• Tidak ada hasil yang ditemukan

Quality Losses Of Rice Due To Delay In Harvesting And The Use Of Differensial Drying Method (Case Study In Wajo District South Sulawesi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Quality Losses Of Rice Due To Delay In Harvesting And The Use Of Differensial Drying Method (Case Study In Wajo District South Sulawesi)"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Susut Kualitas Beras

Akibat Penundaan Pemanenan dan Metode Penjemuran yang Berbeda (Studi Kasus di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Asniwati Zainuddin NIM F153110011

(3)

RINGKASAN

ASNIWATI ZAINUDDIN. Susut Kualitas Beras Akibat Penundaan Pemanenan dan Metode Penjemuran yang Berbeda (Studi Kasus di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan). Di bawah Bimbingan SUTRISNO dan Y. ARIS PURWANTO.

Penundaan proses pemanenan merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh petani setempat, hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Penundaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan gabah dan turunnya mutu serta mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas gabah yang dihasilkan. Semakin lama penundaan kegiatan pemanenan padi akan semakin menurunkan persentase butir kepala, meningkatkan butir patah, menir serta butir rusak. Kebiasaan yang turun

temurun dilakukan oleh petani setelah proses perontokan adalah penjemuran di bawah sinar matahari.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis pengaruh dari lama penundaan pemanenan dan perontokan terhadap susut mutu beras varietas ciliwung; (2) menganalisis pengaruh penjemuran dengan lamporan dan

penjemuran dengan alas terpal terhadap susut mutu beras varietas ciliwung;

(3) mengukur kualitas beras varietas ciliwung yang dihasilkan; dan (4) menghitung nilai tambah ekonomi beras varietas ciliwung yang dihasilkan.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, sampel beras yang dipilih adalah varietas Ciliwung. Hasil perhitungan mutu beras pada proses pemanenan dan perontokan terhadap butir patah dan butir kuning yaitu

pemanenan tanpa penundaan (P0) 2.25 dan 0.27%, penundaan panen 3 hari (P1) 5.8 dan 0.77%, penundaan 6 hari (P2) 6.95 dan 1.03%, penundaan 10 hari

(P3) 13.25 dan 1.48%.

Hasil analisis susut mutu pemanenan pada butir kepala yaitu penundaan pemanenan selama 3 hari (P1) 1.29%, penundaan pemanenan selama 6 hari (P2) 2.82%, dan penundaan pemanenan selama 10 hari (P3) 5.56%. Susut mutu pada penjemuran gabah (butir kepala) terendah terdapat pada penundaan pemanenan selama 3 hari dengan penjemuran lamporan (A1P1) yaitu 1.76% sedangkan tertinggi terdapat pada penundaan pemanenan selama 10 hari dengan penjemuran lamporan (A1P3) yaitu 6.33%. Hasil pengukuran kualitas beras varietas Ciliwung di kabupaten Wajo Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori standar mutu III, IV dan V pada SNI beras No. 01-6128-2008. Rasio nilai tambah penanganan pascapanen pada penelitian ini termasuk dalam rasio nilai tambah ekonomi sedang (16 sampai 40%) dan rendah <15%, yaitu rasio nilai tambah yang diperoleh pada masing-masing perlakuan adalah 16.85, 15.13, 10.51, and 7.84%.

(4)

SUMMARY

ASNIWATI ZAINUDDIN. Quality Losses of Rice Due to Delay in Harvesting

and The Use of Differensial Drying Method (Case Study in Wajo District South Sulawesi). Supervised by SUTRISNO and Y. ARIS PURWANTO.

Delay the harvest are often done by farmers in Wajo, South Sulawesi. It is caused by the lack of manpower and climate change. Delay the harvest can cause quality and quantity loss of grain. The longer of delay harvest resulting a decreased percentage of head grains, increased of broken grains, groats and damage grains. Sun drying after threshing is a hereditary habit of the farmers in Wajo.

The objective of this study were to : (1) analyze the effect of delay in harvesting followed by threshing on rice quality losses, (2) analyze the effect of

drying with lamporan and tarpaulin on rice quality losses, (3) measure the quality of rice Ciliwung varieties produced, and (4) calculate the economic value

added of rice Ciliwung varieties. This study was carried out in Wajo district South Sulawesi, varieties of Ciliwung was selected as sample of rice. The results showed the percentage of damaged and yellow grains without delay (P0) were 2.25 and 0.27%, delayed 3 days (P1) were 5.8 and 0.77%, delayed 6 days (P2) were 6.95 and 1.03%, and delayed 10 days (P3) were 13.25 and

1.48%.

The results of quality loss analysis of head grains with 3 days delayed (P1) was 1.29%, 6 days delayed (P2) was 2.82%, and 10 days delayed (P3) was 5.56%. These results showed that the lowest quality loss of head grains 1.76% was drying on lamporan and 3 days delayed (A1P1), while the highest 6.33% on was drying lamporan and 10 days delayed (A1P3). The rice quality measurement of Ciliwung varieties from Wajo district of South Sulawesi was categorized in III, IV and V of rice quality standard based on SNI No. 01-6128-2008. The ratio of value added in postharvest handling of this research was categorized in intermediate economic value added (16 to 40%) and low<15%. The ratio of each treatment were 16.85, 15.13, 10.51, and 7.84%.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

SUSUT KUALITAS BERAS

AKIBAT PENUNDAAN PEMANENAN DAN

METODE PENJEMURAN YANG BERBEDA

(STUDI KASUS DI KABUPATEN WAJO SULAWESI SELATAN)

ASNIWATI ZAINUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah tesis yang berjudul Susut Kualitas Beras

Akibat Penundaan Pemanenan dan Metode Penjemuran yang Berbeda (Studi Kasus di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, MS, sebagai penguji dan pemberi arahan kepada penulis.

3. Orang tua penulis Drs. Zainuddin Ngati dan Dra. Ni’mah Caco, saudara penulis Ampauleng, Asriadi dan Asnawiyah terima kasih atas doa dan dukungannya kepada penulis.

4. Semua teman-teman Teknologi Pascapanen angkatan 2011, terima kasih telah memberikan bantuan, masukan, dan semangat kepada penulis terkhusus kepada bunda Nini Munirah Renur yang selalu setia menemani dalam suka maupun duka.

5. Teman-teman seperjuangan dari Makassar terima kasih atas semangat dan bantuannya.

6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS kepada penulis selama menjalani studi di Program Studi Teknologi Pascapanen Institut Pertanian Bogor.

Demikian, semoga karya ilmiah tesis ini dapat bermanfaat

Bogor, Januari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA

Beras 5

Beras Varietas Ciliwung 7

Pemanenan 9

Perontokan 10

Penjemuran 11

Penggilingan 11

Mutu Beras 12

Nilai Tambah Ekonomi 13

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian 15

Alat dan Bahan 15

Metode Penelitian 15

Prosedur Penelitian 15

Parameter Pengamatan 19

Rancangan Percobaan 21

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 23

Produksi Padi 23

Analisa Susut Mutu Beras 24

Pemanenan 24

Penjemuran 27

Penggilingan 30

Analisa Kualitas Beras 31

Analisis Nilai Tambah 38

SIMPULAN DAN SARAN 46

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 50

(11)

DAFTAR TABEL

1 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi Pulau Sulawesi Tahun 2012

5

2 Standarisasi Tipe Beras Berdasarkan Ukuran dan Bentuk Biji 5 3 Kandungan Mineral Makro Beras Giling Varietas Unggul Baru (ppm) 6 4 Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Ekonomi Metode Hayami 17

5 Persyaratan Mutu Beras Menurut SNI No.01-6128-2008 19

6 Luas Tanam, Panen, Puso dan Produksi Padi Tiap Kecamatan di Kabupaten Wajo Tahun 2011

23

7 Hasil Analisis Mutu Pemanenan 26

8 Hasil Analisis Mutu Penjemuran 29

9 Hasil Analisis Mutu Penggilingan 30

10 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen Tanpa Penundaan Pemanenan untuk Satu Kali Produksi

40

11 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan Pemanenan Selama 3 Hari untuk Satu Kali Produksi

42

12 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan Pemanenan Selama 6 Hari untuk Satu Kali Produksi

43

13 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan Pemanenan Selama 10 Hari untuk Satu Kali Produksi

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur Biji Padi 7

2 Diagram Alir Prosedur Kerja Penelitian 21

3 Hasil Pengukuran Persentase Beras Kepala Terhadap Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

32

4 Hasil Pengukuran Persentase Butir Patah Terhadap Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

33

5 Hasil Pengukuran Persentase Butir Menir Terhadap Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

34

6

Hasil Pengukuran Persentase Butir Rusak Terhadap Kualitas

Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan 35

7 Hasil Pengukuran Persentase Butir Kapur Terhadap Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

36

8 Hasil Pengukuran Persentase Rendemen Giling Terhadap Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

01 Data Perhitungan Susut Mutu Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

51

02 Hasil Pengukuran Kualitas Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan

51

03 Hasil Analisa Sidik Ragam Kadar Air pada Pemanenan 52

04 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Kepala pada Pemanenan 52

05 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Patah pada Pemanenan 52

06 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Rusak pada Pemanenan 52

07 Hasil Analisa Sidik Ragam Kadar Air pada Penjemuran 52

08 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Kepala pada Penjemuran 53

09 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Patah pada Penjemuran 53

10 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Rusak pada Penjemuran 53

11 Hasil Analisa Sidik Ragam Kadar Air pada Penggilingan 53

12 Hasil Analisa Sidik Ragam Kepala pada Penggilingan 54

13 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Patah pada Penggilingan 54 14 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Rusak pada Penggilingan 54

15 Hasil Analisa Sidik Ragam Rendemen Beras Giling 54

16 Hasil Analisa Sidik Ragam Kadar Air pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

55

17 Hasil Analisa Sidik Ragam Beras Kepala pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

55

18 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Patah pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

55

19 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Menir pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

55

20 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Kuning pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

56

21 Hasil Analisa Sidik Ragam Butir Kapur pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

56

22 Hasil Analisa Sidik Ragam Benda Asing pada Mutu Beras Varietas Ciliwung

56

23 Data Curah Hujan Kabupaten Wajo Tahun 2011 57

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah daerah Sulawesi Selatan telah menjadikan komoditi padi sebagai salah satu komoditas unggulan yang produktivitasnya perlu ditingkatkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan nilai strategis beras sebagai produk untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat serta mengandung potensi agribisnis yang menguntungkan bagi pembangunan daerah di Sulawesi Selatan. Kabupaten Wajo merupakan salah satu sentra penghasil beras di Sulawesi Selatan. Potensi areal seluas ±84 555 Ha. Pada tahun 2008 mampu menghasilkan produksi 4-8 ton per hektar. Sebagian besar areal masih merupakan lahan tadah hujan yaitu seluas 65 251 Ha.

Badan Pusat Statistik BPS (2012) mencatat, selama lima tahun terakhir produksi padi Sulawesi Selatan terus meningkat secara konsisten. Tahun 2008 produksi padi sebesar 4.08 juta ton, 2009 sebesar 4.32 juta ton, 2010 sebesar 4.38 juta ton, 2011 sebesar 4.51 juta ton dan 2012 mencapai 4.54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 2.88 juta ton beras. Sentra produksi beras utama, tersebar di Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu.

Potensi lahan pertanian sawah Kabupaten Wajo yang luasnya mencapai 84 555 Ha didukung oleh sumberdaya pengairan dari potensi luas lahan

sawah tersebut. Untuk mendukung potensi produksi beras di Kabupaten Wajo maka pemerintah telah membangun Rice Processing Complex (RFC)

di Anabanua Kecamatan Maniangpajo dengan kapasitas produksi sebanyak 4 ton per jam dimana mesin dan konstruksinya menggunakan lisensi Korea

Selatan.

Penerapan teknologi secara umum di Kabupaten Wajo dikategorikan masih rendah, penanganan pascapanennya masih banyak mengandalkan sistem tradisional dan manual sehingga untuk mengejar kebutuhan produksi yang sifatnya tinggi dengan kualitas yang terkontrol sudah tidak memadai lagi. Menurut Setyono et al. (1993) dalam Nugraha S 2012, kondisi penanganan pascapanen saat ini adalah petani masih melakukan penanganan secara tradisional dengan teknologi yang sederhana, walaupun telah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan. Kurangnya sosialisasi, uji coba dan penyuluhan menyebabkan tingkat adopsi teknologi yang rendah, teknologi masih dianggap barang baru dan belum sesuai dengan tingkat sosial dan budaya masyarakat.

(15)

besar daripada distribusi produksi gabah nasional. Kondisi tersebut menyebabkan banyak di antara penggilingan padi tidak bekerja secara maksimal dengan kondisi mesin yang tidak sempurna pula. Hal ini akan menyebabkan proses penggilingan yang tidak berjalan dengan baik, dihasilkannya beras pecah dan menir yang tinggi, beras giling yang kotor, serta rendemen giling yang rendah.

Pemanenan merupakan salah satu tahap kegiatan di dalam sistem usahatani yang membutuhkan tenaga kerja dan biaya cukup besar setelah kegiatan pengolahan tanah dan tanam. Umumnya panen optimum dilakukan pada saat gabah menguning 90-95%, kadar air gabah 25-27% pada musim hujan dan 21-24% pada musim kemarau atau pada umur 50-60 hari setelah pembungaan, bergantung pada varietas (Nugraha 2008). Penundaan proses pemanenan merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh petani setempat, hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja dan kondisi cuaca yang tidak menentu. Penundaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan gabah dan turunnya mutu serta mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas padi/gabah yang dihasilkan. Semakin lama penundaan kegiatan pemanenan padi akan semakin menurunkan persentase butir kepala, meningkatkan butir patah, menir serta butir rusak.

Penjemuran adalah metode pengeringan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pengeringan dengan sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan intensitas sinar matahari, suhu pengeringan yang selalu berubah, ketebalan penjemuran dan frekuensi pembalikan. penjemuran yang dilakukan tanpa memperhatikan hal-hal tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas beras, misalnya beras akan menjadi pecah waktu proses penggilingan. Penjemuran pada lapisan semen yang dilakukan dengan ketebalan yang tipis kurang dari 1 cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70 persen dengan rendemen giling rendah (DPTP 2013).

Kebiasaan yang turun temurun dilakukan oleh petani setelah proses perontokan adalah penjemuran di bawah sinar matahari karena jumlah gabah yang dapat dikeringkan banyak dan murah serta tidak membutuhkan bahan bakar, namun kelemahannya pengeringan tidak dapat memperoleh hasil yang sempurna apabila cuaca mendung atau turun hujan. Kondisi ini akan berbeda apabila panen dilakukan pada saat musim hujan, dimana jumlah gabah yang melimpah tidak sebanding dengan fasilitas pengeringan yang dimiliki petani (lantai atau terpal jemur), selain itu kondisi cuaca yang tidak mendukung (hujan atau mendung) menyebabkan terjadi penundaan proses penjemuran.

(16)

3

beras. Peningkatan kuantitas dan kualitas beras dapat dilakukan melalui perbaikan penanganan pada saat prapanen, panen dan pascapanen. Kehilangan pascapanen padi dapat digolongkan ke dalam kehilangan kuantitatif dan kehilangan kualitatif. Kehilangan kuantitatif yaitu susut padi (beras) selama proses pascapanen karena perontokan, tercecer, serangan hama dan rusak akibat penanganan yang kurang tepat, dan dapat terjadi pada setiap tahap. Dalam proses pemberasan, kehilangan ini tercermin dari penurunan rendemen beras. Kehilangan kualitatif yaitu penurunan mutu karena terjadi kerusakan maupun kontaminasi benda asing, juga terjadi pada setiap tahap proses pemberasan. Susut kualitatif, berupa mutu gabah dan beras yang rendah, lebih terasa langsung oleh konsumen, pedagang maupun produsen dibandingkan dengan susut kuantitatif.

Rumusan Masalah

Masalah yang sering dihadapi oleh petani adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman petani terhadap penanganan pascapanen yang baik, dan masih rendahnya penerapan teknologi pascapanen. Perbaikan teknologi penanganan pascapanen sebaiknya diprioritaskan pada ketiga tahapan, yaitu pemanenan, perontokan, dan pengeringan, karena tingginya kerusakan gabah dan turunnya mutu terjadi pada ketiga tahapan tersebut. Perlu terus disosialisasikan terutama melalui peningkatan kemampuan sumber daya manusia, perbaikan dan pengenalan teknologi panen dan pascapanen serta perlunya penyebarluasan informasi teknologi panen dan pascapanen berdasarkan pada prinsip-prinsip Good Handling Practices (GHP).

Penundaan proses pemanenan akan menyebabkan meningkatnya kerusakan gabah dan turunnya mutu. Tertundanya proses tersebut merupakan awal dari terjadinya proses penurunan mutu gabah dan beras. Adanya penundaan proses pemanenan dan perontokan akan mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas padi serta gabah yang dihasilkan. Semakin lama penundaan kegiatan pemanenan dan perontokan padi akan semakin menurunkan persentase butir kepala, meningkatkan butir patah, menir serta butir rusak.

Banyaknya penggilingan padi kecil yang tidak sesuai standar merupakan permasalahan dalam hal penurunan kuantitas dan kualitas beras selama ini. Penggilingan padi merupakan kunci utama dalam hal penentuan mutu beras. Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Mutu giling ini sangat erat

kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling. Hal ini dapat

(17)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh dari lama penundaan pemanenan dan perontokan terhadap susut mutu beras varietas Ciliwung.

2. Menganalisis pengaruh penjemuran dengan lamporan dan penjemuran dengan alas terpal terhadap susut mutu beras varietas Ciliwung.

3. Mengukur kualitas beras varietas Ciliwung yang dihasilkan dari beberapa perlakuan yang diberikan.

4. Menghitung nilai tambah ekonomi beras varietas Ciliwung yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang penanganan pascapanen yang baik untuk menghasilkan kualitas beras varietas Ciliwung yang bermutu sesuai dengan taraf SNI serta dapat memberi sumbangan pemikiran bagi petani dan pemerintah (Dinas terkait) di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah :

1. Penanganan pascapanen pada penundaan pemanenan dan sistem pengeringan dengan lamporan di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.

(18)
(19)

Tabel 3 Kandungan Mineral Makro Beras Giling Varietas Unggul Baru (ppm)

(20)

7

Biji padi atau gabah terdiri atas dua penyusun utama, yaitu 72-8% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut beras pecah kulit atau brown rice), dan 18% kulit gabah atau sekam. Kariopsis tersusun dari 1-2% perikarp, 4-6% aleuron dan testa, 2-3% lemma (sekam kelopak), dan 89-94% endosperm.

Gambar 1 Struktur Biji padi

Beras dan gabah sama seperti organisme hidup lainnya, mengalami respirasi. Pada proses respirasi ini akan dihasilkan CO2, air dan energi. Bersama

dengan gabah maupun itu sendiri, organisme yang berasosiasi dengannya akan bernapas dan berkontribusi terhadap keseluruhan aktivitas pernapasan , terutama di dalam kondisi dimana kadar air gabah, kelembaban relatif (RH), dan suhu mendukung pertumbuhan mikrobial (Siebenmorgen dan Meullenet 2004).

Beras Varietas Ciliwung

Luas pertanaman padi di Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 834 636 Ha, varietas padi yang banyak digunakan adalah Cisantana (29.2%), Ciliwung (17.2%), Cigeulis (15.4%), Cihewrang (14.3%), Way Apo Buru (4.4%), IR-64 (4.2%), sekitar 15.3% varietas lain dan varietas lokal. Berdasarkan penyebaran varietas padi tersebut maka ketersediaan benih pada varietas non hibrida di Sulawesi Selatan oleh PT. Sang Hyang Seri (Persero) untuk musim tanam Oktober 2008 sampai Maret 2009 sekitar 4 415 120 kg dan April sampai September 2009 sekitar 6 594 136 kg, yang terdiri dari 13 Varietas, benih yang

terbanyak disiapkan adalah Cigeulis,Way Apo Buru, Ciherang, Cisantana dan Ciliwung. Hingga bulan Agustus 2008 stock benih di PT. Pertani sebanyak

127 330 kg, Swasta 149 300 dan obyek Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura sebanyak 138 235 kg yang terdiri dari 12 varietas (BPS 2012).

(21)

di sebelah timur menghadap Teluk Bone sepanjang 103 km garis pantai. Kabupaten Wajo adalah merupakan salah satu sentra penghasil beras di Sulawesi Selatan. Potensi areal seluas ±84 555 Ha. Pada tahun 2008 mampu menghasilkan produksi 4-8 ton per hektar. Sebagian besar areal masih merupakan lahan tadah hujan yaitu seluas 65 251 Ha; lahan pengairan teknis 8 061 Ha; lahan pengairan setengah teknis 681 Ha; lahan pengairan sederhana/desa/pompanisasi 12 847 Ha (BPS 2012).

Luas wilayah Kabupaten Wajo 2 506.19 km2, penggunaan untuk sawah 86 142 hektar (34.37%) dan 164 477 hektar (65.63%) lainnya adalah lahan kering (non-sawah). Data Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pertanian di Kabupaten Wajo, terbesar kedua setelah Kabupaten Bone. Dari keseluruhan luas lahan sawah, mayoritas sawah diairi secara tadah hujan (65 083 hektar), sedangkan sisanya adalah pengairan tekhnis (7 950 hektar), dan pengairan setengah teknis (587 hektar). Varietas gabah Ciliwung yang digunakan pada penelitian ini merupakan salah satu jenis padi sawah yang berasal dari persilangan IR38//2*Pelita I-1/IR4744-128-4-1-2 dan mempunyai bentuk gabah pendek bulat, warna gabah kuning bersih dan memiliki tekstur nasi pulen dengan kadar amilosa 22% dan Indeks Glikemik 86 (BPTP 2011).

Untuk mendukung potensi produksi beras di Kabupaten Wajo maka Pemerintah telah membangun Rice Processing Complex (RFC) di Anabanua Kecamatan Maniangpajo dengan kapasitas produksi sebanyak 4 ton per jam dimana mesin dan konstruksinya menggunakan lisensi Korea Selatan. Potensi yang ada ini juga memberikan peluang investasi dibidang pembangunan Pabrik Tepung Beras. Penambahan fasilitas pompanisasi, Penambahan Pembangunan Irigasi Teknis. Sedangkan untuk lebih meningkatkan nilai jual hasil panen dapat dibuat areal Pertanian Padi Organik (Imran dan Suriani, 2007).

Menurut (BPTP 2011) bahwa varietas padi sawah Ciliwung memiliki umur tanam 117-125 hari dengan potensi hasil dapat mencapai 6.5 ton/ha. Ciliwung juga memiliki tekstur nasi pulen.

 Asal persilangan : IR38//2*Pelita I-1/IR4744-128-4-1-2

 Umur tanaman : 100 hari

 Bentuk tanaman : Tegak

 Tinggi tanaman : 114-124 cm

 Anakan produktif : 18-25 batang

 Muka daun : Kasar

 Posisi daun : Tegak

 Daun bendera : Miring sampai tegak

 Bentuk gabah : Sedang sampai ramping

 Warna gabah : Kuning bersih

 Kerontokan : Sedang

 Kerebahan : Tahan

 Tekstur nasi : Pulen

 Kadar amilosa : 22%

 Indeks Glikemik : 86

 Bobot 1000 butir : 23 g

 Rata-rata hasil : 4.8 t/ha

(22)

9

 Ketahanan terhadap Hama dan Penyakit : Tahan wereng coklat biotipe 1.2 dan rentan wereng coklat biotipe 3; Agak tahan terhadap HDB strain IV

 Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan irigasi sampai ketinggian 550 m dpl

Pemanenan

Umur panen padi dapat ditentukan berdasarkan beberapa hal, yaitu umur

tanaman menurut deskripsi varietas, kadar air gabah, metode optimalisasi (hari setelah berbunga), dan kenampakan malai. Waktu (umur) panen berdasarkan

umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik. Panen pada saat umur optimum sangat penting untuk memperoleh mutu beras yang baik dan menekan kehilangan hasil (Nugraha 2008).

Umur panen adalah kondisi dimana tanaman sudah mencapai masak optimum dan siap untuk diambil hasilnya. Umur panen dapat ditentukan berdasarkan pengamatan visual dengan melihat kenampakan padi pada hamparan sawah. Umur panen optimal padi dicapai setelah 90-95% butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut menghasilkan gabah yang berkualitas sangat baik, dengan kandungan butir hijau dan butir mengapur rendah. Padi yang panen pada kondisi optimum juga menghasilkan rendemen giling tinggi. Tiga cara panen padi yang

biasa dilakukan petani, adalah 1) panen potong bawah, 2) potong tengah, dan 3) potong atas. Cara panen dipilih berdasarkan jenis atau cara perontokan yang

digunakan. Jika padi digebot atau dirontokkan dengan alat pedal thresher, maka padi dipanen dengan cara potong bawah. Cara panen potong atas atau potong tengah ditempuh jika padi dirontokkan dengan alat perontok power thresher (Nugraha 2008).

Combine harvester adalah mesin panen padi yang mampu menyelesaikan pekerjaan manusia, merontok, memisahkan, membersihkan, dan mengayak gabah dalam satu urutan. Karena strukturnya kompak, mobilitas tinggi, stabil, ekonomis dan kuat aksesibilitasnya ke lahan sawah, pemanenan satu hektar hanya membutuhkan waktu 5 jam. Keuntungan lainnya, mesin ini hemat bahan bakar. Untuk mengoperasikan alat bermesin diesel 25 PK hanya membutuhkan solar 6.5 I/ha. Namun , combine harvester memiliki keterbatasan yaitu sulit bekerja pada lahan dengan kedalaman lumpur 20 cm atau lebih dan kurang berfungsi efektif pada lahan dengan kemiringan tinggi. Disamping itu, tanaman padi yang akan dipanen tidak boleh basah untuk mencegah kemacetan di dalam sistem perontokan (Purwadaria dan Sulistiadji 2011).

(23)

Perontokan

Perontokan adalah proses melepaskan butiran gabah dari malai dengan cara menyisir atau membanting malai pada benda yang lebih keras atau menggunakan alat perontok (gebot, pedal thresher, power thresher). Tidak semua petani langsung merontokkan gabah segera setelah melakukan pemotongan anakan. Keterlambatan perontokan sering terjadi, antara lain karena tenaga kerja kurang dan waktu panen yang serempak (Nugraha 2008). Beberapa hal yang mungkin terjadi selama proses penundaan perontokan antara lain: (1) Kehilangan hasil karena gabah rontok selama penumpukan atau dimakan binatang. (2) Kerusakan gabah akibat reaksi enzimatis sehingga gabah cepat berkecambah, terjadinya butir kuning, berjamur atau rusak.

Kecepatan merontok selain dipengaruhi oleh cara dan alat perontok juga dipengaruhi sifat tahan rontok dari varietas padinya. Modifikasi beberapa model alat perontok dapat meningkatkan kapasitas dan mengurangi susut yang terjadi selama perontokan. Ketersediaan alat perontok yang memadai akan lebih mudah mengatasi terjadinya keterlambatan atau penundaan perontokan padi. Dampak yang lebih luas gabah yang dihasilkan mempunyai kualitas yang bagus sehingga dapat mendukung program penyediaan beras berkualitas, beras berlabel yang memenuhi standar SNI serta memberi nilai tambah kepada petani dengan harga jual yangtinggi (Suismono et al. 2008).

Penjemuran

Penjemuran merupakan proses pengeringan gabah basah dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata, maka penjemuran harus dilakukan dengan menggunakan alas. Penggunaan alas untuk penjemuran telah berkembang dari anyaman bambu kemudian menjadi lembaran plastik/terpal dan terakhir lantai dari semen/beton. Sistem pengeringan yang umum dilakukan oleh para petani di Indonesia adalah sistem penjemuran dengan bantuan sinar matahari. Pengeringan ini sangat sederhana dan ekonomis. Pengeringan gabah dengan metode penjemuran menyebabkan kadar beras patah dan susut bobot lebih tinggi sehingga kualitas beras yang dihasilkan lebih rendah. Waktu yang dibutuhkan pun lebih lama. Peneliti lain menyebutkan diperlukan waktu 3-4 hari. Kelemahan sistem pengeringan ini antara lain ketergantungan terhadap cuaca, pemakaian lahan yang luas, waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta mudahnya kontaminasi benda asing (Wijaya 2005).

Suhu udara pengering yang tinggi memang mampu mempercepat proses pengeringan dan penurunan kadar air. Semakin lama waktu pengeringan dan semakin tinggi suhu operasi maka yield head rice akan semakin menurun dan terjadi penurunan kualitas pada rasa dan aroma beras. Oleh karena itu untuk

(24)

11

Menurut DPTP (2013), hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga mutu gabah selama penjemuran adalah:

1. Pada hari yang sangat panas suhu gabah bisa mencapai di atas 50-60 oC. bila ini terjadi, maka tutupi hamparan gabah pada tengah hari untuk mencegah terjadinya “over-heating”;

2. Tutupi segera hamparan gabah bila hujan mulai turun. Pembasahan kembali (re-wetting) dari gabah menyebabkan keretakan biji dan tingginya gabah pecah saat proses penggilingan;

3. Menjaga kontaminasi bijian dari bahan asing dan jauhkan binatang dari hamparan gabah; dan

4. Monitor kadar air dan suhu gabah selama penjemuran.

Penggilingan

Penggilingan padi merupakan kunci dalam penentu mutu beras yang beredar di pasar. Untuk bersaing di pasaran mutu beras diharapkan memenuhi persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan pasar, baik pasar lokal maupun internasional. Untuk itu, perbaikan mutu ditingkat penggilingan padi harus menjadi fokus dalam perbaikan mutu beras (Gaybita 2009).

Penanganan pascapanen padi meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu penentuan saat panen, pemanenan, penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat perontokan, penundaan perontokan, pengangkutan gabah ke rumah petani, pengeringan gabah, pengemasan dan penyimpanan gabah, penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras. Dari rangkaian kegiatan pascapanen tersebut, ada tiga kegiatan utama yang saling terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan akhir yaitu mendapatkan beras giling yang mutu serta rendemennya tinggi, yaitu : (1) panen, (2) pengeringan dan (3) penggilingan (Sutrisno dan Raharjo 2004).

Menurut Pattiwiri (2010) konfigurasi mesin yang terdiri dari husker dan polisher ini akan menghasilkan rendemen yang kecil dan mutu beras yang jelek. Hal ini dikarenakan prinsip kerja dari mesin tersebut yang sederhana yaitu gabah langsung masuk ke husker kemudian jadi beras lalu langsung disosoh dengan polisher. Gabah yang masuk ke husker atau mesin pemecah kulit ini tidak seluruhnya jadi beras pecah kulit sehingga hasil akhir pada polisher beras masih banyak tercampur dengan gabah. Selain itu juga, mesin yang hanya memiliki satu polisher akan membuat beras banyak yang menjadi patah akibat gesekan yang terlalu keras dibandingkan dengan mesin yang memiliki dua atau tiga polisher. Kalau sudah begitu jelas akan berakibat ke hasil akhir berupa rendemen giling yang berkurang. Hasil Penelitian Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian tahun 2003 menunjukan, bahwa rendemen penggilingan padi yang telah

dicapai sebagai berikut: Penggilingan Padi Kecil (PPK) memiliki rendemen rata-rata 55.7% dengan kualitas beras kepala 74.25% dan beras patah 14.99%.

(25)

Usaha jasa penggilingan padi memiliki berbagai variasi dalam pola usaha maupun peralatan yang digunakan. Secara umum sesuai dengan kondisi di lapangan, penggilingan padi yang menggunakan mesin Rice Milling Unit (RMU) biasanya memiliki kapasitas kecil dan merupakan usaha jasa murni yang hanya menerima gabah dari petani tanpa ada kerjasama dengan tengkulak atau pedagang

beras. Sedangkan penggilingan padi besar biasanya menggunakan fasilitas Rice Milling Plant (RMP) yang memiliki kapasitas giling besar dan menjalin

kerjasama dengan tengkulak atau pedagang beras dalam menjalankan usahanya. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan penggilingan padi kecil menggunakan RMP berkapasitas kecil dengan jumlah mesin terbatas pada satu atau dua set. Demikian juga dengan penggilingan padi besar dapat menggunakan beberapa buah mesin RMU dengan catatan kapasitas giling mesin keseluruhan cukup besar. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan teknologi penggilingan padi telah memungkinkan membuat RMU dengan kapasitas yang relatif besar dan bentuk tetap kompak (Pattiwiri 2010).

Mutu Beras

Menurut Waries (2006) mutu giling mencakup berbagai ciri, yaitu rendemen beras giling, rendemen beras kepala, persentase beras pecah, dan derajat sosoh beras. Sebagian besar beras yang beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh 80% atau lebih dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung butir patah kurang dari 30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan, panen hingga penanganan lepas panen mempengaruhi mutu giling disamping faktor genetik.

(26)

13

Nilai Tambah Ekonomi

Nilai tambah (value added) adalah nilai yang ditambahkan oleh suatu perusahaan ke bahan-bahan dan jasa-jasa yang dibelinya melalui produksi dan usaha-usaha pemasarannya. Sebagai nilai tambah perusahaan, seperti penciptaan nilai dari aktivitas perusahaan dan para karyawannya, yang dapat diukur dengan membedakan antara nilai pasar dari barang yang diputar oleh perusahaan dan biaya dari barang dan material yang dibeli dari perusahaan (producer) lainnya. Pengukuran ini akan mengeluarkan kontribusi yang dibuat oleh perusahaan lain pada nilai total produksi perusahaan, sehingga sebenarnya nilai tambah secara esensial sama dengan penciptaan nilai pasar oleh perusahaan. Nilai tambah ekonomi inilah yang menggambarkan tingkat kemampuan menghasilkan pendapatan di suatu wilayah. Pada umumnya yang termasuk dalam nilai tambah dalam suatu kegitan produksi atau jasa adalah berupa upah atau gaji, laba, sewa tanah dan bunga yang dibayarkan (berupa bagian dari biaya), penyusutan dan pajak tidak langsung (Tarigan 2004).

Pengertian nilai tambah ekonomi yang lain adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan, nilai tambah ekonomi dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al. 1987). Selanjutnya, ada dua cara untuk menghitung nilai tambah ekonomi yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain.

Kelebihan dari analisis nilai tambah ekonomi metode Hayami, adalah : 1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah ekonomi, nilai output, dan

produktivitas.

2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor produksi.

3. Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat diterapkan pula untuk subsistem lain di luar pengolahan, misalnya untuk kegiatan pemasaran.

Analisis nilai tambah ekonomi pada metode Hayami juga memiliki kelemahan, yaitu:

1. Pendekatan rata-rata tidak tepat jika diterapkan pada unit usaha yang menghasilkan banyak produk dari satu jenis bahan baku.

2. Tidak dapat menjelaskan produk sampingan.

3. Sulit menentukan pembanding yang dapat digunakan untuk menyimpulkan apakah balas jasa terhadap pemilik faktor produksi tersebut sudah layak.

(27)

input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.

Analisis nilai tambah ekonomi metode Hayami menghasilkan beberapa informasi berupa:

1. Nilai tambah ekonomi (Rp) adalah selisih antara nilai output dengan bahan baku utama dan sumbangan input lain.

2. Rasio nilai tambah (%) menunjukkan nilai tambah dari nilai produk.

3. Pendapatan tenaga kerja langsung (Rp) menunjukkan upah yang diterima tenaga kerja langsung untuk mengolah satu satuan bahan baku.

4. Pangsa tenaga kerja langsung (%) menunjukkan prosentase pendapatan tenaga kerja langsung dari nilai tambah yang diperoleh.

5. Keuntungan (Rp) menunjukkan bagian yang diterima perusahaan. 6. Tingkat keuntungan (%), prosentase keuntungan dari nilai produk.

7. Marjin (Rp) menunjukkan besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

8. Prosentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%). 9. Prosentase sumbangan input lain terhadap marjin (%).

(28)

15

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama ±3 bulan dimulai dari Februari sampai April 2013 yang berlokasikan di Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah terpal atau lantai jemur, penggaris, pinset, kaca pembesar, thermometer, alat pengukuran kadar air (moisture tester), mesin pemanenan (combine harvester), mesin pemecah kulit (husker atau huller), mesin pemisah beras pecah kulit (separator), mesin penyosoh beras (polisher), timbangan. Bahan yang digunakan adalah gabah varietas Ciliwung.

Metode Penelitian Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah : 1. Persiapan pengambilan sampel varietas Ciliwung

2. Melakukan observasi di 3 Kecamatan yaitu: Kecamatan Maniangpajo, Tanasitolo, dan Majauleng. Dari 3 Kecamatan ini diperoleh data bahwa sebagian besar petani menanam padi varietas Ciliwung, Kecamatan yang terpilih untuk pengambilan sampel adalah Kecamatan Majauleng Desa Cinnongtabi.

3. Waktu panen dilakukan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas Ciliwung yaitu 100 hari setelah tanam.

4. Luasan sawah yang digunakan pada penelitian ini adalah ½ hektar untuk pengambilan sampel.

5. Pemanenan dan perontokan padi dilakukan dengan menggunakan mesin combine harvester.

a) Keringkan/surutkan air di sawah

b) Memastikan sawah yang akan di panen mampu menahan beban mesin combine harvester sehingga mesin combine harvester tidak amblas. c) Menyiapkan operator dan dua orang yang mengarungi gabah.

d) Hidupkan mesin dan jalankan untuk proses pemanenan. Gabah akan terpanen dan secara otomatis akan terpisah dengan jeraminya dan siap ditampung dalam karung.

e) Setelah karung penuh, karung diikat dan dikumpulkan ke tempat yang aman.

f) Karung gabah siap diangkut untuk proses selanjutnya.

(29)

6. Menganalisis lama pengaruh penundaan pemanenan dan perontokan terhadap susut mutu beras yang dihasilkan.

Penundaan Pemanenan dan Perontokan: P0 : Pemanenan tanpa penundaan

P1 : Penundaan pemanenan dan perontokan selama 3 hari P2 : Penundaan pemanenan dan perontokan selama 6 hari P3 : Penundaan pemanenan dan perontokan selama 10 hari

7. Mengukur kadar air gabah sebelum dan sesudah panen dengan menggunakan moisture tester.

8. Gabah bersih yang telah dipanen dan dirontok sebelumnya, disiapkan lalu dikeringkan dengan sinar matahari yang beralaskan terpal jemur dan lamporan.

Langkah-langkah pengeringan dengan penjemuran:

a) Menyiapkan tempat penjemuran, yakni lokasi yang terbuka. b) Pengeringan :

A1 : Penjemuran lamporan

A2 : Penjemuran dengan alas terpal/plastik

c) Menjemur gabah di atas als terpal dan lamporan dengan ketebalan gabah ±6 cm.

d) Melakukan pembalikan gabah setiap 2 jam sekali selama penjemuran. e) Waktu penjemuran : di mulai jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore

dengan suhu gabah berkisar 32 hingga 47 oC hingga diperoleh kadar air mendekati 14%.

9. Selanjutnya setelah mendapatkan kadar air gabah ±14% maka dilakukan proses penggilingan gabah.

10. Pengamatan terhadap mutu beras giling dan pengkelasan mutu beras varietas Ciliwung.

(30)

17

Tabel 4 Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Ekonomi Metode Hayami

Variabel Nilai

I. Output, Input dan Harga

1. Output (kg) (1)

2. Input (kg) (2)

3. Tenaga Kerja (HOK) (3)

4. Faktor Konversi (4) = (1)/(2)

5. Koefisien Tenaga Kerja (HOK) (5) = (3)/(2)

6. Harga Output (Rp/kg) (6)

7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7)

II. Peneriman dan Keuntungan

8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) (8)

9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) (9)

10. Nilai Output (Rp/kg) (10) = (4) x (6)

11. a. Nilai Tambah (Rp/kg) (11a) = (10) – (9) – (8)

b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a)/(10) x 100%

12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) (12a) = (5) x (7)

b. Pangsa Tenaga Kerja (%) (12b) = (12a)/(11a) x 100%

13. a. Keuntungan (Rp/kg) (13a) = (11a) – (12a)

b. Tingkat Keuntungan (%) (13 b) = (13a)/(11a) x 100%

III. Balas Jasa Pemilik Faktor-Faktor Produksi

14. Marjin (Rp/kg) (14) = (10) – (8)

a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) (14a) = (12a)/(14) x 100%

b. Sumbangan Input Lain (%) (14b) = (9)/(14) x 100%

c. Keuntungan Pemilik Perusahaan (%) (14c) = (13a)/(14) x 100%

Definisi Operasional

1. Output adalah jumlah produk yang dihasilkan satu kali produksi (kg).

2. Input adalah jumlah bahan baku yang diolah untuk satu kali proses produksi (kg).

3. Tenaga kerja adalah banyaknya HOK yang terlibat langsung dalam satu kali proses produksi (1 HOK = 8 jam kerja)

4. Faktor konversi adalah banyaknya output yang dapat dihasilkan dalam satu satuan input, yaitu banyaknya produk yang dihasilkan dari satu kilogram bahan baku.

5. Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu kilo gram satuan input.

6. Harga output adalah harga jual produk per satu kilogram (Rp).

7. Upah tenaga kerja adalah upah rata-rata yang diterima tenaga kerja langsung untuk mengolah produk (Rp/HOK).

8. Harga bahan baku adalah harga beli bahan baku per kilogram (Rp).

9. Sumbangan input adalah biaya pemakaian input lain per kilogram produk (Rp).

10. Nilai output menunjukkan nilai output produk yang dihasilkan dari satu kilogram bahan (Rp).

11. Nilai tambah merupakan selisih nilai output produk dengan nilai bahan baku utama dan sumbangan input lain (Rp).

(31)

13. Pendapatan tenaga kerja adalah hasil kali antara koefisien tenaga kerja dan upah tenaga kerja langsung (Rp/kg).

14. Pangsa tenaga kerja menunjukkan persentase pendapatan tenaga kerja dari nilai tambah.

15. Keuntungan adalah nilai tambah dikurangi pendapatan tenaga kerja (Rp). 16. Tingkat keuntungan menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai

tambah.

17. Marjin adalah selisih antara nilai output dengan bahan baku atau besarnya kontribusi pemilik faktor-faktor produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.

18. Pendapatan tenaga kerja langsung adalah persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%).

19. Sumbangan input lain adalah persentase sumbangan input lain terhadap marjin (%).

20. Keuntungan pemilik pengolahan adalah persentase keuntungan pemilik pengolahan terhadap marjin (%).

Pengamatan dan Pengukuran Susut Mutu Beras

1. Pada proses pemanenan, penjemuran dan penggilingan gabah diambil sampel sebanyak 100 gram untuk analisa mutu (butir kepala, butir patah dan butir kuning) pada setiap perlakuan dari hasil panen dan perontokan padi yang dilakukan dengan menggunakan mesin combine harvester.

2. Analisa tersebut dilakukan dengan mengupas gabah dengan tangan, dilakukan pengamatan diatas meja pengamatan yang mempunyai lampu dibawahnya, kemudian dilihat dengan kaca pembesar butiran-butiran butir kepala, butir patah dan butir rusak/kuning.

3. Dari hasil pengukuran tersebut kemudian dilakukan perhitungan susut mutu pada butir kepala terhadap penundaan panennya (P0, P1, P2, dan P3).

Rumus Perhitungan Mutu Beras:

Butir kepala (%) =

Butir patah (%) =

Butir kuning rusak (%) =

Rumus Perhitungan Susut Mutu Beras

Susut mutu beras (%) = mutu beras P0 – mutu beras P1 = mutu beras P0 – mutu beras P2 = mutu beras P0 – mutu beras P3

Keterangan :

P0 = tanpa penundaan pemanenan

(32)

19

Analisis Mutu Beras Varietas Ciliwung

1. Menimbang beras untuk masing-masing sampel sebanyak 100 gram kemudian diayak ± 20 putaran untuk memisahkan beras kepala, butir patah, butir menir, dan butir merah kemudian dipilih dan dipisahkan butir kuning/rusak, butir kapur, benda asing, dan butir gabah selanjutnya dihitung persentasenya.

2. Setelah dihitung persentasenya, kemudian diklasifikasikan ke dalam standar mutu persyaratan SNI No. 01-6128-2008.

Tabel 5 Persyaratan Mutu Beras Menurut SNI 01-6128-2008

Komponen Mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V

Derajat Sosoh (Minimum) (%) 100 100 95 95 85

Kadar Air (Maksimum) (%) 14 14 14 14 15

Beras Kepala (Minimum) (%) 95 89 78 73 60

Butir Patah (maksimum) (%) 5 10 20 25 35

Butir Menir (Maksimum) (%) 0 1 2 2 5

Butir Merah (Maksimum) (%) 0 1 2 3 3

Butir Kuning (Maksimum) (%) 0 1 2 3 5

Butir Kapur (maksimum) (%) 0 1 2 3 5

Benda Asing (maksimum) (%) 0 0,02 0,02 0,05 0,20

Butir gabah (Maksimum) (Butir/100g) 0 1 1 2 3

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2008).

Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah persentase kualitas beras giling dan persentase susut mutu beras pada proses penundaan pemanenan, penjemuran dan penggilingan terhadap kadar air, butir kepala, butir patah, butir rusak/kuning dan rendemen giling.

Kadar air

Penentuan kadar air gabah/beras dilakukan dengan menggunakan alat Moisture Tester.

Butir Kepala

Butir kepala adalah butiran beras yang mempunyai ukuran 0.6-1.0 bagian dari ukuran beras utuh. Kualitas beras giling sangat ditentukan oleh banyaknya kandungan butir kepala. Beras giling dengan kandungan butir kepala antara 90-100% dapat dikelompokkan ke dalam beras mutu I.

Butir kepala (%) =

(33)

Butir Patah

Butir patah adalah butir patah yang ukurannya lebih kecil 6/10 tetapi lebih besar 2/10 dari bagian butir beras utuh.

Butir patah (%) =

Butir Rusak/Kuning

Butir kuning adalah butir beras utuh atau beras patah yang berwarna kuning akibat proses perubahan warna yang terjadi setelah perawatan dan penimbunan dan butir beras kepala atau beras patah yang menjadi rusak oleh faktor mekanis dan lain-lain.

Butir kuning rusak (%) =

Rendemen Giling

Rendemen giling adalah suatu besaran yang digunakan untuk menyatakan kualitas gabah menjadi beras serta mutu fisik beras hasil penggilingan. Rendemen beras giling adalah perolehan banyaknya beras giling yang dihasilkan dari proses penggilingan gabah.

Rendemen giling =

(34)

21

Padi varietas Ciliwung

kadar air ±14%

Gambar 2 Diagram Alir Prosedur Kerja Penelitian

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pola Faktorial yang terdiri dari dua faktor perlakuan yaitu faktor lama penundaan pemanenan ke-0 hari (P0) , ke-3 hari (P1), ke-6 hari (P2), ke-10 hari (P3) dan pengeringan dengan penjemuran lamporan (A1) dan penjemuran dengan alas terpal/plastik (A2).

Model matematis yang digunakan adalah :

Y

ijk

= µ + K

k

+ α

i

+ β

j

+ (αβ)

ij

+ e

ijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pengaruh penundaan pemanenan ke- 0, 3, 6,

10 hari (i), penjemuran dengan lamporan dan penjemuran dengan alas terpal (j) dan kelompok (k),

µ = Nilai rataan umum,

Kk = Pengaruh pengelompokan,

αi = Pengaruh penundaan pemanenan ke-i,

βj = Pengaruh penjemuran ke-j,

P0 = 0 hari P1 = 3 hari P2 = 6 hari

P3 =10 hari Pemanenan dan perontokan dengan mesin combine harvester

Penjemuran Analisa mutu

- kadar air

- butir kepala

- butir patah

- butir

kuni ng A1= Penjemuran lamporan

A2= Penjemuran dengan alas terpal

Penggilingan

Analisa hasil giling &

(35)

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara penundaan pemanenan ke-i dan penjemuran

ke-j,

eijk = Pengaruh galat percobaan.

(36)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam ruang lingkup daerah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan ibu kotanya Sengkang, dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan. Luas Wilayah Kabupaten Wajo ±2 506.19 km2 (250.619 Ha) atau 4.01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan wilayah yang berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kab. Luwu dan Kab. Sidenreng Rappang Sebelah Timur : Teluk Bone

Sebelah Selatan : Kab. Soppeng dan Kab. Bone Sebelah Barat : Kab. Soppeng dan Kab. Sidrap

Produksi Padi

Tabel 6 Luas Tanam, Panen, Puso dan Produksi Padi Tiap Kecamatan di Kabupaten Wajo Tahun 2011

No. Kecamatan Luas Tanam (Ha)

Luas panen (Ha)

Puso (Ha)

Produksi (ton)

1. Tempe 1 110 837 80 4 110

2. Tanasitolo 11 143 10 886 939 55 138

3. Maniangpajo 10 762 8 100 654 40 905

4. Belawa 10 269 9 684 295 49 466

5. Sabbangparu 8 851 6 713 533 34 538

6. Pammana 7 761 6 929 1 370 33 952

7. Takkalalla 15 573 13 336 716 67 213

8. Sajoanging 9 690 7 198 1 276 36 062

9. Majauleng 18 767 14 715 3 526 72 251

10. Pitumpanua 7 408 7 010 - 35 099

11. Bola 19 228 16 742 1 144 83 794

12. Keera 8 214 4 937 50 24 685

13. Gilireng 4 873 4 396 148 21 760

14. Penrang 12 906 13 098 771 65 490

Jumlah 146 555 124 581 11 502 623 777

2011 146 555 124 581 11 502 623 777

2010 146 412 100 924 8 173 443 763

2009 82 520 94 738 20 600 439 016

2008 133 779 117 748 3 613 544 409

2007 126 534 92 966 13 217 383 924

(37)

Tanaman padi merupakan tanaman komoditas utama yang diusahakan petani di kabupaten Wajo, namun produksi yang diperoleh petani masih sangat bervariasi, hal ini disebabkan karena tingkat penerapan teknologi usahatani padi juga bervariasi. Tingkat penerapan teknologi ini disebabkan karena tingkat pengetahuan dan ketersediaan teknologi masih terbatas serta ketersediaan modal yang kurang terutama untuk membeli sarana produksi.

Hasil observasi di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Majauleng, Tanasitolo, dan Maniangpajo, menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan proses pengeringan gabah dengan menggunakan lantai jemur atau sistem lamporan serta proses pemanenannya sering mengalami penundaan dikarenakan fasilitas yang akan digunakan mengalami kerusakan dan keterbatasan tenaga kerja. Tanaman padi sawah merupakan tanaman yang bersifat musiman, sehingga setiap tahunnya memerlukan tenaga kerja yang tidak tetap. Pada waktu tertentu memerlukan tenaga kerja yang banyak, misalnya pada saat musim tanam dan saat panen.

Upaya mengatasi susut pascapanen terkendala bukan oleh minimnya penerapan

teknologi, melainkan oleh masalah nonteknis dan sosial. Nugraha et al. (1999)

melaporkan bahwa waktu panen yang tidak tepat bukan karena petani pemilik

sawah tidak mengetahui teknik penentuan umur panen, tetapi waktu panen sering

ditentukan oleh penderep.

Analisa Susut Mutu Beras Pemanenan

Penyebaran varietas di Sulawesi Selatan, varietas Ciliwung yang dilepas tahun 1988 atau 18 tahun yang lalu mempunyai penyebaran terluas mencapai 67-95% dalam setiap musim tanam, kemudian Way Apo Buru, Ciherang, Cisantana, Membrano, IR64, masing-masing sekitar 20-30% dari luas tanam setiap musim. Dari sejumlah varietas unggul yang dilepas pada periode tahun 2000an hanya sebagian kecil yang diadopsi. Varietas tersebut adalah Ciberang, Cisantana dan Cigeulis dengan tingkat penyebaran yang luas. Sebanyak 11 varietas yang mempunyai penyebaran terluas dengan kisaran 2 825-196 591 ha pada setiap musim tanam di Sulawesi Selatan yaitu Cisadane, Way Apo Buru, Membrano, Cisantana, Ciherang, Ciliwung, IR64, Sintanur, IR66, Cigeulis dan Selebes.

Varietas Way Apo Buru, Membrano, Cisantana, Ciliwung, IR64, Sintanur, Cigeulis dan IR66 adalah varietas yang dikembangkan petani dalam setiap musim tanam. Luas tanam varietas tersebut berkisar 3 342 ha sampai 19 659 ha. Varietas Cigeulis yang dilepas tahun 2003, penyebarannya baru terlihat mulai MT.I tahun 2004/2005 seluas 4 096 ha. Varietas ini terlihat cepat menyebar dan disukai petani dan konsumen sehingga pada MT.I 2005/2006 mempunyai penyebaran seluas 12 572 ha. Varietas Diah Suci yang dihasilkan BATAN pada tahun 2000an dikembangkan petani tahun 2005/2006 seluas 2 825 ha.

Ketersediaan benih menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran varietas. Varietas yang paling mudah diperoleh benihnya sampai saat ini adalah Ciliwung, sedangkan varietas yang lainnya kurang terjamin

(38)

25

penyebaran varietas terluas dibandingkan dengan seluruh varietas lainnya (Imran A, Suriani 2007).

Keterbatasan peralatan pascapanen yang dimiliki oleh kelompok maupun pribadi petani, misalnya alat panen, alat perontokan maupun alat pengering. Keterbatasan peralatan tersebut dapat menyebabkan lamanya rantai proses penanganan pascapanen. Di lapangan masih dijumpai terjadinya ketelambatan panen, penundaan perontokan padi karena kurangnya mesin perontok, penundaan pengeringan karena terbatasnya sarana dan ketersediaan mesin pengering (Ananto et al. 2002).

Alat pemanenan padi berkembang dari ani-ani menjadi sabit biasa, kemudian menjadi sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam, dan terakhir diintroduksikan reaper, stripper, dan combine harvester. Dengan menggunakan combine harvester, kehilangan hasil tersebut dapat diminimalkan menjadi hanya 2.5% karena panen, pengumpulan, dan perontokan digabung menjadi satu tahapan kegiatan (Purwadaria dan Sulistiadji 2011). Untuk mengatasi sifat subyektivitas pemanen, meningkatkan efisiensi kerja dan guna mengantisipasi terjadinya kesulitan tenaga kerja, maka telah dilakukan pada penelitian ini penggunaan mesin pemanen dan perontok combine harvester kapasitas kerja 5 jam/ha dan petani banyak yang berminat setelah diintrodusir alat panen ini, karena pengoperasiannya lebih mudah dan biaya lebih murah dibandingkan sistem panen berkelompok.

Panen merupakan kegiatan akhir dari proses produksi di lapangan dan faktor penentu proses selanjutnya. Pemanenan dan penanganan pascapanen perlu dicermati untuk dapat mempertahankan mutu sehingga dapat memenuhi spesifikasi yang diminta konsumen. Penanganan yang kurang hati-hati akan berpengaruh terhadap mutu dan penampilan produk yang berdampak kepada pemasaran. Menurut Suismono 2010; Nugraha S 2012) ketersediaan alat perontok yang memadai akan lebih mudah mengatasi terjadinya keterlambatan atau penundaan perontokan padi. Dampak yang lebih luas gabah yang dihasilkan mempunyai kualitas yang bagus sehingga dapat mendukung program penyediaan beras berkualitas, beras berlabel yang memenuhi standar SNI serta memberi nilai tambah kepada petani dengan harga jual yang tinggi.

Waktu panen dilakukan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas Ciliwung yaitu 100 hari setelah tanam. Lama penundaan pemanenan dapat menurunkan persentase mutu beras kepala dan meningkatkan persentase butir patah dan butir rusak, hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 7. Hasil perhitungan kadar air setelah pemanenan dan perontokan yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 22.44%, penundaan panen 3 hari (P1) 22.02%, penundaan 6 hari (P2) 21.5% dan penundaan 10 hari (P3) 19.26%.

Persentase butir kepala pada proses pemanenan menunjukkan hasil yang diperoleh yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 96.25%, penundaan panen 3 hari (P1) 94.95%, penundaan 6 hari (P2) 93.42% dan penundaan 10 hari (P3) 90.68% (Tabel 7). Pemanenan yang dilakukan sebelum umur optimal

(39)

Pada Tabel 7, penurunan mutu juga terjadi pada butir patah dan butir kuning yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 2.25% dan 0.27%, penundaan panen 3 hari (P1) 5.8% dan 0.77%, penundaan 6 hari (P2) 6.95% dan 1.03%, penundaan 10 hari (P3) 13.25% dan 1.48%. Menurut Nugraha et al. 1999; Nugraha S 2012 penurunan mutu dapat terjadi karena proses metabolisme di dalam biji tetap berlangsung, walaupun padi telah dipanen. Aktivitas nikroorganisme dapat terjadi bila kadar air gabah masih tinggi, sehingga dapat terjadi reaksi browning enzymatis yang dapat berakibat butir beras berwarna kuning, busuk, rusak maupun hitam.

Tabel 7 Hasil Analisis Mutu Pemanenan

Perlakuan Kadar Air(%)

Butir Kepala(%)

Butir Patah(%)

Butir Kuning(%)

P0 22.44±0.06d 96.25±0.14d 2.25±0.03d 0.27±0.04d

P1 22.02±0.03c 94.95±0.04c 5.8±0.16c 0.77±0.09c

P2 21.55±0.04b 93.42±0.19b 6.95±0.08b 1.03±0.005b

P3 19.26±0.10a 90.68±0.05a 13.25±0.1a 1.48±0.04a

Keterangan : P0, P1, P2, P3 (Penundaan pemanenan 0, 3, 6, 10 hari). Nilai ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf yang berbeda pada baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik (P<0.05)

Hasil perhitungan susut mutu pada butir kepala yaitu penundaan pemanenan selama 3 hari (P1) 1.29%, penundaan pemanenan selama 6 hari (P2) 2.82%, dan penundaan pemanenan selama 10 hari (P3) 5.56%. Waktu panen yang terlalu awal akan menyebabkan mutu beras rendah, sedangkan panen yang terlambat akan menyebabkan produksi menurun dan mutu beras rendah, karena susut yang diakibatkan oleh gabah rontok dan persentase gabah retak tinggi akibat proses pemecahan oleh sinar matahari. Semakin tinggi kadar air awal maka semakin banyak gabah retak dalam pengeringan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan penundaan pemanenan berpengaruh secara signifikan (P<0.05) terhadap kadar air, butir kepala, butir patah dan butir rusak. Ketepatan waktu panen sangat mempengaruhi kualitas bulir padi dan kualitas beras. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 7, setiap perlakuan penundaan pemanenan P0, P1, P2 dan P3 memiliki persentase mutu beras yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha (2008) bahwa berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik. Umumnya panen optimum dilakukan pada saat gabah menguning 90-95%. Peningkatan penyusutan kadar air, beras kepala, butir patah dan butir rusak/kuning pada proses penundaan pemanenannya. Semakin lama proses penundaan pemanenan dan perontokan maka persentase susut mutunya meningkat. Hal ini didukung oleh (Juliano 2003) bahwa meningkatnya beras patah dan butir kuning disebabkan oleh peningkatan

(40)

27

Penjemuran

Secara biologis, gabah yang baru dipanen masih hidup sehingga masih berlangsung proses respirasi yang menghasilkan CO2, uap air, dan panas sehingga

proses biokimiawi berjalan cepat. Jika proses tersebut tidak segera dikendalikan maka gabah menjadi rusak dan beras bermutu rendah. Salah satu cara perawatan gabah adalah melalui proses pengeringan dengan cara dijemur atau menggunakan mesin pengering. Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat menimbulkan susut mutu pada produk selama proses penggilingan. Secara umum, peningkatan susut mutu beras juga dipengaruhi oleh : varietas tanaman, kadar air gabah saat panen, alat panen, cara panen, cara/alat perontokan, dan sistem pemanenan padi.

Hasil observasi di 3 Kecamatan yang mewakili Kabupaten Wajo yaitu Kecamatan Maniangpajo, Tanasitolo, dan Majauleng menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan penjemuran dengan lantai jemur. Kendala yang dihadapi petani dalam penanganan pascapanen adalah ketidakmampuan petani menerapkan inovasi teknologi baru dan mengubah kebiasaan yang sudah berkembang dalam masyarakat. Untuk mengeringkan hasil panennya petani setempat pada umumnya menggunakan sinar matahari, sebab sinar matahari mudah didapat karena tersedia dalam jumlah yang banyak, sehingga relatif lebih menguntungkan petani karena pelaksanaannya mudah. Motifasi dalam pemanfaatan energi matahari terutama disebabkan karena proses kerjanya yang sangat sederhana dan biaya operasinya yang relatif murah dibandingkan dengan pemakaian mesin-mesin pengering. Disamping itu rendahnya modal usaha tani rata-rata petani akan lebih mendorong digunakannya penjemuran.

Hasil pengamatan pada penjemuran gabah dengan lamporan dan penjemuran dengan alas terpal, penjemuran gabah dilakukan selama ±2 hari hingga diperoleh kadar air mendekati 14%. Waktu penjemuran gabah di mulai jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore dengan suhu gabah berkisar 32 hingga 47 oC, setiap 2 jam sekali dilakukan proses pembalikan gabah agar gabah yang berada pada posisi bawah juga mendapatkan energi matahari, sehingga mempercepat proses penguapan. Tingkat ketebalan gabahnya ±6 cm, hal ini dilakukan untuk mengurangi tingkat keretakan gabah akibat suhu sinar matahari yang tinggi. Ketebalan pengeringan dapat meningkatkan persentase beras pecah.

Hal ini karena biji yang berada pada kondisi tersebut mempunyai kadar air yang

tinggi akibat berkurangnya aliran udara dalam lingkungan, dan dengan

bertambahnya waktu, jaringan biji akan semakin rusak karena terjadi hidrolisis

karbohidrat dalam biji menjadi gula sederhana. Selain itu, dengan berkurangnya

oksigen akan terjadi proses fermentasiyang mengakibatkan biji mudah patah atau

rusak. Tingginya kadar air disebabkan oleh sifat higroskopis dari biji, yaitu dapat

menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang

terkandung di dalamnya. Dengan sifat higroskopis tersebut akan terjadi absorpsi

air antarbiji (Iswari K 2012). Sedangkan menurut Juliano (2003) yang

menjelaskan bahwa pada kadar air rendah, beras cenderung lebih kaku (rigid),

Gambar

Tabel 3 Kandungan Mineral Makro Beras Giling Varietas Unggul Baru (ppm)
Gambar 1 Struktur Biji padi
Tabel 4 Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Ekonomi Metode Hayami
Tabel 5 Persyaratan Mutu Beras Menurut SNI 01-6128-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alokasi pengiriman barang dapat diketahui dari nilai value pada hasil berikut... Setelah program dijalankan, maka akan

[r]

Dalam penambangan nikel laterit, diperlukan estimasi untuk dapat menghitung sumberdaya sebelum proses penambangan berlangsung, sehingga diperlukan metode ordinary kriging

Konsep yang digunakan oleh Kaos Jeme Kite ini adalah dengan menunjukan kata-kata dan bahasa daerah yang biasa dipakai oleh masyarakat setempat.Selain itu pemilik usaha

Single Event Determination (SED) dapat memperbaiki lokasi dengan model kecepatan 1-D, sedangkan metode Joint Hypocenter Determination metode dapat menginversi

Berdasarkan hasil perhitungan dengan program SPSS dari tabel 9, dapat diketahui bahwa semua pernyataan untuk variabel Komitmen Organisasi, Kompetensi Auditor dan Kinerja

3 Surat Keterangan Aktif mengajar pada satminkal dari awal samapi dengan terakhir pertahun ( asli bukan fotokopi )5. SKMT 24 JTM (150 Siswa bagi guru BP) dari pejabat yang

Untuk melayani transportasi penumpang dalam kota dan penumpang antar kota dalam propinsi, kabupaten Pekalongan mempunyai sebuah terminal baru yang terletak di jalan Diponegoro,