolu yang mencakup marga, silsilah, dan tutur
sangat mahir dalam pemaparan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan
silsilah marga-marga. Hal ini terlihat ketika suku bangsa Batak Toba yang baru
berkenalan bertemu, pertanyaan pertama yang selalu diajukan masing-masing
adalah “Aha margam?” (Apa marga-mu?). Solidaritas marga yang kuat sekali
pada suku bangsa Batak Toba sudah dikenal secara luas. Solidaritas marga atau
antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat
dengan adanya punguan, perkumpulan marga dohot boruna, dan perkumpulan
huta yang anggotanya terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987).
Simanjuntak (2000) menyatakan bahwa sistem sosial Batak Toba
mendukung terciptanya persatuan, solidaritas, dan persamaan dalam kehidupan
suku bangsa Batak Toba. Hal ini kemudian menciptakan komunikasi yang
harmonis. Ketiga status sosial dalam Dalihan Na Tolu lebih menekankan pada
hasangapon (rasa hormat) dari pada superioritas.
Dalihan Na Tolu sebagai jaringan kekerabatan mengajarkan hak dan
kewajiban yang setara di antara ketiga unsurnya: Dongan Sabutuha/Kahanggi,
Hula-hula/Mora, dan Boru/Anak Boru. Hubungan kekerabatan berdasar Dalihan
Na Tolu mengajarkan solidaritas dan penghargaan kepada orang lain. Setiap orang
Batak Toba mempunyai kedudukan sebagai Hula-hula, Boru, dan Suhut (Dongan
Tubu). Hubungan kekerabatan seperti ini mendidik suku bangsa Batak Toba
II.A.2. Nilai Budaya Batak Toba
Harahap dan Siahaan (1987) mengungkapkan sembilan nilai budaya yang
utama pada suku bangsa Batak Toba yaitu:
1. Kekerabatan
Mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan
darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu,
dan Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon
(Cendikiawan) serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan
karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
2. Religi
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang
datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta
hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.
3. Hagabeon
Mencakup banyak keturunan dan panjang umur. Dalam upacara pernikahan
Batak dikenal ungkapan tradisional yang mengharapkan agar kelak pengantin
baru dikaruniakan 17 putra dan 16 putri. Hal ini menunjukkan bahwa sumber
daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya
dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya
dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing
yang sangat tinggi.
Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur Matua Bulung
pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak,
karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33
orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
4. Hasangapon
Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan suatu nilai
utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi
dorongan yang sangat kuat pada suku bangsa Batak Toba untuk meraih
jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma, dan
kekuasaan itu.
5. Hamoraon
Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong
orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang
banyak.Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.
6. Hamajuon
Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai
budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh
pelosok tanah air. Pada abad yang lalu Sumatra Timur dipandang sebagai
daerah rantau, tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya
telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau
meningkatkan daya saingnya.
7. Hukum
Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum
menegakkan kebenaran dan berkecimpung dalam dunia hukum merupakan
dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi
pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba,
sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan
hak-hak asasi. Hal ini tampil dalam kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat
nama orang-orang Batak dalam daftar penegak hukum, baik sebagai jaksa,
pembela, maupun hakim. Contohnya, Hotman Paris Hutapea, SH.; Hotman
Sitompul, SH.; Ruhut Sitompul, SH.; dan Juan Felix Tampubolon, SH.
8. Pengayoman
Kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan
nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian
yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi
kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
9. Konflik
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan
dengan yang ada pada Batak Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari
perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber konflik pada orang
Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi
karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain
hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi
orang Toba.
Persentase pemaknaan pesan budaya ke dalam sembilan nilai budaya
1. Kekerabatan 34,33 %
2. Ketuhanan (Religi) 17,25 %
3. Hagabeon 12,32 %
4. Hukum 12,25 %
5. Hamajuon 6,87 %
6. Konflik 5,28 %
7. Hamoraon 4,58 %
8. Hasangapon 3,70 %
9. Pengayoman 3,52 %
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pada suku bangsa Batak Toba
kedudukan nilai kekerabatan dan ketuhanan sangat tinggi yaitu di atas nilai-nilai
yang lain, dan kedua nilai tersebut menjadi ciri khas suku ini. Tiga dari sembilan
nilai utama itu yaitu: Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur),
Hamoraon (kaya raya), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) dipandang
sebagai misi budaya orang Batak, yang juga dikenal sebagai misi budaya 3H.
Perjuangan meraih misi budaya 3H melatih suku bangsa Batak Toba untuk
mandiri dan dinamik. Orang yang bukan suku Batak dapat saja memandang
perilaku suku bangsa Batak Toba dalam hal-hal tertentu sebagai pelanggaran
tatakrama, tetapi bila orang luar tersebut memahami misi budaya 3H maka ukuran
pelanggaran itu mungkin akan berbeda (Harahap dan Siahaan, 1987).
Pada suku bangsa Batak Toba misi budaya 3H berada pada urutan ketiga,
ketujuh, dan kedelapan. Terdapat tiga nilai yang menyekat urutan itu yaitu:
mencapai hasil misi budaya 3H didahului oleh pergulatan menegakkan hukum,
perjuangan meraih kemajuan dan kehidupan berkonflik yang hampir tidak
berkesudahan. Oleh sebab itu pula nilai kesembilannya adalah pengayoman.
Selebihnya perjuangan hidupnya dijalani dalam suasana hubungan primordial
yang kuat, kehidupan keagamaan dan jaringan ikatan kekerabatan dalam
lingkungan keluarga besar. Keluarga besar dapat berskala lingkungan Dalihan Na
Tolu, tetapi pada tingkat yang lebih luas, dapat pula berarti ikatan primordial
Batak yang di dalamnya tercakup seluruh puak-puak Batak. Kekerabatan, religi,
dan hagabeon itulah yang menjadi modal dasar spiritual suku bangsa Batak Toba
dalam perjalanan hidupnya. Dalam keadaan sedih maupun gembira, mereka
senantiasa berada dalam suasana ikatan ketiga nilai budaya utama ini.
Konsep hagabeon sesungguhnya berakar dari budaya bersaing pada jaman
purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta.
Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.
Hagabeon adalah dasar mencapai hamoraon dan hasangapon. Banyak anak berarti
banyak tenaga untuk bekerja sehingga lebih produktif dan mencapai hamoraon.
Hagabeon dan hamoraon adalah akses untuk mencapai hasangapon. Hasangapon
merupakan tujuan utama dan paling penting dalam kehidupan suku bangsa Batak
Toba. Kepercayaan suku bangsa Batak Toba bahwa mereka adalah keturunan raja
berhubungan erat dengan hasangapon sehingga mereka tidak perlu memiliki
jabatan agar dihormati. Pelaksanaan adat seperti memotong kerbo untuk pesta
bila dikaitkan dengan teori Maslow dapat diidentikkan dengan aktualisasi diri
(Simanjuntak, 2000; Harahap dan Siahaan, 1987).
Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba
yang dinamik, keras (horas), dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam
kebersamaan dan berkonflik dalam kesolidaritasan secara serentak. Inilah yang
unik dari kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar
difahami. Di tengah-tengah suasana persaingan yang tinggi, solidaritas tetap
terpelihara untuk mencapai tujuan bersama yaitu kaya raya. Hal ini merupakan
mentalitas yang unik, menjaga solidaritas dalam suasana persaingan.
II.A.3. Suku Bangsa Batak Toba di Pematangsiantar
Suku bangsa Batak Toba banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi
suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun
2006, yaitu sebanyak 117.652 (47,47%). Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan
bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat
pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan
sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan
adatnya. Suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya
berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan
II.B. BIG FIVE PERSONALITY
II.B.1. Batasan Big Five Personality
Kata personality (kepribadian) berasal dari kata persona (bahasa Latin)
yang merujuk pada kedok atau topeng yang dipakai oleh pemain-pemain
panggung dalam drama untuk mengembangkan peran atau penampilan yang
berbeda. Definisi ini tidak dapat diterima karena kepribadian tidak hanya dilihat
sebagai peran yang dimainkan seseorang (Feist dan Feist, 2002).
Personality is the sum-total of actual or potential behavior-patterns of organism as determined by heredity and environment (Eysenck dalam Suryabrata, 2002, h. 288).
Eysenck menjelaskan bahwa kepribadian merupakan kumpulan pola perilaku
yang tampak maupun berupa kecenderungan perilaku yang ditentukan oleh
bawaan dan lingkungan.
McAdams (dalam Cavanaugh, 2006) menggambarkan tiga tingkatan
paralel struktur dan fungsi kepribadian yang masing-masing tingkatan meliputi
berbagai konstrak kepribadian. Ia mengarahkan tingkatan tersebut dengan nama
yang cukup umum: dispositional traits, personal concerns, dan life narrative.
Dispositional Traits mencakup aspek kepribadian yang konsisten untuk semua
konteks yang berbeda dan dapat dibandingkan antarkelompok dengan tingkatan
pengelompokkan tinggi-rendah. Dispositional Traits adalah tingkatan kepribadian
yang pertama sekali dipikirkan oleh kebanyakan orang, dan disimpulkan secara
umum melalui skrip seperti pemalu, suka bicara, otoriter, dan ramah. Personal
Concerns mencakup hal-hal penting, tujuan, dan pusat perhatian dalam hidupnya.
strategi; ditunjukkan oleh taraf hidupnya saat itu. Life Narrative mencakup aspek
kepribadian yang mencakup keseluruhannya. Aspek-aspek integratif ini
menunjukkan jati dirinya sendiri atau sense of self. Bentuk kepribadian dari
dimensi Big Five adalah hasil dari tingkat dispositional traits.
Costa dan McCrae (dalam Cavanaugh, 2006) membuat tiga asumsi tentang
trait. Pertama, trait didasarkan pada perbandingan individual, karena tidak ada
standart kuantitatif absolut untuk konsep seperti friendliness (bersahabat). Kedua,
kualitas atau perilaku dari trait harus cukup jelas untuk menghindari kebingungan.
Ketiga, trait diberikan kepada orang tertentu yang diasumsikan sebagai
karakteristik yang stabil. Ketiga asumsi ini tercakup dalam definisi trait sebagai
berikut.
a trait is any distinguishable, relatively enduring way in which one individual differs from others (Guilford dalam Cavanaugh, 2006, p. 344).
Selama tiga dekade para trainer dan konsultan pada umumnya mengikuti
asumsi Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) namun sekarang model kepribadian
yang lebih diterima dan digunakan adalah Big Five (Howard dan Howard, 2004).
Model ini sangat didasarkan dari penelitian-penelitian cross-sectional,
longitudinal, dan penelitian selanjutnya (Costa dan McCrae dalam Cavanaugh,
2006).
II.B.2. Definisi Big Five Personality
Big Five adalah lima trait atau dimensi dasar yang sekarang ini menjadi
2005). Howard dan Howard (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi
Big Five Personality seperti sebuah paket yang mencakup seperangkat trait
kemudian cenderung terjadi bersamaan. Definisi kelima faktor tersebut
menunjukkan usaha untuk menggambarkan elemen umum dari sejumlah trait atau
sub-faktor, di dalam masing-masing “paket”. Paket trait yang paling umum
diterima adalah yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae tahun 1992.
Tatanamanya dibentuk untuk populasi akademik dan klinis. Trait adalah pola
perilaku tertentu (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap pada
berbagai situasi (Lahey, 2005).
II.B.3. Dimensi Big Five Personality
McCrae dan Costa (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan dimensi Big
Five Personality yaitu terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to
experience, agreeableness, dan conscientiousness. Masing-masing dimensi ini
memiliki enam facets.Facets adalah trait yang lebih spesifik atau komponen yang
menggambarkan masing-masing cakupan faktor Big Five itu. Tiga dimensi
pertama (neuroticism, extraversion, dan openness to experience) merupakan
dimensi yang paling sering diteliti. Skala yang menggunakan ketiga dimensi ini
itu disebut NEO-PI. Dua dimensi yang kemudian ditambahkan setelah tahun
1980-an bertujuan memberi data tambahan dan mendekatkan teori ini dengan teori
trait lainnya. Kemudian skala direvisi menjadi NEO-PI-R yang juga dikenal
Neuroticism. Enam facets neuroticism yaitu anxiety, self–consciousness,
deppresion, vulnerability, impulsiveness, dan hostility. Anxiety dan
hostility merupakan trait penting untuk dua emosi dasar: fear (rasa takut)
dan angry (perasaan marah). Meskipun individu mengalami emosi ini pada
beberapa waktu, frekuensi dan intensitasnya berbeda-beda pada setiap
orang. Orang yang tinggi traitanxiety bersifat nervous, high-strung, tense,
worried, dan pessimistic. Selain cenderung anger, orang yang hostile
mudah marah dan cenderung sulit bersama orang lain untuk waktu yang
lama. Trait self–consciousness dan depresi berhubungan dengan emosi
duka cita (sorrow) dan perasaan malu (shame). Individu yang memiliki
self–consciousness tinggi cenderung sensitif akan suatu perasaan dan
merasa tidak berarti. Trait depresi menyangkut perasaan sedih, putus asa,
kesepian, bersalah, dan rendah diri. Dua facets terakhir dari neuroticism
-impulsiveness dan vulnerability-paling sering dimanifestasikan sebagai
perilaku daripada emosi. Impulsiveness adalah kecenderungan menyerah
pada godaan dan hasrat karena rendahnya tekad dan kontrol diri. Hasilnya,
orang yang impulsif sering melakukan sesuatu berlebihan, sperti
overeating dan overspending. Mereka juga lebih senang merokok, berjudi,
dan menggunakan obat-obatan. Vulnerability mencakup kurangnya
kemampuan mengatasi stress. Vulnerable people cenderung sangat
tergantung pada bantuan orang lain. Secara umum orang yang tinggi pada
dimensi ini cenderung memiliki skor yang tinggi pada masing-masing trait
tipikal memunculkan kekerasan dan emosi negatif untuk mencampuri
orang lain dalam menyelesaikan masalah atau untuk bersama orang lain.
Extraversion. Keenam facets dari extraversion dapat dikelompokkan
dalam tiga interpersonaltrait (warmth, gregariousness, dan assertiveness)
dan tiga temperamental trait (activity level, excitement seeking, dan
positive emotions). Warmth, atau kelekatan, adalah bersahabat, memiliki
hasrat untuk bersama orang lain, dan ingin menghibur orang lain/terharu.
Warmth dan gregariousness (hasrat untuk bersama orang lain)
menjadikannya orang yang kadang disebut suka bergaul. Orang yang
gregarious hidup dalam kerumunan; terdapat banyak interaksi sosial.
Orang yang assertif menjadi pemimpin secara alami, mudah mengambil
tanggung jawab, memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu
mengemukakan pikiran dan perasaannya. Mereka senang dengan
kesibukan, berbicara cepat, dan selalu berusaha mencari situasi yang
menantang. Temperamental, orang extravert senang untuk selalu sibuk;
mereka terlihat mempunyai energi yang tidak terbatas, berbicara cepat, dan
ingin terburu-buru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang
mengasikkan, penuh semangat, dan selalu berusaha mencari situasi yang
menantang. Aktif di sini, gaya hidup penuh semangat yang jelas
merupakan emosi positif orang extravert. Mereka contoh dari nafsu,
kegembiraan hati, dan kesenangan. Aspek yang menarik dari extraversion
adalah bahwa dimensi ini sangat berhubungan dengan ketertarikan akan
people-oriented job, seperti pekerja sosial, administrasi bisnis, dan sales. Mereka
menghargai tujuan kemanusiaan dan menggunakan kekuatan
person-oriented. Orang yang rendah extravertion cenderung task-oriented job,
seperti arsitektur dan akuntan.
Openness to experience. Keenam facets dari openness to experience
menggambarkan enam area yang berbeda. Dalam area fantasi, openness
artinya memiliki imajinasi yang hidup dan active dream life. Dalam hal
seni, openness terlihat dalam mengapresiasikan seni dan kecantikan,
sensitif pada pengalaman yang ia alami sendiri. Keterbukaan pada
tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru,
baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata baru.
Orang yang terbuka pada ide dan nilai yang untuk diketahui. Orang yang
terbuka cenderung open-minded pada nilai-nilainya, selalu mengakui
bahwa hal-hal yang benar untuk seseorang mungkin tidak benar bagi orang
lain. Pandangan ini hasil langsung dari keinginan individu terbuka
mempertimbangkan kemungkinan yang berbeda dan kecenderungan
mereka untuk berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Orang
yang terbuka juga merasakan perasaan yang dalam dan memandang
mereka sebagai sumber utama makna hidup. Maka tidak mengherankan
openness to experience juga berhubungan dengan pilihan pekerjaan. Orang
yang open senang pada pekerjaan yang memerlukan pikiran teoritis atau
filosofis dan kurang memandang nilai ekonomis. Secara tipikal mereka
tekanan. Pekerjaan seperti psikolog atau pengajar patut dipertimbangkan
untuk orang open.
Agreeableness. Cara mudah untuk mengerti dimensi ini adalah dengan
mengingat trait yang berkarakter antagonis. Orang antagonis cenderung
bermusuhan; skeptis, tidakpercayaan, tidak berperasaan, keras kepala,
tidak simpatik, dan kasar; dan mereka kurang memiliki rasa akan
kelekatan. Antagonis dapat ditunjukkan lebih dari sekedar overt hostility.
Sebagai contoh, orang antagonis ahli memanipulasi atau agresif (cekatan
dan giat) dengan kurang kesabaran. Skor tinggi pada agreeableness,
berkebalikan dengan antagonis, tidak selalu dapat beradaptasi dengan
segala keadaan. Orang ini cenderung terlalu tergantung dan self-effacing,
trait yang selalu mengganggu orang lain.
Conscientiousness. Nilai yang tinggi pada conscientiousness menunjukkan
bahwa individu pekerja keras, ambisi, enerjik, teliti, dan tekun. Seseorang
yang mempunyai dorongan yang kuat untuk membuat sesuatu dengan
tangannya sendiri. Orang yang berkebalikan cenderung lalai, malas,
berantakan, terlambat, tidak punya tujuan, dan tidak tukun/gigih.
II.B.4. Pengukuran Big Five Personality
Big Five Personality dibuat menggunakan pendekatan yang sangat
sederhana. Peneliti mencoba menemukan unit dasar kepribadian dengan
tetapi sehari-hari, orang biasa) untuk menggambarkan kepribadian seseorang
(John, Angleitner, dan Ostendorf dalam Pervin, 2005).
Penyebutan faktor “Big Five” menandakan adanya faktor, dan “Big”
merujuk pada ditemukannya pada masing-masing faktor sejumlah besar trait yang
lebih spesifik; faktor tersebut kebanyakan luas dan abstrak dalam hirarki
kepribadian (Pervin, 2005). Untuk memudahkan mengingat kelima dimensi ini
digunakan huruf awal dari setiap dimensi, menghasilkan kata OCEAN (Openness,
Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism) (John dalam
Pervin, 2005)
Para peneliti menemukan bahwa beberapa versi dari Big Five Personality
sesuai pada orang-orang dari negara yang berbeda, seperti Kanada, Finlandia,
Cina, dan Jepang (Paunonen dkk., dalam Cavanaugh, 2006). Para ahli psikologi
percaya bahwa letak dan konteks budaya secara luas penting dalam Big Five
Personality.
Pada tabel 2 akan dikemukakan ilustrasi skala yang digunakan Costa dan
McCrae dalam mengungkap faktor Big Five Personality.
Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five
Karakteristik
Assesses adjustment vs. emotional instability. Identifies individual prone to psychological distress, unrealistic ideas, excessive cravings or urges, and maladaptive coping responses.
Calm, relaxed,
Assesses quantity and intensity of interpersonal interaction; activity level; need for stimulation;
task-optimistic, fun-loving,
affectionate
and capacity for joy. oriented,
retiring, quiet
Assesses proactive seeking and appreciation of experience for its own sake; toleration for and exploration of the unfamiliar.
Conventional,
Assessesthe quality of one’s interpersonal orientation along a continuum from compassion to antagonism in thoughts, feeling, and actions.
Cynical, rude,
Assesses the individual’s degree of organization, persistence, and motivation in goal-directed behavior. Contrasts dependable, fastidious people with those who are lackadaisical and sloppy.
Sumber: Costa dan McCrae dalam Pervin, 2005, h. 255.
Setiap trait pada Big Five Personality memiliki trait bentuk kebalikannya, yaitu
neuroticism versus emotional stability, extraversion versus introversion, openness
versus closedness, agreeableness versus antagonism, dan conscientiousness
versus lack of direction. Orang yang memiliki skor rendah pada traitneuroticism
akan menunjukkan stabilitas emosi yang tinggi.
II.C. GAMBARAN BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BANGSA
BATAK TOBA DI PEMATANGSIANTAR
Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang
tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi,
individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda
menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian
mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan
Juang, 2004).
Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah suku bangsa Batak Toba.
Dalam suku bangsa Batak Toba terdapat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan
sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak
yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon,
hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari
nilai tersebut dipandang sebagai missi budaya orang Batak, yaitu hagabeon
(anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), Kesemua nilai itu
menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam
kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak.
Hal inilah yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang
non-Batak sukar difahami (Harahap dan Siahaan, 1987).
Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang
memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat
menggambarkan keribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan
bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah
pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten.
Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang
dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi
mungkin berhubungan dengan facetgregariousness di dimensi extroversion yang
tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat
agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan
mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara
berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah,
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan
untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian ini data yang
dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari
penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.
Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan
tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi
mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata,
atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan
data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Faisal, 1995).
Punch (1998) menyatakan bahwa terdapat dua kegunaan dilakukan
penelitian dekriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang
baru, maksudnya sebelum merencanakan/melakukan penelitian yang lebih
mendalam (exploratory studies) lebih baik terlebih dahulu memusatkan perhatian
pada deskripsi yang sistematis terhadap objek penelitian. Kedua, deskripsi yang
tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks dapat membantu memahami
faktor-faktor yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor lain yang perlu diteliti
III. A. PERTANYAAN PENELITIAN
Bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di
Pematangsiantar? Alat tes yang digunakan adalah Big Five Inventory (BFI) yang
diadaptasi dan dimodifikasi. Gambaran ini dilihat melalui skor Z pada
masing-masing subjek dalam kelima dimensi yaitu: neuroticism, extraversion, openness to
experience, agreeableness, dan conscientiousness.
III.B. VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah kepribadian suku
bangsa Batak Toba di Pematangsiantar.
III.C. DEFINISI OPERASIONAL
Kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar diungkap
menggunakan Big Five Inventory yang didasarkan pada teori Big Five
Personality. Big Five Personality menyatakan bahwa kepribadian manusia
mencakup lima dimensi yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience,
agreableness, dan conscientiousness.
1. Neuroticism menyangkut keadaan emosi individu yang tidak stabil,
cenderung distress, memiliki ide yang tidak realistis, keinginan yang
berlebihan, impulsif dan maladaptive coping responses. Orang yang tinggi
trait ini bersifat mudah marah, putus asa, dan memunculkan kekerasan
2. Extraversion menyangkut kuantitas dan kualitas interaksi interpersonal,
kebutuhan akan stimulus, dan kemampuan untuk menikmati kesenangan,
serta individu yang aktif. Orang yang tinggi trait ini memiliki sifat
bersahabat, memiliki hasrat untuk bersama orang lain (suka bergaul),
hidup dalam kebersamaan, mudah mengambil tanggung jawab,
memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu mengemukakan
pikiran dan perasaannya. Ia juga senang untuk selalu sibuk, selalu
berusaha mencari situasi yang menantang, dan memiliki gaya hidup penuh
semangat.
3. Openness menyangkut penghargaan dan berusaha mencari pengalamannya
sendiri, mencari dan mentolerir sesuatu yang tidak biasa. Orang yang
tinggi trait ini memiliki imajinasi yang hidup, cenderung open-minded,
dan berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Individu terbuka
pada tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang
baru, baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata
baru.
4. Agreeableness menyangkut kualitas orientasi personal seseorang dan
menyangkut perasaan, pikiran dan perilaku seseorang berkaitan perasaan
terharu/simpati. Orang yang tinggi trait ini cenderung terlalu tergantung
dan tidak selalu dapat beradaptasi dengan segala keadaan.
5. Conscientiousness menyangkut kecenderungan individu akan organisasi,
ketekunan, dan motivasi dalam berperilaku langsung mencapai tujuan.
enerjik, teliti, dan tekun. Ia mempunyai dorongan yang kuat untuk
membuat sesuatu dengan tangannya sendiri.
Kelima dimensi ini akan diungkap melalui Big Five Inventory. Semakin tinggi
skor yang diperoleh seseorang pada dimensi tertentu maka dimensi tersebut
semakin dominan dalam kepribadiannya.
III.D. POPULASI DAN METODE PENGUMPULAN DATA
III.D.1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh subjek atau objek yang dimaksud untuk diteliti.
Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit
memiliki satu sifat yang sama. Sampel adalah sebahagian dari populasi atau
sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus
mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).
III.D.2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik
nonprobability sampling secara incidental. Incidental sampling adalah pemilihan
sampel yang setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk
dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana pemilihan sampel dari populasi
didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai
dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000).
III.D.3. Jumlah Sampel Penelitian
Pada teknik incidental sampling besarnya sampel tidak diperhitungkan.
berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Peneliti menetapkan
sendiri atau memilih sampling mana yang akan dijadikan sebagai sampel dengan
bertolak pada asumsi bahwa sampel yang diambil memiliki karakteristik tertentu
sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil jumlah
sampel 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar dengan mengikuti
proporsi dari jumlah suku bangsa Batak Toba di masing-masing kecamatan yang
ada di Pematangsiantar.
Semakin besar sampel, akan semakin kecil kemungkinan bias menarik
kesimpulan tentang populasi. Bailey (dalam Soehartono, 2004) berpendapat
bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik,
besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa
banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah
yang minimum. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah.
III.D.4. Karakteristik Populasi Penelitian
Adapun karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Bersuku bangsa Batak Toba,
Ayah & ibu subjek bersuku bangsa Batak Toba, Berusia antara 21 sampai dengan 60, dan
Bertempat tinggal di Pematangsiantar
III.E. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis.
berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak
langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk
butir-butir pernyataan (Azwar, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat
digunakan dalam penelitian beredasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :
1. Subjek adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.
2. Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada penyidik adalah benar dan
dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyidik.
Skala Big Five yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
psikologis yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Oliver’s Big Five Inventory.
Skala ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala terdiri dari pernyataan
dengan enam pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Cukup Sesuai
(CS), Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan
unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4,
bobot penilaian untuk pernyataan favorable, yaitu SS = 6, S = 5, CS = 4, KS = 3,
TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk bobot pernyataan unfavorable, penilaiannya
adalah SS = 1, S = 2, CS = 3, KS = 4, TS = 5, STS = 6.
III. E. 1. Metode Pembuatan Skala
Skala Big Five dalam penelitian ini diadapatasi dari Oliver’s Big Five
Inventory yang berbahasa Inggris sehingga diperlukan proses penterjemahan.
dalam penelitian ini, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemahan
skala psikologi memungkinkan penelitian terhadap ciri-ciri psikologi dalam
konstrak psikologi pada berbagai subjek yang memiliki bahasa yang berbeda dan
budaya yang berbeda (hulin, dkk. dalam Marianti, 2007).
Skala yang telah diterjemahan tidak dapat langsung dianggap setara
dengan skala asal dalam hal isi dan karakteristik skala kerena belum tentu
mempunyai budaya yang sama atau dapat dibandingkan sehingga diperlukan
metode evaluasi terhadap kualitas terjemahan. Metode evaluasi kualitas
terjemahan dalam penelitian ini menggunakan model penerjemahan kembali.
Metode ini paling populer untuk mengevaluasi kesetaraan skala delam dua
bahasa. Model penerjemahan kembali memungkinkan bagi peneliti yang tidak
pasih dalam kedua bahasa untuk mengevaluasi terhadap kualitas terjemahan
dengan membendingkan skala dalam bahasa asal dengan skala yang telah
diterjemahkan kembali dari bahasa sasaran (Gierl, dkk. dalam Marianti, 2007).
Metode penerjemahan kembali ini mencakup 3 tahapan (Hulin, dkk. dalam
Marianti, 2007) yaitu:
1. Skala dalam bahasa asal diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran,
2. Skala dalam bahasa sasaran diterjemahkan ke dalam bahasa asal oleh
penerjemah yang berbeda dan tidak terlibat dalam tahap satu,
3. Peninjau membandingkan antara skala dalam bahasa asal, dalam bahasa
asal yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dan dalam bahasa
sasaran yang telah diterjemakan kembali ke dalam bahasa asal. Tujuan