• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun Oleh:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun Oleh:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202

Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI Bismillahirrahmanirrahim

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Yusuf Khairul Gunawan

NIM : 20120610202

Judul Skripsi KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

DALAM PENANGGULANGAN

KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH

HUKUM DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan skripsi ini adalah betul-betul

hasil karya dari saya sendiri berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan

asli dari saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan skripsi ini

diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

akademik berupa pencabutan penulisan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum skripsi ini.

Yogyakarta, 6 September 2016

Yang menyatakan

Yusuf Khairul Gunawan

(4)

MOTTO

“ Maha Tinggi Allah raja yang sebenar

-benarnya, dan janganlah kamu

tergesa-

gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan

mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku,

tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

(Q.S Thaha Ayat 114 : 20)

Melakukan Hal Buruk Hanya Akan Membuatmu Terpuruk,

Lakukan Hal Baik Maka Kamu Akan Naik

(Yusuf Khairul Gunawan)

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan penulisan hukum (skripsi) ini kepada :

Seseorang yang telah mempertaruhkan hidup dan matinya ketika melahirkanku dan

selalu menasehatiku untuk orang yang lebih baik, yaitu Ibunda tercinta

Seseorang yang selalu mengorbankan seluruh hidupnya untuk memenuhi

kebutuhanku, yaitu Ayahandaku tercinta

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTARTABEL ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA ... 18

(7)

B. Kebijakan Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP ... 25

C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik dalam Prostitusi ... 29

D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam ... 35

BAB III JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA .. 39

A. Pengertian dan Ciri Prostitusi ... 39

B. Jenis Prostitusi ... 42

C. Penyebab Timbulnya Prostitusi ... 46

D. Akibat Prostitusi ... 48

E. Penanggulangan Prostitusi ... 50

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA ... 54

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi ... 54

1.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 55

2.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 65

3.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi oleh Polda DIY ... 71

B. Kendala Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi ... 74

1.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 75

2.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 84

(8)

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulann ... 91

B. Saran ... 92

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ... ... 57

Tabel 2 ... ... 59

(10)
(11)

xvi

ABSTRAK

Prostitusi merupakan penyakit masyrakat/penyimpangan sosial masyarakat yang dilakukan secara terorganisir yang terdiri dari mucikari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Aturan hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur mengenai mucikari, belum mengatur tentang PSK dan lelaki hidung belang. Belum adanya aturan mengenai PSK dan lelaki hidung belang di hukum positif Indonesia mengakibatkan praktek prostitusi ini tetap ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari penulis dari penulisan ilmiah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi dan kendala apa saja dalam penanggulangan masalah di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Penulisan ilmiah ini menggunakan metode Pendekatan Perundang-undangan dan metode perbandingan mengenai aturan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan cara mencari data-data faktual yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi untuk membantu penulis dalam melakukan analisis. Setelah melakukan penelitian di lokasi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengambil sampel Kabupaten Bantul karena sudah memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi dan Kabupaten Sleman sebagai sampel dari wilayah Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta yang belum memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai yang mewakili dari Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta karena di Kabupaten Sleman sudah terdapat permasalahan kasusnya sementara yang lain belum ada.

Wilayah DIY yang terdiri dari empat Kabupaten (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul) dan satu Kota Madya (Kota Yogyakarta) hanya kabupaten Bantul yang memiliki peraturan larangan prostitusi yaitu dengan adanya Perda Kabupaten Bantul No 5 tahun 2007, sementara lima wilayah lain termasuk kota Yogyakarta belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai sampel dari wilayah kulonprogi, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta karena terdapat kasus mengenai prostitusi yang wilayahnya tetapi belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi, sehingga untuk menindak pelaku hanya bisa secara administratif dengan perda izin gangguan untuk praktek prostitusi dengan modus tempat usaha. Diperlukan kebijakan hukum seperti yang ada di Kabupaten Bantul untuk menanggulangi permasalahan prostitusi sehingga para pelakunya dapat ditindak secara hukum. Aturan mengenai prostitusi yang belum dimiliki oleh beberapa wilayah di provinsi DIY menjadi kendala nyata masih adanya praktek prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini di Indonesia Kejahatan Tindak Pidana yang terjadi di

masyarakat sudah semakin kompleks yang mengakibatkan hukum yang mengatur

untuk mecegah terjadinya tindak pidana tersebut semakin banyak. Kejadian yang

terjadi di masyarakat merupakan efek dari perubahan atau globalisasi yang tidak

mengenal batasan ruang dan waktu. Efek dari hal tersebut mengakibatkan hukum

yang sudah ada tidak mampu untuk mencegah tindak pidana yang semakin

berkembang akan menimbulkan dampak yang meresahkan masyarakat.

Diperlukan suatu kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi dan

mengatasi persoalan prostitusi yang semakin meresahkan masyarakat. Hal ini

dikarenakan hukum yang digunakan untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang

ada di Indonesia merupakan warisan Belanda pada masa penjajahan dahulu,

sehingga perlu adanya perubahan atau penambahan mengenai ketentuan-ketentuan

yang ada di dalamnya untuk mengimbangi tindak-tindak pidana baru yang

bermunculan seperti masa sekarang ini. Banyak pelaku tindak pidana baru yang

belum bisa dijerat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai

hukum pidana yang masih digunakan seperti sekarang ini. Diperlukan suatu

kebijakan hukum terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk

menanggulangi tindak kejahatan seperti prostitusi. Akan tetapi perlu adanya kajian

lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sebagai

(13)

2

tindak pidana. Menurut Marc Ancel diperlukan suatu kebijakan hukum pidana atau

dikenal dengan “penal policy” yang berarti suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada

pembuat undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.1

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak kejahatan yang belum bisa diatasi

oleh hukum positif yang ada. Apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan oleh

masyarakat yang dimana hal tersebut belum diatur oleh Undang-Undang yang ada

maka hukuman yang diberikan bagi yang melanggar adalah sanksi sosial dari

masyarakat dengan tidak ada batasan waktu serta kewajiban apa yang harus

ditanggung bagi yang melanggar. Diperlukan usaha dan kebijakan untuk membuat

peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari

penanggulangan kejahatan yang dalam hal ini adalah prostitusi.2 Banyak kejahatan

yang terjadi di masyarakat yang hanya diselesaikan dengan norma-norma dan

hukum adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, misalanya dalam kasus

prostitusi, seseorang yang terlibat dalam kasus prostitusi hanya akan mendapatkan

sanksi sosial dari masyarakat. Hal ini merupakan permasalahan yang timbul karena

hukum yang tidak mengikuti pola perkembangan kejahatan yang semakin maju

karena perkembangan zaman. KUHP sebagai salah satu pendoman untuk

menyelesaikan persoalan tersebut hanya dapat memberikan sanksi kepada mucikari

atau penyedia jasanya saja. Belum adanya kebijakan hukum yang mengatur secara

1 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP

Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm. 23.

(14)

3

tegas mengenai larangan prostitusi, hanya disebutkan dalam Pasal 296 dan 506

KUHP yang hanya menyebut si mucikari (penyedia jasa). Akibat dari kebijakan

hukum pidana yang belum mengatur prostitusi menyebabkan belum efektinya

kebijakan hukum yang ada, oleh sebab itu muncul beberapa peraturan di daerah

provinsi maupun kabupaten misalnya seperti Perda Bantul No 5 Tahun 2007

tentang larangan prostitusi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dulunya

mempunyai Perda No 18 Tahun 1954 tentang Larangan Pelacuran di Tempat

Umum, akan tetapi karena terbenturnya aturan Perda DIY No 18 Tahun 1954 hanya

mengatur megenai pelacuran yang dilakukan di tempat umum sehingga untuk

sekarang Perda tersebut sudah dihapusakan. Prostitusi tidak hanya mucikari atau

penyedia jasa saja yang andil dalam praktek haram tersebut. Dalam prostitusi

terdapat beberapa pihak yang saling berkaitan satu sama lain dalam melakukan

tindakan prostitusi tersebut, antara lain ada mucukari, Pekerja Seks Komersial

(PSK), dan lelaki hidung belang. Mucikari disini bertugas sebagai penyedia jasa

bagi para lelaki hidung belang yang menginginkan kepuasan seksualnya. PSK

bertindak sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk melayani

aktivitas seksual para lelaki hidung belang dengan maksud untuk mendapatkan

upah atau imbalan atas jasa yang diberikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan

lelaki hidung belang adalah seorang laki-laki yang menyukai wanita bukan karena

cinta melakinkan karena nafsu seksual yang dimilikinya lebih daripada laki-laki

normal lainnya. Rangkaian proses tersebut merupakan alur untuk mencapai suatu

tujuan yang menguntungkan masing-masing pihak baik dari mucikari, PSK, dan

(15)

4

Fenomena prostitusi bukan lagi menjadi hal tabu untuk dibicarakan oleh

banyak pihak. Sejak terkuaknya kasus prostitusi di dunia maya yang melibatkan

artis berinisial AA, prostitusi menjadi bahan perbincangaan yang menarik bagi

akademisi, praktisi dan aparat yang mengkritik mengenai kasus prostitusi tersebut.

Dapat dilihat seiring dengan berjalannya waktu, pembicaraan di media terkait

prostitusi yang melibatkan AA ini hanya menjerat sang mucikari yang berinisial

RA sang mucikari karena dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan Pasal 296

dan Pasal 506 KUHP yang dapat dijerat dengan hukum adalah mucikari atau si

penyedia jasa prostitusi dengan hukuman maksimal satu tahun empat bulan dan

denda Rp 15.000,00 rupiah.3

Hal ini menjadi concern tersendiri bagi Senator dari Provinsi DKI Jakarta,

Fahira Idris. Menurut beliau “Tidak tegasnya aturan hukum kita terkait prostitusi

menjadi faktor yang sangat signifikan maraknya prostitusi terutama prostitusi

online,” kata beliau dalam diskusi yang bertajuk “Fenomena Prostitusi Gaya Baru”

di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (27/5).4 Perlu adanya pembaharuan atau

revisi atau bahkan membuat aturan baru yang pokoknya untuk menangani kasus

prostitusi karena hukum yang digunakan sekarang untuk menjerat pelaku prostitusi

belum mencerminkan nilai keadilan terutama keadilan sosial. Hal ini bisa dilihat

sesuai apa yang telah disampaikan penulis di atas bahwa yang dapat dijeran dengan

3 Dini Nurilah, Merebaknya Bisnis Prostitusi Online di Ibukota, 19 Mei 2015,

http://news.liputan6.com/read/2234578/merebaknya-bisnis-prostitusi-online-di-ibukota, diunduh pada hari Rabu 3 Agustus 2016, jam 22:17 WIB.

4 Fahira Idris, Perlu Ada Sanksi Tegas Bagi Pelanggan PSK, 27 Mei 2015,

(16)

5

hukum pada kasus prostitusi hanyalah si penyedia jasa prostitusi atau mucikarinya

saja. Padahal dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah penyertaan

(deelneming) yang dapat diartikan apabila terjadi dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang

tersangkut dalam tindak pidana tersebut.5

Kaitannya dengan kasus prostitusi apakah hukum pidana saat ini sudah

efektif untuk menanggulangi kasus prostitusi khususnya di wilayah hukum Daerah

Istimewa Yogyakarta, karena dalam prakteknya hanya mucikari atau penyedia jasa

prostitusi saja yang hanya bisa dikenakan sanksi hukum. Sementara pihak lain yang

terlibat dalam kasus prostitusi yang dalam hal ini adalah PSK dan lelaki hidung

belang tidak mendapakan sanksi secara pidana seperti si mucikari. Menurut penulis

apakah kebijakan hukum pidana dalam menyelesaikan kasus prostitusi sudah

memberikan rasa keadilan dengan hanya menghukum mucikari atau penyedia jasa

saja sementara PSK dan lelaki hidung belang hanya mendapat sanksi sosial dari

masyarakat, hal tersebut menjadi inti dari pembahasan dalam tugas akhir ini yang

lebih lanjutnya akan disampaikan oleh penulis pada bagian selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus

prostitusi di wilayah hukum Daerah istimewa Yogyakarta?

5 Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan gabungan Tindak Pidana, Jakarta,

(17)

6

2. Apa saja kendala dalam penegakan hukum prostitusi di wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam

penanggulangan kasus prostitusi.

2. Untuk mengetahui bagaimana kendala dalam penegakan hukum terhadap

masalah prostitusi di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila haruslah

memberikan perlindungan hukum kepada masyarakatnya sesuai dengan yang

disebutkan di dalam Pancasila yaitu sila ke-5, yang bunyinya “Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga perlu tindakan yang nyata untuk mewujudkan

keadilan sosial tersebut akan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebagai

negara hukum sudah sepatutnya hukum dijadikan sebagai landasaan atau ujung

tombak dalam penyelesaian suatu pelanggaran dan sengketa yang terjadi di dalam

masyarakat guna mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan apa yang tertuang

dalam Pancasila yakni sila ke-5. Dalam penegakan hukum sudah seharusnya para

aparat penegak hukum sadar bahwa tugas pokok dan fungsinya sudah diatur sesuai

dengan apa yng tercantum dalam UUD 1945 dan UU lainnya sebagai landasan

untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat serta sebagai kontrol agar

(18)

7

hukum yang dilakukan oleh masyarakat sudah seharusnya aparat penegak hukum

melaksanakan tugasnya sesuai koridor hukumnya. Seseorang yang melakukan

suatu pelanggaran maka ia harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang

diperbuatnya. Dalam kasus prostitusi apakah sudah menjunjung tinggi keadilan

sosial dalam penegakan hukumnya karena pada saat ini yang bisa dikenakan hukum

dalam kasus prostitusi hanyalah mucikari saja. Padahal dalam prostitusi terdapat

pihak pelaku (PSK) dan pelanggan (lelaki hidung belang) yang ikut andil dalam

suatu kasus prostitusi tersebut. Di Negara-Negara modern, hampir setiap perbuatan

prostitusi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan. Seperti yang

dikemukakan oleh W.A Bonger bahwa kejahatan merupakan sebagian dari

perbuatan yang imoral, oleh sebab itu perbuatan imoral adalah perbuatan

antisosial.6

Sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh penulis di atas apakah

hukum yang berlaku di Indonesia yang pada pokoknya mengatur mengenai kasus

prostitusi ini hanya bisa menjerat mucikarinya saja ataukah perlu adanya revisi dan/

pembaharuan mengenai hukum pidana. Sekarang ini belum ada UU khusus yang

digunakan untuk menyelesaikan kasus prostitusi ini. Apabila terjadi pelanggaran

yang dalam hal ini adalah kasus prostitusi landasan hukum untuk menyelesaikannya

hanya mengacu seperti yang ada di dalam KUHP Buku ke-2 BAB XIV dari Pasal

281-309 dan Buku ke-3 BAB II Pasal 506. Oleh karena itu maka menurut penulis

perlu aturan baru yang bisa dijadikan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus

(19)

8

prostitusi yang dari waktu ke waktu semakin pesat perkembangannya, bahkan

sudah menjarah kaum muda bangsa.

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.7

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8

Bertolak dari pengertian yang demikian Prof. Sudarto selanjutnya

mengatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik

dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.9 Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan, bahwa melakssanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.10

Menurut A. Mulder11, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

7 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159.

8 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.

9 Ibid., hlm. 161. 10 Ibid., hlm. 93.

11 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

(20)

9

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.

Definisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel12 yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:

a. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.

b. suatu prosedur hukum pidana.

c. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).

Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana (penal policy) itu pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan

memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),

kebijakan aplikasi (yudikatif), dan pelakssanaan hukum pidana (kebijakan

eksekutif). Hal ini perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemeritah

dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan hukum pidana tersebut.

Dalam kaitannya dengan penulisan ilmiah ini menurut penulis perlu adanya suatu

landasan atau dasar mengenai prostitusi untuk menyelesaikannya yang makin lama

semakin meresahkan masyarakat banyak. Sampai saat ini belum terdapat

undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai prostitusi ini. Banyak pelaku

12 Marc Ancel dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

(21)

10

seperti yang banyak diberitakan di media sekarang ini yang hanya mendapatkan

pembinaan sehingga tidak ada pertanggungjawaban atas perbuatannya.

2. Kebijakan Penanggulangan Prostitusi

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah

“politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.Menurut G. P.

Hoefnagles13 upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,

yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar

hukum pidana).

Secara garis besar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan

kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressif”

(penindasan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan

jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”

(pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan

sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga

dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14 Dalam kasus prostitusi

sudah ada tindakan preventif yang dilakukan untuk menanggulanginya, akan tetapi

banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan tersebut seperti sia-sia.

Diperlukan tindakan repressif juga untuk menanggulangi kejahatan prostitusi agar

para pelaku mendpatkan efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Harus

ada peraturan khusus mengenai prostitusi agar ada kepastian hukum dan para

pelaku dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.

13 G. P. Hoefnagels dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm. 34.

14 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep

(22)

11 3. Pelaku Tindak Pidana Prostitusi

Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus

dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan.

Menurut W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschappelijke Orzaken der

Prostitutie”, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri

melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian.15 Dalam hukum

pidana dijelaskan dalam Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan

sebagai berikut: “Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasannya, dengan

sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain,

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau

denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah”.16 Pada penjelassan diatas lebih condong

untuk para mucikari atau penyedia jasa prostitusi saja yang dapat dikenakan oleh

undang-undang yang ada. Padahal dalam realitanya Prostitusi terdiri dari rangkaian

peristiwa dimana di dalamnya tidak hanya terdapat satu pelaku melainkan banyak

pelaku. Selain mucikari ada PSK dan lelaki hidung belang yang ikut dalam

rangkaian perbuatan yang merupakan penyakit masyarakat tersebut. Harus ada

peraturan yang tegas untuk mengatur mengenai hal tersebut agar semua pelaku

dalam prostitusi dapat dikenakan jeratan hukum agar menimbulkan efek jera

sehingga dapat menanggulangi penyakit masyarakat tersebut (prostitusi).

E. Metode Penelitian

15 W.A. Bonger dalam, bukunya Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT

Rajagrafindo Persada, 1981, hlm. 214.

16 Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, Pt Rajagrafindo Persada, 1981, hlm.

(23)

12

Dalam menyusun dan menulis suatu karya ilmiah penentuan metode dalam

sebuah penelitian merupakan hal yang sangat penting bagi penulis. Metode

penelitian yang akan digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum sosioligal atau

penelitian hukum kepustakaan dan penelitian hukum lapangan. Penelitian

normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah

sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

kaidah-kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

perjanjian serta doktrin (ajaran). Penelitian empiris adalah penelitian hukum

yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana

bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.17

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis meggunakan metode pendekatan

Perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan cara mencari data-data faktual yang ada di dalam peraturan perundang-undangan sebagai

landasan untuk membantu penulis dalam menganalisis. Selain itu penulis juga

menggunakan metode pendekatan Perbandingan (comparatvie approach) yang dilakukan dengan cara memperbandingkan suatu isu hukum dilihat dari

berbagai sistem hukum yang biasanya akan dilakukan dengan perbandingan

unsur-unsur seperti substansi, struktur dan budaya antara sistem hukum yang

satu dengan sistem hukum lainnya.

17 Mukhti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum

(24)

13 3. Sumber data

Sumber data adalah subjek dari mana peneliti memperoleh informasi

yang akan digunakan untuk penelitian ini. Sumber data dalam penulisan ini

terdiri dari:

a. Sumber Data Primer

Sumber Data Primer didapatkan berdasarkan hasil penelitian

lapangan di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta melalui

lembaga-lembaga yang terkait dengan karya ilmiah ini. Penelitian yang digunakan

untuk mencari sumber data primer ini menggunakan teknik wawancara.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yang merupakan bahan hukum, yaitu data yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumentasi. Dengan demikian data yang digunakan untuk menunjang

penelitian ini terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan kepustakaan yang berisikan

peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

(25)

14

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis,

yaitu:

1. Buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan Prostitusi.

2. Makalah-makalah yang berkaitan dengan Prostitusi.

3. Jurnal-jurnal dan literatur yang berkaitan dengan Prostitusi.

4. Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang

tertulis maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan Prostitusi.

5.Media massa baik media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier

1. Kamus.

2. Ensiklopedia.

4. Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini penulis akan melakukan penelitian di wilayah

hukum Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputu Satuan Polisi pamong

Praja Kabupaten Bantul dan Sleman, Pengadilan Negeri Bantul serta

Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

5. Narasumber

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Batul Bapak

Anjar Arintaka Putra, selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan

Perundang-undangan dan Kabupaten Sleman yakni Bapak Rusdi Rais SH.,

selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-undangan, DIT

RESKRIMUM Polda DIY yakni Bapak Sumadi, selaku Kanit Susila Polda

(26)

15 6. Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan yakni dengan teknik wawancara

dan pengumpualan dokumen yang dilakukan di Satpol PP Kabupaten

Bantul dan Kabupaten Sleman, Pengadilan Negeri Bantul, serta Polda DIY

untuk menunjang penelitian ini.

7. Metode analisis data

Setelah semua data tersebut terkumpul, akan dianalisis secara

perspektif deskriptif, dimaksud untuk memberikan gambaran secara jelas,

sistematis, objektif dan kritis yang dipaparkan dalamhukum positif mengenai

fakta-fakta yang bersifat normatif maupun empiris tentang permasalahan yang

dibahas, dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dan isi

penulisan skripsi ini, maka penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi 5 (empat)

bab, adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bagian ini memberikan gambaran mengenai

topik penelitian yang hendak disajikan. Pada bab pertama ini

memuat tentang, latar belakang masalah, perumusan masalah,

maksud dan tujuan penulis, manfaat penulisan, kerangka teoritis dan

kerangka analisis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, bagian ini memberikan

gambaran bagaimana kebijakan hukum pidana yang berhubungan

(27)

16

kebijakan hukum pidana yang memuat kebijakan hukum pidana,

kebijakan hukum KUHP dan RUU KUHP mengenai masalah

prostitusi, kebijakan kriminalisasi dan delik tentang prostitusi.

BAB III : JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN,

bagian ini menyajikan beberapa aspek yang berhubungan dengan

topik peneltian.Pada bab ketiga ini penulis menguraikan tentang

pengertian dari prostitusi, jenis prostitusi, penyebab timbulnya

prostitusi, akibat

BAB IV : HASIL DAN ANALISIS DATA, bagian ini menyajikan hasil

penelitian beserta analisis penulis pada penulisian ilmiah ini. Pada

bab empat ini berisikan tentang hasil penelitian pada Satpol PP

Kabupaten Bantul, Pengadilan Negeri Bantul, yang berupa data

tindak pidana prostitusi di wilayah yang sudah mempunyai peraturan

daerah mengenai larangan prostitusi, selain itu juga hasil penelitian

di Satpol PP Kabupaten Sleman dan Polda DIY untuk mengetahui

bagaimana kebijakan yang timbul di wilayah hukum Daerah

istimewa Yogyakarta yang belum mempunyai perda mengenai

larangan prostitusi atau pelacuran.

BAB V : PENUTUP, pada bagian ini berisi mengenai saran dan kesimpulan

mengenai topik dari penulisan ilmiah ini. Pada bab kelima ini

penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran penulis

(28)

18 BAB II

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana

Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ”policy” (Inggris)

atau “politiek” (Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai

prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak

hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,

masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan

perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan

(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran

masyarakat (Warga Negara).1

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum

pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing

istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.2

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik

hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah3:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat.

1 Lilik Mulyadi, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni

Bandung, 2008,hlm. 389.

2 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, 1999, hlm : 10.

(29)

19

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna.5 Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa

melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.6

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik

hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan

merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut

Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah

mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan

melihat penegakkannya saat ini.7 Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi

penal policy” dari Marc Ancel yakni “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.8

Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the

4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.

5 Ibid. hlm.161. 6 Ibid. hlm. 93 dan 109.

7 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy

Dalam

Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm. 66.

8 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep

(30)

20

positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan dengan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut

Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” yang

dikemukakan oleh Sudarto.9

Menurut A. Mulder10, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

b. diperbarui.

c. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

d. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

yang

e. harus dilaksanakan.

Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:

a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.

b. Suatu prosedur hukum pidana.

c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.11

Usaha dan kebijakan untuk membuat suatu peraturan hukum pidana yang

baik pada hakikaktnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan. Dalam artian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan

9 Ibid. 28.

10 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm.27.

(31)

21

bagian dari politik kriminal. Dilihat dari politik kriminal, maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana sering dikatakan sebagai bagian dari

penegakan hukum (law enforcement policy). Selain itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pula apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy).

Kebijakan sosial (social policy) apat diartikan sebagai segala usaha yang rasional demi mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan bagi masyarakat. Pengertian “social policy” dalam tulisan ini

mencakup juga didalamnya “social welfare policy” dan “social defencce policy”.

Melihat penjelasan di atas dapat ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum

pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai

aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan

penegakan hukum). Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus

merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan

kebijakan yang melatarbelakangi pembaharuan tersebut. Pembaharuan hukum

(32)

22

reorientassi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi

kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengang menggunakan penal policy (hukum pidana) yakni mengenai penentuan:

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

pelanggar.12

Dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara

kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Hal ini berarti pemcahan-pemecahan

masalah di atas harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari

kebijakan sosiopolitik yang telah ditetapkan. Dalam arti lain, kebijakan hukum

pidana juga termasuk dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula

dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Prof. Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum

pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan

pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan

dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupaka Penal Policy (Penal Law Enforcement Policy), yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi

12 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep

(33)

23

(kebijakan administratif). Dilihat dalam artian luas, kebijakan hukum pidana dapat

mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang

hukum pidana formal dan di bidang pelaksanaan pidana.

Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dabat dibagi dua, yaitu

lewat jalur “penal” (hukum pidana) seperti apa yang telah penulis terangkan di atas

dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Menurut G. P.

Hoefnagles13, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Upaya-upaya yang disebutkan oleh G. P. Hoefnagles diatas pada butir (b)

dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “nonpenal”.

Secara kasar dapat dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan

lewat jalur “Penal” lebih menitikberatkan pada sifat “represif”

(pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur

“nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan

sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakekatnya juga

dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14

13 G. P. Hoefnsgles dalam bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan

penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm. 45.

(34)

24

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih

bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya

adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah atau kondisi-kondisi sosial

yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.

Dilihat dari sudut pandang politik kriminal secara makro dan global, maka

upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi

sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif

penyebab timbulnya kejahatan, hal tersebut jelas merupakan masalah yang tidak

dapat diatasi semata-mata dengan “penal policy”. Di sinilah keterbatassan jalur

“penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu

jalur “nonpenal” untuk mengatasai masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di

atas adalah lewat jalur “kebijakan sosial”. Kebijakan sosial pada dassarnya adalah

kebijakan atau upaya-upaya yang secara rassional untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat.

Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendpat perhatian

adalah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesejahteraan keluarga, serta

masyarakat luas pada umumnya. Apabila dilihat dari penjelasan sebelumnya,

menurut penulis pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan

keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk

mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan sangat penting dan strategis peranannya.

(35)

25

pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang

sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Hal ini berarti penggarapan kesehatan

masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai slah satu upaya nonpenal

dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada penddekatan

religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.

B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP

1. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP

Berdasarkan Pasal 296, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan

menjdadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Selain pada Pasal 296 dalam Pasal 506 juga menerangkan bahwa, barang siapa

menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya

sebaga pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Di

dalam KUHP yang sekarang Pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi

hanya bisa digunakan untuk mucikari saja, sedangkan untuk PSK dan lelaki hidung

belang tidak bisa. Hal ini dikarenakan bahwasannya dalam KUHP yang sekarang

tidak ada satupun Pasal yang bisa digunakan untuk menjerat si PSK dan lelaki

hidung belang tersebut.

2. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam RUU KUHP

Prostitusi dalam pengaturan hukum pidana positif kita saat ini belumlah

(36)

26

perantaranya, sedangkan objek penting dari prostitusi itu sendiri dalam hal ini para

PSK dan lelaki hidung belang tidak terjerat. Padahal Pada kenyataanya dalam

beberapa kasus prostitusi atau perdagangan orang, merekalah yang memiliki peran

aktif dan inisiatif dalam proses terjadinya prostitusi dalam artian bahwa dengan

keinginan sendiri dan secara sadar ingin mendapatkan uang dengan cara “menjual

diri” mereka untuk menjadi pemuas nafsu.

Dalam konsep RUU KUHP prostitusi atau pelacuran khusus berkaitan

dengan objek dari prostitusi (PSK dan lelaki hidung belang) itu sendiri masuk

dalam bagian kelima tentang zina. Di dalam Pasal 483 RUU KUHP menerangkan

bahwa, (1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun:

a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan perempuan yang bukan istrinya;

b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan

persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;

c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut

berada dalam ikatan perkawinan;

d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan

dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada

dalam ikatan perkawinan; atau

e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam

(37)

27

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan

penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang

tercemar. (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28. (4) Pengaduan

dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum

dimulai. Selain itu dalam Pasal 486 menerangkan bahwa, setiap orang yang

bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan

melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

Pengaturan prostitusi dalam RUU KUHP diatas masih perlu dikaji ulang

karena masih mengandung makna yang kurang jelas untuk menjerat si PSK

dan lelaki hidung belang. Hal tersebut tersirat seperti dalam Pasal 483 ayat

1 huruf e diatas. Penerangan pada Pasal tersebut bisa digunakan untuk

menjerat PSK dan lelaki hidung belang asalkan ada pengaduan mengenai

kegiatan prostitusi tersebut, sehingga apabila tidak ada pengaduan maka

tidak bisa dikenakan pidana. Sedangkan dalam Pasal 486 seperti yang telah

diterangkan diatas pasal tersebut hanya menjerat untuk PSK jalanan saja

sementara untuk yang terselubung tidak bisa dikenakan pidana. Catatan

penulis mengenai pengaturan hukum pidana kita mengenai prostitusi ini

belumlah maksimal karena memang disatu sisi sudah cukup menjerat para

mucikarinya tetapi disisi lain belum tegas menjerat objek penting dari

prostitusi itu sendiri yakni para PSK dan lelaki hidung belang.

Sementara itu mucikari sebagai perantara antara PSK dengan lelaki

hidung belang sudah sangat jelas diterangkan dalam RUU KUHP seperti

(38)

28

orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 494 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. (2)

Setiap orang yang di luar hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau

persetubuhan dengan orang yang diketahui atau patut diduga belum

berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka pembuat tindak pidana

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun. Pada Pasal 494 dalam RUU KUP yang mengatur

tentang mucikari juga terdapat dalam Pasal 496 dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun,

setiap orang yang : a. menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan

menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau

bersetubuh; atau b. menarik keuntungan dari perbuatan cabul atau

persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian

C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik tentang Prostitusi

Secara etimologi kata kriminalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu

(39)

29

semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, tapi karena

perkembangan masyaraka kemudian menjadi tindak pidana.15

Kejahatan selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan

permasalahan sosial yang kompleks. Menghadapi masalah kejahatan yang dari

waktu ke waktu semakin banyak macamnya. Telah banyak upaya dilakukan untuk

menanggulanginya, dan bahkan dimasukkan dalam kerangka kebijakan kriminal.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara

yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.16

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan

suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu

tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan

kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).17

Kejahatan dalam perkembangannya merupakan sebuah manifestasi dari

keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya

diperlukan tindakan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan.

Kejahatan juga dipandang sebagai peerujudan ketidaknormalan atau

15 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cet-2, Nusamedia, Bandung, 2011, hlm.

32

16 Teguh Prasetyo dalam bukunya Syaiful Bakhri yang berjudul Kebijakan Kriminal dalam

Perspektif

Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010, hlm. 29.

17 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di

Indonesia,

(40)

30

ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan

sikap mengobati.18

Perkembangan baru mengenai dasar pemidanaan dimulai pada abad ke 19

dan permulaan abad ke-20 dengan mempergunakan hasil pemikiran baru yang

diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Tujuan pentingnya adalah:

1. Tujuan pokok hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan

jahat, dipandang sebagai kejahatan masyarakat.

2. Pengetahuan hukum pidana dang perundang-undangan pidana harus

memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi.

3. Pidana merupakan suatu alat ampuh yang dikuasai oleh negara dalam

penentangan terhadap kejahatan, tetapi bukan satu-satunya alat yang

dapat diterapkan sendiri, tetapi selalu dengan kombinasi dengan tindakan

sosial, khususnya dengan tindakan preventif.19

Perlu mendapatkan perhatian bahwa, ilmu hukum pidana adalah objek

penyelidikannya khusus, mengenai aturan-aturan hukum pidana yang berlaku

dalam suatu negara. Tujuannya adalah menyelidiki objek dari hukum pidana positif

yakni yang terdiri dari, interpretasi agar dapat diketahui aturan hukum pidana masa

lalu yang menghambat atau menghalangi perkembangan masyarakat. Konstruksi

dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur dari rumusan delik yang terdiri dari

berbagai bagiannya. Sistematik, yaitu mengadakan sistem dalam suatu bagian

hukum pada khususnya atau seluruhnya, dimaksudkan agar peraturan yang banyak

18 Ibid. hal. 21.

19 Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perujudan Delik (Percobaan,

Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Peneitensir, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2001, hlm.

(41)

31

itu tidak merupakan hutan belukar yang sukar dan berbahaya untuk diambil

kemanfaatannya, dan tetap menjadi tanaman yang indah teratur serta memberikan

kegunaan maksimal kepada masyarakat.20

Seperti yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa, dalam hukum

pidana penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan pidana, dan

jenis-jenis pidana serta cara penerapannya. Sanksi pidana sangat penting, tetapi

dalam penerapannya menurut penulis sanski tersebut masih jauh dari kata keadilan

yang dapaat dilihat dari penjatuhan sanksi itu sendiri.

Perkembangan sistem sanksi dalam hukum pidana, memasuki pula

perhatian mengenai kejahatan. Baik buruknya mengenai perangai seseorang tidak

hanya ditentukan oleh dirinya ssendiri, tetapi lingkungannya ikut

bertanggungjawab atass perbuatannya. Penjahat itu diciptakan bukanlah dilahirkan,

sehingga manusia tidak dapat dilepaskan dari dirinya dan proses interaksi timbal

balik antara diri dan lingkungan massyarakatnya. Hal tersebut menyebabkan setiap

masyarakat mempunyai produk penjahatnya sendiri. Masyarakat menjadi ladang

yang subur bagi aneka ragam bentuk kejahatan. Masyarakat yang sakit, masyarakat

yang penuh patologi merupakan rahim yang produktif melahirkan aneka ragam

penjahat. Apabila penjahat dibiarkan sebagai limbah masyarakat yang berserakan

di seantero wilayah, dengan demikian masyarakat ibarat penghasil wabah.

KUHP pengaturan mengenai prostitusi belum banyak diatur. Hal ini

dikarenakan dalam KUHP prostitusi masuk dalam ruang lingkup kejahatan

kesusilaan. Prostitusi yang dengan kata lain kejahatan kesusilaan dalam penentuan

(42)

32

delik untuk menjerat para pelakunya belum begitu jelas diterangkan. Secara singkat

prostitusi dapat termasuk dalam delik kesusilaan, dengan kata lain delik prostitusi

berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu

apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya

ternyata tidak mudah, dikarenakan pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu

cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku

di dalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana

mengandung di dalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat

dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai

kesusilaan yang minimal.

Delik kesusilaan di dalam KUHP terdapat dalam Bab XIV Buku II yang

merupakan jenis “kejahatan” dan dalam Bab VI Buku III yang termasuk jenis

“pelanggaran”. Disebutkan dalam Bab XIV Buku II dan VI Buku III yang termasuk

dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:21

a. Yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum dan yang

berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar

kesusilaan/bersifat porno (Pasal 281-283);

b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan

seksual (Pasal 284-296);

c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);

d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal

299);

21 Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep KUHP

(43)

33

e. Yang berhubungan dengan minuman memabukkan (Pasal 300);

f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);

g. Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);

h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).22

Menurut KUHP, seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau

persetubuhan di luar pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak

dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan (salah satu pihak sudah kawin). Dipidana

menurut KUHP, hanya apabila persetubuhan di luar pernikahan itu dilakukan secara

paksa (perkosaan), terhadap orang yang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak

di bawah umur 15 tahun. Berdasarkan ketentuan demikian, maka menurut KUHP

tidaklah merupakan tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut:23

1. Dua orang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun:

a. Perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu persoalan

moral masyarakat;

b. Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan

dinikahi, tetapi diingkari;

c. Berakibat hamilnya wanita itu dan si laki-laki tidak bersedia menikahinya atau

ada halangan untuk nikah menurut undang-undang.

2. Seorang laki-laki telah beristri menghamili seorang gadis (berarti telah

melakukan perzinahan), tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk

menuntut.

3. Seseorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri di

22 Ibid. hal. 254.

(44)

34

luar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan dengan atau

mengganggu perasaan/moral masyarakat setempat.24

D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena

menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi

menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama,

pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik.25

Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain:26

1. Ditinjau dari segi pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi;

2. Ditinjau dari segi sosial, prostitusi dianggap kanker masyarakat;

3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram;

4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan;

Keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat dikatakan

sebagai perbuatan yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal yang pertama

mengatakan bahwa perbuatan prostitusi itu merupakan bentuk demoralisasi dan

kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana tercelanya perbuatan

prostitusi itu di mata masyarakat.

Pada hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari sudut

agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebagaimana

24 Ibid. hal. 259.

25

Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum, <http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get it&lid=196>, diunduh pada hari Senin 29 Agustus 2016, pada pukul 16:43 WIB.

26

Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat, Bandung,

(45)

35

diketahui secara umum bahwa prostitusi itu sangat dekat dengan tindakan

persetubuhan di luar nikah, yang mana dalam pandangan Islam tindakan tersebut

dapat dikatakan sebagai zina.27

Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa perbuatan zina itu tergolong sebagai

perbuatan yang haram. Disebutkan antaralain dalam surah Al-Isra ayat 32:28

Dan janganlah kamu sekali-sekali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan jalan yang buruk.

dan juga dalam surah An Nur ayat 2 yang menyatakan:29

Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah kedua-duanya, masing-masing seratus kali dera. Janganlah sayang kepada keduanya dalam menjalankan hukum Agama ALLAH, kalau kamu betul-betul beriman kepada ALLAH dan hari kemudian; dan hendaklah hukuman bagi keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Prostitusi dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk

perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa

musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq (benar), Allah berfirman: “Dan

orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak

membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan

tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini

menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain

27

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal. 3.

28

H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia, Jakarta, Djambatan, 1978, hal. 429.

(46)

36

membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.”. Menurut Imam Ahmad,

perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.

Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut

adalah kotor dan keji. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama

besar Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai

perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah

karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau

suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan

melanggar tatanan lainnya”.30

Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan

hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah (zina ghairu muhsan) dan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah (zina muhsan). Tindak pidana zina dalam hukum pidana Islam memiliki potret khas. Pertama, ancaman

hukuman bagi pelakunya sangat berat. Kedua, proses pembuktiannya lebih berat

dari tindak pidana lain. Ketiga, tuduhan zina yang tidak terbukti (tuduhan palsu

zina) diancam dengan hukuman berat juga, yakni 80 kali cambukan dan tidak

diterima lagi sebagai saksi (sebagai hukuman moral). Keempat, jika seorang

terpidana menerima hukuman itu dengan ikhlas dan taubat, maka sanksi di dunia

itu sebagai pengganti sanksi di akhirat (ada kaitan antara berlakunya hukum di

dunia dan akibat di akhirat). Kelima, baik orang yang sudah menikah (muhsan) maupun yang belum menikah (ghairu muhsan) dapat menjadi subjek (pelaku)

30

Wikipedia, Pelacuran dalam Pandangan Agama Islam,

(47)

37

tindak pidana zina.31 Selain hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau sosial juga

diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan (taghrib),

tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini sebenarnya lebih

bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi orang lain. Hal ini

mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik

dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun masyarakat.

31 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan

Gambar

Tabel 2: Rekapitulasi Jumlah Pelanggar Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
Tabel 3: DAFTAR SALON YANG MELANGGAR IZIN GANGGUAN (HO)

Referensi

Dokumen terkait

In honor of the birthday of one of the most famous Internet millionaires, Mook-Jon, I´m going to try to cover something that he says is one of the keys to his success ˙ researching

[r]

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah

“ Adanya organisasi-organisasi sayap PDI Perjuangan seperti Banteng Muda Indonesia, Baitul Muslimin Indonesia, Taruna Merah Putih, Komunitas Mahasiswa dan Pelajar

[r]

Tingkat ketepatan prediksi model untuk mengelompokkan ‘kurang baik’ secara keseluruhan 0 persen, ‘sama baik’ secara keseluruhan 0 persen dan ‘lebih baik’ secara

The goal of the present paper is to expose in the data analysis framework, the variational theory together with some generalizations of spline functions. We begin with some

[r]