• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Diversi dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Tng)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Diversi dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Tng)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Sebagai Salah SatuSyaratMemperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh :

MUHAMMAD IQBAL FARHAN

NIM : 1111043200017

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Sebagai Salah SatuSyarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Muhammad Iqbal Farhan NIM: 1111043200017 Di bawahBimbingan:

DosenPembimbing I DosenPembimbing II

Dr.H.AsrorunNi’am, Lc.,MA. Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA. NIP: 19760531200003 1 001 NIP: 19610820 199603 2 001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

ii

Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan Hukum.

Jakarta, 11Oktober 2016

Mengesahkan,

DekanFakultasSyariahdanHukum

Dr. AsepSaepudinJahar, MA NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN

Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (...)

NIP. 197412132003121002

Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S.Ag.,Lc, MA (...)

NIP. 197402162008012013

Pembimbing I : Dr. H. AsrorunNi’am, Lc.,MA (...) NIP. 19760531 200003 1 001

Pembimbing II : HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin (...)

NIP. 19610820 199603 2 001

Penguji I : Dr. H. Nahrowi, SH, MH (...)

NIP.19730215 199903 1 002

Penguji II : DewiSukarti, MA (...)

(4)

iii Dengan ini saya menyatakan :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Oktober 2016

(5)

iv

Perbandingan Hukum, Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Di bawah bimbingan Dr.H. Asrurun Ni’am, Lc.,MA dan

Hj.Ummu Hana Yusuf Saumin.MA.

Fenomena kenakalan remaja dan tindak pidana yang dilakukan anak setiap tahun semakin meningkat. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menerapkan restorative justice, termasuk diversi sebagai alternatif penyelesaian. Meski pada kenyataannya, sebagian masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung selalu ingin menghukum anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga banyak anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG menurut hukum positif dan hukum Islam. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Penulis menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder.

Hasil penelitian ini bahwa pertama putusan yang dijatuhkan oleh hakim cukup adil bagi anak yaitu 8 bulan penjara sebagai upaya terakhir dalam penyelesaian permasalahan ini. Yang kedua, menurut hukum Islam pencurian yang dilakukan anak termasuk pencurian kecil. Putusan yang diberikan kepada anak adalah hukuman ta’zir berupa

penjara 8 bulan. Hukuman tersebut diberikan sebagai ta’dib agar anak menyesali

perbuatannya dan diharapkan anak masih bisa membangun masa depan yang lebih baik.

Kata kunci: Anak, Diversi, Putusan Nomor:15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

Pembimbing : Dr. H. Asrorun Ni’am, Lc.,MA. HJ. Ummu Hana Yusuf Saumin,MA.

(6)

taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan sahabatnya. Kemudahan dan pertolongan Allah SWT serta atas

izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penerapan Diversi Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait serta

teman-teman seperjuangan dalam memberikan ide dan wawasan serta waktu untuk berdiskusi.

Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila penulis mengucapkan terimakasih sebagai bentuk

penghargaan kepada:

1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Prodi Perbandingan

Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab

dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

5. Ibu Hj. Ummu Hana Yusuf Saumin, MA selaku dosen Pembimbing II yang

telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya serta

kesabarannya dalam memberikan pengarahan dan perbaikan yang baik sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ketua dan seluruh Staff Pengadilan Negeri Tangerang yang telah membantu

memberikan informasi dan data yang diperlukan dalam proses penyusunan

skripsi ini.

7. Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta serta Pimpinan dan Staff Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah banyak membantu penulis dalam mencari buku dan referansi

yang diperlukan.

8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama

menjalani pendidikan berlangsung.

9. Ayahanda tercinta Bapak Muhamad dan Ibunda tercinta Musenah yang telah

banyak mendoakan dan memotivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis

sehingga skripsi ini selesai.

(8)

semangat dan kenangan dalam menjalani masa pendidikan di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Semoga kita bisa sukses untuk kedepannya. Aamiin ya

robb.

Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis

mendapat imbalan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap skripsi ini ada

manfaatnya.Aamiin ya robb.

Jakarta, 03 Oktober 2016

(9)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……… i

LEMBAR PENGESAHAN……… ii

LEMBAR PERNYATAAN……… iii

ABSTRAK………... iv

KATA PENGANTAR………. v

DAFTAR ISI……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah……… 1

B. IdentifikasiMasalah……….. 7

C. BatasandanRumusanMasalah………. 7

D. TujuandanManfaatPenelitian……….. 9

E. Tinjauan (Review) KajianTerdahulu……… 10

F. MetodePenelitian………. 11

G. SistematikaPenulisan……… 14

BAB II TINJAUAN TENTANG DIVERSI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. PengertianAnak……… 16

B. PengertianTindakPidana………. 28

C. PengertianDiversi………. 41

(10)

vi

BAB IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

A. Analisis Pandangan Hukum Positif Terhadap Putusan Nomor

15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………...……… 69

B. Analisis Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor

15/Pid.Sus-Anak/PN.TNG………..………. 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………. 79

B. Saran……… 80

DAFTAR USTAKA……….. 82

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak sebagai

tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak

kelak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu

dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahtraan anak dengan

memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan

tanpa diskriminasi.1

Akhir-akhir ini harapan tersebut seperti dikandaskan oleh berbagai berita

di media massa yang memuat tentang kenakalan remaja dan tindak pidana yang

telah dilakukan oleh anak semakin meningkat. Apabila dicermati perkembangan

tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus

operandi yang dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak

khususnya orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang

dilakukan anak tidak sebanding lurus dengan usia pelaku.

1

(12)

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan

dengan hukum, yaitu:

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan

oleh orang dewasa tidak dianggap kejahatan, seperti; tidak menurut,

membolos sekolah atau kabur dari rumah.

2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran

hukum.2

Berdasarkan hasil pemantauan KPAI anak berhadapan dengan hukum

hingga april 2015 tercatat 6006 kasus.3 Kemudian catatan Komnas Perlindungan

Anak, di tahun 2013, sekitar 5000 anak mendekam dipenjara dan ada yang sudah

divonis melakukan tindak pidana.4 Sedangkan dari data statistik Polda Metro Jaya

antara bulan Januari-Maret 2015 tercatat 14.918 kasus kenakalan remaja.5

Kemudian catatan yang disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan

dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan Priyadi dalam konferensi pers di

Aula Lapas Anak, Jalan Arcamanik, Selasa (4/8/2015), Priyadi mengatakan

bahwa catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015, anak-anak yang berada

di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan

diversi sebanyak 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang

2

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), hlm 33.

3

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/. Diakses pada 16 Oktober 2016.

4

http://Metro.sindonews.com/read/910410/31/5-000-anak-mendekam-di-penjara-1412957017. diakses pada 21 Agustus 2015.

5

(13)

sedang asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti jelang bebas. Kebanyakan dari

mereka terlibat dalam kasus narkoba, kesusilaan, dan pencurian.6

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan yang melanggar hukum yang

dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak

negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang

komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan

sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh

terhadap nilai dan perilaku anak.7

Dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak telah

dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi

Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang mengatur prinsip

perlindungan hukum terhadap anak, berkewajiban untuk memberikan

perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.8 Salah satu

bentuk perlindungan anak oleh negara diwujudkan melalui sistem peradilan

pidana khusus anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem Peradilan Pidana

Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan

dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan

setelah menjalani pidana.

6

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kini-berhadapan-dengan-hukum. diakses pada 21 September 2015.

7

Lihat Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan Tentang Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

8

(14)

Sistem pengadilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 telah diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena sudah tidak sesuai lagi dengan

kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan

perlindungan Khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat

perubahan yang fundamental dalam Undang-Undang tersebut, antara lain

digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi yang

dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan

sehingga dapat menghindari stigma negatif terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara

wajar.

Restorative Justice adalah penyelesian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku, dan pihak lain yang terkait

untuk bersama-sama mencari penyelesain yang adil dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan

diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana

ke proses diluar peradilan pidana.9 Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan

Pidana Anak, diversi bertujuan mencapai perdamain antara korban dan anak,

menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari

9

(15)

perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.10

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan

bahwa:

Ayat (1) “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan diversi”.

Ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

1. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7(tujuh) tahun; dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.11

Oleh karena itu penerapan diversi merupakan suatu kewajiban, maka

menjadi penting bagi pejabat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan

untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut.

Atas dasar itu, kemudian Mahkamah Agung merespon UU Sistem

Peradilan Pidana Anak dengan menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini

memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan hakim dalam

penyelesaian pidana anak mengingat belum ada regulasi yang memuat hukum

acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam hukum Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui

perdamaian yang disebut dengan al-sulh. Secara bahasa, al-sulh berarti

menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian

10

Lihat Pasal 6 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

11

(16)

al-sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak.12Islam

menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik didepan

pengadilan maupun diluar pengadilan. Al-sulh memberikan kesempatan para

pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaikan sengketa.

Meskipun UU SPPA telah diberlakukan per 1 Agustus 2014, keinginan

besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara bukan

saja membuat penjara penuh, tetapi juga menghambat penerapan restorative

justice. Seperti kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan anak dibawah umur

yaitu Mohammad Abdul Faisal Bin Sarmaya 17 (tujuh belas) tahun yang terjadi di

Kp. Bolang RT 004/001 Ds. Sukasari Kec, Rajeg Kab. Tangerang. Bahwa

sebelum sampai ke persidangan korban dan anak telah ada perdamaian, namun

dalam putusannya, hakim memvonis terdakwa anak dengan pidana penjara selama

8 (delapan) bulan dengan dakwaan pencurian dengan pemberatan dan membawa

senjata tanpa ijin dari yang berwenang.

Prof. M Taufik Makarao, mengatakan kultur sebagian masyarakat

Indonesia yang cenderung selalu ingin menghukum justru belum mendukung

penerapan restorative justice, termasuk diversi. Padahal, menghukum pelaku anak

dibawah umur apalagi mengirimnya ke penjara dalam waktu lama tak akan

menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.13

12

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah juz 2 (Kairo: Dar al Fath,1990), hlm 201. 13

(17)

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, menjadi dorongan penulis untuk

melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut Hukum

Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG).”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka masalah dari

penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang diversi?

2. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

4. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat penerapan diversi dalam

penyelesaian tindak pidana anak di Pengadilan Negeri Tangerang?

5. Apa dampak positifnya terhadap anak yang menyelesaikan tindak pidana

dengan sistem diversi?

C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang

menangani kasus tindak pidana khususnya yang dilakukan oleh anak untuk

(18)

tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya. Berdasarkan latar

belakang tersebut, tema yang dibahas akan sangat luas apabila dipaparkan secara

keseluruhan di dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis membatasi pembahasan

dalam skripsi ini, sebagai berikut:

1. Kajian: dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan yang berkaitan

dengan diversi, yaitu:

a. Anak: di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak disebut

anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana dan anak menurut hukum Islam.

b. Tindak pidana: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan

apa itu tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, dan tindak pidana

dalam hukum Islam.

c. Diversi: di dalam penulisan ini penulis akan menjelaskan apa itu

diversi, bagaimana penerapannya dan seperti apa pandangan

hukum Islam tentang diversi.

2. Lokasi penelitian skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Tangerang

berdasarkan Surat Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.

3. Data yang diteliti dalam skripsi ini adalah UU SPPA yang mulai

diberlakukan pada tahun 2014, PERMA No 4 Tahun 2014, Putusan

Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang dikeluarkan pada tahun

(19)

Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah diatas memerlukan suatu

usaha dari peneliti. Dengan keterbatasan kemampuan maka penelitian ini hanya

akan dibatasi pada:

1. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap putusan perkara Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap putusan perkara Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Positif terhadap putusan

perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.

b. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Islam terhadap putusan

perkara Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan

manfaat diantaranya:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap

kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses

diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak di Pengadilan

(20)

b. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada

masyarakat luas tentang proses diversi dalam penyelesaian perkara

pidana anak di Pengadilan Negeri.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu, beberapa hasil

kajian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk

dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca maka

ada beberapa yang penulis anggap bisa dijadikan review (kajian) antara lain:

1. Skripsi yang berjudul “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak

Yang Berhadapan Dengan Hukum” yang ditulis oleh Ifah Latifah

Fitriani.14 Skripsi ini menjelaskan adanya penerapan penyelesaian

alternatif kasus anak melalui restorative justice, mengkaji restorative

justice dalam persfektif hukum Islam, urgensi dan sisi-sisi maslahah

keadilan restoratif dalam penyelesaian kasus pidana anak.

2. Skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan

Anak Perfektif Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 tahun 2012

Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”.15

Dalam skripsi ini

membahas tentang diversi dalam UU SPPA, diversi dalam hukum

14 Ifah Latifah Fitriani, “Islam dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2012).

(21)

Islam dan teori perdamain (al-sulh) sebagai perbandingannya. Yang

membedakan dari skripsi yang akan penulis kaji adalah bagaimana

penerapan diversi di pengadilan dengan adanya studi kasus putusan

pengadilan. Selain menggunakan UU SPPA penulis juga

menggunakan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA

ini memuat tata cara pelaksanaan diversi yang menjadi pegangan

hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada

regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan

Pidana Anak.

3. Skripsi yang berjudul “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor

225/PID.B/2010/PN-BKL) Dalam Perspektif Restorative Justice”.16

Skripsi ini membahas bagaimana penerapan dan alasan apa saja

restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidan ringan

menurut hukum positif dan hukum Islam.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

hukum. Penelitian hukum adalah menemukan kebenaran kohesi yaitu

(22)

adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang

berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hokum, serta

apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip

hokum.17

2. Pendekata Penelitian

Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang

digunakan dalam penulisan hukum menurut Peter Mahmud Marzuki

adalah sebagai berikut: a) pendekatan kasus, b) pendekatan

perundang-undangan, c) pendekatan historis, d) pendekatan perbandingan, dan e)

pendekatan konseptual.18

Adapun pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa

pendekatan diatas adalah pendekatan perundang-undangan dan

pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan

yang digunakan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan

dengan isu hokum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah

pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Sumber-sumber Penelitian

a. Data Primer

Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam

penelitian, terdiri dari:

17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2014), hlm. 47.

18

(23)

a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

b) PERMA Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

c) Putusan Pengadilan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

b. Data Sekunder

Kajian-kajian yang membahas tentang diversi yang terkait

dengan pokok masalah diatas, juga didukung dengan data

pelangkap seperti:

a) Buku-buku

b) Makalah Hukum

c) Jurnal

d) Artikel Ilmiah

e) Arsip-arsip yang mendukung

f) Publikasi dari lembaga terkait.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan mencari

konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang

berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan

berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana,

(24)

b. Studi Dokumentasi adalah berupa putusan pengadilan Nomor

15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG yang diambil langsung di

pengadilan Negeri Tangerang.

5. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deduktif, yaitu menjelaskan

suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi

kesimpulan yang bersifat khusus.

Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap isu yang

dihadapi dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

kemudian mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, kemudian

ditarik kesimpulan dari hasil analisis tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa

yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul diatas, maka dalam sub bab ini

penulis akan membuat sistematika sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka

teori dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan tentang diversi menurut hukum positif dan hukum Islam

(25)

BAB III : Putusan Hakim Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

a) Duduk Perkara, dan b) Amar Putusan

BAB IV : Analisis Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap

Putusan Nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG

(26)

BAB II

TINJAUAN TENTANG DIVERSI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK

A.Pengertian Anak

1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia

Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha

Esa yang memiliki peran yang sangat startegis dalam menjamin eksistensi negara.1

Ditinjau dari aspek yuridis pengertian anak dimata hukum Positif Indonesia lazim

diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur atau keadaan

dibawah umur atau kerap juga disebut anak yang dibawah pengawasan wali.2

Pengertian anak dapat dikaji dari perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis.

Pengertian dari perspektif sosiologis diartikan kriteria dapat dikategorikan sebagai anak,

bukan semata-mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan

dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk hidup mandiri menurut pandangan

social kemasyarakatan dimana ia berada. Perspektif psikologis, berarti pertumbuhan

manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai

dengan cirri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seorang anak, disamping

ditentukan atas batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa

yang dialaminya. Perspektif yuridis berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat

hukum, dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang

anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan orang

tua, pengakuan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, serta masalah pengankatan anak

1

M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 9.

2

(27)

dan lain-lain.3 Dasar itulah yang dapat menentukan mengenai klasifikasi seorang anak,

karena Indonesia sebagai negara hukum maka perlindungan terhadap anak harus dalam

bentuk peraturan perundang-undangan.

Anak dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Anak didefinisikan

sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.4 Dasar pertimbangan penentuan batas usia dalam UU ini mengacu kepada

ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia

melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam definisi tersebut disebutkan

bahwa anak juga termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Hal ini dimaksud

bahwa anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak

memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal

pada waktu dilahirkan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan. Dalam hukum perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum

berumur 21 tahun dan belum pernah kawin5. Kemudian dalam Undang-undang Sistem

Perlindungan Anak, batasan usia pertanggungjawaban pidana ditentukan antara usia 12

(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut

3

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 1- 4.

4

UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

5

(28)

ditegaskan dalam The Beijing Rules, di dalam Rules 4 dinyatakan, bahwa: Pada

sistem-sistem hukum yang mengakui konsep usia pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak,

awal usia itu tidak dapat ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat

kenyataan kedewasaan emosional, mental dan intelektual.6Artinya jika

pertanggungjawaban pidana ditetapkan terlalu rendah, maka pengertian tanggung jawab

tidak memiliki arti.

Sedangkan batasan anak menurut Diana Kusumasari tertera dalam table berikut:7

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal 45

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya

Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61)

menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun

dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 47

Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah

yang belum mencapai 18 tahun.

Undang-Undang No.

13 Tahun 2003

tentang

Ketenagakerjaan

Pasal 1 angka 26

Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun

Undang-Undang No.

12 Tahun 1995

tentang

Pemasyarakatan

Pasal 1 angka 8

Anak didik pemasyarakatan adalah:

a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan

6

Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm 16.

7

(29)

belas) tahun;

b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan

belas) tahun;

c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Undang-Undang No.

11 Tahun 2012

tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5

 Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah

anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.

a. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

 Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah

anak yang belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Undang-Undang No.

39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 5

Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah

18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Undang-Undang No.

23 Tahun 2002

tentang Perlindungan

Anak sebagaimana

terakhir diubah

dengan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

Pasal 1 angka 1

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Undang-Undang No.

44 Tahun 2008

tentang Pornografi

Pasal 1 angka 4

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)

(30)

dewasa adalah 21 tahun Undang-Undang No.

12 Tahun 2006

tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia

Pasal 4 huruf h

Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18

(delapan belas) tahun atau belum kawin.

Undang-Undang No.

21 Tahun 2007

tentang

Pemberantasan

Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Pasal 1 angka 5

Anak adalah seseorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Batas usia anak jika dilihat dari usia perkawinan,maka dibedakan dalam 2

kategori, yaitu:

a. Usia kuantitatif,penentuan usia kuantitatif beraneka macam. Dalam UU

Kepemudaan, mereka yang sudah 16 tahun disebut pemuda, sudah tidak disebut

anak. Dalam UU Pemilu, mereka yang berusia 17 tahun sudah dianggap dewasa

dan bisa mengikuti pemilu. Berbeda pula dalam usia kecapakan kerja, UU

Ketenagakerjaan menyebutkan usia 13-15 tahun masuk kategori dimungkinkan

bekerja ringan.8

b. Usia Kualitatif, yaitu usia pernikahan dengan mengedepankan kemampuan atau

kompetensi anak. Pernikahan dimaknai sebagi akad berarti membutuhkan

edukasi yang mendalam bagi kedua pihak. Kesiapan menanggung akibat hukum

pascaakad harus diperhatikan. Di sinilah pentingnya edukasi pernikahan, menuju

pendewasaan usia, dalam arti kualitatif yang merujuk pada kompetensi. Secara

terminologi, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

8

(31)

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hak yang harus dipenuhi

pada anak adalah hak beragama sesuai yang dianut.Dengan demikian, usia

pernikahan hendaknya merujuk pada kualitas individu yang terkait erat dengan

kematangan dan kesiapan fisik maupun mental untuk merealisasi tujuan

perkawinan. Batasan 19 tahun dan 16 tahun hanya dibaca sebagai usia

"minimalis", itu pun tetap dengan syarat ketat, syarat izin orang tua, syarat tetap

terpenuhi hak dasar kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta terlindungi dari

kekerasan dan eksploitasi9.

2. Anak menurut Hukum Islam

Anak dalam syari’at Islam didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai

umur baligh. Baligh dalam Islam dimaknai sebagai batasan umur seseorang yang sudah

dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya secara hukum. Baligh dapat

ditentukan dengan tanda-tanda alami atau dengan umur.Nabi saw bersabda :

َمِلَتََْ َََح َِِِصلا ِنَع : ٍةَثَاَث ْنَع ُمَلَقْلا َعِفُر

.

Artinya:"Tuntutan untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)10.

Atas dasar hadis tersebut, di dalam banyakpembahasan fiqh Islam disebutkan

ciri-ciri balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid pertama pada

perempuan dan keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima’ (ihtilam)11.Sedangkan

fakta empiris membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga

9

Asrorun Ni’am Sholeh, Usia Kualitatif Pernikahan. 10

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, t.t), hlm 177.

11

(32)

keluarnya sperma bagi laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15

tahun. Dalam Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun,

individu mengalami "bermimpi" (pollusio)12.

Ada beberapa perbedaan pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seseorang

mencapai baligh,13 diantaranya:

Menurut mazhab Hanafiyah seorang anak dikatakan mencapai dewasa (baligh)

jika mengalami ihtilam bagi laki-laki, sedangkan perempuan dikatakan dewasa jika

sudah mengalami haid. Batas umur dikatakan dewasa menurut Hanafiyah adalah 12

tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.

Menurut mazhab Malikiyah, tanda alami seorang anak mencapai dewasa adalah

haid dan hamil bagi perempuan, sedangkan keluarnya air mani, tumbuhnya rambut

disekitar kemaluan, berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami bagi

laki-laki.

Menurut mazhab Syafi’iyah, seorang anak dikatakan dewasa apabila sudah

mencapai umur 15 tahun.14Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai

pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.Hal ini disebabkan anak belum

dibebani dengan tanggung jawab dan tidak dibebani hukum karena belum dewasa.

Dalam hukum pidana Islam, yang membahas tentang hukum pidana anak di bawah

umur, yaitu mengenai batasan umur, dan kedewasaan seseorang, maka tidak lepas dari dua

12

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta : Balai Penerbitan &Perpustakaan Islam Yayasan

Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971), hlm 68.

13

Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif Hukum Islam, (Depok: Indie Publishing, 2014), hlm 25.

14

(33)

perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Dengan demikian setiap

manusia pasti melalui beberapa masa berbeda, dalam menjalani hidupnya mulai dari dia

lahir sampai dia dewasa dan cakap dalam hukum15. Pengertian anak dari segi bahasa adalah

keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab

terdapat berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat perbedaan

di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya sama artinya. Sebagai contoh“walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai untuk anak yang dilahirkan oleh

manusia dan binatang yang bersangkutan16.

Dalam konsep fiqih Islam dijelaskan tentang sifat-sifat seseorang yang dijadikan

sebagai tolok ukur syara’ yang disebut ahliyyah.Ahliyyah adalahsifat yang

menunjukanseseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh

tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabilah seseorang telah mempunyai sifat ini,

maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang

bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain, atau transaksi yang bersifat menerima

hak dari orang lain.

Melalui defenisi diatas ini dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang

mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua

perbuatannya dapat dikenai taklif(pembebanan hukum).

1. Pembagian ahliyyah

Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan

dengan perkembangan jasmani dam akalnya. Sehubungan dengan ini, para ahli usul fiqh

15

Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm 24.

16

(34)

membagi ahliyyah kepada bentuk, yaitu ahliyyah al-ada’ (

ءاداا ةيلها

) dan ahliyyah

al-wujub(

وجولا ةيلها

)

a. Ahliyyah al-ada’

adalah kecakapan yang telah dimiliki seseorang sehingga setiap perbuatan dan

perkataannya telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang memiliki sifat ini

dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

dengan kecakapan ini seseorang dianggap sebagai mukallaf, dimana semua

perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun

yang negatif.

Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecerdasan secara

sempurana apabilah telah baliqh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi

penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur ,gila, lupa, terpaksa dan lain-lain.

Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah

selain baliqh, berakal, juga harus cerdas (rusyd). Rusyd adalah kemampuan seseorang

untuk mengendalikan hartanya. Seperti firman Allah surat an-Nisa’.4

ىَماَتَيلا ْاوُلَ تْ باَو

ْمََُاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ ْاوُعَ فْداَف ًادْشُر ْمُهْ نِم مُتْسَنآ ْنِإَف َحاَكِنلا ْاوُغَلَ ب اَذِإ ََََح

artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian

menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya17".

Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap

tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia. Ketiga tingkat itu adalah

17

(35)

1. Adim al-ahliyyah (

ةيلهاا ميدع

) atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia

semenjak lahir sampai berumur tamyiz sekitar umur 7 tahun.Dalam batas umur

ini,seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif

itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebut

mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ucapan-ucapan pembebasan

dan ucapan lain yang diucapkannya tidak mempunyai akibat hukum atau tidak

sah. Semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya tidak dapat

dituntut secara badani. Untuk menutupi kerugian pihak lain yang menjadi korban

kejahatannya yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.

2. Ahliyyah al-ada’ naqishah (

ةصق ن ءاداا ةيلها

) atau cakap berbuat hukum secara

lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun)

sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena

akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam

hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenanai hukum dan

sebagian lainnya tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan

atau perbuatannya, terbagi kepada 3 tingkat; dan setiap tingkat memiliki akibat

hukum tersendiri, yaitu:

a) Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; umpamanya

menerima pemberian (hibah) atau wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini,

baik dalam ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tampa

persetujuan dari walinya.

b) Tindakan yang semata-mata merugikanya atau mengurangi hak-hak yang

ada padanya; umpamanya pemberian yang dilakukannya, dalam bentuk

(36)

pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang

dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk itu tidak sah dan tidak berikat

hukum atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.

c) Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Umpamanya jual

beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang disatu pihak

mengurangi haknya dan dipihak lain menambah hak yang ada padanya.

Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak

tetapi kesahannya tergantung pada persetujuan yang diberikan oleh walinya

sesudah tindakan itu dilakukan.

3. Ahliyyah al-ada’ kamilah (

ةلم ك ءاداا ةيلها

) atau cakap berbuat hukum secara

sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.Usia dewasa dalam

kitab-kitab fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani; yaitu bagi

wanita telah haid atau mens dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh.

Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, yaitu

sampai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin

melakukan perkawinan.

b. Ahliyyah al-wujub

Ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak

dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi tiap manusia ditinjau

dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas

terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya. Para ahli ushul membagi ahliyah

(37)

1. Ahliyah al-wujub naqish (

ةصق ن وجولا ةيلها

) atau kecakapan dikenai hukum

secara lemah, yaitu ketika seorang masih berada di dalam kandungan ibunya

(janin). Janin dianggap memiliki ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena

hak-hak yang harus ia terima belum dapat dimilikinya, sebelum ia lahir kedunia

dengan selamat walau sesaat. Apabila ia telah lahir maka hak-hak yang ia terima

menjadi miliknya. Ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya,

yaitu:

a. Hak keturunan dari ayahnya

b. Hak waris dari ahli warisnya

c. Wasiat yang ditujukan kepadanya

d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.18

2. Ahliyah al-wujub kamilah (

ةيلهاةلم ك وجولا

) atau kecakapan di kenai hukum

secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga

menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai ia sekarat selama

ia masih bernafas.Contoh anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti

menerima warisan dari orang tua atau kerabatnaya, ia juga dikenahi kewajiban

seperti zakat fitrah atau zakat harta menurut sebagian pendapat ulama yang

pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.

Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang

tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang.

Dalam penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan untuk

memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara

yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana persyaratan tersebut menekankan

18

(38)

pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak

lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.19

Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena

perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya,

walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan

tanda-tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya. Bertitik tolak dari uraian

diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu

merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum

berusia 18 (Delapan belas tahun), termasuk anak yang didalam kandungan”.

B. PengertianTindak Pidana

1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif.

Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau

Delict”, atau “Crime” dalam bahasa Inggris. Namun, dalam beberapa literature dan

perundang-undangan hukum pidana, terdapat istilah lain yang dipakai oleh para sarjana

untuk menerjemahkan Strafbaar feit, seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana,

pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan

lain-lain.20

19

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, hlm 8.

20

(39)

Pada dasarnya, istilah Strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga

kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.Kata baar diterjemahkan

dengan dapat dan boleh.Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,

dan perbuatan.Jadi, secara singkat bisa diartikan perbuatan yang dapat

dihukum.21Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara teoritis

dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.22

Menurut Vos memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah

kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan

pidana. Pidana yang dimaksud disini adalah hukuman, menurut R. Soesilo yang

dimaksud dengan hukuman ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan

oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum

pidana”.23

Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa istilah tindak

pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh

masyarakat. Menurut Sudarto,24 yang dimaksud tindak pidana adalah “Perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan

pemberian pidana”.D. Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja

21

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm 25. 22

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm 23.

23

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politea, 1995), hlm 56.

24

(40)

oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.25

Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang

menggunakan istilah perbuatan pidana.Dalam definisinya, Moeljatno membedakan

secara tegas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan

tersebut.Dengan demikian, terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana,

pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya

apakah telah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak.Walaupun perbuatan

tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang,

namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum, karena dilihat pula mengenai

kemampuan bertanggung jawabnya.Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab,

maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum.26

Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak

yang telah melakukan Criminal act selain perlu dikaji sifat dari perbuatannya, patut diuji

pula masalah kemampuan bertanggung jawab.Dengan demikian, diperlukan adanya

kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu

tindak pidana, untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidananya.

25

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm 8.

26

(41)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.Dalam

masalah ini, Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur

yang terdapat diluar diri manusia, yaitu berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan,

suatu akibat tertentu dan berupa keadaan yang semuanya dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang.27Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada

diri pembuat.Unsur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan

seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (toerekeningsvat baarheid)dan

kesalahan seseorang (schuld).28

Seseorang dapat dikatakan toerekeningsvat baarheidapabila orang tersebut

memenuhi tiga syarat, yaitu keadaan jiwa orang tersebut dapat mengerti akan nilai dan

akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya,29Orang tersebut dapat menentukan

kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan,30Orang tersebut harus sadar bahwa

perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari

segi hukum, dari sudut kemasyarakatan, ataupun darisegi ketatasusilaan.

Kemudian kesalahan seseorang atau schuldmerupakan unsur subjektif kedua dari

tindak pidana bisa berupa dolus atau dalam Bahasa Belanda disebut opzet yang berarti

kesengajaan dan culpa atau ketidaksengajaan atau kealpaan.Indikasi adanya opzet pada

diri pelaku tindak pidana, KUHP menggunakan beberapa istilah. Yaitu dengan sengaja,

27

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th), hlm 73.

28

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 27.

29

Dalam hukum Islam, masalah ini biasanya dihubungkan dengan kondisi orang yang bersangkutan haruslah sudah baligh, dewasa, dan berakal sehat serta tidak dalamkondisi dipaksa oleh pihak lain.

30

(42)

seperti dalam pasal 333 dan 338 KUHP, yang diketahuinya, seperti dalam pasal 280 dan

286 KUHP, dengan maksud seperti dalam pasal 362 dan 368 KUHP.31

Wirjono Projodikoro menjelaskan arti culpa adalah kesalahan pada umumnya,

tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam

kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang

berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi.32Tindak pidana akibat culpa ini

dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan

akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah

perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri.33

Sedangkan menurut Simon salah satu yang berpandangan monistis, unsur-unsur

tindak pidana adalah:

a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)

b) Diancam dengan pidana

c) Melawan hukum

d) Dilakukan dengan kesalahan

e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Sedangkan menurut Pompe yang berpandangan dualistik, walaupun menurut

teori tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: a. Perbuatan, b. Bersifat melawan hukum, c.

Dilakukan dengan kesalahan, d. Diancam pidana. Namun dalam hukum positif, sifat

31

Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang: UMM Press, 2006), cet ke-3, hlm 8-10, lihat juga P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, 1997), hlm 62.

32

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), cet pertama, hlm 72.

33

(43)

melawan hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Oleh

karena itu, ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang dapat dipidana.34

Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno yang

berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:

a. Perbuatan (manusia)

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

c. Bersifat melawan hukum

Adapun kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak

masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang

berbuat.

Apabila dilihat dari aspek yuridis-normatif, mengkaji suatu tindakpidana

termasuk di dalamnya masalah kejahatan, maka arah pandangannya hanya fokus pada

maslah lahiriyah, dalam arti hanya menitik-beratkan pada perbuatan nyata

(actus-reus).Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan

batin (mens-rea) khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Namun,

menyangkut persoalan tindak pidana, persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada

masalah moral/etika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadian/kejiwaan

(psikologis).Terkait dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih

menitik-beratkan pada masalah tingkah laku yang erat dengan masalah kejiwaan.

3. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Fiqih jinayah

adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang

34

(44)

(jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.35 Dalam

penjelasan lain, Fiqih Jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis

hukum yang diperintah dan dilarang al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, serta hukuman

yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan

tersebut (tindakan kriminal). Yang dimaksud tindakan kriminal adalah perbuatan

kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan peraturan

perundang-undangan.36 Hukum Pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang

mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.37

Menurut Abdul Qadir Audah, Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, maupun lainnya”.38

a. Macam-Macam Jarimah

Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu:

1) Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Menurut

Abdul Qadir Audah, “hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh

syara’ dan merupakan hak Allah”.

Jarimah hudud yang terdiri atas:

a) Jarimah zina,

b) Jarimah qadzaf (menuduh muslim baik-baik berbuat zina),

c) Jarimah syrub al-khamr (meminum minuman keras),

d) Jarimah al-bagyu (pemberontakan),

e) Jarimah al-riddah (murtad),

35

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2005), cet ke-1, hlm 1.

36

Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional (Jakarta: KENCANA, 2013), Cet-1, hlm 111.

37

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar grafika, 2007), hlm, 1.

38

(45)

f) Jarimah al-sariqah (pencurian),

g) Jarimah al-hirabah (perampokan).39

2) Jarimah Qishash adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana

sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan

anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.

Dalam fiqh jinayah sanksi qishash ada dua macam, yaitu:

a) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan.

b) Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan.40

3) Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak

mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi hukuman had dan tidak pula

membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang

berkaitan dengan hukuman ta’zir diserahkan semuanya kepada kesepakatan

manusia.41

Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh

jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang

secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

2. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah

jarimah,

39

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 3.

40

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 4-5.

41

(46)

3. Al-rukn al-adabi atau unsure moril ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau

sedang dibawah ancaman.42

Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam

pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku

manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat

dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum

yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam

peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas

konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam

konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk

mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi

hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan

manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat.

Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi Hukum

Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur

hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga

hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai

berbagai hubungan. Seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia

dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan manusia dengan

benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.43

42

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 2-3. 43

(47)

Sedangkan untuk tujuan hukum Islam disebut dengan maqasid al-syari’ah.

Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik

rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Dengan kata lain, untuk kebahagiaan hidup

manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang

bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi

hidup dan kehidupan. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan maqasid al-syari’ah menjadi

lima bidang, yakni (1) untuk memelihara agama (hifdz al-din), (2) memelihara jiwa

(hifdz al-nafs), (3) memelihara akal (hifd al-aql), (4) memelihara keturunan (hifdz

al-nasl), dan (5) memelihara harta (hifdz al-mal).44

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga

hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan

masyarakat dan Negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan

dengan keyakinan agama, jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta

kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini

jelas luas sekali karena menyangkut seluruh aspek kehidupan man

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Gambar 4.13 Form Registrasi Kamar, terdapat 5 bagian yaitu bagian paling atas / header yang menunjukkan fungsi aplikasi yang berjalan saat ini (registrasi kamar),

Ada perubahan konstruksi dari gabungan verba + nomina dalam bahasa Inggris menjadi satu kata verba yaitu refined.. (b) Kata majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk

Dalam lingkungan sekolah, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga

Uji yang dilakukan di labotatorium adalah uji Mekanika Tanah dengan mengambil sampel tanah di lokasi saluran, uji yang dilakukan adalah uji sifat fisik tanah dan uji kuat

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Kesimpulan ketiga bahwa tingkat bunga SBI terbukti berpengaruh positif signifikan pada jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang terbukti tidak berpengaruh terhadap

Aktifitas yang baik seperti halnya membaca Al-Qur’an, menabur bunga, berdoa kepada Allah swt, dimana aktifitas ini jika dilakukan dengan benar akan membawa