• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Kabupaten Sleman- Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 23 Mei 1988 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis terlahir dari ayah yang bernama Mulian Jamin Alwi dan ibu Kartini. Penulis memulai pendidikan formal di SDN Kentungan pada tahun 1994-2000, dilanjutkan SLTPN 1 Depok pada tahun 2000-2003, SMAN 11 Yogyakarta pada tahun 2003-2006, selanjutnya program sarjana Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006-2011.

Selanjutnya pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa pasca sarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Selama perkuliahan penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan Calon Dosen dan Tenaga Pendidik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti 2011).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian mengenai “Analisis Penerapan Pengetahuan Etnobotani Masyarakat Baduy dalam Ketahan Pangan” di bawah bimbingan Dr Ir Agus Hikmat, M ScF dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah ketahanan pangan sedang menjadi isu penting dan banyak kalangan meyakini bahwa dunia telah menghadapi krisis pangan sejak 2007 (Tambunan 2008). Krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukan pada tingkat makro melainkan pada tingkat mikro (keluarga) di daerah-daerah pedesaan yang terpencil, karena dampak dari kebijakan pemerintah di masa lalu ketika pemerintah menerapkan tarif impor komoditas pangan rendah (lebih rendah dari ketentuan WTO) sehingga harga-harga komoditas pangan yang diimpor lebih rendah dari hasil pertanian lokal atau nasional. Akibatnya di daerah-daerah pedesaan yang berpotensi menjadi lumbung pangan tidak bergairah mengembangkan produksi pangannya karena pendapatan yang akan mereka terima tidak memadai.

Selain itu ketersediaan pangan secara makro belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Kelancaran distribusi dan daya beli masyarakat merupakan dua unsur penting dalam mewujudkan ketahanan pangan (Sibuea 2008). Selanjutnya Sibuea (2008) menjelaskan bahwa rendahnya ketahanan pangan di Indonesia disebabkan pula oleh kebijakan”berasisasi” yang diberlakukan oleh pemerintah sejak dulu. Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas- FSVA) 2009, sebanyak 100 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia masuk dalam kategori rawan pangan utama, termasuk beberapa kabupaten yang surplus pangan (Deptan 2009). Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar yang mengarah pada dasar penetapan kriteria daerah rawan pangan. Salah satu indikator rawan pangan yang digunakan adalah persentase kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah diasumsikan tidak dapat memanfaatkan pangan berbasis sumber daya lokal (SDL) secara optimal dan mengakses sumber pangan tersebut.

Indikator tersebut tidak relevan jika digunakan pada kawasan adat yang dikelola oleh masyarakat secara tradisional. Karena masyarakat adat atau masyarakat tradisional telah mengembangkan pengetahuan dan kearifan tradisional dalam mengelola sumber daya alamnya dan terbukti lestari hingga saat ini (KMNLH 2001). Sebagai contoh masyarakat Baduy yang terbukti mampu mengelola ladang/huma sebagai penghasil berasnya dan teknologi leuit yang merepresentasikan lumbung padi bagi masyarakat Baduy. Kemampuan sistem pertanian masyarakat yang bersumber dari penggunaan pengetahuan tradisional telah dimiliki oleh masyarakat adat secara turun-temurun di suatu daerah dan erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan secara lestari sehingga terbukti mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan ketersediaan pangan berkelanjutan (Chapman 2007; Pierotti 2011).

Kelaparan adalah sebuah kejadian yang hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat Baduy (Maryoto 2009). Selama puluhan tahun, mereka tidak pernah mengalami hal tersebut dan selama itu pula masyarakat Baduy tidak mendapatkan pendidikan formal. Beras senantiasa tersedia karena masyarakat Baduy memiliki disiplin tinggi dalam menjaga ketersediaan pangannya. Mereka melestarikan budaya lumbung beras masyarakat yang disimpan dalam leuit. Selain beras,

masyarakat Baduy mengembangkan dan menggunakan beberapa spesies tumbuhan pangan lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya seperti taleus

(Colocasia esculenta), tangkil (Gnetum gnemon), dan berbagai spesies buah- buahan serta sayuran yang dibudidayakan ataupun diambil langsung dari hutan. Masyarakat Baduy memanfaatkan 127 spesies tumbuhan pangan yang berasal dari hutan, huma, pekarangan, reuma, jami, dan di sempadan sungai (Suansa 2011). Tingginya jumlah spesies yang dimanfaatkan mengindikasikan bahwa masyarakat Baduy memiliki banyak pilihan (diversifikasi) dalam budaya pangannya.

Makan dan kebutuhan pangan, erat kaitannya dengan budaya yang berkembang di suatu tempat. Budaya atau kebiasaan makan dan pola makan akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan ini semakin terlihat antara masyarakat satu dengan yang lainnya, sebagai contoh mayarakat adat Jae di Papua yang memiliki kebudayaan meramu, orang Jae memakan hampir segala sesuatu yang tersedia untuk bisa dimakan agar tetap hidup. Rasionalisasi dari sistem pengetahuan orang Jae tentang apa yang bisa dan tidak bisa dimakan merupakan sebuah proses panjang sampai pada penetapan spesies tumbuhan tertentu sebagai makanan. Tumbuhan ditetapkan sebagai makanan karena tidak mematikan orang, sebaliknya sesuatu yang mematikan tidak boleh dimakan (Apomfires 2002). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari kebudayaanlah pola makanan suatu masyarakat atau komunitas akan lahir dan terbentuk.

Demikian pula dengan masyarakat adat Baduy yang mengembangkan aspek sosial budaya pangan spesifiknya. Budaya sebagai arahan hidup membentuk kepercayaan dan moral masyarakat adat Baduy (Aspartia 1996). Budaya juga berperan dalam memberikan nilai sosial pada makanan, seperti adanya beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai sosial yang rendah, sebaliknya tumbuhan pangan lain memiliki nilai sosial yang tinggi. Sebagai contoh, beras dianggap memiliki nilai sosial yang lebih tinggi daripada sumber karbohidrat lainnya seperti singkong, jagung, dan lain-lain (Tan et al. 1970).

Berbagai penelitian yang mengkaji hubungan antara budaya dengan tumbuhan pangan telah banyak dilakukan, namun kuantifikasi tumbuhan pangan tradisional penting belum banyak digali. Kenyataannya metode kuantifikasi ini sangat penting dilakukan dalam aplikasi ilmu etnobotani yang sedang berkembang (Pieroni 2001). Pengukuran nilai penting budaya terhadap suatu spesies (Cultural Significant Plant) akan menjadi dasar dalam pengukuran pengetahuan tradisional masyarakat (indigenouse knowledge) dalam pemanfaatan spesies tumbuhan pangan. Selanjutnya pengetahuan tradisional masyarakat terhadap pemanfaatan spesies tumbuhan beserta sistem pangan yang meliputi infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis dapat dijadikan dasar dalam pengukuran retensi dan penggunaan pengetahuan etnobotani dalam ketahanan pangan pada masyarakat adat Baduy (Zent 2009; Suansa 2011).

Rumusan Masalah

Pilar utama dalam penetapan ketahanan pangan yang digunakan pada Peta Kerawanan Pangan adalah (1) ketersediaan pangan, (2) akses pangan, (3) kesehatan dan gizi, (4) kerawanan pangan (Deptan 2005). Ketersediaan pangan diukur dengan pendekatan ketersediaan serealia serta membandingkan produksi padi dan jagung dengan konsumsi normatif masyarakat terhadap komoditi

tersebut. Salah satu indikator dari akses pangan adalah jumlah kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan dasar. Salah satu indikator dalam kesehatan dan gizi adalah jumlah perempuan buta huruf.

Jika indikator tersebut digunakan dan disimulasikan pada komunitas masyarakat Baduy yang berada di Kabupaten Lebak, daerah ini termasuk dalam daerah prioritas 3 (Deptan 2009). Baduy menjadi daerah rawan pangan prioritas ke-3 karena tingkat pendidikan yang relatif rendah, tingkat buta huruf yang relatif tinggi, akses listrik yang rendah, meskipun termasuk dalam daerah surplus pangan yang sedang. Kenyataannya Baduy memiliki seperangkat pengetahuan tradisional yang diadaptasikan dan digunakan dalam waktu panjang sehingga diduga mampu membawa masyarakat Baduy dalam kondisi yang tahan pangan. Pengukuran tingkat ketahanan pangan masyarakat Baduy dilakukan dengan pendekatan etnobotani (pangan) atau pemanfaatan tumbuhan lokal oleh masyarakat. Pendekatan ini digunakan karena tumbuhan memiliki peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia (NTBG 2007; Suansa 2011).

Penetapan tumbuhan pangan bernilai budaya tinggi (Cultural Significant Plant) merupakan pemberian nilai terhadap suatu spesies tumbuhan berdasarkan budaya yang melekat dalam suatu komunitas masyarakat (Pieroni 2001). Penilaian tersebut merepresentasikan keeratan hubungan antara manusia dengan tumbuhan dalam penggunaan dan pemanfaatan tumbuhan (etnobotani) pangan. Selanjutnya nilai tersebut dijadikan dasar untuk mengukur penggunaan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy dalam ketahanan pangan. Sehingga muncul dua pertanyaan penting dalam penelitian, yaitu:

1. Spesies tumbuhan pangan tradisional (cultural significant plant) apa yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy sebagai bahan pangan?

2. Berapa besar tingkat penggunaan pengetahuan etnobotani masyarakat adat Baduy dalam ketahanan pangan?

Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai status ketahanan pangan masyarakat Baduy berdasarkan indikator penerapan pengetahuan etnobotani yang dimiliki. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengukur nilai tumbuhan pangan tradisional penting masyarakat Baduy. 2. Mengukur tingkat penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy

dalam ketahanan pangan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat adat dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisionalnya serta merealisasikan pengakuan dan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Bagi stakeholder yang terkait penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam penentuan kriteria status ketahanan pangan pada komunitas masyarakat adat atau tradisional. Hal ini dimaksudkan agar dapat membantu dalam penyusunan program dan pengembangan daerah serta pengambilan kebijakan yang tepat, efektif, dan efisien dalam perwujudan ketahanan pangan.

Kerangka Pemikiran

Pendekatan pengetahuan etnobotani digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi status ketahanan pangan masyarakat Baduy. Pengetahuan tersebut terdiri atas pengenalan spesies tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Food Significant Index) termasuk tanaman pangan budidaya dan tumbuhan pangan liar, serta sistem sosio kultur yang terdiri dari: infrastruktur material, struktur sosial, dan super struktur ideologi (Pieroni 2001; Zent 2009). Selanjutnya pengetahuan etnobotani tersebut dianalisis secara kuantitatif untuk mengetahui retensi pengetahuan etnobotani.

Retensi pengetahuan etnobotani adalah kemampuan masyarakat adat untuk menyimpan pengetahuan etnobotani yang dimilikinya (Zent 2009). Semakin besar (+) penurunan kemampuan retensi masyarakat Baduy antar kelas umur menunjukkan kecenderungan hilangnya pengetahuan tradisional, sebaliknya semakin rendah (-) penurunan kemampuan retensi masyarakat Baduy antar kelas umur menunjukkan kecenderungan penggunaan pengetahuan etnobotani dan mengarah pada ketahanan pangan. Gambar 1 menunjukkan kerangka pemikiran teoritis melalui pendekatan Pieroni (2001) dan Zent (2009).

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Keterangan: tanda +/- menunjukkan kecenderungan retensi pengetahuan etnobotani Tahan Pangan Masyarakat Baduy

Pengetahuan Etnobotani Pangan Tumbuhan Pangan Tradisional Penting

1. Tanaman pangan budidaya (penyebutan, ketersediaan, penggunaan tumbuhan, komersialitas, dan eksklusivitas)

2. Tumbuhan pangan liar (penyebutan, ketersediaan, frekuensi pemanfaatan, bagian yang dimanfaatkan, pengolahan, dan rasa dari tumbuhan pangan, serta pemanfaatan dalam kesehatan)

Sistem Sosio kultural 1. Infrastruktur material

2. Struktur sosial

3. Super struktur ideologis

Rawan Pangan

Retensi Pengetahuan Etnobotani

‐ 

+ 

+ 

‐ 

Ketersediaan Pangan Perbandingan konsumsinormatif terhadap produksi bersih padi, jagung, dan singkong.

Food Security and Vulnerability Atlas 2009

Akses Pangan 1.Kepala keluarga tidak

tamat pendidikan dasar. 2.Areal yang tidak dapat

dilalui kendaraan roda empat (%)

3.Rumah tangga tanpa listrik (%)

Pemanfaatan Pangan 1.Angka harapan hidup 2.Perempuan buta

huruf

3.Rumah tangga yang berjarak >5 km dari pelayanan kesehatan. Rawan Pangan Prioritas III

2 TINJAUAN PUSTAKA

Etnobotani

Awal tahun 1985, ilmu etnobotani secara sederhana telah menggambarkan penggunaan tumbuhan oleh masyarakat suku Aborigin, namun dalam kurun waktu yang panjang ilmu tersebut mengalami perkembangan tidak hanya terbatas pada penggunaan tumbuhan tetapi juga mempelajari bagaimana masyarakat tradisional merasakan dan mengelola tumbuhan serta hubungan saling ketergantungan antara tumbuhan dan masyarakat tradisional (Cotton 1996).

Pengertian

Etnobotani berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ethnos yang berarti bangsa dan botany yang berarti tumbuhan (Young 2007). Selanjutnya Young (2007) menjelaskan bahwa etnobotani berisi keseluruhan fakta-fakta yang spesifik berkaitan dengan budaya dan agama suatu masyarakat tradisional dalam mengolah dan memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan lokalnya. Pemanfaatan tersebut dapat berupa pangan, obat, bahan bakar, tempat tinggal, dan bahan dalam upacara maupun acara adat sesuai dengan budaya setempat.

Dalam Deklarasi Kaua’I pada tahun 2007 dijelaskan bahwa hubungan antara manusia dan tumbuhan merupakan suatu interaksi ketergantungan yang saling mempengaruhi. Jika tumbuhan tidak ada, maka kehidupan manusiapun tidak akan pernah ada. Tumbuhan memiliki peranan yang sangat penting sebagai penyedia biomasa utama yang dihasilkan dari proses fotosintesis yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu etnobotani berkembang tidak hanya dalam tataran pengenalan jenis tumbuhan saja, tetapi juga bagaimana masyarakat tradisional mengelolanya dan memanfaatkannya dengan bersumber pada rasionalisasi dan pengetahuan tradisional yang dimilikinya (NTBG 2007).

Secara luas etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung antara manusia dengan tumbuhan dalam pemanfaatan secara tradisional (Harshberger 1896; Cotton 1996). Studi etnobotani dapat membantu masyarakat dalam mencatat dan merekam kearifan lokal yang dimiliki selama ini, untuk masa mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberikan kontribusi dalam proses pengenalan sumber daya alam di suatu wilayah melalui kegiatan dokumentasi kearifan lokal bersama masyarakat setempat (Ndero dan Thijssen 2004).

Ruang lingkup

Secara sederhana ruang lingkup etnobotani dibatasi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mendalami persepsi masyarakat tentang sumberdaya nabati di lingkungannya (Waluyo 1992). Senada dengan hal tersebut Harrington dan Marreco (1916) menjelaskan bahwa etnobotani sebagai ilmu pengetahuan memiliki karakter yang sistematis dan merupakan hasil dari sebuah penelitian dengan metode yang benar. Sejak dari proses pengumpulan spesies tumbuhan, mengidentifikasi spesies tumbuhan, kemudian membuat daftar spesies dan menganalisis manfaat dari masing-masing spesies harus dilakukan dengan konsep

dan landasan yang benar. Selanjutnya etnobotani menjadi sebuah batasan penelitian yang terdiri dari dua pertanyaan penting, yaitu:

1. Apa konsep dan ide masyarakat tradisional terhadap pengelolaan tumbuhan? 2. Apa dampak yang diberikan tumbuhan terhadap kehidupan manusia,

budaya, agama, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya? Pengetahuan Tradisional Mengenai Tumbuhan

Secara umum pengetahuan tradisional adalah tata nilai dalam tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang berkembang di suatu masyarakat tradisional (Chapman 2007). Pengetahuan tersebut bersifat dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima oleh komunitasnya (Zent 2009). Pengetahuan tradisional berkembang dari generasi ke generasi dan terwujud dalam seperangkat aturan, pengetahuan, keterampilan, tata nilai, etika yang mengatur tatanan sosial di suatu komunitas (Pierotti 2011).

Secara spesifik pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan adalah keseluruhan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penamaan, ekologi, dan pemanfaatan tumbuhan serta pengelolaannya (Cotton 1996). Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam mendokumentasikan pengetahuan tradisional mengenai tumbuhan adalah melalui: (1) pendekatan manfaat (meliputi obat, pestisida nabati, sumber nutrisi, dan manfaat lainnya), (2) pendekatan kognisi/pengetahuan dasar dalam pemanfaatan tumbuhan, (3) ekologi budaya, (4) perubahan dan penyebaran pengetahuan tradisional, serta (5) sumber pengetahuan tradisional (sebagai proses pengamatan, percobaan, dan adaptasi).

Spesies Tumbuhan Pangan Tradisional Penting

Tumbuhan merupakan sumber daya penting dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti makanan, pakan, dan medis. Pemanfaatan spesies tumbuhan pangan oleh masyarakat adat (etnobotani) adalah hasil dari pengalaman dan rasionalisasi yang terjadi untuk waktu yang lama sehingga tercermin dalam makanan dan budaya. Sebagai contoh orang Jae yang mengkonsumsi hampir semua spesies tumbuhan asalkan tidak menyebabkan kematian (Ampofires 2002). Jadi tumbuhan pangan dan budaya memiliki hubungan dekat dapat digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan pangan pada area spesifik (Loring dan Gerlach 2009). Banyak penelitian membahas tentang hubungan antara tumbuhan pangan dan budaya, namun pengembangan dengan metode kuantitatif belum banyak dilakukan. Kenyataannya metode kuantitatif dalam pengukuran speies tumbuhan pangan tradisional penting sangat dibutuhkan dalam aplikasi ilmu etnobotani (Pieroni 2001).

Pengembangan metode kuantitatif untuk mengukur nilai penting tumbuhan telah dilakukan pada tahun 1988 terhadap tumbuhan mawar di Kanada (Turner 1988). Pengukuran dilakukan dengan tiga kriteria, yaitu kualitas penggunaan sebagai tumbuhan utama atau sampingan dengan lima skala pengukuran, intensitas atau frekuensi penggunaan, dan eksklusifitas tumbuhan dalam suatu kebudayaan dan ritual adat. Selanjutnya tiga kriteria tersebut dikembangkan lagi untuk menganalisis etnobotani dan mengevaluasi tumbuhan bernilai budaya dan etnik yang penting di Gunung Yucca (Nevada, USA). Pengukuran dilakukan

dengan mengurangi kriteria kualitas penggunaan tumbuhan dan menambahkan kriteria lain yang berkaitan dengan budaya dan etnis pada masing-masing kelompok (Johns 1990). Pieroni (2001) menggabungkan metode yang digunakan oleh Turner (1998) dan Johns (1990) untuk menilai tumbuhan pangan liar penting di Tuscany, Italia. Pengukuran dilakukan dengan tujuh indeks utama yaitu indeks penyebutan, indeks ketersediaan, indeks frekuensi pemanfaatan, indeks pengolahan tumbuhan, bagian yang dimanfaatkan, indeks rasa dan kesukaan, dan penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan.

Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Ketahanan Pangan

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dalam Universal Declaration of Human Rights. Pada KTT Pangan sedunia tahun 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan menghapus kelaparan di semua negara (Kementan 2012). Ketahanan pangan adalah keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No. 7 1996). Menurut World Food Summit 1996, ketahanan pangan terjadi jika semua orang secara terus-menerus baik secara fisik, sosial, dan ekonomi memiliki akses pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (FAO 1996).

Sebagaimana FIA tahun 2005, FSVA tahun 2009 dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (1) ketersediaan pangan, (2) akses terhadap pangan, dan (3) pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/ perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan.

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasinya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan ini meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar memasak (Deptan 2009).

Peta ketahanan dan kerawanan pangan Indonesia menggunakan enam tingkatan ketahanan pangan yang ditandai dengan perbedaan warna. Daerah yang menjadi prioritas utama dalam kerentanan pangan ditunjukkan dengan warna merah yang semakin tua sebaliknya warna hijau yang semakin tua menunjukkan daerah yang semakin tahan pangan (Gambar 2).

9

Kedaulatan pangan

Kedaulatan pangan secara sederhana merupakan suatu kemampuan untuk hidup dengan menggunakan apa yang kita hasilkan. Kedaulatan pangan merupakan hak masyarakat untuk menentukan makanan dan pertanian mereka sendiri; dalam upaya melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik dan perdagangan untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan, menentukan sejauh mana mereka ingin menjadi mandiri; membatasi pembuangan produk di pasar mereka, dan untuk menyediakan kebutuhan pangan dari perikanan lokal berbasis masyarakat. Kedaulatan pangan tidak meniadakan perdagangan, melainkan mengutamakan kebijakan dan pelaksanaan perdagangan yang melayani hak-hak masyarakat atas pangan yang aman, sehat, dan ekologi yang berkelanjutan (Nyeleni 2007). Konsep kedaulatan pangan tertuang dalam enam prinsip, yaitu:

1. Fokus pada pangan untuk manusia sebagai pemenuhan kebutuhan dasar, bukan sebagai komoditas ekspor.

2. Menghormati nilai dan hak petani sebagai penyedia pangan dan menolak segala kebijakan dan tindakan yang mengancam mata pencahariannya. 3. Membentuk sistem pangan lokal dengan mendekatkan produsen dan

konsumen sebagai pengambil keputusan dalam isu-isu pangan, menjaga produsen pangan dari sistem perdagangan yang tidak adil.

4. Membangun kontrol yang bersifat lokal, mereka bisa mengembangkan dan membagi daerah sesuai dengan kondisi alam yang ada dengan mempertimbangkan lingkungan yang berkelanjutan, bukan paradigma privatisasi terhadap sumber daya.

5. Membangun pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam produksi pangan , sistem panen, dan mengembangkan kearifan lokal untuk generasi yang akan datang serta menolak pengetahuan asing yang justru mengganggu sistem lokal yang telah ada.

6. Bekerja dengan kaidah alam, dimana alam diciptakan dalam keragaman dan memiliki kemampuan adaptasi sehingga berkelanjutan. Menolak segala metode yang membahayakan bagi fungsi ekosistem seperti sistem pertanian monokultur yang bertentangan dengan kaidah alam.

Prinsip tersebut menunjukkan bagaimana kemajuan kedaulatan pangan yang tidak hanya sebagai konsep, melainkan arah dan tindakan yang dapat dilakukan pada tingkat individu atau komunitas lokal yang berbasis ekologi. Dalam beberapa tahun terakhir gerakan kedaulatan pangan telah muncul negara- negara maju termasuk Inggris dengan cara memberikan kontribusi untuk lebih ramah lingkungan dan sistem pangan yang berkelanjutan (World Development Movement 2011). Selain itu saat ini telah pengukuran kedaulatan pangan melalui “Food Sovereignty Assesment Tool” oleh First Nations Development Institute

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan subyek penelitian masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2012.

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi spesies tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Significant Plant) dan penggunaan pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan, serta data spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi yang dikumpulkan melalui studi pustaka (Tabel 1).

Tabel 1 Parameter data penelitian

Parameter Variabel Pengumpulan Data

1. Pengetahuan tradisional

dalam ketahanan pangan

a. Pengetahuan tradisional tentang penamaan dan identifikasi spesies tumbuhan pangan.

b. Sistem sosiokultur dalam pemanfaatan spesies tumbuhan

Dokumen terkait