• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem pengembangan unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem pengembangan unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

MEIZAR MALANESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem Pengembangan Unit Penangkapan Ikan di Kabupaten Lampung Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2010

(3)

Pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan sampai saat ini dihadapkan kepada masalah besarnya potensi perikanan tangkap yang dimiliki, tetapi pengelolaannya belum dilakukan secara maksimal. Hal ini diketahui dari kurang produktifnya alat tangkap yang digunakan termasuk armada yang ada. Demikian pula dengan sarana dan prasarana yang belum memadai dengan usaha perikanan tangkap yang masih bersifat tradisional. Disamping itu pada umumnya kualitas sumberdaya manusia relatif masih rendah, hal ini dicirikan oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen yang lemah. Implikasinya adalah kurang lancarnya adopsi teknologi sampai level terbawah (nelayan) sehingga nelayan sangat lambat memanfaatkan teknologi dan kurang dapat melakukan diversifikasi usaha. Hal ini ditambah lagi dengan sulitnya nelayan memperoleh pinjaman modal untuk pengembangan usahanya.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan dimana terdapat 9 (sembilan) kecamatan yang desa-desanya memiliki pantai. Adapun kesembilan kecamatan tersebut adalah, Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Katibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, Ketapang, Penengahan dan Seragi. Secara umum data produksi perikanan tangkap laut di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2005 adalah 27.236,3 ton dengan nilai ekonomi sebesar Rp.180.517.600.000. Jumlah rumah tangga perikanan tangkap laut adalah sebesar 1.619 unit, dengan jumlah perahu/kapal perikanan tangkap laut sebesar 1.173 buah.

Seperti diketahui, unit penangkapan ikan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasanya terdiri dari nelayan, perahu atau kapal penangkap, dan alat penangkap yang digunakan. Penentuan unit penangkapan ikan tepat guna, memerlukan pengkajian yang mendalam dalam rangka pengembangan perikanan tangkap, khususnya di Kabupaten Lampung Selatan.

(4)

dilakukan lagi analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Procces (AHP) untuk menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan di Kabupten Lampung Selatan.

Intensifikasi untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang dipakai, termasuk nelayan, alat tangkap, perahu atau kapal serta alat bantu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Namun demikian, tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu menghasilkan pendapatan bersih (net income) nelayan.

Peningkatan produksi perikanan diharapkan akan memberikan perkembangan yang signifikan terhadap usaha perikanan dan pendapatan nelayan. Dengan meningkatnya pendapatan nelayan tentunya kesejahteraan nelayanpun diharapkan akan meningkat.

(5)

Meizar Malanesia. Development System of Catch Fishing Unit in Regency of South Lampung. Supervised by John Haluan, Hartrisari Hardjomidjojo, Domu Simbolon.

Fisheries resources utilization in Residency of South Lampung as so far has faced on larger potency of fisheries capture while the management is not optimally done yet. This situation has indicated the low productivity of fishing units including the existing fleets as well as unsupported fishing gears facilities in traditional basis. In other hand, in general, the human resources are rare with low management capability. As consequence, technology transfer (adoption) to the lowest level fishermen is constrained. Fishermen slowly use existing technology and be more diversified in business activities. In addition, fishermen's access on capital loan is limited.

This research conducted in marine region of South Lampung Residency. The variation of used fish catching unit, Schaefer production surplus analysis, in order to identity the status of fish resource such as potential, effort level, and maximum sustainable yield. Scoring analysis which will be used in this research are,conducting standarization of fish catching unit, considering method, in order to determine the superior fish catching unit, biological aspect, sustainable aspect, environtmental aspect, investment feasibility aspect, and analytical hierarchi procces method.

Strategic development of fish catching unit was done in three options. First option based on the possibility development up to MSY gave fourteen fish catching unit can be added, those are payang 71 unit, fixed gill net 44 unit, encricling gill net 600 unit, hand line 21 unit, sero 336 unit, beach seine 716 unit, bagan perahu 162 unit, bagan apung 64 unit, drift gill net 74 unit, serok 27 unit, bubu 25 unit, trammel net 184 unit, jermal 50 unit, and mini trawl 72 unit. Second option based on the AHP method gave seven fish catching unit can be added, those are drift gill net 30 unit, bagan perahu 67 unit, hand line 9 unit, sero 140 unit, payang 29 unit, bubu 10 unit, and bagan apung 26 unit.

Thirth option based on the AHP method gave seven fish catching unit can be added, those are drift gill net 590 unit, bagan perahu 1.289 unit, hand line171 unit, sero 2.682 unit, payang 566 unit, bubu 197 unit, and bagan apung 512 unit.

(6)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber pegutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(7)

MEIZAR MALANESIA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nomor Pokok : C. 561040154 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. John Haluan, M.Sc Ketua

Dr.Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ketua,

Prof. Dr.Ir. John Haluan, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul “Sistem Pengembangan Unit Penangkapan Ikan di Kabupaten Lampung Selatan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih danpenghargaan yang tulus kepada Prof. Dr.Ir. John Haluan M,Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan yang telah memberikan kesempatan, izin dan bantuan dana untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Ibunda tercinta Zubaini dan Ayahanda tercinta M. Zaini Aziz (Alm), yang selalu berdo’a demi keberhasilan penulis, Istri tercinta Hera Novita, SE dan anak-anak tersayang Meita Saniyyah Ubay, Ryaas Rafi Novizar yang selalu memberikan do’anya kepada penulis dan juga merelakan waktunya untuk penulis sekolah. Ucapan terima kasih kepada Kakak-kakak tercinta serta seluruh keluarga yang tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis dalam suka dan duka. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat Hendriwan, Rohana Sri Hartati, Norizwan Hamim, Muhamad Darmawan, dan rekan-rekan Dedy Heryadi Sutisna, Eny Budi, Iwan Setiawan, Sinta, Iwan yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

(10)

Bogor, Maret 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Kuala Lumpur pada tanggal 12 Mei 1968 dari Bapak M. Zaini Aziz (Alm) dan Ibu Zubaini, menikah tahun 1998 dengan Hera Novita, SE dan telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yaitu Meita Saniyyah Ubay dan Ryaas Rafi Novizar.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 38 Tanjung Karang pada tahun 1981. Tahun 1984 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Tanjung Karang dan selanjutnya menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMAN 2 Tanjung Karang tahun 1987.

Pada tahun 1987, penulis mendapat kesempatan mengikuti sekolah ikatan dinas pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Tanjung Karang, tamat tahun 1990, tugas belajar pada Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta tahun 1993, tamat tahun 1995, tugas belajar pada Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1997, tamat tahun 1999.

Penulis terakhir bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan di bagian Pemerintahan Desa sebagai Kasubbag Administrasi Desa, dan juga aktif dalam memberikan beberapa materi tentang pemerintahan desa yang dilaksanakan oleh Diklat Kabupaten Lampung Selatan.

(12)

Penguji luar komisi pada ujian tertutup: 1.Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc 2. Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, M.Si

Penguji luar komisi pada ujian terbuka : 1. Dr. Ir. Dedy H. Sutisna, MS

(13)

Halaman

2.2 Sumberdaya Perikanan Tangkap... 25

2.3 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap... 28

2.4 Teori Sistem... 30

2.5 Pengambilan Keputusan ... 31

2.6 Keadaan Perairan Lampung Selatan ... 33

2.7 Keadaan Iklim ... 33

(14)

3.3.1 Analisis aspek biologi ... 39

4.1 Seleksi Unit Penangkapan Ikan di Kabupaten Lampung Selatan ... 51

4.1.1 Aspek biologi... 51

4.1.2 Aspek berkelanjutan... 59

4.1.3 Aspek ramah lingkungan... 61

4.1.4 Aspek kelayakan investasi ... 62

4.2 Opsi Pengembangan Unit Penangkapan Ikan Pilihan... 63

4.3 Pengembangan Unit Penangkapan Ikan ... 65

5 PEMBAHASAN... 70

5.1 Unit Penangkapan Ikan Pilihan di Kabupaten Lampung Selatan ... 70

5.1.1 Aspek biologi

5.1.3 Aspek ramah lingkungan... 75

5.1.4 Aspek kelayakan investasi ... 76

5.2 Strategi Pengembangan Unit Penangkapan Ikan ... 78

5.2.1 Kriteria pengembangan unit penangkapan ikan ... 78

5.2.2 Kriteria pembatas pengembangan unit penangkapan ikan ... 79

(15)

5.2.5 Sistem pengembangan unit penangkapan ikan ... 88

6 KESIMPULAN DAN SARAN... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA... 93

(16)

Halaman

1 Jumlah unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan ... 20

2 Jumlah trip perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan ... 22

3 Jumlah perahu/kapal perikanan tangkap Kabupaten Lampung Selatan... 24

4 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Lampung Selatan ... 25

5 Produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan ... 27

6 Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Lampung Selatan ... 27

7 Nilai produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Lampung Selatan ... 28

8 Data yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek biologi... 37

9 Data yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek kelayakan investasi... 38

10 Matriks Metode Analisis Data... 39

11 Kriteria dan skor dalam analisis aspek berkelanjutan unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan ... 43

12 Kriteria dan skor dalam analisis aspek ramah lingkungan unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan... 44

13 Skala banding berpasangan berdasarkan taraf relatif pentingnya... 49

14 Produksi, Upaya Penangkapan, CPUE dan MSY Sumberdaya Ikan Pelagis Besar ... 51

15 Produksi, Upaya Penangkapan, CPUE dan MSY Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil... 54

16 Produksi, Upaya Penangkapan, CPUE dan MSY Sumberdaya Ikan Demersal ... 56

17 Produksi, Upaya Penangkapan, CPUE dan MSY Sumberdaya Udang dan Biota Laut non ikan... 58

18 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan... 60

19 Hasil seleksi unit penangkapan ikan aspek ramah lingkungan... 61

(17)

terpilih ... 69 23 Produksi unit penangkapan ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

(18)

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian ... 6 2 Peta Kabupaten Lampung Selatan ... 35 3 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar

di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 52 4 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-opt untuk

ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Lampung Selatan... 53 5 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil

di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 53 6 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-opt untuk ikan

pelagis kecil di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 55 7 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal

di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 56 8 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-opt untuk

kan demersal di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 57 9 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota

non ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan ... 58 10 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-opt udang dan

Biota non ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan... 59 11 Struktur hierarki pengembangan unit penangkapan ikan ... 67 12 Hasil hierarki pengembanganunit penangkapan ikan ... 68 13 Hasil uji sensitivitas opsi pengembangan jaring insang hanyut (JIH)

terhadap perubahan perhatian pada jumlah tangkapan tidak melebihi TAC (TAC)(RK TAC = 0,654)... 81 14 Hasil uji sensitivitas opsi pengembangan jaring insang hanyut (JIH)

terhadap perubahan perhatian pada kriteria menguntungkan (UNTNG)

(RK UNTNG = 0) ... 82 15 Hasil uji sensitivitas opsi pengembangan jaring insang hanyut (JIH)

terhadap perubahan perhatian pada kriteria investasi rendah (INVEST)

(RK INVEST = 0,589) ... 83 16 Hasil uji sensitivitas opsi pengembangan jaring insang hanyut (JIH)

terhadap perubahan perhatian pada kriteria hukum (HKUM)

(RK HKUM = 1)………84

(19)

18 Hasil uji sensitivitas opsi pengembangan jaring insang hanyut (JIH) terhadap perubahan perhatian pada kriteria penggunaan BBM rendah

(20)

1 Rincian waktu pelaksanaan penelitian... 95

2 Langkah-langkah perhitungan MSY dan f optimum untuk ikan pelagis besar... 96

3 Langkah-langkah perhitungan MSY dan f optimum untuk ikan pelagis kecil ... 98

4 Langkah-langkah perhitungan MSY dan f optimum untuk ikan demersal... 101

5 Langkah-langkah perhitungan MSY dan f optimum untuk udang dan biota Laut non ikan ... 104

6 Hasil analisis kelayakan investasi payang ... 106

7 Hasil analisis kelayakan investasi sero... 106

8 Hasil analisis kelayakan investasi bubu... 106

9 Hasil analisis kelayakan investasi jaring insang hanyut... 107

10 Hasil analisis kelayakan investasi jaring insang tetap... 107

11 Hasil analisis kelayakan investasi bagan perahu... 107

12 Hasil analisis kelayakan investasi bagan apung... 108

13 Hasil analisis kelayakan investasi hand line... 108

14 Hasil analisis kelayakan investasi pukat udang... 108

15 Hasil analisis kelayakan investasi pukat pantai... 109

16 Hasil analisis kelayakan investasi jaring insang lingkar... 109

17 Hasil analisis kelayakan investasi trammel net... 109

18 Hasil analisis kelayakan investasi serok... 110

19 Hasil analisis kelayakan investasi jermal... 110

20 Alat tanggkap sero... 114

(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan merupakan hal yang penting untuk diarahkan pada peningkatan kesejahteraan nelayan, meningkatkan ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan dan kelautan.

Pemanfaatan potensi ikan oleh nelayan di perairan Kabupaten Lampung Selatan masih tergantung pada teknologi penangkapan ikan tradisional yang diwarisi secara turun temurun. Jenis-jenis alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan operasional penangkapan ikan antara lain payang (seine net), jaring insang hanyut (drift gillnet), bagan perahu (boat lift net), bubu (traps), pancing tangan (hand line). Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan dalam kegiatan operasional penangkapan ikan seperti itu belum dapat memberikan hasil yang optimal.

Pengembangan sumberdaya ikan oleh nelayan untuk mendapatkan hasil optimal tergantung pada teknologi alat penangkapan yang digunakan. Penentuan unit penangkapan ikan yang tepat guna, memerlukan pengkajian yang mendalam dalam rangka pengembangan perikanan tangkap. Menurut Ditjen Perikanan Tangkap (2004), unit penangkapan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari perahu/kapal penangkap, alat penangkap yang digunakan serta nelayan.

(22)

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan perikanan tangkap antara lain jumlah nelayan, produktivitas, komposisi hasil tangkapan, daya saing produk ikan, faktor selektivitas, peluang operasi penangkapan dalam setahun (musim penangkapan ikan), kelayakan usaha serta pendapatan nelayan pada setiap unit penangkapan ikan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah meningkatkan produksi hasil tangkapan dengan mengusahakan unit penangkapan ikan yang produktif, yakni unit yang menjamin jumlah produksi yang tinggi dan mendapatkan jenis tangkapan dengan harga jual yang tinggi. Selain itu, unit penangkapan ikan tersebut sebaiknya efisien dan menggunakan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat serta tidak merusak kelestarian sumberdaya perikanan (Wisudo et al., 1994).

Intensifikasi untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang dipakai, termasuk nelayan, alat tangkap, perahu atau kapal serta alat bantu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Namun demikian, tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi, demikian pula bila tercapai peningkatan produksi, belum tentu menghasilkan pendapatan bersih (net income) nelayan. Oleh karena itu, penggunaan teknik penangkapan ikan yang baru atau hasil modifikasi harus dikaji dengan penelitian dan percobaan.

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap yang relatif besar dan diharapkan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang potensial. Dari 20 (dua puluh) kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, terdapat 9 (sembilan) kecamatan yang desa-desanya memiliki pantai. Adapun kesembilan kecamatan tersebut adalah, Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Katibung, Sidomulyo, Kalianda, Rajabasa, Ketapang, Penengahan dan Seragi.

(23)

laut adalah sebesar 1.619 unit, dengan jumlah perahu/kapal perikanan tangkap laut sebesar 1.173 buah.

Teknologi penangkapan ikan yang digunakan di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar masih menggunakan teknologi yang sederhana. Hal ini dikarenakan modal usaha yang dimiliki masih rendah dan susahnya mendapatkan akses dalam peminjaman modal. Nelayan juga tidak memiliki agunan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak perbankan sehingga sulit mendapatkan pinjaman dari bank. Hal ini diperparah lagi dengan rendahnya tingkat proporsi kredit perbankan bagi sektor perikanan. Pada akhirnya, nelayan terutama nelayan kecil dan menengah berpaling kepada rentenir (bank gelap) sehingga usaha nelayan dikendalikan oleh mereka. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan nelayan tradisional adalah tranformasi teknologi dan inovasi dalam kegiatan penangkapan ikan. Hal tersebut merupakan syarat penting yang perlu dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktivitas hasil tangkapan.

Beberapa masalah yang dihadapi dalam usaha pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan adalah minimnya jumlah armada perikanan tangkap, teknik penangkapan atau alat tangkap yang relatif sederhana, daerah penangkapan ikan yang terbatas pada perairan pantai, minimnya sarana dan prasarana pendukung, terbatasnya kemampuan nelayan atas penguasaan teknologi, orientasi usaha masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan masih sering ditemukan penggunaan bahan kimia dan bahan peledak sehingga merusak kelestariaan sumber daya ikan dan lingkungan serta kurangnya permodalan.

(24)

tepat guna dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, khususnya di Kabupaten Lampung Selatan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan didominasi oleh skala usaha yang relatif kecil dengan menggunakan teknologi yang sederhana. Hal ini menyebabkan produktivitas tangkapan masih relatif rendahdan hasil tangkapan masih beragam sehingga belum dapat memberikan keuntungan bagi nelayan. Usaha seperti ini sangat peka terhadap perubahan sehingga dalam pengembangannya dibutuhkan kajian yang komprehensif dengan memahami terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan.

Pengembangan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan sampai saat ini dihadapkan kepada masalah yang terkait dengan pengelolaan perikanan yang belum dilakukan secara optimal. Penggunaan alat tangkap yang kurang produktif, sarana yang belum memadai, usaha yang bersifat tradisional, kualitas sumber daya manusia relatif rendah, kurangnya perhatian terhadap masalah kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, serta sulitnya nelayan memperoleh pinjaman modal untuk pengembangan usahanya merupakan masalah mendasar yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam usaha mengembangkan perikanan tangkap.

Unit penangkapan ikan merupakan kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang biasanya terdiri dari nelayan, perahu atau kapal penangkap dan alat penangkap yang digunakan. Hal ini berarti bahwa jika satu perahu atau kapal dalam satu tahun operasi menggunakan dua jenis alat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda pula, maka jumlah unit penangkapan dihitung dua. Selain itu, unit penangkapan ikan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi jenis alat penangkap yang mengikuti standar di Indonesia (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).

(25)

perlu diusahakan agar dapat dijadikan mata pencaharian utama nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Di sisi lain kelestarian sumberdaya ikan harus mendapatkan perhatian serius. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, pengembangan perikanan tangkap hendaknya mengacu pada kebijakan pengembangan perikanan secara global, yaitu penggunaan alat tangkap yang selektif, tidak berdampak negatif pada lingkungan, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat dan nelayan setempat. Hal tersebut merupakan manifestasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan bertanggungjawab, seperti yang tecantum dalam pedoman Code of Conduct of Responsible Fisheries (FAO, 1995).

Perairan laut Kabupaten Lampung Selatan yang relatif luas dan dapat diakses oleh nelayan dari berbagai daerah juga memberi peluang terjadinya konflik antar nelayan, terutama terhadap nelayan yang berbatasan dengan daerah ini. Peningkatan aktitivitas penangkapan ikan dapat berkembang menjadi ancama bagi kelestarian sumber daya perikanan, bila terjadi kelebihan upaya penangkapan ikan. Oleh sebab itu eksploitasi sumberdaya perikanan perlu dikendalikan. Peran pemerintah daerah yang tegas diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

(26)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

Metode AHP

Strategi Pengembangan Unit penangkapan ikan Unit Penangkapan Ikan Kondisi Saat Ini (Permasalahan)

 Penguasaan teknologi

 Orientasi usaha

 Penggunaan bahan kimia

 Permodalan

 Teknik dan alat tangkap.

 Jumlah armada

 Daerah penangkapan

 Sarana dan prasarana

Seleksi Unit Penangkapan Ikan

Menentukan sistem pengembangan unit penangkapan ikan tepat guna di

Kabupaten Lampung Selatan.

Rekomendasi Pengembangan Unit Penangkapan Ikan. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Belum Optimal

(27)

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk:

1) Melakukan seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek biologi, aspek berkelanjutan, aspek ramah lingkungan, dan aspek kelayakan investasi. 2) Menentukan sistem pengembangan unit penangkapan ikan tepat guna di

Kabupaten Lampung Selatan. 1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah :

1) Menambah ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap. 2) Bahan informasi atau rujukan bagi penelitian selanjutnya.

(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Unit Penangkapan Ikan

Unit penangkapan ikan merupakan satu kesatuan dalam operasi penangkapan ikan. Unit penangkapan ikan terdiri atas perahu atau kapal penangkapan ikan, alat penangkapan ikan dan nelayan. Jika satu perahu atau kapal dalam satu tahun operasi menggunakan dua jenis alat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda pula, maka jumlah unit penangkapan dihitung dua. Selain itu, unit penangkapan ikan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi jenis alat tangkap yang mengikuti standar di Indonesia (Ditjen Perikanan Tangkap, 2004).

2.1.1 Alat penangkapan ikan

Berbagai ahli telah melakukan klasifikasi teknik penangkapan ikan. Terdapat perbedaan pengklasifikasian dari masing-masing ahli karena perbedaan titik pandang, tujuan dan kondisi perairan. Namun, prinsip dasar dari pengklasifikasian adalah bagaimana ikan itu tertangkap.

Nomura dan Yamazaki (1975) mengklasifikasikan alat penangkapan ikan menjadi 9 jenis, yang terdiri dari 7 alat tangkap dikategorikan menggunakan jaring, 1 alat tangkap pancing, dan 1 alat tangkap lainnya. Alat tangkap dan teknik penangkapan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Alat tangkap yang memakai jaring (netting gear)

(i) Gil net yaitu semua jenis jaring (surface gill net, mid water gill net, bottom gill net, dan sweeping gill net) kecuali jaring yang menangkap ikan secara terbelit.

(ii) Entangle net yaitu jaring yang menangkap ikan secara terbelit misalnya tuna drift net dan trammel net.

(iii) Towing net, yaitu kelompok jaring yang dalam operasinya ditarik atau didorong dan berkantong misalnya beach seine, cantrang, trawl.

(iv) Lift net, yaitu semua jenis jaring angkat misalnya floating lift net, bottom lift net.

(29)

(vi) Covering net, yaitu menangkap ikan dengan menutup dari atas, umumnya dioperasikan di perairan dangkal, misalnya jala lempar, lantern net (net berbingkai).

(vii) Trap net, yaitu menangkap ikan dengan perangkap. Berdasarkan ukurannya ada yang kecil, sedang, dan besar, dan berdasarkan posisinya ada yang portable trap net dan guilding barrier, misalnya jenis-jenis bubu dan sero. (2) Alat tangkap pancing, yaitu semua jenis alat tangkap pancing, misalnya pole and

line, trolling line, drift line, bottom long line.

(3) Alat penangkapan lainnya, yaitu alat tangkap yang tidak termasuk dalam kelompok alat tangkap di atas. Alat tangkap tersebut antara lain harpoons dan spears (menangkap ikan dengan menggunakan panah dan tombak), menggunakan scoop net, electricalfishing, dan lain-lain.

Von Brandt (1984) telah melakukan klasifikasi teknis penangkapan ikan pada tahun 1964 menjadi 15 jenis, kemudian berdasarkan atas saran-saran yang masuk dari berbagai ahli maka pada tahun 1984 klasifikasi berubah menjadi 16 jenis. Ke-16 jenis teknik penangkapan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Penangkapan ikan dengan tidak menggunakan alat (misalnya menangkap dengan menggunakan tangan secara langsung).

(2) Penangkapan ikan dengan menjepit dan menggunakan alat untuk melukai (misalnya dengan tombak).

(3) Penangkapan ikan dengan memabukkan. (secara mekanik dengan melakukan pemboman, secara kimiawi dilakukan dengan racun dan arus listrik).

(4) Penangkapan ikan dengan menggunakan pancing (semua jenis pancing). (5) Penangkapan ikan dengan menggunakan perangkap (misalnya sero, bubu). (6) Penangkapan ikan dengan menggunakan perangkap terapung (digunakan untuk

menangkap ikan-ikan yang sedang melompat). (7) Bagnets (misalnya dengan scoop net).

(8) Penangkapan dengan menarik alat tangkap (misalnya jenis-jenis trawl).

(30)

(10) Surrounding nets yaitu alat tangkap yang melingkari gerombolan ikan dengan menutup pada bagian tepi dan bagian bawah jaring, (misalnya pada alat tangkap purse seine).

(11) Drive in nets (biasanya alat tangkapnya skala kecil, misalnya jaring yang ditarik dengan tangan untuk menangkap ikan).

(12) Lift nets yaitu semua jenis jaring angkat (misalnya bagan).

(13) Falling gear, yaitu alat tangkap yang cara penangkapannya dilakukan dengan membuang alat dari atas ke bawah (misalnya jala lempar).

(14) Gill nets yaitu semua jenis jaring insang (misalnya jaring insang hanyut). (15) Tangle nets yaitu penangkapan dengan alat tangkap jaring, dengan maksud

agar ikan terbelit misalnya jaring listrik.

(16) Harvesting machines yaitu semua jenis alat tangkap yang disebutkan di atas yang semua penanganannya dengan mesin (misalnya fish pump).

Secara umum standar alat tangkap perikanan laut di Indonesia menurut Ditjen Perikanan Tangkap DKP, (2004) diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Pukat udang (shrimp net)

(ii) Bagan tancap (termasuk kelong) (iii) Serok

(31)

(6) Pancing (hookand lines) (i) Rawai tuna

(ii) Rawai hanyut lain selain rawai tuna (iii) Rawai tetap

(8) Alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seaweed collection) (i) Alat pengumpul

(ii) Alat pengumpul rumput laut (9) Muro ami

(10) Lain-lain, seperti: jala, tombak, dan lain-lain.

Alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan cukup banyak jenisnya. Dari sekian banyak jenis alat tangkap yang ada, terdapat 14 (empat belas) unit penangkapan ikan yang masih digunakan, yaitu : (1) Payang

Menurut klasifikasi Von Brandt (1984), payang termasuk ke dalam kelompok besar ”Seine Net”, yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari area atau wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Seine net telah ditemukan sejak abad ketiga sebelum Masehi di Phoenicia, Mesir dan Yunani kuno. Bangsa Romawi menggunakannya dalam kegiatan penangkapan ikan dan menyebarkannya ke daerah Eropa seiring dengan pendudukan yang dilakukannya.

(32)

kemungkinan ikan meloloskan diri (Monintja, 1991). Sayap merupakan lembaran jaring yang disatukan dan berfungsi sebagai penggiring dan pengejut bagi ikan, sehingga ikan mengarah ke mulut jaring. Sayap terdiri atas sayap kiri dan sayap kanan, memiliki ukuran mata jaring yang lebih besar dari bagian lainnya (Monintja, 1991). Tali ris terdiri atas tali ris atas dan tali ris bawah yang berfungsi untuk merentangkan jaring dan merupakan tempat tali pelampung (floats) dan pemberat (sinker). Tali ris atas lebih panjang dari tali ris bawah yang menyebabkan bibir jaring bagian atas lebih menonjol ke belakang. Hal ini dikarenakan payang tersebut umumnya digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis yang biasanya hidup di bagian lapisan atas air dan mempunyai sifat cenderung lari ke lapisan bawah bila telah terkurung jaring sehingga ikan yang akan meloloskan diri menjadi terhalang dan akhirnya masuk ke dalam kantong jaring (Subani dan Barus, 1989). Pembukaan mulut jaring payang ditentukan oleh adanya beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah untuk mempertahankan bentuk jaring sesuai dengan yang diinginkan dan tujuan penangkapan ikan, selain itu juga untuk memelihara jaring agar tetap terapung, meskipun dipengaruhi oleh arus angin dan penarikan jaring selama operasi penangkapan ikan berlangsung. Pemberat berfungsi agar bagian bawah jaring terendam sempurna, sehingga membentuk bukaan mulut jaring yang maksimal (Monintja, 1991).

(2) Pukat pantai (beach seine)

Pukat pantai adalah salah satu jenis pukat kantong yang digunakan untuk menangkap ikan, baik ikan pelagis maupun demersal yang berada di tepi pantai. Pukat pantai disebut juga pukat tepi, karena pengoperasiannya hanya terbatas pada tepi pantai.

Alat ini terdiri dari dua buah sayap yang panjangnya sama. Ukuran sayapnya berbeda antar pukat pantai tergantung pada skala usahanya, biasanya 50 – 300 m. Pada tali ris atas menggunakan pelampung dan pada tali ris bawah menggunakan pemberat. Ukuran mata jaringnya sangat kecil, terutama ke arah kantong (0,4 cm). Alat ini mempunyai tali yang panjang, yang digunakan untuk menarik pukat pantai tersebut ke arah pantai.

(33)

ikan pelagis kecil dan jenis ikan demersal merupakan hasil tangkapan dari alat tangkap pukat pantai ini.

(3) Pukat udang

Pukat udang tergolong sebagai alat tangkap trawl, dimana jaring berbentuk kerucut, terdiri atas dua lembar sayap yang dihubungkan dengan tali penarik, badan, by-catch exeluder divice (BED) dan kantong. BED adalah bingkai berjeruji yang dipasang pada antara bagian badan dan kantong yang berfungsi menyaring atau meloloskan ikan yang bukan menjadi tujuan utama tangkapan.

Tujuan utama pukat udang adalah untuk menangkap udang dan juga ikan perairan dasar. Alat penangkap ini dioperasikan dengan cara ditarik pada dasar perairan oleh satu atau dua buah kapal, baik melalui samping atau belakang kapal selama jangka waktu tertentu. Jaring ditarik secara horizontal di dalam air, dan juga karena dilengkapi dengan papan pembuka mulut jaring sehingga mulut jaring akan terbuka selama operasi penangkapan ikan dilakukan.

(4) Jaring insang hanyut (drift gillnet)

Sesuai dengan namanya yaitu jaring insang hanyut, maka dalam operasionalnya alat ini dihanyutkan searah pergerakan arus atau pengoperasian alat tangkap ini dengan cara jaring dibiarkan hanyut di bagian permukaan perairan. Alat tangkap ini berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat serta tali ris atas bawah. Jaring insang hanyut cukup selektif karena memiliki mesh size 5 cm (2 inci).

Berdasarkan waktu pengoperasiannya jaring ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaring insang hanyut siang dan jaring insang hanyut malam. Pengoperasian alat tangkap ini dilakukan dengan menggunakan kapal motor, dengan lama trip sekitar 3-7 hari. Setting dilakukan 3-5 kali dalam sehari semalam dan waktu yang dibutuhkan dari setting sampai hauling sekitar 2-3 jam.

(5) Jaring insang tetap (set gillnet / fixed gillnet)

(34)

bagian kolom perairan disebut dengan jaring insang tetap kolom perairan (mid water/submerged set gillnet) jaring yang diset tetap di dasar perairan disebut dengan jaring tetap dasar perairan (bottom set gillnet). Cara pemasangan dari ketiga jenis jaring insang ini adalah dengan cara menyambungkan salah satu atau kedua ujungnya melalui tali penghubung pada jangkar atau pada pemberat utama agar kedudukan jaring tidak berpindah tempat selama alat dioperasikan. Jaring insang ini biasanya dioperasikan di perairan pantai, teluk atau muara untuk menangkap ikan-ikan pelagis atau ikan-ikan dasar dan biota perairan lainnya yang beruaya ke tempat di mana jaring insang dipasang.

Jaring insang tetap di permukaan ada yang dioperasikan pada malam hari, ada juga yang dioperasikan dengan menggunakan alat bantu cahaya (light fishing) untuk menarik perhatian ikan-ikan yang mempunyai sifat fototaksis positif supaya ikan-ikan terjerat atau terpuntal pada mata jaring (tertangkap).

(6) Jaring insang lingkar

Jaring insang lingkar biasanya hanya dioperasikan di perairan pantai atau di perairan yang kedalamannya tidak melebihi dari tinggi jaring yang akan dioperasikan. Pemasangan jaring (setting) biasanya dilakukan pada siang hari meskipun ada juga yang pemasangannya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya (light fishing). Pada umumnya jaring lingkar dioperasikan para nelayan di Kabupaten Lampung Selatan adalah pada siang hari.

Konstruksi jaring lingkar yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Lampung Selatan umumnya menggunakan jaring 1 lembar yang memakai ukuran mata jaring 1- 3 inci. Panjang jaring dalam satu tingting bervariasi mulai dari 100 – 400 m. Metode pengoperasian jaring lingkar oleh para nelayan di Kabupaten Lampung Selatan pada umumnya dengan cara melingkarkan jaring dengan hanya satu perahu atau dua perahu pada gerombolan ikan, atau melingkarkan jaring dengan hanya satu perahu atau dua perahu di perairan yang sudah diperkirakan ada ikan, kemudian jaring ditarik supaya ikan terjerat atau terpuntal pada jaring.

(7) Bubu (portable traps)

(35)

memanjang, dan sebagainya. Dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan.

Bubu yang banyak dioperasikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan untuk menangkap berbagai jenis ikan karang. Umumnya, bubu yang digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu:

(i) Badan atau tubuh bubu

Badan atau tubuh bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk empat persegipanjang dengan panjang 125 cm, lebar 80 cm dan tinggi 40 cm. Bagian ini dilengkapi dengan pemberat dari batu bata (bisa juga pemberat lainnya) yang berfungsi untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan yang terletak pada keempat sudut bubu.

(ii) Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan

Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu. Lubang ini berdiameter 35 cm, posisinya tepat di belakang mulut bubu. Lubang ini dilengkapi dengan penutup.

(iii) Mulut bubu

Mulut bubu berfungsi sebagai tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan badan bubu. Posisi mulut bubu menjorok ke dalam badan atau tubuh bubu berbentuk tabung. Semakin ke dalam diameter lubangnya semakin mengecil. Pada bagian mulut bagian dalam melengkung ke bawah sepanjang 15 cm. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri keluar.

Sebelum alat tangkap bubu dimasukkan ke dalam perairan maka terlebih dahulu dilakukan penentuan daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan tersebut didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan demersal, yang biasanya ditandai dengan banyaknya terumbu karang atau berdasarkan pengalaman nelayan.

(36)

(7) Jermal

Jermal adalah perangkap yang terbuat dari jaring yang berbentuk kantong dan dipasang semi permanen melawan arus (biasanya arus pasang surut). Alat tangkap ini biasanya digunakan untuk memanfaatkan ikan-ikan yang mengikuti arus. Lama pemasangannya sangat relatif, jika sudah banyak ikan yang masuk ke dalam jaring, maka segera alat tangkap ini ditarik kantongnya dan selanjutnya dikeluarkan hasil tangkapannya. Untuk memudahkan pengoperasiannya, pada fishing ground biasanya dibuat bangunan untuk menunggu dan memantau hasil tangkapan.

(8) Serok

Serok umumnya merupakan alat bantu penangkapan, yaitu untuk membantu mengambil (menyerok) hasil tangkapan yang diperoleh dari penggunaan alat tangkap lain. Namun ada juga serok yang digunakan secara mandiri sebagai alat penangkapan misalnya pada penangkapan lemuru dan ubur-ubur.

(9) Bagan perahu

Komponen bagan perahu pada umumnya terdiri dari jaring bagan, perahu dan rumah bagan. Bagan perahu di Kabupaten Lampung Selatan saat ini masih berskala tradisional, hal ini terlihat dari ukuran yang relatif kecil, pengoperasian masih dilakukan secara manual, dan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu petromak. Di pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang berfungsi untuk mengangkat jaring bagan pada saat dioperasikan dengan menggunakan tenaga memutar (roller).

Kontruksi bagan perahu berbentuk empat persegi panjang, jaring atau waring yang digunakan dipasang pada bingkai berukuran 12x12 meter persegi. Ukuran mata jaring 0,3 hingga 0,5 cm dan tidak bersimpul, sebab dengan jaring tanpa simpul akan memudahkan pengoperasian, peningkatan efektifitas serta daya tahan jaring. Perahu yang digunakan berukuran panjang 7 m hingga 10 m tergantung ukuran bingkai yang diinginkan oleh nelayan, bermesin tempel 5 PK dan kapal terbuat dari kayu. Jenis ikan hasil tangkapan didominasi oleh ikan teri, sedangkan jumlah trip per bulan mencapai 20 trip.

(37)

Adapun tahap pengoperasian alat tangkap bagan perahu adalah sebagai berikut: (i) Setting, jaring diturunkan sampai pada kedalaman tertentu sesuai dengan

banyaknya lampu petromak yang digunakan. Lama jaring di dalam air adalah 1-2 jam atau tergantung banyaknya ikan yang terkumpul, keadaan daerah serta musim penangkapan.

(ii) Lampu petromak digunakan sebagai alat bantu untuk menarik perhatian ikan pada saat operasi penangkapan. Banyaknya lampu yang digunakan biasanya 2 hingga 4 buah, lampu mulai dinyalakan setelah jaring diturunkan, kemudian dipasang pada saat mulai gelap. Pemasangan lampu dilakukan dengan cara menggantungkan lampu tersebut pada sebilah bambu dengan jarak + 1 meter dari permukaan laut.

(iii) Hauling, jaring diangkat dari dalam perairan secara berlahan-lahan ketika jaring mulai mendekat permukaan. Hal ini disebabkan agar ikan-ikan yang sudah terkumpul didalam jaring tidak kaget dan meloloskan diri. Penarikan jaring dilakukan dengan menggunakan roller.

(iv) Ikan yang sudah terkumpul didalam jaring, kemudian diarahkan pada satu sisi untuk memudahkan dalam pengambilan hasil tangkapan yang menggunakan alat bantu serok bergagang besi panjang.

(v) Ikan yang sudah diambil dengan serok, kemudian ditampung dalam sebuah keranjang.

(vi) Setelah itu jaring perlahan-lahan diturunkan untuk dioperasikan kembali, selanjutnya dilakukan penyortiran terhadap ikan berdasarkan ukuran dan jenis ikan.

(10) Hand line

Hand line (pancing tangan) adalah salah satu alat tangkap yang dikenal oleh masyarakat luas, utamanya di kalangan nelayan. Pancing prinsipnya terdiri dari dua kelompok utama, yaitu tali (line) dan mata pancing (hook).

(38)

Kapal ini telah dilengkapi oleh palka untuk menyimpan ikan tuna dengan panjang 2 m, lebar 1,20 m tinggi 1,10 m yang berkapasitas kurang lebih 1 ton.

Persiapan pada pengoperasian hand line rumpon dimulai pukul 22.00 atau 02.00 dengan mempersiapkan segala keperluan akomodasi yang berhubungan dengan operasi penangkapan. Setelah tiba pada rumpon, kapal diikat dengan jarak kira-kira jarak 500 meter dari rumpon. Persiapan dimulai dengan persiapan umpan yang untuk memancing ikan tuna tuna. Umpan diperoleh dengan cara memancing ikan disekitar rumpon yang menggunakan umpan benang berwarna pada pancing yang biasanya terdiri dari 5 hingga 8 mata pancing dalam satu unit pancing. Umpan yang diperoleh dikaitkan pada mata pancing yang biasanya berukuran setebal 0,5 cm dan panjang 5 cm.

(12) Bagan tancap

Bagan tancap merupakan rangkaian atau susunan bambu berbentuk persegi empat yang ditancapkan sehingga berdiri kokoh di atas perairan, dimana pada tengah dari bangunan tersebut dipasang jaring. Dengan kata lain, alat tangkap ini sifatnya in mobile. Hal ini karena alat tersebut ditancapkan ke dasar perairan, yang berarti kedalaman laut tempat beroperasinya alat ini menjadi sangat terbatas yaitu pada perairan dangkal.

Pada keempat sisinya terdapat bambu-bambu menyilang dan melintang yang dimaksudkan untuk memperkuat berdirinya bagan. Diatas bangunan bagan di bagian tengah terdapat bangunan rumah yang berfungsi sebagai tempat istirahat, pelindung lampu dari hujan dan tempat untuk melihat ikan. Di atas bangunan ini terdapat roller yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk menarik jaring. Umumnya alat tangkap ini berukuran 9 m x 9 m sedangkan tinggi dari dasar perairan rata-rata 12 m. Dengan demikian, kedalaman perairan untuk tempat pemasangan alat tangkap ini rata-rata pada kedalaman 8 m, namun pada daerah tertentu ada yang memasang pada kedalaman 15 m, karena ditancapkan ke dasar perairan maka substrak yang baik untuk pemasangan adalah lumpur campur pasir.

(39)

berfungsi untuk menarik jaring. Pada ke empat sisi jaring ini diberi pemberat yang berfungsi untuk memberikan posisi jaring yang baik selama dalam air. Ukuran jaring biasanya satu meter lebih kecil dari ukuran bangunan bagan. Selama ini untuk menarik perhatian ikan berkumpul di bawah bagan, umumnya nelayan masih menggunakan lampu petromaks yang jumlahnya bervariasi dari 2 - 5 buah.

Pada saat nelayan tiba di bagan, maka yang pertama dilakukan adalah menurunkan

jaring dan memasang lampu yaitu pada bulan gelap. Setelah beberapa jam kemudian (sekitar 4 jam) atau dianggap sudah banyak ikan yang terkumpul di

bawah bagan maka penarikan jaring mulai dilakukan. Penarikan dilakukan dengan memutar roller, sehingga jaring akan terangkat ke atas. Setelah jaring terangkat maka pengambilan hasil tangkapan dilakukan dengan menggunakan scoop net.

(13) Bagan apung

Pada prinsipnya bagan apung merupakan modifikasi dari bagan tancap. Perbedaannya dengan bagan tancap adalah apabila bagan tancap tiang penyangga ditancapkan di dasar perairan, bagan apung tiang penyangga diganti dengan beberapa buah drum yang terbuat dari plastik antara 4 – 6 buah. Biasanya bagan apung ini

Alat ini biasanya terbuat dari kayu, waring, atau bambu, dan terdiri dari bagian-bagian yaitu (a) Penaju (leading net) yang berfungsi untuk menghadang ikan-ikan yang beruaya khususnya pada saat pasang, (b) Daerah bunuhan, biasanya terletak pada bagian yang lebih dalam. Dengan demikian, pemasangan alat tangkap ini hanya bisa dilakukan pada daerah-daerah yang landai yang sedikit miring. Nelayan banyak memasangnya pada daerah-daerah pinggir pantai.

(40)

Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Lampung Selatan adalah payang, pukat udang, pukat pantai, sero, bubu, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring lingkar, trammel net, bagan perahu, bagan apung, serok, jermal, dan hand line. Adapun alat tangkap yang paling dominan yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Lampung Selatan adalah payang, sero, bubu, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan apung, dan hand line. Jumlah unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan(2000– 2005).

Jumlah unit penangkapan pada tahun (unit)

Jenis alat tangkap

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

(41)

Tabel 2 Jumlah trip perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Kabupaten

Jaring Insang Hanyut 10.800 24.700 18.460 31.515 18.400 33.600

Jarin Insang Tetap 48.360 8.640 8.579 13.900 10.400 21.000

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

2.1.2 Perahu/kapal penangkap ikan

Suatu armada merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002), dengan kata lain Armada Perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Monintja (2001) menyatakan armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan, yang terdiri dari kapal, alat tangkap, dan nelayan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengelolaan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

Soekarsono (1995) menyatakan bahwa kapal adalah suatu bentuk konstruksi yang dapat terapung (floating) di air dan mempunyai sifat muat berupa penumpang

atau barang, yang sifat geraknya dapat menggunakan dayung, angin dan mesin yaitu :

(42)

Kapal yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan dayung (oar) di samping kiri/kanan lambung (hull) kapal.

(2) Penggerak angin

Kapal yang konstruksinya menggunakan tiang-tiang layar dan beberapa macam layar (sail) untuk memanfaatkan tenaga hembusan angin pada layar kapal tersebut.

(3) Tenaga mesin

Kapal yang mempunyai ruang mesin di dalam lambung kapal di mana mesin tersebut mampu menggerakkan baling-baling (propeller) kapal sebagai sarana dorong/gerak kapal.

Perahu atau kapal digunakan untuk mengangkut nelayan, alat-alat penangkap dan hasil tangkapan dalam rangka penangkapan dengan bagan, sero, kelong dan lain-lain termasuk perahu atau kapal penangkap (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2002). Kapal-kapal yang dipakai dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hayati perikanan, dikenal dengan nama kapal ikan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam tujuan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tersebut serta jenis dan bentuk yang berada sesuai dengan tujuan usaha, keadaan perairan, fishing ground, dan lain sebagainnya (Pasaribu, 1985).

Nomura dan Yamazaki (1975), secara garis besar mengelompokkan kapal ikan menjadi empat jenis yaitu :

(1) Kapal yang khusus digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Termasuk dalam kelompok kapal penangkapan ikan adalah kapal yang khusus dipakai dalam usaha menangkap dan mengumpulkan sumberdaya hayati perairan, antara lain kapal pukat udang, perahu pukat cincin, perahu jaring insang, perahu payang, perahu pancing tonda, kapal rawai, kapal huhate dan sampang yang dipakai dalam mengumpul rumput laut, memancing dan lain-lain.

(2) Kapal induk adalah kapal yang dipakai sebagai tempat mengumpulkan hasil tangkapan, mengangkut dan mengolahnya.

(43)

(4) Kapal penelitian, pendidikan dan latihan adalah kapal ikan yang digunakan untuk keperluan penelitian, pendidikan dan latihan penangkapan yang pada umumnya adalah kapal-kapal milik instansi atau dinas.

Pasaribu (1985) mengatakan bahwa peningkatan armada perikanan diperlukan : (1) penguasaan teknologi perkapalan, khususnya kapal perikanan; (2) permodalan; (3) man power; dan (4) kebijaksanaan-kebijaksanaan dan operasionalnya yang realistis dan terarah.

Secara umum perahu atau kapal penangkap di Indonesia diklasifikasikan sebagai berikut (Ditjen Perikanan Tangkap, DKP, 2002) :

(1) Perahu tidak bermotor, yang terdiri atas : (i) Jukung

(ii) Perahu papan, yang terdiri atas :

(a) Kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 m) (b) Sedang (perahu yang terbesar panjangnnya dari 7 sampai 10 m) (c) Besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 m atau lebih) (2) Perahu motor tempel

(3) Kapal motor, yang dapat dikategorikan berdasarkan ukurannya, yaitu : (i) Kurang dari 5 GT

(44)

zona II atau jalur 2 dengan jarak 4 mil – 8 mil dari garis pantai. Perikanan skala besar merupakan perikanan industri yang menggunakan mesin dalam dengan kekuatan < 200 HP atau 100 GT dan jalur operasinya pada jalur 3 dan 4 dengan jarak 8 mil – 12 mil dari garis pantai dan atau > 12 mil. Selanjutnya Soekarsono (1995), mengklasifikasikan kapal perikanan menurut fungsinya, yaitu kapal tonda (troller), kapal rawai dasar (bottom long liner), kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal pukat cincin (purse seiner), kapal jaring insang (gillnetter), kapal bubu (pot fishing vessel), kapal pikat udang (shrimp trawler), kapal set net, kapal pengangkut ikan dan jenis kapal lainnya.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki jumlah perahu/kapal penangkapan ikan dengan kategori: (1) Perahu tanpa motor yang terdiri dari: jukung, perahu papan kecil, sedang dan besar, (2) Perahu motor tempel dan, (3) Kapal motor yang terdiri dari: 0-5 GT, 5-10 GT dan 10-20 GT.

Perahu atau kapal yang digunakan nelayan Kabupaten Lampung Selatan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), dan kapal motor (KM). Perahu tanpa motor dan perahu motor tempel merupakan jenis perahu yang mendominasi kegiatan penangkapan ikan, karena harga perahu ini terjangkau bagi sebagian besar nelayan di Kabupaten Lampung Selatan. Perkembangan perahu/kapal penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah perahu/kapal perikanan tangkap Kabupaten Lampung Selatan (2000-2005)

Kategori Perahu/Kapal (unit)

Dengan perahu tanpa motor Dengan kapal motor

Perahu papan Ukuran kapal motor (GT)

Tahun

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

2.1.3 Nelayan

(45)

penarik jaring), maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkapan ikan) sebagai mata pencaharian”. Inti pengertian batasan ini menyatakan, bahwa nelayan adalah pekerjaan orang yang kerja utamanya menangkap ikan. Batasan pengertian yang ada pada ensiklopedi Indonesia itu, tampaknya diikuti sama persis didalam statistik perikanan Indonesia dalam angka, 1992 yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta 1995, bunyinya adalah sebagai berikut: ”Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binantang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat/perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan dari perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan, tetapi ahli mesin, juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan”. Menurut Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 10 disebutkan, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Selanjutnya pada pasal 1 ayat 11 disebutkan, Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Nelayan penuh: yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. (2) Nelayan sambilan utama: yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Di samping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempunyai pekerjaan lain.

(46)

Tabel 4 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Lampung Selatan (2000– 2005) Tahun Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP)

2000 1.145

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

2.2 Sumberdaya Perikanan Tangkap

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi, 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan laut perlu dilakukan dengan prinsip dan kaidah yang benar. Esensi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah mencari keseimbangan antara eksploitasi dan kemampuan (daya) reproduksi atau daya pulih sumberdaya (Nikijuluw, 2005). Bila keseimbangan dapat dicapai, maka meskipun di satu sisi sumberdaya dieksploitasi secara terus menerus, di sisi lain sumberdaya tersebut masih memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri.

Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (pasal 1), Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

(47)

perikanan multi spesies. Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan demersal dan pelagis (Direktorat Jenderal Perikanan, 1997).

Secara umum sumberdaya hayati laut dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok (Naamin dan Badrudin, 1992 yang diacu dalam Ihsan, 2000) :

(1) Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan yang hidup di atau dekat dasar perairan.

(2) Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berada di sekitar permukaan. (3) Sumberdaya ikan pelagis besar, yaitu jenis ikan oseanik yang bermigrasi sangat

jauh (seperti tuna dan cakalang) dan,

(4) Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya.

Sumberdaya perikanan tangkap yang didaratkan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan cukup beragam. Namun dari sekian banyak ikan yang didaratkan tersebut, terdapat 14 (empat belas) jenis ikan utama yang didaratkan seperti ikan kembung (Indian mackerel), teri (anchovies), selar (trevallies), kurisi (threadfin breams), kuwe (trevallin), tongkol (eastem little tuna), tenggiri (narrow barred king mackerel), lemuru (Indian oil sardines), layur (hair tails), peperek (pony fishes/sleep mouths), ekor kuning (yellow tail/fusiliers), udang putih (banana prawn), layang (scads), cumi-cumi (common squid).

(48)

Tabel 5 Produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Kabupaten

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

Adapun perkembangan jumlah volume produksi dan nilai produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan yang dominan di Kabupaten Lampung Selatan, disajikan pada Tabel 6, sedangkan nilai produksinya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6 Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Lampung

(49)

Tabel 7 Nilai produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Lampung Selatan (2000 – 2005)

Tahun (x Rp 1000) Jenis Ikan

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Peperek 2.393.300 2.172.800 2.699.790 1.305.000 1.861.440 912.200 Kuwe 1.758.400 4.539.060 3.485.300 5.874.000 11.624.120 11.307.700 Layur 1.163.750 903.975 4.816.800 3.108.900 2.310.520 4.103.200 Kurisi 1.144.150 2.314.200 5.523.920 3.895.220 2.166.720 5.544.000 Layang 2.405.200 3.368.350 11.056.660 9.144.000 6.336.540 11.450.800 Selar 1.974.700 4.429.350 8.616.020 6.260.800 7.158.770 9.948.600 Lemuru 699.300 1.727.103 2.479.080 3.840.200 6.604.640 5.822.100 Kembung 6.909.650 8.381.375 16.400.080 16.744.500 22.177.750 21.023.100 Teri 4.317.250 24.096.875 7.195.740 8.781.600 13.871.400 20.737.500 Tenggiri 2.784.100 1.025.325 2.868.720 6.497.200 7.984.344 10.300.500 Tongkol 4.483.800 6.576.675 7.090.940 5.124.200 5.015.700 6.325.000 Ekor Kuning 789.950 2.159.700 1.341.270 1.257.200 1.354.490 1.422.900 Udang Putih 1.237.600 3.987.000 774.600 11.886.600 15.134.100 10.539.500 Cumi-cumi 1.336.050 3.880.000 2.609.260 5.640.700 6.073.080 7.065.100

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan (2006)

2.3 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap

Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti upaya perubahan dari suatu yang kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai lingkungan sosial, disertai dengan meningkatnya taraf hidupnya. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan industri perikanan tidak dapat dilepaskan dari pengembangan bisnis perikanan secara holistik. Pemberdayaan industri pengolahan ikan tidak cukup jika hanya dilakukan dengan membenahi salah satu subsistem saja, melainkan harus menyehatkan pula keseluruhan jaringan kelembagaan bisnis perikanan (Pranaji, 2000). Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya adalah: (1) pengembangan prasarana perikanan, (2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan, (4) pengembangan sistem informasi manajemen perikanan.

(50)

meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989 yang diacu Sultan, 2004). Dalam kegiatan perikanan tangkap untuk dikembangkan, ada beberapa aspek yang berpengaruh antara lain :

(1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan sumberdaya ikan, sebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapanan dan jenis spesies.

(2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat. (3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak

usaha terhadap nelayan.

(4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholder.

Usaha perikanan tangkap adalah sebuah sistem yang tediri dari berbagai elemen yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pada lingkungan yang sangat kompleks. Manetsch dan Park (1976) yang diacu oleh Sultan (2004), mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditentukan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan memadai (Monintja, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memenuhi penyediaan protein masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas nelayan per tahun tinggi, namun masih dapat dipertanggung jawabkan secara biologis dan ekonomis.

Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan Indonesia haruslah dapat : (1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak.

(2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan. (3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi.

(51)

Berdasarkan skala usahanya, usaha perikanan tangkap dapat dikelompokan menjadi perikanan rakyat maupun perikanan industri. Perikanan rakyat umumnya mempunyai skala usaha yang kecil, sarana dan prasarana penangkapan terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena modal usaha yang dimiliki terbatas. Kegiatan penangkapan ikan dalam perikanan rakyat umumnya dilakukan secara tradisional. Dengan kondisi di atas, maka produksi yang diperoleh relatif rendah dan daya penangkapan serta pemasaran sangat terbatas (Monintja et al., 2001).

Perikanan industri pada umumnya memiliki modal usaha yang lebih besar dan sarana serta prasarana yang lebih lengkap. Akibatnya produksi per upaya penangkapan lebih besar dibandingkan dengan perikanan rakyat. Dengan kondisi sarana yang lebih lengkap, mutu hasil tangkapanan akan lebih baik dan dapat memenuhi persyaratan yang diminta oleh pasar, termasuk pasar ekspor.

2.4 Teori Sistem

Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan entitas atau komponen yang saling berhubungan dan terorganisasi membentuk satu kesatuan untuk mencapai tujuan atau sekelompok tujuan (Manetsch and Park, 1979; Wetherbe, 1988). Menurut Eriyatno (1999), sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Menurut Hartrisari (2004), sistem adalah kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

(52)

Dengan mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem,

maka pengkajian suatu permasalahan sebaiknya memenuhi karakteristik : (1) Komplek, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) Dinamis, dalam arti

faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) Probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok oleh para ahli sistem dalam merekayasa solusi

permasalahan, yaitu (1) Sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) Holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan

(3) Efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.

2.5 Pengambilan Keputusan

AHP (Analytical Hierarchy Procces) adalah salah satu alat analisis (tools analysis) pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumberdaya, serta penentuan bobot dan prioritas alternatif strategi atau kebijakan (Saaty, 1988), bahkan bisa juga digunakan untuk memilih portofolio, analisis biaya manfaat, peramalan, dan lain-lain (Mulyono, 1996). Metode ini dapat digunakan untuk kondisi pengambilan keputusan banyak kriteria, ketidakpastian serta ketidaksempurnaan data dan informasi, dan dibutuhkan segera untuk diimplementasikan. AHP merupakan suatu pendekatan sistem yang digunakan untuk menelaah konsistensi dari suatu kebijakan strategi yang bersifat hirarki. Kompleksitas permasalahan yang terkait dengan pengambilan keputusan distrukturkan dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif terhadap alternatif keputusan.

Metode ini dkembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Mulyono (1999) menyatakan bahwa pendekatan AHP adalah salah satu bentuk operations research (OR) yang sudah kembali pada ciri operasionalnya. Metode ini telah diaplikasikan dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, dan manajemen. Expert Choice adalah software (program komputer) yang umum digunakan untuk membantu proses analisis AHP, karena disain program ini telah disesuaikan dengan kebutuhan proses analisis dan dibangun untuk memudahkan pengguna (user friendly).

Gambar

Tabel 1 Jumlah unit penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan(2000– 2005).
Tabel 2 Jumlah trip perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan (2000 – 2005)
Tabel 7 Nilai produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan di Kabupaten Lampung
Gambar 2  Peta Kabupaten Lampung Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dinamika partai politik yang terjadi di tingkat nasional kerap tidak berpengaruh di Sulawesi Utara, namun kali ini menjadi lain ketika salah satu kader yang

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS

Kuisioner adalah sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia

Penyelesaian persamaan Schrödinger untuk potensial tertentu dapat ditemukan dengan cara mengubahnya menjadi persamaan diferensial tipe hipergeometri dengan melalui

Dari tabel di atas terlihat bahwa masyarakat kota Banjarmasin sudah dapat disebut sebagai masyarakat yang majemuk karena dari berbagai keberagaman yang ada seperti

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana membangun suatu sistem pendukung keputusan dengan metode ANP dan TOPSIS yang dapat membantu pengambil keputusan

Dilihat dari derajat skoliosis diperoleh nilai p &gt; 0,05 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan rerata yang bermakna antara rerata sebelum,sesudah dan selisih latihan

Apabila ion klorida atau bromida telah habis diendapkan oleh ion perak, maka ion kromat akan bereaksi dengan ion perak membentuk endapan perak kromat yang