• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KEPRIBADIAN SUKU BANGSA BATAK TOBA

DI PEMATANGSIANTAR

MENGGUNAKAN BIG FIVE INVENTORY

SKRIPSI

Guna memenuhi persyaratan

Sarjana Psikologi

Oleh:

SURYATI MAHDALENA SIANIPAR

031301042

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Suyati M. Sianipar : 031301042

Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory

X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.

Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.

(3)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Suyati M. Sianipar : 031301042

Gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar Menggunakan Big Five Inventory

X + 73 halaman, julah table 19 Bibliografi (1985-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mengetahui gambaran kepribadian suku bangsa batak toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five Inventor. Kepribadian yang diungkap berupa trait adalah pola perilaku (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait (Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan concientiousness.

Subjek penelitian berjumlah 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling secara proportional. Data yang diperoleh diolah dengan melihat nilai Z pada masing-masing dimensi. Alat ukur yang digunakan adalah skala Big Five Inventory oleh John P. Oliver (Srivasta dan Oliver, 1999) yang diadaptasi dan dimodifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan dimensi neuroticism adalah dimensi yang paling dominan pada suku bangsa Batak Toba secara keseluruhan, baik pria maupun wanita. Dua dimensi berikutnya setelah neuroticism, yang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah extraversion dan openness. Dua dimensi berikutnya yang kurang dominan pada suku bangsa Batak Toba adalah agreeableness dan consciousness.

Hasil tambahan penelitian menunjukkan pada pria, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, openness, consciousness, extraversion, dan yang paling tidak dominan adalah agreeableness. Pada wanita, tingkat dominansi masing-masing dimensi kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dapat diurutkan dari yang paling dominan adalah neuroticism, agreeableness, extraversion, openness, dan yang paling tidak dominan adalah consciousness. Pada dimensi openness, consciousness, extraversion, dan agreeableness, rata-rata subjek memiliki nilai yang tinggi dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan. Pada dimensi neuroticism diperoleh rata-rata subjek memiliki nilai yang rendah pada dimensi neuroticism dibanding rata-rata yang sudah ditetapkan.

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

I. A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kebudayaan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang dunia, yaitu

cara pemilik budaya tersebut memandang dunia, termasuk pesimisme atau

optimisme. Selanjutnya pemahaman tentang dunia tersebut memberikan

pemahaman tentang manusia dan perilaku serta nilai-nilai yang mendasarinya.

Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk

menggerakkan dan mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya,

kebudayaan dapat mengekang atau menahan individu untuk berperilaku tertentu

(Harahap dan Siahaan, 1987). Pemantapan perilaku tersebut dapat terlaksana

dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan,

upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat (Purba, 2004).

Koentjaraningrat (1980) mengatakan bahwa individu sejak kecil telah

dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakatnya, sehingga hal

itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwanya dan tidak dapat diganti dengan

nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Proses pemberian pengaruh itu

merupakan proses internalisasi nilai budaya yang terjadi sepanjang hidup.

Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat,

nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya.

Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang

tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi,

(5)

membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan individu secara tidak langsung melalui

konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda

pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain

dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).

Matsumoto dan Juang (2004) juga menambahkan bahwa kekhasan suatu

budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada masyarakatnya karena

setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas tentang cara

individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu

munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya. Dewi (2004)

memberi contoh fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni orang akan marah

ketika orang lain yang usianya jauh lebih muda memanggilnya dengan

menggunakan nama saja, tanpa diawali kata sapaan seperti ‘kakak’, ‘ibu’, ataupun

‘bapak’. Hal ini tidak berlaku pada kebanyakan orang Amerika, sehingga dapat

disimpulkan bahwa cara memanggil dengan menggunakan hanya nama dapat

menjadi penyebab munculnya kemarahan pada orang Indonesia yang tidak

berlaku bagi orang Amerika. Lebih lanjut Dewi mengatakan bahwa latar belakang

budaya yang berbeda mengakibatkan pengalaman, ekspresi, dan kontrol marah

yang berbeda pula. Hal ini dibuktikan dalam penelitiannya yang menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai anteseden kemarahan

interpersonal, trait-anger, anger expression-in, anger expression control-out, dan

anger expression control-in pada orang Batak dan orang Jawa. Orang Batak

terlihat ekspresif dalam mengungkapkan rasa marahnya dan trait-anger cukup

(6)

Suku bangsa Batak Toba adalah salah satu dari enam suku bangsa Batak

yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi,

Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Sibeth, 1991; Bangun dalam

Koentjaraningrat, 2002). Suku bangsa Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli

Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau

Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah

dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara

(ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten

Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong),

Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul) (Wikipedia, 2007).

Selain di daerah-daerah tersebut, suku bangsa Batak Toba juga banyak tersebar di

Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini

terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

kota Pematangsiantar tahun 2006. Berikut ini disajikan tabel jumlah penduduk

kota Pematangsiantar dirinci menurut suku bangsa dan kecamatan.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan

Kecamatan/ Distrik

Suku Bangsa

Melayu Karo Simalungun Toba Mandailing Pakpak

Siantar Marihat 37 680 1.150 26.602 654 30

Siantar Selatan 28 1.088 1.345 14.142 441 13

Siantar Barat 688 367 1.666 8.954 4.646 17

Siantar Utara 317 321 3.885 24.303 4.042 39

Siantar Timur 190 1.134 4.683 26.448 1.784 100

Siantar Martoba 394 811 3.806 17.203 2.441 51

Jumlah 1.654 4.401 16.490 117.652 14.008 250

(7)

Lanjutan....

Kecamatan/ Distrik

Suku Bangsa

Nias Jawa Minang Cina Aceh Lainnya

Siantar Marihat 150 2.904 31 28 34 256

Siantar Selatan 100 1.300 126 2.667 13 437

Siantar Barat 126 21.371 1.769 3.052 263 5.132

Siantar Utara 137 8.700 2.965 1.688 91 4.499

Siantar Timur 298 5.380 526 1.865 101 1.363

Siantar Martoba 265 23.745 566 269 212 962

Jumlah 1.076 63.400 5.974 9.569 714 12.649

Sumber: Badan Pusat Statistik kota Pematangsiantar tahun 2007

Berdasarkan hasil wawancara dengan Praeses1 HKBP2 (Huria Kristen Batak

Protestan) Distrik V Sumatera Timur3(termasuk kota Pematangsiantar), Pendeta

DR. Plasthon Simanjuntak, tanggal 3 Mei 2008, mengungkapkan bahwa adat

Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola

hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna

mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya.

Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba yang ada

di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba

yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.

Suku bangsa atau etnis dapat diartikan sebagai identitas sosial, berasal dari

garis keturunan atau budaya asal, yang juga dipengaruhi oleh budaya di

lingkungan tempat tinggalnya (Helms dalam Dalton, Elias, dan Wandersman,

2001). Suku bangsa seseorang tampak dalam bahasa, adat, nilai-nilai, ikatan

sosial, dan berbagai aspek lain dari subjektif budaya, bukan dari penampilan

fisiknya (Feagin & Feagin dalam Dalton, Elias, dan Wandersman, 2001). Suku

bangsa Batak Toba adalah individu yang berasal dari (keturunan) suku bangsa

(8)

sehingga marga yang dimiliki seorang anak suku bangsa Batak Toba adalah

berasal dari marga ayahnya.

Konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang artinya tiga

tiang tungku atau tiga status sosial. Ketiga status sosial tersebut adalah Hula-hula

(pihak keluarga ibu atau pemberi istri), Boru (keluarga saudara perempuan atau

penerima istri), dan Dongan Tubu (anggota keluarga yang berasal dari satu

keturun atau teman semarga). Falsafah hidup suku bangsa Batak Toba yang

berlandaskan Dalihan Na Tolu ini mencakup “Somba marhula-hula, elek

marboru, manat mardongan tubu” yaitu hormat pada Hula-hula, ramah dengan

melakukan pendekatan/membujuk Boru, dan berhati-hati dalam menjaga

hubungan baik dengan teman semarga. Ketiga status sosial tersebut akan dijalani

oleh setiap suku bangsa Batak Toba (yang sudah menikah, suami dan istri)

sehingga hubungan kekerabatan berupa Dalihan Na Tolu mendidik suku bangsa

Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka. Dalam kehidupan

sehari-hari, konsep Dalihan Na Tolu ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi

landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan suku bangsa Batak

Toba. Sistem kekerabatan tersebut tidak bertujuan menciptakan sistem kelas atau

kasta melainkan untuk membangun hubungan saling mengasihi dan menghormati

agar tetap bersatu dan bekerjasama (Harahap dan Siahaan, 1987; Simanjuntak,

2000).

Simanjuntak (2000) menjelaskan bahwa demokrasi dalam suku bangsa

Batak Toba diartikan sebagai demokrasi yang kolektif, yaitu cara/seni yang

(9)

status sosial dalam Dalihan Na Tolu mengindikasikan bahwa Hula-hula memiliki

status khusus atau paling tinggi. Hal ini dikarenakan suku bangsa Batak Toba

percaya bahwa Hula-hula adalah sumber berkat dan perlindungan bagi Boru. Hal

inilah pula yang mengharuskan Boru memberikan hormat pada Hula-hula dan

menganggap Hula-hula sebagai ‘raja’ atau pemimpin. Hula-hula disisi lain

diharapkan membina hubungan yang baik dengan Boru secara

persuasi/membujuk. Hula-hula diharapkan berhati-hati menjalankan fungsinya

sebagi ‘raja’, bukan berarti Hula-hula memiliki posisi yang tinggi dapat

memperlakukan Boru secara bebas karena Boru adalah pendukung kehidupan

Hula-hula. Semakin banyak Boru, maka dapat diartikan semakin besar kekuasaan

Hula-hula, dan tanpa ada Boru, Hula-hula tidak memiliki arti karena tidak

memiliki kekuasaan. Budaya Batak Toba juga mengajarkan seseorang untuk

berhati-hati dengan Dongan Tubu. Dongan Tubu merupakan saudara sehingga

memiliki status, hak, dan kewajiban yang sama. Kesamaan atau kesetaraan

tersebut sering menjadi motivator Dongan Tubu untuk bersaing mendapatkan hak,

status, kehormatan, dan sebagainya, yang kemudian berpeluang besar

menimbulkan konflik. Itulah sebabnya setiap orang berhati-hati dalam menjaga

hubungan baik dengan Dongan Tubu.

Kemandirian suku bangsa Batak Toba di dalam Dalihan Na Tolu

menghasilkan potensi konflik yang tinggi berupa keinginan untuk bersaing dan

lebih lanjut menghasilkan pula rasa iri dan dengki yang dalam. Perasaan tersebut

dalam bahasa Batak Toba dikenal dengan hosom (dendam), elat (dengki, iri), late

(10)

menjelaskan bahwa perasaan tersebut juga membuat suku bangsa Batak Toba sulit

menyatakan dirinya telah gagal.

DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan bahwa tingginya emosi

(emosional) yang ditemukan pada suku bangsa Batak Toba tidak lepas dari

budayanya yaitu terbuka dalam segala hal. Hal ini terungkap dalam pribahasa

Batak Toba yang berbunyi: “Si boru puasi, si boru bakkara. I si puas i si soada

mara”, artinya bila sudah terbuka persoalan maka disitu ada jalan keluarnya. Pada

satu sisi hal tersebut dapat mempercepat penyelesaian konflik namun di sisi lain

menciptakan benturan fisik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan atau

agresivitas. Lebih lanjut ia membandingkannya dengan suku bangsa Batak

Simalungun yang memiliki kontrol diri lebih tinggi dan tidak terbuka

menyelesaikan konflik sehingga benturan lebih terhindari. Berdasarkan penjelasan

tersebut dapat dikatakan bahwa suku bangsa Batak Toba pada umumnya kurang

memiliki kontrol diri.

Selain konsep Dalihan Na Tolu terdapat pula sembilan nilai budaya Batak

yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi

(haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik,

hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang

sebagai misi budaya suku Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan),

dan hasangapon (kehormatan), yang dalam pembahasan selanjutnya disingkat

dengan misi budaya 3H. Misi budaya tersebut juga dituangkan dalam lagu yang

diciptakan oleh Nahum Situmorang berjudul Marragam-ragam, berikut ini

(11)

Marragam-ragam do sita-sita di hita manisia

Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma Hamoran, Hagabeon, Hasangapon ido dilului na deba Inna deba asalma tarbarita goarna tahe....

DR. Plasthon Simanjuntak menyatakan hasangapon adalah cita-cita suku

bangsa Batak Toba yang dicapai dengan adanya hagabeon dan hamoraon. Konsep

hasangapon ini menyatu dengan ide-ide dan beritegrasi dengan kepribadin suku

bangsa Batak Toba. Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa

Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu

dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak (Harahap dan Siahaan, 1987).

Adanya konflik dalam kebersamaan merupakan hal yang unik dalam

kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi suku non-Batak sukar difahami.

Oleh sebab itu hubungan suku bangsa Batak Toba dengan suku bangsa lain sering

menimbulkan salah pengertian. Kebebasan mengemukakan pendapat pada suku

bangsa Batak Toba mungkin akan mengalami benturan bila suku bangsa Batak

Toba terlibat dalam masalah yang menyangkut diri orang lain dari suku bangsa

lain yang menganut budaya hubungan manusia atas-bawah dan tertutup. Suku

bangsa Batak Toba dapat saja memberi kesan kepada suku lain sebagai orang

yang suka turut campur urusan orang lain, atau melanggar tata krama sopan

santun, meskipun menurut ukuran nilai budaya tradisional suku bangsa Batak

Toba, keterlibatan itu adalah wajar atau bahkan wajib (Harahap dan Siahaan,

1987).

Junjungan dan Zulkifli (dalam Lubis, 2005) menjelaskan bahwa bukti

(12)

hanya bermaksud memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga

memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka. Sedemikian

seringnya terjadi konflik, sehingga tidak heran muncul anggapan sinis yang

mengatakan bahwa suku bangsa Batak Toba senang berkelahi dan bahkan terdapat

stereotip yang mendukung penilaian yang demikian, yaitu cara berbicara atau

berkomunikasi suku bangsa Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan

amarah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi (2005) yang menunjukkan

bahwa suku Batak tampak lebih ekspresif menunjukkan rasa marahnya. Sebagai

tambahan, Harahap dan Siahaan (1987) mengatakan bahwa suku bangsa Batak

Toba lebih agresif dibanding suku Batak Angkola-Mandailing.

Nadapdap (dalam Lubis, 2005) menggambarkan bahwa secara umum pada

diri manusia Batak Toba terdapat dualisme kepribadian. Di satu sisi mereka

adalah manusia yang senang bekerja, senang mengumpulkan harta, senang

mengabdi pada Tuhan, mencintai masyarakat, dan pandai bergaul. Di sisi lain

mereka juga adalah manusia yang pencemburu, pesaing, tidak kenal kompromi

dan belas kasihan, serta sering bertindak destruktif, yakni mencari segala macam

cara untuk bisa merusak bahkan melenyapkan harta dan atau nama baik orang

yang menjadi saingannya.

Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang

memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat

menggambarkan kepribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan

bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah

(13)

kepribadian secara umum dipandang sebagai kumpulan karakter perilaku dan

kognitif, trait atau predisposisi seseorang yang relatif menetap pada berbagai

situasi, konteks, dan dalam berhubungan dengan orang lain, serta membentuk

perbedaan individual (Matsumoto dan Juang, 2004).

Hal yang perlu diperhatikan ketika melihat konstruk kepribadian dalam

suatu budaya adalah indigenous personality dan cultural psychology. Indigenous

personality (kepribadian pribumi) merupakan kumpulan trait kepribadian dan

karakteristik yang ditemukan hanya pada budaya tertentu. Cultural psychology

(psikologi budaya) dan kepribadian bukanlah hal yang terpisah, melainkan

merupakan sistem yang saling menguntungkan, masing-masing memelihara dan

membentuk yang lain atau dengan kata lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi

(Matsumoto dan Juang, 2004). Hasil penelitian menggunakan Big Five

Personality atau yang dikenal juga dengan Five Factor Model (FFM),

menunjukkan tampilan kepribadian yang berbeda pada budaya yang berbeda

(Santrock, 2003). Cina, Jepang dan Filipina menunjukkan openness yang rendah

(De Raad dalam Pervin, 2005). Penelitian menggunakan trait personality pada

budaya Asia menunjukkan mereka lebih membiasakan diri pada hubungan

individual dengan keluarga dan kelompok sosial dari pada trait kepribadian

individu yang tertutup (Pervin, 2005). Penelitian lain menyatakan orang dewasa di

Hong Kong rendah pada extroversion daripada di Inggris dan pada anak-anak di

Hong Kong rendah pada extroversion dan neuroticism daripada di Inggris

(14)

Teori yang menggambarkan kekonsistenan kepribadian adalah Trait

Theory oleh Allport (dalam Lahey, 2005). Trait adalah pola perilaku (pikiran,

tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap untuk semua situasi. Penggambaran

kepribadian melalui teori trait secara lengkap diungkap dengan five basic trait

(Ashton, dkk. dalam Lahey, 2005), yang dikenal dengan Big Five Personality

traits. Penggambaran ini diuraikan dalam lima dimensi Big Five Personality, yaitu

neuroticism, extraversion, opennes to experience, agreeableness, dan

concientiousness.

Big Five Personality adalah konsep model yang dibuat berdasarkan

dimensi kepribadian yang jelas dan mendasar yang tampil universal untuk semua

orang. Model ini diawali oleh berbagai penelitian Eysenk dengan menggunakan

EPQ yang banyak mendukung bahwa extroversion dan neuroticism bersifat stabil,

skala kepribadian yang universal. Berbagai penelitian lintas budaya mengenai

validitas FFM belakangan ini dilakukan untuk mendukung universalitas tersebut,

termasuk pula penelitian ini. Universalitas FFM menggambarkan bahwa semua

manusia memiliki struktur kepribadian yang mirip yang dapat dikarakteristikkan

oleh lima trait atau dimensi Big Five Personality tersebut (Matsumoto dan Juang,

2004).

Peneliti kepribadian, sama seperti ilmu-ilmu lain, mengandalkan

pengukuran data konkrit yang dapat digunakan untuk menguji “what people are

like”. Dalam hal inilah Big Five memegang peranan penting. Big Five mula-mula

berasal dari dua tim penelitian yang berdiri sendiri di tahun 1970-an—Paul Costa

(15)

Warrent Norman (di University of Michigan) dan Lewis Goldberg (di University

of Oregon)—yang melakukan cara sedikit berbeda dengan hasil sama:

kebanyakan trait kepribadian manusia dapat dipersempit menjadi lima dimensi

kepribadian, tanpa memperhatikan bahasa maupun budaya. Kelima dimensi ini

diperoleh dengan menanyakan ribuan orang dengan ratusan pertanyaan kemudian

menganalisa data menggunakan prosedur statistik yang dikenal dengan analisa

faktor (outofservice, 2002). Big Five dibangun menggunakan pendekatan Lexical

Hypothesis yang menyatakan bahwa hampir semua perbedaan kepribadian orang

yang menonjol dan tampak dalam kehidupannya dikenal dalam bahasanya

(wikipedia, 2007).

Big Five merupakan model gambaran kepribadian yang secara empiris

berdasarkan fenomena, bukan teori, sehingga dapat digunakan dalam berbagai

area penelitian psikologis (Srivastava, 2008; wikipedia, 2007). Kelima faktor Big

Five atau FFM juga dikenal dengan model kepribadian OCEAN atau CANEO

karena akronim yang terbentuk dari huruf-huruf inisialnya, yaitu Openness to

experience, Concientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism.

Pengelompokkan trait didasarkan pada generalisasi perhitungan statistik sehingga

mungkin saja terjadi pengecualian pada profil kepribadian seseorang (wikipedia,

2007) namun tentu saja lebih banyak benarnya daripada salah (outofservice,

2002).

Barent Roberts dan beberapa ahli psikologi (dalam Srivastava, 2008)

mengatakan bahwa pengaruh lingkungan (seperti aturan sosial) turut berinteraksi

(16)

(dalam John dan Srivastava, 1999) menemukan bahwa dalam Big Five, konsep

trait dan state digabungkan. State adalah konsep asli kepribadian yang lebih

mudah berubah-ubah, ringkas, dan disebabkan faktor eksternal.

Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang

dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi

conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba

mungkin berhubungan dengan dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di

sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal

kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor

di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang

keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin

dapat dilihat sebagai traitneuroticism.

Sarlito (dalam Atmosiswoyo, dkk., 1999) menyatakan pentingnya

mempelajari keragaman budaya untuk menjaga integrasi bangsa, dalam hal ini

bangsa Indonesia. Pengakuan akan keragaman atau eksistensi suatu suku bangsa

merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh sebab itu peneliti melakukan

penelitian deskriptif pada salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku bangsa

Batak Toba. Penelitian mengenai kepribadian suku bangsa Batak Toba

menggunakan Big Five Inventory (BFI) belum pernah dilakukan sehingga peneliti

tertarik untuk melakukannya. Penelitian ini mengunakan skala Oliver’s Big Five

(17)

I.B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran

kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar menggunakan Big Five

Inventory (BFI).

I.C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar. Penggambaran

kepribadian suku bangsa Batak Toba ini menggunakan Big Five Inventory (BFI)

yang diadaptasi dan dimodifikasi.

I.D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini dapat dibagi atas dua bagian yaitu manfaat teoritis

dan manfaat praktis.

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana

pengetahuan di bidang Psikologi Sosial, khususnya mengenai suku bangsa

Batak Toba. Penelitian ini diharapkan pula mampu menjadi landasan

penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan:

a. Informasi bagi pengamat sosial dalam mengamati dan menganalisa

kondisi dan fenomena sosial yang terjadi yang berkaitan dengan suku

(18)

b. Informasi bagi masyarakat khususnya yang berinteraksi dengan suku

bangsa Batak Toba, sehingga mereka dapat lebih arif dalam

memberikan respon terhadap perilaku suku bangsa Batak Toba.

c. Informasi bagi pihak-pihak pengembang yang berhubungan dengan

suku bangsa Batak Toba sehingga dapat meningkatkan integrasi

bangsa dan menghindari konflik yang destruktif.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan

suku bangsa Batak Toba dan Big Five Personality.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,

identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode

pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, dan metode analisis data.

Penelitian ini bersifat kuantitatif, dengan sampel penelitian adalah suku

(19)

dengan teknik pengambilan sampel proportional incidental sampling.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Big Five

Personality yang diadaptasi dan dimodifikasi. Metode analisis data

(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. SUKU BANGSA BATAK TOBA

II.A.1. Sistem Sosial Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara

manusia dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba diatur dalam sistem

kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi ciri khas kebudayaan

Batak. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan

kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, yaitu

tokoh-tokoh yang paling dekat dalam kehidupannya terutama ibu, ayah, dan

saudara-saudaranya. Orang lain di luar dirinya secara evolusionistis diperkenalkan

sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bersamaan dengan

perkenalan orang-orang lain itu diperkenalkan kepadanya marga dan nilai yang

terkandung di dalamnya, lengkap dengan aturan Dalihan Na Tolu yaitu somba

marhula-hula (hormat pada hula-hula), elek marboru (membujuk pihak boru),

dan manat mardongan tubu (baik kepada suhut). Diperkenalkan pula kepadanya

silsilah keluarga batih, hula-hula, boru dan marga Batak pada umumnya. Proses

sosialisasi awal ialah perkenalan tutur, panggilan kekerabatan lengkap dengan

kata-kata kunci yang terdapat dalam perbendaharaan hubungan kekerabatan

berdasar Dalihan Na Tolu.

Sosialisasi Dalihan Na Tolu yang mencakup marga, silsilah, dan tutur

(21)

sangat mahir dalam pemaparan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan

silsilah marga-marga. Hal ini terlihat ketika suku bangsa Batak Toba yang baru

berkenalan bertemu, pertanyaan pertama yang selalu diajukan masing-masing

adalah “Aha margam?” (Apa marga-mu?). Solidaritas marga yang kuat sekali

pada suku bangsa Batak Toba sudah dikenal secara luas. Solidaritas marga atau

antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat

dengan adanya punguan, perkumpulan marga dohot boruna, dan perkumpulan

huta yang anggotanya terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987).

Simanjuntak (2000) menyatakan bahwa sistem sosial Batak Toba

mendukung terciptanya persatuan, solidaritas, dan persamaan dalam kehidupan

suku bangsa Batak Toba. Hal ini kemudian menciptakan komunikasi yang

harmonis. Ketiga status sosial dalam Dalihan Na Tolu lebih menekankan pada

hasangapon (rasa hormat) dari pada superioritas.

Dalihan Na Tolu sebagai jaringan kekerabatan mengajarkan hak dan

kewajiban yang setara di antara ketiga unsurnya: Dongan Sabutuha/Kahanggi,

Hula-hula/Mora, dan Boru/Anak Boru. Hubungan kekerabatan berdasar Dalihan

Na Tolu mengajarkan solidaritas dan penghargaan kepada orang lain. Setiap orang

Batak Toba mempunyai kedudukan sebagai Hula-hula, Boru, dan Suhut (Dongan

Tubu). Hubungan kekerabatan seperti ini mendidik suku bangsa Batak Toba

(22)

II.A.2. Nilai Budaya Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) mengungkapkan sembilan nilai budaya yang

utama pada suku bangsa Batak Toba yaitu:

1. Kekerabatan

Mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan

darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu,

dan Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon

(Cendikiawan) serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan

karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.

2. Religi

Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang

datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta

hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Hagabeon

Mencakup banyak keturunan dan panjang umur. Dalam upacara pernikahan

Batak dikenal ungkapan tradisional yang mengharapkan agar kelak pengantin

baru dikaruniakan 17 putra dan 16 putri. Hal ini menunjukkan bahwa sumber

daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya

dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya

dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing

yang sangat tinggi.

Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur Matua Bulung

(23)

pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak,

karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33

orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.

4. Hasangapon

Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan suatu nilai

utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi

dorongan yang sangat kuat pada suku bangsa Batak Toba untuk meraih

jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma, dan

kekuasaan itu.

5. Hamoraon

Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong

orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang

banyak.Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.

6. Hamajuon

Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai

budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh

pelosok tanah air. Pada abad yang lalu Sumatra Timur dipandang sebagai

daerah rantau, tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya

telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau

meningkatkan daya saingnya.

7. Hukum

Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum

(24)

menegakkan kebenaran dan berkecimpung dalam dunia hukum merupakan

dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi

pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba,

sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan

hak-hak asasi. Hal ini tampil dalam kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat

nama orang-orang Batak dalam daftar penegak hukum, baik sebagai jaksa,

pembela, maupun hakim. Contohnya, Hotman Paris Hutapea, SH.; Hotman

Sitompul, SH.; Ruhut Sitompul, SH.; dan Juan Felix Tampubolon, SH.

8. Pengayoman

Kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan

nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian

yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi

kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. Konflik

Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan

dengan yang ada pada Batak Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari

perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber konflik pada orang

Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi

karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain

hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi

orang Toba.

Persentase pemaknaan pesan budaya ke dalam sembilan nilai budaya

(25)

1. Kekerabatan 34,33 %

2. Ketuhanan (Religi) 17,25 %

3. Hagabeon 12,32 %

4. Hukum 12,25 %

5. Hamajuon 6,87 %

6. Konflik 5,28 %

7. Hamoraon 4,58 %

8. Hasangapon 3,70 %

9. Pengayoman 3,52 %

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pada suku bangsa Batak Toba

kedudukan nilai kekerabatan dan ketuhanan sangat tinggi yaitu di atas nilai-nilai

yang lain, dan kedua nilai tersebut menjadi ciri khas suku ini. Tiga dari sembilan

nilai utama itu yaitu: Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur),

Hamoraon (kaya raya), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) dipandang

sebagai misi budaya orang Batak, yang juga dikenal sebagai misi budaya 3H.

Perjuangan meraih misi budaya 3H melatih suku bangsa Batak Toba untuk

mandiri dan dinamik. Orang yang bukan suku Batak dapat saja memandang

perilaku suku bangsa Batak Toba dalam hal-hal tertentu sebagai pelanggaran

tatakrama, tetapi bila orang luar tersebut memahami misi budaya 3H maka ukuran

pelanggaran itu mungkin akan berbeda (Harahap dan Siahaan, 1987).

Pada suku bangsa Batak Toba misi budaya 3H berada pada urutan ketiga,

ketujuh, dan kedelapan. Terdapat tiga nilai yang menyekat urutan itu yaitu:

(26)

mencapai hasil misi budaya 3H didahului oleh pergulatan menegakkan hukum,

perjuangan meraih kemajuan dan kehidupan berkonflik yang hampir tidak

berkesudahan. Oleh sebab itu pula nilai kesembilannya adalah pengayoman.

Selebihnya perjuangan hidupnya dijalani dalam suasana hubungan primordial

yang kuat, kehidupan keagamaan dan jaringan ikatan kekerabatan dalam

lingkungan keluarga besar. Keluarga besar dapat berskala lingkungan Dalihan Na

Tolu, tetapi pada tingkat yang lebih luas, dapat pula berarti ikatan primordial

Batak yang di dalamnya tercakup seluruh puak-puak Batak. Kekerabatan, religi,

dan hagabeon itulah yang menjadi modal dasar spiritual suku bangsa Batak Toba

dalam perjalanan hidupnya. Dalam keadaan sedih maupun gembira, mereka

senantiasa berada dalam suasana ikatan ketiga nilai budaya utama ini.

Konsep hagabeon sesungguhnya berakar dari budaya bersaing pada jaman

purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta.

Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar.

Hagabeon adalah dasar mencapai hamoraon dan hasangapon. Banyak anak berarti

banyak tenaga untuk bekerja sehingga lebih produktif dan mencapai hamoraon.

Hagabeon dan hamoraon adalah akses untuk mencapai hasangapon. Hasangapon

merupakan tujuan utama dan paling penting dalam kehidupan suku bangsa Batak

Toba. Kepercayaan suku bangsa Batak Toba bahwa mereka adalah keturunan raja

berhubungan erat dengan hasangapon sehingga mereka tidak perlu memiliki

jabatan agar dihormati. Pelaksanaan adat seperti memotong kerbo untuk pesta

(27)

bila dikaitkan dengan teori Maslow dapat diidentikkan dengan aktualisasi diri

(Simanjuntak, 2000; Harahap dan Siahaan, 1987).

Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba

yang dinamik, keras (horas), dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam

kebersamaan dan berkonflik dalam kesolidaritasan secara serentak. Inilah yang

unik dari kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar

difahami. Di tengah-tengah suasana persaingan yang tinggi, solidaritas tetap

terpelihara untuk mencapai tujuan bersama yaitu kaya raya. Hal ini merupakan

mentalitas yang unik, menjaga solidaritas dalam suasana persaingan.

II.A.3. Suku Bangsa Batak Toba di Pematangsiantar

Suku bangsa Batak Toba banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi

suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk

yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun

2006, yaitu sebanyak 117.652 (47,47%). Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan

bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat

pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan

sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan

adatnya. Suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya

berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan

(28)

II.B. BIG FIVE PERSONALITY

II.B.1. Batasan Big Five Personality

Kata personality (kepribadian) berasal dari kata persona (bahasa Latin)

yang merujuk pada kedok atau topeng yang dipakai oleh pemain-pemain

panggung dalam drama untuk mengembangkan peran atau penampilan yang

berbeda. Definisi ini tidak dapat diterima karena kepribadian tidak hanya dilihat

sebagai peran yang dimainkan seseorang (Feist dan Feist, 2002).

Personality is the sum-total of actual or potential behavior-patterns of organism as determined by heredity and environment (Eysenck dalam Suryabrata, 2002, h. 288).

Eysenck menjelaskan bahwa kepribadian merupakan kumpulan pola perilaku

yang tampak maupun berupa kecenderungan perilaku yang ditentukan oleh

bawaan dan lingkungan.

McAdams (dalam Cavanaugh, 2006) menggambarkan tiga tingkatan

paralel struktur dan fungsi kepribadian yang masing-masing tingkatan meliputi

berbagai konstrak kepribadian. Ia mengarahkan tingkatan tersebut dengan nama

yang cukup umum: dispositional traits, personal concerns, dan life narrative.

Dispositional Traits mencakup aspek kepribadian yang konsisten untuk semua

konteks yang berbeda dan dapat dibandingkan antarkelompok dengan tingkatan

pengelompokkan tinggi-rendah. Dispositional Traits adalah tingkatan kepribadian

yang pertama sekali dipikirkan oleh kebanyakan orang, dan disimpulkan secara

umum melalui skrip seperti pemalu, suka bicara, otoriter, dan ramah. Personal

Concerns mencakup hal-hal penting, tujuan, dan pusat perhatian dalam hidupnya.

(29)

strategi; ditunjukkan oleh taraf hidupnya saat itu. Life Narrative mencakup aspek

kepribadian yang mencakup keseluruhannya. Aspek-aspek integratif ini

menunjukkan jati dirinya sendiri atau sense of self. Bentuk kepribadian dari

dimensi Big Five adalah hasil dari tingkat dispositional traits.

Costa dan McCrae (dalam Cavanaugh, 2006) membuat tiga asumsi tentang

trait. Pertama, trait didasarkan pada perbandingan individual, karena tidak ada

standart kuantitatif absolut untuk konsep seperti friendliness (bersahabat). Kedua,

kualitas atau perilaku dari trait harus cukup jelas untuk menghindari kebingungan.

Ketiga, trait diberikan kepada orang tertentu yang diasumsikan sebagai

karakteristik yang stabil. Ketiga asumsi ini tercakup dalam definisi trait sebagai

berikut.

a trait is any distinguishable, relatively enduring way in which one individual differs from others (Guilford dalam Cavanaugh, 2006, p. 344).

Selama tiga dekade para trainer dan konsultan pada umumnya mengikuti

asumsi Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) namun sekarang model kepribadian

yang lebih diterima dan digunakan adalah Big Five (Howard dan Howard, 2004).

Model ini sangat didasarkan dari penelitian-penelitian cross-sectional,

longitudinal, dan penelitian selanjutnya (Costa dan McCrae dalam Cavanaugh,

2006).

II.B.2. Definisi Big Five Personality

Big Five adalah lima trait atau dimensi dasar yang sekarang ini menjadi

(30)

2005). Howard dan Howard (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi

Big Five Personality seperti sebuah paket yang mencakup seperangkat trait

kemudian cenderung terjadi bersamaan. Definisi kelima faktor tersebut

menunjukkan usaha untuk menggambarkan elemen umum dari sejumlah trait atau

sub-faktor, di dalam masing-masing “paket”. Paket trait yang paling umum

diterima adalah yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae tahun 1992.

Tatanamanya dibentuk untuk populasi akademik dan klinis. Trait adalah pola

perilaku tertentu (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap pada

berbagai situasi (Lahey, 2005).

II.B.3. Dimensi Big Five Personality

McCrae dan Costa (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan dimensi Big

Five Personality yaitu terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to

experience, agreeableness, dan conscientiousness. Masing-masing dimensi ini

memiliki enam facets.Facets adalah trait yang lebih spesifik atau komponen yang

menggambarkan masing-masing cakupan faktor Big Five itu. Tiga dimensi

pertama (neuroticism, extraversion, dan openness to experience) merupakan

dimensi yang paling sering diteliti. Skala yang menggunakan ketiga dimensi ini

itu disebut NEO-PI. Dua dimensi yang kemudian ditambahkan setelah tahun

1980-an bertujuan memberi data tambahan dan mendekatkan teori ini dengan teori

trait lainnya. Kemudian skala direvisi menjadi NEO-PI-R yang juga dikenal

(31)

Neuroticism. Enam facets neuroticism yaitu anxiety, self–consciousness,

deppresion, vulnerability, impulsiveness, dan hostility. Anxiety dan

hostility merupakan trait penting untuk dua emosi dasar: fear (rasa takut)

dan angry (perasaan marah). Meskipun individu mengalami emosi ini pada

beberapa waktu, frekuensi dan intensitasnya berbeda-beda pada setiap

orang. Orang yang tinggi traitanxiety bersifat nervous, high-strung, tense,

worried, dan pessimistic. Selain cenderung anger, orang yang hostile

mudah marah dan cenderung sulit bersama orang lain untuk waktu yang

lama. Trait self–consciousness dan depresi berhubungan dengan emosi

duka cita (sorrow) dan perasaan malu (shame). Individu yang memiliki

self–consciousness tinggi cenderung sensitif akan suatu perasaan dan

merasa tidak berarti. Trait depresi menyangkut perasaan sedih, putus asa,

kesepian, bersalah, dan rendah diri. Dua facets terakhir dari neuroticism

-impulsiveness dan vulnerability-paling sering dimanifestasikan sebagai

perilaku daripada emosi. Impulsiveness adalah kecenderungan menyerah

pada godaan dan hasrat karena rendahnya tekad dan kontrol diri. Hasilnya,

orang yang impulsif sering melakukan sesuatu berlebihan, sperti

overeating dan overspending. Mereka juga lebih senang merokok, berjudi,

dan menggunakan obat-obatan. Vulnerability mencakup kurangnya

kemampuan mengatasi stress. Vulnerable people cenderung sangat

tergantung pada bantuan orang lain. Secara umum orang yang tinggi pada

dimensi ini cenderung memiliki skor yang tinggi pada masing-masing trait

(32)

tipikal memunculkan kekerasan dan emosi negatif untuk mencampuri

orang lain dalam menyelesaikan masalah atau untuk bersama orang lain.

Extraversion. Keenam facets dari extraversion dapat dikelompokkan

dalam tiga interpersonaltrait (warmth, gregariousness, dan assertiveness)

dan tiga temperamental trait (activity level, excitement seeking, dan

positive emotions). Warmth, atau kelekatan, adalah bersahabat, memiliki

hasrat untuk bersama orang lain, dan ingin menghibur orang lain/terharu.

Warmth dan gregariousness (hasrat untuk bersama orang lain)

menjadikannya orang yang kadang disebut suka bergaul. Orang yang

gregarious hidup dalam kerumunan; terdapat banyak interaksi sosial.

Orang yang assertif menjadi pemimpin secara alami, mudah mengambil

tanggung jawab, memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu

mengemukakan pikiran dan perasaannya. Mereka senang dengan

kesibukan, berbicara cepat, dan selalu berusaha mencari situasi yang

menantang. Temperamental, orang extravert senang untuk selalu sibuk;

mereka terlihat mempunyai energi yang tidak terbatas, berbicara cepat, dan

ingin terburu-buru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang

mengasikkan, penuh semangat, dan selalu berusaha mencari situasi yang

menantang. Aktif di sini, gaya hidup penuh semangat yang jelas

merupakan emosi positif orang extravert. Mereka contoh dari nafsu,

kegembiraan hati, dan kesenangan. Aspek yang menarik dari extraversion

adalah bahwa dimensi ini sangat berhubungan dengan ketertarikan akan

(33)

people-oriented job, seperti pekerja sosial, administrasi bisnis, dan sales. Mereka

menghargai tujuan kemanusiaan dan menggunakan kekuatan

person-oriented. Orang yang rendah extravertion cenderung task-oriented job,

seperti arsitektur dan akuntan.

Openness to experience. Keenam facets dari openness to experience

menggambarkan enam area yang berbeda. Dalam area fantasi, openness

artinya memiliki imajinasi yang hidup dan active dream life. Dalam hal

seni, openness terlihat dalam mengapresiasikan seni dan kecantikan,

sensitif pada pengalaman yang ia alami sendiri. Keterbukaan pada

tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru,

baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata baru.

Orang yang terbuka pada ide dan nilai yang untuk diketahui. Orang yang

terbuka cenderung open-minded pada nilai-nilainya, selalu mengakui

bahwa hal-hal yang benar untuk seseorang mungkin tidak benar bagi orang

lain. Pandangan ini hasil langsung dari keinginan individu terbuka

mempertimbangkan kemungkinan yang berbeda dan kecenderungan

mereka untuk berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Orang

yang terbuka juga merasakan perasaan yang dalam dan memandang

mereka sebagai sumber utama makna hidup. Maka tidak mengherankan

openness to experience juga berhubungan dengan pilihan pekerjaan. Orang

yang open senang pada pekerjaan yang memerlukan pikiran teoritis atau

filosofis dan kurang memandang nilai ekonomis. Secara tipikal mereka

(34)

tekanan. Pekerjaan seperti psikolog atau pengajar patut dipertimbangkan

untuk orang open.

Agreeableness. Cara mudah untuk mengerti dimensi ini adalah dengan

mengingat trait yang berkarakter antagonis. Orang antagonis cenderung

bermusuhan; skeptis, tidakpercayaan, tidak berperasaan, keras kepala,

tidak simpatik, dan kasar; dan mereka kurang memiliki rasa akan

kelekatan. Antagonis dapat ditunjukkan lebih dari sekedar overt hostility.

Sebagai contoh, orang antagonis ahli memanipulasi atau agresif (cekatan

dan giat) dengan kurang kesabaran. Skor tinggi pada agreeableness,

berkebalikan dengan antagonis, tidak selalu dapat beradaptasi dengan

segala keadaan. Orang ini cenderung terlalu tergantung dan self-effacing,

trait yang selalu mengganggu orang lain.

Conscientiousness. Nilai yang tinggi pada conscientiousness menunjukkan

bahwa individu pekerja keras, ambisi, enerjik, teliti, dan tekun. Seseorang

yang mempunyai dorongan yang kuat untuk membuat sesuatu dengan

tangannya sendiri. Orang yang berkebalikan cenderung lalai, malas,

berantakan, terlambat, tidak punya tujuan, dan tidak tukun/gigih.

II.B.4. Pengukuran Big Five Personality

Big Five Personality dibuat menggunakan pendekatan yang sangat

sederhana. Peneliti mencoba menemukan unit dasar kepribadian dengan

(35)

tetapi sehari-hari, orang biasa) untuk menggambarkan kepribadian seseorang

(John, Angleitner, dan Ostendorf dalam Pervin, 2005).

Penyebutan faktor “Big Five” menandakan adanya faktor, dan “Big”

merujuk pada ditemukannya pada masing-masing faktor sejumlah besar trait yang

lebih spesifik; faktor tersebut kebanyakan luas dan abstrak dalam hirarki

kepribadian (Pervin, 2005). Untuk memudahkan mengingat kelima dimensi ini

digunakan huruf awal dari setiap dimensi, menghasilkan kata OCEAN (Openness,

Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism) (John dalam

Pervin, 2005)

Para peneliti menemukan bahwa beberapa versi dari Big Five Personality

sesuai pada orang-orang dari negara yang berbeda, seperti Kanada, Finlandia,

Cina, dan Jepang (Paunonen dkk., dalam Cavanaugh, 2006). Para ahli psikologi

percaya bahwa letak dan konteks budaya secara luas penting dalam Big Five

Personality.

Pada tabel 2 akan dikemukakan ilustrasi skala yang digunakan Costa dan

McCrae dalam mengungkap faktor Big Five Personality.

Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five

Karakteristik

Assesses adjustment vs. emotional instability. Identifies individual prone to psychological distress, unrealistic ideas, excessive cravings or urges, and maladaptive coping responses.

Calm, relaxed,

Assesses quantity and intensity of interpersonal interaction; activity level; need for stimulation;

(36)

task-optimistic, fun-loving,

affectionate

and capacity for joy. oriented,

retiring, quiet

Assesses proactive seeking and appreciation of experience for its own sake; toleration for and exploration of the unfamiliar.

Conventional,

Assessesthe quality of one’s interpersonal orientation along a continuum from compassion to antagonism in thoughts, feeling, and actions.

Cynical, rude,

Assesses the individual’s degree of organization, persistence, and motivation in goal-directed behavior. Contrasts dependable, fastidious people with those who are lackadaisical and sloppy.

Sumber: Costa dan McCrae dalam Pervin, 2005, h. 255.

Setiap trait pada Big Five Personality memiliki trait bentuk kebalikannya, yaitu

neuroticism versus emotional stability, extraversion versus introversion, openness

versus closedness, agreeableness versus antagonism, dan conscientiousness

versus lack of direction. Orang yang memiliki skor rendah pada traitneuroticism

akan menunjukkan stabilitas emosi yang tinggi.

II.C. GAMBARAN BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BANGSA

BATAK TOBA DI PEMATANGSIANTAR

Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang

tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi,

(37)

individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda

menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian

mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan

Juang, 2004).

Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah suku bangsa Batak Toba.

Dalam suku bangsa Batak Toba terdapat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan

sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak

yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon,

hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari

nilai tersebut dipandang sebagai missi budaya orang Batak, yaitu hagabeon

(anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), Kesemua nilai itu

menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam

kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak.

Hal inilah yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang

non-Batak sukar difahami (Harahap dan Siahaan, 1987).

Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang

memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat

menggambarkan keribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan

bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah

pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten.

Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang

dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi

(38)

mungkin berhubungan dengan facetgregariousness di dimensi extroversion yang

tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat

agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan

mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara

berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah,

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Menurut Azwar (2000) metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan

untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan karakteristik

mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Dalam penelitian ini data yang

dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif, tidak bermaksud mencari

penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.

Jenis penelitian ini tidak mempersoalkan hubungan antar variabel dan

tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi

mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata,

atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori di suatu variabel. Dalam pengolahan

data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif (Faisal, 1995).

Punch (1998) menyatakan bahwa terdapat dua kegunaan dilakukan

penelitian dekriptif. Pertama, untuk pengembangan teori dan area penelitian yang

baru, maksudnya sebelum merencanakan/melakukan penelitian yang lebih

mendalam (exploratory studies) lebih baik terlebih dahulu memusatkan perhatian

pada deskripsi yang sistematis terhadap objek penelitian. Kedua, deskripsi yang

tepat mengenai proses-proses sosial yang kompleks dapat membantu memahami

faktor-faktor yang mempengaruhi suatu variabel dan faktor lain yang perlu diteliti

(40)

III. A. PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana gambaran kepribadian suku bangsa Batak Toba di

Pematangsiantar? Alat tes yang digunakan adalah Big Five Inventory (BFI) yang

diadaptasi dan dimodifikasi. Gambaran ini dilihat melalui skor Z pada

masing-masing subjek dalam kelima dimensi yaitu: neuroticism, extraversion, openness to

experience, agreeableness, dan conscientiousness.

III.B. VARIABEL PENELITIAN

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah kepribadian suku

bangsa Batak Toba di Pematangsiantar.

III.C. DEFINISI OPERASIONAL

Kepribadian suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar diungkap

menggunakan Big Five Inventory yang didasarkan pada teori Big Five

Personality. Big Five Personality menyatakan bahwa kepribadian manusia

mencakup lima dimensi yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience,

agreableness, dan conscientiousness.

1. Neuroticism menyangkut keadaan emosi individu yang tidak stabil,

cenderung distress, memiliki ide yang tidak realistis, keinginan yang

berlebihan, impulsif dan maladaptive coping responses. Orang yang tinggi

trait ini bersifat mudah marah, putus asa, dan memunculkan kekerasan

(41)

2. Extraversion menyangkut kuantitas dan kualitas interaksi interpersonal,

kebutuhan akan stimulus, dan kemampuan untuk menikmati kesenangan,

serta individu yang aktif. Orang yang tinggi trait ini memiliki sifat

bersahabat, memiliki hasrat untuk bersama orang lain (suka bergaul),

hidup dalam kebersamaan, mudah mengambil tanggung jawab,

memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu mengemukakan

pikiran dan perasaannya. Ia juga senang untuk selalu sibuk, selalu

berusaha mencari situasi yang menantang, dan memiliki gaya hidup penuh

semangat.

3. Openness menyangkut penghargaan dan berusaha mencari pengalamannya

sendiri, mencari dan mentolerir sesuatu yang tidak biasa. Orang yang

tinggi trait ini memiliki imajinasi yang hidup, cenderung open-minded,

dan berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Individu terbuka

pada tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang

baru, baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata

baru.

4. Agreeableness menyangkut kualitas orientasi personal seseorang dan

menyangkut perasaan, pikiran dan perilaku seseorang berkaitan perasaan

terharu/simpati. Orang yang tinggi trait ini cenderung terlalu tergantung

dan tidak selalu dapat beradaptasi dengan segala keadaan.

5. Conscientiousness menyangkut kecenderungan individu akan organisasi,

ketekunan, dan motivasi dalam berperilaku langsung mencapai tujuan.

(42)

enerjik, teliti, dan tekun. Ia mempunyai dorongan yang kuat untuk

membuat sesuatu dengan tangannya sendiri.

Kelima dimensi ini akan diungkap melalui Big Five Inventory. Semakin tinggi

skor yang diperoleh seseorang pada dimensi tertentu maka dimensi tersebut

semakin dominan dalam kepribadiannya.

III.D. POPULASI DAN METODE PENGUMPULAN DATA

III.D.1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh subjek atau objek yang dimaksud untuk diteliti.

Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit

memiliki satu sifat yang sama. Sampel adalah sebahagian dari populasi atau

sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus

mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000).

III.D.2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik

nonprobability sampling secara incidental. Incidental sampling adalah pemilihan

sampel yang setiap anggota populasi tidak mendapat kesempatan yang sama untuk

dapat terpilih menjadi anggota sampel, dimana pemilihan sampel dari populasi

didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai

dengan karakteristik tertentu (Hadi, 2000).

III.D.3. Jumlah Sampel Penelitian

Pada teknik incidental sampling besarnya sampel tidak diperhitungkan.

(43)

berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Peneliti menetapkan

sendiri atau memilih sampling mana yang akan dijadikan sebagai sampel dengan

bertolak pada asumsi bahwa sampel yang diambil memiliki karakteristik tertentu

sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil jumlah

sampel 129 orang suku bangsa Batak Toba di Pematangsiantar dengan mengikuti

proporsi dari jumlah suku bangsa Batak Toba di masing-masing kecamatan yang

ada di Pematangsiantar.

Semakin besar sampel, akan semakin kecil kemungkinan bias menarik

kesimpulan tentang populasi. Bailey (dalam Soehartono, 2004) berpendapat

bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik,

besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa

banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah

yang minimum. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah.

III.D.4. Karakteristik Populasi Penelitian

Adapun karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

 Bersuku bangsa Batak Toba,

 Ayah & ibu subjek bersuku bangsa Batak Toba,  Berusia antara 21 sampai dengan 60, dan

 Bertempat tinggal di Pematangsiantar

III.E. ALAT UKUR YANG DIGUNAKAN

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologis.

(44)

berupa konstruk atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak

langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk

butir-butir pernyataan (Azwar, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat

digunakan dalam penelitian beredasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Subjek adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.

2. Hal-hal yang dinyatakan oleh subjek kepada penyidik adalah benar dan

dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan

kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyidik.

Skala Big Five yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

psikologis yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Oliver’s Big Five Inventory.

Skala ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala terdiri dari pernyataan

dengan enam pilihan jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Cukup Sesuai

(CS), Kurang Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable (mendukung) dan

unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 4,

bobot penilaian untuk pernyataan favorable, yaitu SS = 6, S = 5, CS = 4, KS = 3,

TS = 2, STS = 1. Sedangkan untuk bobot pernyataan unfavorable, penilaiannya

adalah SS = 1, S = 2, CS = 3, KS = 4, TS = 5, STS = 6.

III. E. 1. Metode Pembuatan Skala

Skala Big Five dalam penelitian ini diadapatasi dari Oliver’s Big Five

Inventory yang berbahasa Inggris sehingga diperlukan proses penterjemahan.

(45)

dalam penelitian ini, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemahan

skala psikologi memungkinkan penelitian terhadap ciri-ciri psikologi dalam

konstrak psikologi pada berbagai subjek yang memiliki bahasa yang berbeda dan

budaya yang berbeda (hulin, dkk. dalam Marianti, 2007).

Skala yang telah diterjemahan tidak dapat langsung dianggap setara

dengan skala asal dalam hal isi dan karakteristik skala kerena belum tentu

mempunyai budaya yang sama atau dapat dibandingkan sehingga diperlukan

metode evaluasi terhadap kualitas terjemahan. Metode evaluasi kualitas

terjemahan dalam penelitian ini menggunakan model penerjemahan kembali.

Metode ini paling populer untuk mengevaluasi kesetaraan skala delam dua

bahasa. Model penerjemahan kembali memungkinkan bagi peneliti yang tidak

pasih dalam kedua bahasa untuk mengevaluasi terhadap kualitas terjemahan

dengan membendingkan skala dalam bahasa asal dengan skala yang telah

diterjemahkan kembali dari bahasa sasaran (Gierl, dkk. dalam Marianti, 2007).

Metode penerjemahan kembali ini mencakup 3 tahapan (Hulin, dkk. dalam

Marianti, 2007) yaitu:

1. Skala dalam bahasa asal diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran,

2. Skala dalam bahasa sasaran diterjemahkan ke dalam bahasa asal oleh

penerjemah yang berbeda dan tidak terlibat dalam tahap satu,

3. Peninjau membandingkan antara skala dalam bahasa asal, dalam bahasa

asal yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, dan dalam bahasa

sasaran yang telah diterjemakan kembali ke dalam bahasa asal. Tujuan

Gambar

Tabel 1.  Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Dirinci Menurut Suku Bangsa dan Kecamatan
Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five
Tabel 3. Hasil Penterjemahan Skala dari Bahasa Asal ke Dalam Bahasa Target
Tabel 4. Distribusi Aitem Yang Ditambahkan Dalam Skala Dalam Bahasa Target
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat besarnya persepsi negatif yang timbul pada masyarakat Suku Batak Toba di Desa Meat kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir terhadap kebiasaan mengonsumsi Tuak,

Dalam hal ini interaksi yang terjadi adalah interaksi antar kelompok satu dengan kelompok lainnya, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak dalam kegiatan sehari-hari yang

(Bentuk budaya Suku Batak Toba dan Batak Simalungun yakni memberikan Ulos kepada pengantin yang disebut dengan Titim Marangkup ).. (Peta Kabupaten Simalungun

Judul : Aplikasi PengenalanAdat Istiadat Pernikahan Suku Batak Toba di Sumatera Utara Berbasis Web. Kategori :

Manfaat yang diperoleh dari website adat istiadat pernikahan suku Batak Toba ini.

Toba dan Batak Pakpak di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi”.Kajian ini menjelaskan tentang bagaimana interaksi yang terjadi di dalam kehidupan antara kelompok suku

Dalam hal ini interaksi yang terjadi adalah interaksi antar kelompok satu dengan kelompok lainnya, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak dalam kegiatan sehari-hari yang

suku Batak Pakpak yang pada umumnya menguasai atau mampu berbahasa daerah dari suku pendatang tersebut yaitu bahasa Batak Toba.. Walaupun daerah ini didiami oleh beberapa suku