• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks sinkronisasi pelepasan N protein dan energy dalam rumen sebagai sebagai basis formulasi ransum ternak ruminansia dengan bahan lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Indeks sinkronisasi pelepasan N protein dan energy dalam rumen sebagai sebagai basis formulasi ransum ternak ruminansia dengan bahan lokal"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

RUMEN SEBAGAI BASIS FORMULASI RANSUM TERNAK RUMINANSIA

DENGAN BAHAN LOKAL

H E R M O N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Indeks Sinkronisasi Pelepasan

N-Protein dan Energi sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia dengan

Bahan Lokal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini

Bogor,

Januari

2009

Hermon

(3)

ABSTRACT

HERMON. Synchrony Index of Releasing N-Protein and Energy in the Rumen as a

Basis of Ruminant Diet Formulation with Local Feedstuffs.

Under direction of SURYAHADI, KOMANG G. WIRYAWAN, and

SOEDARMADI H.

The experiments were conducted to prove the diet formulation technique which

was based on the synchronization of releasing N-protein and energy in addition to

energy and protein requrement in diet for efficiency of rumen microbial N synthesis

and animal production.

Exp. 1. Nylon bag technique was adopted to determine ruminal characteristic of

protein and organic matter (OM) degradation of feedstuffs (forage and concentrate

diet) for which the synchrony index of N-protein and OM fermented in the rumen

might be determined based on synchronization ratio of 20 (I

20

), 25 (I

25

), and 30 g

N/kg OM (I30) fermented in the rumen. Exp. 2. By using randomized block design,

twelve local cattle were arranged into four groups according to average body weight

of the animals. Each group was fed three types of diet that was different in

synchronization ratio of supplying N-protein and fermented OM in rumen, namely

20 g N/kg OM (R20); 25 g N /kg OM (R25); and 30 g N /kg MO (R30). The diets had

iso-energy and iso-protein contents and had the same synchrony index. Exp 3. By

using randomized block design with a factorial of 3 x 2. The first factor was three

diferent protein levels i.e. 10, 12, and 14 %; the second factor was two deferent levels

of TDN (

total digestible nutrients

) (65 and 70 %). Eighteen local cattles were

arranged into three groups according to average body weight of the animals. Each

group was fed six types of diet that was different in level of CP or TDN. The diets

had the same synchrony index, namely 0,560.

The results of exp.1; Feedstuff of grass and concentrate of energy sources had

high synchrony index in I

20

whereas legumes and concentrate of protein sources had

high synchrony index in I

30

. Exp. 2 showed that the type of diet had no effect

(P>0.05) on intake and digestibility of nutrients, N retention, average daily gain

(ADG), and feed efficiency. But R20

had higher allantoin concentration in the urine

than that of R25 and R30 (P<0.01). Exp. 3 showed that except the crude fat digestion,

there was no interaction between protein and energy on the other parameters

(P>0.05). Compared to diet with 70% TDN, diet with 65% TDN produced higher

rumen microbial N, consumption and digestion of nutrients, and N retention

(P<0.05). Diet with protein level of 12% tend to have better allantoin concentration

in the urine, consumption and digestion of nutrients, N retention and

blood urea

nitrogen

(BUN) than that of either 10% or 14%. It can be concluded that the diet

having 65% TDN and 12% protein with synchrony index of 0.560 in the

synchronization ratio of 20 g N/kg OM fermented in the rumen will generate more

efficient N synthesis of rumen microbes and average daily gain of local cattle.

(4)

RINGKASAN

HERMON. Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen

sebagai Basis FormulasiRansum Ternak Ruminansia dengan Bahan Lokal.

Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G. WIRYAWAN,dan SOEDARMADI H

Berdasarkan asumsi para ahli dari negara subtropis bahwa nisbah yang optimal

sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik (BO) sebesar 25 g N/kg BO

terfermentasi dalam rumen akan dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba rumen, atau

dikategorikan mempunyai nilai indeks sinkronisasi 1. Perbedaan jenis dan komposisi

kimia bahan pakan dengan di Indonesia dan di daerah tropis lainnya diduga akan

berbeda pula tingkat dan laju degradasi protein dan BO selanjutnya akan berbeda pula

nisbah sinkronisasi kedua nutrien tersebut. Penggunaan indeks sinkronisasi selain

kebutuhan energi dan protein dalam memformulasi ransum ternak ruminasia

diharapkan akan dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba dan produksi ternak yang

optimal.

Penelitian ini dilakukan tiga tahap. Tahap I, Melalui tehnik

in sacco

ditentukan

karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan kelompok hijauan rumput,

leguminosa, konsentrat sumber energi, dan konsentrat sumber protein. Selanjutnya

dapat dihitung “ indeks sinkronisasi” bahan pakan tersebut pada nisbah 20 g N/kg BO

(I20), 25 g N/kg BO (I25), dan pada nisbah 30 g N/kg BO (I30). Tahap II, Sesuai

dengan rancangan acak kelompok (RAK), tiga macam ransum yang berbeda nisbah

sinkronisasinya yakni 20 g N/kg BO (R20), 25 g N/kg BO (R25), dan 30 g N/kg BO

(R

30

) yang disusun dari bahan pakan yang sama tetapi berbeda indeks sinkronisasinya

pada I

20

, I

25

, dan I

30.

Ketiga ransum tersebut diberikan kepada empat kelompok sapi

lokal dan dilihat pengaruhnya. Tahap III; Menggunakan RAK pola faktorial 3 x 2.

Faktor pertama adalah protein yang terdiri dari tiga level protein yakni 10, 12, dan 14

%, dan faktor kedua adalah

total didestible nutrients

(TDN) dengan dua level TDN

yakni 65 dan 70%. Dengan demikian diperoleh enam macam ransum yang berbeda

level protein atau TDN satu sama lainnya. Keenam ransum diberikan kepada tiga

kelompok sapi lokal dan dilihat pengaruhnya. Indeks sinkronisasi ransum tersebut

relatif sama (0,560) pada nisbah sinkronisasi 20 g N/BO (nisbah optimal hasil

penelitian tahap II).

(5)

ransum (10, 12, dan 14%) berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap parameter

tersebut, tetapi ransum dengan 12% protein cenderung menghasilkan kadar allantoin

dalam urin, kon-sumsi dan kecernaan nutrien, retensi N, dan

blood urea nitrogen

(BUN)

terbaik.

Ransum dengan 12 % protein dan 65 % TDN serta indek sinkronisasinya 0.560

pada nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO menghasilkan efisiensi sintesis N mikroba

dan pertambahan bobot badan sapi lokal yang optimal.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,

penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

INDEKS SINKRONISASI PELEPASAN N-PROTEIN DAN ENERGI DALAM

RUMEN SEBAGAI BASIS FORMULASI RANSUM TERNAK RUMINASIA

DENGAN BAHAN LOKAL

H E R M O N

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji diluar komisi pembimbing :

1.

Penguji pada ujian tertutup : Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc

2.

Penguji pada ujian terbuka : Dr.Ir. Kartiarso, M.Sc

(9)

Judul Disertasi : Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam

Rumen sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia

Dengan Bahan Lokal

Nama : Hermon

NIM : D061050061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Suryahadi, DEA.

Ketua

Dr.Ir. Komang G. Wiryawan Prof. Dr.Ir. Soedarmadi H, MSc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karuniaNya sehingga penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai

persyaratan meraih gelar doktor pada Program Studi Ilmu Ternak di Sekolah

Pas-casarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah

Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen sebagai Basis

Formulasi Ransum Ternak Ruminansia dengan Bahan Lokal; yang dilaksanakan

sejak bulan Desember 2006 sampai dengan 28 Januari 2008.

Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Andalas dan Bapak

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang telah memberikan izin tugas

belajar kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis

sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suryahadi, DEA. selaku ketua komisi pembimbing,

Bapak Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Bapak Prof. Dr. Soedarmadi H, MSc. selaku

anggota komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas dan penuh keakraban dalam

membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis.

Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor

Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu

Ternak yang telah berkenan menerima penulis untuk mengikuti pro-gram S3 di

Institut Pertanian Bogor. Demikian pula kepada Pengelola Beasiswa Program

Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendi-dikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional yang telah berkenan memberikan beasiswa.

Terimakasih penulis sampaikan kepada para Dosen yang telah membe-rikan ilmu

yang berarti dalam memperluas wawasan keilmuan, kepada teknisi dan karyawan di

lingkungan IPB yang telah membantu sehingga proses belajar dan penelitian berjalan

lancar. Demikian pula kepada para mahasiswa dan tehnisi La-boratorium Nutrisi

Ternak Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang banyak membantu

penulis dilapangan.

(11)

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada istriku tercinta Afriyullatiza dan

anaku tersayang Wanda Primaria SSi, Runi Rahmawati dan Hana Raissya yang telah

banyak berkorbandan selalu memberikan dukungan doa, semoga pe-ngorbanan

kalian menjadi pemacu untuk mencapai kebahagiaan kita bersama dunia dan akhirat.

Kepada yang terhormat ayahanda H.Yoebhar St. Rajo Endah (alm) dan ibunda

tercinta Hj.Lainar, dengan tetesan air mata penulis haturkan banyak terimakasih atas

didikan dan doa yang selalu engkau panjatkan serta selalu membukakan pintu maaf.

Penulis menyadari betapa selama ini belum banyak memberikan balas budi yang telah

engkau berikan selama ini, hanya ucapan doa yang tulus yang bisa penulis berikan,

semoga amal dan budi baik ayahanda dan ibunda tercinta diterima oleh Alloh SWT.

Penulis berharap semoga amal dan budi baik dari semua pihak yang telah

diberikan kepada penulis mendapat balasan dan pahala yang berlimbah dari Alloh

SWT, amiin.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pemerhati dan

praktisi peternakan.

Bogor, Januari 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandung Jawa Barat pada tanggal 24 Juli 1957.

Merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara. Ayah bernama H. Yoebhar St.

Rajo Endah (alm) dan Ibu bernama Hj. Lainar.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Banjarsari Bandung pada

tahun 1970, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri II Bandung pada tahun

1973, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri IV Bandung pada tahun 1976.

Penulis mendapatkan gelar Sarjana Peternakan (Ir) pada tahun 1983 di Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran. Pada tahun 1988 penulis mengikuti pendidikan

pascasarjana di Obihiro University of Agriculture and Veterinary Medicine – Obihiro

Japan, dan memperoleh gelar

Master of Agiculture

(M.Agr) pada tahun 1990.

Melalui ikatan dinas khusus (TIDK) sejak tahun 1984 penulis diterima bekerja

sebagai dosen pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, dan terhitung

semenjak tahun 2005 penulis mengikuti program Doktor pada Program Studi Ilmu

Ternak – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menikah dengan Afriyullatiza pada tahun 1984 dan dikaruniai tiga

orang putri Wanda Primaria SSi, Runi Rahmawati, dan Hana Raissya.

Bogor, Januari 2009

Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Sintesis N Mikroba dalam Rumen ... 5

Metabolisme Protein dalam Rumen ... 10

Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen ... 13

Kebutuhan Protein dan Energi Mikroba Rumen ... 15

Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen ... 18

Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi Makanan dalam rumen.. 20

Retensi Nitrogen ... 23

Pertambahan Bobot Badan (PBB) ... 25

Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi ... 25

Sapi Pesisir di Sumatera Barat ... 28

BAHAN DAN METODE

Tahap I : Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein

dan BO Bahan Pakan dalam Rumen ... 30

Bahan Pakan ... 30

Hewan Percobaan ... 31

Prosedur Inkubasi ... 31

Tahap II : Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degradasi protein

dan BO dalam Rumen ... 33

Tahap III : Kandungan Energi dan Protein dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi

Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal ... 35

Waktu dan Tempat Penelitian ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein

dan BO Bahan Pakan dalam Rumen

Koefisien Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen ... 42

(14)

Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degradasi protein

dan BO dalam Rumen

Profil Cairan Rumen dan Sintesis N Mikroba Rumen ... 49

Konsumsi dan Kecernaan serta Pertambahan Bobot Badan ... 53

Kandungan Energi dan Protein dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi

Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal

Profil Cairan Rumen ... 55

Sintesis N Mikroba Rumen ... 59

Konsumsi Nutrien ... 61

Kecernaan Nutrien ... 63

Pertumbuhan Sapi ... 65

PEMBAHASAN UMUM ... 69

SIMPULAN DAN SARAN ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Pengaruh

dilution rate

terhadap produksi N dan efisiensi mikroba ... 9

2

Rataan bobot badan sapi Pesisir Sumatera Barat (kg) ... 28

3

Komposisi kimia (%) bahan pakan hijauan dan konsentrat yang

dievaluasi secara

in sacco

... 31

4

Komposisi kimia (%) dan indeks sinkronisasi bahan pakan

ransum penelitian ... 34

5

Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi

ransum penelitian ... 34

6

Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi

ransum penelitian ... 36

7

Rataan koefisien degradasi protein dan bahan organik

pakan dalam rumen ... 42

8

Rataan indeks sinkronisasi dan penyediaan g N/kg BO terfermentasi

per jam bahan pakan dalam rumen ... 46

9

Profil cairan rumen dan allantoin urin sapi yang diberi ransum dengan

berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen ... 49

10

Konsumsi dan kecernaan nutrien serta pertumbuhan sapi yang diberi

ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan

BO dalam rumen ... 53

11

Profil cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan

berbagai kandungan energi dan protein ... 56

12

Kadar allantoin dan sintesis N mikroba rumen sapi yang diberi ransum

yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein ... 60

13

Konsumsi nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan

energi dan protein ... 61

14

Kecernaan nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan

energi dan protein ... 64

15

Retensi N, PBB, efisiensi ransum, dan PER ransum yang sinkron

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan fermentasi dan

produksi protein mikroba rumen ... 8

2 Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi ... 12

3 Sapi Pesisir betina berfistula rumen ... 28

4 Bagan alir tahap penelitian ... 30

5 Kadar NH

3

cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah

20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan ... 50

6 Kadar VFA cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah

20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan ... 51

7 pH cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah

20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan ... 52

8 NH

3

cairan rumen sapi dengan ransum R1 = 10% PK, 65% TDN;

R2 = 10%PK, 70%TDN; R3 = 12%PK, 65%TDN; R4 = 12%PK,

70%TDN; R5 = 14%PK, 65%TDN; R6 = 14%PK, 70%TDN ... 56

9 VFA cairan rumen sapi dengan ransum R1 = 10% PK, 65% TDN;

R2 = 10%PK, 70%TDN; R3 = 12%PK, 65%TDN; R4 = 12%PK,

70%TDN; R5 = 14%PK, 65%TDN; R6 = 14%PK, 70%TDN ... 58

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pemasangan canula pada rumen sapi dan memasukan sampel pakan... 82

2 Korelasi antara sintesis N mikroba rumen dan konsumsi/kecernaan

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbeda dengan ternak berlambung tunggal (hewan monogastrik), sumber energi

utama dan protein bagi ternak ruminansia berturut-turut berasal dari asam-asam

lemak terbang (

volatile fatty acids

atau disingkat VFA) dan protein yang berasal dari

protein mikroba rumen dan protein pakan yang lolos degradasi mikroba rumen

(

bypass protein

) atau RUP (

rumen undegraded protein

). Peran mikroba rumen

sangat penting yakni selain sebagai penyedia protein (protein mikroba) juga sebagai

penye-dia energi utama bagi ternak ruminansia berupa VFA terutama hasil

fermentasi kar-bohidrat, khususnya serat kasar yang tidak dapat dicerna ternak

ruminansia. Pada fer-mentasi karbohidrat atau bahan organik (BO) pakan akan

dilepaskan energi dalam bentuk ATP dan ATP ini oleh mikroba rumen digunakan

untuk membentuk protein mikroba dengan menggunakan N-protein yang tersedia

terutama dalam bentuk N-protein

hasil degradasi protein pakan (

rumen degradable

protein/

RDP) dan atau dari urea saliva di dalam rumen. Sebagai kerangka karbonnya

berupa asam alfa keto hasil fermentasi karbohidrat, sementara kerangka karbon

bercabang adalah hasil degradasi protein pakan.

Penyediaan N-protein yang lebih cepat daripada penyediaan energi menyebabkan

kelebihan N-protein

akan diangkut via pembuluh darah portal ke hati dibentuk urea

sebagian sebagai bahan siklus ke dalam saluran pencernaan dan sebagian lagi

dibu-ang melalui urin. Hal ini juga akan menurunkan konsumsi pakan ataupun merugikan

terutama bila protein yang terdegradasi tersebut berasal dari bahan pakan yang

ber-kualitas dan mahal harganya. Demikian pula bila energi yang dilepaskan lebih

ba-nyak daripada N-protein yang tersedia akan menyebabkan penurunan efisiensi

per-tumbuhan mikroba dan pencernaan serat kasar yang selanjutnya menurunkan

kon-sumsi.

(19)

laju penyediaan N-protein dan energi yang dihasilkan pakan untuk mikroba rumen

ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan protein yang terdegradasi dalam

rumen, untuk pertumbuhan mikroba rumen yang optimal dan efisiensi pakan.

Sedikit perhatian dalam memformulasi ransum berdasarkan kepada laju

penyediaan N-protein dan energi yang diekspresikan sebagai BO atau karbohidrat

terfermentasi di dalam rumen (Sinclair

et al.

1993). Pada umumnya dalam

penyusunan ransum untuk ternak ruminansia didasarkan kebutuhan akan protein

kasar (PK)/protein dapat dicerna (Prdd) dan energi dalam bentuk TDN (total

digestible nutrients), tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang efektif bagi

per-tumbuhan mikroba dalam rumen. Sehingga kadang kala dijumpai perbedaan yang sig-

nifikan penampilan produksi diantara ternak ruminansia percobaan, walaupun

ran-sum masing-masing ternak tersebut disusun relatif sama kandungan protein dan

energi (iso-protein dan iso-energi).

Nilai yang tersedia dalam rumen adalah gabungan dan integrasi daripada

rate of

degradation

(laju degradasi) ,

lag time

dan

rate of passage

(laju makanan) (Orskov

dan McDonald 1979). Keseimbangan laju penyediaan N-protein

hasil degradasi

protein dan laju penyediaan energi hasil degradasi BO atau karbohidrat suatu

makanan dalam rumen, ditujukan agar jumlah gram N-protein yang tersedia setiap

kg BO yang terdegradasi dalam rumen setiap jam (hourly degradation) adalah

sinkron dengan efisiensi sintesis N mikroba yang optimal, yakni 25 g N-protein /kg

BO terdegradasi dalam rumen (Sinclair

et al.

1993). Penentuan indeks sinkronisasi

suatu pakan yakni dengan membandingkan penyediaan per jam N-protein dan energi

pakan tersebut dengan nilai efisiensi sintesis N mikroba tersebut. Bila penyediaan

N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen suatu pakan adalah sama dengan nilai

efisiensi protein mikroba (25g N-protein/BO terfermentasi dalam rumen) maka

indeks sinkronisasi pakan tersebut adalah 1 (Sinclair

et al.

1993).

(20)

terfermentasi dalam rumen. Dengan demikian kemungkinan besar nisbah sinkronisasi

penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen akan

berbeda antara daerah tropis dan sub tropis, terutama karena berbedanya sumber

protein makanan yang selanjutnya akan berbeda pula tingkat dan laju degradasi

protein. Blumel

et al

. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi

protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen,

dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen

biasanya konstan.

Dengan memasukkan variabel sinkronisasi ini disamping variabel kebutuhan zat

pakan lain misalnya protein kasar (PK) dan

total digestible nutriens

(TDN) dalam

menyusun ransum, diharapkan dicapai pemanfaatan protein pakan yang optimal

khususnya untuk sintesis N mikroba rumen sehingga produksi ternak ruminansia

dapat ditingkatkan.

Nilai indeks sinkronisasi tersebut di atas didapat setelah diketahui nilai koefisien

(karakteristik) degradasi protein dan BO bahan pakan dalam rumen. Penentuan

karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan ini diperoleh melalui evaluasi

bahan pakan tersebut dengan metode

in sacco

(Orskov dan McDonald 1979), yaitu

menggunakan hewan yang berfistula rumen. Dengan demikian hasil metode evaluasi

pakan secara

in sacco

ini dapat diaplikasikan dalam cara memformulasi ransum yang

sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen

dan efisiensi ransum.

Sumber protein pada ternak ruminansia tidak semata berasal dari protein mikroba

saja tetapi juga berasal dari protein makanan yang lolos degradasi dalam rumen (

by-

pass protein

). Ternak yang mempunyai pertumbuhan yang cepat atau berproduksi

tinggi sangat memerlukan

bypass protein

selain protein mikroba rumen yakni untuk

menunjang produksi ternak yang tinggi tersebut. Agar dicapai pertumbuhan protein

mikroba maupun produksi ternak yang optimal perlu tersedia protein dan energi

makanan yang optimal pula untuk menunjang kebutuhan kedua hal tersebut.

(21)

produksi dari pakan dan gilirannya akan menguntungkan peternak. Pakan

non-konvensional ini adalah pakan yang berasal dari limbah/hasil ikutan (

waste/by-product

) agro-industri. Misalnya jerami padi, limbah onggok dan ikan asin afkir di

Sumatra Barat telah dimanfaatkan menjadi pakan ternak sapi walaupun belum

memasyarakat.

Tujuan Penelitian

1.

Mengklarifikasi cara penyusunan ransum dengan memperhitungkan sinkronisasi

penyediaan N-protein dan energi ransum untuk mikroba di dalam rumen selain

memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum,

sehingga diperoleh efisiensi pertumbuhan mikroba rumen dan produksi ternak

ruminansia yang optimal serta menguntungkan.

2.

Mengetahui nilai indeks sinkronisasi bahan pakan hijauan dan konsentrat yang

yang dihitung berdasarkan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan

tersebut dalam rumen, kemudian nilai itu dijadikan basis penyusunan ransum

yang sinkron penyediaan N-protein

dan energi untuk efisiensi ransum dan

efisiensi sintesis mikroba dalam rumen.

Manfaat Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kajian terakhir di Eropa menunjukkan bahwa biaya tidak tetap (

variable cost

)

yang terbesar untuk produksi susu atau produksi daging ternak ruminansia adalah

biaya pakan yakni lebih dari 50% dan bahwa menyempitnya nisbah harga komoditi

tersebut dengan harga pakan sebagai akibat meningkatnya permintaan bahan pakan

ternak, maka hendaknya peternak perlu meningkatkan sistem penyusunan ransum

yang akurat sehingga akan sangat efisien penggunaan bahan pakan yang tersedia

(Cottrill 1998). Khampa dan Wanapat (2007) menyatakan, bahwa di daerah tropis

umumnya ternak ruminansia diberi makanan berupa hijauan berkualitas rendah,

jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (

by-products

) industri yang pada dasarnya

mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah

atau kualitas protein yang rendah. Disamping itu pada musim kemarau, tanah yang

tidak subur, dan sedikitnya makanan yang tersedia akan mempengaruhi kuantitas dan

kualitas fermentasi rumen. Atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa untuk

meningkatkan pendapatan peternak, yaitu selain perbaikan dalam penyusunan ransum

dari bahan pakan konvensional juga ditingkatkan lagi pemanfaatan

waste/by-product

agro-industri sebagai bahan pakan, misalnya onggok, limbah darah rumah potong

hewan (RPH) dan ikan asin afkir yang sampai saat ini di Sumatra Barat belum

dimanfaatkan secara luas.

Sintesis N Mikroba dalam Rumen

(23)

protein untuk ternak ruminan berdasarkan PK ransum adalah tidak cukup karena

ruminally degradable protein

(RDP) akan menentukan sintesis N mikroba yang mana

sebagai sumber protein utama bagi ternak ruminansia (Karsli dan Russell 2002).

Rumen telah dikenal sebagai tempat terjadinya proses fermentasi yang esensial yaitu

berkemampuan menyediakan hasil ahir berupa

volatile fatty acids

(VFA) dan protein

mikroba sebagai sumber energi dan protein ternak ruminansia itu sendiri (Fellner

2005; Khampa dan Wanapat 2007)

Sel mikroba dan protein makanan yang lolos dari degradasi dalam rumen

(

bypass protein

) adalah sumber utama protein dan asam amino yang dibutuhkan

ternak ruminansia. Protein mikroba menyumbang protein dalam jumlah besar masuk

ke dalam usus halus, karena protein mikroba dapat mensuplai 50% lebih dari

kebutuhan sapi perah, perlu memaksimalkan produksi mikroba (Fellner 2005).

Dengan demikian kondisi dalam rumen harus optimal untuk pertumbuhan mikroba

rumen apabila asam amino yang masuk ke dalam usus halus dan produksi susu serta

komponen air susunya maksimal (Hoover dan Stoke 1991). Sasaran daripada nutrien

dalam rumen adalah untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba rumen dan

pengikatan RDP kedalam sel mikroba rumen, memaksimalkan pengikatan RDP

tersebut tidak hanya memperbaiki penyediaan asam amino ke dalam usus halus tetapi

juga menurunkan N terbuang (Stern

et al.

2006). Dengan demikian pertimbangan

nutrien yang dibutuhkan mikroorganisma rumen adalah sangat penting untuk

dipa-hami metabolisma N dalam rumen demikian juga faktor-faktor yang

memodifika-sinya (Bach

et al.

2005).

Defisiensi suatu nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen,

aliran asam amino ke usus halus, dan menurunkan produksi ternak ruminansia, tetapi

dua faktor nutrisi yang sangat memungkinkan membatasi sintesis N mikroba rumen

adalah energi dan protein (Clark

et al.

1992).

(24)

utama untuk memanfaatkan N-protein dalam rumen (Shabi

et al.

1998). Karsli dan

Russel (2002) melaporkan bahwa sintesis N mikroba dan pertumbuhan mikroba

rumen bergantung padakecukupan energi (ATP) hasil fermentasi BO serta kecukupan

N-protein hasil degradasi NPN (non-protein nitrogen) dan protein pakan dalam

rumen, juga membutuhkan zat pakan lain seperti sulfur, phosphor dan mineral lain

serta vitamin.

Di negara berkembang makanan untuk produksi ternak ruminansia berasal dari

padang penggembalaan, jerami tanaman dan biomasa selulosa lainnya, makanan

tersebut umumnya rendah total protein dan N yang terfermentasi serta sering kali

defisien mineralnya (Leng 1997). Di daerah iklim tropis dan subtropis umumnya

dikaitkan dengan rendahmya kandungan mineral yakni P, S, K, Ca, Mg, Cu, Mo, Co,

Se (Kerridge

et al.

1986) dan tinggi Al atau keasamannya yang mana membatasi

pertumbuhan akar (Chen

et al

. 1992). Selanjutnya Leng (1997) menyatakan, bahwa

tanah daerah tropis biasanya defisiensi mineral P. Sementara hasil penelitian Scott

et

al.

(1994) menunjukkan, bahwa kekurangan mineral selain menurunkan sintesis N

mikroba adalah faktor utama penyebab penurunan laju pembentukan tulang pada

kambing yang diberi makan rendah P.

Defisiensi setiap nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen,

laju asam-asam amino (AA) ke dalam usus halus dan menurunkan produksi susu sapi

perah (Clark

et al.

1992). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa sulfur

dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis metionin dan cytein dan konsumsi sulfur

dapat membatasi sintesis N mikroba bila memakai NPN dalam jumlah banyak, dan

diperkirakan nisbah yang optimum nitrogen : sulfur adalah 10 : 1 untuk pertumbuhan

mikroba yang maksimal.

(25)

Gambar 1 Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan

fermentasi dan produksi protein mikroba (Orskov 1982)

daripada protein. Energi berasal dari lemak makanan dapat dikonsumsi bakteri

rumen, tetapi lemak tidak cukup mepenyediaan energi untuk mesintesis N mikroba

(Van Soest 1982). Karbohidrat adalah komponen utama dalam makanan ternak

ruminasia dan sangat bervariasi tingkat dan laju fermentabilitasnya dalam rumen

(Fellner 2005). Selulosa dan hemiselulosa yang jumlahnya berkisar dari 15 – 66 %

dari makanan ternak ruminansia adalah

insoluble

dan sebagian yang tidak tersedia

(tidak terfermentasi), pektin walaupun bagian dari

structural carbohydrate

(dinding

sel) bersama dengan karbohidrat yang

soluble

(fruktosan dan sukrosa) difermentasi

secara keseluruhan dan cepat, sementara pati sebagai cadangan karbohidrat yang

insoluble

dan dapat lolos dari degradasi dalam rumen (NRC 1985).

Dewasa ini kajian mengenai keadaan N dan carbon dari AA dalam rumen

menunjukkan bahwa beberapa AA disintesis oleh mikroorganisma rumen dengan

sangat sulit dibandingkan dengan AA yang lain (Atasoglu

et al.

2004). Selanjutnya

mengkonfirmasi teori bahwa bakteri rumen sulit mesintesis Phe, Leu, dan Ile, dan

dinyatakan bahwa Lys adalah suatu AA yang potensial yang membatasi

pertum-buhan bakteri rumen.

Bach

et al

. (2005) melaporkan bahwa selain kecukupan penyediaan sumber

karbohidrat (CHO) dan N, faktor nutrisi lain maupun faktor non-nutrisi yakni pH

(26)

rumen dan

dilution rate,

termasuk

juga

mepunyai peranan penting dalam sintesis N

mikroba rumen. Bila jumlah bahan organik (BO) yang difermentasi meningkat,

sintesis N mikroba meningkat pula dan hasilnya adalah adanya korelasi yang negatif

antara pH dan sintesis N mikroba yaitu konsekuensi penyediaan energi yang

meningkat pada ransum yang tinggi terfermentasi (Hoover dan Stokes 1991). Selama

ini dianggap komponen penghasil energi merupakan hal sangat penting untuk

produksi mikroba rumen, tetapi hasil penelitian Gosselink

et al.

(2003) menunjukkan

bahwa meskipun dalam makanan terbatas jumlah karbohidrat yang tersedia untuk

difermentasi mikroba, nitrogen yang tersedia dalam rumen adalah sangat penting

dalam memprediksi produksi mikroba. Sesuai dengan yang dinyatakan Maeng

et al.

(1999) bahwa penyediaan nitrogen PK meningkatkan produksi dan efisiensi mikroba

lebih tinggi dibandingkan penyediaan baik serat maupun pati (Tabel 1) dan kejadian

ini konsisten hasilnya pada peningkatan

dilution rate

rumen.

Pertumbuhan dan produksi mikroba biasanya meningkat dengan meningkatnya

dilution rate

,bila

dilution rate

rendah akan lebih banyak jumlah mikroba tinggal

da-lam rumen dan selanjutnya akan mekonsumsi energi yang tersedia untuk hidup pokok

Tabel 1 Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba

1

Dilution rate, fraksi/jam

. 0.025 0.050 0.075 0.10 0.15 0.20

Produksi N mikroba, g/hr

100 % soy hulls 0.80 1.25 1.44 1.69 1.66 1.23

Mixed diet

2

0.27

0.45

0.54 0.67 0.68 0.67

100 %

isolated soy protein 1.38 1.67

2.27 2.65

3.12

3.18

Efisiensi Mikroba

3

100 % hulls

16.6 23.6

26.6 32.0 37.0

36.5

Mixed diet

11.2 18.9

23.9 31.1 41.8

49.8

100 % isolated soy protein

27.0 34.8 47.1 56.2 65.2 71.7

1)

Maeng

et al.

1990

2)

78% corn, 14% soy hulls, and 8% isolated soy protei

(27)

jam. Faktor yang mempengaruhinya adalah makanan, infus buffer intraruminal,

tingkat konsumsi, dan kondisi lingkungan (Stern dan Hoover 1979).

Perubahan makanan pada sapi jantan muda dari seluruhnya konsentrat menjadi

terkandung 14% hijauan di dalamnya terjadi peningkatan

dilution rate

(0.03 menjadi

0.05/jam) disertai peningkatan sintesis N mikroba rumen (7.5 menjadi 11.8 g/100 g

bahan kering terfermentasi dalam rumen) (Cole

et al.

1976). Stern dan Hoover

(1979) melaporkan, bahwa pemberian monensin kepada ternak domba terjadi

penurunan

dilution rate

dari 0.07 menjadi 0.04/jam disertai penurunan sintesis

mikroba dari 24.5 menjadi 20.2 g N/kg BO terfermentasi. Infus saliva buatan

kedalam rumen telah meningkatkan

dilution rate

dari 0.03 menjadi 0.08/jam,

bersamaan terjadi peningkatan sintesis total AA per mol heksosa yang difermentasi

yakni 25.4 menjadi 29.8 gram. Selanjutnya dilaporkan, bahwa pemeliharaan ternak

domba dari teperatur udara 18 menjadi 21

o

C adalah kurang efisien dibandingkan

dengan yang dipelihara dari temperatur -1 menjadi 1

o

C, yaitu dalam sintesis N

mikroba (47.9 vs 54.9 g N/kg BO terfermentasi).

Faktor adanya hubungan yang positif antara

dilution rate

dan sintesis N

mikroba, adalah menurunnya

autolysis

bakteria berkurang, menurunnya konsumsi

bakteria oleh protozoa, perubahan struktur populasi mikroba yang dipicu oleh

perubahan substrat atau kemungkinan karena pencucian oleh organisma yang waktu

perkembangannya lambat.

Metabolisme Protein dalam Rumen

(28)

Williams 1998; Gustafsson

et al.

2006). RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari

protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi

tinggi (Stern

et al.

2006).

Sementara sistem evaluasi protein dengan protein kasar (total crude protein) dan

digestible crude protein

(DCP) keduanya mempunyai kelemahan terutama terhadap

perhitungan transaksi nitrogen dalam rumen (Cottrill 1998). Dibandingkan dengan

sistem DCP, sistem MP mepunyai korelasi lebih erat dengan produksi dan juga

adanya kemungkinan yang lebih besar untuk mengkombinasikan bahan pakan agar

meminimalis surplus protein terdegradsi dalam rumen (Bertilsson

et al

. 1991).

Metabolisma protein dalam rumen dapat dibagi menjadi 2 peristiwa yang

berbeda yaitu degradasi protein yang menyediakan sumber N untuk bakteria, dan

sintesis N mikroba (Baach

et al

. 2005). Selanjutnya dinyatakan metabolisme protein

dalam rumen ini adalah hasil aktifitas metabolisma daripada microorganisma rumen.

Tamminga (1979) menyatakan bahwa mekanisme pemecahan protein makanan

adalah sangat komplek dan belum dipahami secara menyeluruh. Degradasi protein

dalam rumen diawali menempelnya bakteria pada partikel makanan, diikuti oleh

aktifitas enzim protease mikroba (Brock

et al

. 1982). Sekitar 70-80% mikroba rumen

menempel pada partikel makanan dalam rumen (Craig

et al

. 1987), dan 30-50% nya

mempunyai aktivitas proteolitik (Prins

et al.

1983). Sejumlah besar spesies mikroba

yang berbeda berkongsi menempel pada partikel makanan untuk bekerja secara

simbiosis mendegradasi dan memfermentasi nutrien termasuk protein yang

menghasilkan AA dan peptida, karena sejumlah ikatan pada protein menyebabkan

aktivitas yang sinergis dari pada protease yang berbeda diperlukan untuk medegradasi

protein yang lengkap (Wallace

et al.

1997).

(29)

Gambar 2 Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi

(Bach

et al.

2005)

terbatas, AA akan dideaminasi dan kerangka karbonnya difermentasi menjadi VFA

(Gambar 2) (Bach

et al.

2005) . Sebagian mikroba kurang baik mekanisma

pengang-kutan AA dari sitoplasma ke lingkungan ekstra-selular dan AA yang berlebihan ini

harus diekresi dari sitoplasma berupa ammonia (Tamminga 1979).

(30)

dari Lys-Pro dihidrolisis dalam rumen 5x lebih lambat daripada peptida Lys-Ala, dan

peptida yang tersusun dari Pro-Met didegradasi 2.5x lebih lambat daripada peptida

Met-Ala (Yang dan Russell 1992).

Lana

et al.

(1998) melaporkan, bahwa bakteri rumen yang mendapat makanan

100% hijauan dan pH rumen diturunkan dari 6.5 menjadi 5.7 menyebabkan

penurunan konsentrasi ammonia, sementara bakteri rumen pada sapi potong dengan

pakan 90% kosentrat mempunyai konsentrasi ammonia rendah dengan mengabaikan

pH. Assoumani

et al.

(1992) menyatakan, bahwa pati berperan terhadap degradasi

protein yakni dengan penambahan amilase telah meningkatkan degradasi protein.

Bach

et al

. (2005) menyatakan, bahwa protein tanaman banyak yang terikat pada

matrik serat yang perlu didegradasi terlebih dahulu sebelum protease mengakses

protein untuk didegradsi. Lebih lanjut menyatakan suatu hipotesis bahwa penurunan

bakteri selulolitik sebagai konsekuensi pH yang rendah menyebabkan penurunan

degradasi serat, menurunkan akses bakteri proteolitik terhadap protein yang tidak

langsung penurunan degradasi protein. Degradasi protein berhubungan terbalik

dengan laju makanan melalui rumen (Orskov dan McDonald 1979).

Penyebab rendahnya energi yang tersedia didaerah tropis menurut Khampa dan

Wanapat (2007), di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan

berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (

by-products

) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi,

karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah.

Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen

(31)

diperoleh efisiensi sintesis N mikroba yang maksimal dalam rumen, penyediaan AA,

peptide dan nucleotida (DNA dan RNA) diperlukan juga (Jones

et al

. 1998;

Sanchez-Pozo dan Gil 2002; Block 2006).

Mikroba yang mendegradasi

structural carbohydrates

(dinding sel) (selulolitik)

mempunyai kebutuhan hidup pokoknya rendah, tumbuh lambat, dan menggunakan

N-protein

sebagai sumber N utamanya, sedangkan mikroorganisma yang

mendegradasi

non-structural carbohydrates

(karbohidrat isi sel) (amilolitik)

mempunyai kebutuhan hidup pokok yang tinggi, tumbuh cepat, dan menggunakan

N-protein, peptida, dan AA sebagai sumber N (Russell

et al.

1992). Sesuai menurut

Fellner (2005) bakteria yang memfermentasi

non-structural carbohydrates

(NSC)

menyukai asam amino dan peptida dan bakteri yang memfermentasi serat terutama

menyukai ammonia sebagai sumber nitrogen. Tetapi penambahan AA atau peptida

menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri selulolitik dan amilolitik (Maeng dan

Baldwin 1976; Argyle dan Baldwin 1989). Hal yang sama bahwa kecernaan serat

oleh bakteri selulolitik meningkat dengan penambahan AA (Griswold

et al.

1996;

Carro dan Miller 1999), dan penambahan peptida (Crus Soto

et al

. 1994). Atasoglu

et al.

( 2001) melaporkan bahwa bakteri selulolitik lebih suka mengikat N-AA

daripada N-peptida ke dalam selnya, tetapi pada konsentrasi AA dan peptida tertentu

dalam rumen, sekitar 80% N selnya berasal dari N-protein.

Peningkatan pertumbuhan mikroba dengan penambahan AA dan atau peptida

dapat disebabkan bergabungnya secara langsung AA kedalam protein mikroba dan

atau disebabkan penyediaan kerangka carbon yang meningkat (hasil deaminasi AA)

yang mana dapat digunakan untuk produksi energi atau sebagai kerangka karbon

untuk AA mikroba yang baru (Bryant 1973). Atasoglu

et al

. (2004) menduga, bahwa

beberapa AA diantaranya lysin dapat membatasi pertumbuhan bakteri rumen.

Demeyer dan Fieves (2004) menduga bahwa konsentrasi AA dan peptida yang rendah

berpotensi membatasi pertumbuhan mikroba bila pemberian makan yang kaya pati

dengan partikel yang halus, yaitu menyebabkan pH rumen yang rendah.

(32)

Sementara pada penelitian lain melaporkan bahwa adanya hubungan yang negatif

antara konsentrasi N-protein dan persentase protein mikroba yang berasal dari NPN

(Siddon

et al

. 1985; Firkins

et al

. 1987). Bach

et al.

(2005) memperkirakan bahwa

akumulasi N-protein dalam rumen adalah hasil penggunaan pilihan peptida atau AA

oleh mikroba, baik sebagai sumber N atau sebagai sumber energi. Selanjutnya

dinyatakan bahwa proposi N bakteria yang berasal dari N-protein adalah bukan nilai

tetap. Pertumbuhan sel mikroba rumen memerlukan nucleotida baik yang disintesis

atau yang didapat (Block 2006). Nucleotida disintesis dari AA dapat digunakan

untuk pertumbuhan mikroba dengan mengonsumsi pada porsi yang cukup energi dan

nitrogen yang tersedia (Sanchez-Pozo dan Gil 2002).

Pemberian urea sebagai sumber N pada makanan yang semi bebas protein pada

domba meningkatkan konsentrasi N dari 0.95 menjadi 1.82% dan meningkatkan

produksi protein mikroba, tetapi tidak ada peningkatan sintesis N mikroba bila

konsentrasi N makanan meningkat sampai 3.2% (Hume

et al.

1970). Kemungkinan

mikroba rumen memperoleh N melalui pengikatan N dalam bentuk gas.

Pendikteksian fiksasi N secara

in vivo

dapat dilakukan dengan menggunakan isotop

15

N (Moisio

et al

. 1969). Dengan menggunakan

acetylene-reduction screening test

,

Hardy

et al.

(1968) mengestimasi bahwa seekor sapi (steer) dapat mengikat 10 mg N

per hari.

Kebutuhan Protein dan Energi

Protein kasar,

nonstructural

dan

structural carbohydrates

adalah komponen

makanan yang potensial dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan fermentasi dalam

rumen dan untuk meningkatkan aliran AA ke usus halus (Clark

et al

. 1992).

Selanjutnya dinyatakan, ketersediaan energi dan N adalah menentukan sekali

terhadap jumlah protein mikroba yang disintesis dalam rumen. Manipulasi protein

yang tersedia dalam rumen kelihatannya sangat menguntungkan apabila sapi dalam

keadaan keseimbangan energi dan cukup lemak tubuh yang tersedia untuk kebutuhan

energi (Nocek dan Russell 1988).

(33)

mengindikasikan, bahwa konsentrasi PK makanan dimana pertumbuhan mikroba

yang maksimum terjadi pada ternak sapi sekitar dua persen lebih tinggi dari ternak

domba yang diberi makan yang hampir sama. Diperkirakan bahwa sintesis N

mikroba akan mencapai puncak bila makan sapi mengandung sekitar 12-13% PK,

kisaran ini tidak baku tetapi akan bervariasi menurut kandungan energi terfermentasi

makanan, jumlah NPN makanan, tingkat degradasi protein makanan, efisiensi

pertumbuhan mikroba rumen, dan input N saliva ke dalam rumen (Satter

et al

. 1977).

Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan protein yang tersedia dalam rumen

meningkatkan produksi susu bila konsumsi PK adalah marginal (<14% CP), tetapi

tidak ada respon bila PK lebih dari 16%.

Setelah dicapai kandungan PK optimal dalam ransum, peningkatan lebih lanjut

konsentrasi PK ransum tidak akan meningkatkan sintesis N mikroba tetapi dapat

meningkatkan total asam amino ke usus halus karena lolos dari degradasi protein

dalam rumen (Stern

et al

. 1978). Gustafsson

et al

. (2006) melaporkan, bahwa surplus

PK dalam ransum sapi perah dapat membebani lingkungan dan menurunkan

penampilan reproduksi (fertilitas), dan kerusakan akibat kelebihan N ini dapat

dikurangi melalui peningkatan pengikatan N yang terdegradasi dalam rumen.

Selanjutnya dinyatakan, bahwa protein yang berlebihan dalam ransum

mengakibatkan meningkatnya biaya energi secara khusus yakni kelebihan N

dikonversi menjadi urea dan diekresi dalam urin keduanya membutuhkan energi.

(34)

Pelepasan energi (ATP) hasil fermentasi terutama karbohidrat oleh mikroba

digunakan untuk memproduksi sel baru, enzim dsb. Tingkat energi yang dihasilkan

fermentasi tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, karbohidrat yang berbeda

akan berbeda pula tingkkat dan laju fermentasinya (Gustafsson

et al

. 2006). Clark

et

al.

(1992) melaporkan, bahwa campuran

structural

dan

nonstructural carbohydrates

secara normal adalah sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena

pada proses fermentasi karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per satuan

berat daripada protein. Sedangkan energi yang tersedia dalam makanan berupa lemak

dapat dikonsumsi oleh bakteri rumen, tetapi tidak menyediaan energi untuk sintesis

protein (Van Soest 1982). Asam lemak bebas yang tinggi yang dihasilkan ketika

hidrolisis lemak akan menghambat pencernaan serat, kemungkinan melalui

coating

(menyelimuti) partikel makanan dan preventing baterial kontak (Orskov dan Ryle

1990).

Mikroba rumen yang memfermentasi

non-fiber carbohydrate

(NFC) (terutama

gula-gula yang mudah larut dan pektin) dilaporkan mempunyai kontribusi yang besar

terhadap sintesis N mikroba per satuan karbohidrat terfermentasi (Russell

et al.

1992). Chamberlain

et al.

(1993) mendapatkan, bahwa suplemen gula lebih efektif

dibandingkan pati pada ransum silase rumput untuk meningkatkan ekskresi derivat

purin dalam urin ternak domba, efekifitas karbohidrat secara berurutan adalah

sukrosa > laktosa > fruktosa > xylosa > pati gandum. Trevaskis

et al.

(2001)

melaporkan, bahwa infus sukrosa ke dalam rumen adalah efektif untuk mestimulir

pembentukan protein mikroba yaitu disinkronkan dengan konsentrasi amonia yang

mencapai puncak pada waktu 1-2 jam setelah makan. Penurunan ukuran partikel

makanan butiran meningkatkan pembentukan protein mikroba, bersamaan dengan itu

pH rumen tidak menurun (Broderick 2006).

(35)

karbo-hidrat yang mudah terfermentasi (

readily fermentable carbohydrates

) ke dalam

rumen akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, tetapi penambahan energi melebihi

tingkat optimal tidak lagi meningkatkan pertumbuhan mikroba. Penurunan aliran

protein mikroba rumen ke dalam usus halus akibat ransum mengandung konsentrat

lebih dari 70% dan hal ini dapat terjadi karena laju degradasi yang cepat dari pada

karbohidrat nonstruktural, selanjutnya terjadi fermentasi

uncoupled.

Uncoupled fermentation

terjadi karena laju pelepasan energi lebih cepat

dibandingkan dengan laju pengikatan dan pemanfaatan oleh bakteri rumen (Karsli

dan Russell 2001). Leng (1997) menyatakan, bahwa

uncoupling

adalah reaksi

pelepasan energi dalam sel mikroba yang dapat juga menyebabkan pelepasan energi

ATP berupa panas tanpa adanya pembelahan sel dan pertumbuhan, hal ini terjadi bila

defisiensi mineral, amonia atau nutrien lain yang esensial untuk pertumbuhan

mikroba dan juga bila sel mikroba lisis dalam rumen.

Makanan yang tinggi

total digestible nutrients

(TDN) pada umumnya lebih

terfermentasi daripada yang rendah TDN, oleh karena itu banyak ammonia (NPN)

dapat dimanfaatkan dengan makanan yang tinggi TDNnya (Satter dan Roffler 1975).

Dalam hal ini dinyatakan bahwa peningkatan TDN merupakan “

opens the gates

” dan

memudahkan bayak ammonia yang digunakan untuk menunjang perkembangan

mikroba lebih tinggi. Tetapi yang tidak menguntungkan penggunaan TDN sebagai

indikator fermentabilitas yang jelek adalah bila ransum mengandung lemak atau

minyak yang tinggi .

Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen

(36)

menggunakan BO untuk membuat protein. Penentuan efisiensi mikroba penting

karena efisiensi ini adalah bagian daripada kalkulasi produksi mikroba (

mirobial

yield

) dan penentuan produksi mikroba ini penting karena merupakan suatu indeks

sejumlah protein mikroba yang tersedia bagi sapi setiap hari (Fellner 2005)

Faktor yang mempengaruhi sintesis N mikroba rumen adalah sumber dan

konsentarsi nitrogen dan karbohidrat,

dilution rate

rumen, sulfur makanan, dan

frekuensi pemberian makan (Stern dan Hoover 1979); konsumsi bahan kering (BK),

nisbah hijauan : konsentrat dalam ransum, laju degradasi protein dan karbohidrat,

sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi, laju pakan, dan faktor lain yakni

vitamin dan mineral (Karsli dan Russell 2001). Konsumsi,

rumen turnover

dan

efisiensi mikroba adalah berkorelasi positif. Peningkatan konsumsi akan

meningkatkan

rumen turnover

selanjutnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan

mikroba (Fellner 2005).

Peningkatan efisiensi sintesis N mikroba dicapai dengan peningkatan konsumsi

BK dan laju pakan, laju degradasi sumber protein dan karbohidrat yang sama-sama

lambat dan sebaliknya, sinkronisasi laju penyediaan N-protein dan karbohidrat yang

sama-sama lambat atau yang sama-sama cepat, campuran hijauan dan konsentrat

(Karsli dan Russell 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi sintesis N

mikroba yang maksimal diperoleh untuk sumber protein yang RDP nya tinggi

dibandingkan yang rendah, adanya sumber asam amino atau peptida selain pemakaian

NPN (urea) dalam ransum, dan pencampuran sumber karbohidrat yang struktural dan

non-struktural karbohidrat. Blumel

et al

. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan

karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi

sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi

sintesis N mikroba rumen biasanya konstan.

(37)

Karsli dan Russell (2001) melaporkan, bahwa rata-rata efisiensi sintesis N mikroba

adalah 13.0 dengan kisaran 7.5 – 24.3 untuk makanan dasar hijauan (hasil 34 studi),

17.6 dengan kisaran 9.1 – 27.9 untuk makanan campuran hijauan dan konsentrat

(hasil 36 studi), dan 13.2 denga kisaran 7.0 -23.7 g protein mikroba/100 g BO

terfermentasi dalam rumen untuk makanan konsentrat (hasil 14 studi). Nocek dan

Russell (1988) melaporkan, bahwa makanan hijauan (

roughage

) menghasilkan

sintesis 45 g mikroba/kg karbohidrat tercerna dan hasilnya lebih rendah (29 g

mikroba/kg karbohidrat tercerna) bila digunakan makanan konsentrat.

Semakin tinggi efisiensi sintesis N mikroba semakin besar kontribusi protein

mikroba tersebut terhadap kebutuhan protein total ternak sapi, kontribusinya lebih

tinggi pada sapi potong dibandingkan sapi perah karena kemungkinan kurang

meningkatnya konsumsi BK pada sapi potong sebagai akibat ADG (average daily

gain) yang meningkat (Stern

et al

. 2006). Selanjutnya dinyatakan, bahwa efisiensi

sintesis N mikroba rumen pada sapi potong lebih rendah daripada sapi perah

kemungkinan besar disebabkan populasi bakteria amilolitik yang tinggi.

Penambahan AA

branced-chain

(rantai cabang) akan difermentasi menjadi FVA

rantai cabang, dan penambahan peptida ke dalam rumen telah meningkatkan

kecernaan serat , produksi protein mikroba , dan efisiensi pertumbuhan mikroba

(Russell dan Sniffen 1984; Thomsen 1985).

Sinkronisasi Pelepasan N-protein dan Energi Makanan dalam Rumen

(38)

Sinclair

et al.

(1993) menyatakan bahwa formulasi ransum menggunakan

koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan yaitu membuat ransum yang sinkron

dalam hal pelepasan N-protein

dan energi per jam (hourly ) untuk fraksi mikroba

dalam rumen, dimana nisbah yang optimal degradasi protein dan BO yang

terfermentasi dalam rumen adalah 25 g N-protein/kg BO (Czerkawski 1986 diacu

Sinclair

et al

. (1993); atau 32 g N-protein/kg karbohidrat (Sinclair

et al

. 1991).

Selanjutnya dinyatakan, bahwa ransum yang sinkron tersebut bertujuan untuk

memaksimalkan sintesis N mikroba dari RDP yang tersedia, menurunkan kebutuhan

akan sumber RUP yang mahal harganya dan juga menurunkan ekskresi N-protein

urin. Ekresi N-protein

melalui urin sebagai akibat kelebihan protein ransum

memer-lukan energi (energy cost) untuk pembentukan urea sebelum dibuang melalui urin

(Gustafsson

et al

. 2006).

Untuk memperdalam konsep sinkronisasi, mikroba rumen membutuhkan sumber

N-protein, energi, mineral, vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk

pertumbuh-annya. Tetapi N-protein dan energi dibutuhkan dalam jumlah yang besar dan harus

tersedia secara simultan untuk merangsang pertumbuhan yang cepat (Huber dan

Herrera-Saldana 1994). Kebutuhan terhadap kedua komponen (energi dan N-protein)

tersebut pada aktifitas mikroba rumen tercermin adanya korelasi parsial yang erat (r

= 0.95, P < 0.01) antara degradasi protein dan BO ransum dalam rumen (Hermon

dan Warly, 2001); demikian juga pada silase rumput, yaitu antara degradasi protein

dan bahan kering serta degradasi serat kasar dalam rumen (0.69 vs 0.42 ; P < 0.01)

(Hermon 1999).

(39)

dengan kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba, sinkronisasi tidak terjadi dan

merupakan suatu

assosiative effect

yang negatif.

Richardson

et al.

(2003) melaporkan bahwa dewasa ini sistem formulasi ransum

berdasarkan sinkronisasi penyediaan N-protein

dan energi dalam rumen per jam

menunjukan adanya keuntungan terhadap peningkatan produksi dan efisiensi

mikro-ba rumen serta terhadap produksi ternak, tetapi hasil peneliti lain menunjukkan

pe-ngaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan mikroba atau sangat dipepe-ngaruhi

oleh energi ransum daripada sinkronisasi. Hasil penelitian Richardson

et al.

(2003)

menunjukkan bahwa baik ransum sinkron maupun sumber energi berpengaruh tidak

nyata terhadap laju pertumbuhan kambing. Walaupun demikian ransum tidak sinkron

menyebabkan efisiensi penggunaan energi ransum rendah, dan upaya formulasi

ransum yang sinkron penyediaan zat pakan dalam rumen dapat meningkatkan

efisiensi energi pada kambing muda.

Pengaruh ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk mikroba

rumen terhadap penampilan ternak adalah tidak konsisten (Bach

et al

. 2005).

Beberapa kajian

in vivo

(Casper dan Schingoethe 1989; Herrera-Saldana

et al.

1990;

Matras

et al.

1991) menunjukkan respon yang positif terhadap penampilan ternak

pada ransum yang sinkron, sementara penelitian

batch culture

(Henning

et al.

1991;

Newbold dan Rust 1992) menunjukkan tidak ada pengaruhnya. Interpretasi kedua

macam kajian tersebut sulit dilakukan karena laju penyediaan energi dan protein

sering kali dikacaukan dengan total penyediaan energi dan protein (Bach

et al.

2005).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep sinkronisasi protein dan energi berbasis

teoritis semata, hal ini kemungkinan pada ekosistim yang komplek daripada

campuran mikroba rumen ketika disinkronkan penyediaan nutrien untuk

sub-populasi yang spesifik tetapi kemungkinan tidak sinkron untuk sub-populasi lainnya.

(40)

selanjutnya mengakibatkan pH lebih rendah (Satter dan Baumgardt 1962) dan sintesis

mikroba menurun (Robinson 1989). Hasil penelitian Biricik

et al.

(2006), sinkronisasi

degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan

daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh saluran pencernaan pada ternak domba.

Broderick (2006) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan sedikit atau tidak

ada kenutungan produksi hasil manipulasi sinkronisasi degradasi protein dan

fer-mentasi energi dalam rumen, tetapi penelitian tersebut tidak mencoba untuk

memi-nimalkkan konsumsi PK. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pemberian makan yang

rendah PK akan membatasi RDP untuk pembentukan protein mikroba dan dapat

diupayakan melalui sinkronisasi fermentasi energi dengan penyediaan N dalam

rumen.

Retensi Nitrogen

Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai suatu kualitas

protein ransum dengan jalan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen

ekskreta, sehingga dapat diketahui banyaknya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh

(Lioyd

et al.

1978). Pengukuran neraca nitrogen menurut Tillman dkk. (1991)

dilakukan dengan menghitung selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan

jumlah nitrogen yang keluar melalui feses dan urin, sehingga dapat diketahui jumlah

nitrogen yang dapat tertinggal dalam tubuh. Selanjutnya dinyatakan, bahwa neraca

nitrogen dapat dirumuskan dengan persamaan :

B = I – (U + F) , dimana :

B = neraca nitrogen

I = konsumsi nitrogen

U = nitrogen urin

F = nitrogen feses

(41)

artinya nitrogen yang dikonsumsi hanya cukup untuk kebutuhan hidup pokok saja.

Tetapi bila neraca nitrogen bernilai negatif, ini berarti terjadi suatu kehilangan

nitrogen jaringan melalui metabolisme sebagai akibat nitrogen makanan yang

dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak yang bersangkutan.

Menurut Orskov (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi deposit protein pada

bobot hidup yang relatif sama, adalah 1) Genotype; yaitu laju deposit protein pada

sapi dengan bobot hidup relatif sama akan berbeda antara bangsa sapi ukuran kecil

dan ukuran besar; 2) Jenis kelamin; pertambahan bobot hidup pada ternak

ruminansia dengan bobot dan genotype yang relatif sama, pada sapi betina lebih

banyak lemak dan sedikit protein dibandingkan sapi jantan; 3) Pengaruh nutrisi

sebelumnya; pada bangsa dan jenis kelamin yang sama kebutuhan protein dikaitkan

dengan bobot hidup dapat bervariasi sekali akibat nutrisi sebelumnya apakah cukup

atau kekurangan protein.; 4) Level nutrisi; peningkatan konsumsi energi akan

meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya.

Peningkatan retensi protein ini bergantung padafase dewasa ternak, jenis kelamin,

dan genotype.

Bani

et al.

(1991) melaporkan bahwa level urea darah (

blood urea

) pada

ternak ruminansia umumnya diduga sebagai ekspresi dari amonia rumen, dengan

demikian urea darah yang sangat tinggi dapat merupakan suatu indeks kelebihan

protein dan resiko yang potensial terhadap kesuburan yang rendah (

low fertility

).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitiannya dinyatakan bahwa penyerapan amonia

rumen dan glukoneogenesis dari absorbsi asam-asam amino menyebabkan

kan-dungan urea darah bervariasi, tetapi glukoneogenesis nampaknya sangat berperan

terutama ketika pemberian protein relatif tinggi. Kandungan

Blood urea nitrogen

(BUN) atau amonia plasma yang tinggi kemungkinan bertalian dengan perubahan

fisiologi ovary dan uterus yang mengakibatkan tidak cukupnya

luteal

dan kematian

embrio (Sinclair

et al

. 2000).

(42)

Pertambahan Bobot Badan (PBB)

Ukuran komersil untuk pertumbuhan ternak adalah pertambahan bobot badan,

yakni sebagai penimbunan energi dalam karkas. Kuantitas penimbunan energi

dalam satuan berat ini bergantung pada komposisi kimia pertambahan bobot badan,

yakni air, tulang, protein (daging), dan lemak. Energi yang terkandung pada

pertambahan bobot badan hampir sepenuhnya diwujudkan oleh protein dan lemak,

dengan demikian komposisi pertambahan bobot badan tidak konstan sepanjang fase

pertumbuhan (Davies 1982).

Kenaikan berat badan dengan mudah dilakukan dengan penimbangan yang

berulang-ulang untuk menentukan pertambahan bobot badan tiap hari, tiap minggu,

atau tiap waktu tertentu lainnya (Tillman dkk. 1991). Maynard

et al.

(1969)

menyatakan bahwa semakin baik kualitas makanan, semakin efisien pembentukan

energi dan semakin cepat proses penambahan bobot badan. Selanjutnya dinyatakan

bahwa nutrien utama yang dibutuhkan ternak adalah energi dan protein, kelebihan

energi dan protein dari kebutuhan hidup pokok digunakan untuk pertumbuhan atau

pertambahan bobot badan. Demikian pula menurut Van Soest (1982) bahwa

meningkatnya konsumsi protein dan energi akan meningkatkan pertambahan bobot

badan, dan tidak seluruh energi yang tersedia dalam makanan dapat dimanfaatkan

oleh ternak karena sangat erat hubungannya dengan kapasitas dan kemampuan alat

pencernaan terhadap kualitas bahan makanan.

Tillman dkk. (1991) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan adalah makanan, konsumsi pakan, total protein yang dikonsumsi tiap

hari, jenis atau bangsa ternak dan manajemen ternak. Menurut Davies (1982)

umumnya pertambahan bobot badan pada ternak muda mempunyai kandungan

energi yang rendah karena mengandung air dan tulang yang tinggi dengan sedikit

lemak, sedangkan pertambahan bobot badan ternak dewasa sangat tinggi kandungan

energi yang direfleksikan dengan proporsi lemak yang tinggi.

Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi

(43)

mempertahankan kesehatan tubuh dan untuk memelihara temperatur tubuhnya tanpa

penambahan atau kehilangan bobot badan, sementara kebutuhan untuk produksi

adalah nutrien yang dibutuhkan ternak selain untuk hidup pokok juga untuk proses

produksi diantaranya pertumbuhan, penggemukan, dan pembentukan air susu (Nelson

1979). Selanjutnya dinyatakan bahwa dua nutrien utama untuk kedua hal tersebut,

yaitu suplai energi dan prortein. Nutrien yang dibutukan ternak adalah energi, protein,

mineral, dan vitamin (Davies 1982).

Kebutuhan energi untuk hidup pokok bergantung pada ukuran atau bobot

tubuh, bangsa sapi, temperatur udara dan aktifitas. Kebutuhan ini erat hubungannya

dengan fungsi bobot tubuh atau dikenal bobot metabolis, yakni W

0,73

. Kebutuhan

energi untuk hidup pokok di daerah tropis (temperatur udara panas) dan yang

dikandangkan adalah lebih rendah dibandingkan di daerah

temperate

(udara dingin)

dan yang tidak dikandangkan (Davies 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa jumlah

protein yang dibutuhkan bergantung padakecernaannya dan efisiensi penggunaannya

dalam tubuh; pada ternak ruminansia, proporsi rumen degradable protein (RDP) dan

rumen undegradable protein (RUP) adalah penting ketika laju pertambahan bobot

badan yang cepat.

Kebutuhan energi didasarkan kepada bobot tubuh, pertambahan bobot badan

(PBB), jenis kelamin dan kondisi tubuh. Sapi tipe besar atau mempunyai PBB yang

tinggi atau sapi jantan kebutuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan sapi tipe kecil,

PBB yang rendah, sapi betina pada periode yang sama (NRC 1984). Laju

pertumbuhan terutama ditentukan oleh konsumsi energi, pada laju pertumbuhan

tersebut dibutuhkan berbagai asam amino untuk berlangsungnya sintesis protein

jaringan yang baru (Davies 1982).

(44)

keambaan (

bulk density

yaitu berat/satuan volume) yang rendah, lemak yang tinggi.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsentrasi energi yang tinggi menurunkan konsumsi

makanan dan konsumsi energi, kemungkinan disebabkan fermentasi dalam rumen

tidak normal atau hambatan cita rasa (

appetite

) oleh faktor kimiawi yang

dihasilkannya atau yang ada dalam saluran pencernaan.

Peningkatan konsumsi ransum sebagai resultan dari kecernaan dan

passage

rate

akan meningkatkan pula ketersediaan nutrien (terutama protein dan energi)

untuk proses produksi ternak. Faktor yang sangat penting mempengaruhi produksi

ternak adalah total nutrien diserap. Dengan demikian konsumsi dan daya cerna adalah

parameter kunci dalam system efaluasi makanan, diantara keduanya konsumsi sangat

penting karena sangat berbeda antara type makanan (Poppi

et al.

2000). Selanjutnya

dinyatakan, bahwa ada hubungan yang erat antara konsumsi dan daya cerna walaupun

secara keseluruhan tidak selalu ada hubungan. Hubungan antara konsumsi dan daya

cerna ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bila kecernaan zat makanan tinggi akan

cepat laju makan selanjutnya akan cepat pula pengosongan perut dan gilirannya akan

cepat mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrien tersebut. Konsumsi

dire-gulasi oleh laju pengosongan digesta dari rumen oleh proses pencernaan dan proses

pengaliran (

passage

).

Protein digunakan dalam tubuh ternak terutama untuk unsur pembangun dan

pengatur tubuh (prekursor enzim dan hormon), sehingga kebutuhannya lebih besar

untuk sapi muda dari pada sapi yang telah mencapai dewasa tubuh, untuk sapi yang

mepunyai pertambahan bobot badan yang tinggi daripada yang rendah, untuk sapi

type besar daripada type kecil (NRC 1984)

(45)

Sapi Pesisir di Sumatera Barat

Di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat sapi lokal

yang disebut masyarakat sebagai sapi Pesisir (Sarbaini 2004). Menurut Merkens

(1926) yang diacu Sarbaini (2004), bahwa di Padang dan dataran tinggi sekitarnya

tedapat sapi dengan ciri-ciri : pejantannya memiliki kepala pendek; bertanduk pendek

dan mengarah ke luar; lehernya lebar, kokoh dan pendek. Punuknya cukup

berkem-bang, daerah pinggulnya pendek dan oval. Bagian depan badannya lebih ringan

Gambar 3 Sapi Pesisir betina berfistula rumen

[image:45.595.192.398.296.454.2]

dibandingkan bagian belakangnya, dan kakinya relatif pendek. Pada sapi betina

kepalanya lebih panjang dan kecil, pundak dan dadanya kurang berkembang,

selangkangnya miring ke belakang, pendek dan kecil. Warnanya coklat muda sampai

coklat tua, atau sampai hitam. Sekitar mata, mulut dan sebelah dalam kaki-kakinya,

Tabel 2 Rataan bobot badan (kg) sapi Pesisir Sumatera Barat

(46)

perut bagian bawah berwarna lebih muda. Tinggi pundak pada sapi jantan berkisar 1

– 1.26 m (rata-rata 1.15 m) dan pada sapi betina sekitar 1.05 m.

Sejak umur muda sampai dewasa, sapi jantan mempunyai bobot badan yang

(47)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap ;

Penelitian Tahap I

Penelitian Tahap II

Penelitian Tahap III

Gambar 4 Bagan alir tahap penelitian.

Tahap I

:

Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan

BO Bahan Pakan dalam Rumen.

Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan koefisien degradasi protein dan

BO bahan pakan secara in sacco (Orskov adan McDonald 1979) yang digunakan

untuk menentukan indeks sinkronisasi penyediaan N dan BO terfermentasi

berdasarkan nisbah degradasi protein dan BO per jam (hour

Gambar

Tabel 1  Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba1
Gambar 2   Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi                   (Bach et al
Tabel 2  Rataan bobot badan (kg) sapi Pesisir Sumatera Barat
Tabel 3   Komposisi kimia (%) bahan pakan hijauan dan konsentrat yang                  dievaluasi secara in sacco
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Pada perlakuan pertama menggunakan biji utuh dan diberi aquades didapatkan hasil tidak ada satupun biji yang berkecambah dengan presentase

keterampilan dasar dribbling dalam permainan bola basket yang diperoleh.. berdasarkan tingkat kompleksitas, inteks siswa dan daya dukung

Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan

Secara tertulis penyelesaian soal nomor 2 dan 4 UF dapat menyelesaikan sesuai strategi penyelesaian yang telah di susun dan perhitungan yang digunakan benar pada

Sehubungan dengan masalah tersebut maka diperlukan adanya upaya pengembangan KTSP dan rencana pembelajaran dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar yang berada

Keripik wortel ini bisa nikmati oleh berbagai kalangan, baik anak-anak, orang tuan, maupun dewasa dengan harga yang terjangkau Dengan adanya keripik wortel ini

Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berPenerapan Fungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan