KALIMANTAN TENGAH
MIRTA SARI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Habitat Tangkap dan Parameter Demografi Populasi Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
of Harvested Population of Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) in Central Kalimantan Province. Under Direction of YANTO SANTOSA and LILIK BUDI PRASETYO.
Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) is one of harvested turtle species in Indonesia, mainly for consumption purpose in oriental countries. In order to prevent over-exploitation and the declining of the population, harvesting has been limited by quota. However, there is still too few supporting data, that can be used as a basis to determine the quota. The research was aimed to identify characteristics of catchment habitat, and also the demography and morphometric parameters of A. cartilaginea in Central Kalimantan Province. The result showed that harvested population of A. cartilaginea was dominated by adult females within the range weight of 3 – 5 kilograms of body mass. Two statistical tests were applied to describe the characteristic of catchment habitat of A. cartileginea in Central Kalimantan. Chi-square test on the types of land cover suggested that A. cartileginea catchment habitat had a specific condition. Index Neu showed that the catchment habitat were swamp and river (w=10,17; w=6,28 respectively). Binary logistic regression was used to construct a model which explained the dominant variables influencing the number of A. cartileginea at a certain point of habitat. There were four biophysical variables that significantly drove the number of catchment of A. cartileginea, and all were negatively correlated with number of catchment.
Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah. Dibawah bimbingan YANTO SANTOSA and LILIK BUDI PRASETYO.
Saat ini ancaman yang mempengaruhi keberadaan labi-labi di alam adalah perdagangan secara lokal dan internasional. Kuota tangkap diberlakukan pada spesies ini untuk mengantisipasi terjadinya eksploitasi berlebihan dan menjamin perdagangan yang dilakukan tidak merusak populasi labi-labi di habitat alam. Kuota tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah sejak tahun 2007-2011 meningkat dari 1.000 ekor menjadi 1.500 ekor per tahun (BKSDA Kalteng 2012). Padahal, informasi dasar mengenai parameter demografi populasi dan biologi jenis ini belum diketahui. Penelitian yang menyajikan data mengenai habitat, populasi dan pemanenan jenis ini menjadi sangat penting dilakukan untuk dapat ditentukan upaya pengelolaan yang sesuai guna mengantisipasi terjadinya eksploitasi berlebihan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat tangkap yang berpengaruh penting terhadap keberadaan labi-labi panenan dan menentukan sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi panenan di Kalimantan Tengah; menduga ukuran populasi, nisbah kelamin, kelas umur dan angka kematian populasi sebagai bagian dari parameter demografi populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah; dan mengidentifikasi karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah.
Pengumpulan data karakteristik habitat tangkap dilakukan di 4 lokasi penangkapan labi-labi. Data parameter demografi diperoleh dari 11 pemancing di lokasi tangkap Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya dan 3 pengumpul di Kota Palangkaraya (1 pengumpul), dan Kabupaten Seruyan (2 pengumpul). Pengukuran parameter morfometri dilakukan terhadap 445 ekor labi-labi, terdiri dari 60 ekor hasil tangkapan dan 385 ekor labi-labi di pengumpul. Penelitian dilakukan selama bulan April s.d Mei 2012.
Habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari beberapa tipe yaitu sungai, danau, rawa, dan kanal. Berdasarkan pengukuran, diperkirakan panjang sungai yang menjadi habitat tangkap memiliki total panjang 574,28 km yang meliputi kelompok anak sungai Kahayan, anak sungai Katingan, anak sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan. Sungai yang menjadi target tempat memancing memiliki berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,5-7,5 meter, dasar sungai berlumpur hingga berpasir dan banyak dihuni hewan air (molusca, ikan, crustacea dll) serta permukaan air yang terdapat banyak tumbuhan air seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), bakung (Hanguana malayana) dan Hydrilla verticillata. Kawasan pinggir sungai dengan cekungan-cekungan yang dalam biasanya terdapat di bawah vegetasi pohon maupun jenis-jenis herba.
Populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah dilakukan pada kelas umur remaja, dewasa muda dan dewasa yang didominasi oleh kelas umur dewasa (97,98%) dan terbanyak adalah betina dewasa dengan seks rasio 1:1,47. adanya preferensi pada kelas umur dewasa dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang. Angka kematian pada populasi panenan di seluruh pemancing adalah sebesar 1,67% dari total populasi sebesar 60 ekor. Kematian yang terjadi disebabkan oleh luka akibat bekas pemancingan Kematian terjadi pada labi-labi dewasa dan tidak ada pada kelas umur tukik.
Pengukuran morfometri pada tingkat pemancing dan pengumpul menunjukkan bahwa labi-labi panenan di Kalimantan Tengah terbanyak pada bobot 3-5 kg yang termasuk dalam kelas umur dewasa. Keberhasilan reproduksi sangat menentukan perkembangan populasi. Reproduksi merupakan faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi maupun untuk meningkatkan jumlah satwaliar. Umur reproduksi optimal labi-labi diasumsikan berkisar pada bobot antara 5,1 kg – 15 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11,46% (n=445) labi-labi yang dipanen adalah berumur reproduksi optimal. Dengan demikian, jika labi-labi umur reproduksi optimal dieksploitasi untuk diperdagangkan secara terus-menerus dalam jumlah besar maka hal tersebut dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang. Upaya pemanfaatan sumberdaya labi-labi yang berkelanjutan memerlukan dukungan dan kerjasama yang baik antara komponen yang terlibat langsung di lapangan yaitu pemanfaatan (pemancing; pengumpul), perijinan dan pengawasan.
Kata kunci: Amyda cartilaginea, karakteristik habitat, parameter demografi, morfometri.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar
KALIMANTAN TENGAH
MIRTA SARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas barokah, rahmah dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Karakteristik Habitat Tangkap dan Parameter Demografi Populasi Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah. Penulisan tesis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas curahan ilmu, pemikiran, arahan, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan;
2. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku penguji luar komisi, untuk masukan dan saran perbaikan yang diberikan dalam upaya penyempurnaan penulisan tesis ini;
3. Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan beasiswa S2;
4. Bapak Ir. Mega Hariyanto selaku Kepala BKSDA Kalimantan Tengah atas rekomendasi dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti beasiswa program pendidikan S2 Kementerian Kehutanan;
5. Bapak Ir. Kholid Indarto dan Ir. Achmad Zaini, M.P selaku Kepala dan KSBTU BKSDA Kalimantan Tengah yang telah memberikan ijin penelitian, dukungan berupa bantuan fasilitas dan tenaga selama pelaksanaan penelitian; 6. Bapak Ir. Maraden Purba dan Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan Labi-labi
Konsumsi Indonesia (APEKLI) yang telah memberikan informasi dan bantuan dana penelitian;
7. Rekan-rekan tim survey labi-labi BKSDA Kalimantan Tengah: Amrullah (mahasiswa Universitas Palangkaraya), Pak Marten, Elly, Mas Ian, Sudir, Pak Tatang, Dedi, Ipan, Pak Arsud, Pak Nandang, Bu Linda, Horas dan Didik (DKP Banjarbaru) yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan;
11. Emak tersayang Suparni dan Bapak Sugiman, Mbak Dian, Iis, Icha dan keluarga di Magelang Bapak R. Suprodjo Bintoro, Mbak Wulan dan Tia atas semangat, dukungan dan doa yang diberikan.
Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan di tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang memberi balasan kebaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi.
Bogor, Oktober 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjungkarang, Bandar Lampung pada tanggal 10 Maret 1981 dari ayah Sugiman dan ibu Suparni. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung (Unila) melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis bergabung sebagai Tim Peneliti Bibit GNRHL Provinsi Lampung. Tahun 2005-2006 penulis mengikuti program magang Departemen Kehutanan di Balai Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat dengan konsentrasi magang Perencanaan Pengembangan Ekowisata di Batu Barat. Tahun 2005 sampai dengan 2010 penulis bekerja pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Tengah, sebagai tenaga fungsional umum Penelaah Bahan Perencanaan. Tahun 2008 penulis tergabung dalam tim ekologi dan konservasi untuk HCV 1-4 pada studi kajian identifikasi HCVF/A (High Conservation Value Forest/Area–Kawasan/Hutan Bernilai Konservasi Tinggi) Secara Lansekap di Kalimantan Tengah bersama WWF-Kalteng. Tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan karyasiswa dari Kementerian Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) pada Magister Profesi IPB, Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati.
[ii]
Panenan ... 36
4.4.3 Analisis Penutupan Lahan ... 37
4.4.4 Analisis Seleksi Habitat ... 39
4.4.5 Analisis Parameter Demografi Populasi Panenan ... 39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
5.1.3 Peubah Determinan Keberadaan Labi-labi Panenan ... 49
5.1.4 Penggunaan Habitat oleh Labi-labi Panenan Menurut Tipe Penutupan Lahan ... 51
5.2 Parameter Demografi Populasi Panenan ... 54
Halaman
1 Ukuran morfometri labi-labi A.cartilaginea yang pernah diukur di
beberapa daerah ... 7
2 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK ... 11
3 Karakteristik fisik dan kimia habitat labi-labi di perairan Jambi (Elviana 2000) ... 15
4 Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah ... 24
5 Nama-nama sungai di Kalimantan Tengah menurut panjang yang dapat dilayari dan rata-rata kedalamnya ... 26
6 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK ... 35
7 Faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi di lokasi tangkap ... 42
8 Estimasi panjang wilayah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah yang diukur dari peta ... 44
9 Suhu udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 46
10 Suhu permukaan perairan minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 47
11 Kelembaban udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 48
12 Taraf signifikansi dan koefisien regresi peubah determinan ... 50
13 Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan ... 52
14 Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi tipe tutupan lahan oleh labi-labi ... 52
15 Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul ... 54
16 Jumlah tangkapan labi-labi menggunakan pancing di lokasi pengamatan .. 55
17 Jumlah labi-labi panenan pada setiap kelas umur ... 58
18 Hasil pengukuran morfometri labi-labi di Kalimantan Tengah ... 61
19 Hasil analisis morfometri pada tipe habitat danau dan sungai ... 62
20 Harga labi-labi di tingkat pemancing dan pengumpul ... 68
[iv]
Halaman
1 Peta lokasi penelitian ... 23
2 Tahapan pengolahan citra ... 38
3 Sebaran wilayah tangkapan labi-labi di Kalimantan Tengah ... 43
4 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas ketinggian di
Kecamatan Bukit Batu ... 45
5 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu udara di
Kecamatan Bukit Batu ... 47
6 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu perairan di
Kecamatan Bukit Batu ... 48
7 Sebaran jumlah labi-labi tangkapan menurut kelas kelembaban di
Kecamatan Bukit Batu ... 49
8 Tutupan lahan di sekitar lokasi penangkapan labi-labi di Kecamatan
Bukit Batu ... 53
9 (a) Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul
berdasarkan kelas umur ... 57
(b) Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing berdasarkan kelas umur ... 57
10 (a) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat
pemancing ... 61
(b) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat pengumpul ... 61
11 Alat tangkap yang digunakan pemancing ... 64
12 Umpan yang digunakan untuk memancing labi-labi ... 65
13 Bak penampungan dan kotak penyimpanan labi-labi di penampung ... 66
14 Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah ... 68
15 Volume labi-labi yang dikirim dari Kalimantan Tengah pada bulan
Maret sampai dengan Nopember 2011 ... 68
[vi]
Halaman
1 Data peubah habitat tangkap labi-labi sebagai penyusun model
kesesuaian habitat labi-labi tangkapan di Kalimantan Tengah ... 85
2 Hasil uji normalitas data peubah karakteristik habitat tangkap labi-labi .... 88
3 Hasil uji multikolinearitas data peubah karakteristik habitat tangkap
labi-labi ... 90
4 Hasil analisis regresi logistik biner data peubah karakteristik habitat
tangkap labi-labi ... 93
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini ancaman serius yang mempengaruhi keberadaan labi-labi (Amyda
cartilaginea) di alam adalah perdagangan secara lokal dan internasional.
Individu-individu yang diperdagangkan selama ini masih dalam taraf pengambilan
langsung dari alam (Shepherd 2000). Sistem pengambilan seperti ini bila
berlangsung terus-menerus dan besar-besaran dikhawatirkan dapat
membahayakan keberadaan spesies tersebut di alam, bahkan mungkin dapat
mempercepat laju kepunahannya. Perubahan lahan basah (rawa, danau, sungai)
yang menjadi habitat alami spesies ini juga dalam jangka panjang dapat
mengurangi populasi spesies ini (Marchand & Litvaitis 2004).
Mardiastuti & Soehartono (2003) mengatakan bahwa A. cartilaginea
merupakan reptil yang banyak di ekspor dalam kondisi hidup untuk dikonsumsi.
Negara tujuan ekspor labi-labi adalah China, Taiwan, Singapura, dan Malaysia
(Lau & Haitao 2000; Shepherd 2000; Mardiastuti & Soehartono 2003). Tingginya
permintaan daging labi-labi dunia ternyata tidak hanya disebabkan oleh rasa
dagingnya yang enak, tetapi juga karena kandungan zat gizinya yang tinggi (Amri
& Khairuman 2002). Daging labi-labi merupakan sumber protein hewani, sumber
energi dan sumber mineral kalsium, fosfor, zat besi, dan seng. Di China, daging
labi-labi dimanfaatkan untuk obat luka, keputihan, sesak napas dan penyembuhan
setelah melahirkan. Di Jepang, darah labi-labi digunakan untuk obat TBC dan
radang selaput dada, di Hongkong empedunya untuk obat kulit dan keracunan, di
Singapura abu kepala dan batok labi-labi diseduh dengan air kemudian diminum
untuk mengobati sakit lambung dan ambeien serta manfaat lainnya adalah
mencegah pembentukan batu ginjal, membersihkan hati dan ginjal, bahkan ada
yang meyakini dapat menangkal serangan HIV dan menekan pertumbuhan sel
penurunan populasi alami di beberapa negara termasuk Indonesia (CITES 2004).
Guna menjamin bahwa perdagangan internasional yang dilakukan tidak akan
merusak populasi labi-labi di habitat alam, maka CITES menggolongkannya
dalam satwa Appendix II pada tahun 2005. Spesies yang masuk dalam Appendix
II CITES diatur pemanfaatannya dengan prinsip non detrimental findings yang
sesuai dengan isi Article IV CITES. Prinsip non detrimental findings salah
satunya diterjemahkan dalam bentuk sistem kuota tangkap dan kuota ekspor serta
pengaturan peredaran, perlindungan, dan konservasi jenis tersebut. Pemanfaatan
yang lestari melalui penentuan kuota tangkap memerlukan data demografi,
ekologi dan biologi untuk memastikan pemanenan jangka panjang dapat
dilakukan dan tidak menyebabkan kepunahan terhadap satwaliar.
Kalimantan Tengah sebagai salah satu daerah pemasok labi-labi untuk pasar
lokal dan ekspor dipenuhi dengan melakukan penangkapan dari alam. Kuota
tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah sejak tahun 2007-2011 meningkat dari
1.000 ekor menjadi 1.500 ekor per tahun (BKSDA Kalteng 2012). Padahal,
informasi dasar mengenai populasi dan biologi jenis ini belum diketahui. Jumlah
individu yang dipanen setiap tahun ini menimbulkan pertanyaan akan
keberlanjutan jenis ini di alam. Penelitian yang menyajikan data mengenai habitat,
populasi dan pemanenan jenis ini menjadi sangat penting dilakukan untuk dapat
ditentukan upaya pengelolaan yang sesuai guna mengantisipasi terjadinya
eksploitasi berlebihan.
1.2 Perumusan Masalah
Salah satu strategi dalam pengelolaan labi-labi secara lestari adalah perlu
dilakukannya pemantauan terhadap parameter demografi populasi dan
karakteristik habitatnya. Parameter demografi populasi yaitu ukuran populasi,
struktur umur, nisbah kelamin dan kematian merupakan komponen penting dalam
mempelajari perkembangan populasi satwaliar. Di samping sebagai suatu
indikator kuantitatif dari pertumbuhan populasi (Dajoz 1971; Barbault 1981;
Gaillard 1988), dari segi teknis, pengetahuan tentang hal ini merupakan data-data
dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan, pengambilan
populasi (status kelangkaan, optimum viable population dll) (CEMAGREF 1984;
Santosa 1990).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menggali data dan
informasi terkait demografi populasi, habitat dan pemanenan (Oktaviani &
Samedi 2008; Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Lilly 2010 dan
Mumpuni et al. 2011), sementara penelitian tentang hal ini di Kalimantan Tengah
belum pernah dilakukan. Selama ini, kuota pemanenan tahunan di Kalimantan
Tengah ditetapkan berdasarkan kuota tahun sebelumnya, belum seluruhnya
berdasarkan sebaran habitat dan parameter demografi populasi spesies tersebut.
Hal ini tidak dapat diharapkan untuk memastikan pemanenan yang lestari.
Penelitian populasi panenan labi-labi selama ini yang telah dilakukan
kebanyakan pada tingkat pengumpul, sementara kekurangan dari metode ini
adalah tidak diketahui komposisi umur populasi yang sebenarnya karena biasanya
para pengumpul/pedagang hanya mengumpulkan kura-kura pada tingkat umur
yang diminta pasar dan diabaikannya konsumsi subsisten masyarakat lokal.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
penelitian jangka pendek mengumpulkan data populasi panenan tidak hanya di
tingkat pengumpul tapi juga di tingkat pemancing pada lokasi tangkap terpilih,
monitoring jumlah labi-labi panenan yang sampai pada tingkat pengumpul dan
mengukur morfometrinya.
Karakteristik habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah menjadi
bagian dari penelitian ini untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi
keberadaan labi-labi di suatu tempat dan juga untuk mengetahui sebaran habitat
labi-labi di Kalimantan Tengah. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui
karakteristik habitat tangkap labi-labi didapatkan dengan pengukuran sejumlah
peubah biofisik di setiap lokasi pengamatan, sebaran habitat labi-labi dilakukan
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian karakteristik habitat tangkap dan parameter demografi populasi
panenan labi-labi (A. cartilaginea Boddaert, 1770) di Kalimantan Tengah ini
adalah untuk :
1) Mengidentifikasi karakteristik habitat tangkap yang berpengaruh penting
terhadap keberadaan labi-labi panenan dan menentukan sebaran penggunaan
habitat oleh labi-labi panenan di Kalimantan Tengah;
2) Menduga ukuran populasi, nisbah kelamin, kelas umur dan angka kematian
populasi sebagai bagian dari parameter demografi populasi panenan
labi-labi di Kalimantan Tengah; dan
3) Menganalisis karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelestarian
labi-labi berupa :
1) Tersedianya data dan informasi tentang kondisi habitat dan sebaran labi-labi
di Kalimantan Tengah
2) Tersedianya informasi tentang karakteristik populasi panenan labi-labi di
Kalimantan Tengah yang pada beberapa hal memiliki kesamaan dengan
lokasi lain, sehingga ketika karakteristik panenan tersebut dipandang
mengancam kelestarian populasi labi-labi pihak management authority dapat
merumuskan perbaikan regulasi pemanenan labi-labi dari alam.
3) Tersedianya informasi tentang kegiatan pemanfaatan labi-labi di Kalimantan
Tengah sehingga lebih lanjut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi pemanfaatan labi-labi di
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Labi-labi
Klasifikasi Amyda cartilaginea menurut Ernst dan Barbour (1989) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Testudines
Sub-Ordo : Criptodira
Famili : Trionychidae
Genus : Amyda
Spesies : Amyda cartilaginea (Boddaert 1770)
Kasmirudin (1998) menyatakan bahwa terdapat perkembangan takson A.
cartilaginea dari masing-masing ahli. Nama spesimen tipe yang pertama diberi
nama Testudo cartilaginea oleh Boddaert pada tahun 1770 dengan type locality di
Jawa (Bour et al. 1995). Kemudian Geoffroy Saint-Hilaire (1809) memberi nama
Trionyx javanicus. Boulenger (1889) memberi nama Trionyx cartilagineus di
bawah genus Trionyx. Siebenrock tahun 1909 dan Anandale tahun 1912
menyetujui nama Trionyxcartilagineus. Hasil penelitian morfologi karapas family
Trionychidae yang dilakukan Meylan (1987) menyatakan bahwa genus Trionyx
yang menyebar di Asia Tenggara sebagai genus Amyda Boddaert dan yang
menyebar di Rusia, Cina sampai Jepang adalah Plediscus sinensis Wiegmann,
sedangkan genus Trionyx hanya menyebar di perairan tawar Afrika yaitu di
Sungai Nil.
Dalam penelitiannya, Kusdinar (1995) menggunakan nama Trionyx
cartilaginous Boddaert untuk kura-kura belawa, sedangkan Kasmirudin (1998)
dalam penelitiannya di Bengkulu dan Palembang menggunakan nama A.
cartilaginea. Mashar (2009) dalam penelitian karakteristik morfologi kura-kura
termasuk pada kelompok kura-kura berkarapas lunak. Spesies A. cartilaginea
yang menurut Pritchard (1979) adalah Trionyx cartilaginous adalah anggota
family Trionychidae yang dikenal sebagai kura-kura berkarapas lunak Asiatic Soft
Shelled Turtles, dengan ciri-ciri umum adalah karapas dan plastron tidak punya
lempeng epidermis, hanya berupa kulit lunak, tubuh pipih, ekor pendek dan
tungkai dengan jari-jari yang nampak jelas dengan 3 cakar.
Nama daerah untuk labi-labi cukup banyak, misalnya masyarakat pasundan
(Jawa Barat) menyebut kuya, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat)
menamakan labi, dan masyarakat yang bermukim di Kalimantan menyebutnya
bidawang. Di dunia Internasional labi-labi dikenal sebagai soft-shelled turtles. Hal
tersebut dikarenakan karapas atau cangkangnya lebih lunak jika dibandingkan
dengan karapas penyu (marine turtles) yang 100% hidup di air asin (Kairuman &
Amri 2002).
Bentuk tubuh labi-labi sangat khas berbentuk theca yaitu oval agak lonjong,
pipih, dan tanpa sisik. Di sisi belakang dari karapas terdapat pelebaran pipih yang
bentuknya membulat mengikuti bentuk karapas bagian belakang, dengan tekstur
seperti tulang rawan (cartilage). Hidungnya memanjang membentuk tabung
seperti belalai. Sepasang tungkai kaki di depannya masing-masing berkuku tiga
buah dan berselaput renang, demikian pula sepasang tungkai kaki belakangnya.
Dengan dua pasang tungkai tersebut, labi-labi dapat berenang dengan cepat karena
selaput renangnya cukup besar dan bisa berlari di daratan. Labi-labi tidak bergigi,
tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Matanya berukuran relatif kecil dan
lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya
mempunyai bibir yang relatif tebal. Hewan ini termasuk jenis yang mempunyai
leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit pertengahan dari
karapasnya (Kairuman & Amri 2002). Leher labi-labi dapat dipanjang-pendekkan,
jika ingin melindungi dirinya maka akan memendekkan lehernya dan
memasukkan kepala serta tungkai-tungkainya ke dalam theca (Iskandar 2000).
Labi-labi memiliki karapas yang ditutupi oleh kulit, dan sebagian dibangun
dari tulang rawan. Warna karapas hitam sampai abu-abu, pada perisai punggung
terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis putus-putus dari depan ke belakang.
6-10 pada bagian belakang perisainya, terutama pada individu muda. Kepala dan
kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai
bintil-bintil berwarna kuning (Iskandar 2000). Di Kalimantan Timur, ditemukan
labi-labi berwarna kuning memiliki tubuh yang lebih tipis/ramping dengan bagian
supracaudal dan marginal karapas lebar dan tipis. Labi-labi berwarna kuning
umumnya diperoleh di sungai besar berarus kuat (Kusrini et al. 2009). Bagian
plastron (ventral) berwarna putih pucat pada A. cartilaginea dewasa dan
kemerahan pada individu muda (Elviana 2000). Plastron berwarna putih susu atau
kadang-kadang sampai kuning tua, tergantung dari habitat dan lingkungannya
(Kairuman & Amri 2002). Perbedaan ciri individu muda dan individu dewasa A.
cartilaginea adalah guratan-guratan dan bintik-bintik hitam atau kuning pada
karapas. Tanda-tanda khas dipermukaan karapas mulai berkurang, kecuali
bintik-bintik kuning pada kepala tetap ada sampai mencapai ukuran maksimal. Kaki
menyerupai dayung dengan 3 jari bercakar (Elviana 2000).
Labi-labi dapat mencapai sekitar 100 cm, pada umumnya hanya sekitar 60
cm saja. Ukuran morfometri labi-labi yang pernah diukur di Belawa, Bengkulu,
dan Palembang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Ukuran Morfometri Labi-labi A. cartilaginea yang pernah diukur di beberapa daerah
Parameter Jantan Betina
Kisaran Rataan Kisaran Rataan
2.2 Perilaku
Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam
tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya,
melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan
bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin,
reproduksi dan lainnya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun
dari dalam (Tanudimadja 1978 dalam Alikodra 2002)
Labi-labi bisa hidup pada iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin,
semi, hingga musim gugur. Ia termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu
tubuhnya tidak tetap tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di
sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas hewan
tersebut. Pada suhu yang tinggi, labi-labi bersifat lebih aktif dan pada suhu rendah
bersifat kurang aktif.
Dalam keadaan umum, labi-labi selalu bersembunyi di dalam lumpur atau di
dalam pasir di dasar kolam atau sungai, sehingga sulit untuk ditemukan. Labi-labi
hanya kadang-kadang memunculkan hidungnya ke permukaan air (Kusrini et al.
2009). Makanan utama labi-labi adalah ikan, tetapi tidak menolak sisa makanan
manusia (Iskandar 2000). Labi-labi seringkali berada di dalam lubang di pinggir
sungai yang dipakai untuk beristirahat, kawin dan berkumpul dengan labi-labi
lainnya. Lubang dapat dicari berdasarkan tanda-tanda cakaran di sekitar pinggir
sungai. Lubang ini berukuran cukup besar yang sebagian besar berair namun
sebagian lagi kering. Lubang ini biasanya terlihat saat surut yang jika digali bisa
diperoleh sejumlah labi-labi. Jumlah labi-labi yang bisa ditemukan di lubang ini
berkisar 7-12 ekor. Pada saat bertelur, labi-labi akan meletakkan telur-telurnya di
sarang yang bisa berupa banir pohon yang ditutupi daun-daunan dan kayu lapuk di
lantai hutan atau dalam gundukan lumpur, jumlah telur mencapai 20-50 butir
(Kusrini et al. 2009).
Kebiasaan berjemur labi-labi merupakan salah satu kebutuhan hidup.
terjemur kering, sehingga lumut, jamur, parasit yang menempel pada permukaan
badannya dapat kering dan terkelupas. Bila tidak berjemur, maka labi-labi akan
mudah terserang penyakit atau mendapat gangguan fisiologis.
2.3 Demografi Populasi
2.3.1 Populasi
Pengelola harus mempunyai pengetahuan mengenai dinamika populasi dan
interaksi dengan habitatnya agar pengelolaan populasi satwaliar dapat berjalan
secara efektif. Dinamika populasi yang tidak beraturan menurut skala waktunya
(irregular) disebut fluktuasi, sedangkan jika beraturan dan tetap skala waktunya
(reguler) disebut siklik (Alikodra 2002).
Populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah sehimpunan individu atau
kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies
(atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis
yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau
tata ruang tertentu. Sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan
(densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran
(distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran
(dispersal). Populasi juga diartikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari
individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama
dengan tetuanya, bisa menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung
spesies dan kondisi daya dukung habitatnya (Alikodra 2002).
Sifat populasi satwaliar menurut Odum (1994) adalah kerapatan, natalitas
(laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik,
dispersi dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. Sifat genetik populasi
berkaitan langsung dengan ekologinya seperti adaptif, sifat keserasian reproduktif
dan ketahanan. Sifat populasi di alam sangat sulit untuk diukur meskipun sudah
ada perbaikan-perbaikan dan perkembangan dalam metodenya. Untungnya,
seringkali tidak perlu mengukur semua sifat populasi tersebut karena kadang sifat
Siklus hidup labi-labi hampir sama dengan reptil lainnya, yaitu dari telur
menetas menjadi larva, kemudian berubah menjadi tukik dan selanjutnya menjadi
labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan perkawinan serta menetaskan
telur untuk melanjutkan keturunannya (Kairuman & Amri 2002). Musim bertelur
labi-labi pada bulan September-Januari dengan puncaknya pada bulan
November-Desember. Labi-labi bertelur di darat pada saat hari sudah mulai gelap dan
suasana tenang (Kusdinar 1995). Pinggir sungai yang landai sangat menunjang
untuk mencari tempat bertelur karena labi-labi bertelur di pinggiran sungai yang
landai (Nutaphand 1979; Elviana 2000)
Labi-labi bernapas dengan paru-paru, demikian juga dengan anak-anaknya
yang baru menetas. Sepanjang hidupnya, labi-labi tidak pernah mengalami
perubahan alat pernapasan. Jika berada di dalam air sekali-kali kepala labi-labi
akan muncul ke permukaan air untuk menghirup oksigen dari udara bebas. Karena
bernapas dengan paru-paru, peredaran darahnya menyerupai peredaran darah
manusia. Hanya, sekat antar kedua belahan jantungnya belum sempurna, sehingga
darah bersih dan darah kotor masih dapat bercampur di dalam jantung.
2.3.2 Kerapatan Populasi
Indriyanto (2010) menyatakan kerapatan populasi bervariasi menurut waktu
dan tempat. Dalam pengkajian suatu kondisi populasi, kerapatan merupakan
parameter utama yang harus diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu
hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem.
Kerapatan populasi juga sering digunakan untuk mengetahui perubahan populasi
pada saat tertentu. Perubahan tersebut adalah berkurang atau bertambahnya
individu dalam satu unit luas atau volume.
Kerapatan menjadi ciri yang pertama mendapatkan perhatian di dalam
pengkajian populasi. Pengaruh populasi dalam ekosistem tidak hanya bergantung
pada jenis, namun juga pada jumlah individunya atau kerapatan populasinya
(Odum 1994). Perhitungan secara aktual terhadap kerapatan seringkali sangat sulit
untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Odum (1994)
mengemukakan bahwa kerapatan populasi bisa dihitung dengan beberapa metode,
tampak atau berkelompok); (2) Pengambilan contoh secara kuadrat (perhitungan
dan penimbangan organisme dalam petak contoh atau transek yang cukup besar
ukuran dan jumlahnya; (3) Menandai dan menangkap kembali (sampel ditangkap,
ditandai dan dilepaskan kembali; (4) Removal sampling (sejumlah organisme
disingkirkan dari daerah itu; dan (5) Tanpa petak contoh (untuk organisme yang
diam seperti pohon).
2.3.3 Struktur Umur
Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas
umur dari suatu populasi, perbandingan tersebut dapat juga dibedakan menurut
jenis kelaminnya. Struktur umur dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan
perkembangbiakan satwaliar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai
prospek kelstarian satwaliar (Alikodra 2002).
Kajian mengenai dinamika populasi sangat bergantung pada kemampuan
untuk mengenali umur individu dalam populasi tersebut (Caughley 1977).
Namun, menentukan umur satwaliar di lapangan adalah suatu hal yang sangat
sulit untuk dilakukan sehingga perlu dilakukan suatu pendekatan yang lebih
sederhana untuk pendugaan umur (Alikodra 2002).
Penentuan struktur umur labi-labi didasarkan pada Panjang Lengkung
Karapas (PLK), hal ini mengacu pada Alviola et al. (2003) bahwa panjang
karapas pada kura-kura (penyu) merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan
dibandingkan dengan lebar karapas. Pembagian kelas umur mengacu pada Kusrini
et al. (2007), dimana kelas umur labi-labi dibagi kedalam 4 (empat) kelas umur
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK
Kelas Umur PLK (cm) Struktur Umur
I ≤ 5,9 Tukik
II 6,0 – 19,9 Remaja
III 20 – 24,9 Dewasa Muda
2.3.4 Nisbah kelamin
Indriyanto (2010) menyatakan bahwa selain distribusi individu menurut
kelas umur, ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin,
yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi. Keseimbangan
jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlanjutan
populasi tersebut. Ukuran populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi
jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi
ukurannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka
kemungkinan terjadinya penurunan populasi akan lebih besar.
Identifikasi jenis kelamin pada labi baru dapat dilakukan terhadap
labi-labi dewasa dengan ukuran PLK lebih dari 25 cm (Oktaviani et al. 2008).
Labi-labi jantan memiliki ekor berbentuk memanjang sehingga ujungnya banyak
terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek
dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Jensen & Das 2008; Kusrini et
al. 2009)
2.4 Habitat dan Penyebaran
Bailey (1984) mengatakan bahwa habitat yang sesuai merupakan habitat
yang mampu menyediakan semua kelengkapan habitat terdiri dari berbagai
macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang
diperlukan oleh spesies satwaliar untuk bertahan hidup dan melangsungkan
reproduksinya secara berhasil. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari
komponen fisik dan komponen biotik. Sedangkan komponen biotik terdiri atas
vegetasi, mikrofauna, makrofauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup
satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar
tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi
lainnya (Alikodra 2002). Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan
yang mendasar seperti pelindung (cover/shelter), pakan, air, tempat
berkembangbiak. Cover memberikan perlindungan pada satwaliar dari cuaca yang
diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora
(pemakan buah), karnivora, omnivora, dan sebagainya.
2.4.1 Faktor Fisik
Faktor fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi labi-labi (A.
cartilaginea) antara lain :
a. Suhu
Alikodra (2002) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang penting
bagi kehidupan biosfer, karena pengaruhnya besar terhadap bentuk kehidupan.
Reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme dapat dipengaruhi oleh
suhu. Secara umum, suhu berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh
ataupun bagian-bagiannya. Satwaliar yang hidup di dalam air mempunyai
toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwaliar yang
hidup di darat. Berarti suhu air pada wilayah aliran sungai yang dipengaruhi oleh
aktivitas industri akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan perairan. Sesuai dengan arah aliran air, maka pengaruh kenaikan suhu
air ini sangat nyata pada wilayah aliran di bagian bawahnya.
Kairuman & Amri (2002) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor
penting dalam kehidupan labi-labi karena dapat mempengaruhi metabolisme. Jika
suhu air rendah, derajat metabolisme akan rendah, begitu pula sebaliknya. Derajat
metabolisme tersebut sangat berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen dan akan
sebanding dengan kenaikan suhu air. Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat
menyebabkan terjadinya stres pada labi-labi. Alikodra (2002) menyatakan bahwa
organisme yang mengalami stres akan menyebabkan terganggunya sistem
reproduksi mereka.
Air terdiri atas tiga lapis, yaitu lapisan atas yang disebut efilimnion, lapisan
tengah (termoklin), lapisan bawah yang disebut hipolimnion. Suhu air pada
lapisan efilimnion biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan hipolimnion.
Hal ini disebabkan karena lapisan efilimnion langsung terkena sinar matahari.
Sementara itu, lapisan termoklin biasanya akan mengalami penurunan suhu yang
sangat cepat. Suhu yang paling sesuai untuk kehidupan labi-labi adalah 22-320 C
b. Air
Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim
lokal. Iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun,
tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya dalam
beberapa bulan saja. Satwaliar memerlukan air untuk beberapa proses yaitu
pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkat bahan-bahan sisa dan untuk
pendinginan dalam proses evaporasi. Satwaliar memperoleh air dari berbagai
sumber seperti air bebas yang tersedia di danau, kolam, sungai, bagian vegetasi
yang mengandung air, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme
lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh (Alikodra 2002).
c. Tipe substrat dasar perairan
Tipe perairan yang sangat disukai A. cartilaginea adalah perairan tenang,
dengan dasar perairan berlumpur (Rooij 1970; Nutaphand 1979; Ernst & Barbour,
1989). Kondisi seperti ini terdapat di daerah hilir sungai (Bayly & Williams
1981). Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi
sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur
sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya
(tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour
1989).
d. Kecerahan
Kecerahan merupakan suatu ukuran biasan cahaya dalam perairan, yang
dapat disebabkan oleh partikel koloid dan tersuspensi. Partikel-partikel ini bisa
berasal dari bahan organik dan bukan bahan organik, seperti lumpur atau sampah.
Kecerahan tidak langsung membahayakan kebidupan labi-labi, tetapi dapat
menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air (Kairuman & Amri 2002).
e. Kecepatan arus
Labi-labi termasuk ke dalam binatang air karena hidupnya berada di dalam
dan tidak bisa jauh dari perairan. Pergerakan arus air dapat menentukan
penyebaran kehidupan organisme perairan. Organisme yang hidup di sungai yang
arusnya deras harus mampu menahan tubuhnya agar tetap stabil, atau jika tidak
kecepatan permukaan antara 10 s/d 20 cm per detik memiliki dasar perairan
berlumpur (Suwigno 1996) dan ini sesuai sebagai habitat labi-labi.
f. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan sebutan pH (puissance of
the Hidrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan
suasana asam atau basa suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7
merupakan pH netral atau normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh
konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari,
fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi karbondioksida dan akan
menghasilkan oksigen di dalam air, sehingga menyebabkan pH air meningkat.
Pada malam hari, biota air tadi mengkonsumsi oksigen dalam proses respirasi dan
akan menghasilkan karbondioksida, sehingga pH air akan menurun. Nilai pH air
yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7-8 (Kairuman & Amri 2002).
2.4.2 Faktor Biotik
Secara biologis, labi-labi pada umumnya menyenangi perairan yang kaya
akan hewan air seperti ikan, molusca, crustacea, dan lain-lain, serta permukaan
airnya terdapat tumbuhan air seperti eceng gondok, salvinia, semanggi, teratai dan
lainnya (Nutaphand 1979). Ketersediaan berbagai sumberdaya ini sebagai potensi
jenis pakan bagi labi-labi. Jenis pakan labi-labi sangat bervariasi, Jensen dan Das
(2005) menemukan bahwa di dalam usus besar labi-labi terdapat materi tumbuhan
dan vertebrata, ini mengindikasikan bahwa labi-labi merupakan hewan omnivora.
Elviana (2000) pernah melakukan penelitian karakteristik habitat labi-labi di
perairan Jambi, datanya dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia habitat labi-labi di perairan Jambi (Elviana 2000)
No. Karakter Batang
Tabel 3 Lanjutan
No. Karakter Batang
Pangian
Batang Langsip
Batang Bulian
6 Kecepatan arus permukaan
(cm/det)
15,4 11,6 11,1
7 Debit air (m/det) 1,62 1,51 1,71
8 Kecerahan air (cm) 85 62 80
9 Substrat dasar Berlumpur Berlumpur Berlumpur
10 Pinggir sungai Landai Landai Landai
2.4.3 Penyebaran
A. cartilaginea merupakan jenis yang menyebar luas di Asia Tenggara. Di
Indonesia, jenis ini dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok.
Penyebaran terkini diketahui terdapat di Sulawesi (Auliya 2007; Koch et al.
2008). Umum dijumpai di daerah yang tenang, berarus lambat, keruh dan
mempunyai lapisan lumpur tebal (Iskandar 2000). Labi-labi banyak ditemukan di
kolam yang berhubungan dengan sungai atau danau. Di Kalimantan Timur,
labi-labi juga ditemukan di sungai yang terpengaruh pasang surut air laut (Kusrini et
al.2009). Pada beberapa tempat di Cirebon, dijumpai labi-labi di kolam alami
dalam jumlah besar dan dianggap keramat. Nuitja et al. (1994) melaporkan bahwa
habitat A. cartilaginea dan Dogania subplana sulit dibedakan secara detail.
Namun demikian, A. cartilaginea lebih sering ditemukan di daerah hilir sungai
sedangkan Doganiasubplana lebih ke hulu sungai. Farajallah (1995) menyatakan
bahwa A. cartilaginea tidak pernah ditemukan pada sungai yang pasirnya
ditambang atau berdasar batu-batu kecil sampai tanggung.
2.4.4 Seleksi Habitat
Seleksi didefinisikan sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih
suatu sumberdaya atau habitat (Johnson 1980). Hadirnya populasi atau individu
tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun
habitat. Penggunaan habitat atau (habitat use) merupakan penggunaan dari salah
satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (habitat selection)
merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan.
jangkauan geografis, daerah jelajah (home range) individu dalam jarak geografis,
penggunaan komponen dalam home range dan representasi dari bagian komponen
home range yang secara aktual digunakan oleh individu.
Bailey (1984) menyatakan bahwa seleksi habitat merupakan spesialisasi
bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat
tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan
sumberdaya yang tersedia. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat
merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara
mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air,
reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Faktor yang
mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi,
toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak
menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh
kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa
bagian secara selektif. Beberapa spesies satwaliar menggunkaan habitat secara
selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (misalnya: predasi dan
kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (misalnya: ketersediaan
mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu
ketersediaan pakan, menghindari pesaing, dan menghindari predasi (Moris 1987;
Leksono 2007).
McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah
memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan
untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumberdaya dengan spesies lain. Jadi,
tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik telah
menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk
kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.
Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan
sumberdaya makanan dan cover yang luas, spesies generalis cenderung mudah
beradaptasi dan terdapat dalam berbagai macam kondisi lingkungan.
Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan
hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumberdaya yang
Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi
habitat, pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai
mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana
hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi
yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner
dari perilaku yang terlibat.
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang
bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG merupakan
suatu sistem komputer yang memiliki empat kemampuan utama dalam menangani
data, yakni : memasukan data (Input Data), mengeluarkan data / informasi,
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi
data.
Data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari
data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut. Informasi lokasi atau
informasi spasial. Contoh yang umum adalah informasi lintang dan bujur,
termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi. Contoh lain dari informasi
spasial yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah
Kode Pos. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu lokalitas
bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang berkaitan dengannya,
contohnya jenis bencana, kependudukan, pendapatan per tahun,dan lain-lain .
Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah
perangkat yang sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan,
menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data
spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud dan tujuan tertentu, telah membuat
SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisis spasial dan telah
diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sebagai pemetaan, namun juga
Sinclair et al. (2006) menyatakan bahwa SIG merupakan sarana yang
menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief
topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam database
komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring
informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001)
menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan
habitat pada skala lanskap.
2.6 Pemanenan dan Perdagangan
2.6.1 Pemanenan
Pemanenan berarti suatu kegiatan memanen hasil. Suatu hasil atau produk
diperoleh setelah kita memelihara dengan baik, berarti ada unsur pengelolaan.
Satwaliar harus dikelola dengan baik sehingga menghasilkan suatu kondisi populasi
yang sehat dengan laju pertumbuhan yang maksimal (Alikodra 2010). Informasi
dasar mengenai populasi dan biologi suatu spesies merupakan suatu hal yang
penting untuk kegiatan pengelolaan spesies tersebut.
Labi-labi adalah kura-kura air tawar Asia yang paling banyak dipanen dari
alam untuk diperdagangkan guna kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan
pembuatan obat tradisional Cina. Kelimpahan spesies ini di perdagangan
mengalami penurunan sebesar duapertiga dalam kurun waktu 15 tahun terakhir,
yang menggambarkan penurunan populasi alami di Indonesia, dan di beberapa
negara lain pun populasi lokal telah mengalami penurunan (CITES 2004).
Perdagangan yang terus menerus merupakan ancaman utama bagi kelestariannya,
dan perdagangan dalam jumlah besar dapat terlihat di pasar-pasar domestik
membuat kelompok penyu dan kura-kura dapat digunakan sebagai indikator yang
cocok untuk mengevaluasi pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar
dan perdagangannya di Indonesia (Sheperd & Nijman 2007).
Pemanenan labi-labi di alam untuk memenuhi permintaan pasar domestik
dan luar negeri dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian populasinya.
Hasil tangkapan dari berbagai ukuran berat diambil untuk dijual kepada para
tinggi yaitu antara 3 s.d. 15 kg, ukuran ideal untuk konsumsi. CITES Scientific
Authority di Indonesia telah menghimbau untuk tidak melakukan pemanenan
terhadap labi-labi dengan ukuran berat antara 5 s.d. 15 kg karena diduga
merupakan ukuran bagi individu betina yang reproduktif.
2.6.2 Alur Perdagangan
Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk kelompok reptil dengan
jumlah ekspor mencapai angka 62% dari total 14 juta individu, sementara negara
pengimpornya berturut-turut adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Sheperd
(2000 dalam Nijman 2010) melaporkan ekspor tahunan labi-labi dari Indonesia ke
negara Cina mencapai angka 1 juta kilogram atau diperkirakan setara dengan
200.000 – 300.000 ekor. Sheperd dan Nijman (2007) menyebutkan perdagangan
kelompok penyu dan kura-kura dalam jumlah besar yang terlihat di pasar-pasar
domestik dapat digunakan sebagai indikator yang cocok untuk mengevaluasi
pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar dan perdagangannya di
Indonesia.
Perdagangan kura-kura di Indonesia dan Indochina digambarkan oleh
Traffic (2008) memiliki kesamaan alur maupun pelaku-pelakunya, tetapi di
Indonesia berlangsung lebih dinamis. Dinamika ini ditunjukkan melalui hubungan
antar-pelaku yang berlangsung lebih fleksibel, dimana para penangkap bisa
langsung mengakses para eksportir tanpa melalui para pengumpul maupun
pedagang, sementara di Indochina yang bisa berhubungan dengan para eksportir
hanyalah para pedagang besar tingkat regional atau dengan kata lain hubungan
antara para pelaku memiliki struktur dan alur yang jelas dan tertentu.
2.6.3 Harga
Di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina, Korea, dan Taiwan
sudah sejak lama menjadikan labi-labi sebagai komoditas perikanan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti halnya ikan dan udang. Tingginya
permintaan daging labi-labi dikarenakan oleh terbukanya peluang ekspor ke
negara-negara di Asia Timur tersebut. Hal ini berawal dari mulai kewalahannya
konsumen yang cenderung meningkat tajam dari waktu ke waktu. Kondisi ini
mendongkrak harga jual labi-labi ke tingkat yang cukup tinggi.Pada tahun 1999
lalu, harga jual labi-labi ukuran konsumsi di Indonesia yang diekspor ke Taiwan
sekitar 12 dolar AS per ekor untuk labi-labi berumur 1 tahun. Pada awal tahun
2001, harga beli untuk ukuran yang sama di negara pengimpor sudah mencapai
sekitar 20 dolar AS (Amri & Khairuman 2002).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan informasi mengenai harga labi-labi
untuk pasar dalam negeri. Nijman et al. (2012) mengemukakan apabila harga
labi-labi diasumsikan sebesar USD 10,00 per kg maka nilai perdagangan labi-labi-labi-labi
mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi.
Harga labi-labi yang berlaku di pasar dalam negeri dibedakan oleh ukuran bobot
tubuhnya. Harga labi-labi di Kalimantan Timur dibagi menjadi tiga kelas yaitu :
kelas < 20 kg, kelas 20-30 kg dan kelas > 30 kg berturut-turut Rp. 24.000/kg, Rp.
22.000/kg dan 20.000/kg (Kusrini et al. 2009), sementara Oktaviani dan Samedi
(2008) menuliskan bahwa harga labi-labi di Sumatera Selatan juga dibedakan
berdasarkan klasifikasi ukuran dan terbagi menjadi 8 kelas dengan harga tertinggi
III.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah dengan memilih
Kota Palangkaraya dan tiga kabupaten penghasil labi-labi lainnya yaitu
Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan
(Gambar 1).
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
3.1 Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan ibukotanya Palangkaraya
secara geografis terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada 000 45’ LU – 030 30’
LS dan 1110 BT – 1150 BT, yang luas wilayahnya mencapai 153.564 km2 atau 1,5
kali Pulau Jawa dan merupakan provinsi terluas ketiga di Indonesia setelah
Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua. Kalimantan Tengah pada bagian
bagian timur berbatasan dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan,
bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kalimantan Barat. Kalimantan Tengah saat ini terdiri dari 13 kabupaten dan satu
kota dengan 85 kecamatan yang terdiri dari 1.340 desa dan 101 kelurahan.
Rincian kabupaten di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah
No. Kabupaten/Kota Luas (km2)
Sumber : BPS Provinsi Kalteng 2010
Menurut Oldeman et al. (1980) dalam MacKinnon et al. (2000), agroklimat
di Kalimantan Tengah terdiri dari 4 klas, yaitu (1) Klas A di bagian utara
Kalteng, yaitu lebih dari 9 bulan basah berurutan; (2) Klas B1 di Kalteng bagian
tengah, yaitu 7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering; (3) Klas C1, yaitu
5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering; (4) C2 di Kalteng bagian selatan,
yaitu 5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering. Suhu udara dapat mencapai
230 C pada malam hari dan 330 C pada siang hari, dan penyinaran matahari 60%
per tahun. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Agustus dan
berlangsung sampai bulan Mei, puncaknya pada bulan Nopember dan April. Iklim
yang relatif lebih kering dimulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus.
Berdasarkan peta ketinggian dalam data pokok untuk pembangunan
(Bappeda TK.I Kalteng, 1993/1994), diketahui bahwa proporsi ketinggian
7-25 mdpl seluas 15,23%, 25-100 mdpl seluas 42,12%, 100-500 mdpl seluas
20,96%, dan > 500 mdpl seluas 7,88%. Sedangkan berdasarkan kelerengan terdiri
dari 32,97% kelerengan 0-2%, 28,86% kelerengan 2-15%, 28,34% kelerengan
15-40%, dan 9,83% kelerengan > 40%.
Tanah di Kalteng meliputi jenis jenis organosol, gley dan humus (OGH),
aluvial (komplek alluvial hidromorfile, aluvial marine), regosol (asosiasi
regosol-podsolik), podsolik merah kuning (PMK), podsol, latosol, litosol, dan laterit.
Distribusi terbesar adalah jenis PMK dengan total luas sekitar 42,40% dari total
luas Kalteng (BPS Provinsi Kalteng 2010).
Kalimantan Tengah menjadi Provinsi dengan Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH) paling rendah di Kalimantan. Perhitungan IKLH terdiri dari 3
parameter penilaian kualitas lingkungan yaitu terdiri dari kualitas air sungai,
kualitas udara dan tutupan hutan. IKLH Kalimantan Tengah hanya 45,7%
dibawah angka rata-rata nasional 59,73%. Kalteng berada di urutan kedua paling
bawah dari 28 provinsi yang diberi indeks, satu posisi di atas Jakarta. Hal yang
membuat indeks Kalteng anjlok ke peringkat 27 adalah karena kualitas airnya
yang cukup rendah, hanya 2,92%. Sedangkan kualitas udaranya bagus yaitu
93,71%, nilai tutupan lahan berada pada level sedang (40,48%). Salah satu
penyebab rendahnya kualitas air adalah cukup besarnya kandungan air raksa
dalam sungai di Kalteng. Hal lainnya adalah tidak terkendalinya pemanfaatan atau
pengalihfungsian hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Sungai memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang
dominan dan sebagai urat nadi aktivitas ekonomi di Kalteng. Hampir seluruh
wilayah Kalteng dialiri oleh sungai besar dan kecil yang mengalir dari utara ke
selatan dan bermuara di Laut Jawa. Terdapat 11 sungai besar dengan panjang
bervariasi antara 175 sampai 900 km dengan rata-rata kedalaman 8 m. Selain itu,
terdapat tidak kurang dari 33 sungai kecil/anak sungai mengalir membelah
daerah-daerah di Kalteng. Sebagian besar penduduk bermukim dan menetap di
daerah pinggiran sungai bagian hilir. Daerah-daerah lain yang jauh dari aliran
sungai pada umumnya jarang dihuni.
Tabel 5 Nama-nama sungai di Kalimantan Tengah menurut panjang yang dapat dilayari dan rata-rata kedalamannya
Nama Sungai
Panjang Rata-rata
Kilometer Yang dapat
dilayari (km)
Sumber : BPS Provinsi Kalteng 2010
Dayak merupakan sebutan bagi komunitas penduduk yang mendiami Pulau
Kalimantan. Komunitas Dayak ini terdiri atas sub-sub suku (tribals) yang
dibedakan dari bahasa, kesenian, tradisi dan tempat pemukiman. Pembagian
berdasarkan komunitas Dayak terbesar menurut Ave & King (1986) adalah Dayak
Iban yang ditemukan di Serawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan Barat; Dayak
Ngaju yang mendiami Kalteng; dan Dayak Kayan-Kenyah yang terdapat di
Kalimantan Timur.
Suku Dayak di Kalimantan terdiri dari tujuh suku, dari ketujuh suku dayak
tersebut, di Kalteng terdapat paling sedikit 3 suku dengan tujuh anak sukunya
yaitu suku Dayak Ngaju Ma’anyan, Dusun dan Lawangan yang menyebar di
Kalteng bagian tengah sampai ke bagian timur; suku Dayak Ot Danum yang
bermukim di Kalteng bagian utara; dan suku Dayak Klemantan/Dayak Darat
dengan anak suku Dayak Klemantan/Dayak Darat dan Dayak Ketungau yang
menyebar di Kalteng bagian barat.
Mencari ikan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh
kebanyakan Suku Dayak. Jenis ikan yang banyak didapat adalah ikan baung
(Mystus nemurus), lais (Cryptopterus cryptopterus), behau/gabus (Channa
striata), miau (Channa lucius), kakapar (Belontia hasselti), saluang (Rasbora
testudineus), pentet/lele (Clarias batrachus), manjuhan/jelawat (Leptobarbus
hoevenii), tampahas (Walago leerii), banangin (Osteochillus vittatus), serta
kura-kura jenis bere/labi-labi (A. cartilaginea). Kegiatan mencari ikan dimulai di awal
musim kemarau (tampara mandang) antara bulan Mei-Juni setiap tahun. Ini adalah
saat ketika ikan harus keluar ke daerah rawa-rawa (dapu) mencari air yang lebih
dalam.
Pola pemenuhan kebutuhan dasar suku Dayak Ma’anyan terkait erat dengan
pemanfaatan hutan, sungai dan danau. Pencarian ikan dilakukan pada musim
penghujan atau ketika air naik, yakni bulan Desember-Januari. Ikan dikeringkan
dan diasinkan sebagai persediaan lauk pauk. Jenis ikan sungai/rawa yang sering
didapat adalah baung, kakapar, patung, puyu, saluang. Alat menangkap ikan
relatif sederhana terbuat dari kayu dan bambu yang diperoleh dari hutan di sekitar
desa, dan dibuat pancing (pintan), nabing, marengge, wuwu/ lukah, nyalambau,
lunta, pangilar, kabam. Pada musim kemarau, warga desa dapat menangkap ikan
langsung dengan tangan (bagagap). Kegiatan ini dilakukan pada daerah luau atau
daerah-daerah di hutan/danau yang airnya mengering. Jika pola yang sama
dilakukan dengan menggunakan alat, sauk, maka cara ini disebut sebagai nikep.
Suku Dayak Ot Danum mencari ikan dilakukan dengan cara memancing (mosi),
jerat (naut atau mambanjur), menggunakan boka (Takalalak atau manenan dalam
Bahasa Dayak Ngaju): biasanya perangkap ikan ini dipasang menghadap ke ngaju
atau hilir, buwu biasanya dipasang menghadap ke hulu.
3.2 Kota Palangkaraya
Kota Palangkaraya terletak antara 1130 30’ – 1140 07’ Bujur Timur dan 10
35’ – 20 24’ Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 35 m dpl. Luas wilayah
Kota Palangkaraya sebesar 2.678, 51 km2. Penggunaan lahan di Kota
Palangkaraya terdiri dari kawasan hutan 2.485,75 km2; tanah pertanian 12,65 km2;
pemukiman 45,54 km2; perkebunan 22,30 km2; sungai dan danau 42,86 km2; dan
lain-lain 69,41 km2. Kota Palangkaraya terdiri dari 5 kecamatan dan 30 kelurahan.
Jumlah penduduk Kota Palangkaraya pada tahun 2009 mencapai 200.998 jiwa
yang terdiri dari 99.032 laki-laki dan 101.966 perempuan. Kepadatan penduduk
merupakan dataran rendah dan dibelah oleh sungai besar yaitu Sungai Kahayan.
Luas sungai dan danau di Kota Palangkaraya sebesar 42,86 km2.
3.3 Kabupaten Katingan
Kabupaten Katingan secara geografis berada di daerah Khatulistiwa, yaitu
terletak diantara 112° 0’Bujur Timur – 0°20 Lintang Selatan dan 113° 45’ Bujur
Timur - 30° 30’ Lintang Selatan dengan luas ± 17.500 km2. Penggunaan lahan di
Kabupaten Katingan terdiri dari: hutan 2.538,16 km²; pemukiman 192,85 km²;
sawah 753,27 km²; tanah kering 1.098,47 km²; perkebunan 372,77 km²; industri
31,56 km²; hutan sekunder 8.544,03 km²; perairan dan lainnya 1.931,19 km².
Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan. Jumlah penduduk Kabupaten
Katingan pada tahun 2009 mencapai 148.912 jiwa yang terdiri dari 77.557
laki-laki dan 71.355 perempuan.
Katingan adalah sebuah nama aliran sungai yang membentang dari laut jawa
kearah utara hingga mencapai perbatasan Kalimantan Barat. Kabupaten Katingan
memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan panjang 650 km dengan lebar
rata-rata 200 m dengan luas perairan 1.704.400 ha, terdiri dari danau 44 buah dengan
luas 1.824 ha serta rawa sebanyak 56 buah yang terbentuk di kiri dan kanan
daerah aliran sungai. Kawasan-kawasan ini mempunyai potensi untuk perikanan
budidaya, tangkap dan daerah konservasi (closed season) atau daerah reservart
serta dapat pula menjadi bisnis agro wisata.
3.4 Kabupaten Kotawaringin Timur
Kabupaten Kotawaringin Timur memiliki luas wilayah 16.496 km².
Penggunaan lahan di Kabupaten Kotawaringin Timur terdiri dari: hutan 4.118,98
km²; hutan mangrove 100,01 km²; hutan rawa 1.877,66 km²; perkebunan 1.741,86
km²; pemukiman 41,47 km²; pertambangan 75,34 km²; sawah 397,62 km²; ladang
124,11 km²; kebun campuran 314,19 km²; semak belukar 3.727,13 km²; rawa
belukar 1.743,59 km²; tanah terbuka 835,99 km²; transmigrasi 257,19 km²; badan
air 128,98 km²; lain-lain 1.011,87 km². Kabupaten Kotawaringin Timur terdiri
dari 13 kecamatan dimana 3 diantaranya terletak di wilayah pesisir, 148