KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Disusun Oleh:
Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202
Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH HUKUM
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Disusun Oleh:
Nama : Yusuf Khairul Gunawan NIM : 20120610202
Fakultas : Hukum Jurusan : Ilmu Hukum Bagian : Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yusuf Khairul Gunawan
NIM : 20120610202
Judul Skripsi KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DALAM PENANGGULANGAN
KASUS PROSTITUSI DI WILAYAH
HUKUM DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan skripsi ini adalah betul-betul
hasil karya dari saya sendiri berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan
asli dari saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan skripsi ini
diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum skripsi ini.
Yogyakarta, 6 September 2016
Yang menyatakan
Yusuf Khairul Gunawan
MOTTO
“ Maha Tinggi Allah raja yang sebenar
-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-
gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”
(Q.S Thaha Ayat 114 : 20)
Melakukan Hal Buruk Hanya Akan Membuatmu Terpuruk,
Lakukan Hal Baik Maka Kamu Akan Naik
(Yusuf Khairul Gunawan)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan penulisan hukum (skripsi) ini kepada :
Seseorang yang telah mempertaruhkan hidup dan matinya ketika melahirkanku dan
selalu menasehatiku untuk orang yang lebih baik, yaitu Ibunda tercinta
Seseorang yang selalu mengorbankan seluruh hidupnya untuk memenuhi
kebutuhanku, yaitu Ayahandaku tercinta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTARTABEL ... xv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Tinjauan Pustaka ... 6
E. Metode Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA ... 18
B. Kebijakan Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP ... 25
C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik dalam Prostitusi ... 29
D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam ... 35
BAB III JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA .. 39
A. Pengertian dan Ciri Prostitusi ... 39
B. Jenis Prostitusi ... 42
C. Penyebab Timbulnya Prostitusi ... 46
D. Akibat Prostitusi ... 48
E. Penanggulangan Prostitusi ... 50
BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA ... 54
A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi ... 54
1.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 55
2.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 65
3.Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Prostitusi oleh Polda DIY ... 71
B. Kendala Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi ... 74
1.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Bantul ... 75
2.Penegakan Hukum terhadap Pelaku Prostitusi di Kabupaten Sleman ... 84
BAB V PENUTUP ... 91
A. Kesimpulann ... 91
B. Saran ... 92
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ... ... 57
Tabel 2 ... ... 59
xvi
ABSTRAK
Prostitusi merupakan penyakit masyrakat/penyimpangan sosial masyarakat yang dilakukan secara terorganisir yang terdiri dari mucikari, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan lelaki hidung belang. Aturan hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur mengenai mucikari, belum mengatur tentang PSK dan lelaki hidung belang. Belum adanya aturan mengenai PSK dan lelaki hidung belang di hukum positif Indonesia mengakibatkan praktek prostitusi ini tetap ada di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari penulis dari penulisan ilmiah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus prostitusi dan kendala apa saja dalam penanggulangan masalah di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penulisan ilmiah ini menggunakan metode Pendekatan Perundang-undangan dan metode perbandingan mengenai aturan hukum yang satu dengan yang lainnya dengan cara mencari data-data faktual yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi untuk membantu penulis dalam melakukan analisis. Setelah melakukan penelitian di lokasi wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan mengambil sampel Kabupaten Bantul karena sudah memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi dan Kabupaten Sleman sebagai sampel dari wilayah Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta yang belum memiliki peraturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai yang mewakili dari Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta karena di Kabupaten Sleman sudah terdapat permasalahan kasusnya sementara yang lain belum ada.
Wilayah DIY yang terdiri dari empat Kabupaten (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul) dan satu Kota Madya (Kota Yogyakarta) hanya kabupaten Bantul yang memiliki peraturan larangan prostitusi yaitu dengan adanya Perda Kabupaten Bantul No 5 tahun 2007, sementara lima wilayah lain termasuk kota Yogyakarta belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi. Kabupaten Sleman dipilih sebagai sampel dari wilayah kulonprogi, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta karena terdapat kasus mengenai prostitusi yang wilayahnya tetapi belum memiliki aturan mengenai larangan prostitusi, sehingga untuk menindak pelaku hanya bisa secara administratif dengan perda izin gangguan untuk praktek prostitusi dengan modus tempat usaha. Diperlukan kebijakan hukum seperti yang ada di Kabupaten Bantul untuk menanggulangi permasalahan prostitusi sehingga para pelakunya dapat ditindak secara hukum. Aturan mengenai prostitusi yang belum dimiliki oleh beberapa wilayah di provinsi DIY menjadi kendala nyata masih adanya praktek prostitusi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini di Indonesia Kejahatan Tindak Pidana yang terjadi di
masyarakat sudah semakin kompleks yang mengakibatkan hukum yang mengatur
untuk mecegah terjadinya tindak pidana tersebut semakin banyak. Kejadian yang
terjadi di masyarakat merupakan efek dari perubahan atau globalisasi yang tidak
mengenal batasan ruang dan waktu. Efek dari hal tersebut mengakibatkan hukum
yang sudah ada tidak mampu untuk mencegah tindak pidana yang semakin
berkembang akan menimbulkan dampak yang meresahkan masyarakat.
Diperlukan suatu kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi dan
mengatasi persoalan prostitusi yang semakin meresahkan masyarakat. Hal ini
dikarenakan hukum yang digunakan untuk mencegah terjadinya tindak pidana yang
ada di Indonesia merupakan warisan Belanda pada masa penjajahan dahulu,
sehingga perlu adanya perubahan atau penambahan mengenai ketentuan-ketentuan
yang ada di dalamnya untuk mengimbangi tindak-tindak pidana baru yang
bermunculan seperti masa sekarang ini. Banyak pelaku tindak pidana baru yang
belum bisa dijerat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai
hukum pidana yang masih digunakan seperti sekarang ini. Diperlukan suatu
kebijakan hukum terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk
menanggulangi tindak kejahatan seperti prostitusi. Akan tetapi perlu adanya kajian
lebih lanjut mengenai ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya sebagai
2
tindak pidana. Menurut Marc Ancel diperlukan suatu kebijakan hukum pidana atau
dikenal dengan “penal policy” yang berarti suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.1
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak kejahatan yang belum bisa diatasi
oleh hukum positif yang ada. Apabila terjadi pelanggaran atau kejahatan oleh
masyarakat yang dimana hal tersebut belum diatur oleh Undang-Undang yang ada
maka hukuman yang diberikan bagi yang melanggar adalah sanksi sosial dari
masyarakat dengan tidak ada batasan waktu serta kewajiban apa yang harus
ditanggung bagi yang melanggar. Diperlukan usaha dan kebijakan untuk membuat
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari
penanggulangan kejahatan yang dalam hal ini adalah prostitusi.2 Banyak kejahatan
yang terjadi di masyarakat yang hanya diselesaikan dengan norma-norma dan
hukum adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, misalanya dalam kasus
prostitusi, seseorang yang terlibat dalam kasus prostitusi hanya akan mendapatkan
sanksi sosial dari masyarakat. Hal ini merupakan permasalahan yang timbul karena
hukum yang tidak mengikuti pola perkembangan kejahatan yang semakin maju
karena perkembangan zaman. KUHP sebagai salah satu pendoman untuk
menyelesaikan persoalan tersebut hanya dapat memberikan sanksi kepada mucikari
atau penyedia jasanya saja. Belum adanya kebijakan hukum yang mengatur secara
1 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm. 23.
3
tegas mengenai larangan prostitusi, hanya disebutkan dalam Pasal 296 dan 506
KUHP yang hanya menyebut si mucikari (penyedia jasa). Akibat dari kebijakan
hukum pidana yang belum mengatur prostitusi menyebabkan belum efektinya
kebijakan hukum yang ada, oleh sebab itu muncul beberapa peraturan di daerah
provinsi maupun kabupaten misalnya seperti Perda Bantul No 5 Tahun 2007
tentang larangan prostitusi. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dulunya
mempunyai Perda No 18 Tahun 1954 tentang Larangan Pelacuran di Tempat
Umum, akan tetapi karena terbenturnya aturan Perda DIY No 18 Tahun 1954 hanya
mengatur megenai pelacuran yang dilakukan di tempat umum sehingga untuk
sekarang Perda tersebut sudah dihapusakan. Prostitusi tidak hanya mucikari atau
penyedia jasa saja yang andil dalam praktek haram tersebut. Dalam prostitusi
terdapat beberapa pihak yang saling berkaitan satu sama lain dalam melakukan
tindakan prostitusi tersebut, antara lain ada mucukari, Pekerja Seks Komersial
(PSK), dan lelaki hidung belang. Mucikari disini bertugas sebagai penyedia jasa
bagi para lelaki hidung belang yang menginginkan kepuasan seksualnya. PSK
bertindak sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk melayani
aktivitas seksual para lelaki hidung belang dengan maksud untuk mendapatkan
upah atau imbalan atas jasa yang diberikannya. Sedangkan yang dimaksud dengan
lelaki hidung belang adalah seorang laki-laki yang menyukai wanita bukan karena
cinta melakinkan karena nafsu seksual yang dimilikinya lebih daripada laki-laki
normal lainnya. Rangkaian proses tersebut merupakan alur untuk mencapai suatu
tujuan yang menguntungkan masing-masing pihak baik dari mucikari, PSK, dan
4
Fenomena prostitusi bukan lagi menjadi hal tabu untuk dibicarakan oleh
banyak pihak. Sejak terkuaknya kasus prostitusi di dunia maya yang melibatkan
artis berinisial AA, prostitusi menjadi bahan perbincangaan yang menarik bagi
akademisi, praktisi dan aparat yang mengkritik mengenai kasus prostitusi tersebut.
Dapat dilihat seiring dengan berjalannya waktu, pembicaraan di media terkait
prostitusi yang melibatkan AA ini hanya menjerat sang mucikari yang berinisial
RA sang mucikari karena dalam hukum pidana di Indonesia berdasarkan Pasal 296
dan Pasal 506 KUHP yang dapat dijerat dengan hukum adalah mucikari atau si
penyedia jasa prostitusi dengan hukuman maksimal satu tahun empat bulan dan
denda Rp 15.000,00 rupiah.3
Hal ini menjadi concern tersendiri bagi Senator dari Provinsi DKI Jakarta,
Fahira Idris. Menurut beliau “Tidak tegasnya aturan hukum kita terkait prostitusi
menjadi faktor yang sangat signifikan maraknya prostitusi terutama prostitusi
online,” kata beliau dalam diskusi yang bertajuk “Fenomena Prostitusi Gaya Baru”
di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (27/5).4 Perlu adanya pembaharuan atau
revisi atau bahkan membuat aturan baru yang pokoknya untuk menangani kasus
prostitusi karena hukum yang digunakan sekarang untuk menjerat pelaku prostitusi
belum mencerminkan nilai keadilan terutama keadilan sosial. Hal ini bisa dilihat
sesuai apa yang telah disampaikan penulis di atas bahwa yang dapat dijeran dengan
3 Dini Nurilah, Merebaknya Bisnis Prostitusi Online di Ibukota, 19 Mei 2015,
http://news.liputan6.com/read/2234578/merebaknya-bisnis-prostitusi-online-di-ibukota, diunduh pada hari Rabu 3 Agustus 2016, jam 22:17 WIB.
4 Fahira Idris, Perlu Ada Sanksi Tegas Bagi Pelanggan PSK, 27 Mei 2015,
5
hukum pada kasus prostitusi hanyalah si penyedia jasa prostitusi atau mucikarinya
saja. Padahal dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah penyertaan
(deelneming) yang dapat diartikan apabila terjadi dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang
tersangkut dalam tindak pidana tersebut.5
Kaitannya dengan kasus prostitusi apakah hukum pidana saat ini sudah
efektif untuk menanggulangi kasus prostitusi khususnya di wilayah hukum Daerah
Istimewa Yogyakarta, karena dalam prakteknya hanya mucikari atau penyedia jasa
prostitusi saja yang hanya bisa dikenakan sanksi hukum. Sementara pihak lain yang
terlibat dalam kasus prostitusi yang dalam hal ini adalah PSK dan lelaki hidung
belang tidak mendapakan sanksi secara pidana seperti si mucikari. Menurut penulis
apakah kebijakan hukum pidana dalam menyelesaikan kasus prostitusi sudah
memberikan rasa keadilan dengan hanya menghukum mucikari atau penyedia jasa
saja sementara PSK dan lelaki hidung belang hanya mendapat sanksi sosial dari
masyarakat, hal tersebut menjadi inti dari pembahasan dalam tugas akhir ini yang
lebih lanjutnya akan disampaikan oleh penulis pada bagian selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kasus
prostitusi di wilayah hukum Daerah istimewa Yogyakarta?
5 Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan gabungan Tindak Pidana, Jakarta,
6
2. Apa saja kendala dalam penegakan hukum prostitusi di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana dalam
penanggulangan kasus prostitusi.
2. Untuk mengetahui bagaimana kendala dalam penegakan hukum terhadap
masalah prostitusi di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakatnya sesuai dengan yang
disebutkan di dalam Pancasila yaitu sila ke-5, yang bunyinya “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga perlu tindakan yang nyata untuk mewujudkan
keadilan sosial tersebut akan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebagai
negara hukum sudah sepatutnya hukum dijadikan sebagai landasaan atau ujung
tombak dalam penyelesaian suatu pelanggaran dan sengketa yang terjadi di dalam
masyarakat guna mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan apa yang tertuang
dalam Pancasila yakni sila ke-5. Dalam penegakan hukum sudah seharusnya para
aparat penegak hukum sadar bahwa tugas pokok dan fungsinya sudah diatur sesuai
dengan apa yng tercantum dalam UUD 1945 dan UU lainnya sebagai landasan
untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat serta sebagai kontrol agar
7
hukum yang dilakukan oleh masyarakat sudah seharusnya aparat penegak hukum
melaksanakan tugasnya sesuai koridor hukumnya. Seseorang yang melakukan
suatu pelanggaran maka ia harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang
diperbuatnya. Dalam kasus prostitusi apakah sudah menjunjung tinggi keadilan
sosial dalam penegakan hukumnya karena pada saat ini yang bisa dikenakan hukum
dalam kasus prostitusi hanyalah mucikari saja. Padahal dalam prostitusi terdapat
pihak pelaku (PSK) dan pelanggan (lelaki hidung belang) yang ikut andil dalam
suatu kasus prostitusi tersebut. Di Negara-Negara modern, hampir setiap perbuatan
prostitusi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan. Seperti yang
dikemukakan oleh W.A Bonger bahwa kejahatan merupakan sebagian dari
perbuatan yang imoral, oleh sebab itu perbuatan imoral adalah perbuatan
antisosial.6
Sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh penulis di atas apakah
hukum yang berlaku di Indonesia yang pada pokoknya mengatur mengenai kasus
prostitusi ini hanya bisa menjerat mucikarinya saja ataukah perlu adanya revisi dan/
pembaharuan mengenai hukum pidana. Sekarang ini belum ada UU khusus yang
digunakan untuk menyelesaikan kasus prostitusi ini. Apabila terjadi pelanggaran
yang dalam hal ini adalah kasus prostitusi landasan hukum untuk menyelesaikannya
hanya mengacu seperti yang ada di dalam KUHP Buku ke-2 BAB XIV dari Pasal
281-309 dan Buku ke-3 BAB II Pasal 506. Oleh karena itu maka menurut penulis
perlu aturan baru yang bisa dijadikan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus
8
prostitusi yang dari waktu ke waktu semakin pesat perkembangannya, bahkan
sudah menjarah kaum muda bangsa.
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.7
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8
Bertolak dari pengertian yang demikian Prof. Sudarto selanjutnya
mengatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.9 Dalam kesempatan lain beliau
menyatakan, bahwa melakssanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.10
Menurut A. Mulder11, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk
menentukan:
7 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159.
8 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.
9 Ibid., hlm. 161. 10 Ibid., hlm. 93.
11 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
9
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui.
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
Definisi Mulder diatas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”
menurut Marc Ancel12 yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir
memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
a. peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
b. suatu prosedur hukum pidana.
c. suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).
Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana (penal policy) itu pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan
memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikasi (yudikatif), dan pelakssanaan hukum pidana (kebijakan
eksekutif). Hal ini perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemeritah
dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan hukum pidana tersebut.
Dalam kaitannya dengan penulisan ilmiah ini menurut penulis perlu adanya suatu
landasan atau dasar mengenai prostitusi untuk menyelesaikannya yang makin lama
semakin meresahkan masyarakat banyak. Sampai saat ini belum terdapat
undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai prostitusi ini. Banyak pelaku
12 Marc Ancel dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
10
seperti yang banyak diberitakan di media sekarang ini yang hanya mendapatkan
pembinaan sehingga tidak ada pertanggungjawaban atas perbuatannya.
2. Kebijakan Penanggulangan Prostitusi
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah
“politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.Menurut G. P.
Hoefnagles13 upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar
hukum pidana).
Secara garis besar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressif”
(penindasan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”
(pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14 Dalam kasus prostitusi
sudah ada tindakan preventif yang dilakukan untuk menanggulanginya, akan tetapi
banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan tersebut seperti sia-sia.
Diperlukan tindakan repressif juga untuk menanggulangi kejahatan prostitusi agar
para pelaku mendpatkan efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Harus
ada peraturan khusus mengenai prostitusi agar ada kepastian hukum dan para
pelaku dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya.
13 G. P. Hoefnagels dalam, bukunya Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Semarang, Prenadamedia Group, 2014, hlm. 34.
14 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep
11 3. Pelaku Tindak Pidana Prostitusi
Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus
dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan.
Menurut W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschappelijke Orzaken der
Prostitutie”, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri
melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencarian.15 Dalam hukum
pidana dijelaskan dalam Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan
sebagai berikut: “Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasannya, dengan
sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau
denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah”.16 Pada penjelassan diatas lebih condong
untuk para mucikari atau penyedia jasa prostitusi saja yang dapat dikenakan oleh
undang-undang yang ada. Padahal dalam realitanya Prostitusi terdiri dari rangkaian
peristiwa dimana di dalamnya tidak hanya terdapat satu pelaku melainkan banyak
pelaku. Selain mucikari ada PSK dan lelaki hidung belang yang ikut dalam
rangkaian perbuatan yang merupakan penyakit masyarakat tersebut. Harus ada
peraturan yang tegas untuk mengatur mengenai hal tersebut agar semua pelaku
dalam prostitusi dapat dikenakan jeratan hukum agar menimbulkan efek jera
sehingga dapat menanggulangi penyakit masyarakat tersebut (prostitusi).
E. Metode Penelitian
15 W.A. Bonger dalam, bukunya Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT
Rajagrafindo Persada, 1981, hlm. 214.
16 Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, Pt Rajagrafindo Persada, 1981, hlm.
12
Dalam menyusun dan menulis suatu karya ilmiah penentuan metode dalam
sebuah penelitian merupakan hal yang sangat penting bagi penulis. Metode
penelitian yang akan digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum sosioligal atau
penelitian hukum kepustakaan dan penelitian hukum lapangan. Penelitian
normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah
sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,
kaidah-kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (ajaran). Penelitian empiris adalah penelitian hukum
yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana
bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.17
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis meggunakan metode pendekatan
Perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan cara mencari data-data faktual yang ada di dalam peraturan perundang-undangan sebagai
landasan untuk membantu penulis dalam menganalisis. Selain itu penulis juga
menggunakan metode pendekatan Perbandingan (comparatvie approach) yang dilakukan dengan cara memperbandingkan suatu isu hukum dilihat dari
berbagai sistem hukum yang biasanya akan dilakukan dengan perbandingan
unsur-unsur seperti substansi, struktur dan budaya antara sistem hukum yang
satu dengan sistem hukum lainnya.
17 Mukhti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum
13 3. Sumber data
Sumber data adalah subjek dari mana peneliti memperoleh informasi
yang akan digunakan untuk penelitian ini. Sumber data dalam penulisan ini
terdiri dari:
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer didapatkan berdasarkan hasil penelitian
lapangan di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta melalui
lembaga-lembaga yang terkait dengan karya ilmiah ini. Penelitian yang digunakan
untuk mencari sumber data primer ini menggunakan teknik wawancara.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder yang merupakan bahan hukum, yaitu data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumentasi. Dengan demikian data yang digunakan untuk menunjang
penelitian ini terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan kepustakaan yang berisikan
peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
14
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk proses analisis,
yaitu:
1. Buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan Prostitusi.
2. Makalah-makalah yang berkaitan dengan Prostitusi.
3. Jurnal-jurnal dan literatur yang berkaitan dengan Prostitusi.
4. Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan Prostitusi.
5.Media massa baik media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tersier
1. Kamus.
2. Ensiklopedia.
4. Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini penulis akan melakukan penelitian di wilayah
hukum Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputu Satuan Polisi pamong
Praja Kabupaten Bantul dan Sleman, Pengadilan Negeri Bantul serta
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.
5. Narasumber
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Batul Bapak
Anjar Arintaka Putra, selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan
Perundang-undangan dan Kabupaten Sleman yakni Bapak Rusdi Rais SH.,
selaku Kepala Bidang Penegakan Peraturan Perundang-undangan, DIT
RESKRIMUM Polda DIY yakni Bapak Sumadi, selaku Kanit Susila Polda
15 6. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang dilakukan yakni dengan teknik wawancara
dan pengumpualan dokumen yang dilakukan di Satpol PP Kabupaten
Bantul dan Kabupaten Sleman, Pengadilan Negeri Bantul, serta Polda DIY
untuk menunjang penelitian ini.
7. Metode analisis data
Setelah semua data tersebut terkumpul, akan dianalisis secara
perspektif deskriptif, dimaksud untuk memberikan gambaran secara jelas,
sistematis, objektif dan kritis yang dipaparkan dalamhukum positif mengenai
fakta-fakta yang bersifat normatif maupun empiris tentang permasalahan yang
dibahas, dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dan isi
penulisan skripsi ini, maka penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi 5 (empat)
bab, adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, bagian ini memberikan gambaran mengenai
topik penelitian yang hendak disajikan. Pada bab pertama ini
memuat tentang, latar belakang masalah, perumusan masalah,
maksud dan tujuan penulis, manfaat penulisan, kerangka teoritis dan
kerangka analisis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, bagian ini memberikan
gambaran bagaimana kebijakan hukum pidana yang berhubungan
16
kebijakan hukum pidana yang memuat kebijakan hukum pidana,
kebijakan hukum KUHP dan RUU KUHP mengenai masalah
prostitusi, kebijakan kriminalisasi dan delik tentang prostitusi.
BAB III : JENIS PROSTITUSI DAN UPAYA PENANGGULANGAN,
bagian ini menyajikan beberapa aspek yang berhubungan dengan
topik peneltian.Pada bab ketiga ini penulis menguraikan tentang
pengertian dari prostitusi, jenis prostitusi, penyebab timbulnya
prostitusi, akibat
BAB IV : HASIL DAN ANALISIS DATA, bagian ini menyajikan hasil
penelitian beserta analisis penulis pada penulisian ilmiah ini. Pada
bab empat ini berisikan tentang hasil penelitian pada Satpol PP
Kabupaten Bantul, Pengadilan Negeri Bantul, yang berupa data
tindak pidana prostitusi di wilayah yang sudah mempunyai peraturan
daerah mengenai larangan prostitusi, selain itu juga hasil penelitian
di Satpol PP Kabupaten Sleman dan Polda DIY untuk mengetahui
bagaimana kebijakan yang timbul di wilayah hukum Daerah
istimewa Yogyakarta yang belum mempunyai perda mengenai
larangan prostitusi atau pelacuran.
BAB V : PENUTUP, pada bagian ini berisi mengenai saran dan kesimpulan
mengenai topik dari penulisan ilmiah ini. Pada bab kelima ini
penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran penulis
18 BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
A. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ”policy” (Inggris)
atau “politiek” (Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak
hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik,
masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan
perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan
(umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran
masyarakat (Warga Negara).1
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum
pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing
istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.2
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah3:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
1 Lilik Mulyadi, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni
Bandung, 2008,hlm. 389.
2 Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, 1999, hlm : 10.
19
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4
Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna.5 Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.6
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik
hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Menurut
Mahmud Mulyadi, politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah
mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang dengan
melihat penegakkannya saat ini.7 Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi
“penal policy” dari Marc Ancel yakni “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.8
Melihat dari uraian di atas yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the
4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983, hlm. 20.
5 Ibid. hlm.161. 6 Ibid. hlm. 93 dan 109.
7 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy:Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy
Dalam
Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm. 66.
8 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep
20
positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan dengan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut
Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana” yang
dikemukakan oleh Sudarto.9
Menurut A. Mulder10, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk
menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
b. diperbarui.
c. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
d. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
yang
e. harus dilaksanakan.
Definisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”
menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir
memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:
a. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
b. Suatu prosedur hukum pidana.
c. Suatu mekanisme pelaksanaan pidana.11
Usaha dan kebijakan untuk membuat suatu peraturan hukum pidana yang
baik pada hakikaktnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan
kejahatan. Dalam artian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
9 Ibid. 28.
10 A. Mulder dalam, bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm.27.
21
bagian dari politik kriminal. Dilihat dari politik kriminal, maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana sering dikatakan sebagai bagian dari
penegakan hukum (law enforcement policy). Selain itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pula apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga
merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial policy).
Kebijakan sosial (social policy) apat diartikan sebagai segala usaha yang rasional demi mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan bagi masyarakat. Pengertian “social policy” dalam tulisan ini
mencakup juga didalamnya “social welfare policy” dan “social defencce policy”.
Melihat penjelasan di atas dapat ditegaskan, bahwa pembaharuan hukum
pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Latar belakang diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai
aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum). Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus
merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek dan
kebijakan yang melatarbelakangi pembaharuan tersebut. Pembaharuan hukum
22
reorientassi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengang menggunakan penal policy (hukum pidana) yakni mengenai penentuan:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.12
Dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara
kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Hal ini berarti pemcahan-pemecahan
masalah di atas harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari
kebijakan sosiopolitik yang telah ditetapkan. Dalam arti lain, kebijakan hukum
pidana juga termasuk dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Prof. Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum
pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengatakan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan
pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan
dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupaka Penal Policy (Penal Law Enforcement Policy), yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi
12 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep
23
(kebijakan administratif). Dilihat dalam artian luas, kebijakan hukum pidana dapat
mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang
hukum pidana formal dan di bidang pelaksanaan pidana.
Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dabat dibagi dua, yaitu
lewat jalur “penal” (hukum pidana) seperti apa yang telah penulis terangkan di atas
dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Menurut G. P.
Hoefnagles13, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Upaya-upaya yang disebutkan oleh G. P. Hoefnagles diatas pada butir (b)
dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “nonpenal”.
Secara kasar dapat dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan
lewat jalur “Penal” lebih menitikberatkan pada sifat “represif”
(pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur
“nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventif”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakekatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14
13 G. P. Hoefnsgles dalam bukunya Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan
penyusunan Konsep KUHP Baru, Semarang, Kencana Prenadamedia Group, 2008, hlm. 45.
24
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “nonpenal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.
Dilihat dari sudut pandang politik kriminal secara makro dan global, maka
upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan, hal tersebut jelas merupakan masalah yang tidak
dapat diatasi semata-mata dengan “penal policy”. Di sinilah keterbatassan jalur
“penal” dan oleh karena itu, harus ditunjang dengan jalur “nonpenal”. Salah satu
jalur “nonpenal” untuk mengatasai masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di
atas adalah lewat jalur “kebijakan sosial”. Kebijakan sosial pada dassarnya adalah
kebijakan atau upaya-upaya yang secara rassional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendpat perhatian
adalah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesejahteraan keluarga, serta
masyarakat luas pada umumnya. Apabila dilihat dari penjelasan sebelumnya,
menurut penulis pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan
keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk
mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan sangat penting dan strategis peranannya.
25
pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang
sehat dan lingkungan sosial yang sehat. Hal ini berarti penggarapan kesehatan
masyarakat atau lingkungan sosial yang sehat (sebagai slah satu upaya nonpenal
dalam strategi politik kriminal), tidak hanya harus berorientasi pada penddekatan
religius tetapi juga berorientasi pada pendekatan identitas budaya nasional.
B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP dan RUU KUHP
1. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam KUHP
Berdasarkan Pasal 296, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
menjdadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Selain pada Pasal 296 dalam Pasal 506 juga menerangkan bahwa, barang siapa
menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya
sebaga pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Di
dalam KUHP yang sekarang Pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi
hanya bisa digunakan untuk mucikari saja, sedangkan untuk PSK dan lelaki hidung
belang tidak bisa. Hal ini dikarenakan bahwasannya dalam KUHP yang sekarang
tidak ada satupun Pasal yang bisa digunakan untuk menjerat si PSK dan lelaki
hidung belang tersebut.
2. Kebijakan Hukum Pidana tentang Prostitusi dalam RUU KUHP
Prostitusi dalam pengaturan hukum pidana positif kita saat ini belumlah
26
perantaranya, sedangkan objek penting dari prostitusi itu sendiri dalam hal ini para
PSK dan lelaki hidung belang tidak terjerat. Padahal Pada kenyataanya dalam
beberapa kasus prostitusi atau perdagangan orang, merekalah yang memiliki peran
aktif dan inisiatif dalam proses terjadinya prostitusi dalam artian bahwa dengan
keinginan sendiri dan secara sadar ingin mendapatkan uang dengan cara “menjual
diri” mereka untuk menjadi pemuas nafsu.
Dalam konsep RUU KUHP prostitusi atau pelacuran khusus berkaitan
dengan objek dari prostitusi (PSK dan lelaki hidung belang) itu sendiri masuk
dalam bagian kelima tentang zina. Di dalam Pasal 483 RUU KUHP menerangkan
bahwa, (1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut
berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada
dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
27
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang
tercemar. (3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28. (4) Pengaduan
dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum
dimulai. Selain itu dalam Pasal 486 menerangkan bahwa, setiap orang yang
bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan
melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Pengaturan prostitusi dalam RUU KUHP diatas masih perlu dikaji ulang
karena masih mengandung makna yang kurang jelas untuk menjerat si PSK
dan lelaki hidung belang. Hal tersebut tersirat seperti dalam Pasal 483 ayat
1 huruf e diatas. Penerangan pada Pasal tersebut bisa digunakan untuk
menjerat PSK dan lelaki hidung belang asalkan ada pengaduan mengenai
kegiatan prostitusi tersebut, sehingga apabila tidak ada pengaduan maka
tidak bisa dikenakan pidana. Sedangkan dalam Pasal 486 seperti yang telah
diterangkan diatas pasal tersebut hanya menjerat untuk PSK jalanan saja
sementara untuk yang terselubung tidak bisa dikenakan pidana. Catatan
penulis mengenai pengaturan hukum pidana kita mengenai prostitusi ini
belumlah maksimal karena memang disatu sisi sudah cukup menjerat para
mucikarinya tetapi disisi lain belum tegas menjerat objek penting dari
prostitusi itu sendiri yakni para PSK dan lelaki hidung belang.
Sementara itu mucikari sebagai perantara antara PSK dengan lelaki
hidung belang sudah sangat jelas diterangkan dalam RUU KUHP seperti
28
orang lain melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 494 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. (2)
Setiap orang yang di luar hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau
persetubuhan dengan orang yang diketahui atau patut diduga belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dilakukan sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka pembuat tindak pidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun. Pada Pasal 494 dalam RUU KUP yang mengatur
tentang mucikari juga terdapat dalam Pasal 496 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun,
setiap orang yang : a. menjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan
menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau
bersetubuh; atau b. menarik keuntungan dari perbuatan cabul atau
persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian
C. Kebijakan Kriminalisasi dan Penentuan Delik tentang Prostitusi
Secara etimologi kata kriminalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu
29
semula bukan tindak pidana atau tidak diatur dalam hukum pidana, tapi karena
perkembangan masyaraka kemudian menjadi tindak pidana.15
Kejahatan selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan
permasalahan sosial yang kompleks. Menghadapi masalah kejahatan yang dari
waktu ke waktu semakin banyak macamnya. Telah banyak upaya dilakukan untuk
menanggulanginya, dan bahkan dimasukkan dalam kerangka kebijakan kriminal.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara
yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.16
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan
suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu
tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya kebijakan
kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).17
Kejahatan dalam perkembangannya merupakan sebuah manifestasi dari
keadaan jiwa seseorang yang abnormal, sehingga dalam perkembangannya
diperlukan tindakan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan pelaku kejahatan.
Kejahatan juga dipandang sebagai peerujudan ketidaknormalan atau
15 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cet-2, Nusamedia, Bandung, 2011, hlm.
32
16 Teguh Prasetyo dalam bukunya Syaiful Bakhri yang berjudul Kebijakan Kriminal dalam
Perspektif
Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Hukum (P3IH) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2010, hlm. 29.
17 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di
Indonesia,
30
ketidakmatangan pelaku kejahatan, sehingga sikap memidana harus diganti dengan
sikap mengobati.18
Perkembangan baru mengenai dasar pemidanaan dimulai pada abad ke 19
dan permulaan abad ke-20 dengan mempergunakan hasil pemikiran baru yang
diperoleh dari sosiologi, antropologi dan psikologi. Tujuan pentingnya adalah:
1. Tujuan pokok hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan
jahat, dipandang sebagai kejahatan masyarakat.
2. Pengetahuan hukum pidana dang perundang-undangan pidana harus
memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologi.
3. Pidana merupakan suatu alat ampuh yang dikuasai oleh negara dalam
penentangan terhadap kejahatan, tetapi bukan satu-satunya alat yang
dapat diterapkan sendiri, tetapi selalu dengan kombinasi dengan tindakan
sosial, khususnya dengan tindakan preventif.19
Perlu mendapatkan perhatian bahwa, ilmu hukum pidana adalah objek
penyelidikannya khusus, mengenai aturan-aturan hukum pidana yang berlaku
dalam suatu negara. Tujuannya adalah menyelidiki objek dari hukum pidana positif
yakni yang terdiri dari, interpretasi agar dapat diketahui aturan hukum pidana masa
lalu yang menghambat atau menghalangi perkembangan masyarakat. Konstruksi
dimaksudkan untuk mengetahui unsur-unsur dari rumusan delik yang terdiri dari
berbagai bagiannya. Sistematik, yaitu mengadakan sistem dalam suatu bagian
hukum pada khususnya atau seluruhnya, dimaksudkan agar peraturan yang banyak
18 Ibid. hal. 21.
19 Andi Zaenal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perujudan Delik (Percobaan,
Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Peneitensir, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 2001, hlm.
31
itu tidak merupakan hutan belukar yang sukar dan berbahaya untuk diambil
kemanfaatannya, dan tetap menjadi tanaman yang indah teratur serta memberikan
kegunaan maksimal kepada masyarakat.20
Seperti yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa, dalam hukum
pidana penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan pidana, dan
jenis-jenis pidana serta cara penerapannya. Sanksi pidana sangat penting, tetapi
dalam penerapannya menurut penulis sanski tersebut masih jauh dari kata keadilan
yang dapaat dilihat dari penjatuhan sanksi itu sendiri.
Perkembangan sistem sanksi dalam hukum pidana, memasuki pula
perhatian mengenai kejahatan. Baik buruknya mengenai perangai seseorang tidak
hanya ditentukan oleh dirinya ssendiri, tetapi lingkungannya ikut
bertanggungjawab atass perbuatannya. Penjahat itu diciptakan bukanlah dilahirkan,
sehingga manusia tidak dapat dilepaskan dari dirinya dan proses interaksi timbal
balik antara diri dan lingkungan massyarakatnya. Hal tersebut menyebabkan setiap
masyarakat mempunyai produk penjahatnya sendiri. Masyarakat menjadi ladang
yang subur bagi aneka ragam bentuk kejahatan. Masyarakat yang sakit, masyarakat
yang penuh patologi merupakan rahim yang produktif melahirkan aneka ragam
penjahat. Apabila penjahat dibiarkan sebagai limbah masyarakat yang berserakan
di seantero wilayah, dengan demikian masyarakat ibarat penghasil wabah.
KUHP pengaturan mengenai prostitusi belum banyak diatur. Hal ini
dikarenakan dalam KUHP prostitusi masuk dalam ruang lingkup kejahatan
kesusilaan. Prostitusi yang dengan kata lain kejahatan kesusilaan dalam penentuan
32
delik untuk menjerat para pelakunya belum begitu jelas diterangkan. Secara singkat
prostitusi dapat termasuk dalam delik kesusilaan, dengan kata lain delik prostitusi
berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu
apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya
ternyata tidak mudah, dikarenakan pengertian dan batas-batas “kesusilaan” itu
cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku
di dalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana
mengandung di dalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai
kesusilaan yang minimal.
Delik kesusilaan di dalam KUHP terdapat dalam Bab XIV Buku II yang
merupakan jenis “kejahatan” dan dalam Bab VI Buku III yang termasuk jenis
“pelanggaran”. Disebutkan dalam Bab XIV Buku II dan VI Buku III yang termasuk
dalam kelompok kejahatan kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan:21
a. Yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum dan yang
berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar
kesusilaan/bersifat porno (Pasal 281-283);
b. Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan
seksual (Pasal 284-296);
c. Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297);
d. Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal
299);
21 Barda Nawawi Arief Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan penyusunan Konsep KUHP
33
e. Yang berhubungan dengan minuman memabukkan (Pasal 300);
f. Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301);
g. Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302);
h. Perjudian (Pasal 303 dan 303 bis).22
Menurut KUHP, seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau
persetubuhan di luar pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak
dipidana, kecuali terbukti ada perzinahan (salah satu pihak sudah kawin). Dipidana
menurut KUHP, hanya apabila persetubuhan di luar pernikahan itu dilakukan secara
paksa (perkosaan), terhadap orang yang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak
di bawah umur 15 tahun. Berdasarkan ketentuan demikian, maka menurut KUHP
tidaklah merupakan tindak pidana dalam hal-hal sebagai berikut:23
1. Dua orang belum kawin yang melakukan persetubuhan, walaupun:
a. Perbuatan itu dipandang bertentangan dengan atau mengganggu persoalan
moral masyarakat;
b. Wanita itu mau melakukan persetubuhan karena tipu muslihat atau janji akan
dinikahi, tetapi diingkari;
c. Berakibat hamilnya wanita itu dan si laki-laki tidak bersedia menikahinya atau
ada halangan untuk nikah menurut undang-undang.
2. Seorang laki-laki telah beristri menghamili seorang gadis (berarti telah
melakukan perzinahan), tetapi istrinya tidak membuat pengaduan untuk
menuntut.
3. Seseorang melakukan hidup bersama dengan orang lain sebagai suami istri di
22 Ibid. hal. 254.
34
luar perkawinan, padahal perbuatan itu tercela dan bertentangan dengan atau
mengganggu perasaan/moral masyarakat setempat.24
D. Prostitusi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena
menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi
menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama,
pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik.25
Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain:26
1. Ditinjau dari segi pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi;
2. Ditinjau dari segi sosial, prostitusi dianggap kanker masyarakat;
3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram;
4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan;
Keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal yang pertama
mengatakan bahwa perbuatan prostitusi itu merupakan bentuk demoralisasi dan
kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana tercelanya perbuatan
prostitusi itu di mata masyarakat.
Pada hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari sudut
agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebagaimana
24 Ibid. hal. 259.
25
Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum, <http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get it&lid=196>, diunduh pada hari Senin 29 Agustus 2016, pada pukul 16:43 WIB.
26
Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat, Bandung,
35
diketahui secara umum bahwa prostitusi itu sangat dekat dengan tindakan
persetubuhan di luar nikah, yang mana dalam pandangan Islam tindakan tersebut
dapat dikatakan sebagai zina.27
Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa perbuatan zina itu tergolong sebagai
perbuatan yang haram. Disebutkan antaralain dalam surah Al-Isra ayat 32:28
Dan janganlah kamu sekali-sekali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan jalan yang buruk.
dan juga dalam surah An Nur ayat 2 yang menyatakan:29
Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah kedua-duanya, masing-masing seratus kali dera. Janganlah sayang kepada keduanya dalam menjalankan hukum Agama ALLAH, kalau kamu betul-betul beriman kepada ALLAH dan hari kemudian; dan hendaklah hukuman bagi keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Prostitusi dalam Agama Islam juga disebut dengan zina, zina termasuk
perbuatan dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa
musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq (benar), Allah berfirman: “Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan
tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68). Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini
menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal. 3.
28
H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia, Jakarta, Djambatan, 1978, hal. 429.
36
membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.”. Menurut Imam Ahmad,
perbuatan dosa besar setelah membunuh adalah zina.
Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan tersebut
adalah kotor dan keji. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama
besar Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai
perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah
karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau
suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan
melanggar tatanan lainnya”.30
Islam telah menetapkan hukuman yang tegas bagi pelaku zina dengan
hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah (zina ghairu muhsan) dan hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah (zina muhsan). Tindak pidana zina dalam hukum pidana Islam memiliki potret khas. Pertama, ancaman
hukuman bagi pelakunya sangat berat. Kedua, proses pembuktiannya lebih berat
dari tindak pidana lain. Ketiga, tuduhan zina yang tidak terbukti (tuduhan palsu
zina) diancam dengan hukuman berat juga, yakni 80 kali cambukan dan tidak
diterima lagi sebagai saksi (sebagai hukuman moral). Keempat, jika seorang
terpidana menerima hukuman itu dengan ikhlas dan taubat, maka sanksi di dunia
itu sebagai pengganti sanksi di akhirat (ada kaitan antara berlakunya hukum di
dunia dan akibat di akhirat). Kelima, baik orang yang sudah menikah (muhsan) maupun yang belum menikah (ghairu muhsan) dapat menjadi subjek (pelaku)
30
Wikipedia, Pelacuran dalam Pandangan Agama Islam,
37
tindak pidana zina.31 Selain hukuman fisik tersebut, hukuman moral atau sosial juga
diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya aibnya, diasingkan (taghrib),
tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Hukuman ini sebenarnya lebih
bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran berharga bagi orang lain. Hal ini
mengingat dampak zina yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, baik
dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga (nasab) maupun masyarakat.
31 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakan Syariat dalam Wacana dan