• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) DI KAWASAN

CAGAR ALAM GUNUNG SIBELA

IKRIMA JAFAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Ikrima Jafar

(3)

ABSTRAK

IKRIMA JAFAR. Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela. Dibimbing Oleh DIDIK SUHARJITO.

Masyarakat yang tinggal disekitar hutan menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya pada hutan. Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan sangat beragam. Salah satunya adalah dalam memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan HHBK serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pola-pola pemanfaatannya. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HHBK yang dikumpulkan terdiri atas kelompok tumbuhan obat, tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan, tumbuhan penghasil pangan, tumbuhan hias dan kelompok hewan buru. Masyarakat memanfaatkan HHBK untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten) dan untuk tambahan penghasilan. Tingkat umur, pendidikan, dan pekerjaan tidak mempengaruhi pola pemanfaatan HHBK oleh masyarakat.

Kata kunci: HHBK , pengetahuan, pemanfaatan

ABSTRACT

IKRIMA JAFAR. Local People Knowledge in Utilizing Non Timber Forest Products (NTFPs) in Gunung Sibela Nature Reserve. Supervised by DIDIK SUHARJITO.

Community living around Gunung Sibela Nature Reserve depend on its products mainly to fulfill their needs. They develop knowledge to utilize forest resources including Non-Timber Forest Products (NTFPs). The objectives of this research are to describe people’s knowledge of NTFPs and explaining factors that influence pattern of NTFPs utilization. The method used in this research was survey. Data were collected with interview, observation, and secondary data collection. The results show that NTFPs collected by local people comprises of medicinal plants, yarn and handcraft-produce plants, crops, ornamental plants, and group of hunted animals. They utilize NTFPs to fulfil their daily needs and earn more income. Age, education, and work do not influence pattern of NTFPs utilization by local people.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN

HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) DI KAWASAN

CAGAR ALAM GUNUNG SIBELA

IKRIMA JAFAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela

Nama : Ikrima Jafar NIM : E14080131

Disetujui oleh

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan judul Pengetahuan Masyarakat dalam Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai juli 2012.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Selatan, BKSDA Maluku Utara, Bapak Hidayat dan Bapak Abner selaku Kepala Desa dan masyarakat Desa Kubung dan Tawa yang telah memberikan bantuan selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada mama, papa, seluruh keluarga, dan Kak Dafit atas segala doa dan kasih sayangnya juga sahabat-sahabat tersayang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

Ikrima Jafar

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN ... 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 1 

Tujuan Penelitian 2 

Manfaat Penelitian 2 

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Pengetahuan Lokal 2 

Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Lokal 2 

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) 4 

Karakteristik dan Jenis-Jenis HHBK 5 

METODE ... 6 

Lokasi dan Waktu Penelitian 6 

Jenis Data 7 

Teknik Pengumpulan Data 8

Metode Pemilihan Desa dan Responden 8 

Metode Pengolahan dan Analisis Data 8 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8 

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu 8 

Kelompok Tumbuhan Obat 9 

Kelompok Tumbuhan Penghasil Anyaman dan Kerajinan 13

Kelompok Tumbuhan Penghasil Pangan 16 

Kelompok Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar 17

Kelompok Hewan Buru 18 

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemanfaatan 19  SIMPULAN DAN SARAN ... 21 

Simpulan 21 

Saran 21 

DAFTAR PUSTAKA ... 21 

LAMPIRAN 23

(8)

DAFTAR TABEL

1 Kelompok HHBK yang dimanfaatkan 9 

2 Cara pasca panen tumbuhan obat 12

3 Cara pengolahan tumbuhan obat 13 

4 Cara pemakaian tumbuhan obat 13

5 Jenis tumbuhan dan produk kerajinan 14 

6 Pemanfaatan tumbuhan hias atau peneduh 15

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 7 

2 Jumlah jenis dan famili tumbuhan berkhasiat obat 10 

3 Bagian tumbuhan obat yang dimanfaatkan 11 

4 Anyaman dan Kerajinan Desa Kubung dan Desa Tawa 15  5 Jenis hewan yang diburu oleh masyarakat 18 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pola pemanfaatan HHBK 23 

2 Tumbuhan obat yang dimanfaatkan 24 

3 Contoh tumbuhan obat 26 

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat di sekitar hutan pada umumnya memiliki ketergantungan dan hubungan yang erat dengan sumberdaya hutan. Terdapat 30 juta penduduk yang secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dan sebagian besar hidup dengan perladangan berpindah, memancing, berburu, menebang dan menjual kayu, serta mengumpulkan hasil hutan bukan kayu (FWI dan GFW 2001). Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan ini tidak terlepas dari pengetahuan tradisional yang diperoleh secara turun temurun sehingga hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya masih terus dapat dimanfaatkan. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu.

Banyak peneliti yang menjadikan pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan sebagai fokus utama dalam penelitiannya. Sebagai contoh, Nurhayati (2006) mengkaji pengetahuan tradisional masyarakat Paser dalam hal pemanfaatan tumbuhan. Sihombing (2011) mengkaji pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh masyarakat sekitar hutan Samarinda, Kalimantan Timur. Selanjutnya, Asiah (2009) meneliti tentang pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan rakyat serta perubahan pengetahuan dan perannya dalam kelestarian ekosistem. Pada kasus lain, Puspita (2006) mengkaji pengetahuan masyarakat dan peranannya dalam konservasi Kedaung.

Kajian-kajian tersebut menunjukkan kesimpulan yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat merupakan aspek yang cukup penting dalam menjaga kelestarian hutan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan memperlihatkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan taman nasional khususnya oleh masyarakat adat tidak terbukti merusak ekosistem kawasan taman nasional (Mainawati 2004).

Pemanfaatan sumberdaya hutan khususnya kayu masih mendominasi. Namun demikian, HHBK juga tidak dapat diabaikan begitu saja karena HHBK menjadi salah satu peluang yang tepat untuk dikembangkan dan tentu saja dapat mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu. Untuk itu dianggap perlu melakukan penelitian tentang pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan HHBK, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kayu dapat dikurangi dan diharapkan pengembangan HHBK khususnya di Kabupaten Halmahera Selatan dapat dilakukan sesuai dengan sumberdaya yang ada.

Perumusan Masalah

(10)

maupun dibudidayakan belum banyak dilakukan, sehingga belum diketahui secara rinci jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang telah dimanfaatkan dan bagaimana pola pemanfaatannya. Belum lagi dengan adanya intervensi dari pihak luar yang dikhawatirkan akan mengakibatkan erosi pengetahuan tradisional dan sumberdaya.

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan pengetahuan dan pola pemanfaatan masyarakat terhadap hasil hutan bukan kayu (HHBK)

2. Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pola pemanfaatannya

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan data mengenai pemanfaatan HHBK dan menjadi masukan bagi pemerintah daerah terhadap pengembangan HHBK ke depan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan Lokal

Menurut Zakariah (1994), pada dasarnya pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan tradisional dapat didefenisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup semua pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia dan hubungan-hubungan yang tercipta antar manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya.

Kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dikemukakan Berkes (1995) dalam tiga hal, yaitu:

1. Self-interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting karena kekuatannya yang datang dari dalam dan bukan dari luar.

2. Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam artian bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad.

3. Pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumberdaya alam yang efektif, karena dukungan lokal dan tingkat adaptasi serta pertimbangan yang tinggi.

(11)

menggunakan berbagai instrumen teknologi, tidak saja dihadapkan pada sulitnya proses adaptasi bagi petani, akan tetapi terdapat kendala pada aplikasi yang tidak sesuai dengan budaya maupun kemampuan masyarakat. Sistem pengetahuan dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori: pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal. Pengetahuan ilmiah adalah suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah yang dirancang secara seksama dan sudah terbakukan. Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses ekologi yang terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang memengaruhinya berdasarkan interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya kurang formal dibandingkan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan lokal masyarakat dapat dijelaskan melalui dua cara yaitu: 1. Dengan memperhatikan penerapan pengetahuan yang bersifat pragmatis atau

mendeskripsikan hasil intervensi pengelolaan sumberdaya alam dan selanjutnya mengamati bagaimana adaptasi ekologinya.

2. Memperhatikan pengelolaan yang bersifat supranatural dari masyarakat dengan memahami bentuk-bentuk dasar aturan atau norma yang dihasilkan oleh budaya moral atau kepercayaan masyarakat setempat.

Menurut Mitchell et al.(2000) dalam Arafah (2002) konsep pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama.

Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Lokal

Dewasa ini, sedang berkembang konsensus di antara profesional bahwa petani yang berbeda mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda. Perbedaan dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan, dan sumberdaya yang dikuasai di antara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003).

Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus menerus berubah karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani menjadi kompleks, kualitatif, logis maupun kadang-kadang saling bertentangan. Berkaitan dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuan diharapkan adalah bagaimana memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991dalam Wiharja 2011).

(12)

menjadi relevan lagi di masa akan datang dengan adanya perubahan kondisi pertanian (Pratomo 2005).

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Berdasarkan Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan tampak bahwa lingkup hasil hutan pada umumnya dan hasil hutan bukan kayu pada khususnya menempati ruang yang semakin luas. Kalau dilihat dari perkembangannya, hasil hutan bukan kayu mula-mula berupa produk-produk hayati yang diperoleh melalui pemungutan atau pengolahan saja, misalnya produk minyak-minyakan (minyak atsiri dan minyak lemak), produk getah-getahan (getah resin, karet, dan getah perekat), produk ekstraktif lainnya seperti bahan penyamak, pewarna dan alkaloid serta produk-produk hasil hutan bukan kayu lain yang belum berkembang.

Selanjutnya lingkup hasil hutan bukan kayu termasuk juga produk-produk hasil hutan kelompok kayu yang tidak pernah diikutsertakan, karena pertimbangan potensi dan lainnya yang belum tinggi, yaitu tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kekuatan (pada batangnya) seperti: rotan, bambu, nipah, kelapa, sagu, dan lain-lain. Untuk selanjutnya kelompok hasil hutan bukan kayu ini disebut tumbuhan berkekuatan.

Dengan demikian lingkup HHBK ternyata semakin luas lagi. Selanjutnya lingkup hasil hutan bukan kayu berkembang lagi karena adanya produk-produk yang dapat diperoleh tidak dari nabati atau hewani secara tunggal, tetapi melalui upaya budidaya keduanya, yaitu hewan (khususnya serangga) yang dibudidayakan pada atau dengan bantuan tanaman (hutan) tertentu, misalnya produk madu, lak, sutera alam dan lain-lain.

Berdasarkan informasi di atas maka tampak bahwa lingkup HHBK ternyata sangat luas, masih memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh dan mungkin masih memerlukan waktu lama untuk digarap apabila sarana, prasarana, sumberdaya manusia dan lain-lain upaya tidak segera dilakukan.

Menurut Peraturan Menteri No. P 35/ Menhut-II/ 2007, hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunannya dan budidaya kecuali kayu sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau

(13)

Karakteristik dan Jenis-Jenis HHBK

HHBK dari ekosistem hutan sangat beragam jenis sumber penghasil maupun produk serta turunan yang dihasilkannya. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No. P 35/ Menhut-II/ 2007 tentang hasil hutan bukan kayu, maka dalam rangka pengembangan budidaya maupun pemanfaatannya HHBK dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani.

1. Kelompok hasil hutan dan tanaman

a. Kelompok resin: agathis, dammar, embalau, kapur barus, kemenyan, kesambi, rotan jernang, tusam

b. Kelompok minyak atsiri: akar wangi, cantigi, cendana, ekaliptus, gaharu, kamper, kayu manis, kayu putih

c. Kelompok minyak lemak: balam, bintaro, buah merah, kroton,kelor,kemiri, kenari, ketapang, tengkawang

d. Kelompok karbohidrat: aren, bambu, gadung, iles-iles, jamur, sagu, terubus, suweng

e. Kelompok buah-buahan: aren, asam jawa, cempedak, duku, durian, gandaria, jengkol, kesemek, lengkeng, manggis, matoa, melinjo, pala, mengkudu, nangka, sawo, sarikaya, sirsak, sukun

f. Kelompok tannin: akasia, briguiera, gambir, nyiri, kesambi, ketapang, pinang, rizhopora, pilang

g. Kelompok pewarna: angsana, alpokat, bulian, jambal, jati, kesumba, mahoni, jernang, nila, secang, soga, suren

h. Kelompok getah: balam, gemor, getah merah, hangkang, jelutung, karet hutan, ketiau, kiteja, perca, pulai, sundik

i. Kelompok tumbuhan obat: adhas, ajag, ajerar, burahol, cariyu, akar binasa, akar gambir, akar kuning, cemapaka putih, dadap ayam, cereme

j. Kelompok tanaman hias: anggrek hutan, beringin, bunga bangkai, cemara gunung, cemara irian, kantong semar, pakis, palem, pinang merah

k. Kelompok palma dan bambu: rotan (Calamus sp, Daemonorops sp,

Korthalsia sp), bambu (Bambusa sp, Giganthocloa sp, Euleptorhampus viridis, Dendrocalamus sp), agel, lontar, nibung

l. Kelompok alkohol: kina, dll 2. Kelompok hasil hewan

a. Kelompok hewan buru:

1) Kelas mamalia: babi hutan, bajing kelapa, berut, biawak, kancil, kelinci, lutung, monyet, musang, rusa

2) Kelas reptil: buaya, bunglon, cicak, kadal, londok, tokek, jenis ular 3) Kelas amfibia: berbagai jenis katak

4) Kelas aves: alap-alap, beo, betet, kakatua, kasuari, kuntul merak, nuri, perkici, serindit

b. Kelompok hasil penangkaran: arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa c. Kelompok hasil hewan: burung wallet, kutu lak, lebah, ulat sutera

HHBK dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibanding hasil kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Adapun keuntungan HHBK dibanding dengan hasil kayu adalah sebagai berikut:

(14)

dengan menebang pohon, tetapi dengan penyadapan, pemetikan, pemangkasan, pemungutan, perabutan dan lain-lain.

2. Beberapa HHBK memiliki nilai ekonomi yang besar persatuan volume (gaharu).

3. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat secara luas dan membutuhkan modal kecil sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat.

4. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah teknologi sederhana sampai menengah.

5. Bagian yang dimanfaatkan, yaitu daun, kulit, getah, bunga, biji, kayu, batang, buah, dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang berarti pada ekosistem hutan.

Walaupun HHBK memiliki keunggulan dibanding dengan hasil kayu, tetapi pemanfaatan HHBK belum dilaksanakan secara optimal. Beberapa permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan HHBK adalah sebagai berikut: 1. Belum ada data tentang potensi, sebaran, dan pemanfaatan HHBK baik yang

sudah diketahui maupun yang belum diketahui manfaatnya. Hal tersebut menyebabkan perencanaan pemanfaatan HHBK tidak dapat dilakukan.

2. Pemanfaatan HHBK hanya berfokus pada HHBK yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga mengancam kelimpahan populasi HHBK.

3. Budidaya HHBK belum seluruhnya diketahui secara pasti. Karena selama ini pemanfaatan HHBK berasal dari hutan alam dan upaya untuk melakukan budidaya belum dilakukan. Sehingga perlu dilakukan upaya mendapatkan teknologi budidaya HHBK.

4. Pemanfaatan HHBK hanya dilakukan secara tradisional. Karena sifatnya tradisional maka kualitas produk masih rendah.

5. Tataniaga HHBK masih banyak yang tersembunyi dan ketiadaan akses informasi pasar sehingga tidak memberikan margin pemasaran yang besar pada petani atau pengambil HHBK. Untuk itu perlu dilakukan analisis pemasaran untuk memberikan margin pemasaran yang besar bagi petani.

6. Pemerintah kurang memberikan kebijakan yang bersifat insentif baik pada aspek pemanfaatan HHBK maupun pengembangannya.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

(15)

Kawasan Cagar Alam Gunung Sibela umumnya berlereng curam dengan kemiringan 10°-70° lereng-lereng sebelah timur dan barat menurun langsung ke arah pantai sedangkan di sebelah tenggara dan utara masing-masing dibatasi oleh dataran rendah alluvial Labuha-Babang dan dataran rendah Wayau-Songa (BKSDA 2011). Pengumpulan data dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Juni-Juli 2012.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari masyarakat langsung seperti karakteristik responden, pengetahuan tentang HHBK dan pemanfaatan HHBK. Sedangkan data sekunder adalah data yang menyangkut data kondisi fisik wilayah (letak, luas, topografi, tanah, iklim, curah hujan, flora dan fauna) dan kondisi sosial ekonomi masyarakat (kependudukan, pendidikan, mata pencaharian, suku bangsa/etnis, sarana perhubungan/transportasi) (BKSDA 2011).

(16)

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Teknik observasi: data dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung

terhadap berbagai kegiatan di lapangan, keadaan daerah penelitian yang berhubungan sebagai data dan pemanfaatan HHBK oleh responden

2. Teknik wawancara: data dikumpulkan melalui tanya jawab yang dilakukan langsung terhadap responden yang memanfaatkan HHBK: wawancara dilakukan secara terstruktur (kuisioner)

3. Studi pustaka: data dikumpulkan yakni berupa buku, skripsi, disertasi, tesis, jurnal, makalah dan yang berhubungan dengan penelitian sebagai penunjang data.  

Metode Pemilihan Desa dan Responden

Pemilihan desa contoh dilakukan secara sengaja yang didasarkan atas pertimbangan jarak yang dekat dari desa ke kawasan Cagar Alam Gunung Sibela.

Responden kunci (key person) dipilih berdasarkan hasil rekomendasi kepala Cagar

Alam Gunung Sibela. Penentuan responden selanjutnya, dilakukan dengan metode

snow ball yaitu responden kunci (key person) merekomendasikan responden selanjutnya dan responden yang telah diwawancarai merekomendasikan responden selanjutnya sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan. Jumlah responden penelitian ini sebanyak 30 orang setiap desa.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis sesuai dengan jenis data dan tujuan. Analisis ini menggunakan teknik-teknik statistika deskriptif yang mencakup pembuatan grafik dan tabulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

(17)

tumbuhan obat, tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan, tumbuhan pangan, tumbuhan hias, tumbuhan penghasil kayu bakar dan hewan buru. Tabel 1 menunjukan kelompok HHBK yang dimanfaatkan dengan persentase pemanfaat yang berbeda di kedua desa penelitian.

Tabel 1 Kelompok HHBK yang dimanfaatkan

No Kelompok HHBK

Jumlah pemanfaat (orang) Persentase (%)

Desa Kubung Desa Tawa Desa Kubung Desa Tawa

1 Tumbuhan obat 29 26 96,7 86,7

2. Tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan

12 7 40,0 23,3

3 Tumbuhan

pangan 30 30 100,0 100,0

4 Tumbuhan hias 3 6 10,0 20,0

5 Tumbuhan penghasil kayu bakar

30 30 100,0 100,0

6 Hewan buru 3 8 10,0 26,7

Kelompok Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu (1) tumbuhan obat tradisional adalah spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, (2) tumbuhan obat modern yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis, dan (3) tumbuhan obat potensial yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung bahan bioaktif yang berkhasiat sebagai obat tetapi belum dibuktikan secara ilmiah (Zuhud et al. 1994)

(18)
(19)
(20)

Pemanfaatan tumbuhan yang berlebihan di kedua desa penelitian dapat mengancam kelestarian tumbuhan. Kecenderungan meningkatnya jumlah penduduk dengan rata-rata pemilikan lahan yang sempit dan tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya hutan meningkat antara lain tumbuhan obat (Alikodra 1987).

Cara Penggunaan Tumbuhan Obat

Cara Pasca Panen

Tumbuhan yang telah diambil dari hutan, kebun atau pekarangan kemudian dibersihkan terlebih dahulu sebelum diolah, dibersihkan lalu dikeringkan, dan dibersihkan, dipotong-potong lalu dikeringkan. Di Desa Kubung ada 15 jenis tumbuhan yang dibersihkan kemudian diolah, satu jenis yang dibersihkan kemudian dikeringkan dan sepuluh jenis yang dibersihkan, dipotong-potong lalu dikeringkan. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Cara pasca panen tumbuhan obat

Cara pasca panen Jumlah jenis setiap desa Desa Kubung Desa Tawa

Dibersihkan 15 12

Dibersihkan lalu dikeringkan 1 1

Dibersihkan, dipotong-potong lalu dikeringkan 10 7

Cara Pengolahan

(21)

Tabel 3 Cara pengolahan tumbuhan obat

No Cara pengolahan Jumlah jenis tiap desa

Desa Kubung Desa Tawa

1 Direbus 14 11

2 Ditumbuk 7 6

3 Diseduh 4 4

4 Dikukus 1 1

5 Dipilin 2 2

6 Dicacah 2 1

7 Dilayukan/dipanggang 1 1

8 Digulung 1 1

9 Digiling 2 2

10 Tanpa pengolahan 2 2

Cara Pemakaian

Cara pemakaian dalam penggunaan tumbuhan obat yang dilakukan masyarakat terdapat delapan cara, yaitu; ditempelkan, dioleskan, diminum, untuk berkumur, dibalurkan, untuk keramas, dimakan dan disumbatkan. Pemakaian jenis tumbuhan obat dengan diminum merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat (masing-masing desa delapan jenis) sedangkan pemakaian tumbuhan obat dengan cara dibalurkan, untuk keramas, dimakan, dan disumbatkan paling sedikit (masing-masing satu jenis). Data selengkapnya mengenai cara pemakaian tumbuhan obat yang dilakukan masyarakat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Cara pemakaian tumbuhan obat

No Cara pemakaian Jumlah jenis tiap desa

Desa Kubung Desa Tawa

1 Ditempelkan 8 8

2 Dioleskan 6 5

3 Diminum 14 11

4 Untuk berkumur 5 4

5 Dibalurkan 1 1

6 Untuk keramas 1 1

7 Dimakan 1 1

8 Disumbatkan 1 1

Kelompok Tumbuhan Penghasil Anyaman dan Kerajinan

(22)

namun bila ada yang ingin membeli masyarakat baru akan menjual. Masyarakat biasanya menjual produk mereka di desa setempat.

Pengambilan tumbuhan untuk bahan anyaman dan kerajinan dilakukan secara berkelompok terdiri dari 4-6 orang. Biasanya masyarakat yang satu mengajak masyarakat lainnya untuk mengambil tumbuhan tersebut. Pembuatan anyaman dan kerajinan dilakukan sesuai kebutuhan. Responden yang memanfaatkan HHBK sebagai kerajinan rata-rata bermata pencaharian sebagai petani dengan tingkat pendidikan dari jenjang SD hingga SMP. Hal ini disebabkan karena jenis-jenis HHBK tersebut mudah ditemukan di hutan dan kebun masyarakat dan petani cenderung lebih mengenal jenis HHBK tersebut. Hasil anyaman dan kerajinan serta jumlah pemanfaat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis tumbuhan dan produk kerajinan

Jenis tumbuhan Produk anyaman & kerajinan Jumlah pemanfaat (orang) Desa Kubung Desa Tawa

Rotan dan bambu Saloi (bika) dan sosiru 2 2

Sagu dan bambu Katu 3 2

Pandan dan bambu Totodu/sarua, tatak dan tikar 2 1

Aren Sosapu 5 2

Jumlah 12 7

Karakteristik Anyaman dan Kerajinan

Saloi atau Bika

Saloi atau bika merupakan anyaman khas di Desa Kubung dan Tawa yang digunakan sebagai alat untuk membawa kayu bakar, sayuran, buah-buahan atau pakaian yang telah dicuci di sungai. Saloi atau bika yang berukuran besar biasanya digunakan untuk membawa kayu bakar, sedangkan yang berukuran kecil biasanya digunakan untuk membawa hasil-hasil kebun seperti sayuran dan buah-buahan serta pakaian yang telah dicuci di sungai. Saloi atau bika berbentuk seperti bakul namun berukuran besar dengan permukaan atas bulat besar. Bahan dari saloi/bika adalah rotan dan bambu. Saloi/bika yang berukuran sedang dibuat dengan anyaman yang rapat sedangkan saloi/bika yang berukuran besar dibuat dengan anyaman tidak rapat, bahkan celah batang anyaman cenderung besar. Alat ini juga dilengkapi dengan kain di sisi yang berlawanan (kanan-kiri) yang berfungsi sebagai tali, untuk disangkutkan ke bahu (Gambar 4a).

Sosiru

(23)
(24)

Kelompok Tumbuhan Penghasil Pangan

Kelompok tumbuhan penghasil pangan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat desa Kubung dan Tawa. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan tumbuhan pangan dari bagian buah, daun, batang, biji, dan kulit biji tergantung jenis yang dimanfaatkan. Penggunaan tumbuhan pangan ini antara lain dengan cara dimakan langsung buahnya, dibuat sayur dan campuran bumbu masakan. Pengambilan tumbuhan penghasil pangan biasanya dilakukan sesuai kebutuhan. Banyak jenis buah-buahan yang dibudidayakan di kebun masyarakat maupun di pekarangan. Sagu adalah jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di kedua desa.

Sagu merupakan salah satu makanan sekunder di kedua desa penelitian. Biasanya sagu diperoleh dari hutan maupun kebun masyarakat dan dimanfaatkan untuk kebutuhan komsumtif, namun tidak jarang juga masyarakat menjualnya di desa setempat. Olahan tepung sagu biasanya dijadikan makanan yang disebut dengan popeda, baku dan sinole. Selain itu tepung sagu juga diolah menjadi kue atau jajanan seperti cucurut dan berengkes.

Salah satu HHBK yang banyak digunakan oleh masyarakat juga adalah aren atau saguer. Saguer atau aren banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif dan komersial. Hasil produk olahan saguer adalah alkohol atau disebut cap tikus, kolang-kaling, dan gula merah. Produk olahan cap tikus di desa Tawa banyak diolah untuk dijual di desa setempat dan di luar desa. Tradisi minum tuak di masyarakat Desa Tawa sangat kental, berbeda dengan masyarakat Desa Kubung yang tidak mengolah saguer karena masyarakatnya beragama Islam. Kolang-kaling dan gula merah dibuat untuk kebutuhan konsumsi dan juga dijual di desa setempat. Dari hasil wawancara rata-rata semua responden menggunakan tumbuhan penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari baik untuk dikonsumsi maupun dijual. Untuk kebutuhan pangan masyarakat ada yang mengambil sendiri di kebun dan ada juga yang dilakukan secara berkelompok seperti pengambilan sagu di hutan.

Kelompok Tumbuhan Hias

Tumbuhan hias bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia terutama etnis tradisional mungkin masih dianggap sebagai kebutuhan sekunder bahkan tersier karena kebutuhannya tidak sepenting kebutuhan terhadap sandang, pangan, dan papan. Tumbuhan hias cukup identik dengan kemapanan tingkat ekonomi seseorang artinya semakin mapan tingkat ekomoninya biasanya tingkat perhatian dan pemanfaatan akan tumbuhan hias juga akan semakin besar. Akan tetapi masyarakat di kedua desa penelitian tidak terlalu banyak mengenal dan memanfaatkan tumbuhan sebagai tumbuhan hias.

(25)

seperti gora mawar, goriodo, namo-namo, dan tombi-tombi adalah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias atau peneduh (Tabel 6).

Tabel 6 Pemanfaatan tumbuhan hias atau peneduh

No Nama lokal Nama Ilniah Famili Manfaat/kegunaan

1 Anggrek

hutan Spathoglottis plicata Orchidaceae Penghias halaman 2 Cinga-cinga Wedelia trilobata (L.) Hitchc Asreraceae Penghias halaman 3 Gora mawar Eugenia jambos Linn Myrtaceae Peneduh

4 Goriodo Spondias pinnata Kurz Anacardiaceae Peneduh 5 Namo-namo Cynometra cauliflora Linn Leguminaceae Peneduh

6 Tapak dara Catharanthus roseus L. Apocynaceae Penghias halaman

7 Tombi-tombi Flacourtia inermis Roxb. Var.

inermis Fabaceae Peneduh

Kelompok Tumbuhan Penghasil Kayu Bakar

Kayu bakar merupakan hasil hutan bukan kayu (non timber) yaitu bagian kayu yang tidak untuk pertukangan, seperti ranting, akar dan lain-lain (Chamberlain et al 1998). Kayu bakar merupakan sumberdaya yang penting bagi masyarakat yang tidak memiliki sumber energi lain seperti listrik, minyak tanah atau gas. Kayu bakar termasuk energi konvensional yang sifatnya dapat diperbaharui melalui cara permudaan dan teknik budidaya (Nurhayati 2002). Kayu bakar dapat diperoleh dengan mudah dan tidak memerlukan biaya yang mahal atau bahkan tidak memerlukan biaya apapun. Masyarakat di lokasi penelitian memanfaatkan kayu bakar sebagai sumber energi yang murah. Kayu bakar menjadi sumber bahan bakar yang penting.

Kayu bakar masih banyak digunakan sebagai sumber energi khususnya di rumah tangga dan industri rumah di pedesaan (Dwiprabowo 2010). Kebutuhan kayu bakar untuk aktivitas keseharian seperti memasak makanan, memasak air, dan menyetrika pakaian bagi sebagian besar masyarakat desa Kubung dan Tawa sangat besar. Besarnya kebutuhan energi tersebut dikarenakan lokasi desa yang terletak jauh di dalam hutan yang belum terjangkau oleh listrik. Kondisi ini berbeda dengan Desa Tawa yang memiliki penerangan jalan (listrik pemerintah), namun kayu bakar tetap menjadi pilihan utama karena sumber energi lain harganya kurang terjangkau dan sulit didapatkan.

(26)

fragrans), dan Kanari (Canarium commune). Ada dua cara yang digunakan untuk mengangkut kayu bakar yaitu dipikul dan digendong. Tempat yang digunakan untuk menyimpan kayu bakar yang mereka peroleh yaitu di pekarangan dan di dalam rumah (bawah tungku masak).

Kelompok Hewan Buru

Potensi hewan buruan di sekitar kawasan hutan tempat mereka tinggal masih terbilang banyak. Pemanfaatan hewan buruan sebagian untuk konsumsi, jual dan untuk menghindari kerusakan yang di timbulkan oleh satwa liar. Beberapa jenis satwa liar yang diburu oleh responden di Desa Kubung dan Desa Tawa, yaitu Babi hutan (Sus barbatus), Rusa (Cervus sp), dan Monyet Bacan (Macaca nigra), seperti yang disajikan pada Gambar 5.

      a. Babi hutan b. Rusa c. Monyet Bacan

Gambar 4 Jenis hewan yang diburu oleh masyarakat.

Semua jenis satwa liar ini masih ditemukan di kawasan hutan, walaupun sebagian di antaranya sudah langka masyarakat masih sering berburu satwa liar tersebut sebagai alternatif sumber pemenuhan protein dan untuk menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh satwa liar. Di desa Kubung, berburu Babi hutan (Sus barbatus) hanya dilakukan untuk menghindari kerusakan yang ditimbulkan oleh Babi hutan.

Kegiatan berburu yang dilakukan oleh responden secara berkelompok 2-4 orang menggunakan anjing dan tombak. Biasanya dengan menggunakan cara ini hasil yang didapat lebih cepat dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Anjing yang dibawa ke dalam hutan bertujuan untuk mencium bau mangsa. Pada saat anjing telah menyalak itu menandakan bahwa hewan mangsa sudah terlihat olehnya, dengan begitu pemburu dapat menangkap hewan buruan dengan menggunakan tombak yang digunakan untuk melemahkan hewan buruan tersebut. Satwa liar hasil buruan yang diperoleh diantaranya ada yang hanya dikonsumsi saja dan ada juga yang dijual. Jika hasil buruan hanya sedikit cukup dijual di masyarakat desa setempat.

(27)

Jenis satwa liar Monyet Bacan (Macaca nigra) dan Rusa (Cervus sp.) merupakan jenis satwa liar yang dilindungi oleh negara. Monyet Bacan merupakan jenis satwa liar yang termasuk dalam daftar IUCN yang tergolong

Vulnerable (rentan) dan termasuk dalam daftar spesies Apendix II dalam CITES. Rusa juga termasuk dalam daftar spesies Vulnerable dalam IUCN dan jenis satwa liar yang dilindungi negara berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pemanfaatan masyarakat yang tinggi dan secara terus-menerus terhadap satwa liar yang termasuk dalam kategori rentan dan yang dilindungi oleh negara tersebut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan satwa liar yang dapat mengakibatkan kepunahan. Berburu satwa liar yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tanpa adanya izin resmi sehingga masyarakat pun dapat secara bebas melakukan pemburuan satwa liar. Oleh karena itu pengelolaan cagar alam telah membuat himbauan berupa plang dan poster untuk mencegah perburuan dan pemanfaatan satwa liar yang dilindungi oleh negara. Namun meski demikian, masyarakat masih tetap melakukan perburuan terhadap satwa liar meski peraturan tentang perburuan satwa liar telah dibuat.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemanfaatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan HHBK berumur mulai 26-67 tahun, dengan tingkat pendidikan terakhir SD, SMP, SMA dan pekerjaan sebagai petani, pedagang, nelayan dan buruh. Pemanfaatan HHBK dilihat dari kelompok umur di kedua desa tidak terdapat perbedaan yang berarti. Masing-masing responden termasuk dalam kelompok umur produktif (Lampiran 1). Pada Desa Kubung dapat dilihat pada tingkat umur 36-45 tahun dan di Desa Tawa tersebar pada tingkat umur 26-35 dan 46-55 tahun. Hal ini disebabkan karena di Desa Kubung dengan tingkat umur 36-45 lebih banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang tumbuhan. Pada umur 46-55 tahun responden di Desa Tawa menganggap menggunakan obat-obat tradisional merupakan langkah paling efektif untuk mengobati suatu penyakit tertentu dibandingkan berobat ke suatu rumah sakit yang memerlukan biaya besar. Mereka lebih memahami pengobatan suatu penyakit secara tradisional yang diperoleh secara turun temurun. Responden juga memiliki pengetahuan tumbuhan yang bermanfaat sebagai pangan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini terkait dengan lapangan pekerjaan dan aktivitas responden yang memiliki pengaruh dalam pemanfaatan HHBK.

(28)

Pekerjaan sebagai petani memungkinkan mereka bekerja di kebun, sehingga dalam ksesehariannya mereka lebih banyak mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang berkhasiat atau bermanfaat sebagai tumbuhan obat, anyaman dan kerajinan, pangan, tumbuhan hias, kayu bakar, dan juga hewan buru.

Pada kelompok umur yang berbeda tingkat pemanfaatan HHBK juga berbeda. Kemampuan konsumsi pada kelompok umur yang lebih tua jauh lebih sedikit dibandingkan kemampuan konsumsi pada kelompok umur yang lebih muda. Namun, untuk pengetahuan tentang HHBK sendiri, kelompok umur yang lebih tua memiliki pengetahuan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda. Hal ini disebabkan pengalaman kelompok umur yang lebih tua, jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengalaman kelompok umur yang lebih muda.

Tingkat pendidikan juga memengaruhi pemanfaatan dari HHBK. Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, pemanfaatan HHBK lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh gaya hidup yang cenderung berubah. Responden yang berpendidikan tinggi, lebih senang membeli produk jadi untuk konsumsi, sehingga intensitas mereka ke hutan juga jauh lebih kecil, sedangkan untuk tingkat pendidikan yang lebih rendah, pemnafaatn HHBK lebih tinggi karena mereka tetap mempertahankan tradisi dan lebih senang memanfaatkan barang yang berasal dari alam agar dapat tetap melestarikannya, sehingga intensitas mereka ke hutan juga jauh lebih tinggi.

Secara keseluruhan dilihat pada tingkat umur, pendidikan, dan mata pencaharian di Desa Kubung tidak ada perbedaan pemanfaatan kelompok HHBK. Dari keenam kelompok HHBK yang dimanfaatkan, yang paling dominan adalah kelompok tumbuhan obat, tumbuhan penghasil pangan, dan kayu bakar. Hal ini disebabkan karena ketiga kelompok HHBK tersebut merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh responden sehingga memungkinkan mereka untuk memanfaatkan kelompok HHBK tersebut dan juga karena faktor jarak tempat tinggal yang jauh dari perkotaan sehingga memaksa masyarakat untuk memanfaatkan HHBK dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada Desa Tawa juga tidak ada perbedaan dalam pemanfaatan HHBK. Hal ini disebabkan karena secara garis besar, masyarakat di kedua desa penelitian memiliki pengetahuan yang hampir sama tentang HHBK dan besar kemungkinan karena faktor sosial budaya yang didukung oleh kondisi lingkungan yang tidak jauh berbeda.

(29)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Desa Kubung dan Desa Tawa memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Hal ini terlihat dari pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang mereka manfaatkan. Pengetahuan masyarakat dalam pemanfaatan HHBK oleh masyarakat di desa Kubung dan Tawa diperoleh secara turun temurun dari orang tua mereka. Pemanfaatan HHBK terdiri dari kelompok HHBK tumbuhan obat, tumbuhan penghasil anyaman dan kerajinan, tumbuhan penghasil pangan, tumbuhan hias dan kelompok hewan buru. Pada umumnya HHBK yang dimanfaatkan lebih banyak untuk dikonsumsi sendiri (subsisten). Dari karakteristik responden (umur, pendidikan, dan pekerjaan) dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pola pemanfaatan masyarakat di kedua desa penelitian adalah umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan jarak.

Saran

Perlu dilakukan inventarisasi hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk mengetahui potensi HHBK secara pasti sehingga dapat melakukan pengembangan jenis HHBK yang diminati oleh masyarakat untuk dikembangkan lebih lanjut. Konsumsi masyarakat di Desa Kubung dan Desa Tawa terhadap pemanfaatan HHBK secara terus-menerus dapat mengakibatkan potensi HHBK semakin menurun. Oleh sebab itu perlu dilakukan penyuluhan dan himbauan secara terus menerus oleh pihak pengelola cagar alam maupun pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah N. 2002. Pengetahuan lokal suku moronene dalam sistem pertanian di Sulawesi Tenggara [tesis]. Bogor (ID). Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor.

Alikodra HS. 1987. Manfaat taman nasional bagi masyarakat di sekitarnya. Media Konservasi. 1 (3): 13-20.

Asiah N. 2009. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan hutan [skripsi]. Bogor (ID):: Institut Pertanian Bogor.

[BKSDA] Badan Konservasi Sumberdaya Alam. 2011. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Cagar Alam Gunung Sibela Peroide 2011-2030. Maluku Utara (ID): Ternate

Berkes F et al. 1995. Traditional ecological knowledge, biodiversity, resilience and sustainability. In: Biodiversity Conservation (C.A. Perrings, K.G. Mäler, C. Folke, B.O. Jansson & C.S. Holling, eds.) Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, pp. 281-299.

(30)

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID). Dephut.

Dewi Hardiani Quartini. 1994. Studi pemenuhan kebutuhan kayu bakar di desa-desa sekitar Hutan Ketu BKPH Wonogiri KPH Surakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dwiprabowo Hariyatno. 2010. Kajian kebijakan kayu bakar sebagai sumber energi di pedesaan Pulau Jawa. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 7(1): 1-11.

[FWI dan GFW] Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia, Indonesia, Washington D.C. Amerika Serikat.

Fakhrozi I. 2009. Etnobotani masyarakat suku melayu tradisional di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hidayat S. 2010. Etnobotani masyarakat Kampung Adat Dukuh di Garut, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Pertanian Bogor.

Mainawati S. 2004. Partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan taman nasional [skripsi]. Bogor (ID): Institut PertanianBogor.

Nurhayati I. 2006. Studi pengetahuan tradisional masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur: kajian pemanfaatan tumbuhan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P35/ Menhut-II/ 2007 tentang hasil hutan bukan kayu. Jakarta (ID). Permenhut.

Puspita D. 2006. Pengetahuan masyarakat dan konservasi kedaung [skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Kehutanan: Institut Pertanian Bogor.

Pratomo A. 2005. Kajian pengetahuan lokal untuk meningkatkan kinerja pengelolaan Taman Nasional Karimun Jawa [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sunaryo dan Joshi L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi dalam Sistem Agroforestry. Bogor: ICRAF Southeast Asia Regional.

Sihombing AJ. 2011. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat desa sekitar hutan di IUPHHK-HA PT. Ratah timber Samarinda, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Wiharja YB. 2011. Pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Zuhud EAM, Ekarelawan, Riswan. 1994. Hutan Tropika Indonesia sebagai Sumber Keanekaragaman Plasma Nutfah Tumbuhan Obat. Prosiding Seminar Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Kerjasama antara jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Bogor, Tidak diterbitkan.

(31)

Lampiran 1 Pola pemanfaatan HHBK Desa Kubung dan Tawa

Karakteristik Kriteria

Desa Kubung Desa Tawa

P1 P2 P3 P4 P5 P6 ∑ P1 P2 P3 P4 P5 P6 ∑

Umur (tahun) 26-35 13.3 - 13.3 3.3 13.3 - 4 23.3 - 23.3 3.3 23.3 3.3 7

36-45 36.7 26.7 36.7 3.3 36.7 6.67 12 20.0 - 23.3 3.3 23.3 16.7 7

46-55 23.3 13.3 23.3 3.3 23.3 3.33 6 23.3 6.7 26.7 6.7 26.7 6.7 8

56-65 23.3 - 26.7 - 26.7 - 8 16.7 13.3 20.0 6.7 - - 6

≥66 - - - - 3.3 3.3 6.7 - - - 2

Jumlah 96.8 40.0 100.0 10.0 100.0 10.0 30 86.6 23.3 100.0 20.0 100.0 26.7 30

Pendidikan SD 53.3 23.3 56.7 6.7 56.7 6.7 17 50.0 23.3 63.3 10.0 63.3 20.0 19

SMP 30.0 13.3 30.0 - 30.0 3.3 9 26.6 - 26.7 6.7 26.7 6.7 8

SMA 13.3 3.3 13.3 3.3 13.0 - 4 10.0 - 10.0 3.3 10.0 - 3

Jumlah 96.7 40.0 100.0 10.0 100.0 10.0 30 86.7 23.3 100.0 20.0 100.0 26.7 30

Pekerjaan Petani 66.7 33.3 70.0 6.7 70.0 100.0 21 56.7 23.3 60.0 16.7 60.0 26.7 18

Pedagang 10.0 3.3 10.0 3.3 10.0 - 3 16.7 - 20.0 3.3 20.0 - 6

Nelayan 13.3 3.3 13.3 - 13.3 - 4 13.3 - 20.0 - 20.0 - 6

Buru 6.7 - 6.7 - 6.7 - 2 - - - -

Jumlah 96.7 40.0 100,0 10.0 100.0 100.0 30 86.7 23.3 100.0 20.0 100.0 26.7 30

Keterangan: P1= Tumbuhan obat P2= Tumbuhan penghasil bahan anyaman dan kerajinan

P3= Tumbuhan penghasil pangan P4= Tumbuhan hias

P6= Hewan buru P5= Kayu bakar

(32)

Lampiran 2 Tumbuhan obat yang dimanfaatkan

Nama lokal Nama ilmiah Famili

Bagian yang

digunakan Macam penyakit

Alang-alang Imperata cylindrica

L.

Poaceae Akar Obat sakit kuning, pendrahan pada wanita

Alfukat Persea americana Lauraceae Daun Darah tinggi

Angsana/ligua Pterocarpus indicus

Willd

Fabaceae Kulit batang,

daun

sariawan, bisul

Balacai hisa Jatropha curcas L. Euphorbiaceae Daun Eksim, obat cacing kremi, rematik

Bayam baduri Amaranthus spinosus

L.

Amaranthaceae Seluruh bagian

Kencing tidak lancar, penurun panas, eksim, bisul, produksi ASI

Binahong Basella rubra L. Asteraceae Daun Luka lecet, luka operasi

Cengkeh Eugenia aromatica Myrtaceae daun Sakit gigi

Giawas Psidium guajava L. Myrtaceae Daun Sariawan

Jambula Eugenia cumini L. Myrtaceae Kulit batang Obat kumur, penyakit kulit

Kamiri Aleurites moluccana

(L.) Willd

Euphorbiaceae Buah Penyubur rambut

Kumis kucing Orthosiphon aristatus Lamiaceae Daun Kencing batu, sakit pinggang, masuk angin

Mengkudu Morinda citrifolia L. Rubiaceae Buah Menormalkan tekanan darah

Motoa Pometia pinata Sapindaceae Kulit batang Demam

Nangka balanda Annona muricata

Linn

Annonaceae Daun Obat bisul batu agar lekas pecah, kanker

Papaya Carica papaya L. Caricaceae Daun Obat malaria

Pecut kuda Stachytarpheta

jamaicensis(L) Vahl

Verbenaceae Akar Memar, bisul dan mencret

Pinang Areca catechu l. Arecaceae Daun, biji Kudis, sakit

pinggang

Pisang utang Musa acuminata Musaceae Akar Mengobati pendarahan rahim

Pule Alstonia scholaris Apocynaceae Kulit batang,

getah

Kencing manis, sakit perut, radang pada kulit

Rangbutan Nephelium

lappaceum L.

Sapindaceae Daun, kulit

batang

Penurun panas

(33)

Lanjutan lampiran 2 Tumbuhan obat yang dimanfaatkan

Samangka Citrullus vulgaris Schrad.

Cucurbitaceae Biji Flek hitam di wajah

Sirih Piper betle L. Piperaceae Daun Menghilangkan luka bakar, keputihan, meghilangkan bau badan,mimisan, bisul,

Turi Sesbania grandiflora Fabaceae Kulit batang, bunga, daun

Penurun panas, meningkatkan produksi ASI, mengecilkan pori-pori

(34)

Lampiran 3 Contoh tumbuhan obat

Balacai hisa Bayam baduri Tapak dara

(35)

Lampiran 4 Dokumentasi penelitian

Proses membuat sosapu Proses olahan sagu

Pengambilan tepung sagu Paparisa (rumah kebun)

(36)
(37)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Labuha, Kabupaten Halmahera-Selatan Propinsi Maluku Utara pada tanggal 13 Desember 1988 dengan nama lengkap Ikrima Jafar. Penulis merupakan anak ke-5 dari enam bersaudara pasangan Djafar Ahmad dan Ulfa.M Tan. Jenjang pendidikan penulis diantaranya menamatkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Amasing selama enam tahun, melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Bacan dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Bacan dan lulus pada tahun 2007.

Selanjutnya penulis mengikuti program Pra-Universitas sebagai Mahasiwa Utusan Daerah (BUD) selama satu tahun. Pada tahun 2008 penulis masuk ke perguruan tinggi negeri IPB dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Hutan di Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2010, panitia Temu Manajer (TM) tahun 2010,

panitia Forester Cup tahun 2011dan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)

tahun 2011. Penulis telah melaksanakan serangkaian kegiatan praktek lapang, yakni Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Pangandaran dan Gunung Sawal Jawa Barat pada tahun 2010 dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun 2011. Tahun 2012 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) Koperasi Wana Lestari Menoreh Kabupaten Dekso, Yogyakarta.

Guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis melakukan

penelitian dengan judul “Pengetahuan Masyarakat Dalam Pemanfaatan Hasil

Gambar

Gambar 1  Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1  Kelompok HHBK yang dimanfaatkan
Gambar 33  Anyaman dan kerajinnan Desa Kuubung dan TTawa
Tabel 6  Pemanfaatan tumbuhan hias atau peneduh

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian tentang penilaian ekonomi hasil hutan bukan kayu yang telah dilakukan oleh Utama (2004) di desa sekitar hutan di Kawasan Ekosistem Leuser

Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan HHBK adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK yang ada di suatu daerah kawasan

Pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar Hutan Lindung Bukit Daun khususnya Desa Kelilik belum pernah dilakukan sehingga Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini

Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Madu Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus Di Desa Loli, Kecamatan Polen,

Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan HHBK adalah dengan menginventarisasi dan memetakan potensi jenis komoditas HHBK yang ada di suatu daerah kawasan

Menganalisis besar pendapatan masyarakat terhadap pemanfaatan HHBK, dicapai dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Ratna 2006, yaitu: Nilai Produksi = Jumlah Produksi x Harga

Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK pada hutan lindung KPHL Kota Sorong dapat dikelompokan menjadi kelompok resin dan damar 7 jenis, kelompok minyak atsiri 6 jenis, kelompok minyak lemak 4

Sementara itu penelitian lain tentang potensi HHBK telah dilakukan oleh Prasetyo dan Kusumandari 2014 yang berjudul “Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu air pada kawasan taman nasional