• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ethnobotany Application Analysis of the Baduy People in Food Security

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ethnobotany Application Analysis of the Baduy People in Food Security"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENERAPAN PENGETAHUAN ETNOBOTANI

MASYARAKAT BADUY DALAM KETAHANAN PANGAN

SYAFITRI HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penerapan Pengetahuan Etnobotani Masyarakat Baduy dalam Ketahanan Pangan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Syafitri Hidayati

NIM E351110041

________________________________ 

(4)
(5)

Baduy dalam Ketahanan Pangan. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL AM ZUHUD.

Masalah ketahanan pangan sedang menjadi isu penting dan banyak kalangan meyakini bahwa dunia telah menghadapi krisis pangan sejak 2007. Krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukan pada tingkat makro melainkan pada tingkat mikro (keluarga) di daerah-daerah pedesaan yang terpencil, karena dampak dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang menerapkan tarif impor komoditas pangan sangat rendah sehingga harga komoditas pangan yang diimpor lebih rendah dari hasil pertanian lokal atau nasional. Akibatnya di daerah-daerah pedesaan yang berpotensi menjadi lumbung pangan tidak bergairah mengembangkan produksi pangannya karena pendapatan yang akan mereka terima tidak menjanjikan.  

Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas- FSVA) 2009, sebanyak 100 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia masuk dalam kategori rawan pangan utama, termasuk beberapa kabupaten yang surplus pangan. Berdasarkan peta tersebut masyarakat Baduy berada pada kondisi rawan pangan prioritas III. Namun masyarakat Baduy memiliki seperangkat pengetahuan tradisional yang diduga mampu membawanya dalam kondisi tahan pangan. Sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy dalam ketahanan pangan. Pendekatan etnobotani digunakan karena tumbuhan memiliki peran penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai status ketahanan pangan masyarakat Baduy berdasarkan indikator penerapan pengetahuan etnobotani yang dimiliki. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengukur nilai tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Food Significant Index) masyarakat Baduy dan (2) mengukur tingkat penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy dalam ketahanan pangan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2012 di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan subyek penelitian masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: (1) spesies tumbuhan pangan tradisional bernilai penting (Cultural Significant Plant) yang diperoleh melalui wawancara terhadap 60 responden yang dipilih secara purposive sampling dan eksplorasi lapang, (2) penerapan pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan (infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologi) yang diperoleh melalui Focus Group Discussion terhadap ketua adat, perangkat desa, dan beberapa masyarakat yang terkait erat dengan pemanfaatan tumbuhan pangan, (3) studi pustaka dilakukan pula untuk melengkapi data spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi.

(6)

pada tingkat sedang yaitu 0,83 yang nilainya lebih besar dari Q1 (Kuartil satu yaitu 0,795). Nilai Mg yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, asal, dan aktivitas harian. Berdasarkan hasil analisis statistika dengan Kruskal Wallis test, perbedaan kelas umur menunjukkan perbedaan yang nyata, sebaliknya jenis kelamin dan asal tidak berbeda nyata. Sehingga perbedaan usia akan mempengaruhi tingkat pengetahuan etnobotani pangan. Retensi pengetahuan etnobotani adalah kemampuan masyarakat untuk menyimpan pengetahuan etnobotani yang dimilikinya. Responden yang berada pada KU-5 mampu menyimpan pengetahuan etnobotani yang lebih besar dibandingan KU yang lain, dengan nilai MG yang tertinggi yaitu 0,939. Sebaliknya Responden yang berasal dari KU-1 dan KU-2 memiliki nilai RG, RC, dan CA yang terendah. Nilai CA antar kelas umur menunjukkan tingkat perubahan tahunan yang terjadi antar kelas umur, nilai CA dari KU-5 mengalami kecenderungan menurun (-) hingga KU-1. Kondisi perubahan tahunan yang terjadi berada pada kondisi normal. Terlihat dari jarak perubahan tahunan antar kelas umur sangat kecil (<0,25). Hal ini mengindikasikan bahwa pewarisan pengetahuan etnobotani pada masyarakat Baduy masih berlangsung dengan baik.

Ketersediaan pangan, akses pangan, kesehatan, dan pemanfaatan pangan masyarakat Baduy dalam kondisi yang baik. Pangan yang ada dikelola dengan pengetahuan tradisional yang bersifat lokal sehingga stabil dan terus berkembang sesuai karakteristiknya. Pengetahuan tersebut diwariskan secara baik dari ayah atau ibu dan orang yang lebih tua kepada anak.

(7)

SYAFITRI HIDAYATI. Ethnobotany Application Analysis of the Baduy People in Food Security. Supervised by AGUS HIKMATand ERVIZAL AM ZUHUD.

The food security was become an important issue and many people believed that the world is in food crisis since 2007. Food crisis in Indonesia not at the macro level but at the micro level (family) in the rural areas, because of the impact from government policies in the past. Based Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2009, 100 from 265 districts in Indonesia in the category of major food insecurity, included some districts that surplus food condition. Based on these maps Baduy tribal society have been at 3rd priority insecurity. But actually the Baduy people has traditional knowledge were able to hold him in conditions of food security. Generally, this study aims to assess the food security status of Baduy tribal society based on indicators of the application ethnobotanical knowledge. In particular, the study aims to: (1) measure the cultural food significant plants and (2) measure the level of application ethnobotanical knowledge Baduy tribal society in food security. The research was conducted in August and October 2012 in the Village of Kanekes, Leuwidamar Sub-District, Lebak District within Banten Province. The subject in this research are the people from inner Baduy and outer Baduy. Baduy people utilized 240 food plants species, 46 variety of field paddies, 42 variety of bananas, 12 variety of taroes, 9 variety of coconuts, 17 variety of sweet potatoes, 2 variety of eggplants, 8 variety of cassavas, 2 variety of manggoes, 2 variety of rambutans, 2 variety of corns, and 3 variety of pineapples wich be found in cultivation area and forest. The level of traditional knowledge about food plant was in normal condition 0.833, where the from the old age to young age in small decrease retention (<0,25). The ability of local communities in the named and used of the plant was highly influenced by age. The older generations of Baduy knew more about traditional plants than the younger generations. Youngers Baduy knew fewer types of plants because they have been influenced by the modern society. Unfortunatelly, they pay more attention about high technology, television, used phone than to learned about how they can develop their knowledge about the traditional plants. Therefore, the interest in plants have been reducing. Based on the indicators, the use of knowledge about food plants Baduy people are in a good food secturity condition. Moreover, successful retension occurs from generation to generation. This indicates that the Baduy people still will be able to use food resources in their land.

(8)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugian kepentingan IPB

(9)

SYAFITRI HIDAYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

NIM : E351110041

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Hikmat, MScF Ketua

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahuwata’ala yang telah memberian kenikmatan kepada kita, diantaranya meningkatkan derajat orang-orang yang berilmu. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi besar Muhammad Shalallahu’alaihi wa salam yang membawa manusia ke zaman terang benderang.

Tesis yang berjudul ”Analisis Penerapan Pengetahuan Etnobotani Masyarakat Baduy dalam Ketahanan Pangan” tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan masukan dan arahan dalam menyempurnakan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Arzyana Sunkar, MSc, Prof Dr Ir Alex Hartana, MSc dan Dr Ir Iwan Hilwan, MS atas segala ilmu dan saran yang telah diberikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI selaku pihak pemberi beasiswa Unggulan Calon Dosen dan Tenaga Pendidik. Kang Samin, Teh Rasti, Teh Elas, Panggiwa Rasudin dan Panggiwa Sajum, Jaro Sami, Jaro Darni, serta Jaro Dainah yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas dorongan, doa, kasih sayang, tenaga, dan materi yang tidak mungkin dapat tergantikan, serta seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan yang telah kalian berikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu diperlukan masukan dari banyak pihak. Semoga tesis ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya pada sekolah pascasarjana IPB terutama yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan etnobotani masyarakat.

Bogor, Februari 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 4

TINJAUAN PUSTAKA

Etnobotani 6

Pengetahuan Tradisional Mengenai Tumbuhan 7 Spesies Tumbuhan Pangan Tradisional Penting 7

Ketahanan dan Kedaulatan Pangan 8

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat 11

Jenis Data 11

Metode Pengumpulan Data 11

Analisis Data 13

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas 18

Topografi dan Iklim 19

Masyarakat Baduy 19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Makanan Pokok 22

Tumbuhan Pangan Tradisional Masyarakat Baduy 27 Frekuensi Pemanfaatan Tumbuhan Pangan 30 Bagian Tumbuhan Pangan yang Dimanfaatkan 31

Cara Pengolahan Tumbuhan Pangan 32

Rasa dan Kesukaan terhadap Tumbuhan Pangan 33 Penggunaan Tumbuhan Pangan untuk Kesehatan 34 Penerapan Pengetahuan Etnobotani dalam Ketahanan Pangan 35 Ketahanan Pangan Masyarakat Baduy 39 Kontribusi Pengetahuan Etnobotani dalam Konservasi Tumbuhan

Pangan 43

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 45

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

(14)

DAFTAR TABEL

1. Parameter data penelitian 11

2. Pemilihan responden penelitian 12

3. Nilai indeks tingkat ketersediaan 14 4. Nilai indeks frekuensi pemanfaatan 15 5. Nilai indeks bagian yang dimanfaatkan 15 6. Nilai indeks keanekaragaman penggunaan pangan 16

7. Nilai indeks tingkat rasa dan kesukaan 16 8. Nilai indeks penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan 16 9. Karakteristik masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar 20 10. Susunan kegiatan upacara adat dan perladangan di Baduy

berdasarkan penanggalan 23

11. Kategori tumbuhan hasil eksplorasi 28 12. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan 31

13. Cara pengolahan tumbuhan pangan 32

14. Karakteristik masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam tentang

pangan 37

15. Perubahan pengetahuan etnobotani pangan masyarakat Baduy 38 16. Perbandingan indikator FSVA dengan kondisi aktual Baduy 40 

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian 5

2. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia (Deptan 2009) 9

3. Peta Desa Kanekes 18

4. Jumlah penduduk Baduy tahun 1985-2012 20 5. Penyakit yang diderita masyarakat Baduy 21 6. Sketsa humamasyarakat adat Baduy 22 7. Ikatan atau pocong padi yang sedang dikeringkan di lantaian 24

8. Leuit Baduy 25

9. Letak dan kompleks leuitdi Baduy 26

10. Tipe penggunaan lahan di kawasan Baduy 29 11. Supa jangkar (a) dan suum pahatu(b) 29 12. Tingkat ketersedian tumbuhan pangan musiman dalam satu tahun 30 13. Frekuensi pemanfaatan tubuhan pangan oleh masyarakat Baduy 31 14. Tingkat rasa dan kesukaan terhadap spesies tumbuhan pangan 33 15. Tingkat pemanfaatan tumbuhan untuk kesehatan 34 16. Perubahan pengetahuan etnobotani per tahun berdasarkan kelas

umur 38

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

3. Daftar kuisioner penerapan pengetahuan tradisional 53

4. Daftar responden penelitian 54

5. Tingkat pengetahuan tradisional masyarakat Baduy dalam

ketahanan pangan 55

6. Analisis statistik non parametrik uji Kruskal Wallis dan Man

Withney 56

7. Sistem sosiokultural masyarakat Baduy 57

8. Tanaman pangan budidaya 58

9. Tumbuhan pangan liar penting 66

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah ketahanan pangan sedang menjadi isu penting dan banyak kalangan meyakini bahwa dunia telah menghadapi krisis pangan sejak 2007 (Tambunan 2008). Krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukan pada tingkat makro melainkan pada tingkat mikro (keluarga) di daerah-daerah pedesaan yang terpencil, karena dampak dari kebijakan pemerintah di masa lalu ketika pemerintah menerapkan tarif impor komoditas pangan rendah (lebih rendah dari ketentuan WTO) sehingga harga-harga komoditas pangan yang diimpor lebih rendah dari hasil pertanian lokal atau nasional. Akibatnya di daerah-daerah pedesaan yang berpotensi menjadi lumbung pangan tidak bergairah mengembangkan produksi pangannya karena pendapatan yang akan mereka terima tidak memadai.

Selain itu ketersediaan pangan secara makro belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Kelancaran distribusi dan daya beli masyarakat merupakan dua unsur penting dalam mewujudkan ketahanan pangan (Sibuea 2008). Selanjutnya Sibuea (2008) menjelaskan bahwa rendahnya ketahanan pangan di Indonesia disebabkan pula oleh kebijakan”berasisasi” yang diberlakukan oleh pemerintah sejak dulu. Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas- FSVA) 2009, sebanyak 100 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia masuk dalam kategori rawan pangan utama, termasuk beberapa kabupaten yang surplus pangan (Deptan 2009). Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar yang mengarah pada dasar penetapan kriteria daerah rawan pangan. Salah satu indikator rawan pangan yang digunakan adalah persentase kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah diasumsikan tidak dapat memanfaatkan pangan berbasis sumber daya lokal (SDL) secara optimal dan mengakses sumber pangan tersebut.

Indikator tersebut tidak relevan jika digunakan pada kawasan adat yang dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Karena masyarakat adat atau masyarakat tradisional telah mengembangkan pengetahuan dan kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya alamnya dan terbukti lestari hingga saat ini (KMNLH 2001). Sebagai contoh masyarakat Baduy yang terbukti mampu mengelola ladang/huma sebagai penghasil berasnya dan teknologi leuit yang merepresentasikan lumbung padi bagi masyarakat Baduy. Kemampuan sistem pertanian masyarakat yang bersumber dari penggunaan pengetahuan tradisional telah dimiliki oleh masyarakat adat secara turun-temurun di suatu daerah dan erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan secara lestari sehingga terbukti mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan pangan berkelanjutan (Chapman 2007; Pierotti 2011).

(18)

masyarakat Baduy mengembangkan dan menggunakan beberapa spesies tumbuhan pangan lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya seperti taleus

(Colocasia esculenta), tangkil (Gnetum gnemon), dan berbagai spesies buah-buahan serta sayuran yang dibudidayakan ataupun diambil langsung dari hutan. Masyarakat Baduy memanfaatkan 127 spesies tumbuhan pangan yang berasal dari hutan, huma, pekarangan, reuma, jami, dan di sempadan sungai (Suansa 2011). Tingginya jumlah spesies yang dimanfaatkan mengindikasikan bahwa masyarakat Baduy memiliki banyak pilihan (diversifikasi) dalam budaya pangannya.

Makan dan kebutuhan pangan, erat kaitannya dengan budaya yang berkembang di suatu tempat. Budaya atau kebiasaan makan dan pola makan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan ini semakin terlihat antara masyarakat satu dengan yang lainnya, sebagai contoh mayarakat adat Jae di Papua yang memiliki kebudayaan meramu, orang Jae memakan hampir segala sesuatu yang tersedia untuk bisa dimakan agar tetap hidup. Rasionalisasi dari sistem pengetahuan orang Jae tentang apa yang bisa dan tidak bisa dimakan merupakan sebuah proses panjang sampai pada penetapan spesies tumbuhan tertentu sebagai makanan. Tumbuhan ditetapkan sebagai makanan karena tidak mematikan orang, sebaliknya sesuatu yang mematikan tidak boleh dimakan (Apomfires 2002). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari kebudayaanlah pola makanan suatu masyarakat atau komunitas akan lahir dan terbentuk.

Demikian pula dengan masyarakat adat Baduy yang mengembangkan aspek sosial budaya pangan spesifiknya. Budaya sebagai arahan hidup membentuk kepercayaan dan moral masyarakat adat Baduy (Aspartia 1996). Budaya juga berperan dalam memberikan nilai sosial pada makanan, seperti adanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai sosial yang rendah, sebaliknya tumbuhan pangan lain memiliki nilai sosial yang tinggi. Sebagai contoh, beras dianggap memiliki nilai sosial yang lebih tinggi daripada sumber karbohidrat lainnya seperti singkong, jagung, dan lain-lain (Tan et al. 1970).

Berbagai penelitian yang mengkaji hubungan antara budaya dengan tumbuhan pangan telah banyak dilakukan, namun kuantifikasi tumbuhan pangan tradisional penting belum banyak digali. Kenyataannya metode kuantifikasi ini sangat penting dilakukan dalam aplikasi ilmu etnobotani yang sedang berkembang (Pieroni 2001). Pengukuran nilai penting budaya terhadap suatu spesies (Cultural Significant Plant) akan menjadi dasar dalam pengukuran pengetahuan tradisional masyarakat (indigenouse knowledge) dalam pemanfaatan spesies tumbuhan pangan. Selanjutnya pengetahuan tradisional masyarakat terhadap pemanfaatan spesies tumbuhan beserta sistem pangan yang meliputi infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis dapat dijadikan dasar dalam pengukuran retensi dan penggunaan pengetahuan etnobotani dalam ketahanan pangan pada masyarakat adat Baduy (Zent 2009; Suansa 2011).

Rumusan Masalah

(19)

tersebut. Salah satu indikator dari akses pangan adalah jumlah kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar. Salah satu indikator dalam kesehatan dan gizi adalah jumlah perempuan buta huruf.

Jika indikator tersebut digunakan dan disimulasikan pada komunitas masyarakat Baduy yang berada di Kabupaten Lebak, daerah ini termasuk dalam daerah prioritas 3 (Deptan 2009). Baduy menjadi daerah rawan pangan prioritas ke-3 karena tingkat pendidikan yang relatif rendah, tingkat buta huruf yang relatif tinggi, akses listrik yang rendah, meskipun termasuk dalam daerah surplus pangan yang sedang. Kenyataannya Baduy memiliki seperangkat pengetahuan tradisional yang diadaptasikan dan digunakan dalam waktu panjang sehingga diduga mampu membawa masyarakat Baduy dalam kondisi yang tahan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan masyarakat Baduy dilakukan dengan pendekatan etnobotani (pangan) atau pemanfaatan tumbuhan lokal oleh masyarakat. Pendekatan ini digunakan karena tumbuhan memiliki peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia (NTBG 2007; Suansa 2011).

Penetapan tumbuhan pangan bernilai budaya tinggi (Cultural Significant Plant) merupakan pemberian nilai terhadap suatu spesies tumbuhan berdasarkan budaya yang melekat dalam suatu komunitas masyarakat (Pieroni 2001). Penilaian tersebut merepresentasikan keeratan hubungan antara manusia dengan tumbuhan dalam penggunaan dan pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) pangan. Selanjutnya nilai tersebut dijadikan dasar untuk mengukur penggunaan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy dalam ketahanan pangan. Sehingga muncul dua pertanyaan penting dalam penelitian, yaitu:

1. Spesies tumbuhan pangan tradisional (cultural significant plant) apa yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy sebagai bahan pangan?

2. Berapa besar tingkat penggunaan pengetahuan etnobotani masyarakat adat Baduy dalam ketahanan pangan?

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai status ketahanan pangan masyarakat Baduy berdasarkan indikator penerapan pengetahuan etnobotani yang dimiliki. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengukur nilai tumbuhan pangan tradisional penting masyarakat Baduy. 2. Mengukur tingkat penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy

dalam ketahanan pangan.

Manfaat Penelitian

(20)

Kerangka Pemikiran

Pendekatan pengetahuan etnobotani digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi status ketahanan pangan masyarakat Baduy. Pengetahuan tersebut terdiri atas pengenalan spesies tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Food Significant Index) termasuk tanaman pangan budidaya dan tumbuhan pangan liar, serta sistem sosio kultur yang terdiri dari: infrastruktur material, struktur sosial, dan super struktur ideologi (Pieroni 2001; Zent 2009). Selanjutnya pengetahuan etnobotani tersebut dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui retensi pengetahuan etnobotani.

(21)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Keterangan: tanda +/- menunjukkan kecenderungan retensi pengetahuan etnobotani Tahan Pangan Masyarakat Baduy

Pengetahuan Etnobotani Pangan

2. Tumbuhan pangan liar (penyebutan, ketersediaan, frekuensi pemanfaatan, bagian yang dimanfaatkan, pengolahan, dan rasa dari tumbuhan pangan, serta pemanfaatan dalam kesehatan)

Food Security and Vulnerability Atlas 2009

Akses Pangan 1.Kepala keluarga tidak

tamat pendidikan dasar. 2.Areal yang tidak dapat

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Etnobotani

Awal tahun 1985, ilmu etnobotani secara sederhana telah menggambarkan penggunaan tumbuhan oleh masyarakat suku Aborigin, namun dalam kurun waktu yang panjang ilmu tersebut mengalami perkembangan tidak hanya terbatas pada penggunaan tumbuhan tetapi juga mempelajari bagaimana masyarakat tradisional merasakan dan mengelola tumbuhan serta hubungan saling ketergantungan antara tumbuhan dan masyarakat tradisional (Cotton 1996).

Pengertian

Etnobotani berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ethnos yang berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuhan (Young 2007). Selanjutnya Young (2007) menjelaskan bahwa etnobotani berisi keseluruhan fakta-fakta yang spesifik berkaitan dengan budaya dan agama suatu masyarakat tradisional dalam mengolah dan memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan lokalnya. Pemanfaatan tersebut dapat berupa pangan, obat, bahan bakar, tempat tinggal, dan bahan dalam upacara maupun acara adat sesuai dengan budaya setempat.

Dalam Deklarasi Kaua’I pada tahun 2007 dijelaskan bahwa hubungan antara manusia dan tumbuhan merupakan suatu interaksi ketergantungan yang saling mempengaruhi. Jika tumbuhan tidak ada, maka kehidupan manusiapun tidak akan pernah ada. Tumbuhan memiliki peranan yang sangat penting sebagai penyedia biomasa utama yang dihasilkan dari proses fotosintesis yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu etnobotani berkembang tidak hanya dalam tataran pengenalan jenis tumbuhan saja, tetapi juga bagaimana masyarakat tradisional mengelolanya dan memanfaatkannya dengan bersumber pada rasionalisasi dan pengetahuan tradisional yang dimilikinya (NTBG 2007).

Secara luas etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung antara manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara tradisional (Harshberger 1896; Cotton 1996). Studi etnobotani dapat membantu masyarakat dalam mencatat dan merekam kearifan lokal yang dimiliki selama ini, untuk masa mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberikan kontribusi dalam proses pengenalan sumber daya alam di suatu wilayah melalui kegiatan dokumentasi kearifan lokal bersama masyarakat setempat (Ndero dan Thijssen 2004).

Ruang lingkup

(23)

dan landasan yang benar. Selanjutnya etnobotani menjadi sebuah batasan penelitian yang terdiri dari dua pertanyaan penting, yaitu:

1. Apa konsep dan ide masyarakat tradisional terhadap pengelolaan tumbuhan? 2. Apa dampak yang diberikan tumbuhan terhadap kehidupan manusia,

budaya, agama, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya?

Pengetahuan Tradisional Mengenai Tumbuhan

Secara umum pengetahuan tradisional adalah tata nilai dalam tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang berkembang di suatu masyarakat tradisional (Chapman 2007). Pengetahuan tersebut bersifat dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh komunitasnya (Zent 2009). Pengetahuan tradisional berkembang dari generasi ke generasi dan terwujud dalam seperangkat aturan, pengetahuan, keterampilan, tata nilai, etika yang mengatur tatanan sosial di suatu komunitas (Pierotti 2011).

Secara spesifik pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan adalah keseluruhan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penamaan, ekologi, dan pemanfaatan tumbuhan serta pengelolaannya (Cotton 1996). Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan adalah melalui: (1) pendekatan manfaat (meliputi obat, pestisida nabati, sumber nutrisi, dan manfaat lainnya), (2) pendekatan kognisi/pengetahuan dasar dalam pemanfaatan tumbuhan, (3) ekologi budaya, (4) perubahan dan penyebaran pengetahuan tradisional, serta (5) sumber pengetahuan tradisional (sebagai proses pengamatan, percobaan, dan adaptasi).

Spesies Tumbuhan Pangan Tradisional Penting

Tumbuhan merupakan sumber daya penting dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti makanan, pakan, dan medis. Pemanfaatan spesies tumbuhan pangan oleh masyarakat adat (etnobotani) adalah hasil dari pengalaman dan rasionalisasi yang terjadi untuk waktu yang lama sehingga tercermin dalam makanan dan budaya. Sebagai contoh orang Jae yang mengkonsumsi hampir semua spesies tumbuhan asalkan tidak menyebabkan kematian (Ampofires 2002). Jadi tumbuhan pangan dan budaya memiliki hubungan dekat dapat digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan pangan pada area spesifik (Loring dan Gerlach 2009). Banyak penelitian membahas tentang hubungan antara tumbuhan pangan dan budaya, namun pengembangan dengan metode kuantitatif belum banyak dilakukan. Kenyataannya metode kuantitatif dalam pengukuran speies tumbuhan pangan tradisional penting sangat dibutuhkan dalam aplikasi ilmu etnobotani (Pieroni 2001).

(24)

dengan mengurangi kriteria kualitas penggunaan tumbuhan dan menambahkan kriteria lain yang berkaitan dengan budaya dan etnis pada masing-masing kelompok (Johns 1990). Pieroni (2001) menggabungkan metode yang digunakan oleh Turner (1998) dan Johns (1990) untuk menilai tumbuhan pangan liar penting di Tuscany, Italia. Pengukuran dilakukan dengan tujuh indeks utama yaitu indeks penyebutan, indeks ketersediaan, indeks frekuensi pemanfaatan, indeks pengolahan tumbuhan, bagian yang dimanfaatkan, indeks rasa dan kesukaan, dan penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan.

Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Ketahanan Pangan

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights. Pada KTT Pangan sedunia tahun 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan menghapus kelaparan di semua negara (Kementan 2012). Ketahanan pangan adalah keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No. 7 1996). Menurut World Food Summit 1996, ketahanan pangan terjadi jika semua orang secara terus-menerus baik secara fisik, sosial, dan ekonomi memiliki akses pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (FAO 1996).

Sebagaimana FIA tahun 2005, FSVA tahun 2009 dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan, dan (3) pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/ perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan.

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasinya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan ini meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar memasak (Deptan 2009).

(25)

9

(26)

Kedaulatan pangan

Kedaulatan pangan secara sederhana merupakan suatu kemampuan untuk hidup dengan menggunakan apa yang kita hasilkan. Kedaulatan pangan merupakan hak masyarakat untuk menentukan makanan dan pertanian mereka sendiri; dalam upaya melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik dan perdagangan untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, menentukan sejauh mana mereka ingin menjadi mandiri; membatasi pembuangan produk di pasar mereka, dan untuk menyediakan kebutuhan pangan dari perikanan lokal berbasis masyarakat. Kedaulatan pangan tidak meniadakan perdagangan, melainkan mengutamakan kebijakan dan pelaksanaan perdagangan yang melayani hak-hak masyarakat atas pangan yang aman, sehat, dan ekologi yang berkelanjutan (Nyeleni 2007). Konsep kedaulatan pangan tertuang dalam enam prinsip, yaitu:

1. Fokus pada pangan untuk manusia sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, bukan sebagai komoditas ekspor.

2. Menghormati nilai dan hak petani sebagai penyedia pangan dan menolak segala kebijakan dan tindakan yang mengancam mata pencahariannya. 3. Membentuk sistem pangan lokal dengan mendekatkan produsen dan

konsumen sebagai pengambil keputusan dalam isu-isu pangan, menjaga produsen pangan dari sistem perdagangan yang tidak adil.

4. Membangun kontrol yang bersifat lokal, mereka bisa mengembangkan dan membagi daerah sesuai dengan kondisi alam yang ada dengan mempertimbangkan lingkungan yang berkelanjutan, bukan paradigma privatisasi terhadap sumber daya.

5. Membangun pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam produksi pangan , sistem panen, dan mengembangkan kearifan lokal untuk generasi yang akan datang serta menolak pengetahuan asing yang justru mengganggu sistem lokal yang telah ada.

6. Bekerja dengan kaidah alam, dimana alam diciptakan dalam keragaman dan memiliki kemampuan adaptasi sehingga berkelanjutan. Menolak segala metode yang membahayakan bagi fungsi ekosistem seperti sistem pertanian monokultur yang bertentangan dengan kaidah alam.

Prinsip tersebut menunjukkan bagaimana kemajuan kedaulatan pangan yang tidak hanya sebagai konsep, melainkan arah dan tindakan yang dapat dilakukan pada tingkat individu atau komunitas lokal yang berbasis ekologi. Dalam beberapa tahun terakhir gerakan kedaulatan pangan telah muncul negara-negara maju termasuk Inggris dengan cara memberikan kontribusi untuk lebih ramah lingkungan dan sistem pangan yang berkelanjutan (World Development Movement 2011). Selain itu saat ini telah pengukuran kedaulatan pangan melalui “Food Sovereignty Assesment Tool” oleh First Nations Development Institute

(27)

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan subyek penelitian masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2012.

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi spesies tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Significant Plant) dan penggunaan pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan, serta data spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi yang dikumpulkan melalui studi pustaka (Tabel 1).

Tabel 1 Parameter data penelitian

Parameter Variabel Pengumpulan Data

1. Pengetahuan tradisional

a. Tanaman pangan budidaya Wawancara semi terstruktur

b. Tumbuhan pangan liar penting Wawancara semi terstruktur,

eksplorasi lapang, dan

4. Kondisi umum lokasi Letak, luas, iklim, topografi,

demografi penduduk.

Studi Pustaka

Metode Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan observasi partisipatif, wawancara (Focus Group Discussion dan wawancara semi terstruktur), eksplorasi lapang, dan pembuatan herbarium untuk identifikasi spesies, serta studi pustaka (Tabel 1).

a. Observasi partisipatif

(28)

b. Wawancara (Focus Group Discussion dan wawancara semi terstruktur)

Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui data keseluruhan komunitas, atau data umum sebanyak-banyaknya yang dihasilkan dari informan kunci meliputi tetua adat (Jaro Dainah, Jaro Sami, dan Jaro Darni), perangkat desa (Panggiwa Rasudin dan Panggiwa Sajum), dan beberapa masyarakat yang sangat terkait dengan pemanfaatan tumbuhan pangan (Idrus 2009). Selanjutnya hasil FGD digunakan sebagai data dasar (konsep kuisioner) dalam pengukuran penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy.

Wawancara semi terstruktur dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat penentuan spesies tumbuhan bernilai budaya tinggi, dan pada pengukuran penggunaan pengetahuan etnobotani dalam ketahanan pangan. Wawancara dilakukan secara langsung dengan bantuan panduan wawancara dan kuisioner.

Penentuan responden dilakukan dengan quota sampling yaitu sebanyak 30 responden yang berasal dari Baduy Dalam dan 30 responden dari Baduy Luar. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi jumlah minimal responden dalam suatu pengolahan data yang bersifat korelasional (Gay 1981). Selanjutnya pemilihan responden dilakukan dengan purposive sampling (terpilih) dengan pertimbangan usia, jenis kelamin, dan asal (Tabel 2).

Tabel 2 Pemilihan responden penelitian

Asal Kelas umur I II III IV V

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dan pengambilan spesimen untuk identifikasi tumbuhan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Selain untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan di berbagai tipe penggunaan lahan masyarakat Baduy, eksplorasi juga bertujuan untuk mengambil bagian tumbuhan untuk dijadikan herbarium. Lahan tersebut meliputi hutan (leuweung), ladang (huma), pinggir rumah (pipir imah), sekitar kampung (tatajuran), ladang yang diberakan 1-2 tahun (jami), di sempadan sungai (pipir cai), pinggir saung (pipir saung), dan hutan sekunder atau kebun (reuma) yang terbagi di Baduy Dalam, Baduy Luar, dan luar Desa Kanekes.

d. Pembuatan herbarium

Kegiatan ini dilakukan untuk membantu proses identifikasi spesies tumbuhan dengan mengoleksi atau mendokumentasikan spesimen dari lapangan berupa bagian tumbuhan yang terdiri dari ranting, daun, bunga, dan buah jika ada. Adapun tahapan dari pembuatan herbarum meliputi:

(29)

2. Contoh herbarium dipotong dengan panjang ± 40 cm menggunakan gunting.

3. Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan memberikan label berukuran (3 cm x 5 cm). Label berisi keterangan tentang nomor spesies, nama lokal, dan lokasi pengumpulan.

4. Selanjutnya herbarium disusun dan disemprot dengan alkohol 70%.

5. Kemudian herbarium disimpan di dalam trash bag, untuk di bawa ke Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fakultas Kehutanan IPB.

6. Tahapan selanjutnya adalah pengeringan herbarium yang meliputi: penggantian kertas koran, penyusunan herbarium di atas sasak, dan pengovenan pada suhu 60° C selama 5 hari.

7. Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam proses identifikasi untuk mendapatkan nama ilmiah, habitus, dan data taksonomi yang dibutuhkan.

8. Selanjutnya herbarium yang telah selesai diidentifikasi dengan buku identifikasi dan sebagian dikirim kepada pakar identifikasi tumbuhan.

e. Studi pustaka

Identifikasi spesies tumbuhan dilakukan pula dengan mencocokan ciri dan nama lokal spesies tumbuhan dengan buku “Tumbuhan Berguna Indonesia” (Heyne 1987). Data pendukung meliputi spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi penelitian (luas, letak, iklim, dan demografi penduduk) diperoleh melalui studi pustaka.

Analisis Data Tumbuhan pangan penting

a. Tanaman pangan budidaya

Analisis data tanaman pangan budidaya penting dilakukan secara kuantitatif dengan modifikasi persamaan Pieroni (2001) dan Johns (1990):

CFCI=QI x (AI + FuI+CoI) x EI Keterangan

CFCI : Cultural Food Cultivated Index (Spesies tanaman pangan budidaya

penting)

QI : Quotation Index (tingkat penyebutan tumbuhan pangan )

AI : Availability Index (tingkat ketersediaan tumbuhan pangan)

CoI : Commercial Index (nilai komersial tumbuhan pangan)

FuI : Food use Index (penggunaan tumbuhan pangan)

EI : Exclusivity Index (penggunaan tumbuhan pangan dalam kegiatan/ ritual

adat)

QI (Quotation Index) merupakan nilai sejumlah spesies tanaman pangan penting yang mampu disebutkan oleh responden secara spontan. Spesies yang hanya disebutkan oleh 1 atau 2 orang dianggap bukan spesies tumbuhan bernilai budaya penting sehingga dapat diabaikan.

(30)

CoI (Commercial Index) merupakan tingkat komersial suatu spesies tanaman dimana kategori dibagi menjadi tanaman yang digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi/ subsisten (skor: 1) dan dapat dijual (skor: 2)

FuI (Food use Index) merupakan tingkat penggunaan tumbuhan dalam pemenuhan nutrisi tubuh yang terbagi dalam tiga kategori. Pangan pokok sebagai penghasil karbohidrat (skor: 3), sayur dan buah sebagai penghasil vitamin dan mineral (skor: 2), dan sebagai bahan tambahan pangan (skor 1).

EI (Exclusivity Index) merupakan tingkat kekhususan tumbuhan pangan yang digunakan pada upacara dan ritual adat. Selain itu penerapan aturan khusus yang membuat tanaman pangan budidaya menjadi sangat diperhatikan (skor: 2) menjadikan nilai tumbuhan ini lebih besar dari tumbuhan lainnya (skor: 1).

b. Tumbuhan pangan liar

Analisis data tumbuhan pangan bernilai budaya penting dilakukan secara kuantitatif dengan persamaan yang dikembangkan oleh Pieroni (2001):

CFSI= QI x AI x FUI x PUI x MFFI x TSAI x FMRI x 10-2 Keterangan:

CFSI : Cultural Food Significant Index (spesies tumbuhan pangan tradisional

penting)

QI : Quotation Index (tingkat penyebutan tumbuhan pangan )

AI : Availability Index (tingkat ketersediaan tumbuhan pangan)

FUI : Frequency of Use Index (frekuensi pemanfaatan tumbuhan pangan)

PUI : Part of Use Index (bagian tumbuhan pangan yang dimanfaatkan) MFFI : Multi-Functional Food Use Index (keanekaragaman penggunaan

tumbuhan pangan)

TSAI : Taste Score Appreciation Index (rasa dan kesukaan tumbuhan pangan)

FMRI : Food-Medicinal Role Index (tingkat penggunaan tumbuhan pangan untuk

kesehatan)

QI (Quotation Index) merupakan nilai sejumlah spesies tumbuhan pangan penting yang mampu disebutkan oleh responden secara spontan. Spesies yang hanya disebutkan oleh 1 atau 2 orang dianggap bukan spesies tumbuhan bernilai budaya penting sehingga dapat diabaikan.

AI (Availability Index) yaitu tingkat keterjangkauan dan ketersediaan yang dirasakan oleh masyarakat. Nilai keterjangkauan ditunjukkan dengan kemudahan dalam memperoleh tumbuhan yang dirasakan oleh responden, sedangkan ketersediaan diukur dari perjumpaan spesies tumbuhan di lapangan. Adapun kategori yang digunakan adalah mudah, biasa, agak sulit, dan sulit sedangkan untuk koreksi lapang ketersediaan spesies dikategorikan dalam lebih dari 2 lahan, terdapat di 2 lahan saja, dan hanya ada di 1 lahan yang bersifat lokal (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai indeks tingkat ketersediaan

Ketersediaan Nilai indeks

Mudah 4,0 Biasa 3,0

Agak sulit 2,0

Sulit 1,0

Kondisi lapang Nilai indeks

Lebih dari 2 lahan -

Terdapat di 2 lahan berbeda -0,5

Hanya ada di 1 lahan -1,0

(31)

Hasil dari wawancara terhadap tingkat ketersediaan selanjutnya dikoreksi secara kuantitatif dengan nilai indeks yang ada. Sebagai contoh spesies peutag

(Syzigium lineata Duthie.) disebutkan agak sulit ditemukan oleh masyarakat namun berdasarkan hasil eksplorasi hanya ditemukan di dua lahan saja, yaitu di hutan (leuweung) dan kebun (reuma). Maka nilai indeks ketersediaan dari spesies tersebut adalah 2,0+ (-0,5)= 1,5.

FUI (Frequency of Use Index) atau tingkat frekuensi pemanfaatan menggambarkan seberapa sering tumbuhan tersebut digunakan. Kategori dalam frekuensi penggunaan meliputi lebih dari 1 kali dalam seminggu, 1 kali dalam seminggu, satu kali dalam sebulan, hingga penggunaan 30 tahun lalu (Tabel 4).

Tabel 4 Nilai indeks frekuensi pemanfaatan

Frekuensi penggunaan Nilai indeks

>1 kali/minggu 5,0

1 kali/minggu 4,0

1kali/ bulan 3,0

>1 kali/tahun dan <1 kali/bulan 2,0

1kali/tahun 1,0

Lebih dari 30 tahun tidak menggunakan 0,5

Sumber: Pieroni (2001)

PUI (Part of Use Index) atau tingkat keanekaragaman bagian yang dimanfaatkan. Pada aspek ini spesies tumbuhan yang dimanfaatkan pada beberapa bagian dengan tujuan yang berbeda memiliki nilai yang lebih tinggi daripada spesies yang dimanfaatkan seluruh bagian mudanya untuk satu tujuan (Tabel 5).

Tabel 5 Nilai indeks bagian yang dimanfaatkan

Bagian yang digunakan Nilai indeks

Kulit 1,00

Akar dan rimpang/stolon 1,50

Akar muda 1,00

Seluruh bagian tumbuhan 3,00

Seluruh bagian tumbuhan muda 2,00

Caps atau tudung jamur 1,50

Seluruh tubuh buah pada jamur 2,00

Sumber: Pieroni (2001)

(32)

lebih kompleks/rumit. Semakin rumit proses dalam pengolahan tumbuhan pangan, nilai indeks akan semakin besar (Tabel 6).

Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman penggunaan pangan

Penggunaan Nilai indeks

Bahan mentah sebagai makanan kecil 0,50

Bahan mentah sebagai lalaban 1,50

Digoreng dengan atau tidak dengan kocokan telur 1,00

Dididihkan 1,00

Didihkan kemudian digoreng 1,50

Didihkan kemudian diisi bahan lain 1,50

Sup (campuran) 0,75

Direbus perlahan 1,00

Dibakar/dipanggang 1,00 Bumbu/rempah-rempah 1,00

Bumbu untuk tujuan tertentu atau spesifik 0,75

Selai 1,00

Sirup 1,00

Digunakan hanya sebagai campuran -0,50

Sumber: Pieroni (2001)

TSAI (Taste Score Appreciation Index) atau tingkat rasa dan kesukaan yaitu nilai indeks dari rasa dan kesukaan responden terhadap suatu jenis tumbuhan pangan. Penilaian tersebut dibagi dalam rentang nilai 4 hingga 10 dengan interval yang berbeda (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai indeks tingkat rasa dan kesukaan

Rasa dan kesukaan Nilai indeks

Paling enak 10,0

FMRI (Food Medical Role Index) atau tingkat penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan. Nilai indeks ini menggambarkan nilai manfaat kesehatan yang dimiliki oleh tumbuhan pangan. Sehingga tumbuhan tersebut memiliki nilai yang lebih penting. Sebagai contoh, jika suatu spesies tumbuhan dikonsumsi karena manfaatnya sebagai obat maka akan memiliki nilai indeks yang lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan yang tidak diketahui manfaat untuk kesehatan manusia (Tabel 8). Karena kesehatan juga memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia.

Tabel 8 Nilai indeks penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan

Peranan pangan-obat Nilai indeks

Sangat tinggi (pangan ini adalah obat) 5,0

Tinggi (pangan ini berkhasiat obat) 4,0

Menengah keatas (pangan ini sangat menyehatkan) 3,0

Menengah ke bawah (pangan ini sehat) 2,0

Tidak diketahui 1,0

(33)

Penerapan Pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan

Penggunaan pengetahuan tradisional masyarakat adat tentang tumbuhan pangan dan ketahanan pangan dinilai melalui pengenalan spesies tumbuhan pangan tradisional penting dan sistem sosiokultur (infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologi) yang berlaku di masyarakat Baduy. Selanjutnya dapat dianalisis secara kuantitatif dengan persamaan Phillips dan Gentry (1993) diacu dalam Pei et al. (2009) untuk menghitung indeks pengetahuan etnobotani.

Mgj= 1 ∑ Vi n

Keterangan:

Mgj : rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani yang dimiliki oleh anggota kelompok j

n : jumlah anggota dalam kelompok j

Vi : jumlah pengetahuan tradisional yang dimiliki anggota i dari kelompok j j : kelas umur atau jenis kelamin

Selanjutnya, untuk mengetahui signifikansi dari faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan tradisional dilakukan pengolahan data menggunakan SPSS 15.0. Analisis yang digunakan adalah statistika non parametrik (Zent 2009), yaitu uji statistik yang kesahihannya tidak bergantung kepada asumsi-asumsi yang kaku (Daniel 1990). Uji non parametrik yang digunakan adalah:

1. Kruskal Wallis Test, yaitu pengujian hipotesis komparatif dengan k sampel independen dari populasi yang sama. Tes ini digunakan untuk menguji perbedaan dari setiap kelas umur (KU).

2. Mann Whitney Test, yaitu pengujian hipotesis komparatif dengan dua sampel independen dari populasi yang sama. Tes ini digunakan untuk menguji perbedaan dari setiap jenis kelamin dan tempat tinggal.

Nilai MGj digunakan untuk menilai perubahan pengetahuan. Nilai MGj

akan dikelompokkan berdasarkan kelas umur yang memiliki interval 15 tahun. Penilaian terhadap perubahan pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Zent (2009). Aspek yang diukur adalah tingkat retensi (RG), tingkat retensi komulatif (RC), dan tingkat perubahan tahunan (CA).

1. RGt = Mgt Mgr keterangan:

RGt : tingkat retensi kelas umur t

gt : rata-rata pengetahuan kelas umur t gr : rata-rata pengetahuan kelas umur t+1 2. RCt = RCr 10log(RGt)

keterangan:

RCt : tingkat retensi komulatif kelas umur t RCr : tingkat retensi komulatif kelas umur t+1 3. CAt = RCt-1

ygt

keterangan:

(34)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas

Wilayah Baduy berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Gambar 3). Secara geografis terletak pada 6°27’27”–6°30’0” LS dan 108°3’9”–106°4’55” BT.

Sumber: Garna (1993)

(35)

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001, luas wilayahnya 5.136,58 hektar (ha), terdiri dari 381 ha lahan pertanian, 1500 ha ladang, 250 ha perkampungan, 5,58 ha rawa, dan 3000 ha hutan lindung. Desa Kanekes terdiri atas 63 kampung, 3 kampung Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik, serta 60 kampung Baduy Luar.

Secara administrasi Baduy di batasi dan diapit oleh 16 desa dari 6 kecamatan (Gambar 3). Sebelah Utara dibatasi oleh Desa Bojongmenteng, Desa Cisimeut Raya, Desa Nayagati yang ketiganya termasuk dalam Kecamatan Leuwidamar. Sebelah Barat dibatasi oleh Desa Parakan Besi, Desa Kebon Cau, Desa Karangnunggal yang terletak di Kecamatan Bojongmanik dan Kecamatan Cirinten. Sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Cikate dan Desa Mangunjaya yang termasuk dalam Kecamatan Cijaku. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Karangcombong, Desa Hariang, dan Desa Cicalebang yang termasuk dalam Kecamatan Muncang dan Kecamatan Sobang.

Topografi dan Iklim

Wilayah Baduy merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng yang berada ketinggian 300-600 m dpl dengan topografi berbukit, bergelombang, dan kemiringan rata-rata mencapai 45%. Suhu rata-rata di wilayah Baduy adalah 20° C dan curah hujan rata-rata 4000 mm/tahun (Dinas Sosial 1999).

Masyarakat Baduy

Secara umum masyarakat Baduy terbagi atas 2 bagian, yaitu Baduy Dalam (tangtu) dan Baduy Luar (panamping). Pembagian ini merupakan bentuk adaptasi, toleransi, dan demokrasi masyarakat Baduy terhadap dinamika masyarakat Baduy, namun berdasarkan beberapa literatur wilayah Baduy juga meliputi masyarakat Baduy yang mendiami Desa Cikakal Girang (sering disebut dengan Baduy muslim) dan Baduy Kompol. Masyarakat di masing-masing pembagian tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama masyarakat Baduy yang berpegang teguh pada pikukuh karuhun (rukun) dan buyut (larangan). Pikukuh karuhun tersebut antara lain (Kurnia dan Sihabudin 2010):

1. Bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta 2. Memelihara Sasaka Pusaka Buana

3. Mengasuh ratu memelihara menak

4. Menghormati guriang dan melaksanakan muja

5. Melakukan seba setahun sekali

6. Menyelenggarakan dan menghormati upacara adat Ngalaksa

7. Mempertahankan dan menjaga adat Bulan Kawalu

(36)

Tabel 9 Karakteristik masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar

Perbedaan Persamaan Baduy Dalam Baduy Luar

1. Bentuk rumah

Kontur tanah tidak dirubah dan dibiarkan sesuai aslinya

Masih sangat ketat Agak longgar dalam pelaksanaan Aturan umumnya sama

3. Pakaian

Hanya 2 warna, hitam dan putih blacu umumnya putih, hanya dijahit jarum dan tangan secara sederhana. Tidak diperkenankan menggunakan aksesoris emas.

Hanya 2 warna, hitam dan putih, umumnya hitam, dijahit sesuai

Sumber: Kurnia dan Sihabudin (2010)

Demografi

Jumlah penduduk Baduy mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah kampung (Gambar 4). Jumlah kampung di Baduy pada tahun 1985 adalah 30 kampung, meningkat menjadi 49 kampung di tahun 1994, pada tahun 2000 mengalami penambahan jumlah menjadi 52 kampung, di akhir tahun 2008 bertambah menjadi 58 kampung, dan di awal tahun 2009 hingga 2010 bertambah menjadi 59 kampung. Pada akhir tahun 2012 jumlah kampung di Baduy luar kembali mengalami peningkatan sehinga total kampung yang ada di Baduy adalah 63 kampung.

Meskipun terjadi penambahan jumlah kampung dan jumlah penduduk, jumlah kampung di Baduy Dalam tetap dipertahankan dengan jumlah tiga kampung saja yaitu Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana. Penambahan jumlah kampung hanya dapat dilakukan di kawasan Baduy Luar dengan pertimbangan dari pemerintah adat dan pemerintah desa.

Gambar 4 Jumlah penduduk Baduy tahun 1985 hingga 2012

Kepercayaan

(37)

mengenal dan membaca dua kalimah sahadat sebagai penyempurna dari sahadat-sahadat lainnya (Kurnia dan Sihabudin 2010).

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang (ngahuma) yang merupakan rukun hidup (pikukuh) dan bernilai sangat penting (Garna 1988; Suansa 2011). Selain berladang terdapat juga kegiatan lain yaitu menyadap aren (nyadap aren) untuk selanjutnya diolah menjadi gula aren dan mencari madu (nyiar odeng) yang umumnya dilakukan oleh laki-laki Baduy. Sedangkan perempuan Baduy biasanya membantu suaminya di ladang dan menenun kain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (khususnya perempuan Baduy Luar).

Pendidikan

Masyarakat Baduy tidak mengenal pendidikan formal, karena menurut masyarakat Baduy anak yang bersekolah justru akan minteri atau menipu dan tidak jujur. Pendidikan yang dikembangkan adalah pendidikan non-formal. Pengetahuan diberikan orang tua kepada anak-anaknya agar dapat bertahan dan hidup mandiri. Pengetahuan tersebut diberikan secara lisan dari orang tua kepada anaknya. Sebagai contoh, orang tua telah mengajarkan pengetahuan mengenai jenis-jenis tumbuhan yang dapat dan tidak dapat dikonsumsi sejak usia 8-10 tahun, yaitu pada saat anak telah mengikuti kegiatan berladang.

Kesehatan

Masyarakat Baduy memiliki akses yang mudah menuju ke UPT Puskesmas Cisimeut yang berada di Jalan Raya Ciboleger Km. 02- Bojog Menteng- Leuwidamar. Penyakit tertinggi yang diderita oleh masyarakat Baduy antara lain: ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), dermatitis, scabies (kudis), gastritis, infeksi jamur, myalgia (nyeri dalam sum-sum tulang), reumatik, dan suspen kecacingan (Dinkes Kecamatan Leuwidamar 2008). Meskipun ISPA menjadi penyakit yang paling banyak diderita, dermatitis jika digabungkan dengan penyakit kulit lainnya seperti scabies (kudis), alergi, infeksi jamur, dan infeksi kulit, penyakit yang terjadi pada kulit lebih banyak diderita oleh masyarakat Baduy (Gambar 5).

Sumber: Dinas Kesehatan Kecamatan Leuwidamar (2008)

(38)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Makanan Pokok

Makanan pokok masyarakat Baduy adalah beras yang berasal dari padi (pare), berdasarkan hasil wawancara terdapat 46 varietas padi yang masih ditanam dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Meskipun demikian, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa padi yang ada di baduy berjumlah 89 varietas (Iskandar dan Ellen 1999). Bagi masyarakat Baduy padi adalah sesuatu yang sangat berharga karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, Sang Dewi Padi. Dalam aturan adat, masyarakat Baduy tidak diperkenankan untuk menanam padi sawah/basah, membajak tanah, menggunakan pestisida, dan mengaliri sawah dengan air sehingga sistem perladangan yang digunakan adalah ladang tadah hujan. Hal ini berimplikasi pada keharusan masyarakat Baduy untuk menguasai kondisi perubahan musim dan masa tanam yang mereka tentukan dengan melihat perputaran gugusan bintang di langit (Kurnia dan Sihabudin 2010; Wilodati 2007).

Padi yang biasa ditanam adalah pare ketan biasa, pare koneng, pare siang,

pare seungkeu, pare pendok dan pare ketan langga sari (Raharjo et al. 2002; Senoaji 2011). Padi hanya ditanam satu kali dalam satu tahun dengan ketentuan padi yang ditanam minimal berasal dari 5 varietas (Senoaji 2011). Selain itu terdapat aturan bahwa pare ketan tidak boleh ditanam berhadapan dengan pare siang dan pare koneng, dan letak pare ketan harus ada di sebelah barat (Gambar 6). Pengetahun berladang masyarakat Baduy sangat arif, untuk tetap menjaga kesuburan tanah, ladang yang telah dipanen padinya akan ditinggalkan selama 3-5 tahun untuk mengembalikan kekayaan unsur hara tanah (memberakan). Peralatan yang digunakan dalam berladang hanya arit (sabit), kujang (pisau), kored (untuk membersihkan rumput), dan aseuk (untuk membuat lubang tempat biji ditanam).

Sumber: Iskandar dan Ellen (1999)

(39)

Pengelolaan ladang (huma)

Dalam tradisi masyarakat Baduy dikenal enam jenis huma yang memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya baik secara fungsi, letak, serta kepemilikan dan proses pengerjaannya. Keenam jenis huma tersebut antara lain (1) huma serang yaitu ladang khusus untuk padi yang dianggap suci dan berada di wilayah Baduy Dalam (tangtu), (2) huma puun yaitu ladang khusus milik puun (pemimpin Baduy), (3) huma tangtu yaitu ladang milik orang Baduy tangtu/dalam (Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana), (4) huma tuladan, yaitu ladang bersama yang berada di Baduy Luar yang hasilnya untuk keperluan desa, (5) huma panamping

yaitu ladang para warga panamping/ Baduy Luar, (6) huma orang Baduy yaitu ladang orang-orang Baduy di luar Desa Kanekes. Ada tujuh tahap dalam proses mengerjakan huma, yaitu:

1. Narawas dan nyacar : diawali dengan kegiatan narawas (membaca mantra selama 3 hari dan meletakkan panglai, asahan, kakait, dan daun tepus sebagai tanda), selanjutnya menebas semak belukar (agar sinar matahari dapat masuk) tetapi pepohonan besar tidak ditebang. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 30 hari untuk menyelesaikan lahan ±1 hektar.

2. Nukuh dan nuaran : menumpuk ranting dan daun-daun pepohonan setelah itu ditinggalkan selama 3 hari.

3. Ganggang : mengeringkan ranting dan daun di bawah teriknya matahari selama 15 hari.

4. Ngahuru : membakar lahan garapan untuk menghilangkan tumbuhan pengganggu. Sebelum melakukan kegiatan tersebut dibacakan mantra agar api tidak menjalar selain itu dibuat pula sekat bakar di sekitar pohon yang tersisa agar pohon tidak ikut terbakar.

5. Ngaduruk : membakar sisa-sisa ranting dan daun yang telah dikeringkan 6. Nyasap : membersihkan rumput-rumput kecil yang masih tersisa

7. Ngaseuk : membuat lubang untuk menanam menggunakan tugal (pria) menanam butiran padi dalam lubang tanam (wanita).

Sistem penanggalan masyarakat Baduy berbeda dengan sistem penanggalan hijriyah maupun masehi meskipun dalam penanggalan Baduy dikenal 12 bulan sama seperti yang lainnya namun dalam 1 bulan hanya ada 30 hari. Dengan demikian dalam satu tahun ada 360 hari dan ada 4-5 hari masa untuk menghitung atau menentukan penanggalan tahun berikutnya berdasarkan kolejer

(dasar penentuan waktu masyarakat Baduy). Penentuan bulan dan penanggalan masyarakat Baduy sangat erat kaitannya dengan kalender kegiatan upacara adat yang dimulai dari seba di bulan safar, sebagai tanda dimulai tahun baru kalender Baduy sampai kawalu tutug pada akhir bulan katiga (Tabel 10).

Tabel 10 Susunan kegiatan upacara adat dan perladangan di Baduy berdasarkan penanggalan

No Bulan Kegiatan Upacara Adat Kegiatan Berladang

1. Safar (April-Mei) Seba Narawas huma serang

2. Kalima (Mei-Juni) Muja pada tanggal 17-18, acara geseran, kawinan, dan sunatan

Nyacar huma serang

3. Kaenem (Juni-Juli) Hajatan perkawinan dan selamatan Nukuh di huma serang 4. Katujuh

(Juli-Agustus)

(40)

Tabel 10 Lanjutan 

No Bulan Kegiatan Upacara Adat Kegiatan Berladang

5. Kadalapan tanggal 17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo

Panen di huma serang

11. Karo (Februari-Maret)

Kawalu Tengah puasa tanggal 18 di Cikeusik dan 19 di Cibeo

Panen di huma puun

12. Katiga (Maret- April)

Kawalu Tutug (akhir) puasa tanggal 17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo. Acara ngalaksa tanggal 20-27

Panen di huma tangtu dan huma masyarakat

Sumber: Ichwandi dan Shinohara (2007); Kurnia dan Sihabudin (2010)

Bagi masyarakat Baduy ngahuma adalah suatu kegiatan yang membutuhkan kerja sama erat antara pria dan wanita. Pada masa pertama padi tidak dibiarkan begitu saja, tetapi pada tiga bulan pertama diurus dengan baik misalnya dengan membersihkan rumput menggunakan kored (ngored) yang dilakukan beberapa kali. Selain itu padi diubaran atau diobati, campuran debu dapur dengan berbagai ramuan umbi sebagai pencegah hama. Waktu tanam atau

ngaseuk ditentukan dengan perhitungan tepat dengan tujuan agar menghindari masa hama padi (Garna 1996).

Gambar 7 Ikatan atau pocong padi yang sedang dikeringkan di lantaian

(41)

diikat menggunakan tali bambu. Satu ikat padi disebut pocong yang kemudian disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang yang disebut dengan lantaian (Gambar 7). Menyimpan padi dengan cara ini dimaksudkan agar padi mengering sebelum diangkut ke kampung. Mengangkut padi ke kampung dinamakan nunjal. Pengangkutan padi biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga.

Hasil panen ini selanjutnya disimpan di leuit (lumbung padi). Leuit

berbentuk serupa rumah, namun lebih kecil dan bertiang tinggi. Terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu, dan beratap dari daun kirai (Gambar 8). Terdapat sebuah pintu di salah satu sisi tepi atap sebagai jalan untuk memasukkan dan mengeluarkan padi. Pintu ini hanya dapat dijangkau dengan menggunakan tangga. Teknologi leuit yang unik ini tidak memungkinkan tikus atau binatang sejenisnya masuk ke dalam leuit. Karena pada ujung pondasi diberikan kayu berbentuk lempengan bundar (gelebeg) yang diletakkan secara horizontal sehingga tikus tidak dapat merayap pada lempengan kayu tersebut.

Gambar 8 Leuit Baduy

Setiap keluarga memiliki leuit. Jumlah leuit menentukan status sosial ekonomi sebuah keluarga. Semakin banyak leuit, semakin tinggi pula statusnya. Hingga saat ini, jumlah leuit yang ada di Baduy telah melebihi jumlah rumah dan KK yang ada di Baduy. Dalam satu KK minimal telah memiliki 1,2 ± 0,6 bagi masyarakat Baduy Luar, dan 1,6 ±0,5 bagi masyarakat Baduy Dalam (Khomsan dan Wigna 2009). Selain terdapat leuit yang dimiliki secara individual, terdapat juga leuit yang kepemilikannya komunal. Leuit berfungsi layaknya tabungan pangan. Padi yang disimpan di dalam leuit dapat awet hingga 100 tahun. Semakin lama padi disimpan di dalam leuit, semakin berwarna merah dan teksturnya mengeras.

Letak leuit berada di luar kampung dan bergerombol membentuk sebuah kompleks. Biasanya dalam sebuah kompleks terdapat sekitar lima hingga sepuluh

(42)

rumah yang seluruhnya dari bambu dan kayu yang mudah terbakar. Dapur tempat memasak pun terdapat di dalam rumah sehingga kesalahan kecil saja mampu membakar rumah dalam waktu yang relatif singkat.

Gambar 9 Letak dan kompleks leuit di Baduy

Upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy

Terdapat tiga upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy, yaitu

kawalu, ngalaksa, dan seba. Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, yaitu bulan penuh dengan kebahagiaan dan kemuliaan yang diisi dengan kegiatan berdoa untuk keselamatan alam dan manusia serta isinya, beribadah, memohon ampunan dari dosa dan berbagai kesalahan. Pada bulan ini masyarakat dilarang makan sembarangan, terutama masyarakat Baduy Dalam dilarang makan telur dan daging, dilarang makan bebirusan (batang muda), dilarang melaksanakan acara yang ramai seperti perkawinan dan sunatan, dilarang memotong rambut, dan membunuh hewan.

Selanjutnya ngalaksa yang tergolong sakral dan dan sangat rahasia. Pada upacara ini masyarakat Baduy melaksanakan rukun agama sunda wiwitan yang difokuskan pada kegiatan mendoakan keselamatan manusia, ngajiwa batin, dan melaksanakan amanah leluhur. Selain itu pada upacara ini masyarakat Baduy membuat laksa dari tepung padi dan hasil panen pada tahun ini untuk diserahkan kepada leluhur dan khususnya untuk cadangan yang akan diberikan pada pejabat pemerintah pada acara seba.

(43)

Tumbuhan Pangan Tradisional Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy memanfaatkan 240 spesies tumbuhan pangan, 46 varietas padi ladang, 42 varietas pisang, 12 varietas talas, 9 varietas kelapa, 17 varietas ubi jalar, 2 varietas terung, 8 varietas singkong, 2 varietas mangga, 2 varietas rambutan, 2 varietas jagung, dan 3 varietas nanas. Total spesies dan varietas tersebut adalah 374. Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman telah di budidayakan sedangkan 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan masih liar.

Tanaman pangan budidaya

Selain pare ladang atau huma juga ditanami dengan tanaman budidaya lain seperti terong, taleus, pisang, dan ubi. Terdapat 238 spesies dan varietas tanaman pangan yang dibudidayakan di huma dan reuma Baduy. Huma dikelola dengan sistem perladangan yang sangat memperhatikan keanekaragaman jenis yang ada didalamnya (Louhui et al. 2009), sehingga adaptif dan mampu menjaga stabilitas ekosistem (Garna dan Judistira 1985; Eden 1987).

Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman pangan mampu disebutkan oleh lebih dari tiga orang responden sehingga seluruh tanaman pangan tersebut termasuk dalam kategori penting. Adapun tingkat penting tanaman terbagi menjadi empat kategori, yaitu: sangat penting (>218), penting (164 sampai 218), agak penting (110 sampai 163), dan kurang penting (<110). Tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting antara lain beberapa spesies pare (Oryza sativa L), dimana pare siang, pare ketan langgasari, pare ambu ganti, pare ketan,

dan pare menyam menjadi lima varietas padi tertinggi karena lebih banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Padi menjadi tanaman yang sangat penting karena menjadi pangan pokok yang wajib ditanam oleh seluruh masyarakat Baduy. Ketersediaan pare sebagai sumber pangan berkelanjutan yang diwujudkan dengan leuit dan penggunaanya dalam upacara adat maupun perkawinan menjadikan spesies ini bernilai sangat penting bagi masyarakat Baduy. Meskipun demikian seluruh pare yang ditanam di huma tidak boleh dijual. Selain padi spesies asam ranji (Dialium indum L), kawung (Arenga pinnata

Merr.), beberapa varietas pisang (Musa paradisiaca L.), awi mayan

(Gigantochloa robusta Kurz.), dan kadu (Durio zibethinus Murr.) menjadi tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting.

Spesies tanaman yang bernilai penting antara lain hiris (Cajanus cajan

Mill.), cokrom (Solanum melongena L.), kaweni (Mangifera odorata Griff.), kalapa (Cocos nucifera L.), dan binglu (Mangifera caesia Jack.). Hiris merupakan jenis kacang yang sangat sering dikonsumsi masyarakat Baduy, kacang tersebut biasanya dipanen dan disimpan ke dalam toples sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat akan memasak. Berbeda dengan cokrom, kaweni, binglu, dan kelapa yang belum diketahui cara penyimpanannya sehingga biasanya spesies tersebut dikonsumsi dan dijual saat jumlahnya berlebih. Secara umum tidak ada aturan adat yang melarang penjualan sumberdaya pangan yang berasal dari huma dan

reuma, kecuali hanya untuk spesies pare.

Spesies dan varietas tanaman yang bernilai agak penting antara lain:

(44)

(Vieill.) K. Sch), lingsuh (Baccaurea lanceolata Muell.), gempol (Nauclea orientalis L.), kanas (Ananas comosus Merr.), dan lopang (Luffa cylindrica

Roem.). spesies dan varietas tanaman pangan yang dinilai agak penting dan kurang penting merupakan tanaman yang sedikit diketahui responden dan hanya berfungsi sebagai bumbu (sambara) atau tambahan pangan saja.

Tumbuhan pangan liar

Tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy tidak hanya tanaman budidaya yang berasal dari huma dan reuma tetapi juga terdapat 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan liar dari hutan yang tumbuh dengan sendirinya. Sebanyak lebih dari tiga responden mampu menyebutkan nama spesies dan varietas tumbuhan pangan liar sehingga memiliki nilai penting bagi masyarakat Baduy. Proses wawancara yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh proses recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari dimasa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada obyek (Hilgard dan Bower 1975). Kemampuan mengingat kembali dilakukan melalui proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan untuk digunakan kembali bila dibutuhkan.

Berdasarkan hasil analisis data, tumbuhan pangan liar terbagi atas empat kriteria tingkat kepentingan yaitu: sangat penting (>82,3), penting ( 33 sampai 82,3), agak penting (11,91 sampai 32,9) dan kurang penting (<11,91). Tumbuhan pangan yang memiliki nilai sangat penting antara lain jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), supa lember aceh (Auricularia auricula Bull. J Schrot.), cau abu

(Musa sp), laja goah (Alpinia malaccensis Rosc.), dan paku kapal (Aspidium repandum Willd.). berdasarkan hasil eksplorasi lapang Baduy memiliki keanekaragaman pisang yang sangat tinggi yaitu 42 varietas. Sebanyak 24 varietas masih belum dibudidayakan karena dianggap tidak laku dijual dan kurang enak rasanya. Meskipun demikian masyarakat Baduy mengetahui bahwa varietas pisang tersebut dapat dikonsumsi sehingga menjadi potensi yang dapat kita gali untuk pengembangan dimasa yang akan datang.

Tumbuhan pangan yang bernilai penting adalah mayasih (Erechtites valerianifolia (Wolf.) DC), areuy sineureut, beunying (Ficus fistulosa Reinw.),

cau beusi (Musa sp), dan paku hurang (Stenochlaena palustris Bedd.). Tingkatan penting mengindikasikan bahwa tumbuhan ini masih cukup banyak diketahui oleh masyarakat dan cukup sering dikonsumsi. Selain itu tumbuhan pangan liar tidak hanya ditemukan di hutan, tetapi sangat mungkin ada di tipe penggunaan lahan lainnya. Masyarakat Baduy membagi tipe penggunaan lahannya menjadi delapan (Gambar 10).

Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh bahwa 96,3 tumbuhan pangan liar Baduy dapat ditemukan di lebih dari 2 tipe penggunaan lahan (Tabel 11). Hal ini sangat sesuai dengan hasil dari wawancara yang menyatakan bahwa tumbuhan pangan liar di Baduy mudah untuk ditemukan.

Tabel 11 Kategori tumbuhan liar hasil eksplorasi

No Kategori Jumlah Persentase (%)

1. Hanya ditemukan di 1 Lahan 3 2,2

2. Terdapat di 2 lahan berbeda 2 1,5

Gambar

Tabel 4  Nilai indeks frekuensi pemanfaatan
Tabel 6  Nilai indeks keanekaragaman penggunaan pangan
Gambar 3 Peta Desa Kanekes
Gambar 6  Sketsa huma masyarakat adat Baduy
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasi penelitian didaptkan nilai maksimunm dalam satu kali pengukuran yaitu pada kotak ke 10 dengan nilai nitrogen sebesar 2,98% dan nilai nitrogen yang

Anak yang bersikap terbuka kepada orang tua dan gaya mendidik orang tua yan baik, maka akan berpengaruh pada perilaku anak ke arah yang positif dan dapat meminimalisir kenakalan

Changes in the dissolution rate of hydrochlo- rothiazide tablets at room temperature, for example, were correlated to changes observed at 37, 50, and 80 ° C, suggesting

Berdasarkan beberapa ulasan di atas untuk memperkuat hasil penelitian, beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu: Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, pengamatan

Tulisan ini akan mengkaji beberapa karakteristik yang dimiliki oleh sistem kunci publik yang dibangun berdasarkan teori matriks invers tergeneralisasi.. Staff Pengajar FKIP

Perpustakaan ITS Surabaya telah menerapkan desain green building pada gedung perpustakaan.Sikap para pustakawan yang menunjukkan ke arah sikap derajat yang positif atau

Menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide matematika secara tepat (Shadiq, 2009). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika

Circle game can encourage the students to study English well because teaching vocabulary by using circle game the students are given stimulus, such as questions that encourage them