Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Sebagai Salah SatuSyaratMemperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
MUHAMMAD IQBAL FARHAN
NIM : 1111043200017
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Sebagai Salah SatuSyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Muhammad Iqbal Farhan NIM: 1111043200017 Di bawahBimbingan:
DosenPembimbing I DosenPembimbing II
Dr.H.AsrorunNi’am, Lc.,MA. Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. NIP: 19760531200003 1 001 NIP: 19610820 199603 2 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Hukum.
Jakarta, 11Oktober 2016
Mengesahkan,
DekanFakultasSyariahdanHukum
Dr. AsepSaepudinJahar, MA NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN
Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...)
NIP. 197412132003121002
Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S.Ag.,Lc, MA (...)
NIP. 197402162008012013
Pembimbing I : Dr. H. AsrorunNi’am, Lc.,MA (...) NIP. 19760531 200003 1 001
Pembimbing II : HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin (...)
NIP. 19610820 199603 2 001
Penguji I : Dr. H. Nahrowi, SH, MH (...)
NIP.19730215 199903 1 002
Penguji II : DewiSukarti, MA (...)
iii Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Oktober 2016
iv
Perbandingan Hukum, Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Di bawah bimbingan Dr.H. Asrurun Ni’am, Lc.,MA dan
Hj.Ummu Hana Yusuf Saumin.MA.
Fenomena kenakalan remaja dan tindak pidana yang dilakukan anak setiap tahun semakin meningkat. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menerapkan restorative justice, termasuk diversi sebagai alternatif penyelesaian. Meski pada kenyataannya, sebagian masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung selalu ingin menghukum anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga banyak anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG menurut hukum positif dan hukum Islam. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penulis menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.
Hasil penelitian ini bahwa pertama putusan yang dijatuhkan oleh hakim cukup adil bagi anak yaitu 8 bulan penjara sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian permasalahan ini. Yang kedua, menurut hukum Islam pencurian yang dilakukan anak termasuk pencurian kecil. Putusan yang diberikan kepada anak adalah hukuman ta’zir berupa
penjara 8 bulan. Hukuman tersebut diberikan sebagai ta’dib agar anak menyesali
perbuatannya dan diharapkan anak masih bisa membangun masa depan yang lebih baik.
Kata kunci: Anak, Diversi, Putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
Pembimbing : Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA. HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA.
taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya. Kemudahan dan pertolongan Allah SWT serta atas
izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penerapan Diversi Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait serta
teman-teman seperjuangan dalam memberikan ide dan wawasan serta waktu untuk berdiskusi.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila penulis mengucapkan terimakasih sebagai bentuk
penghargaan kepada:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab
dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin, MA selaku dosen Pembimbing II yang
telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta
kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ketua dan seluruh Staff Pengadilan Negeri Tangerang yang telah membantu
memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
7. Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta serta Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah banyak membantu penulis dalam mencari buku dan referansi
yang diperlukan.
8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menjalani pendidikan berlangsung.
9. Ayahanda tercinta Bapak Muhamad dan Ibunda tercinta Musenah yang telah
banyak mendoakan dan memotivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis
sehingga skripsi ini selesai.
semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepannya. Aamiin ya
robb.
Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis
mendapat imbalan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap skripsi ini ada
manfaatnya.Aamiin ya robb.
Jakarta, 03 Oktober 2016
vi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……… i
LEMBAR PENGESAHAN……… ii
LEMBAR PERNYATAAN……… iii
ABSTRAK………... iv
KATA PENGANTAR………. v
DAFTAR ISI……… vi
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah……… 1
B. IdentifikasiMasalah……….. 7
C. BatasandanRumusanMasalah………. 7
D. TujuandanManfaatPenelitian……….. 9
E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu……… 10
F. MetodePenelitian………. 11
G. SistematikaPenulisan……… 14
BAB II TINJAUAN TENTANG DIVERSI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. PengertianAnak……… 16
B. PengertianTindakPidana………. 28
C. PengertianDiversi………. 41
vi
BAB IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor
15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………...……… 69
B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor
15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………..………. 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………. 79
B. Saran……… 80
DAFTAR USTAKA……….. 82
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai
tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki
peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak
kelak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahtraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan
tanpa diskriminasi.1
Akhir-akhir ini harapan tersebut seperti dikandaskan oleh berbagai berita
di media massa yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak pidana yang
telah dilakukan oleh anak semakin meningkat. Apabila dicermati perkembangan
tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus
operandi yang dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak
khususnya orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang
dilakukan anak tidak sebanding lurus dengan usia pelaku.
1
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu:
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap kejahatan, seperti; tidak menurut,
membolos sekolah atau kabur dari rumah.
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.2
Berdasarkan hasil pemantauan KPAI anak berhadapan dengan hukum
hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.3 Kemudian catatan Komnas Perlindungan
Anak, di tahun 2013, sekitar 5000 anak mendekam dipenjara dan ada yang sudah
divonis melakukan tindak pidana.4 Sedangkan dari data statistik Polda Metro Jaya
antara bulan Januari-Maret 2015 tercatat 14.918 kasus kenakalan remaja.5
Kemudian catatan yang disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan
dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan Priyadi dalam konferensi pers di
Aula Lapas Anak, Jalan Arcamanik, Selasa (4/8/2015), Priyadi mengatakan
bahwa catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015, anak-anak yang berada
di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan
diversi sebanyak 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang
2
M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), hlm 33.
3
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/. Diakses pada 16 Oktober 2016.
4
http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara-1412957017. diakses pada 21 Agustus 2015.
5
sedang asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti jelang bebas. Kebanyakan dari
mereka terlibat dalam kasus narkoba, kesusilaan, dan pencurian.6
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak
negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan
sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak.7
Dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak telah
dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi
Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan hukum terhadap anak, berkewajiban untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.8 Salah satu
bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan
pidana khusus anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem Peradilan Pidana
Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan
dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana.
6
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum. diakses pada 21 September 2015.
7
Lihat Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.
8
Sistem pengadilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan
perlindungan Khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat
perubahan yang fundamental dalam Undang-Undang tersebut, antara lain
digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigma negatif terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara
wajar.
Restorative Justice adalah penyelesian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesain yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan
diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
ke proses diluar peradilan pidana.9 Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak, diversi bertujuan mencapai perdamain antara korban dan anak,
menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari
9
perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.10
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan
bahwa:
Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan diversi”.
Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7(tujuh) tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.11
Oleh karena itu penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka
menjadi penting bagi pejabat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan
untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.
Atas dasar itu, kemudian Mahkamah Agung merespon UU Sistem
Peradilan Pidana Anak dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini
memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam
penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum
acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam hukum Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui
perdamaian yang disebut dengan al-sulh. Secara bahasa, al-sulh berarti
menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian
10
Lihat Pasal 6 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
11
al-sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.12Islam
menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik didepan
pengadilan maupun diluar pengadilan. Al-sulh memberikan kesempatan para
pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaikan sengketa.
Meskipun UU SPPA telah diberlakukan per 1 Agustus 2014, keinginan
besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan
saja membuat penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan restorative
justice. Seperti kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan anak dibawah umur
yaitu Mohammad Abdul Faisal Bin Sarmaya 17 (tujuh belas) tahun yang terjadi di
Kp. Bolang RT 004/001 Ds. Sukasari Kec, Rajeg Kab. Tangerang. Bahwa
sebelum sampai ke persidangan korban dan anak telah ada perdamaian, namun
dalam putusannya, hakim memvonis terdakwa anak dengan pidana penjara selama
8 (delapan) bulan dengan dakwaan pencurian dengan pemberatan dan membawa
senjata tanpa ijin dari yang berwenang.
Prof. M Taufik Makarao, mengatakan kultur sebagian masyarakat
Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung
penerapan restorative justice, termasuk diversi. Padahal, menghukum pelaku anak
dibawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan
menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.13
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah juz 2 (Kairo: Dar al Fath,1990), hlm 201. 13
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, menjadi dorongan penulis untuk
melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah dari
penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang diversi?
2. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?
3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?
4. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat penerapan diversi dalam
penyelesaian tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang?
5. Apa dampak positifnya terhadap anak yang menyelesaikan tindak pidana
dengan sistem diversi?
C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang
menangani kasus tindak pidana khususnya yang dilakukan oleh anak untuk
tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Berdasarkan latar
belakang tersebut, tema yang dibahas akan sangat luas apabila dipaparkan secara
keseluruhan di dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis membatasi pembahasan
dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1. Kajian: dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan yang berkaitan
dengan diversi, yaitu:
a. Anak: di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana dan anak menurut hukum Islam.
b. Tindak pidana: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan
apa itu tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, dan tindak pidana
dalam hukum Islam.
c. Diversi: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu
diversi, bagaimana penerapannya dan seperti apa pandangan
hukum Islam tentang diversi.
2. Lokasi penelitian skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Tangerang
berdasarkan Surat Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.
3. Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah UU SPPA yang mulai
diberlakukan pada tahun 2014, PERMA No 4 Tahun 2014, Putusan
Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang dikeluarkan pada tahun
Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah diatas memerlukan suatu
usaha dari peneliti. Dengan keterbatasan kemampuan maka penelitian ini hanya
akan dibatasi pada:
1. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif terhadap putusan
perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.
b. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Islam terhadap putusan
perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan
manfaat diantaranya:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses
diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan
b. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada
masyarakat luas tentang proses diversi dalam penyelesaian perkara
pidana anak di Pengadilan Negeri.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil
kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk
dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka
ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum” yang ditulis oleh Ifah Latifah
Fitriani.14 Skripsi ini menjelaskan adanya penerapan penyelesaian
alternatif kasus anak melalui restorative justice, mengkaji restorative
justice dalam persfektif hukum Islam, urgensi dan sisi-sisi maslahah
keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus pidana anak.
2. Skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan
Anak Perfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 tahun 2012
Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”.15
Dalam skripsi ini
membahas tentang diversi dalam UU SPPA, diversi dalam hukum
14 Ifah Latifah Fitriani, “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012).
Islam dan teori perdamain (al-sulh) sebagai perbandingannya. Yang
membedakan dari skripsi yang akan penulis kaji adalah bagaimana
penerapan diversi di pengadilan dengan adanya studi kasus putusan
pengadilan. Selain menggunakan UU SPPA penulis juga
menggunakan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA
ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan
hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada
regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan
Pidana Anak.
3. Skripsi yang berjudul “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor
225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”.16
Skripsi ini membahas bagaimana penerapan dan alasan apa saja
restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidan ringan
menurut hukum positif dan hukum Islam.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
hukum. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran kohesi yaitu
adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang
berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hokum, serta
apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip
hokum.17
2. Pendekata Penelitian
Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang
digunakan dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki
adalah sebagai berikut: a) pendekatan kasus, b) pendekatan
perundang-undangan, c) pendekatan historis, d) pendekatan perbandingan, dan e)
pendekatan konseptual.18
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa
pendekatan diatas adalah pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan
yang digunakan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan
dengan isu hokum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Sumber-sumber Penelitian
a. Data Primer
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam
penelitian, terdiri dari:
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2014), hlm. 47.
18
a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
b) PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
c) Putusan Pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
b. Data Sekunder
Kajian-kajian yang membahas tentang diversi yang terkait
dengan pokok masalah diatas, juga didukung dengan data
pelangkap seperti:
a) Buku-buku
b) Makalah Hukum
c) Jurnal
d) Artikel Ilmiah
e) Arsip-arsip yang mendukung
f) Publikasi dari lembaga terkait.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan
berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana,
b. Studi Dokumentasi adalah berupa putusan pengadilan Nomor
15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang diambil langsung di
pengadilan Negeri Tangerang.
5. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis deduktif, yaitu menjelaskan
suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi
kesimpulan yang bersifat khusus.
Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap isu yang
dihadapi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
kemudian mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, kemudian
ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa
yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul diatas, maka dalam sub bab ini
penulis akan membuat sistematika sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka
teori dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan tentang diversi menurut hukum positif dan hukum Islam
BAB III : Putusan Hakim Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
a) Duduk Perkara, dan b) Amar Putusan
BAB IV : Analisis Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap
Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG
BAB II
TINJAUAN TENTANG DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK
A.Pengertian Anak
1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia
Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha
Esa yang memiliki peran yang sangat startegis dalam menjamin eksistensi negara.1
Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum Positif Indonesia lazim
diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan
dibawah umur atau kerap juga disebut anak yang dibawah pengawasan wali.2
Pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis.
Pengertian dari perspektif sosiologis diartikan kriteria dapat dikategorikan sebagai anak,
bukan semata-mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan
dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk hidup mandiri menurut pandangan
social kemasyarakatan dimana ia berada. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan
manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai
dengan cirri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping
ditentukan atas batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa
yang dialaminya. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat
hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang
anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang
tua, pengakuan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengankatan anak
1
M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 9.
2
dan lain-lain.3 Dasar itulah yang dapat menentukan mengenai klasifikasi seorang anak,
karena Indonesia sebagai negara hukum maka perlindungan terhadap anak harus dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
Anak dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Anak didefinisikan
sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.4 Dasar pertimbangan penentuan batas usia dalam UU ini mengacu kepada
ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia
melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam definisi tersebut disebutkan
bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Hal ini dimaksud
bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak
memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal
pada waktu dilahirkan.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dalam hukum perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum
berumur 21 tahun dan belum pernah kawin5. Kemudian dalam Undang-undang Sistem
Perlindungan Anak, batasan usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 12
(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut
3
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 1- 4.
4
UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5
ditegaskan dalam The Beijing Rules, di dalam Rules 4 dinyatakan, bahwa: Pada
sistem-sistem hukum yang mengakui konsep usia pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak,
awal usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat
kenyataan kedewasaan emosional, mental dan intelektual.6Artinya jika
pertanggungjawaban pidana ditetapkan terlalu rendah, maka pengertian tanggung jawab
tidak memiliki arti.
Sedangkan batasan anak menurut Diana Kusumasari tertera dalam table berikut:7
Dasar Hukum Pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 45
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya
Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61)
menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun
dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47
Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah
yang belum mencapai 18 tahun.
Undang-Undang No.
13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 1 angka 26
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
Undang-Undang No.
12 Tahun 1995
tentang
Pemasyarakatan
Pasal 1 angka 8
Anak didik pemasyarakatan adalah:
a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
6
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 16.
7
belas) tahun;
b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun;
c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Undang-Undang No.
11 Tahun 2012
tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5
Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
a. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Undang-Undang No.
39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5
Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Undang-Undang No.
23 Tahun 2002
tentang Perlindungan
Anak sebagaimana
terakhir diubah
dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
Pasal 1 angka 1
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Undang-Undang No.
44 Tahun 2008
tentang Pornografi
Pasal 1 angka 4
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)
dewasa adalah 21 tahun Undang-Undang No.
12 Tahun 2006
tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4 huruf h
Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin.
Undang-Undang No.
21 Tahun 2007
tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Pasal 1 angka 5
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Batas usia anak jika dilihat dari usia perkawinan,maka dibedakan dalam 2
kategori, yaitu:
a. Usia kuantitatif,penentuan usia kuantitatif beraneka macam. Dalam UU
Kepemudaan, mereka yang sudah 16 tahun disebut pemuda, sudah tidak disebut
anak. Dalam UU Pemilu, mereka yang berusia 17 tahun sudah dianggap dewasa
dan bisa mengikuti pemilu. Berbeda pula dalam usia kecapakan kerja, UU
Ketenagakerjaan menyebutkan usia 13-15 tahun masuk kategori dimungkinkan
bekerja ringan.8
b. Usia Kualitatif, yaitu usia pernikahan dengan mengedepankan kemampuan atau
kompetensi anak. Pernikahan dimaknai sebagi akad berarti membutuhkan
edukasi yang mendalam bagi kedua pihak. Kesiapan menanggung akibat hukum
pascaakad harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya edukasi pernikahan, menuju
pendewasaan usia, dalam arti kualitatif yang merujuk pada kompetensi. Secara
terminologi, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
8
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hak yang harus dipenuhi
pada anak adalah hak beragama sesuai yang dianut.Dengan demikian, usia
pernikahan hendaknya merujuk pada kualitas individu yang terkait erat dengan
kematangan dan kesiapan fisik maupun mental untuk merealisasi tujuan
perkawinan. Batasan 19 tahun dan 16 tahun hanya dibaca sebagai usia
"minimalis", itu pun tetap dengan syarat ketat, syarat izin orang tua, syarat tetap
terpenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta terlindungi dari
kekerasan dan eksploitasi9.
2. Anak menurut Hukum Islam
Anak dalam syari’at Islam didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai
umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai batasan umur seseorang yang sudah
dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya secara hukum. Baligh dapat
ditentukan dengan tanda-tanda alami atau dengan umur.Nabi saw bersabda :
َمِلَتََْ َََح َِِِصلا ِنَع : ٍةَثَاَث ْنَع ُمَلَقْلا َعِفُر
.
Artinya:"Tuntutan untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)10.
Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyakpembahasan fiqh Islam disebutkan
ciri-ciri balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada
perempuan dan keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima’ (ihtilam)11.Sedangkan
fakta empiris membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga
9
Asrorun Ni’am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan. 10
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, t.t), hlm 177.
11
keluarnya sperma bagi laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15
tahun. Dalam Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun,
individu mengalami "bermimpi" (pollusio)12.
Ada beberapa perbedaan pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seseorang
mencapai baligh,13 diantaranya:
Menurut mazhab Hanafiyah seorang anak dikatakan mencapai dewasa (baligh)
jika mengalami ihtilam bagi laki-laki, sedangkan perempuan dikatakan dewasa jika
sudah mengalami haid. Batas umur dikatakan dewasa menurut Hanafiyah adalah 12
tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.
Menurut mazhab Malikiyah, tanda alami seorang anak mencapai dewasa adalah
haid dan hamil bagi perempuan, sedangkan keluarnya air mani, tumbuhnya rambut
disekitar kemaluan, berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami bagi
laki-laki.
Menurut mazhab Syafi’iyah, seorang anak dikatakan dewasa apabila sudah
mencapai umur 15 tahun.14Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.Hal ini disebabkan anak belum
dibebani dengan tanggung jawab dan tidak dibebani hukum karena belum dewasa.
Dalam hukum pidana Islam, yang membahas tentang hukum pidana anak di bawah
umur, yaitu mengenai batasan umur, dan kedewasaan seseorang, maka tidak lepas dari dua
12
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta : Balai Penerbitan &Perpustakaan Islam Yayasan
Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971), hlm 68.
13
Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, (Depok: Indie Publishing, 2014), hlm 25.
14
perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Dengan demikian setiap
manusia pasti melalui beberapa masa berbeda, dalam menjalani hidupnya mulai dari dia
lahir sampai dia dewasa dan cakap dalam hukum15. Pengertian anak dari segi bahasa adalah
keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab
terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan
di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Sebagai contoh“walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh
manusia dan binatang yang bersangkutan16.
Dalam konsep fiqih Islam dijelaskan tentang sifat-sifat seseorang yang dijadikan
sebagai tolok ukur syara’ yang disebut ahliyyah.Ahliyyah adalahsifat yang
menunjukanseseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini,
maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang
bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima
hak dari orang lain.
Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang
mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua
perbuatannya dapat dikenai taklif(pembebanan hukum).
1. Pembagian ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan
dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh
15
Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm 24.
16
membagi ahliyyah kepada bentuk, yaitu ahliyyah al-ada’ (
ءاداا ةيلها
) dan ahliyyahal-wujub(
وجولا ةيلها
)a. Ahliyyah al-ada’
adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga setiap perbuatan dan
perkataannya telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang memiliki sifat ini
dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua
perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun
yang negatif.
Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan secara
sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi
penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur ,gila, lupa, terpaksa dan lain-lain.
Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah
selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (rusyd). Rusyd adalah kemampuan seseorang
untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat an-Nisa’.4
ىَماَتَيلا ْاوُلَ تْ باَو
ْمََُاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ ْاوُعَ فْداَف ًادْشُر ْمُهْ نِم مُتْسَنآ ْنِإَف َحاَكِنلا ْاوُغَلَ ب اَذِإ ََََح
artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya17".
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap
tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah
17
1. Adim al-ahliyyah (
ةيلهاا ميدع
) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusiasemenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur
ini,seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif
itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut
mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan-ucapan pembebasan
dan ucapan lain yang diucapkannya tidak mempunyai akibat hukum atau tidak
sah. Semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya tidak dapat
dituntut secara badani. Untuk menutupi kerugian pihak lain yang menjadi korban
kejahatannya yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.
2. Ahliyyah al-ada’ naqishah (
ةصق ن ءاداا ةيلها
) atau cakap berbuat hukum secaralemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun)
sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena
akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenanai hukum dan
sebagian lainnya tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan
atau perbuatannya, terbagi kepada 3 tingkat; dan setiap tingkat memiliki akibat
hukum tersendiri, yaitu:
a) Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya
menerima pemberian (hibah) atau wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini,
baik dalam ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tampa
persetujuan dari walinya.
b) Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang
ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukannya, dalam bentuk
pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang
dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk itu tidak sah dan tidak berikat
hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
c) Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual
beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang disatu pihak
mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya.
Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak
tetapi kesahannya tergantung pada persetujuan yang diberikan oleh walinya
sesudah tindakan itu dilakukan.
3. Ahliyyah al-ada’ kamilah (
ةلم ك ءاداا ةيلها
) atau cakap berbuat hukum secarasempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.Usia dewasa dalam
kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi
wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh.
Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu
sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin
melakukan perkawinan.
b. Ahliyyah al-wujub
Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak
dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau
dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas
terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah
1. Ahliyah al-wujub naqish (
ةصق ن وجولا ةيلها
) atau kecakapan dikenai hukumsecara lemah, yaitu ketika seorang masih berada di dalam kandungan ibunya
(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena
hak-hak yang harus ia terima belum dapat dimilikinya, sebelum ia lahir kedunia
dengan selamat walau sesaat. Apabila ia telah lahir maka hak-hak yang ia terima
menjadi miliknya. Ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya,
yaitu:
a. Hak keturunan dari ayahnya
b. Hak waris dari ahli warisnya
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.18
2. Ahliyah al-wujub kamilah (
ةيلهاةلم ك وجولا
) atau kecakapan di kenai hukumsecara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga
menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama
ia masih bernafas.Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti
menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban
seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang
pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang
tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang.
Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan untuk
memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara
yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan tersebut menekankan
18
pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak
lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.19
Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena
perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya,
walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan
tanda-tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya. Bertitik tolak dari uraian
diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu
merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum
berusia 18 (Delapan belas tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.
B. PengertianTindak Pidana
1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif.
Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau
“Delict”, atau “Crime” dalam bahasa Inggris. Namun, dalam beberapa literature dan
perundang-undangan hukum pidana, terdapat istilah lain yang dipakai oleh para sarjana
untuk menerjemahkan Strafbaar feit, seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana,
pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan
lain-lain.20
19
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, hlm 8.
20
Pada dasarnya, istilah Strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga
kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.Kata baar diterjemahkan
dengan dapat dan boleh.Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,
dan perbuatan.Jadi, secara singkat bisa diartikan perbuatan yang dapat
dihukum.21Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.22
Menurut Vos memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah
kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan
pidana. Pidana yang dimaksud disini adalah hukuman, menurut R. Soesilo yang
dimaksud dengan hukuman ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan
oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum
pidana”.23
Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa istilah tindak
pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh
masyarakat. Menurut Sudarto,24 yang dimaksud tindak pidana adalah “Perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan
pemberian pidana”.D. Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
21
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm 25. 22
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 23.
23
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politea, 1995), hlm 56.
24
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.25
Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang
menggunakan istilah perbuatan pidana.Dalam definisinya, Moeljatno membedakan
secara tegas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.Dengan demikian, terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana,
pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya
apakah telah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak.Walaupun perbuatan
tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang,
namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum, karena dilihat pula mengenai
kemampuan bertanggung jawabnya.Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab,
maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum.26
Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak
yang telah melakukan Criminal act selain perlu dikaji sifat dari perbuatannya, patut diuji
pula masalah kemampuan bertanggung jawab.Dengan demikian, diperlukan adanya
kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu
tindak pidana, untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidananya.
25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm 8.
26
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.Dalam
masalah ini, Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur
yang terdapat diluar diri manusia, yaitu berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan,
suatu akibat tertentu dan berupa keadaan yang semuanya dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang.27Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada
diri pembuat.Unsur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan
seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (toerekeningsvat baarheid)dan
kesalahan seseorang (schuld).28
Seseorang dapat dikatakan toerekeningsvat baarheidapabila orang tersebut
memenuhi tiga syarat, yaitu keadaan jiwa orang tersebut dapat mengerti akan nilai dan
akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya,29Orang tersebut dapat menentukan
kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan,30Orang tersebut harus sadar bahwa
perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari
segi hukum, dari sudut kemasyarakatan, ataupun darisegi ketatasusilaan.
Kemudian kesalahan seseorang atau schuldmerupakan unsur subjektif kedua dari
tindak pidana bisa berupa dolus atau dalam Bahasa Belanda disebut opzet yang berarti
kesengajaan dan culpa atau ketidaksengajaan atau kealpaan.Indikasi adanya opzet pada
diri pelaku tindak pidana, KUHP menggunakan beberapa istilah. Yaitu dengan sengaja,
27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th), hlm 73.
28
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 27.
29
Dalam hukum Islam, masalah ini biasanya dihubungkan dengan kondisi orang yang bersangkutan haruslah sudah baligh, dewasa, dan berakal sehat serta tidak dalamkondisi dipaksa oleh pihak lain.
30
seperti dalam pasal 333 dan 338 KUHP, yang diketahuinya, seperti dalam pasal 280 dan
286 KUHP, dengan maksud seperti dalam pasal 362 dan 368 KUHP.31
Wirjono Projodikoro menjelaskan arti culpa adalah kesalahan pada umumnya,
tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam
kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang
berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi.32Tindak pidana akibat culpa ini
dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan
akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah
perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri.33
Sedangkan menurut Simon salah satu yang berpandangan monistis, unsur-unsur
tindak pidana adalah:
a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)
b) Diancam dengan pidana
c) Melawan hukum
d) Dilakukan dengan kesalahan
e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Sedangkan menurut Pompe yang berpandangan dualistik, walaupun menurut
teori tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: a. Perbuatan, b. Bersifat melawan hukum, c.
Dilakukan dengan kesalahan, d. Diancam pidana. Namun dalam hukum positif, sifat
31
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), cet ke-3, hlm 8-10, lihat juga P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, 1997), hlm 62.
32
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), cet pertama, hlm 72.
33
melawan hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Oleh
karena itu, ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang dapat dipidana.34
Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno yang
berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:
a. Perbuatan (manusia)
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
c. Bersifat melawan hukum
Adapun kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak
masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang
berbuat.
Apabila dilihat dari aspek yuridis-normatif, mengkaji suatu tindakpidana
termasuk di dalamnya masalah kejahatan, maka arah pandangannya hanya fokus pada
maslah lahiriyah, dalam arti hanya menitik-beratkan pada perbuatan nyata
(actus-reus).Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan
batin (mens-rea) khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Namun,
menyangkut persoalan tindak pidana, persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada
masalah moral/etika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadian/kejiwaan
(psikologis).Terkait dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih
menitik-beratkan pada masalah tingkah laku yang erat dengan masalah kejiwaan.
3. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Fiqih jinayah
adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang
34
(jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.35 Dalam
penjelasan lain, Fiqih Jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis
hukum yang diperintah dan dilarang al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, serta hukuman
yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan
tersebut (tindakan kriminal). Yang dimaksud tindakan kriminal adalah perbuatan
kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan peraturan
perundang-undangan.36 Hukum Pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang
mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.37
Menurut Abdul Qadir Audah, Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, maupun lainnya”.38
a. Macam-Macam Jarimah
Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu:
1) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Menurut
Abdul Qadir Audah, “hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syara’ dan merupakan hak Allah”.
Jarimah hudud yang terdiri atas:
a) Jarimah zina,
b) Jarimah qadzaf (menuduh muslim baik-baik berbuat zina),
c) Jarimah syrub al-khamr (meminum minuman keras),
d) Jarimah al-bagyu (pemberontakan),
e) Jarimah al-riddah (murtad),
35
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), cet ke-1, hlm 1.
36
Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: KENCANA, 2013), Cet-1, hlm 111.
37
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar grafika, 2007), hlm, 1.
38
f) Jarimah al-sariqah (pencurian),
g) Jarimah al-hirabah (perampokan).39
2) Jarimah Qishash adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana
sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan
anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.
Dalam fiqh jinayah sanksi qishash ada dua macam, yaitu:
a) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan.
b) Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan.40
3) Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak
mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi hukuman had dan tidak pula
membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang
berkaitan dengan hukuman ta’zir diserahkan semuanya kepada kesepakatan
manusia.41
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh
jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
2. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah
jarimah,
39
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 3.
40
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 4-5.
41
3. Al-rukn al-adabi atau unsure moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau
sedang dibawah ancaman.42
Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam
pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat
dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum
yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam
peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas
konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam
konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi
hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan
manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi Hukum
Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai
berbagai hubungan. Seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan manusia dengan
benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.43
42
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 2-3. 43
Sedangkan untuk tujuan hukum Islam disebut dengan maqasid al-syari’ah.
Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Dengan kata lain, untuk kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan maqasid al-syari’ah menjadi
lima bidang, yakni (1) untuk memelihara agama (hifdz al-din), (2) memelihara jiwa
(hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifd al-aql), (4) memelihara keturunan (hifdz
al-nasl), dan (5) memelihara harta (hifdz al-mal).44
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga
hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan
masyarakat dan Negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan
dengan keyakinan agama, jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta
kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini
jelas luas sekali karena menyangkut seluruh aspek kehidupan man