PENGARUH PEMBERIAN IKAN BADUT Amphiprion clarkii
(Bennett, 1830) TERHADAP KETAHANAN ANEMON PASIR
Heteractis malu (Haddon & Shackleton, 1893)
DI AKUARIUM PEMELIHARAAN
SITI HAJAR AULIYA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PENGARUH PEMBERIAN IKAN BADUT Amphiprion clarkii(Bennett, 1830) TERHADAP KETAHANAN ANEMON PASIR Heteractis malu
(Haddon & Shackleton, 1893) DI AKUARIUM PEMELIHARAAN
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
RINGKASAN
SITI HAJAR AULIYA. Pengaruh Pemberian Ikan Badut Amphiprion
clarkii(Bennett, 1830) Terhadap Ketahanan Anemon Pasir Heteractis malu
(Haddon & Shackleton, 1893) di Akuarium Pemeliharaan. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI
Anemon laut merupakan salah satu komoditi hewan laut penghias akuarium yang diminati oleh masyarakat.Salah satu jenis anemon laut tersebut adalah jenis
Heteractis malu (anemon pasir).Anemon pasir mudah kehilangan warna dan menjadi putih saat dipelihara.Telah diketahui bahwa ikan badut memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidup anemon yang dipelihara di akuarium terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian ikan badut Amphiprion clarkiiterhadap ketahanan anemonHeteractis malu pada skala laboratorium.
Lokasi utama penelitian ini yaitu di Laboratorium Basah Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan periode penelitian dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012. Sampel anemon berjumlah enam individu, tiga diantaranya diberi perlakuan masing-masing satu ekor ikan badut. Kesehatan anemon diamati dengan empat parameter morfologis, yaitu kenampakan mucus/lendir, keaktifan tentakel, warna polip, dan
kenampakan mesentrial filament, kemudian densitas dan mitotik indeks
zooxanthellae anemon dikaji secara kuantitatif. Data kuantitatif diuji dengan menggunakan uji T sampel terpisah.
Hasil pengukuran kualitas air selama masa eksperimen meliputi parameter suhu, salinitas, dan pH serta hasil analisis kualitas air meliputi parameter nitrit dan ammonia. Nilai suhu yang diperoleh berkisar antara 26oC-28oC, nilai salinitas berkisar antara 32‰-35‰, dan nilai pH yaitu 8. Nilai nitrit yang diperoleh berkisar antara 0,02 mg/L - 0,11 mg/L dan nilai ammonia berkisar antara 0,14 mg/L - 0,42 mg/L. Semua parameter tersebut masih berada dalam batas normal untuk pemeliharaan biota laut pada kondisi terkontrol.
© Hak cipta milik Siti Hajar Auliya, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
PENGARUH PEMBERIAN IKAN BADUT Amphiprion
clarkii(Bennett, 1830) TERHADAP KETAHANAN ANEMON
PASIR Heteractis malu (Haddon & Shackleton, 1893)
DI AKUARIUM PEMELIHARAAN
Oleh
SITI HAJAR AULIYA
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Judul Skripsi : PENGARUH PEMBERIAN IKAN BADUT Amphiprion clarkii(Bennett, 1830) TERHADAP KETAHANAN ANEMON PASIR Heteractis malu (Haddon &
Shackleton, 1893) DI AKUARIUM PEMELIHARAAN Nama Mahasiswa : Siti Hajar Auliya
Nomor Pokok : C54070085
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Ujian: 10 Agustus 2012
iii
KATA PENGANTAR
Anemon merupakan salah satu organisme penyusun ekosistem terumbu
karang.Beberapa spesies anemon di habitatnya hidup bersimbiosis mutualisme dengan ikan badut. Spesies Heteractis malu yang dikenal dengan nama anemon pasir hidup bersimbiosis dengan ikan badut Amphiprion clarkii yang dikenal dengan nama giro pasir. Kenampakannya yang indah menjadikan keduanya kerap dijadikan hewan peliharaan oleh para pecinta akuarium air laut. Sayangnya,
pemeliharaan anemon pasir di akuarium dianggap cukup sulit karena ketahanannya yang cepat menurun. Keberadaan simbionnya, yaitu giro pasir, dianggap dapat mengatasi turunnya ketahanan anemon tersebut. Penelitian ini akan mengkaji apakah terdapat pengaruh nyata yang terlihat pada ketahanan anemon Heteractis malu setelah dipelihara bersama dengan ikan badut Amphiprion clarkii.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya penelitian hingga penyusunan skripsi ini. Terdapat kekurangan dalam pelaksanannya, untuk itu atas saran, kritik, kerja sama, dan dukungan dari berbagai pihak serta arahan dan bimbingan dari Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai pembimbing skripsi, penulis sampaikan terima kasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang terkait.
Bogor, Agustus 2012
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian dan penyusunan skripsi 2. Prof. Dr. Ir. Dietriech Goefrey Bengen, DEA sebagai penguji tamu pada sidang
skripsi
3. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai ketua komisi pendidikan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si sebagai perwakilan komisi pendidikan pada sidang skripsi
4. Staf dosen dan Tata Usaha Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
5. Kornel A.W., RetnoWulandari, Yunita F.S., teman ITK 44 serta teman-teman Pondok Molekul atas bantuan, kerjasama, dukungan, serta doa yang diberikan
v
1.3. Interaksi Antara Anemon dan Zooxanthellaedengan Ikan Badut ... 7
3.4.1. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut ... 12
vi
4.2.4. Densitas dan mitotik indeks zooxanthellae anemon ... 29
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
5.1. Kesimpulan ... 33
5.2. Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
LAMPIRAN ... 37
vii
DAFTAR TABEL
1. Data spesies Actinian yang berasosiasi dengan spesies
Pomacantridae ... 9 2. Data visual morfologi anemon pada H-0, H-15, dan H-30 ………….. 19 3. Data perubahan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae
viii
1. Struktur tubuh anemon laut (McCloskey, 2011) ... 4 2. Heteractis malu(Fautin dan Allen, 1992) ... 5 3. (a). Morfologi Amphiprion clarkii (Carpenter, 1997);
(b). Amphiprion clarkii dari Perairan Hongkong (Froese, 2010) ... 6 4. Ilustrasi penempatan anemon dan ikan badut dalam akuarium pada
kegiatan eksperimen ... 12 5. Indikator warna anemon ... 13 6. Anemon 1 akuarium kontrol (atas) dan anemon 1 akuarium perlaku-
an (bawah) pada hari ke-0 (a), hari ke-15 (b), dan hari ke-30 (c) ... 20 7. Grafik densitas segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol)
dan akuarium 2 (perlakuan) ... 22 8. Grafik mitotik indeks segar zooxanthellae pada akuarium 1
(kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) ... 22 9. Grafik densitas histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol)
dan akuarium 2 (perlakuan) ... 24 10.Grafik mitotik indeks histologi zooxanthellae pada akuarium 1
(kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) ... 24 11.Histologi zooxanthellae pada perbesaran 10x10 dan perbesaran 10x40
pada hari ke-0, 15, dan 30. Kiri: anemon 2 pada akuarium 1 (kontrol);
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Alat dan bahan penelitian ... 38 2. Pengamatan visual morfologi anemon ... 40 3. Datapengamatan visual anemon selama masa aklimatisasi dan
eksperimen serta data kualitas air ... 42 4. Data kualitas air suhu, salinitas, pH, nitrit, dan ammonia ... 48 5. Hasil analisis statistik pada data densitas dan mitotik indeks
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemon laut merupakan salah satu komoditi hewan laut penghias akuarium yang diminati oleh masyarakat. Salah satu jenis anemon laut tersebut adalah jenis
Heteractis malu (anemon pasir). Anemon pasir mudah kehilangan warna dan menjadi putih saat dipelihara (Riseley, 1971).
Tercatat sepuluh spesies dari hampir seribu anemon laut di dunia yang masuk
dalam Familia Actiniidae (Genus Entacmaea dan Macrodactyla), Stichodactylidae
(Heteractis dan Stichodactyla), dan Thalassianthidae (Genus Cryptodendrum)
merupakan inang bagi ikan badut (Fautin, 1988 in Madhu dan Madhu, 2007).
Anemon Heteractis malu diketahui merupakan simbion dari ikan badut jenis
Amphiprion clarkii (Fautin, 1992).
Beberapa penelitian yang mengkaji tentang interaksi antara ikan badut dengan anemon (Mariscal, 1970; Fautin, 1991; Madhu et al., 2009)
2
zooxanthellaeuntuk memenuhi kecukupan nitrogen, sehingga mengurangi ketergantungan organisme tersebut terhadap makanan yang disediakan oleh anemon.
Ikan Amphiprion clarkii secara luas digunakan dalam laboratorium untuk penelitian yang mengkaji tentang interaksi antara ikan tersebut dengan anemon karena ketersediaannya yang tinggi dan sifatnya yang cocok terhadap kesepuluh anemon yang berasosiasi dengan ikan badut (Fautin, 1991). Pengaruh pemberian ikan badut jenis A. clarkii terhadap ketahanan anemon H. malu yang dipelihara dalam akuarium terkontrol akan dikaji dalam penelitian ini. Diharapkan akan diketahui apakah ikan badut jenis A. clarkii dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan ketahanan anemon yang dipelihara pada akuarium.
1.2. Tujuan
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Heteractis malu
Anemon laut merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang termasuk Filum Cnidaria, mengacu pada organ penyengat nematocyst yang hanya dimiliki oleh filum ini. Anemon memiliki bentuk tubuh silindris dengan satu rongga tubuh di tengah. Mulut yang berada pada ujung atas rongga ini (oral disk) merupakan tempat keluar masuknya air, makanan, dan gamet.
Pola warna pada anemon penting dalam identifikasi hewan tersebut. Munculnya warna pada anemon dapat disebabkan oleh alga simbiotik yang memunculkan warna aslinya atau menstimulasi anemon untuk memproduksi pigmen yang melindungi alga dari sinar matahari yang berlebihan. Warna anemon dapat menyatu dengan warna karang atau pasir sebagai kamuflase (Fautin, 1992). Struktur tubuh anemon laut disajikan pada Gambar 1.
Senjata pertahanan anemon adalah tentakelnya, saat tentakel terkena sedikit sentuhan maka tentakel anemon tersebut akan menembakkan filamen yang mengandung racun saraf yang melumpuhkan. Tentakel juga digunakan untuk melumpuhkan mangsa. Ketika mangsa sudah lemah oleh sengatan, tentakel akan membawa makanan tersebut mendekati mulutnya (National Geographic, 2011). Kebanyakan anemon laut adalah karnivora (Suwignyo, 2005). Anemon dapat memakan ikan, bulu babi, siput, dan udang kecil, serta sisa makanan dari ikan badut yang menghuninya (Hauter, 2011).
4
dilakukan oleh satu anemon, karena anemon bersifat hermaprodit, dimana telur dan sperma dihasilkan dari satu gonad. Pembuahan terjadi di luar tubuh atau di dalam tubuh, tepatnya di dalam rongga gastrovaskular. Daur hidup anemon dimulai dari hasil pembuahan yang berbentuk coeblastula, kemudian gastrula, dan larva planula yang bergerak bebas. Larva planula mulai membentuk pharynx dan septa. Saat sudah dapat menempel di substrat mulailah terbentuk tentakel, diikuti pertumbuhan sekat tambahan hingga mengikuti pola bentuk dewasa (Suwignyo, 2005).
Gambar 1. Struktur tubuh anemon laut (McCloskey, 2011)
Taksonomi Heteractis malu menurut World Register of Marine Species (2010) yaitu:
Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa Subkelas : Hexacorallia
Ordo : Actiniaria Familia: Stichodactylidae
Genus : Heteractis
Heteractis malu memiliki tentakel yang jarang dan pendek, berwarna kecoklatan atau keunguan (sedikit yang berwarna hijau terang) dan umumnya berbintik merah keunguan. Column hewan ini berwarna krem pucat atau kuning, kadang memiliki bercak kuning tua atau jingga. Secara geografis terdistribusi dari Kepulauan Hawai hingga Australia dan kebagian utara hingga Jepang (Fautin, 1992). Ilustrasi kenampakan morfologi Heteractis maludisajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Heteractis malu (Fautin dan Allen, 1992)
2.2. Amphiprion clarkii
Taksonomi Amphiprion clarkii (Allen, 1991) yaitu: Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes
Familia:Pomacentridae Genus : Amphiprion
Spesies : Amphiprionclarkii (Bennett, 1830)
Ikan Amphiprion clarkiimemiliki sirip dorsal berjumlah sepuluh dimana sirip lemahnya berjumlah 15-16 sirip dan sirip anal berjumlah dua dimana sirip
6
pangkal ekor serta sirip kaudal yang berwarna putih, kadang kekuningan. Ikan ini bersifat omnivora, melakukan perkawinan secara monogami, dan berkembang biak dengan bertelur, dimana telur berbentuk elips yang menempel pada substrat. Ikan jantan bertugas menjaga dan mengangin-anginkan telur-telurnya. Ikan ini tidak bermigrasi dan berada di kedalaman 1-60 meter. Terdistribusi di Perairan Barat Indo-Pasifik, yaitu di Teluk Persia hingga Australia bagian barat, melalui Kepulauan Indo-Australia dan di Kepulauan Melanesia bagian barat dan Mikronesia, keutara hingga Taiwan, Jepang bagian selatan, dan Kepulauan Ryukyu. Ikan dewasa menghuni laguna dan tebing luar karang. Berasosiasi dengan anemon Cryptodendrum adhaesivum, Entacmaea quadricolor, Heteractis aurora, Heteractis crispa, Heteractis magnifica, Heteractis malu, Macrodactyla doreensis, Stichodactyla gigantea, Stichodactyla haddoni, dan Stichodactyla mertensii (Froese, 2010). Kenampakan morfologi Amphiprion clarkii disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. (a). Morfologi Amphiprion clarkii (Carpenter,et al., 1997); (b). Amphiprion clarkii dari Perairan Hongkong (Froese, 2010)
2.3. Zooxanthellae
Zooxanthellae merupakan simbion alga yang bersifat fotosintetik dan
uniseluler, umumnya berperan sebagai endosimbion pada berbagaiavertebratalaut (b)
termasuk Filum Porifera, Cnidaria, dan Mollusca (Nganro, 2009) dan sebagian lagi hidup bebas di perairan (Manuputty, 1999). Zooxanthella termasuk alga dinoflagellata Genus Symbiodinium, dikenal dengan nama tersebut disebabkan ciri khas warna kuning kecoklatan yang mereka miliki. Sel Symbiodinium pada
Cnidaria umumnya bersifat intraselular, berada di dalam lapisan endodermis. Organisme ini mengandung beberapa pigmen fotosintetik, yaitu klorofil-a, klorofil-e, dan dinoxantin yang berperan dalam penyerapan sinar matahari (Douglas, 2003).
Beberapa kajian mengenai kesehatan anemon menggunakan zooxanthellae
sebagai indikatornya.Salah satu peranan zooxanthellae pada ekosistem terumbu karang adalah sebagai indikator perubahan lingkungan (Manuputty, 1999).Respon dari alga simbiotik zooxanthellae pada hewan tersebut bersifat lebih sensitif terhadap cekaman lingkungan dibandingkan parameter terukur lainnya (Nganro, 2009).
2.4. Interaksi Antara Anemon dan Zooxanthellae dengan Ikan Badut
Semua ikan yang termasuk dalam Familia Pomacantridae dan Genus Amphiprion merupakan simbion obligat (organisme penumpang yang
8
genus dan tiga familia anemon laut terdapat sepuluh spesies anemon yang
merupakan inang dari ikan badut. Anemon yang paling dikenal sebagai inang dari ikan badut adalah dua genus dari Familia Stichodactylidae, yaitu Stichodactyla dan Heteractis.
Interaksi antara anemon dan ikan badut di alam terjadi saat ikan badut
terlindungi dari pemangsa dengan berlindung di antara tentakel anemon yang memiliki sengat, begitu pun anemon terlindungi dari pemangsa ketika ikan badut mengusir predator yang akan menyerang anemon yang ditempatinya (Fautin,
1992). Interaksi lainnya terjadi saat ikan badut bertelur di permukaan keras yang
tersembunyi oleh pangkal anemon yang berdaging (Prosek, 2010). Selain itu, anemon mendapatkan keutungan lain dari ikan badut yang menghuninya. Kotoran ikan badut yang kaya akan nitrogen dan nutrien lain seperti sulfur dan fosfor merupakan nutrisi yang baik bagi anemon (Fautin, 1991).
Hubungan simbiosis mutualisme secara lebih spesifik terjadi antara
zooxanthellae, anemon, dan ikan badut. Semua jenis anemon yang hidup berasosiasi dengan ikan badut memiliki zooxanthellae yang terdapat pada sel endodermis dari oral disc (lempengan mulut) dan tentakel mereka. Alga ini dapat mensuplai seluruh kebutuhan karbon anemon. Lempengan yang mengembang dan tentakel yang lebat merepresentasikan area yang sangat luas bagi zooxanthellae
untuk menangkap cahaya. Sebagai respon terhadap gangguan tertentu di alam seperti serangan predator, anemonmenutup bagian atas kolom (oral disc) dimana terdapat tentakel. Anemon yang bersimbiosis dengan ikan badutoral disc-nya tidak dapat mengatup dan secara tidak langsung hal tersebut menjadikan bagian
9 Tabel 1. Data spesies Actinian yang berasosiasi dengan spesies Pomacantridae (Fautin, 1991)
Nama spesies Actinian
Amphiprion mccullochi x 1
Amphiprion melanopus x ? x 3?
Amphiprion fuscocaudatus x 1
Amphiprion latifasciatus
10
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012 yang dimulai dengan tahap persiapan dan aklimatisasi dari bulan Oktober hingga November 2011, tahap eksperimen dari bulan November hingga Desember 2011, dan pengamatan preparat histologi serta pengolahan data dari bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Lokasi penelitian dibagi berdasarkan tahap penelitian yang dilakukan. Pengamatan biota dan pengambilan data kualitas air dilakukan di Laboratorium Basah Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Analisis data kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Pembuatan preparat hitologis tentakel anemon dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Pembuatan preparat segar tentakel anemon serta pengamatan kedua jenis preparat dilakukan di Laboratorium Kering Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Keempat laboratorium tersebut berlokasi di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
11
3.3. Desain Eksperimen
Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu persiapan akuarium dan air media, aklimatisasi, eksperimen, dan pengamatan preparat segar dan histologi tentakel anemon serta pengolahan data. Persiapan akuarium dan media air
meliputi pembersihan akuarium, settingsirkulasi air, dan pengecekan kondisi kualitas air. Proses persiapan akuarium ini dilakukan selama dua minggu. Aklimatisasi dilakukan terhadap anemon dan ikan badut yang akan dijadikan objek eksperimen. Proses ini mulai dilakukan saat kondisi kualitas air sudah baik untuk anemon dan ikan badut. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan seluruh biota dalam kondisi stabil, sehingga pada saat eksperimen dimulai, seluruh biota tersebut dalam keadaan sehat. Proses aklimatisasi ini dilakukan selama satu minggu. Ikan badut dimasukkan ke dalam akuarium berisi anemon saat
eksperimen dimulai. Hal tersebut dilakukan agar anemon sudah dapat beradaptasi di akuarium (dilihat dari keadaan parameter morfologi yang diamati).
Gambar 4. Ilustrasi penempatan anemon dan ikan badut dalam akuarium pada kegiatan eksperimen
3.4. Metode Pengambilan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut, data densitas dan mitotik indeks (MI)
zooxanthellae, serta data kualitas air. Proses masing-masing pengambilan data dijabarkan sebagai berikut:
3.4.1. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut
13
Dokumentasi anemon dilakukan selama masa aklimatisasi dan eksperimen. Kegiatan tersebut dilakukan setelah pengambilan data visual morfologi anemon. Dokumentasi anemon berfungsi sebagai pendukung data visual morfologi anemon untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada anemon selama masa
eksperimen. Perubahan warna yang terjadi pada anemon diketahui berdasarkan indikator warna yang didokumentasikan berdampingan dengan anemon (Gambar 5). Indikator warna yang digunakan adalah berupa kertas gradasi warna yang dimulai dari warna anemon paling cerah (diestimasikan terjadi saat anemon sudah dalam keadaan stabil pada masa aklimatisasi dilakukan), sampai warna putih (warna anemon paling pucat). Proses pembuatan indikator warna dilakukan di
software Protable photoshop CS.
Gambar 5. Indikator warna anemon
pakan akan ditangkap oleh tentakel dan dimasukkan ke dalam mulut oleh tentakel anemon tersebut.
Pengukuran kualitas air dilakukan pada masa persiapan akuarium,
aklimatisasi, dan eksperimen. Parameter yang diukur yaitu salinitas, suhu, pH, nitrit dan ammonia. Pengukuran parameter salinitas, suhu, dan pH dilakukan setiap minggu dan pengukuran parameter nitrit serta ammonia dilakukan saat tahap persiapan, tahap aklimatisasi, awal dan akhir eksperimen.
3.4.2. Pengamatan densitas zooxanthellae
Pengamatan densitas zooxanthellae dilaksanakan untuk melihat kondisi kesehatan anemon. Individu zooxanthellae yang diamati adalah zooxanthellae
yang terdapat pada lapisan endodermis dari tentakel anemon. Untuk itu, sampel yang digunakan adalah sampel irisan ujung tentakel anemon (± 2mm) karena tentakel merupakan bagian tubuh yang paling mudah diambil sampelnya. Selain itu bagian tersebut mendapatkan intensitas cahaya matahari paling tinggi
dibandingkan bagian tubuh lainnya sehingga diestimasikan populasi
zooxanthellae terbanyak berada pada bagian tersebut.
Roopin dan Chadwick (2009) melakukan pengamatan terhadap densitas, mitotik indeks, dan konsentrasi klorofil-a zooxanthellae dari anemon yang diteliti setiap dua sampai tiga minggu sekali untuk mengamati pengaruh kadar ammonia hasil ekskresi ikan badut terhadap kondisi zooxanthellae pada anemon.
15
potongan tentakel anemon menggunakan metode lapang pandang dengan jumlah lapang pandang adalah sepuluh.
Preparat segar yang diambil dari anemon yaitu berupa sampel tiga potong tentakel yang diambil dari masing-masing individu. Masing-masing sampel kemudian digerus dan dibuat preparatnya. Preparat segar diamati secara langsung menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x10. Preparat histologi juga diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 40x10 dan diambil gambarnya menggunakan camera digital Optilab. Sel yang
bermitosis dihitung sebagai satu individu dalam proses penghitungan densitas sel
zooxanthellae.
3.4.3. Pengamatan Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae
Pengamatan MI zooxanthellae dilakukan baik pada preparat segar maupun preparat histologi dari potongan tentakel anemon. Preparat yang digunakan untuk pengamatan MI ini adalah preparat yang sama dengan preparat yang digunakan untuk pengamatan densitas zooxanthellae. Pengamatan MI zooxanthellae
3.5. Metode Analisis Data
3.5.1. Densitas zooxanthellae
Densitas zooxanthallae pada preparat segar dhitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Densitas zooxantellae pada preparat histologi dihitung denganmenggunakan rumus berikut:
Di : densitas zooxanthellae per lapang pandang (individu)
17
Z : jumlah zooxanthella dalam satu lapang pandang (individu) m : jumlah lapang pandang (10)
a : luas lapang pandang (0,0016 cm2)
3.5.2. Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae
Perhitungan MI zooxanthellae menggunakan rumus sebagai berikut (Brown dan Zamani, 1992):
100 n A MI
keterangan :
MI: mitotik indeks zooxanthellae ( % )
A: jumlah sel yang melakukan pembelahan mitosis
n: jumlah sel yang dihitung sebagai dasar perbandingan (500 sel)
3.5.3. Uji statistik
Pengolahan data statistik pada penelitian ini menggunakan satu peubah bebas berupa pemberian ikan badut Amphiprion clarkii yang diuji terhadap satu peubah tak bebas berupa anemon Heteractis malu pada akuarium pemeliharaan. Analisis kenormalan dilakukan sebagai pengujian awal, kemudian dilakukan uji T dengan dua sampel terpisah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nyata antara perlakuan pemberian ikan badut dengan kontrol. Pengolahan data statistik dilakukan pada software Minitab 15.
Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut : H0 : µ0 = µ1; H1 : µ0 ≠ µ1,
dimana µ0 adalah anemon kontrol dan µ1 adalah anemon yang diberi perlakuan
18
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Pengukuran dan analisis kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama masa eksperimen meliputi parameter suhu, salinitas, dan pH serta hasil analisis kualitas air meliputi parameter nitrit dan ammonia. Nilai suhu yang diperoleh berkisar antara 26oC-28oC, nilai salinitas berkisar antara 32‰-35‰, dan nilai pH yaitu 8. Nilai nitrit yang diperoleh berkisar antara 0,02 mg/L - 0,11 mg/L dan nilai ammonia berkisar antara 0,14 mg/L - 0,42 mg/L. Data hasil pengukuran dan analisis kualitas air secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.
4.1.2. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut
Data hasil pengamatan visual morfologi anemon pada hari ke-0, hari ke-15, dan hari ke-30 menunjukkan bahwa dari keempat parameter yang diamati hanya parameter warna saja yang mengalami fluktuasi, sedangkan ketiga parameter lainnya berada pada kondisi normal (Tabel 2). Anemon akuarium 2 mengalami pemucatan warna yang lebih nyata dibandingkan dengan anemon akuarium 1 (Gambar 6). Dokumentasi semua sampel anemon pada hari ke-0, hari ke-15, dan hari ke-30 dapat dilihat di Lampiran 2.
Secara lebih terperinci, data hasil pengamatan visual harian menunjukkan bahwa pada selang waktu pengamatan hari ke-0 hingga hari ke-15 terjadi pemucatan yang diikuti dengan pemulihan warna pada anemon di kedua
anemon pada akuarium 1 warnanya cenderung stabil, sedangkan anemon pada akuarium 2 kembali mengalami pemucatan (Lampiran 3).
Tabel 2. Data visual morfologi anemon pada H-0, H-15, dan H-30
Keterangan: Ai (Akuarium ke-i); ai(Anemon ke-i)
Pengamatan tingkah laku ikan badut yang dilakukan selama pengamatan visual anemon menunjukkan hasil bahwa ikan badut cenderung berdiam diri di sela-sela tentakel anemon yang diinanginya dan tidak banyak melakukan aktivitas, kecuali saat pemberian pakan untuk ikan badut, ikan akan berenang ke dekat permukaan untuk menangkap makanan, kemudian kembali lagi ke sela-sela tentakel anemon. Saat dokumentasi dan pemberian pakan untuk anemon
20
antara tentakel anemon atau bersembunyi lebih dalam ke sela-sela tentakel seperti berusaha agar tubuhnya tidak terlihat. Perubahan ukuran tentakel anemon pada akuarium perlakuan menjadi lebih menegang dan menipis dibandingkan dengan anemon pada akuarium kontrol terjadi setiap kali ikan badut berenang dengan tukikan yang dilakukan secara tiba-tiba seperti saat ikan tersebut merasa terganggu. Saat ikan badut bergerak di sekitar tentakel dengan cepat, anemon terlihat menyentakkan oral disc-nya dan tentakelnya berkontraksi, beberapa saat kemudian tentakelnya terlihat menipis.
4.1.3. Pengamatan preparat segar anemon
Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat segar anemon meliputi pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas
zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami fluktuasi dimana rata-rata densitas awal
zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 2,25x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar 3,25x107 ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,29x107 ind/cm3. Densitas
zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana rata-rata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,77x107 ind/cm3, hari ke-15 sebesar 3,32x107 ind/cm3, dan hari ke-30 sebesar 1,24x107 ind/cm3. Grafik densitas segar
zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 7. Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI
zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol dan akuarium perlakuan mengalami fluktuasi, dimana fluktuasi MI yang terjadi pada akuarium kontrol tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan akuarium perlakuan. Rata-rata MI
zooxanthellae anemon akuarium kontrol pada hari ke-0 sebesar 1,22%, hari ke-15 sebesar 0,98%, dan hari ke-30 sebesar 1,13%. Rata-rata MI zooxanthellae anemon akuarium perlakuan pada hari ke-0 sebesar 1,62%, hari ke-15 sebesar 0,78 %, dan hari ke-30 sebesar 1,13%. Grafik MI segar zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil analisis statistik uji T dengan dua sampel terpisah, diperoleh hasil bahwa dengan adanya perlakuan ikan badut pada anemon yang dipelihara tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas segar
22
juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI segar zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,78. Rincian hasil pengolahan data untuk analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 7. Grafik densitas segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan)
Gambar 8. Grafik mitotik indeks segar zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan)
4.1.4. Pengamatan preparat histologi anemon
Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat histologi anemon meliputi pengamatan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Grafik densitas
zooxanthellae memperlihatkan bahwa densitas zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami peningkatan dimana rata-rata densitas awal
zooxanthellae pada hari ke-0 sebesar 6,41x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar 6,71x104 ind/cm2, dan hari ke-30 sebesar 7,72x104 ind/cm2. Densitas
zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami penurunan dimana rata-rata densitas pada hari ke-0 sebesar 4,79x104 ind/cm2, hari ke-15 sebesar 4,34x104 ind/ cm2, dan hari ke-30 sebesar 4,04x104 ind/cm2. Grafik densitas histologi
zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 9. Kenampakan preparat histologi pada mikroskop (Gambar 11) menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan dari kenampakan jaringan tentakel maupun individu zooxanthellae, baik pada akuarium kontrol maupun perlakuan.
Grafik Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae menunjukkan bahwa MI
zooxanthellae anemon pada akuarium kontrol mengalami penurunan, dimana rata-rata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar 11,83%, dan hari ke-30 sebesar 11,33%. MI zooxanthellae anemon akuarium perlakuan mengalami kenaikan, dimana rata-rata MI pada hari ke-0 sebesar 14,13%, hari ke-15 sebesar 14,33%, dan hari ke-30 sebesar 21,60%. Grafik MI histologi zooxanthellae
akuarium kontrol dan perlakuan disajikan pada Gambar 10.
24
zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,002, tetapi perlakuan ikan badut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap MI histologi
zooxanthellae, dimana p-value yang diperoleh sebesar 0,14. Rincian hasil pengolahan data untuk analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 9. Grafik densitas histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan)
Gambar 10. Grafik mitotik indeks histologi zooxanthellae pada akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan)
25 Gambar 11. Histologi zooxanthellae pada perbesaran 10x10 dan perbesaran 10x40 pada hari ke-0, 15, dan 30. Kiri: Anemon 2 pada
akuarium 1 (kontrol); kanan: Anemon 1 pada akuarium 2 (Perlakuan)
H
a
ri
k
e
-0
H
a
ri
k
e
-15
H
a
ri
k
e
26
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kondisi kualitas air
Kondisi kualitas air pada lingkungan terkontrol dalam masa eksperimen penelitian ini masih berada kisaran aman bagi biota anemon dan ikan badut yang dipelihara. Hal tersebut didasarkan pada penelitian Cervino et al. (2003) yang memelihara anemon dengan parameter kualitas air yang dimonitor berada dalam kisaran berikut : suhu 28 oC, salinitas 35‰, pH 8,10-8,3, nitrit 0,2 mg/L, dan ammonia 0,1 mg/L. Kemudian, Nursaiful (2004) menyatakan bahwa beberapa parameter kualitas air yang ideal bagi pemeliharaan biota laut pada akuarium adalah sebagai berikut : suhu 25 oC-27 oC, salinitas 34‰-36‰, pH 8,2-8,6, nitrit 1,0 mg/L-3 mg/L, dan ammonia 0,1 mg/L-1 mg/L.
4.2.2. Penampakan visual morfologi anemon
Penurunan kecerahan warna anemon pada penelitian ini terjadi pada anemon di akuarium kontrol dan perlakuan. Diketahui bahwa perubahan warna menjadi lebih pucat menandakan bahwa anemon mengalami peristiwa bleaching.
Bleaching dapat terjadi pada berbagai organisme yang bersimbiosis dengan alga dinoflagellata zooxanthellae (Douglas, 2003). Bleaching didefinisikan sebagai terganggunya simbiosis yang terjadi antara anemon inang dengan alga
endosimbiotik zooxanthellae disebabkan terlepasnya alga simbion tersebut dari jaringan anemon dan atau hilangnya pigmen alga tersebut. Bleaching dapat
(Hoegh-Guldberg, 1999, Brown, 2000, dan Ben-Haim dan Rosenberg, 2002 in
Douglas, 2003).
Ulfa (2009) dalam penelitiannya yang menguji ketahanan anemon dengan tiga jenis penyinaran yang berbeda menyatakan bahwa terjadinya bleaching pada anemon yang dipelihara disebabkan perbedaan ketahanan yang dimiliki masing-masing sampel berbeda-beda. Perbedaan ketahanan yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh lokasi pengambilan anemon. Anemon yang digunakan diambil langsung dari habitat aslinya dengan lokasi pengambilan yang berbeda-beda yang mempengaruhi pola adaptasi anemon pada lokasi tersebut sehingga tingkat
ketahanan anemon terhadap perubahan kondisi lingkungan pun berbeda-beda. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian ini, sehingga menjelaskan terjadinya
perbedaan kondisi morfologi anemon pada akuarium kontrol dan perlakuan. Warna awal yang terlihat saat hari ke-0 pada anemon di akuarium kontrol dan perlakuan memperihatkan warna anemon pada akuarium kontrol terlihat lebih cerah dibandingkan warna anemon di akuarium perlakuan. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa anemon pada akuarium kontrol dapat beradaptasi lebih baik dengan kondisi lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan anemon pada akuarium perlakuan dilihat dari kestabilan warnanya.
4.2.3. Hubungan simbiosis antara anemon dan ikan badut
28
penyakit, dan dengan mendapatkan makanan yang berasal dari jaringan tubuh mangsa, material buangan, dan krustase simbion anemon. Di sisi lain, anemon laut juga mendapatkan keuntungan yang sama. Selain itu,Hattori (1991), Srinivasan et al. (1999), dan Elliott dan Mariscal (2001) in Shuman, et al.(2005) menjelaskan bahwa terdapat hirarki sosial dalam populasi ikan badut yang menghuni satu individu atau koloni anemon. Hal tersebut terjadi ketika pasangan ikan dewasa dominan akan berusaha untuk mengusir ikan badut lain maupun ikan yang lebih muda (juvenil) dari anemon yang sedang pasangan tersebut inangi. Keadaan berbeda terjadi dalam eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini dimana lingkungan akuarium yang terkontrol, ketersediaan makanan, ketidakberadaan pemangsa bagi anemon dan ikan badut, serta ketidakberadaan pesaing bagi ikan badut untuk memperoleh makanan dan tempat berlindung menjadikan beberapa bentuk interaksi yang terjadi di alam tidak terjadi di akuarium.
Interaksi lainnya yang dapat terjadi pada ikan badut dan anemon adalah ikan badut membersihkan sela-sela tentakel anemon dari parasit dan kotoran yang menempel, sehingga mengurangi kemungkinan anemon terserang penyakit (Mariscal, 1970). Hal tersebut tidak dapat dipastikan terjadi dalam penelitian ini dikarenakan lama waktu pengamatan yang terbilang singkat yang hanya dilakukan bersamaan dengan waktu pengamatan morfologi anemon.
dengan ikan badut A. ocellaris memperlihatkan hasil bahwa tentakel anemon yang bukan merupakan simbion ikan tersebut mengecil selama tersentuh oleh ikan yang berenang di sekitar tentakel. Hal tersebut disebabkan pelepasan senyawa cnida
(penyengat) dari tentakel.Hal berbeda terjadi pada penelitian ini, dimana ikan badut yang dipelihara terlihat nyaman tinggal di anemon. Ikan tidak terpengaruh oleh sengatan anemon karena dapat bergerak dengan bebas dan berdiam diri di sela-sela tentakel. Hal ini dilaporkan sebagai kemampuan yang telah dimiliki oleh ikan A. clarkii sejak lahir untuk dapat bertahan dari sengatan anemon (Fukui, 1973; Miyagawa dan Hidaka, 1980 in Madhu, et al. 2009).
4.2.4. Densitas dan mitotik indeks zooxanthellae anemon
30
waktu dua bulan penelitian dan tiga minggu waktu tambahan dengan waktu aklimatisasi anemon dan ikan badut selama empat bulan memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa anemon dengan perlakuan ikan badut tidak mengalami perubahan densitas zooxanthellae yang signifikan pada tiga minggu pertama eksperimen dan mengalami peningkatan densitas yang signifikan pada minggu ke-6 hingga minggu ke-8 eksperimen.
Tabel 3. Data perubahan densitas dan mitotik indeks zooxanthellae akuarium kontrol dan perlakuan selama masa eksperimen
Rata-Rata Sampel/ Akuarium
Densitas Mitotik Indeks
Preparat
Ket: A1: Akuarium Kontrol; A2: Akuarium Perlakuan H0: Hari ke-0; H15: Hari ke-15; H30: Hari ke-30
Daya adaptasi anemon yang baik terhadap kondisi terkontrol dan kondisi anemon yang sehat pada awal eksperimen sangat berpengaruh terhadap hasil eksperimen yang dipelihara. Densitas zooxanthellae pada akuarium perlakuan terlihat menurun baik pada preparat segar maupun preparat histologis. Hal ini menunjukkan bahwa daya adaptasi anemon akuarim perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan akuarium kontrol. Roopin dan Chadwick (2009)
menggunakan sampel anemon untuk eksperimen yang diambil dari anemon hasil pengembangbiakan pada lingkungan terkontrol sehingga anemon tersebut dapat lebih beradaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan yang terkontrol saat
Keberadaan ikan badut yang terlihat belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan anemon dalam penelitian ini juga dapat dikaitkan dengan jumlah ikan badut yang dipasangkan dengan anemon yang dipelihara. Holbrook dan Smith (2003) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa anemon yang hidup bersimbiosis dengan dua ikan badut memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi (tingkat kematian 7%) dibandingkan dengan anemon yang
bersimbiosis dengan satu ikan badut (tingkat kematian 14%). Anemon bukan merupakan simbion obligat ikan badut di habitat aslinya, sehingga dapat bertahan hidup tanpa ikan badut (Godwin dan Fautin, 1992, Fautin dan Allen, 1997 in
Roopin dan Chadwick, 2009). Saat dipelihara di akuarium, keduanya dapat hidup terpisah (Fautin and Allen,1997 in Roopin dan Chadwick, 2009)
Mitotik indeks (MI) merupakan kecepatan pembelahan sel yang dinyatakan dalam persentase sel yang mengalami pembelahan di dalam populasi
zooxanthellae (Manuputty, 1999). Penghitungan MI pada zooxanthellae diketahui bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat stress pada coelenterata maupun sebagai pengklarifikasi hubungan antara respon MI terhadap paparan polutan spesifik (Brown, 1988 in Brown dan Zamani, 1992).
Proses pembelahan mitosis yang terjadi pada zooxanthellae menyeimbangkan proses degradasi populasi yang terjadi pada organisme tersebut (Titlyanov, 1996). Hal tersebut terlihat pada penelitian ini, dimana anemon yang mengalami
32
yang dilakukan Roopin dan Chadwick (2009) memperlihatkan bahwa perubahan maksimum nilai MI yang terjadi pada anemon yang dipelihara yaitu ± 2%. Hal tersebut kemudian disimpulkan sebagai perubahan nilai MI yang tidak
dipengaruhi oleh keberadaan ikan badut berdasarkan pengujian statistik dengan hasil tidak ada perbedaan yang nyata antara MI anemon yang dipasangkan dengan ikan badut dengan MI anemon yang tidak dipasangkan dengan ikan badut ( p-value yang diperoleh sebesar 0,097). Smith dan Muscatine (1999) inRoopin dan Chadwick (2009) menyatakan bahwa satu mekanisme saja tidak dapat
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Perlakuan pemberian ikan badut terhadap anemon yang dipelihara dalam
eksperimen ini tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan anemon berdasarkan pengamatan visual morfologi anemon dan perhitungan densitas serta mitotik indeks zooxanthellae yang dilakukan selama 30 hari eksperimen, baik pada sampel segar maupun sampel histologi yang diamati.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan adanya variasi jumlah ikan badut yang dipasangkan dengan anemon untuk melihat pengaruh jumlah ikan badut yang dipasangkan dengan anemon terhadap ketahanan anemon tersebut.
34
DAFTAR PUSTAKA
[National Geographic]. 2011. Sea Anemon.
http://animals.nationalgeographic.com/animals/invertebrates/sea-anemone/ [diunduh tanggal 27 September 2011]
[World Register of Marine Species]. 2010. Heteractis.
http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=267480 [diunduh tanggal 27 September 2011]
Allen, G.R. 1991 Damselfishes of The World. Mergus Publishers.Melle Brown, B. E. dan Zamani, N. P. 1992. Mitotic Indices of Zooxanthellae: A
Comparison of Techniques Based on Nuclear and Cell Frequencies. Mar. Ecol. Prog. Ser. 89(-):99-102
Carpenter, K.E., Krupp, F., Jones, D.A., dan Zajonz, U. 1997. FAO Species Identification Field Guide for Fishery Purposes:.Living Marine Resources Of Kuwait, Eastern Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, And The United Arab Emirates. FAOpress.Rome
Cervino, J. M., Hayes, R.L., Honovich, M., Goreau, T.J., Jones, S., dan Rubec, P.J. 2003. Changes In Zooxanthellae Density, Morphology, and Mitotic Index in Hermatypic Corals and Anemones Exposed to Cyanide. Marine Pollution Bulletin 46 (2003): 573–586
Douglas, A. 2003. Coral Bleaching––How And Why?.Marine Pollution Bulletin
46 (2003): 385–392
Elliott, J. K., Lougheed, S. C., Bateman, B., McPhee, L. K., dan Boag, P. T. 1999. Molecular Phylogenetic Evidence For The Evolution of Specialization in Anemonefishes. Proc. Royal Society.Lond. 266(-): 677-685
Froese, R. 2010. Amphiprion clarkii (Bennett, 1830) Yellowtail
Clownfish.http://www.fishbase.org/summary/speciessummary.php?id=544 8
[diunduh tanggal 11 Oktober 2011]
Fautin, D.G. 1991. The Anemonefish Symbiosis : What is Known and What is Not. Balaban. Phil. 10 (-): 23-46
Fautin, D.G. dan Allen, G.R.1992.Field Guide to Anemone Fishes and Their Host Sea
Anemones.http://forestis.rsvs.ulaval.ca/references_x/phylogeny.arizona.ed u/tree/eukaryotes/animals/cnidaria/cnidaria.html [diunduh tanggal 12 Oktober 2011]
Hauter. 2011. Clownfish and Their Host Anemones.
http://saltaquarium.about.com/od/seaanemoneprofiles/a/aahostanemoneclownfish 2.htm[diunduh tanggal 27September 2011]
Holbrook, S. J. dan Schmitt, R. J. 2005. Growth, Reproduction and Survival of A Tropical Sea Anemone (Actiniaria): Benefits of Hosting Anemonefish.
Coral Reefs Journal24 (2005): 67–73
Madhu, R. dan Madhu, K. 2007.Occurrence of Anemonefishes and Host Sea Anemones in Andaman and NicobarIslands. J. Mar. Biol. Ass. India. 49 (-) : 118 – 126
Madhu, K. , Madhu, R., dan Venugopalan, K. 2009. Acclimation and Growth of Hatchery Produced False Clown Amphiprion Ocellaris to Natural and Surrogate Anemones. J. Mar. Biol. Ass. India. 51(-) : 205-210
Manuputty, A. 1999.Kelimpahan Zooxanthellae pada Karang Batu di Perairan Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu.Balai Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Mariscal, R. 1970. The Nature of The Symbiosis Between Indo-Pacific Anemone Fishes and Sea Anemones. Jour. Mar. Biol. 6 (-) : 58—65
McCloskey, B. 2011. Illustrated Glossary of Sea Anemone Anatomy. http://www.nhm.ku.edu/tol/glossary/intro.html[diunduh tanggal 11 Oktober 2011]
Nganro, N. 2009.Metoda Ekotoksikologi Perairan Laut Terumbu Karang. ITB
Press.Bandung
Nursaiful, A. 2004.Akuarium Air Laut. Penebar Swadaya. Jakarta Prosek, J. 2010. Persahabatan nan Mesra.
http://nationalgeographic.co.id/featurepage/124/persahabatan-nan-mesra/1-4[diunduh tanggal 11 Oktober 2011]
Riseley, R.A. 1971. Tropical Marine Aquaria: The Natural System. Geore Allen & Unwin Ltd. London
36
Santoso, A. 2006. Pemutihan Terumbu Karang. Jurnal Hidrosfir. 1 (-) : 61-66 Shauman, C.S., Hodgson G., dan Ambrose, R. A. 2005. Population Impacts of Collecting Sea Anemones and Anemonfish for The Marine Aquarium Trade in The Philipines. J. Exp.Mar. Biol. and Ecol..- (2005) : 564-572 Suwignyo, S., et al. 2005. Avertebrata Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta Titlyanov, E. 1996.Degradation of Zooxanthellae and Regulation of
Their Density In Hermatypic Corals. Journ Mar Ecol Prog Ser. 139 (-) : 167-178
Ulfa, M. 2009. Pengaruh Jenis Lampu yang Berbeda Terhadap Mitotik Indeks, Densitas Zooxantellae dan Morfologi Anemon ( Heteractis Malu ) pada Skala Laboratorium. [Skripsi].Departemen Ilmu dan Teknologi
37
38
Lampiran 1
Alat dan Bahan Penelitian
No Alat dan Bahan Jumlah Keterangan Pemeliharaan Biota
1 Akuarium 2 set Satu akuarium pemeliharaan dan satu akuarium filter
2 Filter akuarium 2 set Filter arang (kimia), bioball (biologi),
gravel dan kapas kasar (fisika) 3 Sekat akuarium 4 Bambu dan jaring hapa
4 Pompa air 2 -
5 Pompa angin 1 -
6 Aerator 1 set Satu mesin aerator, enam batu aerasi, dan selang aerasi
7 Air laut 700 liter -
8 AnemonHeteractis malu
6 ekor Berasal dari hasil pembelian di penjual biota laut, Sumenep, Jakarta Pusat 9 Ikan
badutAmphiprion clarkii
3 ekor Berasal dari hasil pembelian di penjual biota laut, Sumenep, Jakarta Pusat 10 Rebon beku 1 botol pakan anemon dan ikan badut
11 Pinset 1 Alat untuk memberi makan anemon
Kapas kasar bergagang
1 Alat untuk membersihkan alga yang menempel pada akuarium
12 Kamera digital 1 Dokumentasi
Pengukuran dan Analisis Kualitas Air
13 Spektrofotometer 1 Mengukur nilai absorbansi nitrit dan ammonia
14 Termometer 1 Mengukur suhu
15 Refraktometer 1 Mengukur salinitas 16 pH meter & kertas
pH
1 Mengukur pH
17 Botol sampel 250 ml 2 botol Pengambilan sampel air akuarium 18 Larutan untuk
pengukuran nitrit dan amonia
- nitrit (pewarna nitrit) dan amonia (phenol,
sodium nitrocrusit, oxidizing solution)
Pembuatan Preparat Segar Anemon
27 Petri disc 18 buah Wadah sampel segar tentakel
28 Mortar 1 buah Menggerus sampel tentakel
29 Gunting bedah 1 buah -
30 Pipet tetes 1 buah -
31 Gelas penutup 6 gelas Penutup gelas objek
32 Gelas objek 6 gelas Meletakkan sampel tentakel anemon 33 Aquades 1 liter Menghomogenasi sampel tentakel
Pembuatan Preparat Histologi Anemon 34 Botol film 18 buah Wadah sampel tentakel
35 Larutan Bouin 100 ml Mencegah pembusukan sampel tentakel 36 Larutan Mayers
Hemaktosilin
- Pewarnaan sampel tentakel 37 Larutan Eosin - Pewarnaan sampel tentakel 38 Alkohol konsentrasi
bertingkat
- Mendehidrasi sampel tentakel
39 Xilol - -
40 Parafin cair - -
41 Lem Perekat - Perekat gelas penutup dengan gelas objek 42 Gelas penutup 18 gelas Penutup gelas objek
43 Gelas objek 18 gelas Meletakkan sampel kering tentakel anemon Pengamatan Preparat Anemon
44 Optilab Viewer - Dokumentasi preparat histologis
45 Image J - Mengukur diameter tentakel anemon
40
Lampiran 2
Pengamatan visual morfologi anemon
Hari ke-0:
A1a1 A1a2 A1a3
A2a1 A2a2 A2a3
Hari ke-15:
A1a1 A1a2 A1a3
Keterangan :
Lampiran 2 (Lanjutan)
A2a1 A2a2 A2a3
Hari ke-30:
A1a1 A1a2 A1a3
42
Lampiran 3
Data pengamatan visual anemon akuarium 1 (kontrol) dan akuarium 2 (perlakuan) selama masa aklimatisasi dan eksperimen
Ukuran Parameter
08/11/2011 09/11/2011 10/11/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
11/11/2011 12/11/2011 13/11/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
14/11/2011 15/11/2011 16/11/2011
Banyak
17/11/2011 18/11/2011 19/11/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
20/11/2011 21/11/2011 22/11/2011
44
23/11/2011 24/11/2011 25/11/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
26/11/2011 27/11/2011 28/11/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
Parameter A1 A2 A1 A2 A1 A2
02/12/2011 03/12/2011 04/12/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
05/12/2011 06/12/2011 07/12/2011
46
08/12/2011 09/12/2011 10/12/2011
A1 A2 A1 A2 A1 A2
11/12/2011 12/12/2011 13/12/2011
Normal √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Ukuran
Parameter
14/12/2011 15/12/2011 16/12/2011
48
Data kualitas air suhu, salinitas, pH, nitrit, dan ammonia
N
Tidak ada biota (Pengukuran menggunakan pH meter)
1 26/10/2011 0,044459 0,043052 0,265479 0,803341 Tidak ada biota 2 09/11/2011 0,06908 0,320917 0,16971 0,200891
Aklimatisasi (Disimpan dalam chiller selama 1 hari)
3 16/11/2011 0,089832 0,108121 0,424722 0,222049
Hari ke-0 (Disimpan dalam chiller selama 2 hari)
Lampiran 5
Hasil analisis statistik pada data densitas dan mitotik indeks zooxanthellae pada anemon yang dipelihara
Two-Sample T-Test pada Densitas Segar Zooxanthellae Anemon
Two-sample T for a1 vs a2 : N Mean StDev SE Mean a1 9 161852 62452 20817 a2 9 230000 200961 66987 Difference = mu (a1) - mu (a2) Estimate for difference: -68148
95% CI for difference: (-216854; 80557)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,97 P-Value = 0,346 DF = 16 Both use Pooled StDev = 148804,7803
Two-Sample T-Test pada Mitotik Indeks Segar Zooxanthellae Anemon
Two-sample T for C3 vs C4: N Mean StDev SE Mean C3 9 1,111 0,485 0,16 C4 9 1,178 0,494 0,16 Difference = mu (C3) - mu (C4) Estimate for difference: -0,067
95% CI for difference: (-0,556; 0,423)
T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0,29 P-Value = 0,777 DF = 16 Both use Pooled StDev = 0,4899
Two-Sample T-Test pada Densitas histologi Zooxanthellae Anemon
Two-sample T for C6 vs C7: N Mean StDev SE Mean C6 9 69438 14201 4734 C7 9 43910 15688 5229 Difference = mu (C6) - mu (C7) Estimate for difference: 25528
95% CI for difference: (10575; 40481)
50
Lampiran 5 (Lanjutan)
Two-Sample T-Test pada Mitotik Indeks Histologi Zooxanthellae Anemon
Two-sample T for C8 vs C9: N Mean StDev SE Mean C8 9 12,44 3,20 1,1 C9 9 16,69 7,45 2,5 Difference = mu (C8) - mu (C9) Estimate for difference: -4,24 95% CI for difference: (-9,97; 1,48)
51
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 30 Oktober 1989. Penulis adalah putri dari Bapak Yadi Supriyadi dan Ibu Andi Nurwati.Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 2007 Penulis menyelesaikan Pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tangerang, Banten.tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut PertanianBogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi anggota Divisi Hubungan Luar dan Komunikasi (HUBLUKOM) pada Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA).Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Laut tahun 2011 dan Biologi Hewan Laut pada tahun 2011.Penulis juga pernah aktif sebagai Director of Finance pada organisasi Rotaract tahun 2009-2010.
Untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ―Pengaruh Ikan Badut Amphiprion clarkii(Bennett, 1830) Terhadap Ketahanan Anemon Pasir Heteractis malu
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemon laut merupakan salah satu komoditi hewan laut penghias akuarium yang diminati oleh masyarakat. Salah satu jenis anemon laut tersebut adalah jenis
Heteractis malu (anemon pasir). Anemon pasir mudah kehilangan warna dan menjadi putih saat dipelihara (Riseley, 1971).
Tercatat sepuluh spesies dari hampir seribu anemon laut di dunia yang masuk
dalam Familia Actiniidae (Genus Entacmaea dan Macrodactyla), Stichodactylidae
(Heteractis dan Stichodactyla), dan Thalassianthidae (Genus Cryptodendrum)
merupakan inang bagi ikan badut (Fautin, 1988 in Madhu dan Madhu, 2007).
Anemon Heteractis malu diketahui merupakan simbion dari ikan badut jenis
Amphiprion clarkii (Fautin, 1992).
Beberapa penelitian yang mengkaji tentang interaksi antara ikan badut dengan anemon (Mariscal, 1970; Fautin, 1991; Madhu et al., 2009)
zooxanthellaeuntuk memenuhi kecukupan nitrogen, sehingga mengurangi ketergantungan organisme tersebut terhadap makanan yang disediakan oleh anemon.
Ikan Amphiprion clarkii secara luas digunakan dalam laboratorium untuk penelitian yang mengkaji tentang interaksi antara ikan tersebut dengan anemon karena ketersediaannya yang tinggi dan sifatnya yang cocok terhadap kesepuluh anemon yang berasosiasi dengan ikan badut (Fautin, 1991). Pengaruh pemberian ikan badut jenis A. clarkii terhadap ketahanan anemon H. malu yang dipelihara dalam akuarium terkontrol akan dikaji dalam penelitian ini. Diharapkan akan diketahui apakah ikan badut jenis A. clarkii dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan ketahanan anemon yang dipelihara pada akuarium.
1.2. Tujuan
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Heteractis malu
Anemon laut merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang termasuk Filum Cnidaria, mengacu pada organ penyengat nematocyst yang hanya dimiliki oleh filum ini. Anemon memiliki bentuk tubuh silindris dengan satu rongga tubuh di tengah. Mulut yang berada pada ujung atas rongga ini (oral disk) merupakan tempat keluar masuknya air, makanan, dan gamet.
Pola warna pada anemon penting dalam identifikasi hewan tersebut. Munculnya warna pada anemon dapat disebabkan oleh alga simbiotik yang memunculkan warna aslinya atau menstimulasi anemon untuk memproduksi pigmen yang melindungi alga dari sinar matahari yang berlebihan. Warna anemon dapat menyatu dengan warna karang atau pasir sebagai kamuflase (Fautin, 1992). Struktur tubuh anemon laut disajikan pada Gambar 1.
Senjata pertahanan anemon adalah tentakelnya, saat tentakel terkena sedikit sentuhan maka tentakel anemon tersebut akan menembakkan filamen yang mengandung racun saraf yang melumpuhkan. Tentakel juga digunakan untuk melumpuhkan mangsa. Ketika mangsa sudah lemah oleh sengatan, tentakel akan membawa makanan tersebut mendekati mulutnya (National Geographic, 2011). Kebanyakan anemon laut adalah karnivora (Suwignyo, 2005). Anemon dapat memakan ikan, bulu babi, siput, dan udang kecil, serta sisa makanan dari ikan badut yang menghuninya (Hauter, 2011).
dilakukan oleh satu anemon, karena anemon bersifat hermaprodit, dimana telur dan sperma dihasilkan dari satu gonad. Pembuahan terjadi di luar tubuh atau di dalam tubuh, tepatnya di dalam rongga gastrovaskular. Daur hidup anemon dimulai dari hasil pembuahan yang berbentuk coeblastula, kemudian gastrula, dan larva planula yang bergerak bebas. Larva planula mulai membentuk pharynx dan septa. Saat sudah dapat menempel di substrat mulailah terbentuk tentakel, diikuti pertumbuhan sekat tambahan hingga mengikuti pola bentuk dewasa (Suwignyo, 2005).
Gambar 1. Struktur tubuh anemon laut (McCloskey, 2011)
Taksonomi Heteractis malu menurut World Register of Marine Species (2010) yaitu:
Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa Subkelas : Hexacorallia
Ordo : Actiniaria Familia: Stichodactylidae
Genus : Heteractis
5
Heteractis malu memiliki tentakel yang jarang dan pendek, berwarna kecoklatan atau keunguan (sedikit yang berwarna hijau terang) dan umumnya berbintik merah keunguan. Column hewan ini berwarna krem pucat atau kuning, kadang memiliki bercak kuning tua atau jingga. Secara geografis terdistribusi dari Kepulauan Hawai hingga Australia dan kebagian utara hingga Jepang (Fautin, 1992). Ilustrasi kenampakan morfologi Heteractis maludisajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Heteractis malu (Fautin dan Allen, 1992)
2.2. Amphiprion clarkii
Taksonomi Amphiprion clarkii (Allen, 1991) yaitu: Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes
Familia:Pomacentridae Genus : Amphiprion
Spesies : Amphiprionclarkii (Bennett, 1830)
Ikan Amphiprion clarkiimemiliki sirip dorsal berjumlah sepuluh dimana sirip lemahnya berjumlah 15-16 sirip dan sirip anal berjumlah dua dimana sirip
pangkal ekor serta sirip kaudal yang berwarna putih, kadang kekuningan. Ikan ini bersifat omnivora, melakukan perkawinan secara monogami, dan berkembang biak dengan bertelur, dimana telur berbentuk elips yang menempel pada substrat. Ikan jantan bertugas menjaga dan mengangin-anginkan telur-telurnya. Ikan ini tidak bermigrasi dan berada di kedalaman 1-60 meter. Terdistribusi di Perairan Barat Indo-Pasifik, yaitu di Teluk Persia hingga Australia bagian barat, melalui Kepulauan Indo-Australia dan di Kepulauan Melanesia bagian barat dan Mikronesia, keutara hingga Taiwan, Jepang bagian selatan, dan Kepulauan Ryukyu. Ikan dewasa menghuni laguna dan tebing luar karang. Berasosiasi dengan anemon Cryptodendrum adhaesivum, Entacmaea quadricolor, Heteractis aurora, Heteractis crispa, Heteractis magnifica, Heteractis malu, Macrodactyla doreensis, Stichodactyla gigantea, Stichodactyla haddoni, dan Stichodactyla mertensii (Froese, 2010). Kenampakan morfologi Amphiprion clarkii disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. (a). Morfologi Amphiprion clarkii (Carpenter,et al., 1997); (b). Amphiprion clarkii dari Perairan Hongkong (Froese, 2010)
2.3. Zooxanthellae
Zooxanthellae merupakan simbion alga yang bersifat fotosintetik dan
uniseluler, umumnya berperan sebagai endosimbion pada berbagaiavertebratalaut (b)
7
termasuk Filum Porifera, Cnidaria, dan Mollusca (Nganro, 2009) dan sebagian lagi hidup bebas di perairan (Manuputty, 1999). Zooxanthella termasuk alga dinoflagellata Genus Symbiodinium, dikenal dengan nama tersebut disebabkan ciri khas warna kuning kecoklatan yang mereka miliki. Sel Symbiodinium pada
Cnidaria umumnya bersifat intraselular, berada di dalam lapisan endodermis. Organisme ini mengandung beberapa pigmen fotosintetik, yaitu klorofil-a, klorofil-e, dan dinoxantin yang berperan dalam penyerapan sinar matahari (Douglas, 2003).
Beberapa kajian mengenai kesehatan anemon menggunakan zooxanthellae
sebagai indikatornya.Salah satu peranan zooxanthellae pada ekosistem terumbu karang adalah sebagai indikator perubahan lingkungan (Manuputty, 1999).Respon dari alga simbiotik zooxanthellae pada hewan tersebut bersifat lebih sensitif terhadap cekaman lingkungan dibandingkan parameter terukur lainnya (Nganro, 2009).
2.4. Interaksi Antara Anemon dan Zooxanthellae dengan Ikan Badut
Semua ikan yang termasuk dalam Familia Pomacantridae dan Genus Amphiprion merupakan simbion obligat (organisme penumpang yang
genus dan tiga familia anemon laut terdapat sepuluh spesies anemon yang
merupakan inang dari ikan badut. Anemon yang paling dikenal sebagai inang dari ikan badut adalah dua genus dari Familia Stichodactylidae, yaitu Stichodactyla dan Heteractis.
Interaksi antara anemon dan ikan badut di alam terjadi saat ikan badut
terlindungi dari pemangsa dengan berlindung di antara tentakel anemon yang memiliki sengat, begitu pun anemon terlindungi dari pemangsa ketika ikan badut mengusir predator yang akan menyerang anemon yang ditempatinya (Fautin,
1992). Interaksi lainnya terjadi saat ikan badut bertelur di permukaan keras yang
tersembunyi oleh pangkal anemon yang berdaging (Prosek, 2010). Selain itu, anemon mendapatkan keutungan lain dari ikan badut yang menghuninya. Kotoran ikan badut yang kaya akan nitrogen dan nutrien lain seperti sulfur dan fosfor merupakan nutrisi yang baik bagi anemon (Fautin, 1991).
Hubungan simbiosis mutualisme secara lebih spesifik terjadi antara
zooxanthellae, anemon, dan ikan badut. Semua jenis anemon yang hidup berasosiasi dengan ikan badut memiliki zooxanthellae yang terdapat pada sel endodermis dari oral disc (lempengan mulut) dan tentakel mereka. Alga ini dapat mensuplai seluruh kebutuhan karbon anemon. Lempengan yang mengembang dan tentakel yang lebat merepresentasikan area yang sangat luas bagi zooxanthellae
untuk menangkap cahaya. Sebagai respon terhadap gangguan tertentu di alam seperti serangan predator, anemonmenutup bagian atas kolom (oral disc) dimana terdapat tentakel. Anemon yang bersimbiosis dengan ikan badutoral disc-nya tidak dapat mengatup dan secara tidak langsung hal tersebut menjadikan bagian
9 Tabel 1. Data spesies Actinian yang berasosiasi dengan spesies Pomacantridae (Fautin, 1991)
Nama spesies Actinian
Amphiprion mccullochi x 1
Amphiprion melanopus x ? x 3?
Amphiprion fuscocaudatus x 1
Amphiprion latifasciatus
10
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012 yang dimulai dengan tahap persiapan dan aklimatisasi dari bulan Oktober hingga November 2011, tahap eksperimen dari bulan November hingga Desember 2011, dan pengamatan preparat histologi serta pengolahan data dari bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Lokasi penelitian dibagi berdasarkan tahap penelitian yang dilakukan. Pengamatan biota dan pengambilan data kualitas air dilakukan di Laboratorium Basah Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Analisis data kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Pembuatan preparat hitologis tentakel anemon dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Pembuatan preparat segar tentakel anemon serta pengamatan kedua jenis preparat dilakukan di Laboratorium Kering Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Keempat laboratorium tersebut berlokasi di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
11
3.3. Desain Eksperimen
Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu persiapan akuarium dan air media, aklimatisasi, eksperimen, dan pengamatan preparat segar dan histologi tentakel anemon serta pengolahan data. Persiapan akuarium dan media air
meliputi pembersihan akuarium, settingsirkulasi air, dan pengecekan kondisi kualitas air. Proses persiapan akuarium ini dilakukan selama dua minggu. Aklimatisasi dilakukan terhadap anemon dan ikan badut yang akan dijadikan objek eksperimen. Proses ini mulai dilakukan saat kondisi kualitas air sudah baik untuk anemon dan ikan badut. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan seluruh biota dalam kondisi stabil, sehingga pada saat eksperimen dimulai, seluruh biota tersebut dalam keadaan sehat. Proses aklimatisasi ini dilakukan selama satu minggu. Ikan badut dimasukkan ke dalam akuarium berisi anemon saat
eksperimen dimulai. Hal tersebut dilakukan agar anemon sudah dapat beradaptasi di akuarium (dilihat dari keadaan parameter morfologi yang diamati).
Gambar 4. Ilustrasi penempatan anemon dan ikan badut dalam akuarium pada kegiatan eksperimen
3.4. Metode Pengambilan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut, data densitas dan mitotik indeks (MI)
zooxanthellae, serta data kualitas air. Proses masing-masing pengambilan data dijabarkan sebagai berikut:
3.4.1. Pengamatan visual morfologi anemon dan tingkah laku ikan badut
13
Dokumentasi anemon dilakukan selama masa aklimatisasi dan eksperimen. Kegiatan tersebut dilakukan setelah pengambilan data visual morfologi anemon. Dokumentasi anemon berfungsi sebagai pendukung data visual morfologi anemon untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada anemon selama masa
eksperimen. Perubahan warna yang terjadi pada anemon diketahui berdasarkan indikator warna yang didokumentasikan berdampingan dengan anemon (Gambar 5). Indikator warna yang digunakan adalah berupa kertas gradasi warna yang dimulai dari warna anemon paling cerah (diestimasikan terjadi saat anemon sudah dalam keadaan stabil pada masa aklimatisasi dilakukan), sampai warna putih (warna anemon paling pucat). Proses pembuatan indikator warna dilakukan di
software Protable photoshop CS.
Gambar 5. Indikator warna anemon