• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makanan Pokok

Makanan pokok masyarakat Baduy adalah beras yang berasal dari padi (pare), berdasarkan hasil wawancara terdapat 46 varietas padi yang masih ditanam dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Meskipun demikian, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa padi yang ada di baduy berjumlah 89 varietas (Iskandar dan Ellen 1999). Bagi masyarakat Baduy padi adalah sesuatu yang sangat berharga karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, Sang Dewi Padi. Dalam aturan adat, masyarakat Baduy tidak diperkenankan untuk menanam padi sawah/basah, membajak tanah, menggunakan pestisida, dan mengaliri sawah dengan air sehingga sistem perladangan yang digunakan adalah ladang tadah hujan. Hal ini berimplikasi pada keharusan masyarakat Baduy untuk menguasai kondisi perubahan musim dan masa tanam yang mereka tentukan dengan melihat perputaran gugusan bintang di langit (Kurnia dan Sihabudin 2010; Wilodati 2007).

Padi yang biasa ditanam adalah pare ketan biasa, pare koneng, pare siang,

pare seungkeu, pare pendok dan pare ketan langga sari (Raharjo et al. 2002; Senoaji 2011). Padi hanya ditanam satu kali dalam satu tahun dengan ketentuan padi yang ditanam minimal berasal dari 5 varietas (Senoaji 2011). Selain itu terdapat aturan bahwa pare ketan tidak boleh ditanam berhadapan dengan pare siang dan pare koneng, dan letak pare ketan harus ada di sebelah barat (Gambar 6). Pengetahun berladang masyarakat Baduy sangat arif, untuk tetap menjaga kesuburan tanah, ladang yang telah dipanen padinya akan ditinggalkan selama 3-5 tahun untuk mengembalikan kekayaan unsur hara tanah (memberakan). Peralatan yang digunakan dalam berladang hanya arit (sabit), kujang (pisau), kored (untuk membersihkan rumput), dan aseuk (untuk membuat lubang tempat biji ditanam).

Sumber: Iskandar dan Ellen (1999)

Pengelolaan ladang (huma)

Dalam tradisi masyarakat Baduy dikenal enam jenis huma yang memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya baik secara fungsi, letak, serta kepemilikan dan proses pengerjaannya. Keenam jenis huma tersebut antara lain (1) huma serang yaitu ladang khusus untuk padi yang dianggap suci dan berada di wilayah Baduy Dalam (tangtu), (2) huma puun yaitu ladang khusus milik puun (pemimpin Baduy), (3) huma tangtu yaitu ladang milik orang Baduy tangtu/dalam (Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana), (4) huma tuladan, yaitu ladang bersama yang berada di Baduy Luar yang hasilnya untuk keperluan desa, (5) huma panamping

yaitu ladang para warga panamping/ Baduy Luar, (6) huma orang Baduy yaitu ladang orang-orang Baduy di luar Desa Kanekes. Ada tujuh tahap dalam proses mengerjakan huma, yaitu:

1. Narawas dan nyacar : diawali dengan kegiatan narawas (membaca mantra selama 3 hari dan meletakkan panglai, asahan, kakait, dan daun tepus sebagai tanda), selanjutnya menebas semak belukar (agar sinar matahari dapat masuk) tetapi pepohonan besar tidak ditebang. Kegiatan ini berlangsung kira-kira 30 hari untuk menyelesaikan lahan ±1 hektar.

2. Nukuh dan nuaran : menumpuk ranting dan daun-daun pepohonan setelah itu ditinggalkan selama 3 hari.

3. Ganggang : mengeringkan ranting dan daun di bawah teriknya matahari selama 15 hari.

4. Ngahuru : membakar lahan garapan untuk menghilangkan tumbuhan pengganggu. Sebelum melakukan kegiatan tersebut dibacakan mantra agar api tidak menjalar selain itu dibuat pula sekat bakar di sekitar pohon yang tersisa agar pohon tidak ikut terbakar.

5. Ngaduruk : membakar sisa-sisa ranting dan daun yang telah dikeringkan 6. Nyasap : membersihkan rumput-rumput kecil yang masih tersisa

7. Ngaseuk : membuat lubang untuk menanam menggunakan tugal (pria) menanam butiran padi dalam lubang tanam (wanita).

Sistem penanggalan masyarakat Baduy berbeda dengan sistem penanggalan hijriyah maupun masehi meskipun dalam penanggalan Baduy dikenal 12 bulan sama seperti yang lainnya namun dalam 1 bulan hanya ada 30 hari. Dengan demikian dalam satu tahun ada 360 hari dan ada 4-5 hari masa untuk menghitung atau menentukan penanggalan tahun berikutnya berdasarkan kolejer

(dasar penentuan waktu masyarakat Baduy). Penentuan bulan dan penanggalan masyarakat Baduy sangat erat kaitannya dengan kalender kegiatan upacara adat yang dimulai dari seba di bulan safar, sebagai tanda dimulai tahun baru kalender Baduy sampai kawalu tutug pada akhir bulan katiga (Tabel 10).

Tabel 10 Susunan kegiatan upacara adat dan perladangan di Baduy berdasarkan penanggalan

No Bulan Kegiatan Upacara Adat Kegiatan Berladang

1. Safar (April-Mei) Seba Narawas huma serang

2. Kalima (Mei-Juni) Muja pada tanggal 17-18, acara geseran, kawinan, dan sunatan

Nyacar huma serang 3. Kaenem (Juni-Juli) Hajatan perkawinan dan selamatan Nukuh di huma serang 4. Katujuh (Juli-

Agustus)

Ngaduruk dan ngaseuk di huma serang, nyacar di huma puun

Tabel 10 Lanjutan 

No Bulan Kegiatan Upacara Adat Kegiatan Berladang

5. Kadalapan (Agustus- September)

Ngored di huma serang, nukuh dan ngaduruk di huma tangtu

6. Kasalapan (September- Oktober)

Ngored di huma serang dan huma puun 7. Kasapuluh

(Oktober-November)

Ngored dan meuting di huma

8. Hapit Lemah (November- Desember)

Ngirab sawah, ngored, dan meuting

9. Hapit Kayu

(Desember-Januari)

Ngored, ngubar pari, dan meuting

10. Kasa (Januari- Februari)

Kawalu Tembeuy (awal) puasa tanggal 17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo

Panen di huma serang

11. Karo (Februari- Maret)

Kawalu Tengah puasa tanggal 18 di Cikeusik dan 19 di Cibeo

Panen di huma puun 12. Katiga (Maret-

April)

Kawalu Tutug (akhir) puasa tanggal 17 di Cikeusik dan Cikertawana, tanggal 18 di Cibeo. Acara ngalaksa tanggal 20-27

Panen di huma tangtu dan huma masyarakat

Sumber: Ichwandi dan Shinohara (2007); Kurnia dan Sihabudin (2010)

Bagi masyarakat Baduy ngahuma adalah suatu kegiatan yang membutuhkan kerja sama erat antara pria dan wanita. Pada masa pertama padi tidak dibiarkan begitu saja, tetapi pada tiga bulan pertama diurus dengan baik misalnya dengan membersihkan rumput menggunakan kored (ngored) yang dilakukan beberapa kali. Selain itu padi diubaran atau diobati, campuran debu dapur dengan berbagai ramuan umbi sebagai pencegah hama. Waktu tanam atau

ngaseuk ditentukan dengan perhitungan tepat dengan tujuan agar menghindari masa hama padi (Garna 1996).

Gambar 7 Ikatan atau pocong padi yang sedang dikeringkan di lantaian

Padi dapat dipanen ketika sudah mencapai umur 6 bulan. Cara menuai padi dilakukan secara tradisional menggunakan anai-anai (etem). Potongan padi

diikat menggunakan tali bambu. Satu ikat padi disebut pocong yang kemudian disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang yang disebut dengan lantaian (Gambar 7). Menyimpan padi dengan cara ini dimaksudkan agar padi mengering sebelum diangkut ke kampung. Mengangkut padi ke kampung dinamakan nunjal. Pengangkutan padi biasanya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga.

Hasil panen ini selanjutnya disimpan di leuit (lumbung padi). Leuit

berbentuk serupa rumah, namun lebih kecil dan bertiang tinggi. Terbuat dari kayu, berdinding anyaman bambu, dan beratap dari daun kirai (Gambar 8). Terdapat sebuah pintu di salah satu sisi tepi atap sebagai jalan untuk memasukkan dan mengeluarkan padi. Pintu ini hanya dapat dijangkau dengan menggunakan tangga. Teknologi leuit yang unik ini tidak memungkinkan tikus atau binatang sejenisnya masuk ke dalam leuit. Karena pada ujung pondasi diberikan kayu berbentuk lempengan bundar (gelebeg) yang diletakkan secara horizontal sehingga tikus tidak dapat merayap pada lempengan kayu tersebut.

Gambar 8 Leuit Baduy

Setiap keluarga memiliki leuit. Jumlah leuit menentukan status sosial ekonomi sebuah keluarga. Semakin banyak leuit, semakin tinggi pula statusnya. Hingga saat ini, jumlah leuit yang ada di Baduy telah melebihi jumlah rumah dan KK yang ada di Baduy. Dalam satu KK minimal telah memiliki 1,2 ± 0,6 bagi masyarakat Baduy Luar, dan 1,6 ±0,5 bagi masyarakat Baduy Dalam (Khomsan dan Wigna 2009). Selain terdapat leuit yang dimiliki secara individual, terdapat juga leuit yang kepemilikannya komunal. Leuit berfungsi layaknya tabungan pangan. Padi yang disimpan di dalam leuit dapat awet hingga 100 tahun. Semakin lama padi disimpan di dalam leuit, semakin berwarna merah dan teksturnya mengeras.

Letak leuit berada di luar kampung dan bergerombol membentuk sebuah kompleks. Biasanya dalam sebuah kompleks terdapat sekitar lima hingga sepuluh

leuit (Gambar 9). Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi kebakaran di kampung, hasil panen masih dapat diselamatkan. Perkampungan Baduy seringkali mengalami musibah kebakaran mengingat bahan bangunan

rumah yang seluruhnya dari bambu dan kayu yang mudah terbakar. Dapur tempat memasak pun terdapat di dalam rumah sehingga kesalahan kecil saja mampu membakar rumah dalam waktu yang relatif singkat.

Gambar 9 Letak dan kompleks leuit di Baduy Upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy

Terdapat tiga upacara adat yang penting bagi masyarakat Baduy, yaitu

kawalu, ngalaksa, dan seba. Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, yaitu bulan penuh dengan kebahagiaan dan kemuliaan yang diisi dengan kegiatan berdoa untuk keselamatan alam dan manusia serta isinya, beribadah, memohon ampunan dari dosa dan berbagai kesalahan. Pada bulan ini masyarakat dilarang makan sembarangan, terutama masyarakat Baduy Dalam dilarang makan telur dan daging, dilarang makan bebirusan (batang muda), dilarang melaksanakan acara yang ramai seperti perkawinan dan sunatan, dilarang memotong rambut, dan membunuh hewan.

Selanjutnya ngalaksa yang tergolong sakral dan dan sangat rahasia. Pada upacara ini masyarakat Baduy melaksanakan rukun agama sunda wiwitan yang difokuskan pada kegiatan mendoakan keselamatan manusia, ngajiwa batin, dan melaksanakan amanah leluhur. Selain itu pada upacara ini masyarakat Baduy membuat laksa dari tepung padi dan hasil panen pada tahun ini untuk diserahkan kepada leluhur dan khususnya untuk cadangan yang akan diberikan pada pejabat pemerintah pada acara seba.

Seba adalah kegiatan keagamaan yang wajib dijalankan oleh masyarakat Baduy. Seba merupakan kegiatan baku yang intinya adalah silahturahmi masyarakat Baduy pada Ratu dan Menak (pejabat pemerintahan) dengan didasari kesadaran dan keikhlasan. Pada pelaksanaan seba masyarakat Baduy berjalan menuju kantor pemerintah sambil membawa hasil bumi mereka. Selanjutnya disampaikan pula hal yang berkaitan dengan keluhan adat, kejadian-kejadian yang menimpa adat, serta harapan-harapan adat.

Tumbuhan Pangan Tradisional Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy memanfaatkan 240 spesies tumbuhan pangan, 46 varietas padi ladang, 42 varietas pisang, 12 varietas talas, 9 varietas kelapa, 17 varietas ubi jalar, 2 varietas terung, 8 varietas singkong, 2 varietas mangga, 2 varietas rambutan, 2 varietas jagung, dan 3 varietas nanas. Total spesies dan varietas tersebut adalah 374. Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman telah di budidayakan sedangkan 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan masih liar. Tanaman pangan budidaya

Selain pare ladang atau huma juga ditanami dengan tanaman budidaya lain seperti terong, taleus, pisang, dan ubi. Terdapat 238 spesies dan varietas tanaman pangan yang dibudidayakan di huma dan reuma Baduy. Huma dikelola dengan sistem perladangan yang sangat memperhatikan keanekaragaman jenis yang ada didalamnya (Louhui et al. 2009), sehingga adaptif dan mampu menjaga stabilitas ekosistem (Garna dan Judistira 1985; Eden 1987).

Sebanyak 238 spesies dan varietas tanaman pangan mampu disebutkan oleh lebih dari tiga orang responden sehingga seluruh tanaman pangan tersebut termasuk dalam kategori penting. Adapun tingkat penting tanaman terbagi menjadi empat kategori, yaitu: sangat penting (>218), penting (164 sampai 218), agak penting (110 sampai 163), dan kurang penting (<110). Tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting antara lain beberapa spesies pare (Oryza sativa L), dimana pare siang, pare ketan langgasari, pare ambu ganti, pare ketan,

dan pare menyam menjadi lima varietas padi tertinggi karena lebih banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy. Padi menjadi tanaman yang sangat penting karena menjadi pangan pokok yang wajib ditanam oleh seluruh masyarakat Baduy. Ketersediaan pare sebagai sumber pangan berkelanjutan yang diwujudkan dengan leuit dan penggunaanya dalam upacara adat maupun perkawinan menjadikan spesies ini bernilai sangat penting bagi masyarakat Baduy. Meskipun demikian seluruh pare yang ditanam di huma tidak boleh dijual. Selain padi spesies asam ranji (Dialium indum L), kawung (Arenga pinnata

Merr.), beberapa varietas pisang (Musa paradisiaca L.), awi mayan

(Gigantochloa robusta Kurz.), dan kadu (Durio zibethinus Murr.) menjadi tanaman yang termasuk dalam kategori sangat penting.

Spesies tanaman yang bernilai penting antara lain hiris (Cajanus cajan

Mill.), cokrom (Solanum melongena L.), kaweni (Mangifera odorata Griff.), kalapa (Cocos nucifera L.), dan binglu (Mangifera caesia Jack.). Hiris merupakan jenis kacang yang sangat sering dikonsumsi masyarakat Baduy, kacang tersebut biasanya dipanen dan disimpan ke dalam toples sehingga dapat dimanfaatkan kembali saat akan memasak. Berbeda dengan cokrom, kaweni, binglu, dan kelapa yang belum diketahui cara penyimpanannya sehingga biasanya spesies tersebut dikonsumsi dan dijual saat jumlahnya berlebih. Secara umum tidak ada aturan adat yang melarang penjualan sumberdaya pangan yang berasal dari huma dan

reuma, kecuali hanya untuk spesies pare.

Spesies dan varietas tanaman yang bernilai agak penting antara lain:

kapundung (Baccaurea sp.), nangka walanda (Annona muricata L.), hajeli (Coix lacryma-jobi L.) , koas (Canavalia ensiformis DC. ), dan kenyut. Selanjutnya spesies yang dinilai kurang penting adalah laja bereum (Alpinia purpurata

(Vieill.) K. Sch), lingsuh (Baccaurea lanceolata Muell.), gempol (Nauclea orientalis L.), kanas (Ananas comosus Merr.), dan lopang (Luffa cylindrica

Roem.). spesies dan varietas tanaman pangan yang dinilai agak penting dan kurang penting merupakan tanaman yang sedikit diketahui responden dan hanya berfungsi sebagai bumbu (sambara) atau tambahan pangan saja.

Tumbuhan pangan liar

Tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy tidak hanya tanaman budidaya yang berasal dari huma dan reuma tetapi juga terdapat 136 spesies dan varietas tumbuhan pangan liar dari hutan yang tumbuh dengan sendirinya. Sebanyak lebih dari tiga responden mampu menyebutkan nama spesies dan varietas tumbuhan pangan liar sehingga memiliki nilai penting bagi masyarakat Baduy. Proses wawancara yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh proses recall, yaitu proses mengingat kembali informasi yang dipelajari dimasa lalu tanpa petunjuk yang dihadapkan pada obyek (Hilgard dan Bower 1975). Kemampuan mengingat kembali dilakukan melalui proses mencari dan menemukan informasi yang disimpan untuk digunakan kembali bila dibutuhkan.

Berdasarkan hasil analisis data, tumbuhan pangan liar terbagi atas empat kriteria tingkat kepentingan yaitu: sangat penting (>82,3), penting ( 33 sampai 82,3), agak penting (11,91 sampai 32,9) dan kurang penting (<11,91). Tumbuhan pangan yang memiliki nilai sangat penting antara lain jengkol (Pithecellobium lobatum Benth.), supa lember aceh (Auricularia auricula Bull. J Schrot.), cau abu

(Musa sp), laja goah (Alpinia malaccensis Rosc.), dan paku kapal (Aspidium repandum Willd.). berdasarkan hasil eksplorasi lapang Baduy memiliki keanekaragaman pisang yang sangat tinggi yaitu 42 varietas. Sebanyak 24 varietas masih belum dibudidayakan karena dianggap tidak laku dijual dan kurang enak rasanya. Meskipun demikian masyarakat Baduy mengetahui bahwa varietas pisang tersebut dapat dikonsumsi sehingga menjadi potensi yang dapat kita gali untuk pengembangan dimasa yang akan datang.

Tumbuhan pangan yang bernilai penting adalah mayasih (Erechtites valerianifolia (Wolf.) DC), areuy sineureut, beunying (Ficus fistulosa Reinw.),

cau beusi (Musa sp), dan paku hurang (Stenochlaena palustris Bedd.). Tingkatan penting mengindikasikan bahwa tumbuhan ini masih cukup banyak diketahui oleh masyarakat dan cukup sering dikonsumsi. Selain itu tumbuhan pangan liar tidak hanya ditemukan di hutan, tetapi sangat mungkin ada di tipe penggunaan lahan lainnya. Masyarakat Baduy membagi tipe penggunaan lahannya menjadi delapan (Gambar 10).

Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh bahwa 96,3 tumbuhan pangan liar Baduy dapat ditemukan di lebih dari 2 tipe penggunaan lahan (Tabel 11). Hal ini sangat sesuai dengan hasil dari wawancara yang menyatakan bahwa tumbuhan pangan liar di Baduy mudah untuk ditemukan.

Tabel 11 Kategori tumbuhan liar hasil eksplorasi

No Kategori Jumlah Persentase (%)

1. Hanya ditemukan di 1 Lahan 3 2,2

2. Terdapat di 2 lahan berbeda 2 1,5

Keterangan: 1) leuweung/ hutan 5) jami/ ladang yang diberakan 2-3 tahun 2) huma/ ladang 6) pipir cai/ pinggir sungai

3) pipir imah/ pinggir rumah 7) pipir saung/ pinggir saung 4) tatajuran/ penggir kampung 8) reuma/ kebun

Sumber: Marlina (2009); Suansa (2011) modifikasi

Gambar 10 Tipe penggunaan lahan di kawasan Baduy

Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori agak penting antara lain dahu (Dracontomelon mangiferum Bl.), areuy canar (Smilax leucophylla

Bl.), supa tikukur (Coprinus plicatilis (Curtis) Redhead et al.), supa nyeruan

(Polyporus derrmoporus Pers.), dan areuy palungpung (Merremia peltata (L.) Merr.). Supa merupakan jenis jamur yang tumbuh pada batang atau kayu yang telah lapuk, sedangkan suum adalah jenis jamur yang tumbuh dari tanah (Gambar 11). Meskipun masyarakat Baduy mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewaninya, terdapat 26 spesies jamur yang juga berperan sebagai sarana pemenuhan proteinnya. Jamur merupakan sumber protein tinggi dan bernilai ekonomis tinggi (Hall et al. 2003).

(a) (b) Gambar 11 Supajangkar (a) dan suum pahatu (b)

Tumbuhan pangan liar yang termasuk dalam kategori kurang penting antara lain: manglong, hantap heulang (Sterculia macrophylla Vent.), gelam

(Celosia argentea L.). tumbuhan tersebut sangat jarang diketahui oleh responden selain itu rasanya yang dianggap kurang enak membuat tumbuhan ini sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat Baduy (Lampiran 9).

Frekuensi Pemanfaatan Tumbuhan Pangan

Masyarakat Baduy umumnya makan tiga kali dalam satu hari yang biasanya dilakukan bersama-sama pada pagi hari sebelum berangkat ke ladang, siang hari saat di ladang (biasanya dilakukan di saung), dan sore hari. Makanan yang dikonsumsi utamanya adalah nasi, ikan asin, sayur, lalaban, sambal, dan kerupuk. Tumbuhan berperan dalam pemenuhan karbohidrat seperti beras, jenis- jenis singkong, jenis-jenis ubi, dan jenis-jenis talas. Selanjutnya sayuran dan lalaban seluruhnya berasal dari tumbuhan, begitupula dengan sambal yang dibuat dari campuran beberapa spesies tumbuhan.

Pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber pangan dilakukan hampir setiap hari, namun tumbuhan memiliki sifat fisiologis dan kebiasaan tumbuh yang berbeda-beda sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mampu hidup selama satu tahun (annual plant), dua tahun (biennials), dan lebih dari 2 tahun (parenial plant) (Harjadi 1996). Hal ini berimplikasi pada frekuensi pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy. Frekuensi pemanfaatan (konsumsi) dilakukan jika tumbuhan tersebut ada (musiman atau tersedia sepanjang tahun).

Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 175 tumbuhan pangan yang bersifat musiman, seperti pare (Oryza sativa L.), buah-buahan seperti asam ranji (Dialium indum L.), picung (Pangium edule Reinw.), dan pisitan monyet (Dysoxylum allaceum Bl.). Sepanjang tahun masyarakat Baduy dapat memanen dan mengkonsumsi beraneka tumbuhan pangan, disamping spesies-spesies yang dapat dikonsumsi setiap hari seperti poh-pohan (Pilea trinerva Wight.), paku hurang

(Stenochlaena palustris Bedd.), dan paku kapal (Aspidium repandum Willd.) (Gambar 12).

Gambar 12 Tingkat ketersediaan tumbuhan pangan musiman dalam satu tahun Puncak panen tumbuhan pangan tertinggi ada pada bulan kasa, karo,

katiga. Ketiga bulan tersebut merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy, pada tiga bulan ini dilakukan puasa dan ritual adat (kawalu, ngalaksa, dan seba) serta panen di huma (berurutan dari huma serang, huma puun, huma tangtu, dan huma

masyarakat). Ketiga upacara adat tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang berujung pada wujud rasa syukur masyarakat Baduy atas hasil panen yang telah diperoleh (lihat Tabel 10).

Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 203 spesies tumbuhan dimanfaatkan lebih dari satu kali dalam satu minggu (Gambar 13). Konsumsi dilakukan sebanyak 2 atau 3 kali dalam satu minggu, seperti pisang dan sayuran. Namun ada pula tumbuhan yang dimanfaatkan hampir setiap hari jika sedang musim panennya. Seperti buah peuteuy (Parkia speciosa Hassk.), buah mangga (Mangifera indica L.), dan buah kadu (Durio zibethinus Murr.).

Gambar 13 Frekuensi pemanfaatan tumbuhan pangan oleh masyarakat Baduy Bagian Tumbuhan Pangan yang Dimanfaatkan

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 16 bagian utama tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy (Tabel 12). Pemanfaatan bagian yang paling tinggi adalah bagian buah, karena buah merupakan tempat menyimpan cadangan makanan dan hasil fotosintesis pada tumbuhan baik dalam bentuk kandungan pati, gula, air, vitamin, dan mineral, sehingga buah menjadi bagian yang sangat bermanfaat untuk dapat dikonsumsi oleh manusia (Jain dan Priyadarshan 2009).

Jumlah total bagian spesies tumbuhan yang dimanfaatkan adalah 507, jumlah tersebut lebih besar daripada total tumbuhan yang ditemukan yaitu 374. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa spesies yang dimanfaatkan lebih dari satu bagian saja. Seperti tumbuhan kawung (Arenga pinnata Merr.) yang dimanfaatkan buahnya untuk manisan caruluk, campuran minuman (dirujak); tuak atau nira untuk dibuat menjadi gula; batang tuanya dapat dioleh menjadi tepung/sagu; batang mudanya dapat dimakan langsung atau dimasak sebagai sayur. Jika suatu spesies tumbuhan memiliki beberapa bagian yang dapat dimanfaatkan, maka dapat menjamin spesies tersebut bertahan dan tetap pada kondisi baik sehingga keberadaannya akan lestari (Pei et al. 2009).

Tabel 12 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan

No Bagian Jumlah Persentase (%)

1. Buah 179 35,2

2. Biji 84 16,5

3. Daun muda 66 13,0

4. Umbi 48 9,8

5. Seluruh bagian muda 31 6,1

6. Batang muda/Birus 30 5,9

Tabel12 Lanjutan

No Bagian Jumlah Persentase (%)

8. Bunga 19 3,7

9. Rimpang 6 1,2

10. Tuak 5 1,0

11. Daun dengan sedikit batang 5 1,0

12. Batang 4 0,8

13. Akar 3 0,6

14. Seluruh bagian 3 0,6

15. Caps/ tudung jamur 3 0,6

16. Kulit 1 0,2

Jumlah total bagian 507 100,0

Cara Pengolahan Tumbuhan Pangan

Masyarakat Baduy mengolah tumbuhan pangannya dengan beberapa proses, mulai dari dimakan langsung, dibakar, direbus, dikukus, dan cara pengolahan lainnya (Tabel 13). Persentase terbesar dalam pengolahan tumbuhan pangan adalah dengan memakan langsung sebagai makanan kecil. Tumbuhan yang dapat dikonsumsi langsung biasanya adalah tumbuhan penghasil buah seperti pisang (Musa sp), kadu (Durio zibethinus Murr.), dan famili kacang- kacangan (Fabaceae).

Tabel 13 Cara pengolahan tumbuhan pangan

No. Cara pengolahan Jumlah Persentase (%)

1. Dimakan langsung sebagai makanan kecil 201 21,05

2. Disayur/ dibuat sup 185 19,37

3. Direbus 156 16,34

4. Sebagai campuran/ bumbu 105 10,99

5. Dikukus 78 8,17

6. Digoreng 76 7,96

7. Digoreng dengan tepung 73 7,64

8. Dibakar 58 6,07

9. Dimakan langsung sebagai lalaban 22 2,30

10. Dibuat sirup 1 0,10

Pemanfaatan bagian tertinggi adalah pada bagian buah (Tabel 12). Buah biasanya dikonsumsi secara langsung setelah dibersihkan (Tabel 13), hal ini sangat sesuai dengan hasil analisis data yang mengindikasikan bahwa pemanfaatan tumbuhan pangan secara langsung adalah cara yang paling sering digunakan oleh masyarakat Baduy. Buah dikonsumsi langsung karena dapat mempertahankan kandungan vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya sehingga dapat mempertahankan antioksidan yang dapat mencegah timbulnya penyakit karena radikal bebas (Key et al. 1996).

Berbeda dengan pendapat Khomsan dan Wigna (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat Baduy lebih sering menggoreng pangannya karena dianggap praktis, pada penelitian ini pengolahan dengan cara menggoreng baik dengan tepung maupun tidak justru jarang dilakukan. Pengolahan dengan menggoreng menggunakan minyak terbilang rumit bagi masyarakat Baduy. Sebagian besar dari masyarakat masih menggunakan minyak kelapa yang dibuat sendiri, sehingga penggunaan minyak sawit (diperoleh dengan cara membeli) terutama bagi masyarakat Baduy Dalam masih sangat terbatas. Selain itu harga minyak goreng

di pasaran dirasa mahal dan tidak efisien. Masyarakat Baduy lebih memilih untuk merebus dan mengukus makanan yang akan dikonsumsi. Meskipun terlihat sangat

Dokumen terkait