• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characteristic of Catchment Habitat and Demographic Parameter of Harvested Population of Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) in Central Kalimantan Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characteristic of Catchment Habitat and Demographic Parameter of Harvested Population of Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) in Central Kalimantan Province"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

KALIMANTAN TENGAH

MIRTA SARI

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Habitat Tangkap dan Parameter Demografi Populasi Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

 

Bogor, Oktober 2012

(4)
(5)

of Harvested Population of Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) in Central Kalimantan Province. Under Direction of YANTO SANTOSA and LILIK BUDI PRASETYO.

Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) is one of harvested turtle species in Indonesia, mainly for consumption purpose in oriental countries. In order to prevent over-exploitation and the declining of the population, harvesting has been limited by quota. However, there is still too few supporting data, that can be used as a basis to determine the quota. The research was aimed to identify characteristics of catchment habitat, and also the demography and morphometric parameters of A. cartilaginea in Central Kalimantan Province. The result showed that harvested population of A. cartilaginea was dominated by adult females within the range weight of 3 – 5 kilograms of body mass. Two statistical tests were applied to describe the characteristic of catchment habitat of A. cartileginea in Central Kalimantan. Chi-square test on the types of land cover suggested that A. cartileginea catchment habitat had a specific condition. Index Neu showed that the catchment habitat were swamp and river (w=10,17; w=6,28 respectively). Binary logistic regression was used to construct a model which explained the dominant variables influencing the number of A. cartileginea at a certain point of habitat. There were four biophysical variables that significantly drove the number of catchment of A. cartileginea, and all were negatively correlated with number of catchment.

(6)
(7)

Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah. Dibawah bimbingan YANTO SANTOSA and LILIK BUDI PRASETYO.

Saat ini ancaman yang mempengaruhi keberadaan labi-labi di alam adalah perdagangan secara lokal dan internasional. Kuota tangkap diberlakukan pada spesies ini untuk mengantisipasi terjadinya eksploitasi berlebihan dan menjamin perdagangan yang dilakukan tidak merusak populasi labi-labi di habitat alam. Kuota tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah sejak tahun 2007-2011 meningkat dari 1.000 ekor menjadi 1.500 ekor per tahun (BKSDA Kalteng 2012). Padahal, informasi dasar mengenai parameter demografi populasi dan biologi jenis ini belum diketahui. Penelitian yang menyajikan data mengenai habitat, populasi dan pemanenan jenis ini menjadi sangat penting dilakukan untuk dapat ditentukan upaya pengelolaan yang sesuai guna mengantisipasi terjadinya eksploitasi berlebihan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat tangkap yang berpengaruh penting terhadap keberadaan labi-labi panenan dan menentukan sebaran penggunaan habitat oleh labi-labi panenan di Kalimantan Tengah; menduga ukuran populasi, nisbah kelamin, kelas umur dan angka kematian populasi sebagai bagian dari parameter demografi populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah; dan mengidentifikasi karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah.

Pengumpulan data karakteristik habitat tangkap dilakukan di 4 lokasi penangkapan labi-labi. Data parameter demografi diperoleh dari 11 pemancing di lokasi tangkap Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya dan 3 pengumpul di Kota Palangkaraya (1 pengumpul), dan Kabupaten Seruyan (2 pengumpul). Pengukuran parameter morfometri dilakukan terhadap 445 ekor labi-labi, terdiri dari 60 ekor hasil tangkapan dan 385 ekor labi-labi di pengumpul. Penelitian dilakukan selama bulan April s.d Mei 2012.

Habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah terdiri dari beberapa tipe yaitu sungai, danau, rawa, dan kanal. Berdasarkan pengukuran, diperkirakan panjang sungai yang menjadi habitat tangkap memiliki total panjang 574,28 km yang meliputi kelompok anak sungai Kahayan, anak sungai Katingan, anak sungai Mentaya dan anak sungai Seruyan. Sungai yang menjadi target tempat memancing memiliki berbagai variasi kedalaman mulai dari 0,5-7,5 meter, dasar sungai berlumpur hingga berpasir dan banyak dihuni hewan air (molusca, ikan, crustacea dll) serta permukaan air yang terdapat banyak tumbuhan air seperti eceng gondok (Eichornia crassipes), bakung (Hanguana malayana) dan Hydrilla verticillata. Kawasan pinggir sungai dengan cekungan-cekungan yang dalam biasanya terdapat di bawah vegetasi pohon maupun jenis-jenis herba.

(8)

   

Populasi panenan labi-labi di Kalimantan Tengah dilakukan pada kelas umur remaja, dewasa muda dan dewasa yang didominasi oleh kelas umur dewasa (97,98%) dan terbanyak adalah betina dewasa dengan seks rasio 1:1,47. adanya preferensi pada kelas umur dewasa dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang. Angka kematian pada populasi panenan di seluruh pemancing adalah sebesar 1,67% dari total populasi sebesar 60 ekor. Kematian yang terjadi disebabkan oleh luka akibat bekas pemancingan Kematian terjadi pada labi-labi dewasa dan tidak ada pada kelas umur tukik.

Pengukuran morfometri pada tingkat pemancing dan pengumpul menunjukkan bahwa labi-labi panenan di Kalimantan Tengah terbanyak pada bobot 3-5 kg yang termasuk dalam kelas umur dewasa. Keberhasilan reproduksi sangat menentukan perkembangan populasi. Reproduksi merupakan faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi maupun untuk meningkatkan jumlah satwaliar. Umur reproduksi optimal labi-labi diasumsikan berkisar pada bobot antara 5,1 kg – 15 kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11,46% (n=445) labi-labi yang dipanen adalah berumur reproduksi optimal. Dengan demikian, jika labi-labi umur reproduksi optimal dieksploitasi untuk diperdagangkan secara terus-menerus dalam jumlah besar maka hal tersebut dapat memberikan implikasi negatif terhadap populasi labi-labi di alam dan juga pemanfaatan di masa mendatang. Upaya pemanfaatan sumberdaya labi-labi yang berkelanjutan memerlukan dukungan dan kerjasama yang baik antara komponen yang terlibat langsung di lapangan yaitu pemanfaatan (pemancing; pengumpul), perijinan dan pengawasan.

Kata kunci: Amyda cartilaginea, karakteristik habitat, parameter demografi, morfometri.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar

(10)
(11)

KALIMANTAN TENGAH

MIRTA SARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas barokah, rahmah dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Karakteristik Habitat Tangkap dan Parameter Demografi Populasi Panenan Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Kalimantan Tengah. Penulisan tesis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku komisi pembimbing atas curahan ilmu, pemikiran, arahan, kesabaran dan motivasi yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan;

2. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku penguji luar komisi, untuk masukan dan saran perbaikan yang diberikan dalam upaya penyempurnaan penulisan tesis ini;

3. Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan beasiswa S2;

4. Bapak Ir. Mega Hariyanto selaku Kepala BKSDA Kalimantan Tengah atas rekomendasi dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti beasiswa program pendidikan S2 Kementerian Kehutanan;

5. Bapak Ir. Kholid Indarto dan Ir. Achmad Zaini, M.P selaku Kepala dan KSBTU BKSDA Kalimantan Tengah yang telah memberikan ijin penelitian, dukungan berupa bantuan fasilitas dan tenaga selama pelaksanaan penelitian; 6. Bapak Ir. Maraden Purba dan Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan Labi-labi

Konsumsi Indonesia (APEKLI) yang telah memberikan informasi dan bantuan dana penelitian;

7. Rekan-rekan tim survey labi-labi BKSDA Kalimantan Tengah: Amrullah (mahasiswa Universitas Palangkaraya), Pak Marten, Elly, Mas Ian, Sudir, Pak Tatang, Dedi, Ipan, Pak Arsud, Pak Nandang, Bu Linda, Horas dan Didik (DKP Banjarbaru) yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan;

(16)

   

11. Emak tersayang Suparni dan Bapak Sugiman, Mbak Dian, Iis, Icha dan keluarga di Magelang Bapak R. Suprodjo Bintoro, Mbak Wulan dan Tia atas semangat, dukungan dan doa yang diberikan.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan di tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang memberi balasan kebaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi.

Bogor, Oktober 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungkarang, Bandar Lampung pada tanggal 10 Maret 1981 dari ayah Sugiman dan ibu Suparni. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung (Unila) melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis bergabung sebagai Tim Peneliti Bibit GNRHL Provinsi Lampung. Tahun 2005-2006 penulis mengikuti program magang Departemen Kehutanan di Balai Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat dengan konsentrasi magang Perencanaan Pengembangan Ekowisata di Batu Barat. Tahun 2005 sampai dengan 2010 penulis bekerja pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Tengah, sebagai tenaga fungsional umum Penelaah Bahan Perencanaan. Tahun 2008 penulis tergabung dalam tim ekologi dan konservasi untuk HCV 1-4 pada studi kajian identifikasi HCVF/A (High Conservation Value Forest/Area–Kawasan/Hutan Bernilai Konservasi Tinggi) Secara Lansekap di Kalimantan Tengah bersama WWF-Kalteng. Tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan karyasiswa dari Kementerian Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) pada Magister Profesi IPB, Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati.

(18)
(19)
(20)

[ii] 

 

Panenan ... 36

4.4.3 Analisis Penutupan Lahan ... 37

4.4.4 Analisis Seleksi Habitat ... 39

4.4.5 Analisis Parameter Demografi Populasi Panenan ... 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

5.1.3 Peubah Determinan Keberadaan Labi-labi Panenan ... 49

5.1.4 Penggunaan Habitat oleh Labi-labi Panenan Menurut Tipe Penutupan Lahan ... 51

5.2 Parameter Demografi Populasi Panenan ... 54

(21)

Halaman

1 Ukuran morfometri labi-labi A.cartilaginea yang pernah diukur di

beberapa daerah ... 7

2 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK ... 11

3 Karakteristik fisik dan kimia habitat labi-labi di perairan Jambi (Elviana 2000) ... 15

4 Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah ... 24

5 Nama-nama sungai di Kalimantan Tengah menurut panjang yang dapat dilayari dan rata-rata kedalamnya ... 26

6 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK ... 35

7 Faktor fisik dan kimia perairan yang mempengaruhi sebaran populasi labi-labi di lokasi tangkap ... 42

8 Estimasi panjang wilayah target pemanenan labi-labi di Kalimantan Tengah yang diukur dari peta ... 44

9 Suhu udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 46

10 Suhu permukaan perairan minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 47

11 Kelembaban udara minimum, maksimum dan rataan pada lokasi pengamatan ... 48

12 Taraf signifikansi dan koefisien regresi peubah determinan ... 50

13 Tipe penutupan lahan di sekitar titik penangkapan ... 52

14 Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi tipe tutupan lahan oleh labi-labi ... 52

15 Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul ... 54

16 Jumlah tangkapan labi-labi menggunakan pancing di lokasi pengamatan .. 55

17 Jumlah labi-labi panenan pada setiap kelas umur ... 58

18 Hasil pengukuran morfometri labi-labi di Kalimantan Tengah ... 61

19 Hasil analisis morfometri pada tipe habitat danau dan sungai ... 62

20 Harga labi-labi di tingkat pemancing dan pengumpul ... 68

(22)

[iv] 

(23)

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 23

2 Tahapan pengolahan citra ... 38

3 Sebaran wilayah tangkapan labi-labi di Kalimantan Tengah ... 43

4 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas ketinggian di

Kecamatan Bukit Batu ... 45

5 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu udara di

Kecamatan Bukit Batu ... 47

6 Sebaran jumlah labi-labi panenan menurut kelas suhu perairan di

Kecamatan Bukit Batu ... 48

7 Sebaran jumlah labi-labi tangkapan menurut kelas kelembaban di

Kecamatan Bukit Batu ... 49

8 Tutupan lahan di sekitar lokasi penangkapan labi-labi di Kecamatan

Bukit Batu ... 53

9 (a) Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing dan pengumpul

berdasarkan kelas umur ... 57

(b) Struktur populasi panenan labi-labi di pemancing berdasarkan kelas umur ... 57

10 (a) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat

pemancing ... 61

(b) Proporsi populasi panenan berdasarkan bobot tubuh di tingkat pengumpul ... 61

11 Alat tangkap yang digunakan pemancing ... 64

12 Umpan yang digunakan untuk memancing labi-labi ... 65

13 Bak penampungan dan kotak penyimpanan labi-labi di penampung ... 66

14 Alur perdagangan labi-labi di Kalimantan Tengah ... 68

15 Volume labi-labi yang dikirim dari Kalimantan Tengah pada bulan

Maret sampai dengan Nopember 2011 ... 68

(24)

[vi] 

(25)

Halaman

1 Data peubah habitat tangkap labi-labi sebagai penyusun model

kesesuaian habitat labi-labi tangkapan di Kalimantan Tengah ... 85

2 Hasil uji normalitas data peubah karakteristik habitat tangkap labi-labi .... 88

3 Hasil uji multikolinearitas data peubah karakteristik habitat tangkap

labi-labi ... 90

4 Hasil analisis regresi logistik biner data peubah karakteristik habitat

tangkap labi-labi ... 93

(26)
(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini ancaman serius yang mempengaruhi keberadaan labi-labi (Amyda

cartilaginea) di alam adalah perdagangan secara lokal dan internasional.

Individu-individu yang diperdagangkan selama ini masih dalam taraf pengambilan

langsung dari alam (Shepherd 2000). Sistem pengambilan seperti ini bila

berlangsung terus-menerus dan besar-besaran dikhawatirkan dapat

membahayakan keberadaan spesies tersebut di alam, bahkan mungkin dapat

mempercepat laju kepunahannya. Perubahan lahan basah (rawa, danau, sungai)

yang menjadi habitat alami spesies ini juga dalam jangka panjang dapat

mengurangi populasi spesies ini (Marchand & Litvaitis 2004).

Mardiastuti & Soehartono (2003) mengatakan bahwa A. cartilaginea

merupakan reptil yang banyak di ekspor dalam kondisi hidup untuk dikonsumsi.

Negara tujuan ekspor labi-labi adalah China, Taiwan, Singapura, dan Malaysia

(Lau & Haitao 2000; Shepherd 2000; Mardiastuti & Soehartono 2003). Tingginya

permintaan daging labi-labi dunia ternyata tidak hanya disebabkan oleh rasa

dagingnya yang enak, tetapi juga karena kandungan zat gizinya yang tinggi (Amri

& Khairuman 2002). Daging labi-labi merupakan sumber protein hewani, sumber

energi dan sumber mineral kalsium, fosfor, zat besi, dan seng. Di China, daging

labi-labi dimanfaatkan untuk obat luka, keputihan, sesak napas dan penyembuhan

setelah melahirkan. Di Jepang, darah labi-labi digunakan untuk obat TBC dan

radang selaput dada, di Hongkong empedunya untuk obat kulit dan keracunan, di

Singapura abu kepala dan batok labi-labi diseduh dengan air kemudian diminum

untuk mengobati sakit lambung dan ambeien serta manfaat lainnya adalah

mencegah pembentukan batu ginjal, membersihkan hati dan ginjal, bahkan ada

yang meyakini dapat menangkal serangan HIV dan menekan pertumbuhan sel

(28)

penurunan populasi alami di beberapa negara termasuk Indonesia (CITES 2004).

Guna menjamin bahwa perdagangan internasional yang dilakukan tidak akan

merusak populasi labi-labi di habitat alam, maka CITES menggolongkannya

dalam satwa Appendix II pada tahun 2005. Spesies yang masuk dalam Appendix

II CITES diatur pemanfaatannya dengan prinsip non detrimental findings yang

sesuai dengan isi Article IV CITES. Prinsip non detrimental findings salah

satunya diterjemahkan dalam bentuk sistem kuota tangkap dan kuota ekspor serta

pengaturan peredaran, perlindungan, dan konservasi jenis tersebut. Pemanfaatan

yang lestari melalui penentuan kuota tangkap memerlukan data demografi,

ekologi dan biologi untuk memastikan pemanenan jangka panjang dapat

dilakukan dan tidak menyebabkan kepunahan terhadap satwaliar.

Kalimantan Tengah sebagai salah satu daerah pemasok labi-labi untuk pasar

lokal dan ekspor dipenuhi dengan melakukan penangkapan dari alam. Kuota

tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah sejak tahun 2007-2011 meningkat dari

1.000 ekor menjadi 1.500 ekor per tahun (BKSDA Kalteng 2012). Padahal,

informasi dasar mengenai populasi dan biologi jenis ini belum diketahui. Jumlah

individu yang dipanen setiap tahun ini menimbulkan pertanyaan akan

keberlanjutan jenis ini di alam. Penelitian yang menyajikan data mengenai habitat,

populasi dan pemanenan jenis ini menjadi sangat penting dilakukan untuk dapat

ditentukan upaya pengelolaan yang sesuai guna mengantisipasi terjadinya

eksploitasi berlebihan.

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu strategi dalam pengelolaan labi-labi secara lestari adalah perlu

dilakukannya pemantauan terhadap parameter demografi populasi dan

karakteristik habitatnya. Parameter demografi populasi yaitu ukuran populasi,

struktur umur, nisbah kelamin dan kematian merupakan komponen penting dalam

mempelajari perkembangan populasi satwaliar. Di samping sebagai suatu

indikator kuantitatif dari pertumbuhan populasi (Dajoz 1971; Barbault 1981;

Gaillard 1988), dari segi teknis, pengetahuan tentang hal ini merupakan data-data

dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan, pengambilan

(29)

populasi (status kelangkaan, optimum viable population dll) (CEMAGREF 1984;

Santosa 1990).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menggali data dan

informasi terkait demografi populasi, habitat dan pemanenan (Oktaviani &

Samedi 2008; Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Lilly 2010 dan

Mumpuni et al. 2011), sementara penelitian tentang hal ini di Kalimantan Tengah

belum pernah dilakukan. Selama ini, kuota pemanenan tahunan di Kalimantan

Tengah ditetapkan berdasarkan kuota tahun sebelumnya, belum seluruhnya

berdasarkan sebaran habitat dan parameter demografi populasi spesies tersebut.

Hal ini tidak dapat diharapkan untuk memastikan pemanenan yang lestari.

Penelitian populasi panenan labi-labi selama ini yang telah dilakukan

kebanyakan pada tingkat pengumpul, sementara kekurangan dari metode ini

adalah tidak diketahui komposisi umur populasi yang sebenarnya karena biasanya

para pengumpul/pedagang hanya mengumpulkan kura-kura pada tingkat umur

yang diminta pasar dan diabaikannya konsumsi subsisten masyarakat lokal.

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan

penelitian jangka pendek mengumpulkan data populasi panenan tidak hanya di

tingkat pengumpul tapi juga di tingkat pemancing pada lokasi tangkap terpilih,

monitoring jumlah labi-labi panenan yang sampai pada tingkat pengumpul dan

mengukur morfometrinya.

Karakteristik habitat tangkap labi-labi di Kalimantan Tengah menjadi

bagian dari penelitian ini untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi

keberadaan labi-labi di suatu tempat dan juga untuk mengetahui sebaran habitat

labi-labi di Kalimantan Tengah. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui

karakteristik habitat tangkap labi-labi didapatkan dengan pengukuran sejumlah

peubah biofisik di setiap lokasi pengamatan, sebaran habitat labi-labi dilakukan

(30)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian karakteristik habitat tangkap dan parameter demografi populasi

panenan labi-labi (A. cartilaginea Boddaert, 1770) di Kalimantan Tengah ini

adalah untuk :

1) Mengidentifikasi karakteristik habitat tangkap yang berpengaruh penting

terhadap keberadaan labi-labi panenan dan menentukan sebaran penggunaan

habitat oleh labi-labi panenan di Kalimantan Tengah;

2) Menduga ukuran populasi, nisbah kelamin, kelas umur dan angka kematian

populasi sebagai bagian dari parameter demografi populasi panenan

labi-labi di Kalimantan Tengah; dan

3) Menganalisis karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelestarian

labi-labi berupa :

1) Tersedianya data dan informasi tentang kondisi habitat dan sebaran labi-labi

di Kalimantan Tengah

2) Tersedianya informasi tentang karakteristik populasi panenan labi-labi di

Kalimantan Tengah yang pada beberapa hal memiliki kesamaan dengan

lokasi lain, sehingga ketika karakteristik panenan tersebut dipandang

mengancam kelestarian populasi labi-labi pihak management authority dapat

merumuskan perbaikan regulasi pemanenan labi-labi dari alam.

3) Tersedianya informasi tentang kegiatan pemanfaatan labi-labi di Kalimantan

Tengah sehingga lebih lanjut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi pemanfaatan labi-labi di

(31)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Labi-labi

Klasifikasi Amyda cartilaginea menurut Ernst dan Barbour (1989) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Reptilia

Ordo : Testudines

Sub-Ordo : Criptodira

Famili : Trionychidae

Genus : Amyda

Spesies : Amyda cartilaginea (Boddaert 1770)

Kasmirudin (1998) menyatakan bahwa terdapat perkembangan takson A.

cartilaginea dari masing-masing ahli. Nama spesimen tipe yang pertama diberi

nama Testudo cartilaginea oleh Boddaert pada tahun 1770 dengan type locality di

Jawa (Bour et al. 1995). Kemudian Geoffroy Saint-Hilaire (1809) memberi nama

Trionyx javanicus. Boulenger (1889) memberi nama Trionyx cartilagineus di

bawah genus Trionyx. Siebenrock tahun 1909 dan Anandale tahun 1912

menyetujui nama Trionyxcartilagineus. Hasil penelitian morfologi karapas family

Trionychidae yang dilakukan Meylan (1987) menyatakan bahwa genus Trionyx

yang menyebar di Asia Tenggara sebagai genus Amyda Boddaert dan yang

menyebar di Rusia, Cina sampai Jepang adalah Plediscus sinensis Wiegmann,

sedangkan genus Trionyx hanya menyebar di perairan tawar Afrika yaitu di

Sungai Nil.

Dalam penelitiannya, Kusdinar (1995) menggunakan nama Trionyx

cartilaginous Boddaert untuk kura-kura belawa, sedangkan Kasmirudin (1998)

dalam penelitiannya di Bengkulu dan Palembang menggunakan nama A.

cartilaginea. Mashar (2009) dalam penelitian karakteristik morfologi kura-kura

(32)

termasuk pada kelompok kura-kura berkarapas lunak. Spesies A. cartilaginea

yang menurut Pritchard (1979) adalah Trionyx cartilaginous adalah anggota

family Trionychidae yang dikenal sebagai kura-kura berkarapas lunak Asiatic Soft

Shelled Turtles, dengan ciri-ciri umum adalah karapas dan plastron tidak punya

lempeng epidermis, hanya berupa kulit lunak, tubuh pipih, ekor pendek dan

tungkai dengan jari-jari yang nampak jelas dengan 3 cakar.

Nama daerah untuk labi-labi cukup banyak, misalnya masyarakat pasundan

(Jawa Barat) menyebut kuya, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat)

menamakan labi, dan masyarakat yang bermukim di Kalimantan menyebutnya

bidawang. Di dunia Internasional labi-labi dikenal sebagai soft-shelled turtles. Hal

tersebut dikarenakan karapas atau cangkangnya lebih lunak jika dibandingkan

dengan karapas penyu (marine turtles) yang 100% hidup di air asin (Kairuman &

Amri 2002).

Bentuk tubuh labi-labi sangat khas berbentuk theca yaitu oval agak lonjong,

pipih, dan tanpa sisik. Di sisi belakang dari karapas terdapat pelebaran pipih yang

bentuknya membulat mengikuti bentuk karapas bagian belakang, dengan tekstur

seperti tulang rawan (cartilage). Hidungnya memanjang membentuk tabung

seperti belalai. Sepasang tungkai kaki di depannya masing-masing berkuku tiga

buah dan berselaput renang, demikian pula sepasang tungkai kaki belakangnya.

Dengan dua pasang tungkai tersebut, labi-labi dapat berenang dengan cepat karena

selaput renangnya cukup besar dan bisa berlari di daratan. Labi-labi tidak bergigi,

tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Matanya berukuran relatif kecil dan

lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya

mempunyai bibir yang relatif tebal. Hewan ini termasuk jenis yang mempunyai

leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit pertengahan dari

karapasnya (Kairuman & Amri 2002). Leher labi-labi dapat dipanjang-pendekkan,

jika ingin melindungi dirinya maka akan memendekkan lehernya dan

memasukkan kepala serta tungkai-tungkainya ke dalam theca (Iskandar 2000).

Labi-labi memiliki karapas yang ditutupi oleh kulit, dan sebagian dibangun

dari tulang rawan. Warna karapas hitam sampai abu-abu, pada perisai punggung

terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis putus-putus dari depan ke belakang.

(33)

6-10 pada bagian belakang perisainya, terutama pada individu muda. Kepala dan

kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai

bintil-bintil berwarna kuning (Iskandar 2000). Di Kalimantan Timur, ditemukan

labi-labi berwarna kuning memiliki tubuh yang lebih tipis/ramping dengan bagian

supracaudal dan marginal karapas lebar dan tipis. Labi-labi berwarna kuning

umumnya diperoleh di sungai besar berarus kuat (Kusrini et al. 2009). Bagian

plastron (ventral) berwarna putih pucat pada A. cartilaginea dewasa dan

kemerahan pada individu muda (Elviana 2000). Plastron berwarna putih susu atau

kadang-kadang sampai kuning tua, tergantung dari habitat dan lingkungannya

(Kairuman & Amri 2002). Perbedaan ciri individu muda dan individu dewasa A.

cartilaginea adalah guratan-guratan dan bintik-bintik hitam atau kuning pada

karapas. Tanda-tanda khas dipermukaan karapas mulai berkurang, kecuali

bintik-bintik kuning pada kepala tetap ada sampai mencapai ukuran maksimal. Kaki

menyerupai dayung dengan 3 jari bercakar (Elviana 2000).

Labi-labi dapat mencapai sekitar 100 cm, pada umumnya hanya sekitar 60

cm saja. Ukuran morfometri labi-labi yang pernah diukur di Belawa, Bengkulu,

dan Palembang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Ukuran Morfometri Labi-labi A. cartilaginea yang pernah diukur di beberapa daerah

Parameter Jantan Betina

Kisaran Rataan Kisaran Rataan

(34)

2.2 Perilaku

Perilaku adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam

tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya.

Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan

diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya,

melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan

bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin,

reproduksi dan lainnya (Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk

menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun

dari dalam (Tanudimadja 1978 dalam Alikodra 2002)

Labi-labi bisa hidup pada iklim yang berbeda, dari musim panas, dingin,

semi, hingga musim gugur. Ia termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu

tubuhnya tidak tetap tetapi berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan di

sekitarnya. Perubahan suhu lingkungan dapat mempengaruhi aktivitas hewan

tersebut. Pada suhu yang tinggi, labi-labi bersifat lebih aktif dan pada suhu rendah

bersifat kurang aktif.

Dalam keadaan umum, labi-labi selalu bersembunyi di dalam lumpur atau di

dalam pasir di dasar kolam atau sungai, sehingga sulit untuk ditemukan. Labi-labi

hanya kadang-kadang memunculkan hidungnya ke permukaan air (Kusrini et al.

2009). Makanan utama labi-labi adalah ikan, tetapi tidak menolak sisa makanan

manusia (Iskandar 2000). Labi-labi seringkali berada di dalam lubang di pinggir

sungai yang dipakai untuk beristirahat, kawin dan berkumpul dengan labi-labi

lainnya. Lubang dapat dicari berdasarkan tanda-tanda cakaran di sekitar pinggir

sungai. Lubang ini berukuran cukup besar yang sebagian besar berair namun

sebagian lagi kering. Lubang ini biasanya terlihat saat surut yang jika digali bisa

diperoleh sejumlah labi-labi. Jumlah labi-labi yang bisa ditemukan di lubang ini

berkisar 7-12 ekor. Pada saat bertelur, labi-labi akan meletakkan telur-telurnya di

sarang yang bisa berupa banir pohon yang ditutupi daun-daunan dan kayu lapuk di

lantai hutan atau dalam gundukan lumpur, jumlah telur mencapai 20-50 butir

(Kusrini et al. 2009).

Kebiasaan berjemur labi-labi merupakan salah satu kebutuhan hidup.

(35)

terjemur kering, sehingga lumut, jamur, parasit yang menempel pada permukaan

badannya dapat kering dan terkelupas. Bila tidak berjemur, maka labi-labi akan

mudah terserang penyakit atau mendapat gangguan fisiologis.

2.3 Demografi Populasi

2.3.1 Populasi

Pengelola harus mempunyai pengetahuan mengenai dinamika populasi dan

interaksi dengan habitatnya agar pengelolaan populasi satwaliar dapat berjalan

secara efektif. Dinamika populasi yang tidak beraturan menurut skala waktunya

(irregular) disebut fluktuasi, sedangkan jika beraturan dan tetap skala waktunya

(reguler) disebut siklik (Alikodra 2002).

Populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah sehimpunan individu atau

kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam suatu spesies

(atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis

yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau

tata ruang tertentu. Sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan

(densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran

(distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran

(dispersal). Populasi juga diartikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari

individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama

dengan tetuanya, bisa menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung

spesies dan kondisi daya dukung habitatnya (Alikodra 2002).

Sifat populasi satwaliar menurut Odum (1994) adalah kerapatan, natalitas

(laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik,

dispersi dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. Sifat genetik populasi

berkaitan langsung dengan ekologinya seperti adaptif, sifat keserasian reproduktif

dan ketahanan. Sifat populasi di alam sangat sulit untuk diukur meskipun sudah

ada perbaikan-perbaikan dan perkembangan dalam metodenya. Untungnya,

seringkali tidak perlu mengukur semua sifat populasi tersebut karena kadang sifat

(36)

Siklus hidup labi-labi hampir sama dengan reptil lainnya, yaitu dari telur

menetas menjadi larva, kemudian berubah menjadi tukik dan selanjutnya menjadi

labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan perkawinan serta menetaskan

telur untuk melanjutkan keturunannya (Kairuman & Amri 2002). Musim bertelur

labi-labi pada bulan September-Januari dengan puncaknya pada bulan

November-Desember. Labi-labi bertelur di darat pada saat hari sudah mulai gelap dan

suasana tenang (Kusdinar 1995). Pinggir sungai yang landai sangat menunjang

untuk mencari tempat bertelur karena labi-labi bertelur di pinggiran sungai yang

landai (Nutaphand 1979; Elviana 2000)

Labi-labi bernapas dengan paru-paru, demikian juga dengan anak-anaknya

yang baru menetas. Sepanjang hidupnya, labi-labi tidak pernah mengalami

perubahan alat pernapasan. Jika berada di dalam air sekali-kali kepala labi-labi

akan muncul ke permukaan air untuk menghirup oksigen dari udara bebas. Karena

bernapas dengan paru-paru, peredaran darahnya menyerupai peredaran darah

manusia. Hanya, sekat antar kedua belahan jantungnya belum sempurna, sehingga

darah bersih dan darah kotor masih dapat bercampur di dalam jantung.

2.3.2 Kerapatan Populasi

Indriyanto (2010) menyatakan kerapatan populasi bervariasi menurut waktu

dan tempat. Dalam pengkajian suatu kondisi populasi, kerapatan merupakan

parameter utama yang harus diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu

hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem.

Kerapatan populasi juga sering digunakan untuk mengetahui perubahan populasi

pada saat tertentu. Perubahan tersebut adalah berkurang atau bertambahnya

individu dalam satu unit luas atau volume.

Kerapatan menjadi ciri yang pertama mendapatkan perhatian di dalam

pengkajian populasi. Pengaruh populasi dalam ekosistem tidak hanya bergantung

pada jenis, namun juga pada jumlah individunya atau kerapatan populasinya

(Odum 1994). Perhitungan secara aktual terhadap kerapatan seringkali sangat sulit

untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Odum (1994)

mengemukakan bahwa kerapatan populasi bisa dihitung dengan beberapa metode,

(37)

tampak atau berkelompok); (2) Pengambilan contoh secara kuadrat (perhitungan

dan penimbangan organisme dalam petak contoh atau transek yang cukup besar

ukuran dan jumlahnya; (3) Menandai dan menangkap kembali (sampel ditangkap,

ditandai dan dilepaskan kembali; (4) Removal sampling (sejumlah organisme

disingkirkan dari daerah itu; dan (5) Tanpa petak contoh (untuk organisme yang

diam seperti pohon).

2.3.3 Struktur Umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas

umur dari suatu populasi, perbandingan tersebut dapat juga dibedakan menurut

jenis kelaminnya. Struktur umur dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan

perkembangbiakan satwaliar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai

prospek kelstarian satwaliar (Alikodra 2002).

Kajian mengenai dinamika populasi sangat bergantung pada kemampuan

untuk mengenali umur individu dalam populasi tersebut (Caughley 1977).

Namun, menentukan umur satwaliar di lapangan adalah suatu hal yang sangat

sulit untuk dilakukan sehingga perlu dilakukan suatu pendekatan yang lebih

sederhana untuk pendugaan umur (Alikodra 2002).

Penentuan struktur umur labi-labi didasarkan pada Panjang Lengkung

Karapas (PLK), hal ini mengacu pada Alviola et al. (2003) bahwa panjang

karapas pada kura-kura (penyu) merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan

dibandingkan dengan lebar karapas. Pembagian kelas umur mengacu pada Kusrini

et al. (2007), dimana kelas umur labi-labi dibagi kedalam 4 (empat) kelas umur

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK

Kelas Umur PLK (cm) Struktur Umur

I ≤ 5,9 Tukik

II 6,0 – 19,9 Remaja

III 20 – 24,9 Dewasa Muda

(38)

2.3.4 Nisbah kelamin

Indriyanto (2010) menyatakan bahwa selain distribusi individu menurut

kelas umur, ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin,

yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi. Keseimbangan

jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlanjutan

populasi tersebut. Ukuran populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi

jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi

ukurannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka

kemungkinan terjadinya penurunan populasi akan lebih besar.

Identifikasi jenis kelamin pada labi baru dapat dilakukan terhadap

labi-labi dewasa dengan ukuran PLK lebih dari 25 cm (Oktaviani et al. 2008).

Labi-labi jantan memiliki ekor berbentuk memanjang sehingga ujungnya banyak

terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek

dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Jensen & Das 2008; Kusrini et

al. 2009)

2.4 Habitat dan Penyebaran

Bailey (1984) mengatakan bahwa habitat yang sesuai merupakan habitat

yang mampu menyediakan semua kelengkapan habitat terdiri dari berbagai

macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang

diperlukan oleh spesies satwaliar untuk bertahan hidup dan melangsungkan

reproduksinya secara berhasil. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari

komponen fisik dan komponen biotik. Sedangkan komponen biotik terdiri atas

vegetasi, mikrofauna, makrofauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup

satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar

tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi

lainnya (Alikodra 2002). Habitat satwaliar menyediakan kebutuhan-kebutuhan

yang mendasar seperti pelindung (cover/shelter), pakan, air, tempat

berkembangbiak. Cover memberikan perlindungan pada satwaliar dari cuaca yang

(39)

diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora

(pemakan buah), karnivora, omnivora, dan sebagainya.

2.4.1 Faktor Fisik

Faktor fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi labi-labi (A.

cartilaginea) antara lain :

a. Suhu

Alikodra (2002) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang penting

bagi kehidupan biosfer, karena pengaruhnya besar terhadap bentuk kehidupan.

Reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme dapat dipengaruhi oleh

suhu. Secara umum, suhu berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh

ataupun bagian-bagiannya. Satwaliar yang hidup di dalam air mempunyai

toleransi yang sempit terhadap suhu jika dibandingkan dengan satwaliar yang

hidup di darat. Berarti suhu air pada wilayah aliran sungai yang dipengaruhi oleh

aktivitas industri akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap

kehidupan perairan. Sesuai dengan arah aliran air, maka pengaruh kenaikan suhu

air ini sangat nyata pada wilayah aliran di bagian bawahnya.

Kairuman & Amri (2002) menyebutkan bahwa suhu merupakan faktor

penting dalam kehidupan labi-labi karena dapat mempengaruhi metabolisme. Jika

suhu air rendah, derajat metabolisme akan rendah, begitu pula sebaliknya. Derajat

metabolisme tersebut sangat berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen dan akan

sebanding dengan kenaikan suhu air. Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat

menyebabkan terjadinya stres pada labi-labi. Alikodra (2002) menyatakan bahwa

organisme yang mengalami stres akan menyebabkan terganggunya sistem

reproduksi mereka.

Air terdiri atas tiga lapis, yaitu lapisan atas yang disebut efilimnion, lapisan

tengah (termoklin), lapisan bawah yang disebut hipolimnion. Suhu air pada

lapisan efilimnion biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan hipolimnion.

Hal ini disebabkan karena lapisan efilimnion langsung terkena sinar matahari.

Sementara itu, lapisan termoklin biasanya akan mengalami penurunan suhu yang

sangat cepat. Suhu yang paling sesuai untuk kehidupan labi-labi adalah 22-320 C

(40)

b. Air

Ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim

lokal. Iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun,

tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya dalam

beberapa bulan saja. Satwaliar memerlukan air untuk beberapa proses yaitu

pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkat bahan-bahan sisa dan untuk

pendinginan dalam proses evaporasi. Satwaliar memperoleh air dari berbagai

sumber seperti air bebas yang tersedia di danau, kolam, sungai, bagian vegetasi

yang mengandung air, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme

lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh (Alikodra 2002).

c. Tipe substrat dasar perairan

Tipe perairan yang sangat disukai A. cartilaginea adalah perairan tenang,

dengan dasar perairan berlumpur (Rooij 1970; Nutaphand 1979; Ernst & Barbour,

1989). Kondisi seperti ini terdapat di daerah hilir sungai (Bayly & Williams

1981). Tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi

sungai, rawa, dan danau sungai mati (oxbow). Tipe dasar perairan yang berlumpur

sangat disukai A. cartilaginea karena dapat menunjang kegiatan reproduksinya

(tempat breeding ground) dan sebagai tempat bersembunyi (Ernst & Barbour

1989).

d. Kecerahan

Kecerahan merupakan suatu ukuran biasan cahaya dalam perairan, yang

dapat disebabkan oleh partikel koloid dan tersuspensi. Partikel-partikel ini bisa

berasal dari bahan organik dan bukan bahan organik, seperti lumpur atau sampah.

Kecerahan tidak langsung membahayakan kebidupan labi-labi, tetapi dapat

menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam air (Kairuman & Amri 2002).

e. Kecepatan arus

Labi-labi termasuk ke dalam binatang air karena hidupnya berada di dalam

dan tidak bisa jauh dari perairan. Pergerakan arus air dapat menentukan

penyebaran kehidupan organisme perairan. Organisme yang hidup di sungai yang

arusnya deras harus mampu menahan tubuhnya agar tetap stabil, atau jika tidak

(41)

kecepatan permukaan antara 10 s/d 20 cm per detik memiliki dasar perairan

berlumpur (Suwigno 1996) dan ini sesuai sebagai habitat labi-labi.

f. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman atau yang lebih dikenal dengan sebutan pH (puissance of

the Hidrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan

suasana asam atau basa suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7

merupakan pH netral atau normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh

konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari,

fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi karbondioksida dan akan

menghasilkan oksigen di dalam air, sehingga menyebabkan pH air meningkat.

Pada malam hari, biota air tadi mengkonsumsi oksigen dalam proses respirasi dan

akan menghasilkan karbondioksida, sehingga pH air akan menurun. Nilai pH air

yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7-8 (Kairuman & Amri 2002).

2.4.2 Faktor Biotik

Secara biologis, labi-labi pada umumnya menyenangi perairan yang kaya

akan hewan air seperti ikan, molusca, crustacea, dan lain-lain, serta permukaan

airnya terdapat tumbuhan air seperti eceng gondok, salvinia, semanggi, teratai dan

lainnya (Nutaphand 1979). Ketersediaan berbagai sumberdaya ini sebagai potensi

jenis pakan bagi labi-labi. Jenis pakan labi-labi sangat bervariasi, Jensen dan Das

(2005) menemukan bahwa di dalam usus besar labi-labi terdapat materi tumbuhan

dan vertebrata, ini mengindikasikan bahwa labi-labi merupakan hewan omnivora.

Elviana (2000) pernah melakukan penelitian karakteristik habitat labi-labi di

perairan Jambi, datanya dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik fisik dan kimia habitat labi-labi di perairan Jambi (Elviana 2000)

No. Karakter Batang

(42)

Tabel 3 Lanjutan

No. Karakter Batang

Pangian

Batang Langsip

Batang Bulian

6 Kecepatan arus permukaan

(cm/det)

15,4 11,6 11,1

7 Debit air (m/det) 1,62 1,51 1,71

8 Kecerahan air (cm) 85 62 80

9 Substrat dasar Berlumpur Berlumpur Berlumpur

10 Pinggir sungai Landai Landai Landai

2.4.3 Penyebaran

A. cartilaginea merupakan jenis yang menyebar luas di Asia Tenggara. Di

Indonesia, jenis ini dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok.

Penyebaran terkini diketahui terdapat di Sulawesi (Auliya 2007; Koch et al.

2008). Umum dijumpai di daerah yang tenang, berarus lambat, keruh dan

mempunyai lapisan lumpur tebal (Iskandar 2000). Labi-labi banyak ditemukan di

kolam yang berhubungan dengan sungai atau danau. Di Kalimantan Timur,

labi-labi juga ditemukan di sungai yang terpengaruh pasang surut air laut (Kusrini et

al.2009). Pada beberapa tempat di Cirebon, dijumpai labi-labi di kolam alami

dalam jumlah besar dan dianggap keramat. Nuitja et al. (1994) melaporkan bahwa

habitat A. cartilaginea dan Dogania subplana sulit dibedakan secara detail.

Namun demikian, A. cartilaginea lebih sering ditemukan di daerah hilir sungai

sedangkan Doganiasubplana lebih ke hulu sungai. Farajallah (1995) menyatakan

bahwa A. cartilaginea tidak pernah ditemukan pada sungai yang pasirnya

ditambang atau berdasar batu-batu kecil sampai tanggung.

2.4.4 Seleksi Habitat

Seleksi didefinisikan sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih

suatu sumberdaya atau habitat (Johnson 1980). Hadirnya populasi atau individu

tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun

habitat. Penggunaan habitat atau (habitat use) merupakan penggunaan dari salah

satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat (habitat selection)

merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan.

(43)

jangkauan geografis, daerah jelajah (home range) individu dalam jarak geografis,

penggunaan komponen dalam home range dan representasi dari bagian komponen

home range yang secara aktual digunakan oleh individu.

Bailey (1984) menyatakan bahwa seleksi habitat merupakan spesialisasi

bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat

tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan

sumberdaya yang tersedia. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat

merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara

mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air,

reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Faktor yang

mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi,

toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak

menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh

kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa

bagian secara selektif. Beberapa spesies satwaliar menggunkaan habitat secara

selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (misalnya: predasi dan

kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (misalnya: ketersediaan

mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu

ketersediaan pakan, menghindari pesaing, dan menghindari predasi (Moris 1987;

Leksono 2007).

McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah

memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan

untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumberdaya dengan spesies lain. Jadi,

tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik telah

menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk

kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.

Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan

sumberdaya makanan dan cover yang luas, spesies generalis cenderung mudah

beradaptasi dan terdapat dalam berbagai macam kondisi lingkungan.

Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan

hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumberdaya yang

(44)

Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi

habitat, pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai

mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana

hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi

yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner

dari perilaku yang terlibat.

2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari

perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang

bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,

memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan

menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. SIG merupakan

suatu sistem komputer yang memiliki empat kemampuan utama dalam menangani

data, yakni : memasukan data (Input Data), mengeluarkan data / informasi,

manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi

data.

Data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari

data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut. Informasi lokasi atau

informasi spasial. Contoh yang umum adalah informasi lintang dan bujur,

termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi. Contoh lain dari informasi

spasial yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah

Kode Pos. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu lokalitas

bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang berkaitan dengannya,

contohnya jenis bencana, kependudukan, pendapatan per tahun,dan lain-lain .

Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah

perangkat yang sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan,

menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data

spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud dan tujuan tertentu, telah membuat

SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisis spasial dan telah

diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sebagai pemetaan, namun juga

(45)

Sinclair et al. (2006) menyatakan bahwa SIG merupakan sarana yang

menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief

topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam database

komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring

informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001)

menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan

habitat pada skala lanskap.

2.6 Pemanenan dan Perdagangan

2.6.1 Pemanenan

Pemanenan berarti suatu kegiatan memanen hasil. Suatu hasil atau produk

diperoleh setelah kita memelihara dengan baik, berarti ada unsur pengelolaan.

Satwaliar harus dikelola dengan baik sehingga menghasilkan suatu kondisi populasi

yang sehat dengan laju pertumbuhan yang maksimal (Alikodra 2010). Informasi

dasar mengenai populasi dan biologi suatu spesies merupakan suatu hal yang

penting untuk kegiatan pengelolaan spesies tersebut.

Labi-labi adalah kura-kura air tawar Asia yang paling banyak dipanen dari

alam untuk diperdagangkan guna kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan

pembuatan obat tradisional Cina. Kelimpahan spesies ini di perdagangan

mengalami penurunan sebesar duapertiga dalam kurun waktu 15 tahun terakhir,

yang menggambarkan penurunan populasi alami di Indonesia, dan di beberapa

negara lain pun populasi lokal telah mengalami penurunan (CITES 2004).

Perdagangan yang terus menerus merupakan ancaman utama bagi kelestariannya,

dan perdagangan dalam jumlah besar dapat terlihat di pasar-pasar domestik

membuat kelompok penyu dan kura-kura dapat digunakan sebagai indikator yang

cocok untuk mengevaluasi pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar

dan perdagangannya di Indonesia (Sheperd & Nijman 2007).

Pemanenan labi-labi di alam untuk memenuhi permintaan pasar domestik

dan luar negeri dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian populasinya.

Hasil tangkapan dari berbagai ukuran berat diambil untuk dijual kepada para

(46)

tinggi yaitu antara 3 s.d. 15 kg, ukuran ideal untuk konsumsi. CITES Scientific

Authority di Indonesia telah menghimbau untuk tidak melakukan pemanenan

terhadap labi-labi dengan ukuran berat antara 5 s.d. 15 kg karena diduga

merupakan ukuran bagi individu betina yang reproduktif.

2.6.2 Alur Perdagangan

Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk kelompok reptil dengan

jumlah ekspor mencapai angka 62% dari total 14 juta individu, sementara negara

pengimpornya berturut-turut adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Sheperd

(2000 dalam Nijman 2010) melaporkan ekspor tahunan labi-labi dari Indonesia ke

negara Cina mencapai angka 1 juta kilogram atau diperkirakan setara dengan

200.000 – 300.000 ekor. Sheperd dan Nijman (2007) menyebutkan perdagangan

kelompok penyu dan kura-kura dalam jumlah besar yang terlihat di pasar-pasar

domestik dapat digunakan sebagai indikator yang cocok untuk mengevaluasi

pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar dan perdagangannya di

Indonesia.

Perdagangan kura-kura di Indonesia dan Indochina digambarkan oleh

Traffic (2008) memiliki kesamaan alur maupun pelaku-pelakunya, tetapi di

Indonesia berlangsung lebih dinamis. Dinamika ini ditunjukkan melalui hubungan

antar-pelaku yang berlangsung lebih fleksibel, dimana para penangkap bisa

langsung mengakses para eksportir tanpa melalui para pengumpul maupun

pedagang, sementara di Indochina yang bisa berhubungan dengan para eksportir

hanyalah para pedagang besar tingkat regional atau dengan kata lain hubungan

antara para pelaku memiliki struktur dan alur yang jelas dan tertentu.

2.6.3 Harga

Di negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina, Korea, dan Taiwan

sudah sejak lama menjadikan labi-labi sebagai komoditas perikanan yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti halnya ikan dan udang. Tingginya

permintaan daging labi-labi dikarenakan oleh terbukanya peluang ekspor ke

negara-negara di Asia Timur tersebut. Hal ini berawal dari mulai kewalahannya

(47)

konsumen yang cenderung meningkat tajam dari waktu ke waktu. Kondisi ini

mendongkrak harga jual labi-labi ke tingkat yang cukup tinggi.Pada tahun 1999

lalu, harga jual labi-labi ukuran konsumsi di Indonesia yang diekspor ke Taiwan

sekitar 12 dolar AS per ekor untuk labi-labi berumur 1 tahun. Pada awal tahun

2001, harga beli untuk ukuran yang sama di negara pengimpor sudah mencapai

sekitar 20 dolar AS (Amri & Khairuman 2002).

Beberapa hasil penelitian menyebutkan informasi mengenai harga labi-labi

untuk pasar dalam negeri. Nijman et al. (2012) mengemukakan apabila harga

labi-labi diasumsikan sebesar USD 10,00 per kg maka nilai perdagangan labi-labi-labi-labi

mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi.

Harga labi-labi yang berlaku di pasar dalam negeri dibedakan oleh ukuran bobot

tubuhnya. Harga labi-labi di Kalimantan Timur dibagi menjadi tiga kelas yaitu :

kelas < 20 kg, kelas 20-30 kg dan kelas > 30 kg berturut-turut Rp. 24.000/kg, Rp.

22.000/kg dan 20.000/kg (Kusrini et al. 2009), sementara Oktaviani dan Samedi

(2008) menuliskan bahwa harga labi-labi di Sumatera Selatan juga dibedakan

berdasarkan klasifikasi ukuran dan terbagi menjadi 8 kelas dengan harga tertinggi

(48)
(49)

III.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah dengan memilih

Kota Palangkaraya dan tiga kabupaten penghasil labi-labi lainnya yaitu

Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan

(Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian.

3.1 Provinsi Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan ibukotanya Palangkaraya

secara geografis terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada 000 45’ LU – 030 30’

LS dan 1110 BT – 1150 BT, yang luas wilayahnya mencapai 153.564 km2 atau 1,5

kali Pulau Jawa dan merupakan provinsi terluas ketiga di Indonesia setelah

Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua. Kalimantan Tengah pada bagian

(50)

bagian timur berbatasan dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan,

bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah barat berbatasan dengan

Kalimantan Barat. Kalimantan Tengah saat ini terdiri dari 13 kabupaten dan satu

kota dengan 85 kecamatan yang terdiri dari 1.340 desa dan 101 kelurahan.

Rincian kabupaten di Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah

No. Kabupaten/Kota Luas (km2)

Sumber : BPS Provinsi Kalteng 2010

Menurut Oldeman et al. (1980) dalam MacKinnon et al. (2000), agroklimat

di Kalimantan Tengah terdiri dari 4 klas, yaitu (1) Klas A di bagian utara

Kalteng, yaitu lebih dari 9 bulan basah berurutan; (2) Klas B1 di Kalteng bagian

tengah, yaitu 7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering; (3) Klas C1, yaitu

5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering; (4) C2 di Kalteng bagian selatan,

yaitu 5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering. Suhu udara dapat mencapai

230 C pada malam hari dan 330 C pada siang hari, dan penyinaran matahari 60%

per tahun. Musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Agustus dan

berlangsung sampai bulan Mei, puncaknya pada bulan Nopember dan April. Iklim

yang relatif lebih kering dimulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus.

Berdasarkan peta ketinggian dalam data pokok untuk pembangunan

(Bappeda TK.I Kalteng, 1993/1994), diketahui bahwa proporsi ketinggian

(51)

7-25 mdpl seluas 15,23%, 25-100 mdpl seluas 42,12%, 100-500 mdpl seluas

20,96%, dan > 500 mdpl seluas 7,88%. Sedangkan berdasarkan kelerengan terdiri

dari 32,97% kelerengan 0-2%, 28,86% kelerengan 2-15%, 28,34% kelerengan

15-40%, dan 9,83% kelerengan > 40%.

Tanah di Kalteng meliputi jenis jenis organosol, gley dan humus (OGH),

aluvial (komplek alluvial hidromorfile, aluvial marine), regosol (asosiasi

regosol-podsolik), podsolik merah kuning (PMK), podsol, latosol, litosol, dan laterit.

Distribusi terbesar adalah jenis PMK dengan total luas sekitar 42,40% dari total

luas Kalteng (BPS Provinsi Kalteng 2010).

Kalimantan Tengah menjadi Provinsi dengan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH) paling rendah di Kalimantan. Perhitungan IKLH terdiri dari 3

parameter penilaian kualitas lingkungan yaitu terdiri dari kualitas air sungai,

kualitas udara dan tutupan hutan. IKLH Kalimantan Tengah hanya 45,7%

dibawah angka rata-rata nasional 59,73%. Kalteng berada di urutan kedua paling

bawah dari 28 provinsi yang diberi indeks, satu posisi di atas Jakarta. Hal yang

membuat indeks Kalteng anjlok ke peringkat 27 adalah karena kualitas airnya

yang cukup rendah, hanya 2,92%. Sedangkan kualitas udaranya bagus yaitu

93,71%, nilai tutupan lahan berada pada level sedang (40,48%). Salah satu

penyebab rendahnya kualitas air adalah cukup besarnya kandungan air raksa

dalam sungai di Kalteng. Hal lainnya adalah tidak terkendalinya pemanfaatan atau

pengalihfungsian hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Sungai memegang peranan penting sebagai sarana transportasi yang

dominan dan sebagai urat nadi aktivitas ekonomi di Kalteng. Hampir seluruh

wilayah Kalteng dialiri oleh sungai besar dan kecil yang mengalir dari utara ke

selatan dan bermuara di Laut Jawa. Terdapat 11 sungai besar dengan panjang

bervariasi antara 175 sampai 900 km dengan rata-rata kedalaman 8 m. Selain itu,

terdapat tidak kurang dari 33 sungai kecil/anak sungai mengalir membelah

daerah-daerah di Kalteng. Sebagian besar penduduk bermukim dan menetap di

daerah pinggiran sungai bagian hilir. Daerah-daerah lain yang jauh dari aliran

sungai pada umumnya jarang dihuni.

(52)

Tabel 5 Nama-nama sungai di Kalimantan Tengah menurut panjang yang dapat dilayari dan rata-rata kedalamannya

Nama Sungai

Panjang Rata-rata

Kilometer Yang dapat

dilayari (km)

Sumber : BPS Provinsi Kalteng 2010

Dayak merupakan sebutan bagi komunitas penduduk yang mendiami Pulau

Kalimantan. Komunitas Dayak ini terdiri atas sub-sub suku (tribals) yang

dibedakan dari bahasa, kesenian, tradisi dan tempat pemukiman. Pembagian

berdasarkan komunitas Dayak terbesar menurut Ave & King (1986) adalah Dayak

Iban yang ditemukan di Serawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan Barat; Dayak

Ngaju yang mendiami Kalteng; dan Dayak Kayan-Kenyah yang terdapat di

Kalimantan Timur.

Suku Dayak di Kalimantan terdiri dari tujuh suku, dari ketujuh suku dayak

tersebut, di Kalteng terdapat paling sedikit 3 suku dengan tujuh anak sukunya

yaitu suku Dayak Ngaju Ma’anyan, Dusun dan Lawangan yang menyebar di

Kalteng bagian tengah sampai ke bagian timur; suku Dayak Ot Danum yang

bermukim di Kalteng bagian utara; dan suku Dayak Klemantan/Dayak Darat

dengan anak suku Dayak Klemantan/Dayak Darat dan Dayak Ketungau yang

menyebar di Kalteng bagian barat.

Mencari ikan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh

kebanyakan Suku Dayak. Jenis ikan yang banyak didapat adalah ikan baung

(Mystus nemurus), lais (Cryptopterus cryptopterus), behau/gabus (Channa

striata), miau (Channa lucius), kakapar (Belontia hasselti), saluang (Rasbora

(53)

testudineus), pentet/lele (Clarias batrachus), manjuhan/jelawat (Leptobarbus

hoevenii), tampahas (Walago leerii), banangin (Osteochillus vittatus), serta

kura-kura jenis bere/labi-labi (A. cartilaginea). Kegiatan mencari ikan dimulai di awal

musim kemarau (tampara mandang) antara bulan Mei-Juni setiap tahun. Ini adalah

saat ketika ikan harus keluar ke daerah rawa-rawa (dapu) mencari air yang lebih

dalam.

Pola pemenuhan kebutuhan dasar suku Dayak Ma’anyan terkait erat dengan

pemanfaatan hutan, sungai dan danau. Pencarian ikan dilakukan pada musim

penghujan atau ketika air naik, yakni bulan Desember-Januari. Ikan dikeringkan

dan diasinkan sebagai persediaan lauk pauk. Jenis ikan sungai/rawa yang sering

didapat adalah baung, kakapar, patung, puyu, saluang. Alat menangkap ikan

relatif sederhana terbuat dari kayu dan bambu yang diperoleh dari hutan di sekitar

desa, dan dibuat pancing (pintan), nabing, marengge, wuwu/ lukah, nyalambau,

lunta, pangilar, kabam. Pada musim kemarau, warga desa dapat menangkap ikan

langsung dengan tangan (bagagap). Kegiatan ini dilakukan pada daerah luau atau

daerah-daerah di hutan/danau yang airnya mengering. Jika pola yang sama

dilakukan dengan menggunakan alat, sauk, maka cara ini disebut sebagai nikep.

Suku Dayak Ot Danum mencari ikan dilakukan dengan cara memancing (mosi),

jerat (naut atau mambanjur), menggunakan boka (Takalalak atau manenan dalam

Bahasa Dayak Ngaju): biasanya perangkap ikan ini dipasang menghadap ke ngaju

atau hilir, buwu biasanya dipasang menghadap ke hulu.

3.2 Kota Palangkaraya

Kota Palangkaraya terletak antara 1130 30’ – 1140 07’ Bujur Timur dan 10

35’ – 20 24’ Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 35 m dpl. Luas wilayah

Kota Palangkaraya sebesar 2.678, 51 km2. Penggunaan lahan di Kota

Palangkaraya terdiri dari kawasan hutan 2.485,75 km2; tanah pertanian 12,65 km2;

pemukiman 45,54 km2; perkebunan 22,30 km2; sungai dan danau 42,86 km2; dan

lain-lain 69,41 km2. Kota Palangkaraya terdiri dari 5 kecamatan dan 30 kelurahan.

Jumlah penduduk Kota Palangkaraya pada tahun 2009 mencapai 200.998 jiwa

yang terdiri dari 99.032 laki-laki dan 101.966 perempuan. Kepadatan penduduk

(54)

merupakan dataran rendah dan dibelah oleh sungai besar yaitu Sungai Kahayan.

Luas sungai dan danau di Kota Palangkaraya sebesar 42,86 km2.

3.3 Kabupaten Katingan

Kabupaten Katingan secara geografis berada di daerah Khatulistiwa, yaitu

terletak diantara 112° 0’Bujur Timur – 0°20 Lintang Selatan dan 113° 45’ Bujur

Timur - 30° 30’ Lintang Selatan dengan luas ± 17.500 km2. Penggunaan lahan di

Kabupaten Katingan terdiri dari: hutan 2.538,16 km²; pemukiman 192,85 km²;

sawah 753,27 km²; tanah kering 1.098,47 km²; perkebunan 372,77 km²; industri

31,56 km²; hutan sekunder 8.544,03 km²; perairan dan lainnya 1.931,19 km².

Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan. Jumlah penduduk Kabupaten

Katingan pada tahun 2009 mencapai 148.912 jiwa yang terdiri dari 77.557

laki-laki dan 71.355 perempuan.

Katingan adalah sebuah nama aliran sungai yang membentang dari laut jawa

kearah utara hingga mencapai perbatasan Kalimantan Barat. Kabupaten Katingan

memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan panjang 650 km dengan lebar

rata-rata 200 m dengan luas perairan 1.704.400 ha, terdiri dari danau 44 buah dengan

luas 1.824 ha serta rawa sebanyak 56 buah yang terbentuk di kiri dan kanan

daerah aliran sungai. Kawasan-kawasan ini mempunyai potensi untuk perikanan

budidaya, tangkap dan daerah konservasi (closed season) atau daerah reservart

serta dapat pula menjadi bisnis agro wisata.

3.4 Kabupaten Kotawaringin Timur

Kabupaten Kotawaringin Timur memiliki luas wilayah 16.496 km².

Penggunaan lahan di Kabupaten Kotawaringin Timur terdiri dari: hutan 4.118,98

km²; hutan mangrove 100,01 km²; hutan rawa 1.877,66 km²; perkebunan 1.741,86

km²; pemukiman 41,47 km²; pertambangan 75,34 km²; sawah 397,62 km²; ladang

124,11 km²; kebun campuran 314,19 km²; semak belukar 3.727,13 km²; rawa

belukar 1.743,59 km²; tanah terbuka 835,99 km²; transmigrasi 257,19 km²; badan

air 128,98 km²; lain-lain 1.011,87 km². Kabupaten Kotawaringin Timur terdiri

dari 13 kecamatan dimana 3 diantaranya terletak di wilayah pesisir, 148

Gambar

Tabel 1  Ukuran Morfometri Labi-labi A. cartilaginea yang pernah diukur di
Gambar 1 Peta lokasi penelitian.
Tabel 4 Luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah
Gambar 2 Tahapan pengolahan citra.
+7

Referensi

Dokumen terkait