• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG

MELALUI SISTEM INTERGRASI SAWIT–TERNAK

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR PROVINSI

KALIMANTAN TIMUR

YAJIS PAGGASA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI SISTEM INTEGRASI SAWIT-TERNAK DI KUTAI TIMUR PROVINSI

KALIMANTAN TIMUR.

Yajis Paggasa2, Rudy Priyanto3, Eddie Gurnadie4

The potential region for cattle development include Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. The difficulty to get space area for animal rearing, low management of smallholder practice, and the existence of policy to develop 350,000 hectare of palm oil plantation in East Kutai, lead to the potential concept for developing an integrated palm oil plantation and beef cattle practices.

The aim of this study were : (1) to evaluate the recent pattern and between farm analyzed the potential development of beef cattle in East Kutai, especially in Muara Wahau; (2) to estimate the productivity and the availability of forages grown between palm oil plantation (3) to analyze the integrated palm and beef cattle practices technically and economically. This research was carried out from February to May 2007 in Muara Wahau, East Kutai, East Kalimantan. The following research prosedure were calculated based on : (a) collecting secondary by literature study from the related institution, (b) collecting primary data through a direct observation of the characteristics and technical coefficient of cattle rearing practice, forages composition in palm plantation area, measure the forage proper use factor, measure the sufficiency of forages in the ground of plantation area, and holding capacity. Furthermore, economic analysis were calculated based on: (1) the number of inhabitants, (2) the number of cultivated paddy-field and palm oil plantation for integrated and non integrated palm oil and beef cattle practices, finaly SWOT analyzed approach wich carry to stabilized strategy of beef cattle development in East Kutai.

The results of this study showed that beef cattle practices palm oil plantation had the potential to develop for forages grown between palm oil plantation were

Brachiaria humidicola dan Brachiaria brizantha each of them 24%, ferns 24%, tall grass 11%, Andropogon gayanus 9%, Chloris gayana 8% dan Gliricidiasepium 31%,

Pueraria phaseloides 25%, Calopogonium muconoides 24%, and Macrophitilium

20%. There was 68.6% from total forages grown in palm oil plantation area could be used for cattle feed. The carrying capacity of forages grown between in palm oil plantation area wich 4.2 unit. Integrated palm oil plantation and beef cattle practices gave the benefit 10.56-16.49% higher than the palm oil plantation without integrated system. Towards regional autonomy in Indonesia, the main challenge for regional government is how to accelerate cattle development through crop livestock system (CLS) in order to improve cattle productivity and farmer welfare.

(3)

RINGKASAN

YAJIS PAGGASA. Potensi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO dan H. R. EDDIE GURNADI.

Setiap tahunnya sejak 2001-2005 penduduk mengalami pertambahan sekitar 1.45%. Selain itu semakin sulit mendapatkan dan sempitnya lahan yang diperuntukkan khusus untuk peternakan sapi potong, lemahnya manajemen pengelolaan usaha ternak sapi rakyat, dan adanya kebijakan pengembangan perkebunanan sawit yang luas dan memiliki potensi limbah perkebunan sawit sebagai sumberdaya peternakan, yang dapat dimanfaatkan secara optimal melalui usaha tani integrasi sawit-ternak sapi yang saling mendukung, saling memanfaatkan, saling menguntungkan, dan saling bersinergi dalam berproduksi.

Penelitian bertujuan untuk : (1) mengetahui kondisi riil dan potensi pengembangan peternakan sapi potong di Kutai Timur, khususnya kecamatan Muara Wahau, (2) mengetahui komposisi botani dan produktivitas hijauan makanan ternak diareal kebun sawit, (3) mengkaji usaha peningkatan produktivitas lahan sawit melalui introduksi ternak sapi. Penelitian dilaksanakan bulan Februari sampai Mei 2007 di kecamatan Muara Wahau Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, dengan melakukan pengumupulan data sekunder/data pendukung dari instansi terkait, melakukan pengamatan/survei karakteristik pemeliharaan dan koefisien tekhnis pemeliharaan, melakukan pengamatan/survei komposisi botani HMT diareal kebun sawit, mengukur proper use factor HMT dan mengukur daya dukung HMT lahan pertanian (DDLP) bahan segar, mengamati pengelolaan usahatani integrasi dan non integrasi sawit-ternak untuk analisis estimasi ekonomi, analisis kepadatan ekonomi (berdasarkan jumlah penduduk : jumlah ternak, jumlah lahan garapan : populasi ternak), dan melihat aspek sosial ekonomi untuk merumuskan pengembangan sapi potong melalui pendekatan analisis SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Umumnya usaha ternak sapi sebagai cabang usaha dengan pemeliharaan sederhana dengan kepemilikan rata-rata 2-3 ekor sapi, dengan koefisien kelahiran anak 61.26 %, dan tingkat kematian anak 0-6 bulan 28.4%, anak 6 bulan-24 bulan 12.9%, muda 12% dan dewasa 6%.

2. Komposisi botani HMT diareal kebun sawit adalah rumput (graminae) berupa Brachiaria humidicola dan Brachiaria brizantha masing-masing 24 %, pakis 24 %, Alang-alang (Imperata cylindrica) 11 %, Andropogon gayanus 9 %, Chloris gayana 8 % dan legum berupa gamal (Gliricida sepium) 31 %, Pueraria phaseloides 25 %, Calopogonium muconoides 24 %,

Macrophitilium 20 %. Tingkat produktifitas 68.63 % HMT di areal kebun

(4)

3. Di Kutai Timur daya tampung ternak ruminansia lahan perkebunan sawit sebesar 706.520.64 ST (89% dari daya tampung Kutai Timur), dan nilai KPPTR Kutai Timur sebesar 782.276.15 ST dengan kepadatan wilayah berdasarkan lahan garapan termasuk kategori sangat jarang ternak ruminansia (0.03 ST/hektar). Berdasarkan kepala keluarga (44.115 di Kutai Timur) kemampuan KPPTR sebesar = 114.623.8 ST dengan kepadatan ekonomi wilayah (penduduk dengan ternak) termasuk kategori sedang = 95.90 ST/1000 jiwa dan

4. Petani yang memiliki lembaga berupa kelompok tani dan koperasi bahwa : a. Mampu memanfaatkan peluang berupa bantuan pemerintah/swasta.

b. Cenderung mendapat perhatian dan pembinaan teknis dari instansi yang cukup intens.

c. Mendapat info pasar dan kemajuan tekonologi pertanian.

(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2008

Yajis Paggasa

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MELALUI

SISTEM INTERGRASI SAWIT–TERNAK

DI KABUPATEN KUTAI TIMUR

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

YAJIS PAGGASA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Produksi Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Penelitian : Potensi Pengembangan Sapi Potong Melalui Sistem Integrasi Sawit-Ternak di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur

Nama : Yajis Paggasa NIM : D051050041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rudy Priyanto Prof. (Emeritus) Dr. H. R. Eddie Gurnadi, M. Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Produksi Ternak

Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,M.S.

(9)

Penguji Luar Komisi

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Paku, Polewali Mandar Sulawesi Barat 18 Maret 1975 dari ayah H. Hermansyah K. dan Ibu Hj. Andaria (Alm.). Penulis anak kedua dari tiga bersaudara (kakak Suriani Herman, SE dan adik St. Sohora, A.Md. Rontgen).

Tahun 1993 penulis lulus dari Sekolah Pertanian Pembangunan Daerah Polewali Mamasa (Polmas) sekarang Polewali Mandar (Polman). Tahun 1994 penulis terdaftar menjadi mahasiswa jurusan Peternakan Universitas ”45” Makassar, dan meraih Sarjana tahun 2001.

September 2002 menjadi karyawan Stiper Kutai Timur dan menjadi dosen tetap Program Studi Peternakan Stiper Kutai Timur (Dosen Tetap Yayasan Pendidikan Kutai Timur). Pengalaman bekerja sebagai sekretaris Program Studi Peternakan Maret 2003 – Februari 2004. Maret 2004 - Agustus 2005 sebagai Pjs. Ketua Program Studi Peternakan Stiper Kutai Timur.

Tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi ilmu ternak Sekolah Pascasarjana IPB sponsor biaya BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional. Mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah daerah Kutai Timur, pemerintah daerah provinsi Kalimantan Timur selama tahun 2006 - 2007. Bantuan pendidikan PT. Kaltim Prima Coal tahun 2006.

(11)

Ucapan Terimakasih

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT., atas Rahmat, Hidayah dan RidhaNYALAH, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Potensi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak di Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur “ .

Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. (Emeritus) Dr. H. R. Eddie Gurnadie, M.Sc., selaku pembimbing utama dan pembimbing anggota (komisi Pembimbing) yang telah meluangkan waktu, bimbingan, arahan, nasehat dan curahan ilmu untuk kemajuan penulis.

2. Ketua Stiper Kutai Timur Bapak Prof. Dr. Ir. Daddy Ruhiyat, M.Sc, Puket I. Ir. Yos Tunggara Bachman, M.Agr., Puket II. Abbas Husaini K, S.Ag., M.Pd., Puket III. Drs. S. Haryanto, M.Si dan segenap civitas akademika yang telah memberikan dukungan, restunya untuk melanjutkan pendidikan tersebut. 3. Kasubdin Peternakan Kutim (Drh. H. Oesman, M.BAT), Camat dan Kepala

UPTD Pertanian Wilayah Muara Wahau (Bapak Ardianysah, SP) dan segenap jajarannya, khususnya saudara Salfari, Darwin, Muhdin Edi, A.Md., Bapak Ahmadi, Rejo, Bambang Hartono SP., Hilmy SP., Beny Susanto SP., Ibu Anis Purwanti, Supriyawati, Bapak Wongso, Muhiddin SE. Ak, Heri Suratman Aras A.Md, Syarifuddin Fatmona, S.Pt. M.Si, Ibnu Khajar, S.Hut, Urif Ashari, S.Hut., Bapak Syamsul Gusri, SE., MP, Yar Johan, S.Pi dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya.

4. Yang tercinta Ayahbundanda H. Hermansyah Kila - Hj. Anda (alm) Kakek-Nenekda H.P. B. Mahmud (alm) - Hj. P. Sahalang, Pamanda Ir. Muh. Jafar, Ir. Anwar Mahmud, Kak Suriani Herman, SE - P. Dullah, Dinda St. Sohora, A.Md., Abduh Nurdin, A.Md. Komp., Edy Setiawan, dan Herniati, SP (ibu dari anak-anakku) atas kerja keras, bantuan dan doanya selama ini.

5. Khusus anak-anakku Muthia Rizky Dzakillah - Nadia Rizky Dzakillah semoga diberi ketabahan menerima kenyataan dan tumbuh menjadi anak saleh, cerdas, berguna bagi umat, agama dan bangsa kelak, amiin

Semoga bimbingan, bantuan, kerjasama, dukungan, dan doa restunya senantiasa mendapat fahala disisiNYA, Amiin.

Bogor, 08 Agustus 2008 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

METODOLOGI PENELITIAN

(13)

Pemotongan ternak di Kutai Timur ... Populasi ternak ruminansia di Kutai Timur ... Kapasitas daya tampung ternak di Kutai Timur ... Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia ... Kondisi Umum Kecamatan Muara Wahau ...

Kependudukan ... Geografis dan sistim usahatani ... Koefesien tekhnis pemeliharan ternak sapi potong ... Sistim Pemeliharaan ternak sapi ... Komposisi botani hijauan makanan ternak ... Produktivitas hijauan makanan ternak di areal kebun sawit ...

32 33 35 36 38 38 38 40 42 45 50 Potensi produksi pelepah dan daun sawit sebagai bahan pakan ternak ... 53 Aspek ekonomi sistim integrasi sawit-ternak sapi ...

Strategi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak . Faktor internal ... Faktor eksternal ... Evaluasi faktor internal dan eksternal ... Formulasi strategi ...

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa spesies tanaman introduksi yang telah direkomendasikan untuk

ditanam dilahan perkebunan sawit dan karet. ... 13

2 Kandungan nutrisi hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering)... 14

3 Komposisi kimia beberapa hasil perkebunan sawit. ... 15

4 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan sawit. ... 15

5 Kandungan hara limbah kelapa sawit. ... 15

6 Standar konversi populasi ternak berdasarkan jenis ternak dan umur... 22

7 Model analisis pendapatan usaha tani integrasi. ... 25

8 Matriks analisis faktor internal pengembangan sapi. ... 26

9 Matriks analisis faktor eksternal pengembangan sapi. ... 27

10 Matrik analasis SWOT melalui pendekatan TOWS. ... 27

11 Keadaan hubungan jenis tanah dan fisiografinya. ... 30

12 Jumlah pemotongan Ternak di Kutai Timur 2004. ... 32

13 Jumlah pemotongan ternak di Kutai Timur Tahun 2006. ... 33

14 Populasi ternak berdasarkan jenis ternak ruminansia di Kutai Timur... 35

15 Keadaan hujan di daerah penelitian. ... 39

16 Koefisien teknis pemeliharaan ternak sapi potong ... 41

17 Hasil perhitungan produktifitas HMT diareal kebun sawit. ... 52

18 Komposisi nutrisi daun dan pelepah sawit. ... 53

19 Analisis ekonomi usahatani integrasi sawit-ternak sapi dan non integrasi di lokasi penelitian. ... 57

20 Matriks evaluasi faktor internal (EFI) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. ... 60

21 Matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi sawit-ternak. ... 61

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta wilayah Kutai Timur sebelum pemekaran kecamatan ... 28

2 Keadaan penduduk Kutai Timur, 2007. ... 30

3 Populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007 ... ... 34

4 Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur ... 34

5 Persentase pemanfaatan lahan di Kutai Timur ... 36

6 Sapi yang dipelihara di padang pengembalaan dan areal kebun sawit .... 43

7 Persentase rumput HMT di areal kebun sawit lokasi penelitian. ... 45

8 Persentase HMT legum di areal kebun sawit lokasi penelitian ... 46

9 Macrophitilium di areal kebun sawit. ……… 48

10 Keadaan kebun sawit yang telah disemprot ... 49 11 Hirarki konseptual pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi

sawit-ternak di Kutai Timur.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama kurun waktu 2001 – 2005 telah terjadi penurunan populasi sapi sebesar 4.10%, dari 11.9 juta ekor menjadi 7.021 juta ekor. Menurut Tawaf (2006) kemampuan produksi daging dalam negeri adalah sebesar 464.100 ton, sementara kebutuhannya mencapai 597.700 ton. Oleh karena itu pemerintah harus mengimpor daging sebesar 133.600 ton.

Daerah yang menjadi penghasil sapi potong di Indonesia meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Selatan, Lampung dan Sulawesi Tenggara (Deptan, 2004).

Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2006) bahwa kebutuhan daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan jumlah konsumsi daging pada tahun 2006 sebesar 34.868 ton, sementara kemampuan produksi daging hanya 33.952 ton. Untuk itu pemerintah Kalimantan Timur memasukkan daging sebanyak 916 ton. Dalam rangka tujuan peningkatan populasi (potongan dan budidaya), maka pemerintah melakukan pengadaan beberapa jenis ternak ruminansia diantaranya sapi 39.944 ekor, kambing 10.754 ekor dan domba 22 ekor. Adapun peningkatan populasi sapi mencapai 5% yakni dari tahun 2005 sebanyak 69.024 ekor, dan tahun 2006 menjadi 72.475 ekor. Daerah asal pengadaan sapi adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Kutai Timur merupakan salah satu daerah potensial untuk pengembangan sapi potong. Berdasarkan skala prioritas pembangunan daerah Kalimantan Timur adalah : (1) pembangunan sumberdaya manusia, (2) pembangunan infrastruktur, (3) pembangunan pertanian dalam arti luas (agribisnis). Dalam pengembangan agribisnis di daerah ini, kelapa sawit adalah komoditas unggulan, sementara peternakan merupakan salah satu komponen yang mendukung pengembangan ekonomi rakyat, terutama ternak ruminansia.

(17)

dan tahun 2007 baru terealisasi 314.511 hektar, termasuk yang dimitrakan sekitar 13.605.70 hektar. Melihat potensi lahan perkebunan sawit yang dapat menyediakan tanaman penutup tanah sebagai sumber pakan ternak, salah satu alternatif untuk mengoptimalkan pemberdayaan lahan tersebut adalah dengan cara integrasi ternak sapi potong dengan perkebunan kelapa sawit. Menurut Sitompul (2004) beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan pola integrasi kelapa sawit dengan ternak baik secara teknis maupun ekonomi adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan efisiensi dalam pengendalian tanaman penutup tanah (legum dan graminae) melalui sistem penggembalaan ternak di areal kebun sawit atau sistim panen rumput (cut and carrying) untuk ternak.

2. Penggunaan sapi sebagai tenaga kerja di areal kebun sawit, disamping sebagai penghasil pupuk untuk tanaman sawit.

3. Penanaman rumput dan legum sebagai sumber pakan ternak di sela tanaman kelapa sawit yang dapat bernilai ekonomi.

4. Pemanfaatan limbah sawit sebagai bahan pakan ternak dan kompos. Pada dasarnya ketersediaan hijauan pakan merupakan salah satu faktor yang penting dan sangat berpengaruh terhadap produktifitas usaha ternak. Produktifitas hijauan makanan ternak di areal kebun sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah umur tanaman sawit, iklim setempat, jenis hijauan makanan ternak, input teknologi dan tingkat kesuburan tanah.

(18)

Hasil penelitian Johari (2005) menunjukkan bahwa Sapi Brakmas (persilangan Kedah-Kelantang x Brahman) yang dipelihara di areal perkebunan sawit di Malaysia, menghasilkan performans produksi dan reproduksi yang tinggi. Usaha integrasi sawit-ternak sapi yang dilakukan di Lembaga Usahawantani Malaysia (2007) memberikan hasil dan manfaat yang cukup nyata antara lain berupa peningkatan efektifitas dan efesiensi usaha, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, peningkatan produktifitas ternak dan peningkatan pendapatan peternak.

Informasi mengenai integrasi sawit-ternak masih sangat terbatas dan memerlukan kajian lebih lanjut secara intensif.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitan adalah :

1. Mengevaluasi pola yang diterapkan saat ini dan menganalisis potensi pengembangan peternakan sapi potong di Kutai Timur, khususnya kecamatan Muara Wahau.

2. Mengestimasi produktifitas dan daya dukung hijauan makanan ternak (HMT) berdasarkan jenis yang ada di areal kebun sawit.

3. Menganalisis usaha integrasi sawit-ternak sapi dan benefit yang diperoleh.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian berupa :

a. Masukan yang bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk merencanakan pengembangan sapi potong.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul dan Karakteristik Sapi Bali

Sapi Bali merupakan sapi yang termasuk dalam kelompok banteng (bos bibos) yang dijinakkan. Ciri-ciri fisik sapi Bali, yaitu badan berukuran sedang dengan bobot jantan bisa mencapai 450 kg dan betina 350 kg, berdada dalam, warna bulu merah keemasan, sampai coklat tua dikenal juga walaupun tidak umum. Bibir, kaki, dan ekor hitam, kaki dari lutut kebawah berwarna putih, serta terdapat warna putih dibawah paha bentuk oval pada bagian pantatnya. Pada punggung selalu ada garis hitam jelas dari bahu dan berakhir diatas ekor. Jantan mempunyai warna bulu lebih gelap mulai coklat tua sampai hitam saat dewasa, dan betina tetap merah bata. Pada waktu baru lahir semuanya berwarna merah keemasan sampai coklat kemerah-merahan. Sapi Bali mempunyai sifat kemampuan tumbuh yang baik, cukup resisten terhadap kondisi pakan yang terbatas, dinilai lebih baik dari zebu sebagai ternak kerja pada iklim tropik lembab (Payne, 1993).

Bangsa sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang memiliki perkembangan pesat di Indonesia. Sapi Bali memiliki beberapa keunggulan antara lain : (a) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah, (b) tingkat kesuburan (fertilitas) sangat tinggi yakni 83% dibandingkan dengan jenis sapi lain yang ada di Indonesia, (c) dapat digunakan sebagai ternak kerja yang tangguh, (d) memiliki pertumbuhan badan yang kompak dan persentase karkas yang tinggi (56%), sehingga cocok dikembangkan sebagai sapi pedaging yang digemari oleh konsumen dipasar lokal, maupun luar negeri (Gontoro, 2002).

Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ternak berbeda-beda tergantung pada bangsa, tatalaksana, keadaan makanan, penyakit serta iklim setempat.

Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Beberapa Daerah di Indonesia

(20)

kandang sederhana. Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Pengandangan dilakukan agar sapi tidak mengganggu tanaman karena lokasi usaha dengan fattening berada di daerah pertanian intensif yang umumnya tidak terdapat tempat penggembalaan. Pada umumnya, kandang perorangan berlokasi di dekat tempat tinggal, sedangkan kandang kolektif berada di ladang yang memungkinkan pengangkutan pupuk kandang lebih mudah dan efisien (Hadi dan Ilham 2002).

Di daerah pertanian ekstensif rumput alam merupakan satu-satunya sumber pakan ternak yang diperoleh dari renggutan langsung di padang gembalaan/di lapangan karena sapi dilepas sehingga peternak hampir tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kesehatan ternaknya. Di daerah pertanian ekstensif, ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena lapangan penggembalaan umum tersedia luas (Hadi dan Ilham, 2002).

Menurut Bambang (2004) bila dikaji berdasarkan pola dan sistem pemeliharaannya, kalsifikasi usaha ternak sapi potong rakyat dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Berbasis lahan (land-base)

Dalam sistem ini karakteristiknya adalah : (1) ternak dilepas di padang penggembalaan yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian, sumber pakan ternak berasal dari rumput yang tersedia di padang penggembalaan tersebut ; (2) teknik pemeliharaan dilakukan secara tradisional tanpa sentuhan teknologi ; (3) tidak mengutamakan aspek ekonomi lebih bersifat simbol/status sosial. Pola ini umumnya terdapat di wilayah yang tidak subur, sulit air, bertemperatur tinggi, dan jarang penduduk seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian wilayah Kalimantan dan sebagian Sulawesi.

b. Berbasis bukan lahan (non land-base).

(21)

intensif. Tujuan memelihara adalah sebagai tabungan dan dijual bila diperlukan. Pola ini umumnya ditemukan di wilayah padat penduduk seperti di Jawa, Sumatera, dan ada pula sebagian di NTB, Kalimantan, Sulawesi.

Jumlah kepemilikan ternak pada pola berbasis lahan (landbase) pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan pola non landbase. Contohnya 51.6% peternak di Sumbawa-NTB memiliki ternak 5 ekor/keluarga, hanya 12% peternak yang memiliki ternak kurang dari 3 ekor/keluarga. Sebaliknya peternak di Lombok-NTB dan di Jawa Timur, rata-rata tiap keluarga memiliki ternak kurang dari 5 ekor, lebih dari 50% peternak memiliki ternak kurang dari 3 ekor/keluarga (Ilham2001; Bambang, 2004).

Mubyarto (1977) karakteristik usaha ternak tradisional adalah :

1. Diusahakan oleh sebagian besar petani dalam skala kecil sebagai usaha keluarga.

2. Rendahnya tingkat keterampilan peternak dan kecilnya modal usaha. 3. Belum memanfaatkan bibit unggul dan kecilnya jumlah ternak yang

produktif.

4. Rendahnya efesien pemanfaatan ransum.

5. Kurang memperhatikan usaha pencegahan penyakit. 6. Usahanya belum bersifat komersil.

Lingkungan dan Sumberdaya Peternakan

(22)

Pelaksanaan usaha ternak sapi potong, produktifitas ternak dan tingkat keuntungan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya :

a. Bangsa sapi

b. Tatalaksana pemeliharaan (pemberian HMT, pola pemeliharaan, vaksin dan obat-obatan)

c. Tingkat pengetahuan dan penggunaan teknologi dalam pengusahaan ternak,

d. Iklim

Iklim merupakan gabungan beberapa elemen suhu, kelembaban, curah hujan, pergerakan angin, radiasi, tekanan udara dan ionisasi. Faktor-faktor tersebut akan menentukan tujuan usaha dan program-program yang akan dikembangkan (Handoko, 1993 dalam Hoda, 2004).

e. Lingkungan Fisik

Lokasi peternakan harus memiliki syarat-syarat yang meliputi tersedianya bahan makanan ternak, adanya sumber air, tidak merusak ekosistem/lingkungan, aman dan nyaman, cukup jauh dari pemukiman penduduk, dapat diakses transportasi dan komunikasi.

f. Lingkungan Sosila Budaya (sumberdaya manusia, pola pemeliharaan Pengusahaan ternak tidak terlepas dari pengaruh akar budaya suatu bangsa atau daerah. Hal ini dapat dilihat pada pengusahaan ternak di India sebagai ritual keagamaan. Demikian juga beberapa daerah di Indonesia menggunakan ternak sebagai bahan ritual keagamaannya contohnya kerbau belang dan babi di Tator Sulsel, Kuda di Jeneponto Sulsel yang digunakan sebagai hidangan istimewa dalam resepsi perkawinan. Ternak kambing, domba, sapi sering digunakan sebagai bahan pelengkap ritual keagamaan yakni sebagai kurban di hari raya dan tenaga kerja pada sapi serta kerbau.

g. Kebijakan Pemerintah

(23)

pembangunan pertanian secara umum tahun 2007 sebanyak 14.627.83 triliun rupiah, yakni pusat 17.09% (2.5 triliun), provinsi 20.51% (3 triliun) dan kabupaten/kota 62.40% (9.127.83 triliun). Upaya revitalisasi pembangunan pertanian, dalam Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan pada : 1) upaya pemenuhan kecukupan daging sapi, (2) kecukupan susu nasional, (3) inisiasi ekspor kambing/domba ke Timur Tengah, (4) peningkatan kapasitas produksi perunggasan. Dukungan kebijakan tersebut sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan peternakan khususnya ternak potong adalah peningkatan komsumsi daging dari 6.3 kg menjadi 8.3 kg/kapita/tahun. (Deptan 2007).

Visi pembangunan daerah Kutai Timur adalah ” pemanfaatan potensi yang bertumpu pada sumber daya alam yang dapat diperbaharuhi mewujudkan

Kutai Timur sebagai pusat Agribisnis dan Agroindustri di Kaltim pada

tahun 2010”. Guna mewujudkan visi tersebut melalui skala prioritas

pembangunan yaitu ; pembangunan infrastuktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan pertanian dalam arti luas (agribisnis). Pembangunan pertanian dalam arti luas maka dilakukan pengwilayahan komoditas yakni Kec. Sandaran, Sangkulirang, Kaliorang, Kombeng, Telen, Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong merupakan sebagai pusat pengembangan Perkebunan, tanaman pangan, peternakan, serta hutan tanaman industri (Ishak 2004).

Peternakan dalam Sistem Usahatani

(24)

produktivitas lahan dan pendapatan petani/pengusaha (Lembaga Usahawantani Malaysia, 2007).

Ruang lingkup integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit meliputi perancangan seluruh komponen kegiatan yang berkaitan dengan perkebunan dan peternakan dalam satu rancangan perencanaan, pembiayaan dan pengelolaan. Pengelolaan usaha dapat dilakukan dengan pola patungan, yakni kepemilikan sahamnya sebagian dimiliki oleh koperasi petani dan sebagian lagi oleh investor/pengusaha besar dan atau pemerintah. Perencanaan dimulai dengan identifikasi dan menetapkan lokasi, pembangunan kebun dan sarana prasarana pengolahan hasil kelapa sawit, serta pengembangan bidang peternakan. Integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit dalam sistem dan usaha agribisnis dikembangkan dengan pendekatan "Low External Input System Agriculture"

(LEISA) yakni terjadi ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak dan pada dasarnya sistem ini adalah "resource driven" dengan terjadinya daur ulang optimal dari sumberdaya lokal yang tersedia (Deptan, 2004).

Dasuki, Atmadja dan Martanegara (1981) menyatakan bahwa personil yang terlibat dalam aktivitas usaha ternak akan mendapat insentif. Kesanggupan peternak untuk mendatangkan keuntungan dari usahatani ternaknya dapat dilakukan dengan beberapa cara :

1. Memanfaatkan lahan yang tidak tergarap.

2. Memanfaatkan hasil limbah pertanian yang tidak bernilai menjadi lebih bernilai (daging/kerja)

3. Membantu kebutuhan potein hewani keluarga. 4. Memanfaatkan ternak sebagai sumber tenaga kerja 5. Meningkatkan dan memperbaiki kesuburan tanah.

Integrasi ternak dalam sistem usahatani perlu mendapat pengkajian yang lebih dalam terutama menyangkut analisa kuantitatif potensi dan kontribusi ternak dalam usahatani yang bervariasi antar daerah atau wilayah (Puslitbang, 1980).

(25)

menghasilkan pakan ternak, pola pemeliharaan dan daya tampung areal yang tersedia, (3) sosial budaya yang meliputi :

1. Keserasian ternak dengan komoditas utama tujuan petani dalam usahatani. 2. Kesenangan petani dan keterampilannya memelihara ternak.

3. Kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara. 4. Keadaan sosial budaya, dan lingkungan setempat.

Natasasmita dan Mudikjo (1979) menyatakan bahwa ternak sapi dalam jangka panjang tetap mempunyai peranan penting bagi sektor pertanian di Indonesia antara lain sebagai sumber tenaga kerja, pengubah hasil limbah pertanian dan rumput alam menjadi bernilai, tabungan dan sebagai sumber pupuk organik.

Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu : jumlah yang tersedia (kuantitas), akses distribusi, infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi dan fasilitas penanganan serta penyimpanan, kesinambungan produksi, teknologi yang tersedia dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan efisiensinya (Preston dan Leng, 1986).

Sumberdaya Lahan untuk Peternakan Ruminansia

Proper use factor merupakan nilai kewajaran penggunaan potensi HMT

atau padang pengembalaan, besarannya tergantung keadaan lapangan, jenis ternak yang digembalakan, jenis tanaman/HMT, tipe iklim dan keadaan musim. Kategori Proper use factor penggunaannya didasarkan pada nilai yang diperoleh yakni : 25-30% ringan, 40-45% sedang, 60-70% berat (Ilroy dan Susetyo, 1976.

dalam Reksohadiprodjo, 1994).

Hardjowigeno dan Widatmaka (2001) menyarankan agar ternak dapat berproduksi optimum, beberapa persyaratan kualitas yang perlu diperhatikan antara lain :

(26)

beracun, kepekaan erosi, hama dan penyakit tanaman, ancaman longsor, banjir, suhu, sinar matahari, iklim, dan kelembaban udara.

2. Iklim ( suhu, kelembaban udara, curah hujan, tekanan udara) 3. Ketersediaan air minum yang cukup berkualitas dan kuantitas. 4. Kandungan nilai nutrisi dari rumput/legum.

5. Sifat-sifat racun dari rumput 6. Penyakit hewan

7. Ketahanan erosi akibat penggembalaan.

Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak menurut Riady (2004) antara lain : lahan sawah, padang pengembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat. Tingkatan kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, dan jenis ternak ruminansia atau sapi potong yang dipelihara. Luasnya lahan sawah, kebun, dan hutan rakyat memungkinkan untuk pengembangan pola integrasi ternak-tanaman, melalui pemanfaatan sapi sebagai tenaga kerja dan penghasil pupuk kompos. Lahan tanaman pangan, sawah, menghasilkan jerami dan limbah tanaman yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kebun dan hutan rakyat dapat menghasilkan rumput alam atau hijauan makanan ternak sebagai sumber pakan ternak. Pola ini dapat meningkatkan ketersediaan pakan sepanjang tahun, sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktifitas ternak.

Evaluasi makanan ternak bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa jenis hijauan, dengan manajemen tertentu dapat meningkatkan produktifitas ternak melalui sistim usahatani. Berdasarkan tipe penggunaan lahan yang ada, terdapat enam kelompok sistem usahatani di Indonesia, yaitu : (1) lahan sawah, (2) lahan kering/tegalan, (3) lahan perkebunan, (4) padangan, (5) lahan pekarangan, (6) lahan pertanian berpindah. Tipe penggunaan lahan menentukan jenis hijauan ternak yang tersedia dan tingkat kesesuaiannya untuk dikembangkan (Ibrahim, 2003).

Hijauan Makanan Ternak

(27)

tumbuh-tumbuhan/tanaman lain baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering, dimana perbedaan mutu hijauan dipengaruhi oleh faktor : (1) faktor genetis atau pembawaan, (2) faktor lingkungan yang meliputi keadaan tanah, pengaruh iklim, perlakuan manusia (Kanisius, 1983).

Dalam pemilihan species rumput atau legominosa untuk padang penggembalaan, sifat utama yang dikehendaki adalah produktifitas, palatabilitas, nilai gizi, daya adaptasi terhadap keadaan tanah dan iklim setempat (Ilroy 1964, dan Susetyo,1976).

Laporan Departemen Pertanian (2004) menjelaskan pada pertanaman kelapa sawit di Indonesia, yakni 120 pohon tiap hektar dengan ukuran 7 x 7 x 7 m, diselingi tanaman rumput. Produksi hijauan yang dapat dihasilkan setelah umur kelapa sawit dua tahun mengalami penurunan 10-15% yang disebabkan berkurangnya penyinaran untuk pertumbuhan hijauan antar tanaman. Pada umur 3-5 tahun, hijauan antar tanaman (HAT) yang dihasilkan terendah antara 2000-3000 kg/Ha, dan tertinggi 7000-8000 kg/Ha bahan kering. Setelah berumur lebih dari 5 tahun hijauan antar tanaman (HAT) yang dihasilkan berkisar antara 500-1000 kg/Ha. Umumnya tanaman penutup tanah terdiri atas jenis kacang-kacangan antara lain Centrocema pubescens, Peuraria phasseiloides dan Desmodium sp., sedangkan tanaman rumput-rumputan yang tumbuh antara lain dari jenis

Paspalum plikatulum, Panicum maximum dll. Meningkatkan produksi hijauan

(28)

Tabel 1 Beberapa spesies tanaman introduksi yang telah direkomendasikan untuk ditanam dilahan perkebunan sawit dan karet.

Sifat Karakteristik Ket : (1) Pada parameter tahan kering. tahan naungan. tahan rendaman. tahan asam nilai 1

menunjukkan kurang tahan dan angka 5 menunjukkan paling tahan. (2) Pada parameter respon terhadap pupuk angka 1 menunjukkan jelek angka 5 menunjukkan bagus. Sumber : 1. Horne et al. 1994; 2. Gohl. 1981.

Rumput liar dan tanaman penganggu yang dominan pada perkebunan kelapa sawit adalah Axonopus compresus, Ottochloa nodosa dan Paspalum conjugatum. Produksi rumput liar tersebut dapat digunakan sebagai pakan ternak dengan produksi sekitar 3-5 ton/ha/tahun dan pengendalian tanaman penganggu dapat dilakukan dengan penggembalaan ternak sapi atau kerbau dengan kapasitas daya tampung yang memberikan pertumbuhan (Umiyasih dan Anggraeny, 2003)

Limbah Sawit dan Kandungan Nutrisinya

Menurut Wiyono, Affhandy dan Rasyid (2003) hasil ikutan pengelolaan perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah :

Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam

pangkal batang daun kelapa sawit

Empty Fruits Buncsh (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang

dikastrasi atau tidak berbiji.

(29)

sawit. Hasil pemangkasan (prunning) pelepah sebanyak kurang lebih 22 batang/tahun, dapat diolah menjadi bahan pakan ternak (Sitompul, 2003).

Setiap ekor ternak mengeluarkan feces sekitar 20 kg/hari dan sekresi urine, yang kaya akan kandungan bahan organik unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dalam aktivitas daur ulang (Sitompul, 2004).

Menurut Idris et al. (1998) dalam Ginting dan Elisabeth (2003) bahwa kandungan nutrisi dari beberapa jenis hasil samping industri kelapa sawit disajikan pada tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2 Kandungan nutrisi hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering). Komponen Pelepah Sawit Lumpur Sawit Bungkil Sawit Bahan Kering 86.2 91.1 91.8 Protein Kasar 5.8 11.1 15.3 Serat Kasar 48.6 17.0 15.0 Ekstrat Eter 5.8 12.0 8.9 Ektrat Bebas N 36.5 50.4 55.8

Abu 3.3 9.0 5.0

Kalsium 0.32 0.70 0.20 Fospor 0.27 0.50 0.52

TDN 29.8 45.0 65.4

Energi Kasar (MJ/kg) 4.02 6.52 9.10 Sumber : Idris et al (1998).

(30)

Tabel 3 Komposisi kimia beberapa hasil perkebunan sawit

decenter Pelepah Daun

Serat

Tabel 4 Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan sawit.

Fraksi Kelapa Sawit Unsur Kimia

Daun Pelepah Serat Perasan Buah Batang Selulosa(%) 16.6 31.7 18.3 34

Limbah pengolahan sawit dan sisa panen di areal kebun sawit dapat pula digunakan sebagai bahan pembuatan kompos, dimana berfungsi sebagai salah satu sumber bahan organik, hal ini sesuai dengan pendapat (Suryahadi, 2006) bahwa memanfaatkan ternak sebagai mesin pengolah limbah pertanian atau pabrik penghasil organik baik digunakan sebagai bahan makanan ataupun sebagai bahan kompos.

Tabel 5 Kandungan hara limbah kelapa sawit.

(31)

Potensi Integrasi Sawit Ternak Sapi

Gurnadi (1998) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. yaitu (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemtongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) Pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan” serta pembentukan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait, (3)

Pendekatan Agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan

melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil dan pemasaran.

Sistem integrasi sawit-ternak sapi merupakan perpaduan antara manajemen perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit dikelola agar hasil samping tanaman terutama pelepah dapat tersedia sepanjang hari untuk pakan sapi yang dimanfaatkan sebagai pengendali rumput/gulma di areal kebun, pengangkut buah sawit dan penghasil kotoran sebagai sumber pupuk organik dan biogas (BPPT Bengkulu, 2006).

Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1986) tujuan utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem usaha tani lain adalah :

1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan dengan menggunakan input yang tersedia.

(32)

alam, dan apabila dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem usahatani berbeda (integrasi) adalah (1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan prasarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis (orientasi usaha), (6) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono,1999; Sutanto, 2004)

Sutanto (2004) menyatakan bahwa ciri-ciri pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah :

1. Mampu meningkatkan produksi pertanian dan menjamin keamanan pangan dalam negeri.

2. Mampu menghasilkan yang terbeli dengan kualitas gizi yang tinggi serta mampu menekan atau meminimalkan kandungan bahan-bahan pencemar kimia maupun bakteri yang membahayakan.

3. Tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi dan menekan ketergantungan pada masyarakat sumber daya alam yang tidak terbarukan.

4. Mampu mendukung dan menopang kehidupan masyarakat pedesaan dengan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan penghidupan yang layak dan mantap bagi para petani.

5. Tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lingkungan pertanian dan bagi yang mengkomsumsi hasil-hasil pertanian .

6. Melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta melestarikan sumber daya alam dan keragaman hayati.

Reijntjes, Haverkort dan Bayer (2004) menyatakan bahwa selain prinsip-prinsip sosio-ekonomi dan politik, prinsip-prinsip ekologi dasar dalam pengembangan sistem pertanian Low external input sustainable agriculture (LEISA) adalah :

(33)

udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang dan mencukupi; struktur tanah yang meningkatkan pertumbuhan akar, pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air, dan kapasitas penyimapanan ; suhu tanah yang meningkatkan kehidupan tanah dan pertumbuhan tanaman; tidak adanya unsur-unsur toksit

2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya melalui pengikatan nitrogen, pemompaan unsur hara, daur ulang dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap.

3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara, dan air dengan cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.

4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui pencegahan dan perlakuan yang aman.

5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman fungsional yang tinggi.

Analisis Perumusan Strategi

Perumusan strategi adalah mengenali peluang dan ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi sering disebut tahap tindakan manajemen strategi dengan mengubah strategi yang telah dirumuskan menjadi suatu tindakan. Evaluasi strategi adalah tahap akhir dari manajemen strategi dengan melakukan tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu meninjau faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi, mengukur prestasi dan mengambil tindakan korektif (David 2002).

(34)

penggunaan analisis SWOT menghendaki adanya suatu survei internal tentang

strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan), serta survei eksternal atas

opportunities (peluang/kesempatan) dan threats (ancaman).

(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Pebruari-Mei 2007 di areal

perkebunan sawit Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi

Kalimantan Timur.

Kecamatan Muara Wahau menjadi lokasi penelitian tersebut karena

wilayah ini merupakan kecamatan pertama yang penduduknya lebih awal

menanam sawit (3 – 6 tahun umur sawit), milik rakyat yang dapat dijadikan model

pemeliharaan sapi secara terintegrasi dengan sawit di Kutai Timur.

Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan sapi Bali yang dipelihara di areal perkebunan

sawit milik rakyat, dan hijauan makanan ternak yang tumbuh di areal perkebunan

tersebut.

Metode Pengambilan Data dan Responden

Untuk pengambilan data primer dilakukan langsung kepetani untuk

memperoleh data kualitatitf/informasi integrasi sawit-ternak sapi, dari hasil

pengukuran yang dilakukan berdasarkan masing-masing peubah dalam penelitian

tersebut, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi dalam lingkup

pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan provinsi Kalimantan Timur.

Peubah yang diamati

Dalam penelitian ini, peubah yang diamati adalah : (1) komposisi dan

populasi ternak ruminansia khususnya sapi, (2) komposisi botani dan produktifitas

HMT di areal kebun sawit, (3) kapasitas daya tampung dan peningkatan populasi

ternak ruminansia serta tingkat kepadatan ternak.

Prosedur Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan prosedur sebagai berikut :

1. Data-data populasi ternak, pemanfaatan lahan, pemotongan ternak, iklim

(36)

lingkup pemerintah kabupaten Kutai Timur dan provinsi Kalimantan

Timur.

2. Identifikasi jenis HMT yang ada di areal kebun sawit dilakukan dengan

pengamatan dibeberapa areal kebun sawit secara langsung dengan teknis

dalam areal dibuat cluster ± 10 x 10 m2 kemudian diamati HMT yang

terdapat didalam cluster tersebut hal ini dilakukan dengan 16 lokasi secara

acak dengan tempat yang berbeda-beda dilokasi penelitian

3. Untuk menghitung produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) di areal

kebun sawit dengan membuat Cluster (M2), dimulai dengan mengukur

tinggi HMT yang terdapat didalam cluster tersebut, kemudian mengukur

seberapa tinggi yang direnggut ternak, dan mengukur sisa renggutan

ternak dengan memotong rata dengan tanah dan menimbangnya yang

dilakukan secara acak dengan lokasi yang berbeda-beda. Kemudian pada

Cluster yang lain dilakukan juga pengukuran tinggi, pemotongan HMT

kemudian ditimbang beratnya, guna mengetahui berapa banyak (kg)

produksi HMT di areal perkebunan sawit, demikian juga dilakukan secara

acak pada lokasi lahan yang berbeda-beda.

4. Melakukan pengamatan sosial melalui pendekatan wawancara/qusioner

untuk memperoleh informasi/data penerapan koefiesien tekhnis yang riil

meliputi tatalaksana pemeliharaan, kelahiran anak, kematian anak,

kematian pedet, kematian jantan, induk, luas lahan, dan pemanfaatan

sumberdaya ternak serta lahan dalam usaha tani.

Analisa Data Populasi Ternak Ruminansia

Untuk perhitungan persentase jumlah populasi ternak ruminansia

berdasarkan umur dan jenis ternak sapi, kerbau, kambing dan domba digunakan

nilai konversi (persentase) masing-masing ternak anak, muda dan dewasa. Nilai

persentase yang digunakan terlihat pada Tabel 6. Untuk jumlah satuan ternak (ST)

ruminansia untuk setiap jenis ternak, maka dihitung berdasarkan persentase

(37)

Tabel 6 Standar konversi populasi ternak berdasarkan jenis ternak dan umur.

Prosentase (%) Standar Satuan Ternak (ST) Jenis Ternak

Sumber : Dinas Peternakan Sulawesi Selatan (2004).

Komposisi Botani dan Produktivitas Hijauan Makanan Ternak

Hasil pengamatan komposisi botani yang diperoleh di areal kebun sawit,

diolah melalui pendekatan Sofware exel.

Kalsifikasi produktivitas HMT kategori 25-30% adalah ringan, 40-50%

sedang, 60-70%, maka dihitung berdasarkan pendekatan rumus Proper use Ilroy

dan Susetyo (1976) sebagai berikut :

a1 – b1

b1 =

b/m

2 adalah sisa hijauan setelah direnggut

Daya dukung hijauan makanan ternak bahan segar (DDHMT-BS)

digunakan rumus sebagai berikut :

)

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak

Perhitungan kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia, dilakukan

(38)

1. PMSL = a LG + b PR + c R + d KS ...(1)

PMSL = Potensi maksimum(ST)berdasarkan sumberdaya lahan

yaitu :

a = Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan garapan.

LG = Lahan garapan

b = Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan padang

rumput.

b = 0.5 ST/hektar rumput alam, 1 ST/hektar alang-alang

PR = Padang rumput/tegalan

c = Daya tampung ternak ruminansia (ST) lahan rawa

c = rawa air tawar 2 ST/hektar rawa pasang surut 1.2 ST/hektar

R = Luas lahan rawa

d = Daya tampung ternak ruminansia (ST) di areal kebun

sawit.

KS = Luas kebun sawit.

2. KPPTR (SL) = PMSL - POPRIL ...(2)

KPPTR (SL) = Kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia

(ST) berdasarkan sumberdaya lahan.

PMSL = Persamaan 1.

POPRIL Populasi riil ternak ruminansia

3. PMKK = a KK ... (3)

PMKK = Potensi maksimum usaha ternak (ST) berdasarkan kepala

keluarga

KK = Kepala keluarga

a = Kemampuan rumah tangga untuk usaha ternak ruminansia

tanpa kerja dari luar rumah tangga a = 3 ST/KK

Kepadatan ternak dibedakan dalam tiga tipe kepadatan yaitu kepadatan

ekonomi dan kepadatan usaha tani (Ditjen Peternakan dan Balitnak, 1995) :

1. Kepadatan ekonomi ternak sapi potong di Kutai Timur, diukur dari jumlah

(39)

Populasi ternak ruminansia (ST)

Kepadatan Ekonomi : −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− x 1000.

Penduduk

Kriteria yaitu sangat padat >300, padat >100-300, sedang 50-100 dan

jarang <50.

2. Kepadatan usaha tani diukur dari jumlah populasi ternak ruminansia per

hektar

Populasi ternak ruminansia (ST)

Kepadatan Usaha Tani = −−−−−−−−−−−−−−−−−−−−−− Luas lahan garapan (ha)

Luas lahan yang dimaksud adalah luas sawah dan luas kebun, kriteria yang

digunakan yaitu kategori sangat padat >2, padat >1-2, sedang 0.25-1.0 dan

jarang <0.25.

Analisis Ekonomi Produktifitas Lahan

Produktifitas lahan sawit dengan introduksi sapi potong, maka variabel

yang diamati adalah sebagai berikut :

a. Lahan sawit/hektar tanpa introduksi sapi potong meliputi :

• Biaya produksi (pupuk, tenaga kerja babat, dan obat-obatan)

• Hasil produksi ; hasil penjualan buah sawit yang dipanen. b. Lahan sawit dengan introduksi sapi potong di areal kebun sawit :

• Biaya produksi (bibit, penanaman, pupuk, tenaga kerja babat, pembelian sapi bakalan dan angkutan buah sawit).

• Hasil produksi dan nilai ekonomi lainnya ; 1. Hasil penjualan buah kelapa sawit.

2. Penjualan sapi.

Pendapatan petani peternak dari usaha tani yang dilakukan, maka dihitung

(40)

Tabel 7 Model analisis pendapatan usaha tani integrasi.

Usaha Ternak Sapi Potong Usaha Tani Tanaman

1. PENERIMAAN (GROSS OUTPUT) Penjualan Sapi = -

3.PENDAPATAN BERSIH USAHA TERNAK POTONG (NET FARM INCOME) = A – B

1. PENERIMAAN (GROSS OUTPUT) - Perkebunan = -

4. PENDAPATAN BERSIH USAHA TANI TANAMAN = A - (B + C )

Sumber : Brown (1979).

Analisis Pengembangan Integrasi Sawit Ternak Sapi

Penetapan strategi pengembangan maka dilakukan analisis berdasarkan

pendekatan SWOT berdasarkan prosedur pemaparan David (2002) yang meliputi

faktor internal dengan menggunakan matrik Internal Factor Evaluation sebagai

berikut :

1. Menentukan faktor kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness)

dengan responden terbatas.

2. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot).

Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memeberikan penilaian

atau pembobotan angka pada masing-masing faktor.

3. Memberikan skala rating 1-4 untuk setiap faktor untuk menunjukkan

apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama (peringkat = 1),

kelemahan kecil (peringkat = 2), kekuatan kecil (peringkat = 3), dan

kekuatan utama (peringkat = 4). Pemberian peringkat didasarkan atas

kondisi atau keadaan pengembangan agribisnis di Kabupaten Kutai Timur.

4. Mengalikan bobot dengan rating untuk mendapatkan skor tertimbang

5. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1

menunjukkan bahwa kondisi internal yang sangat baik rata-rata nilai yang

(41)

kondisi internal selama ini masih lemah. Sedangkan nilai lebih besar dari

pada 2.5 menunjukkan kondisi internal kuat. Analisis faktor tersebut

diatas dapat menggunakan matriks berikut :

Tabel 8 Matriks analisis faktor internal pengembangan sapi

No Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating

1 2 3

Kekuatan (Strenghts) ... ... ...

1 2 3

Kelemahan (Weaknes) ... ... ...

Total 1

Exsternal factor Evaluation untuk mengevaluasi masalah eksternal yang

meliputi politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi, hal ini menggunakan

Matriks EFE (External Factor Evaluation) dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

1. Menentukan faktor utama yang berpengaruh penting pada kesuksesan dan

kegagalan usaha yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman

(threats) dengan melibatkan beberapa responden.

2. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor eksternal (bobot).

Penentuan bobot dilakukan dengan memberikan penilaian atau

pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka

pembobotan adalah 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor

horizontal; 1 jika faktor vertikal sama dengan faktor horizontal ; dan 0 jika

faktor vertikal kurang penting dari faktor horizontal.

3. Memberi peringkat (rating) 1-4 pada peluang dan ancaman untuk

menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor

eksternal yang berpengaruh tersebut. Nilai peringkat berkisar antara 1-4

jika jawaban rata-rata dari responden sangat baik dan 1 jika jawaban

(42)

4. Menentukan skor tertimbang dengan cara mengalikan bobot dengan

rating.

5. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai 1

menunjukkan bahwa respon terhadap faktor eksternal sangat buruk dan

nilai 4 menunjukkan sangat baik. Rata-ratya nilai yang dibobot adalah 2.5.

Nilai lebih kecil dari pada 2.5 menunjukkan respon setempat terhadap

eksternal masih lemah. Sedangkan nilai lebih besar dari pada 2.5

menunjukkan respon yang baik. Analisis faktor eksternal diatas dapat

menggunakan matriks 2 berikut :

Tabel 9 Matriks analisis faktor eksternal pngembangan sapi

No Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating

1 2 3

Peluang (Opportunities) ... ... ...

1 2 3

Ancaman(Threats) ... ... ...

Total 1

Rangkuti (2006) untuk merumuskan strategi perlu dilakukan formulasi

faktor eksternal dan internal (Eksternal Factory Analysis Summary dan Internal

Factory Analysis Summary) dengan melalui pendekatan model analisis TOWS

matrik, yakni SO strategi, ST strategi, WO strategi, dan WT strategi. Analisi

tersebut matriknya sebagai berikut :

Tabel 10 Matrik analasis SWOT melalui pendekatan TOWS.

IFAS

EFAS STRENGTHS (S) WEAKNES (W)

OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO

THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Peternakan Kabupaten Kutai Timur

Sejarah dan Posisi Geografi

Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran

dari Kabupaten Kutai, yang dibentuk berdasarkan UU No. 47 1999, dari 5

kecamatan menjadi 18 wilayah kecamatan masing-masing kecamatan Sangatta

(ibukota Kabupaten), kecamatan Sangkulirang, Muara Bengkal, Muara Ancalong,

Muara Wahau, Telen, Sandaran, Busang, Kaliorang, Kongbeng, dan Bengalon.

*

Gambar 1 Peta Kabupaten Kutai Timur Sebelum Pemekaran Kecamatan.

Wilayah Kutai Timur terdiri dari daratan dan perairan yang terbentuk dari

gugusan gunung/pegunungan yang jumlahnya 8 (delapan) dan yang tertinggi yaitu

gunung menyapa dengan ketinggian mencapai 2000 meter. Wilayah perairan

berupa laut/pantai, danau, dan sungai. Sungai terpanjang Sungai Kedang Kepala

terletak di Kecamatan Muara Wahau 319 Km.

Kutai Timur secara geografis terletak di katulistiwa pada posisi 115o56’26

BT–118o58’19 dan 1o17’1’’LS dengan luas wilayah 47.653 km persegi atau 17%

dari luas propinsi Kalimantan Timur. Beberapa wilayah yang berbatasan dengan

kabupaten ini adalah :

(44)

■ Bagian Selatan berbatasan dengan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Kartanegara

■ Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara ■ Bagian Timur berbatasan dengan Selat Makassar.

Posisi Kutai Timur sangat strategis dalam pengembangan ekonomi regional

karena berada pada :

a. Berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, Brunai

Darussalam, Philipina, dan interaksi sosial ekonomi Malindo.

b. Poros pertumbuhan Kapet Sasamba (Kawasan pengembangan ekonomi

terpadu Samarinda-Samboja-Balikpapan)

c. Poros lintas Kalimantan (Tanjung Selor-Tanjung Redeb-ke

Samarinda-Balikpapan-Pasir-Kalsel-Kalteng-Kalbar).

d. Menghadap ke selat Makassar yang merupakan jalur pelayaran

regional-nasional dan interregional-nasional sehingga hal ini potensi yang besar dimasa yang

akan datang.

Tofografi dan Iklim

Tofografi bervariasi, lereng bergelombang hingga bergunung, kemiringan

dibawah 8 derajat sekitar 0.41% (14.514 hektar) dari luas daerah Kutai Timur,

yang terdapat di kecamatan Sangkulirang, Bengalon, Sandaran, Kaliorang dan

Sangatta, selebihnya (99.59%) di kecamatan tersebut berlereng dengan

kemiringan 8-15 derajat. Kecamatan Kongbeng, Muara Wahau, Telen, Muara

Ancalong, dan Busang lebih banyak didominasi oleh lereng kemiringan 15-30

derajat maupun yang lebih dan sedikit dibawah 8 derajat kemiringan (Ishak 2002).

Hampir sepanjang tahun turun hujan yang mengakibatkan keadaan iklim

di wilayah ini menjadi basah, sesuai agroklimat daerah Kutai Timur memiliki

iklim basah dengan curah hujan yang umumnya terjadi pada bulan oktober hingga

bulan april dengan jumlah curah hujan 2000 – 3000 mm pertahun. Kisaran suhu

dinihari bisa mencapai 19 oC dan siang hari mencapai 35 oC, keadaan ini cukup

ekstrim perbedaanya, untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat Lampiran 1.

Sesuai karakter wilayah sebagian besar tanah yang terdapat dikawasan

tersebut adalah tanah podsolik merah kuning, komplek podsolik merah kuning,

(45)

Tabel 11 Keadaan hubungan jenis tanah dan fisiografinya.

Fisiografi Lereng

(derajat) Jenis Tanah

Dataran

Komplek podsolik merah. kuning. latosol. loithosol. Komplek podsolik merah kuning. latosol. lithosol

Sumber : Ishak, 2002.

Sosial Budaya dan Kependudukan

Jumlah penduduk Kutai Timur pada tahun 2006 sebanyak 184.771 jiwa

dengan kepadatan sebesar rata-rata 4 jiwa/km2 dan pertumbuhan penduduk

selama 4 tahun terakhir rata-rata 4.08% setiap tahun dengan etnis yang ada Kutai,

Jawa, Bugis, Dayak, Banjar, Timor dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan

bervariasi mulai putus sekolah, tamat SD hingga pendidikan sarjana.

Keadaan Kependudukan Kutai Timur 2006

KONGBENG;

Gambar 2 Keadaan jumlah penduduk di Kutai Timur tahun 2006.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappemas Kutai Timur, jumlah

penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Sangatta (ibu kota kabupaten) 36%

(65.356 jiwa), disusul Muara Bengkal 10% (19.153 jiwa), Muara Ancalong 9%

(16.086 jiwa), Sangkulirang 8% (15.698 jiwa), Kaliorang 8% (14.870 jiwa),

Muara Wahau 7% (12.540 jiwa), Bengalon 6% (11.833 jiwa), Kongbeng 6%

(10.176 jiwa), Busang 4% (7.752 jiwa), Telen 3% (6.137 jiwa) dan Sandaran 3%

(46)

Konsep Pembangunan Peternakan di Kutai Timur

Berdasarkan rumusan beberapa strategi pembangunan peternakan di

Kalimantan Timur, yaitu sebagai berikut :

1. Pengembangan wilayah dan kawasan sentra produksi berdasarkan

komoditas unggulan.

2. Identifikasi dan pemetaan lahan peternakan yang berpotensi untuk

dikembangkan.

3. Memaduserasikan rencana pengembangan peternakan ke daerah baru

dengan berbagai sektor terkait seperti transmigrasi, industri dan

perdagangan.

4. Pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia peternak.

5. Peningkatan usaha dan industri peternakan yang efesien dan berdaya saing

tinggi

6. Optimalisasi pemanfaatan, pengamanan dan perlindungan sumber daya

alam lokal.

7. Pengembangan kemitraan yang lebih luas dan saling menguntungkan.

8. Pengembangan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan.

9. Pengembangan peluang investasi dan kepastian berusaha bagi investor.

Berdasarkan strategi pembangunan peternakan tersebut, maka di Kutai

Timur telah dijabarkan melalui beberapa program diantaranya adalah :

1. Pengembangan kawasan komoditas ternak berdasarkan potensi dan daya

dukungnya misalnya kecamatan Muara Wahau sebagai sentra

pengembangan ternak babi dan sapi, sedangkan Sangsaka sebagai daerah

pengembangan khusus ternak sapi.

2. Pengembangan ternak sapi melalui proyek pengadaan sapi pembibit.

3. Penyuluhan, pendampingan, dan pelayanan kepada masyarakat peternak

yang tersebar di wilayah Kutai Timur.

Berdasarkan konsepsi pembangunan perkebunan dan peternakan di Kutai

Timur, secara konseptual tidak terjadi kontradiksi, sehingga pengembangan sapi

potong melalui sistim integrasi sawit-ternak, potensial untuk dikembangkan

melalui struktural pemerintahan dan kultural, sehingga diharapkan lebih nyata

(47)

Pemotongan Ternak di Kutai Timur.

Pemotongan ternak ruminansia yang dilakukan di Kutai Timur umumnya

dilaksanakan di rumah pemotongan hewan milik pedagang yang masih bersifat

pribadi. Pemotongan ternak ada juga yang dilaksanakan oleh rumah tangga atau

komunitas karena hajatan (pesta, ritual keagamaan dan kegiatan adat). Di Kutai

Timur hingga saat ini belum ada rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah,

sehingga kontrol terhadap kualitas pemotongan ternak dan keamanan konsumen

belum terlaksana dengan baik, hal ini memungkinkan terjadinya pemotongan

ternak khususnya sapi, kerbau dan kambing yang masih berumur produktif, tidak

layak potong karena kesehatan ternak/penyakit, dan perlakuan tatalaksana

pemotongan ternak yang tidak sesuai standar teknis. Jumlah pemotongan ternak

yang dilakukan pada tahun 2004 disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Jumlah pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2004.

No. Jenis Ternak Pemotongan Ternak (ekor)

Pemotongan Ternak (ST)

1 Sapi 1.928 1.928

2 Kerbau 0 0

3 Kambing 1.590 254.4

4 Domba 0 0

5 Babi 847 0

6 Ayam Buras 60.006 7 Ayam Ras Pedaging 83.600 8 Ayam Ras Petelur 1.127.500 9 Itik 9.781 Sumber : Data olahan.

Pemotongan ternak sapi dan kambing di Kutai Timur sebanyak 3518 ekor

sedangkan kerbau dan domba tidak ada pemotongan, khusus untuk sapi rincian

pemotongan jantan 91% (1.746 ekor) dan betina 9% (182 ekor), dengan rataan

pemotongan perbulannya adalah 161 ekor (jantan berkisar 145-146 ekor dan

betina 15-16 ekor).

Data pada Tabel 13 menunjukkan jumlah pemotongan ternak tahun 2006,

(48)

Tabel 13 Pemotongan ternak di Kutai Timur tahun 2006.

Sumber : Data olahan

No. Jenis Ternak Pemotongan Ternak (ekor)

Pemotongan Ternak (ST)

1 Sapi 2.951 2.951

2 Kerbau 35 40.25

3 Kambing 3.295 527.2

4 Domba 0 0

5 Babi 1.014 0

6 Ayam Buras 552.200 7 Ayam Ras Petelur 14.400 8 Ayam Ras Pedaging 139.600

9 Itik 4.000

Tahun 2006 jumlah pemotongan sapi 2951 ekor, jantan 88.61% (2.615

ekor) sedangkan betina 11.39% (336 ekor), rata-rata pemotongan 246 ekor/bulan

jantan 218 ekor dan betina 28 ekor setiap bulan.

Jumlah pemotongan ternak tertinggi di kecamatan Sangatta (ibu kota

kabupaten) sebanyak 1962 ekor, dengan rincian jantan 90% (1765 ekor) dan

betina 10% (197 ekor). Setiap bulan sapi yang dipotong di Sangatta sekitar 164

ekor, dengan komposisi jantan 148 ekor dan betina 16 ekor. Pada umumnya

pemotongan tersebut adalah komsumsi keseharian warga Sangatta yang dijual di

pasar tradisional, selain itu juga ada pemotongan untuk hajatan, pesta, dan ritual

keagamaan misalnya idul adha. Berdasarkan data pemotongan ternak ruminansia

selama 2 tahun di Kutai Timur, ternak sapi terbanyak dipotong yakni sebesar

85.6%, ini menggambarkan bahwa dari segi permintaan dan kesukaan daging sapi

masih dominan, sehingga usaha peternakan sapi harus digalakkan.

Populasi Ternak Ruminansia di Kutai Timur

Ternak ruminansia yang ada di Kutai Timur saat ini umumnya milik

perorangan petani peternak, yang paling banyak adalah ternak sapi 75% (20744

ekor), diikuti ternak kambing 23% (6500 ekor), kerbau 2% (697 ekor) dan domba

(49)

Populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007

Sapi, 20744, (75%) Kerbau, 697

(2%)

Kambing, 6500 (23%)

Domba, 60 (0.02%)

Total Populasi 28.056 ekor

Gambar 3 Persentase populasi ternak ruminansia (ekor) di Kutai Timur, 2007.

Populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 berdasarkan data

dari dinas pertanian Kutai Timur 2007 sebanyak 28.056 ekor.

Populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007

Domba, 7.99, (0.04%)

Kerbau, 654.14 (4%) Kambing

880.82 (5%) Sapi, 16178.27,

(91%)

Total Populasi (ST) 17.721,2 ST

Gambar 4 Persentase populasi ternak ruminansia (ST) di Kutai Timur, 2007.

Hasil analisis data populasi berdasarkan ekor dan jenis ternak ruminansia

di Kutai Timur, menunjukkan populasi ternak ruminansia sebanyak 17.721.2 ST

dengan rincian sapi potong 91% (16.178.27 ST), diikuti kambing 5% (880.82 ST),

kemudian kerbau 4% (654.14 ST) dan domba 0.04% (7.99 ST). Rincian populasi

(50)

Tabel 14 Populasi berdasarkan jenis ternak ruminansia(ST) di Kutai Timur, 2007.

Jumlah populasi sapi (%) Jumlah populasi sapi (ST) Kecamatan Sapi

Anak Muda Dewasa Anak Muda Dewasa Sangatta Utara 1228 208,64 327,63 691,73 307 196,58 691,73

Sangkulirang 2715 461,28 724,36 1529,36 24,97 434,62 1529,36

Karangan 411 69,83 109,65 231,52 115,32 65,79 231,52

Sandaran 963 163,61 256,93 542,46 17,46 154,16 542,46 Muara Wahau 3026 514,12 807,34 1704,55 40,90 484,40 1704,55

Kongbeng 4862 826,05 1297,18 2738,76 128,53 778,31 2738,76

Telen 717 121,82 191,30 403,89 206,51 114,78 403,90 Total populasi sapi berdasarkan satuan ternak = 16.178,27 ST (20.744 ekor).

Sumber : Data olahan

Menurut Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2003), di Kutai

Timur memiliki kemampuan menampung ternak ruminansia sebanyak 37.601,78

ST. Berdasarkan populasi ternak ruminansia di Kutai Timur tahun 2007 sebanyak

17.721,2 ST sehingga kemampuan penambahan populasi sebanyak 19.880,58 ST.,

hal ini berdasarkan kapasitas daya dukung padang pengembalaan dengan pola

pemeliharaan sederhana.

Saat ini usaha peternakan masih didominasi oleh ternak rakyat yang

dipelihara secara sederhana, belum ada perusahaan maupun investor yang

melaksanakan usaha ternak ruminansia kategori industri. Pemerintah daerah akhir

tahun 2006 telah melakukan sosialisasi program integrasi sawit-ternak dengan

pengadaan sapi bibit 86 ekor khusus untuk tujuan pemodelan, yang diberikan

kepada petani peternak sebagai penerima bantuan di kecamatan Muara Wahau.

Kapasitas Tampung Ternak Ruminansia di Kutai Timur

Kabupaten Kutai Timur memiliki luas wilayah 47.653 km persegi atau

(51)

kegiatan usaha pertanian seluas 622.292.34 hektar, dengan rincian pada Gambar 5

berikut.

Persentase Pemanfaatan Lahan di Kutai Timur (hektar)

Rawa 6%

Gambar 5 Persentase pemanfaatan lahan di Kutai Timur.

Berdasarkan luas daerah Kutai Timur berupa lahan garapan tanaman

pangan (2%) setara 10.791.31 hektar, luas padang rumput/tegalan (22%) setara

133.912.8 hektar, rawa air tawar (6%) setara 34.521 hektar dan rawa pasang surut

(0.4%) setara 2999 hektar sedangkan lahan perkebunan umum (20%) setara

125.557 hektar, dan perkebunan khusus sawit (50%) hasil setara dengan 314.511

hektar dengan pemanfaatan hijauan rumput yang tumbuh di areal kebun sawit

(tanpa pemanfaatan pelepah dan daun sawit) di peroleh hasil analisis

menunjukkan kapasitas daya tampung ternak ruminansia sebanyak 1.453.944,77

ST diluar dari daya tampung perkebunan umum.

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Perhitungan potensi wilayah pengembangan ternak ruminansia di Kutai

Timur, didasarkan pada :

a. Pemanfaatan lahan di Kutai Timur.

Berdasarkan data pemanfaatan lahan di Kutai Timur, hasil analisis

menunjukkan kapasitas daya tampung daerah sebesar 799.997.35 ST,

rincianya sebagai berikut :

Gambar

Tabel 1 Beberapa spesies tanaman introduksi yang telah direkomendasikan untuk ditanam dilahan perkebunan sawit dan karet
Tabel 2 Kandungan nutrisi hasil samping industri kelapa sawit (% bahan kering).
Tabel 4   Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan sawit
Tabel 6   Standar konversi populasi ternak berdasarkan jenis ternak dan umur.
+7

Referensi

Dokumen terkait

BRIDGESTONE TIRE INDONESIA, berdasarkan sumber dan penggunaan modal kerja dengan tingkat likuiditas dilihat pada tahun 2003 ke tahun 2004 mengalami kenaikkan berarati kinerja

Salah satu solusi yang dibahas dengan metode Minimal Spanning Tree adalah pada pemasangan kabel listrik menggunakan Algoritma Solin untuk mencari jumlah biaya minimal. Masalah

December 26, 2005, one year since the tsunami roared ashore, 4,708 sur- vivors in West Aceh, in- cluding Meulaboh, are still living in tents.. The tents, meant as emergency aid for

JRS together with Transparan and Puspa Indah, local NGOs, visited the GTZ office in Lhokseumawe and Banda Aceh to discuss the return of IDPs from Kuala Simpang Ulim.

The concept of neighborhood unit in the area of Menara Kudus settlement in term of physical closeness may be seen through the maintained building shape and environment of the

[r]

[r]

Dalam kaitan dengan proses pembelajaran melukis gaya Batuan, metode ceramah diaplikasikan hampir pada setiap awal pertemuan ketika para pembina/instruktur