• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN

MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus Di Korong Sungai Paku, Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) benar hasil karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggungjawab atas pernyataan ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Yolla Rahmi

(4)

ABSTRAK

YOLLA RAHMI. Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dibimbing oleh ARIF SATRIA.

Kerentanan merupakan tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan Tsunami. Setiap kelompok masyarakat memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda dalam menghadapi bencana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan, yaitu; sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Kedua, bertujuan untuk mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga, menganalisis hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat kerentanan rendah pada aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan. Selanjutnya pada aspek lingkungan menujukkan tingkat kerentanan sedang. Pada aspek ekonomi, tingkat kerentanan masyarakat ditunjukkan dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian menujukkan sekitar 50 persen responden memiliki tingkat kerentanan rendah dan sisanya adalah responden dengan tingkat kerentanan tinggi . Hasil analisis uji korelasi, hubungan yang signifikan ditunjukkan oleh variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

(5)

ABSTRACT

YOLLA RAHMI. Correlation Analysis beetwen the Level of Vulnerability of Coastal Communities with Efforts of Disaster Risk Reduction. Supervised by ARIF SATRIA.

Vulnerability is a level lack of ability in a society to prevent, defuse, achieve readiness and response the impact of disaster hazards. The coastal area is indicated as one of areas that vulnerable to natural disasters such as earthquake and Tsunami. Every society has different levels of vulnerability to disasters. This research has three main objectives. The First is to identify the level of vulnerability of coastal communities. The level of vulnerability has four aspects, namely; sosio-cultural, economical, environmental, and institutional. The second is to identify efforts of disaster risk reduction by coastal communities. The Third is to analyze the correlation beetwen the level of vulnerability of coastal communities with the efforts of disaster risk reduction. The results show that socio-cultural aspect and institutional aspect are in the lowest level of vulnerability, whereas environmental aspect can be categorized to the middle level of vulnerability. On the other hand, on economic aspect using level of walfare as an indicator, fifty percent respondent show the lowest level of vulnerability and the rest is the highest level of vulnerability. There is significant correlation between the level of walfare with the efforts of disaster risk reduction to implementation of housing reconstruction. This research combined the quantitative and qualitative research approach.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN

MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN

UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Nama : Yolla Rahmi

NIM : I34080048

Disetujui oleh

Dr Arif Satria, SP MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga dapat terselesikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat)” ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan dan pengembangan upaya mitigasi untuk pengurangan risiko bencana (PRB).

Meskipun dalam proses penyusunan skripsi ini sarat dengan sentuhan-sentuhan nilai akademik dari dosen pembimbing, tetapi penulis percaya masih terdapat kekurangan di dalamnya. Semua kekurangan tersebut karena keterbatasan penulis dalam mengelaborasikan dan menterjemahkan arahan dari pembimbing. Oleh karena itu, segala kekurangan dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2013

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi. Berkat bimbingan dan arahan beliau, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Arif atas kesabaran, waktu, tenaga dan pikiran yang diberikan kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir.Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama, Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen penguji akademik wakil departemen sekaligus sebagai dosen penguji petik pada naskah skripsi ini dan Bapak Ir. Hadiyanto, M.Si selaku dosen pemandu kolokium proposal penelitian skripsi, terima kasih atas kritik dan sarannya terhadap perbaikan skripsi ini.

3. Bapak luar biasa Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA atas bimbingan, arahan , dukungan dan motivasi beliau yang terus mengalir untuk penulis. 4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan,MS.DEA selaku dosen pembimbing

akademik penulis serta seluruh dosen dan staf Departemen Sains Komunikasi and Pengembangan Masyarakat.

5. Mba Ica, Mba Dini, dan Mba Maria Trio Macan SKPM yang selalu memberikan pelayanan yang luar biasa dan menjadikan sekret SKPM sebagai sekretariat departemen terbaik se-IPB raya.

6. Mba Eka, Kak Helmi, Mba Selvi dan seluruh staf Dekanat Fema yang telah memberikan pelayanan terbaik.

7. Pak Rudi Hartono selaku Kepala Korong Sungai Paku, Kak Rin, Uni Epi, Keluarga Bundo Martena serta seluruh Staf Kantor Kecamatan Sungai Limau dan Kantor Wali Nagari Kuranji Hilir dan warga Korong Sungai Paku atas kerjasama, keramahan dan sambutan yang baik terhadap penulis selama kegiatan penelitian berlangsung.

8. Papa terkasih, (Alm.) Mulyadi Djunid di surga atas perjuangan, kasih sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

9. Mama tercinta, Jernie atas lantunan doa, perhatian dan kasih sayang yang terus mengalir serta tetesan keringat dan perjuangan mama demi mencukupkan kebutuhan penulis. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

10. Nenek Hj. Nurma Rasul, Nenek Hj. Rosna Rasul, dan adik-adik tersayang Yandri Andika Rahmat M dan Yandra Noveri M, serta keluarga besar atas lantunan doa yang tak pernah putus, dorongan semangat, motivasi dan kasih sayang yang tercurah kepada penulis.

(12)

ini terselesaikan. Terima kasih juga kepada Yusuf Tirta, Jabbar Saputra, Achmad Fauzi dan Putri Asih Sulistyo atas curahan waktunya untuk berdiskusi dan membantu penulis saat mengalami kesulitan dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 45 dan 46 atas kebersamaan, persahabatan, dan cinta yang mewarnai hari-hari penulis serta atas kebesaran hati menerima segala kekurangan dan kelebihan penulis sebagai satuan Keluarga Besar Dept. SKPM.

13. Sahabat lama penulis Rizka Nadia, Yusra Rezi, Rachmanda Fitri Purnama, Ririn Liyandani dan Delfi Ilyan, atas kesetiaan dan kebaikan hati untuk selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis selama melakukan penelitian di kampung halaman.

14. Sahabat-sahabat penulis Dwi Setiadi Firmansyah, Aklima Dhiska Suwanda, Aisyah Noor Rafiah, Sahabat Makoca and Friends (Valentina Sokoastri, Adelia Ruspita, Nurul Agmar, Putiha Rakhmaini Indah Sari, dan Anatola Angesti), Sahabat Orens House (Rahma Demakdides, Adinda, Fitri, Andin, Dhanti, Keboth, Kak Uphe dan Syakir), Sahabat Kuil Cinta (Itaw, Jabbar, Bang Ucup, Giway, Oji), Sahabat ES Genk (Kiki dan Irma) Rodiah, Anom, Iqbal PSP, Randy Ilyas, Libby, Arif dan seluruh sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas canda tawa, kesetian untuk selalu ada dalam suka maupun duka.

15. Icin, Yessi, Titi, Ibu Linda dan seluruh teman Kos Wisma Gardenia atas perhatian dan semua keceriaan.

16. Teman-teman Koran Kampus IPB, dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang Bogor atas kerjasana, pengalaman, dan ilmu bermanfaat

17. Belty kesayangan yang menambah keceriaan disetiap hari penulis.

18. Amirsyah, kekasih tersayang sekaligus teman hidup yang setia atas lantunan doa yang tak pernah putus, motivasi, dorongan semangat, cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.

Bogor, Mei 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 4 

Tujuan Penelitian 5 

Kegunaan Penelitian 5 

PENDEKATAN TEORITIS 7 

Tinjauan Pustaka 7 

Kerangka Pemikiran 22 

Hipotesis Penelitian 23 

Definisi Operasional 24 

PENDEKATAN LAPANGAN 29 

Metode Penelitian 29 

Lokasi dan Waktu Penelitian 29 

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 30 

Teknik Pengumpulan Data 30 

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 31 

Keterbatasan Studi 32 

PROFIL LOKASI PENELITIAN 35 

Letak Geografis dan Kondisi Alam 35 

Jumlah Penduduk, Tahapan Keluarga Sejahtera, dan Mata Pencaharian 37 

Sarana dan Prasarana 38 

Pemukiman Penduduk, Zona Merah Tsunami, dan Keberadaan Jalur

Evakuasi 39 

Program dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 40  Bentuk Konstruksi Bangunan Rumah Penduduk dan Tingkat Kerentanannya 42 

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN 45 

Karakteristik Usia Responden 45 

Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden 45 

Karakteristik Jumlah Anggota Keluarga 47 

Karakteristik Tingkat Pendapatan Perbulan 47  TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP

BENCANA 49 

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya 49  Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Ekonomi: Tingkat

Kesejahteraan 62 

Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan SDA 63  Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Kinerja Lembaga 65  UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) OLEH

(14)

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KERENTANAN

MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN UPAYA

PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) 73 

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya dengan Upaya Rekonstruksi Bangunan Rumah Pasca Bencana 74  Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Dilihat dari Aspek Ekonomi (Tingkat Kesejahteraan) dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah

Pasca Bencana 77 

Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat

Pemanfaatan SDA dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana78  Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Pada Tingkat Kinerja lembaga dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana 79 

SIMPULAN DAN SARAN 81 

Simpulan 81 

Saran 81 

DAFTAR PUSTAKA 83 

DAFTAR TABEL

 

1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana

1815-2012 3 

2 Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek kerentanan 21  3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 46  4 Jumlah anak usia sekolah berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan jenjang

pendidikan tahun 2010 di Korong Sungai Paku 46  5 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendapatan perbulan 47  6 Kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan dalam

memberikan pertolongan saat terjadi bencana 51  7 Pemanfaatan jaringan sosial masyarakat sesaat terjadi bencana 54  8 Sebaran jawaban benar responden menjawab pernyataan tentang pengetahuan

mengenai aspek bencana gempa dan Tsunami 57  9 Persentase kerentanan masyarakat pesisir berdasarkan lima aspek kerentanan

bencana 66 

10 Tabulasi silang bentuk konstruksi rumah responden pra bencana dan jenis

kerusakan rumah responden 69 

(15)

DAFTAR GAMBAR

 

1 Fase manajemen bencana 15 

2 Kerangka Pikir Penelitian 23

3 Jenis pekerjaan kepala rumah tangga (KRT) responden 37 4 Presentase responden berdasarkan golongan usia 45  5 Presentase responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 47 

6 Tingkat kepercayaan 50 

7 Tingkat pemanfaatan jaringan sosial 53  8 Tingkat pengetahuan mengenai aspek-aspek bencana 57  9 Tingkat pengetahuan tentang nilai tata ruang wilayah 61  10 Responden penerima program Raskin di Korong Sungai Paku tahun 2009

hingga 2013 62

11 Persentase tingkat efektifitas kinerja lembaga 65  12 Bentuk konstruksi rumah responden pra bencana tahun 2009 68  13 Bentuk Rekonstruksi Rumah Responden Pasca Bencana tahun 2009 70 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 87 

2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012 88  3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian 89 

4 Dokumentasi Penelitian 91 

5 Tabel Frekuensi (hasil olah data dengan program aplikasi SPSS) 96  6 Bentuk bangunan rumah responden pra bencana dan pasca bencana serta jenis

kerusakan bangunan rumah pasca bencana 100  7 Hasil Crosstab Hasil Uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara

tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentanannya (Tabulasi Silang dengan program aplikasi SPSS) 101 

8 Riwayat Hidup 103 

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang mendapatkan berkah sekaligus mendapatkan ancaman dari alamnya. Berkah alam yang membentang di seluruh kepulauan dan laut Indonesia menjadi potensi besar yang tidak terkalahkan bagi penopang perekonomian negara. Tentunya juga didukung dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang baik pula. Namun, tidak jarang dengan seluruh bentangan keberkahan dari alamnya, Indonesia juga ditimpa bencana alam yang menyebabkan kerusakan, baik secara fisik, materi, sosial, dan psikologi pada masyarakatnya. Bencana yang terjadi pun tidak hanya menyisakan penderitaan bagi masyarakat yang menjadi korban bencana, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia yang turut prihatin dan punya andil untuk saling membantu.

Hal tersebut didukung oleh Purbani (2012) melalui hasil penelitiannya di Pulau Weh, Aceh. Wilayah tersebut memiliki kekayaan SDA hayati seperti Taman Nasional Alam Laut dan sumberdaya non hayati seperti panas bumi yang terdapat di Jaboi. Selain itu, Pulau Weh juga berada di jalur pelayaran internasional. Disamping kekayaan alam yang dimiliki daerah tersebut, kondisi alam geologisnya juga memiliki potensi bencana yang sangat tinggi. Pulau Weh terletak di zona gempa bumi, yaitu terletak diantara tiga jalur lempeng bumi yang bertumbukan. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini sangat rentan terkena gempa bumi yang diikuti Tsunami.

Indonesia telah mengalami berbagai musibah bencana alam beberapa tahun terakhir. Bencana-bencana tersebut terjadi secara bergantian, baik dalam skala besar maupun kecil. Bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia antara lain gempa bumi dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; gempa bumi dan Tsunami di Sumatera Utara dan Sumatera Barat; gempa bumi di Nabire, Alor, dan Nias; gunung meletus, tanah longsor, dan kebakaran hingga semburan atau luapan lumpur panas di Sidoarjo. Bencana-bencana tersebut telah menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerugian-kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan tampak pada banyaknya korban jiwa maupun hilang dan rusaknya harta benda milik masyarakat.

(18)

Dilihat dari kondisi geografi dan geologinya, Indonesia memiliki potensi yang tinggi terhadap terjadinya bencana alam. Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo dalam Diposaptono (2011) menyebutkan bahwa posisi Indonesia berada pada jalur cincin api dan pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, Samudra Hindia, dan Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatra-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa (Anshori 2010). Kondisi perubahan iklim Indonesia sering memicu terjadinya banjir, rob, longsor, kekeringan, abrasi dan lainnya. Hal tersebut dikarenakan posisi Indonesia yang berada pada bentang garis khatulistiwa. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Diposaptono (2011), posisi Indonesia pada bentang garis khatulistiwa sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, Tsunami, banjir, dan tanah longsor. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 dalam Naryanto dkk. 2009).

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Naryanto

dkk. (2009) menunjukkan bahwa bencana yang terjadi pada Tahun 2008 berjumlah 343 kejadian, terdiri dari banjir (58 persen), angin topan (16 persen), tanah longsor (7 persen), gelombang pasang (2 persen), kegagalan teknologi (1 persen), kebakaran hutan dan lahan (0.3 persen), letusan gunung api (0.3 persen), serta kerusuhan sosial (0.3 persen). Berdasarkan jumlah korban meninggal akibat kejadian bencana Tahun 2008, tanah longsor menempati urutan pertama (73 orang), yang diikuti banjir (68 orang), banjir dan tanah longsor (54 orang), kegagalan teknologi (30 orang), gempa bumi (12 orang), angin topan (3 orang), serta kebakaran (3 orang). Berdasarkan kerusakan rumah akibat kejadian bencana Tahun 2008, banjir menempati urutan pertama (20 046 unit), kemudian gemba bumi (8 254 unit), angin topan (2 574),banjir dan tanah longsor (1 396 unit), gelombang pasang atau abrasi (1 063 unit), tanah longsor (681 unit),serta kebakaran (396 unit). Berikut tersedia tabel berisi informasi tentang sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana dari tahun 1815 hingga tahun 2012.

Menurut data BNPB, Tsunami sangat sedikit terjadi pada rentang tahun 1815 hingga 2012, yaitu sekitar sembilan kejadian. Namun demikian, bencana

(19)

Bencana yang terus-menerus terjadi mengharuskan untuk selalu siap siaga dalam menghadapi berbagai ancaman dampak bencana tersebut. Salah satu wilayah yang rentan mengalami bencana adalah wilayah pesisir. Pembangunan dan pola pemanfaatan SDA di wilayah pesisir mengakibatkan degradasi lingkungan serta menurunkan kualitas sumberdaya yang ada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan banyaknya bencana yang terjadi di wilayah pesisir. Bencana pesisir yang sering terjadi dapat berupa gempa bumi,

Tsunami, dan bencana alam lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim di wilayah pesisir (seperti; gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai). Kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana yang terjadi merupakan permasalahan yang hingga saat ini belum bisa diatasi secara menyeluruh.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 yang diikuti oleh Peraturan Pemerintah yang mengatur penanggulangan bencana telah mengamanahkan kepada pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah bahwa dalam melaksanakan pembangunan diharuskan memasukkan aspek pengurangan risiko bencana. Agar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan membantu memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Terutama keluarga nelayan yang setiap saat menghadapi risiko terjadinya bencana pesisir. Oleh karena itu, analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana perlu dilakukan terutama pada wilayah sepanjang pesisir yang berisiko bencana gempa dan Tsunami.

Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah penelitian yang meneliti mengenai bencana di wilayah pesisir mengenai strategi mitigasi bencana dan upaya penanggulangannya. Namun demikian dari sejumlah penelitian tersebut, diketahui bahwa peneliti umumnya meneliti secara parsial. Maksudnya, belum banyak yang melakukan penelitian secara komprehensif dengan menelaah

Tabel 1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana 1815-2012

Nama Bencana Frekuensi Kejadian Korban Bencana (Jiwa)

Aksi Teror/Sabotase 28 324

Banjir 4 126 18 590

Banjir dan Tanah Longsor 318 2 197

Tanah Longsor 1 956 1 727

Gempa Bumi 275 15 562

Tsunami 13 3 519

Gempa Bumi dan Tsunami 9 167 768

Hama Tanaman 18 40

Kebakaran Hutan dan lahan 116 8

Kecelakaan Industri 26 73

Kecelakaan Transportasi 167 2 172

Kekeringan 1 414 2

KLB 109 1 515

Konflik/ Kerusuhan Sosial 95 5 598

Letusan Gunung Api 111 78 598

Angin Puting Beliung 1 914 240

Gelombang Pasang 178 148

Sumber: [BNBP] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sebaran Kejadian Bencana Dan Korban Meninggal Per Jenis Kejadian Bencana 1815-2012. [Internet].[Diakses 17 Juni 2012. Dapat diunduh dari :

(20)

kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana melalui empat aspek (yakni; sosial budaya dan sumberdaya manusia; ekonomi; lingkungan; dan kelembagaan), dan analisis kerentanannya.

Hal tersebut dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Sadikin Amir (2012), Purbani (2012), dan Diposaptono (2005). Dari ketiga penelitian yang dilakukan tersebut hanya pada aspek kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana yang dilihat dari dimensi ekologis. Penilitian Amir (2012) yang berjudul Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari bagi Pengelola Pulau-Pulau Kecil berbasis Mitigasi, studi kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombaok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat, hanya membahas aspek kerentanan bencana pesisir Gili Indah dari dimensi ekologis saja. Kerentanan ekologis yang dibahas dalam penelitian tersebut yakni degradasi lingkungan yang terjadi seiring meningkatnya aktivitas pengembangan wilayah pesisir ke sektor pariwisata bahari di Gili Indah. Selanjutnya, penelitian yang berjudul Strategi Mitigasi Tsunami Berbasis Ekosistem Mangrove dalam Aplikasi Pemanfaatan Ruang Pantai yang dilakukan oleh Purbani (2012), dalam analisisnya melihat kerentanan pesisir di Pulau Weh, Aceh dari aspek geologis dan geografisnya kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan strategi mitigasi Tsunami yang berbasis ekosistem mangrove. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Diposaptono (2005) yang mengkaji bahwa wilayah pesisir rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana. Kemudian dalam analisisnya menyebutkan salah satu mitigasi bencana dengan pengelolaan sumberdaya pesisir (SDP) dan pembangunan wilayah pesisir (WP) yang terpadu.

Mengingat kejadian bencana di wilayah pesisir berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya, maka menjadi penting untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kerentanan masyarakat pesisir yang dianalisis dengan empat aspek kerentanan sosial. Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana menjadi sebuah tindakan nyata yang dapat mengatasi kerentanan masyarakat sehingga kedepannya menjadi lebih siap untuk menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Untuk itu, akan dilakukan penelitian tentang analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dan kaitannya dengan upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan disekitar wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana. Hasil analisis ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir, terutama untuk daerah yang memiliki risiko kejadian bencana yang menimpa sumberdaya di sektor perikanan, seperti yang dialami oleh wilayah penelitian di Nagari Koto Tinggi, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Perumusan Masalah

(21)

pesisir terhadap bencana dengan mempertimbangkan kelima aspek kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana tersebut. Untuk itu, berikut terdapat beberapa masalah penelitian yang dapat peneliti ajukan sebagai acuan utama untuk melakukan penelitian ini:

1. Bagaimanakah kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat jika dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat pesisir?

2. Sejauhmana hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya pengurangan risiko bencana di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada perumusan masalah di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di lokasi penelitian dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat pesisir.

2. Mengidentifikasi upaya pengurangan risiko bencana (PRB) pasca becana di lokasi penelitian.

3. Menganalisis hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya PRB di lokasi penelitian.

Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu:

1. Bagi Masyarakat Korong Sungai paku, penelitian ini diharapkan mampu member gambaran mengenai Korong Sungai Paku dan kerentanan masyarakatnya terhadap bencana gempa dan Tsunami. Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi korong-korong lain pada umumnya dan Korong Sungai Paku khususnya untuk bisa menambah input pengetahuan dan kesiapan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami.

2. Bagi penulis merupakan bagian dari proses belajar dalam menyintesis beragam konsep dan teori yang relevan untuk menelaah analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana.

3. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat memperkaya wacana keilmuan dan menjadi bahan kajian lebih lenjut mengenai fenomena kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana.

(22)
(23)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Jenis Bencana Pesisir

Warto dkk. (2002) mengemukakan definisi mengenai bencana yakni suatu kejadian yang sulit dihindari karena peristiwa tersebut datang secara tiba-tiba dan di luar perkiraan manusia. Oleh sebab itu, terjadinya bencana alam mengakibatkan banyak kerugian bagi manusia, jiwa-raga, harta benda maupun kerusakan lingkungan. Merujuk definisi bencana yang dikutip sebelumnya dari Pujiono (2003) dalam Misron (2009) dan Maarif (2010), pada hakekatnya bencana alam menyebabkan kerugian yang sangat besar, sehingga tanggung jawab pemulihan bencana bukan hanya bagi masyarakat korban bencana, tetapi juga bagi seluruh masyarakat di negara tersebut.

Bencana dapat terjadi dinilai dari hal berikut (Maarif 2010): 1)Bagaimana proses pembanguanan yang dapat menimbulkan becana 2)Terjadinya disorganisasi sosial

3)Struktur yang tidak setara dan jaringan 4)Aktualisasi kerentanan sosial

5)Interaksi yang mengarah pada konflik

6)Kepercayaan/agama dan local wisdom terhadap kehadiran bencana

Bencana yang terjadi di wilayah pesisir antara lain gempa bumi dan

Tsunami (Purbani 2012 dan Diposaptono 2005), serta perubahan iklim (Satria 2012).

a. Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan bencana alam yang datangnya secara tiba-tiba dan dalam waktu yang relatif singkat menghancurkan semua yang ada di permukaan bumi. Gempa bumi adalah getaran yang dihasilkan oleh percepatan energi yang dilepaskan menyebar ke segala arah dari sumbernya. Gempa bumi yang paling sering terjadi adalah gempa tektonik yang diakibatkan oleh tenaga yang berasal dari dalam bumi (endogen). Selain itu juga dikenal gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan (Naryanto dkk. 2009).

Menurut BMKG dalam Naryanto dkk. (2009), tingkat kegempaan di Indonesia berdasarkan sejarah kekuatan sumbernya dibagi dalam 6 daerah yaitu:

1) Daerah sangat aktif, magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi di daerah-daerah Halmahera dan Pantai utara Papua.

2) Daerah aktif, magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi di lepas pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan Banda. 3) Daerah lipatan dan retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi di

pantai barat Sumatera, Kepulauan Sula, dan Sulawesi Tengah.

4) Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi di Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian timur.

5) Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 terjadi di daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan Tengah.

(24)

Merujuk pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah kegempaan yang terjadi di Indonesia mulai dari kekuatan sumbernya terendah hingga paling tinngi berisiko terjadi di wilayah pesisir.

b. Tsunami

Naryanto dkk. (2009) juga menjelaskan tentang bencana Tsunami. Tsunami

berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu (pelabuhan) dan nami (gelombang). Beberapa negara di Kawasan Pasifik seperti USA, Amerika Selatan bagian barat, Jepang, Philipina, Papua New Ginea dan juga termasuk Indonesia sering terjadi bencana Tsunami. Di Indonesia, Tsunami telah menimbulkan banyak korban jiwa maupun harta benda. Naryanto dkk. (2009) merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan kejadian gelombang Tsunami, yaitu:

1)Magnitudo dari gempa dan kedalamannya.

2)Lokasi pelepasan dalam kerak bumi dan kecepatan pelepasannya.

3)Perambatan gelombang Tsunami (efek dari topograsi dasar laut, kedalaman laut dan sebagainya).

4)Variasi arah rambatan. 5)Konfigurasi pantai.

6)Topograsi daratan/bentuk bentang alam. 7)Tipe dan ukuran deformasi laut.

8)Batimetri dasar laut. 9)Kedalaman laut.

Diposaptono (2011) juga menjelasankan bahwa Tsunami dapat terjadi pada gempa yang lemah atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apapun. Tsunami

akan terjadi apabila kejadian gempa di laut berkekuatan lebih 6.5 Skala Richter (SR), pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar.

c. Perubahan Iklim

Maarif dalam Diposaptono dkk. (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global.Menurut Satria (2009), pemanasan global terjadi akibat naiknya suhu permukaan bumi dan meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan CFC yang menyebabkan terjadinya

efek rumah kaca dan terperangkapnya energi matahari dalam atmosfer bumi. Masih dalam Diposaptono dkk. (2009), Maarif mengatakan bahwa perubahan iklim mengakibatkan perubahan fisik pada lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perubahan fisik yang terjadi berupa intrusi air laut ke darat, gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi pantai. Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak lingkungan hingga alami (pasang surut). Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi kontribusi terhadap banjir rob. Pasang surut atau proses naik-turunnya muka air laut secara teratur yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari juga berkontribusi terhadap bencana banjir rob.

(25)

pemanasan global yang terjadi. Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, dan Kupang, selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar 8 mm/tahun. Isu tersebut sangat mengkhawatirkan Indonesia bahwa peristiwa tersebut mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir dan rob yang lebih dahsyat. Perubahan iklim, ternyata memiliki dampak yang sangat besar bagi kelestarian dan keberlanjutan kehidupan di wilayah pesisir. Betapa tidak, karena perubahan iklim tersebut juga berdampak pada timbulnya bencana-bencana lain seperti yang telah disebutkan di atas.

Aspek-Aspek Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana

Sekitar 60 persen penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di wilayah pesisir seluas 4 050 000 km2, dimana sekitar 80 persen atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar. Meskipun wilayah Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam dan tidak dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam waktu yang lama dan tenaga yang cukup besar dapat hilang seketika akibat bencana alam. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan agar lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana (Ruswandi 2009).

Masyarakat pesisir kebanyakan adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar sangat rentan terhadap bencana (Ruswandi 2009). Wilayah pesisir yang juga rentan terhadap bencana dapat meluluhlantakkan dengan sekejap seluruh fasilitas rumah, perahu, sumberdaya pesisir, dan sebagainya yang digunakan sebagai sumber penghidupan mereka sehari-hari. Jika semua itu telah rusak, maka akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat dan perekonomiannya. Pernyataan tersebut didukung oleh Maarif (2010), bahwa setiap bencana mengganggu kehidupan masyarakat dan mata pencaharian atau bahkan mengubah modal sosial yang ada di masyarakat. Melalui perspektif kerentanan, bencana di wilayah pesisir tidak hanya disebabkan oleh becana fisik saja, seperti gempa bumi, Tsunami, banjir dan lainnya, tetapi juga dilihat dari tiga faktor, yaitu agen bencana fisik itu sendiri, setting fisik, dan kerentanan penduduk. Oleh karena itu dengan melakukan identifikasi dan analisis kerentanan masyarakat pesisir, selanjutnya dapat dijadikan sebagai permulaan proses membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Sekaligus, dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan pemerintahan setempat untuk menyusun upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang mungkin akan terjadi.

(26)

Kerentanan masyarakat pesisir dapat dilihat dari empat aspek berikut (Satria 2012):

1) Sosial budaya dan sumberdaya manusia yang menyangkut pengetahuan dan kemampuan menghadapi krisis. Menanggapi hal tersebut, hasil penelitian Anshori (2010) dapat disimpulkan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang tinggi juga memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang pengurangan risiko bencana. Hal ini terlihat dari perbedaan tingkat pengetahuan antara kader Santri Siaga Bencana (SSB) dan masyarakat yang bukan kader SSB (non-SSB). Selain itu, aspek pengetahuan yang baik tentang bencana akan membantu masyarakat selamat dari amukan bencana yang akan datang. Untuk itu, kita perlu mengetahui dan memahami betul mengenai kejadian bencana yang ada. Masyarakat pesisir yang sarat dengan mitos bencana yang cenderung membuat mereka menjadi santapan keganasan bencana yang terjadi. Menurut Diposaptono (2011), terdapat mitos yang keliru yang selama ini berkembang di masyarakat yang membuat mereka menjadi korban, diantaranya:

a) Mitos pertama: Tsunami terjadi akibat gempa yang kuat. Padahal Tsunami

dapat terjadi akibat gempa yang lemah ataupun kuat. Mitos ini cenderung membuat masyarakat pesisir yang menganutnya menjadi lengah ketika wilayah mereka terjadi gempa berkekuatan kecil. Seperti kasus yang terjadi di Mentawai, ketika gempa kuat yang berpusat di Bengkulu pada tahun 2007 terasa kuat hingga ke Kepulauan Mentawai namun tidak ada Tsunami. Pemahaman yang keliru ini membuat masyarakat menjadi panik ketika gempa besar datang.

b)Mitos kedua: Tsunami didahului laut surut secara mendadak, Tsunami tidak selalu didahului dengan kejadian seperti itu. Tsunami bisa saja datang langsung menyapu kawasan pesisir.

c) Mitos lain juga ada yang mengatakan bahwa gelombang pertama Tsunami

merupakan gelombang terbesar. Ada kejadian, bahwa ternyata gelombang

Tsunami terbesar datang pada gelombang susulan, mitos ini membuat masyarakat kurang waspada terhadap gelombang susulan yang mungkin akan menerjang wilayah mereka.

Dari cerita mitos mengenai kejadian Tsunami di atas juga berkaitan dengan kesiapan suatu masyarakat dalam mengahdapi kemungkinan bahaya bencana yang akan datang. Dengan pengetuahan yang mereka miliki mengenai bencana yang sering terjadi disekitar mereka akan membuat mereka lebih siap menghadapi kemungkinan bencana yang akan datang.

2) Aspek ekonomi yang menyangkut tingkat kemiskinan, akses pangan pokok, serta jenis pekerjaan. Menanggapi hal tersebut, Maarif (2010) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di wilayah pesisir, dimana sekitar 80 persen adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub standar. Sebagaimana yang sudah diketahui juga sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan.

(27)

Hasil penelitian lainnya juga memaparkan bagaimana kerentanan masyarakat dari aspek ekonomi. Sadikin Amir (2012) dalam penelitiannya, menyebutkan kerentanan bencana pesisir juga berasal dari aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakatnya.Dalam penelitian yang dilakukan di Gili Indah Nusa Tenggara Barat, dimana wilayah tersebut merupakan tempat yang dikembangkan pada sektor wisata bahari. Pengembangan wilayah kearah tersebut mendorong peningkatan aktivitas pembangunan infrastuktur-infrastuktur yang mendukung aktivitas pariwisata.Sejalan dengan meningkatnya aktivitas wisata di wilayah itu juga menyebabkan peningkatan kedatang visitor ke daerah itu, baik wisatawan manca ataupun wisatawan domestik (nasional). Meningkatnya pembangunan dan jumlah pengunjung yang datang berhubungan dengan daya dukung kawasan untuk menampung segala aktivitas dilokasi tersebut yang terbatas. Jika tidak ditangani dengan baik, sudah dipastikan wilayah tersebut tidak akan bertahan lama dan kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana juga semakin tinggi. Sejalan dengan itu, Ruswandi (2009) menyatakan bahwa ketika terjadi bencana alam, kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat. 3) Aspek infrastruktur dan permukiman. Terlihat setiap kejadian gempa yang

terjadi di suatu kawasan, tidak sedikit infrastuktur dan pemukiman warga yang rusak dan hancur. Diposaptono (2011) mengatakan bahwa, sebenarnya gempa tidak membunuh, yang membunuh adalah bangunan roboh akibat hentakan gempa. Hal ini karena, konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa dan material bangunan yang digunakan kurang memenuhi syarat.

4) Aspek lingkungan. Degradasi lingkungan yang kian terjadi menyebabkan wilayah pesisir juga dapat menjadi suatu faktor penentu terjadinya suatu bencana di wilayah pesisir. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa degradasi lingkungan dalam hal perubahan iklim dapat mengakibatkan berbagai macam bencana lain di wiliyah pesisir (Diposaptono dkk. 2009). Merujuk hasil penelitian Amir (2012), pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir di sektor pariwisata dapat menyebabkan degradasi lingkungan. Hal ini karena, kecenderungan yang dilakukan pada kegiatan pengembangan dan pemanfaatan tersebut tidak ramah lingkungan. Pengembangan dan pemanfaatan tersebut membuat wilayah pesisir semakin rentan terhadap bencana. Kegiatan wisata bahari di wilayah pesisir perkembangannya diiringi dengan peningkatan jumlah pengunjung dan pembangunan infrastruktur untuk memfasilitasi kegiatan pariwisata. Hal tersebut menyebabkan degradasi lingkungan yang berdapak pada semakin meningkatnya tingkat karawanan terhadap bencana pesisir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan/strategi pengembangan wilayah wisata bahari dengan mitigasi bencana secara fisik yang berpedoman padaman pada undang-undang atau kebijakan mengenai perencanaan tata wilayah dan non-fisik dengan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat perlunya menjaga kelestarian lingkungan.

(28)

di Kabupaten Lampung Barat belum berjalan maksimal dalam upaya menekan risiko kerugian korban bencana. Hal ini karena belum optimalnya kinerja Satuan Penanggulangan Bencana yang hanya sebatas pada pada unsur pemerintah dan organisasi penanggulangan bencana resmi. Sementara masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan inti tidak diberi ruang untuk berpatisipasi lebih dalam penanggulangan bencana.

Sejalan dengan hal di atas, Diposaptono (2011) mengatakan salah satu upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa adalah dengan meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Aspek ini memungkinkan pemerintah menangani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan mendayagunakan sumber daya yang ada.Selain itu, dari penelitian yang dilakukan Badri (2008), bahwa pada awalnya penanganan bencana di Yogyakarta mengalami keterlambatan pemberian bantuan. Hal ini karena masalah jalur komunikasi antara pusat dan daerah tidak efektif, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif.

Kaitan antara Bencana dan Kerentanan Masyarakat Pesisir

Pada kagiatan Pelatihan Penanganan Bencana II LPPS-KWI, pada 17 November Tahun 2000, Naryanto menyampaikan bahwa pada umumnya bencana terjadi akibat dari kondisi yang rawan terkena suatu bencana yang potensial. Karakteristik dari bencana secara umum mempunyai pengertian sebagai berikut (Naryanto 2000 dalam Seri Forum LPPS 2001):

a) Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya merupakan gangguan cukup besar (parah), mendadak dan tidak terkirakan terjadinya, serta meliputi daerah dengan jangkauan luas.

b) Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di badan, kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kerugian harta benda.

c) Memengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan sistem pemerintahan, gedung-gedung atau bangunan, sarana komunikasi dan pelayanan masyarakat.

d) Berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti perumahan, makanan, pakaian, obat-obatan, pelayanan sosial dan sebagainya.

Pengurangan risiko bencana (disaster mitigation), meliputi penanganan seluruh aspek, baik yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh alam. Sebagian dari aspek tersebut telah ditangani oleh badan-badan tertentu. Namun, aspek lainnya seperti analisis kerentanan sosial (social vulnerability) masih dalam taraf permulaan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan analisis kerenatanan masyarakat perlu dikembangkan.

(29)

rusaknya sumber mata pencarian nelayan yang sulit pulih dalam jangka waktu relatif cepat, pemberian bantuan yang tidak tepat sehingga menimbulkan masalah berupa kesulitan korban untuk bangkit kembali, kesulitan ekonomi, serta menyebabkan masyarakat tidak mampu menghadapi bencana di kemudian hari. Pada umunya penderitaan paling berat dalam setiap bencana terutama dialami oleh orang miskin.

Oleh karena itu, setiap kejadian bencana memiliki kaitan erat dengan tingkat kerentanan suatu masyarakat. Dengan mengidentifikasi tingkat kerentanan suatu masyarakat terhadap bencana dapat menjadi pedoman di kemudian hari untuk membuat sebuat formulasi strategi pengurangan risiko bencana yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya, pada suatu wilayah yang memiliki potensi terjadinya gempa, dengan mengidentifaksi tingkat kerentanan dari bentuk infrastruktur rumah maka untuk selanjutnya dapat acuan untuk melakukan suatu tindakan pengurangan risiko bencana. Misalnya dengan membangun bangunan rumah anti gempa dan juga terbuat dari material bangunan yang tahan dan ramah terhadap gempa.

Strategi Koping Masyarakat

Sunarti (2009) mengutip beberapa sumber yang mendefinisikan istilah koping sebagai berikut:

a) Menurut Achir Yani (1997); koping adalah perilaku yang terlihat dan tersembunyi yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres.

b) Safarino (2002) koping ialah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stress yang dihadapi.

c) Haber dan Ruyon (1984); koping adalah bentuk perilaku dan pikiran (positif dan negatif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stress.

Sebagaimana yang telah diketahui, setiap kejadian bencana pasti akan menimbulkan dampak atau kerugian tertentu terhadap korban bencana. Baik itu dampak atau kerugian secara materil, lingkungan, atau psikologi yang diluar kemampuan korban bencana untuk menghadapinya. Untuk itu, upaya pengurangan risiko bencana adalah suatu bentuk manajemen bencana yang dapat mengurangi dampak kejadian bencana tersebut. Upaya ini juga dapat dikatakan sebagai strategi koping masyarakat atau pemerintah dalam upaya mengurangi kondisi yang membebani individu yang tertimpa bencana. Hal ini sama halnya dengan definisi koping oleh Haber dan Ruyon (1984).

Disisi lain, strategi koping juga dapat dilakukan dengan upaya menurunkan tingkat kerentanan masyarakat yang dilihat dari aspek sosial budaya, ekonomi, lingkungan, serta kelembangaan.

(30)

uang kepada tetangga, berhutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan bahkan meminjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya.

Secara budaya, masyarakat pesisir memiliki kepercayaan atau mitos atau pemahaman tersendiri terhadap bencana. Banyak mitos-mitos yang salah berkembang pada masyarakat mengenai bencana. Dengan meningkatkan pengetahuan dengan memberikan pemahaman masyarakat pesisi tentang bencana setempat yang lebih jelas dapat menjadi strategi koping untuk merubah mitos serta kepercayaan mereka yang salah terhadap bencana. Baik itu dengan memberikan pemahaman apa itu bencana (gempa bumi, Tsunami, rob dan sebagianya), pengenalan sebab terjadinya bencana dan ciri-ciri akan terjadinya bencana, serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat pesisir bagaimana upaya mengevakuasi diri saat terjadi bencana. Kemudian apa penyebab terjadinya bencana. Membekali masyarakat dengan pengetahuan yang lebih jelas mengenai dampak bencana tidak hanya pada pada rusaknya infrastruktur, timbulnya korban jiwa, dan kerugian materil dan fisik lainnya tetapi juga ada modal sosial yang turut hilang setelah bencana. Hal tersebut dapat meningkatkan motivasi mereka untuk lebih waspada dan melakukan upaya mengurangi tingkat kerentanannya terhadap bencana.

Strategi koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah ekonomi meliputi usaha untuk menambah pendapatan dan usaha penghematan. Kedua strategi ini berbeda dalam pelaksanaannya. Usaha penambahan pendapatan adalah strategi untuk meningkatkan ketersediaan sumberdaya ekonomi dalam keluarga (Sunarti 2009). Darcon (2002) dalam Sunarti (2009) menyebutkan bahwa strategi koping juga termasuk usaha mendapatkan penghasilan tambahan ketika kesulitan terjadi. Selanjutnya, Puspitawati (2008) dalam Sunarti (2009) menjelaskan tentang strategi penghematan merupakan strategi untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting tanpa meningkatkan status ekonomi keluarga.

Manajemen Bencana

Pengkajian risiko bencana merupakan salah satu kegiatan dari penanggulangan bencana. Hal ini dimaksudkan untuk memberi informasi yang lebih rinci dan jelas tentang kemungkinan besarnya bencana, obyek yang terkena serta risiko yang dihadapi. Dengan mengetahui itu semua maka instansi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana dapat melakukan upaya manajemen bencana yang lebih baik serta langkah-langkah perencanaan dan kesiapsiagaan yeng lebih efisien (Naryanto 2000).

(31)

Pemaknaan dari konsep manajemen bencana memasukkan beberapa komponen penting seperti sekumpulan kebijakan dan keputusan keputusan administratif dan aktivitas-altivitas operasional yang berhubungan dengan berbagai tahapan. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pada tanggal 26 April 2007. Kemudian diikuti dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2008 tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 tentang peran serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam penanggulangan bencana.

Dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Bencana Nasional dan Daerah yang berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2004, membantu berjalannya fungsi keputusan administratif secara efektif dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana baik di tingkat nasional, provinsi mapun di tingkat daerah. Dimana pedoman pembentukannya disiapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional untuk membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Selain itu, United Nation Development Programme (1992) dalam Nasution (2005) kaitannya dengan konsep manajemen bencana yang memasukkan konsep aktivitas-aktivitas operasional menjelaskan bagaimana fase-fase menajemen bencana itu dilakukan. Terdapat dua fase dalam manajemen bencana, yaitu: (1) Fase pemulihan pasca bencana (memberikan bantuan kepada korban bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi), dan: (2) Fase pengurangan risiko pra bencana (Mitigasi dan Kesiapan).

Gambar 1 Fase manajemen bencana Sumber: UNDP 1992 dalam Nasution (2005)

Fase pemulihan pasca bencana Fase pengurangan risiko pra bencana

KESIAPAN

MITIGASI

BENCANA

BANTUAN

REHABILITASI

(32)

UNDP (1992) dalam Nasution (2005) menjelaskan setiap fase manajemen bencana di atas. Fase Pemulihan adalah periode yang munculnya mengikuti suatu bencana yang tiba-tiba sekalipun tindakan-tindakan pengecualian harus dilakukan untuk mencari dan menemukan yang bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti tempat berteduh, air, makanan, dan perawatan medis. Kemudian rehabilitasi merupakan tindakan-tindakan atau keputusan yang diambil setelah terjadi satu bencana. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kondisi-kondisi kehidupan sebelumnya dari satu masyarakat yang terkena bencana. Selain itu, upaya rehabilitasi juga mendorong dan memfasilitasi penyesuaian seperlunya terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan oleh bencana. Rekonstruksi diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk membangun kembali satu komunitas setelah satu periode rehabilitasi akibat dari satu bencana. Tindakan-tindakan mencakup pembangunan rumah yang permanen, pemulihan semua pelayanan-pelayanan secara penuh, dan memulai kembali secara tuntas dari keadaan sebelum bencana. Pada fase pengurangan risiko bencana di atas, UNDP (1992) dalam Nasution (2005) memasukkan sebuah konsep mitigasi. Sejalan dengan konsep ini, Diposaptono (2011) dan Ruswandi (2009) menjelaskan bahwa konsep mitigasi bencana dapat dilakukan secara fisik maupun non-fisik. Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergantung pada daerah rawan Tsunami

yang akan ditinjau. Oleh karena itu, dalam upaya melakukan mitigasi, perlu dipertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya (Diposaptono 2011). Fase pengurangan risiko selanjutnya adalah kesiapan. Kesiapan terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk meminimalisasi kerugian dan kerusakan-kerusakan, mengorganisasi pemindahan sementara orang-orang dan properti dari lokasi yang terancam, dan memfasilitasi secara tepat dan penyelamatan yang efektif.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan konsep manajemen bencana merupakan suatu konsep penting yang harus dipahami. Konsep ini mencakup seluruh kebijakan-kebijakan dan keputusan administratif yang sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam merancang kebijakan-kebijakan pembangunan dan sistem pengelolaan sumberdaya yang mengarah pada kesiapan dan mitigasi bencana. Dengan demikian pemerintah juga bisa melibatkan pihak swasta yang seringkali memiliki andil besar dalam aktivitas pengelolaan bencana alam agar memperhatikan aspek mitigasi bencana alam didalamnya.

Tidak hanya melibatkan peran pihak swasta, masyarakat yang secara langsung tinggal dan berinteraksi secara dekat dengan alam juga perlu memperhatikan aspek-aspek upaya penanggulangan bencana, terutama dari segi kesiapan mereka dalam menghadapi gejolak alam yang mereka tempati dan berpotensi bencana. Kesiapan masyarakat bisa ditingkatkan dengan membekali mereka dengan pengetahuan, sosialisasi mengenai bencana dan penanggulangannya melebihi dari pengalaman mereka menghadapi bencana yang terjadi kemudian melakukan pemulihan pada pasca bencana. Konsep penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan setelah bencana terjadi, tetapi juga ada aktivitas pengurangan risiko pra bencana sesuai dengan fase manajemen bencana yang telah dirumuskan oleh UNDP (1992) dalam Nasution (2005).

(33)

ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Anshori (2010) sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Menurut Anshori Program Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di jember akan lebih efektif apabila melalui upaya pemberdayaan komunitas yang diupayakan dengan pendidikan pengurangan risiko bencana sejak dini, dan membantu komunitas untuk mengelola persiapan dana kedaruratan bencana. Upaya tersebut dapat dilakukan sebagai upaya preventif dan juga pada masa pengurangan risiko bencana. Terbukti pada hasil penelitiannya, bahwa upaya yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam program Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Kabupaten Jember tergolong sangat efektif, karena dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa Santri Siaga Bencana (SSB) yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang bencana setempat memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang bukan berasal dari SSB. Untuk itu, upaya serupa seperti yang telah dilakukan oleh NU perlu dilakukan dan terus dikembangkan untuk mengedukasi masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

Oleh karena itu, fase pengurangan risiko bencana dapat diusulkan menjadi tiga sebagai berikut:

1) Mitigasi baik secara fisik dan non fisik 2) Kesiapsiagaan

3) Edukasi masyarakat/membekali pengetahuan dan sosialisasi

Kesiapsiagaan, Adaptasi, dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Menekan jumlah korban jiwa dan kerugian materi dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Kesiapsiagaan menyebabkan masyarakat dapat bertindak cepat dan tepat dalam menyelamatkan diri dan harta bendanya dari dampak bencana yang melanda.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana.Kesiapsiagaan suatu komunitas tidak selalu terlepas dari aspek-aspek seperti tanggap darurat, pemulihan, dan rekonstruksi serta mitigasi. Untuk menjamin tercapainya suatu tingkat kesiapsiagaan tertentu, diperlukan berbagai langkah persiapan pra-bencana, sedangkan keefektifan dari kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari implementasi kegiatan tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Pada saat pelaksanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, harus dibangun juga mekanisme kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana berikutnya. Hal ini sesuai dengan pemaparan fase manajemen bencana oleh UNDP (1992) pada gambar 2.1 yang telah dijelaskan sebelumnya.

Selain itu, juga perlu diperhatikan dinamika kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat kesiapsiagaan suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan ekonomi dari suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu memantau dan mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu masyarakat dan terus melakukan usaha untuk sosialisasi dan pelatihan.

(34)

dan selalu diperbaharui (tidak tertinggal), struktur organisasi penanggulangan bencana yang memadai, inventarisasi sumberdaya dan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas, meningkatkan kerjasama antar lembaga/organisasi terkait, memantau dan menjaga kesiapan semua elemen, pelatihan dan penyadaran masyarakat serta penyedian informasi yang memadai dan akurat.

Untuk mendukung usaha peningkatan kesiapsiagaan, diperlukan adanya kebijakan dan peraturan yang memadai, instansi/unit penanggulangan bencana yang permanen dan bersifat khusus yang memantau dan menjaga tingkat kesiapsiagaan (Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Maarif 2010) dan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan bencana (Anshori 2010), identifikasi, ancaman, bencana ,perencanaan keadaan darurat, serta melibatkan berbagai organisasi dan sumberdaya yang terampil dan handal.

Menurut Naryanto dkk. (2009), kesiapsiagaan memerlukan elemen-elemen yaitu :

1)Sistem komunikasi darurat sistem peringatan dini: dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.

2)Sistem aktivasi organisasi darurat

3)Pusat pengendalian operasi darurat sistem survai kerusakan pengaturan.

Mitigasi bencana dapat digunakan sebagai landasan atau pedoman dalam perencanaan pembangunan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman. Naryanto dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana baik yang termasuk bencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat intervensi manusia dan hendaknya merupakan kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable).

Diposaptono (2011) menjelaskan istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbeda dalam terminologi bencana. Mitigasi dalam terminologi becana diartikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan risiko baik oleh alam maupun manusia.Istilah mitigasi dalam terminologi bencana sudah mencakup adaptasi.Berbeda dengan Mitigasi dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi-emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.

(35)

dilakukan secara individu atau masyarakat dengan cara mudah, murah dan sederhana.

Dari setiap bencana yang terjadi di Indonesia, ada beberapa pengalaman yang dapat diambil.Pengalaman tersebut menuntun dan mengisyaratkan agar seluruh elemen masyarakat melakukan suatu hal pencegahan dan kesiapsiagaan, baik sebelum terjadi bencana, saat bencana, ataupun pasca bencana. Beberapa kejadian yang menjadi pengalaman berharga dari setiap kejadian tersebut antara lain (Gunawan 2007):

1)Terpisahnya keluarga selama proses penyelamatan diri, tidak sempat membawa surat/dokumen penting, sebagai kelengkapan perlindungan hokum.

2)Kerusakan ligkungan dan kerugian harta benda yang sangat besar, sehingga setiap bencana selalu diikuti dengan bertambah besarnya permasalahan sosial dan semakin kompleks, sementara itu permasalahan sosial yang ada masih belum tertangani. Angka kemiskinan dan ketelantaran menjadi semakin besar 3)Pelayanan yang diberikan (baik oleh pemerintah maupun masyarakat) lebih

terkonsentrasi pada pelayanan darurat (emergency response)

4)Masalah kesehatan yang melanda pengungsi di lokasi penampungan adalah penyakit diare akut dan infeksi saluran pernafasan sebagai indikasi kurangnya air bersih, toilet dan sanitasi

5)Perencanaan keluarga berantakan karena ketidakpastian kapan masa pengungsian berakhir. Hilangnya harta benda, pekerjaan, dan ketelantaran pendidikan anak semakin mempersulit proses pemulihan kehidupan keluarga 6)Setiap kali terjadi bencana alam, selalu menyumbangkan angka kemiskinan

baru, pada hal permasalahan kemiskinan yang ada belum tertangani.

Dari uraian di atas maka kesiapsiagaan dan mitigasi memiliki kaitan yang sangat penting terhadap tanggap bencana dari dini. Dari pengalaman tersebut, setidaknya mengajarkan kita agar dalam menghadapi bencana tidak melalui pendekatan resposif bencana (penanggulangan yang dilakukan ketika sudah terjadi bencana) tetapi dengan upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan sebelum terjadi becana, upaya penanggulangan pada saat bencana, dan pasca bencana. Pernyataan ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Maarif (2010) bahwa paradigma manajemen bencana seharusnya diubah dan lebih menekankan pada beberapa upaya dalam pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan sebelum bencana. Disamping itu, penanganan bencana tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga keterlibatan peran aktif pemangku kepentingan lainnyaseperti masyarakat, dan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk merubah paradigma yang demikian tidaklah mudah tetapi perlu kita lakukan.Selain itu, kesiapan terhadap bencana tidak hanya dapat kita lakukan dengan pendekatan prediksi bencana saja. Pada kenyataannya, bencana yang terjadi tidak hanya bencana yang dapat diprediksi kedatangannya melalui ciri fisik yang terlihat, tetapi ada beberapa yang memiliki sifat yang tidak pasti dan sulit untuk diprediksi kedatangannya.

(36)

untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut perlu ditetapkan sebuah peraturan pemerintah tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI (Permen RI) No. 64 tahun 2010 tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Beradasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ada, setiap orang yang melakukan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan dampak penting wajib melakukan mitigasi.

Berikut bentuk kegiatan struktur/fisik untuk mitigasi terhadap jenis bencana yang dicantumkan dalam Pasal 15 Permen RI No 64 Tahun 2010:

1) Ayat (1): Mitigasi terhadap jenis bencana gempa bumi, yaitu: a. penggunaan konstruksi bangunan tahan gempa,

b. penyediaan tempat logistik,

c. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan, dan d. penyediaan prasarana dan sarana evakuasi.

2) Ayat (2): Mitigasi terhadap jenis bencana Tsunami, yaitu: a. Penyediaan sistem peringatan dini,

b. Penggunaan bangunan peredam Tsunami, c. Penyediaan fasilitas penyelamatan diri,

d. Penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana Tsunami, e. Penyediaan prasarana dan sarana kesehatan,

f. Vegetasi pantai,

g. Pengelolaan ekosistem pesisir.

Selain dengan upaya regulasi dari pemerintah yang berkaitan dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana (PRB), pemerintah juga bertanggung jawab untuk membekali masyarakatnya dengan pengetahuan yang lebih menyayangi lingkungan dan tanggap bencana. Dengan demikian masyarakat menjadi lebih tahu bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Selain itu, bagi masyarakat pemanfaat sumberdaya alam untuk mendukung aktivitas ekonomi ataupun pemanfaat dari pihak swasta untuk lebih bijaksana dalam memanfaatkan kesedian lingkungan untuk aktifitas ekonomi, juga lebih memperhatikan aspek lingkungan yang seimbang dan terjaga dengan baik. Selain melakukan tindakan preventif seperti itu, juga perlu dilakukan tindakan revitalisasi pasca bencanabaik dari struktur fisik (bangunan yang rusak, korban luka, dan bentuk materi fisik lainnya), sosial, psikologis, dan aspek ekonomi. Karena itu mitigasi bencana juga membutuhkan aspek kesiapsiagaan dari masyarakatnya.

(37)

tanah longsor, dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana.

Strategi Mitigasi Bencana

Untuk menyusun rencana atau mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian risiko. Mitigasi bisa dilakukan melalui penataan ruang, penataan bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, dan sebagainya. Berikut disajikan tabel yang memuat informasi tentang dimensi dan aspek kerentanan suatu wilayah serta strategi mitigasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang terdahulu.

Tabel 2 Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek kerentanan

Dimensi

Kerentanan Aspek Kerentanan Strategi Mitigasi Bencana

Dimensi ekologis

Degradasi lingkungan seiring meningkatnya aktivitas pngembangan dan pembangunan wilayah pesisir (WP) ke sektor pariwisata bahari di Gili

Indah (Amir 2012)

Pengembangan dan pembangunan wisata bahari yang memerhatikan aspek daya dukung lingkungan, serta mengoptimasikan pengelolaan dan pemanfaatan wisata bahari dengan konsep keterpaduan (darat dan laut) dan mitigasi.

Kerentanan alam dari aspek geologis dan geografis Pulau Weh (Purbani 2012)

•Penataan WP berbasis mitigasi (sesuai pasal 36

Bab X dalam UU No. 27 Tahun 2007)

•Sosialisasi bencana gempa dan Tsunami kepada

masyarakat dan kelembagaan

Wilayah pesisir juga rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana (Diposaptono 2005)

Strategi mitigasi dilakukan dengan strategi pengelolaan SDP dan pembangunan WP yang terpadu, menyeimbangkan kepentingan antara pemanfaatan dan pembangunan di wilayah pesisir laut, kegiatan konservasi, dan mitigasi bencana.

Dimensi sosial, ekonomi, dan

budaya

Kerentanan sosial masyarakat pesisir (60% penduduk Indonesia di WP 80%-nya adalah miskin) dengan kerentanan terhadap bencana sangat tinggi (Ruswandi 2009)

•Kebijakan strategi pembangunan yang lebih

akomodatif mitigasi bencana (quarter track strategy: pro growth, pro job, pro poor, pro mitigation) dengan dua landasan strategi pembangunan: berkelanjutan dan berperspektif mitigasi

•Arah kebijakan pembangunan WP dengan mitigasi:

secara fisik (membangun sarana), dan: secara non fisik (meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan untuk mencapai co-management)

Meningkatnya aktivitas penebangan pohon baik legal maupun illegal, hujan deras, pendangkalan sungai, pada sungai tidak terdapat pintu air di Kabupaten

JemberÆbencana banjir

•Implementasi Kepres No. 3 Tahun 2003 tentang

Organisasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

•Meningkatkan pemahaman dan kesadaran lebih

tinggi tentang pengurangan risiko bencana pada kel SSB

•Meningkatkan kerjasama Program Pengelolaan

(38)

dan rob (Anshori 2010) Pemerintah

Secara sosiologis, bencana mengganggu kehidupan masyarakat dan mata pencaharian atau bahkan mengubah modal sosial yang ada di masyarakat (Maarif 2010)

•Pemerintah: meletakkan dasar hokum yang

menjadi landasan bagi setiap upaya dalam penanggulangan bencana (penetapan UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana)

•Strategi penanggulangan bencana yang efektif

dilakukan dengan upaya preventif, bantuan terhadap korban becana, dan pemulihan pasca bencana, serta didukung dengan teknologi yang tepat yaitu: teknologi informasi dan komunikasi

Kelalaian masyarakat setempat dalam pengelolaan fungsi lahan

menyebabkan bencana longsor yang sering terjadi di Desa Kidangpanjung Kabupaten Bandung (Nasution 2005)

Edukasi masyarakat: melalui program kesiap siagaan bencana berbasis masyarakat sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pemeliharaan lingkungan, bahaya tanah longsor, dan memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana.

Dimensi kelembagaan dan tata laksana

koordinasi

Kelembagaan

penanggulangan bencana yang belum berjalan maksimal, hanya mengoptimalkan dari pemerintahan saja (Misron 2009)

Empat strategi yang diusulkan

•Upaya penyempurnaan dokumen Protap

Penanggulangan Bencana

•Pengembangan pengadaan pos anggaran

penanganan bencana mulai dari tahap mitigasi, tanggap darurat hingga pasca bencana

•Pengembangan keterlibatan masyarakat dalam

penanganan bencana di Kabupaten Lampung Barat

•Pengelolaan partisipasi pihak swasta dalam

penanganan bencana di Kabupaten Lampung Barat.

Tindakan penanganan bencana yang lambat menyebabkan pengiriman bantuan tidak efektif dan terbengkalainya korban bencana (Badri 2008)

Melibatkan tokoh masyarakat dalam penanganan bencana di lingkungannya dan menjadi fasilitator sosial dan kompak dengan kelompok, sehingga relatif lebih cepat.

Kerangka Pemikiran

Bencana alam di wilayah pesisir baik yang terjadi secara alami ataupun karena aktivitas manusia dikawasan tersebut berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat pesisir dalam menghadapi kemungkinan bahaya bencana terjadi. Kejadian bencana yang mungkin saja terjadi di suatu wilayah menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat yang menempati tempat tersebut. Bencana alam seperti gempa bumi, Tsunami, banjir rob, dan bencana pesisir lainnya dapat setiap saat mengintai dan masyarakat setempat dan merenggut korban jiwa, kekayaan, merusak komponen-komponen strategis bagi perekonomian masyarakat pesisir.

Gambar

Tabel 1  Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana 1815-2012
Gambar 1 Fase manajemen bencana
Tabel 2  Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek kerentanan
Gambar 2 Kerangka Pikir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan vitamin C dan kepadatan ikan dalam pakan buatan tidak memiliki interaksi yang berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap laju

Pada penelitian ini triangulasi yang dilakukan adalah menyimpulkan dari hasil wawancara masyarakat mengenai penggunaan THBO Desa Tumbang Rungan Kelurahan Pahandut

Dari hasil analisis ragam rerata bobot segar total tanaman baby wortel perlakuan P3 (Varietas kuroda, mulsa plastik hitam perak) mempunyai bobot segar total

Label adalah setiap keterangan mengenai barang yang dapat berupa gambar, tulisan atau kombinasi keduanya atau bentuk lain yang memuat informasi tentang barang dan keterangan

Prinsip kerja alat pendeteksi logam ini ialah pada saat konveyor yang berjalan mem- bawa atau melewatkan bahan makanan pada daerah kerja sensor, maka sensor akan

[r]

Dari pemodelan dengan menggunakan jaringan saraf tiruan yang telah dibuat, dapat dilakukan uji validasi hubungan antara nilai keandalan yang dilakukan secara perhitungan

22 تكلا اذى ىلع ءاملعلا ؿابقإ رثك دق و تيوط تىح صاخ عونب وبتك تُب نم با ويلع فوديزي منهأ وعّدي وأ هوكايح فأب هدعب ءاج نم عفتني لم و ولبق نم