DAN MENENGAH DI INDONESIA
(Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong)
WISMAN INDRA ANGKASA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.
Bogor, 21 April 2011
ABSTRACT
WISMAN INDRA ANGKASA. Strategy and Feasibility of Developing Intermediary Institutions to Enhance Competitiveness of Small and Medium Enterprises in Indonesia (Case Studies in Technology Incubator Center at Puspitek Serpong). Under guidance of H. MUSA HUBEIS and NURMALA K. PANJAITAN.
Looking at the rapid growth of the development of global business environment, so the establishment of Small and Medium Enterprises (SMEs) which has highly competitiveness is necessary conducted. One of the several important factors that influence the building of the SMEs mentioned above is the ability of innovation and technological capabilities. It is known that SMEs in Indonesia have weakness in acquiring the latest technology. One of the reason why the SMEs do not have the updated technology, is because they do not have the access to the Research and Development (R&D) Institutions which create the updated and the appropriate technology. In this instance, the SMEs is solely as the users of technology. In this concept of innovation systems, it is attempted an institution which has its role and function, as an intermediate actor between the R & D institutions and the SMEs. This intermediary institution, it is called Lembaga Intermediasi (LI). Based on reports of many research articles, nowadays, most of LI has not yet been able to carry out its role and functions optimally. For this reason, this research is conducted to view the performance one of the LI. This research is a case study, and has chosen one LI on purpose, that is the Technology Incubator Center (BIT) at Puspitek Serpong. The purpose of this study are (1) to identify the characteristic and conditions of BIT, (2) to identify the factors that influence the successes of BIT as LI, (3) to formulate a strategy and feasibility of developing BIT. Matrix IFE, EFE,IE, SWOT and QSPM are used for processing and data analyses in this research. The results of this study are as follow: The characteristic of BIT is one of several unit departments under guidance of Agency for The Assessment and Application of Technology (BPPT). BIT is led by a head of department, and its organization form is adopted single structure. Factors that influenced the successes of BIT performance are the number of human resources, fund availability and financial services, infrastructure, networking, appropriate services and serious/strong commitment for tutoring and helping tenants (SMEs). Based on analysis of functional feasibility, BIT has fulfill the requirement as a good organization, as an intermediary institution and as a business incubator. Based on the determination of QSPM matrix, there are three main strategies to be implemented to BIT are: (1) To increase the utilization and the use of existing human resources to enlarge the number and to enhance the competitiveness of assisted SMEs, (2) To maintain and to enhance the quality and the quantity of technology services for SMEs assisted, via utilization technology produced by R & D institutions, (3) To maintain and to enhance the quality and the quantity of market access services to acquire bigger share of market potential (domestic and international) for assisted SMEs's products.
RINGKASAN
WISMAN INDRA ANGKASA. Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong). Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS dan NURMALA K. PANJAITAN.
Keberadaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sangat besar perananannya dalam penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan perkembangan lingkungan usaha global dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi, maka pengembangan dan pembentukan UKM berdaya saing tinggi menjadi mutlak untuk dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing UKM adalah daya inovasi dan kemampuan teknologi. Keterbatasan kemampuan teknologi pada UKM disebabkan lemahnya akses terhadap teknologi. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya titik temu antara lembaga penelitian dan pengembangan sebagai penghasil teknologi dan UKM sebagai pengguna, sehingga diperlukan adanya lembaga yang dapat menjembatani/penghubung antara lembaga litbang dan UKM. Dalam konsep Sistem Inovasi (SI), ada lembaga yang mempunyai peran dan fungsi sebagai penghubung, yaitu dinamakan Lembaga Intermediasi (LI).
Sebuah lembaga dapat dikatakan sebagai LI, bila minimal mempunyai empat (4) layanan kepada UKM, yaitu (1) layanan berbasis teknologi; (2) layanan pengembangan SDM; (3) layanan/jejaring bisnis UKM; (4) layanan akses pembiayaan. Kondisi sebagian besar LI saat ini belum dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal karena beberapa masalah yang dihadapi seperti pendanaan, SDM, sarana dan prasarana yang kurang memadai, networking lemah dan lain-lain. Diperlukan suatu strategi dan kelayakan pengembangan LI ke depannya, agar dapat memecahkan masalah LI, serta memperkuat posisi dan perannya dalam memberikan layanan secara optimal dan terpadu untuk meningkatkan daya saing UKM di Indonesia.
Balai Inkubator Teknologi (BIT) merupakan LI milik pemerintah pusat yang dibentuk oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan salah satu LI yang dinilai berhasil dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Sejak dibentuk tahun 2001 sudah banyak UKM yang berhasil ditingkatkan daya saingnya, dan selain itu BIT berhasil menumbuhkembangkan beberapa UKM berbasis teknologi atau inovasi.
Tujuan dari penelitian adalah (1) Mengidentifkasi karakteristik dan kondisi umum BIT; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT sebagai LI untuk meningkatkan daya saing UKM: (3) Menyusun strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan sehingga dalam menjalankan peran dan fungsinya untuk meningkatkan daya saing UKM lebih optimal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan layanan LI, sehingga layanan yang diberikan kepada UKM lebih optimal.
(IFE), External Factor Evaluation (EFE), matriks Internal External (IE),
Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Secara konseptual, tujuan QSPM adalah untuk menentukan strategi mana yang dianggap paling baik untuk diimplementasikan.
Karakteristik BIT adalah merupakan salah satu UPT di bawah pembinaan BPPT, yang dipimpin seorang Kepala Balai, mempunyai struktur organisasi bentuk organisasi tunggal. Sumber pendanaan sebagian besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jumlah tenant (inwall dan outwall) yang dibina selama kurun waktu lima tahun terakhir (tahun 2006 – 2010) + 100 tenant
atau rataan 20 tenant per tahun. Waktu pembinaan tenant rataan 1 – 3 tahun dengan tingkat keberhasilan tenant yang lulus + 80 persen. Jenis industri tenant
yang dibina adalah: (1) industri manufaktur 50 %; (2) industri kreatif 30%; dan agroindustri 20%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT adalah jumlah SDM, dana, sarana dan prasarana, layanan, networking yang cukup memadai dan komitmen kuat. Berdasarkan analisis fungsi BIT telah memenuhi kelayakan sebagai suatu organisasi yang baik, yaitu sebagai lembaga intermediasi dan sebagai inkubator.
Dari hasil analisa matriks IFE skor tertinggi untuk kekuatan BIT adalah 0,452 yaitu jumlah SDM yang memadai. Kelemahan utama BIT ditunjukkan dengan nilai skor tertinggi 0,192 yaitu dana untuk pembinaan tenant yang terbatas dan bersifat jangka pendek. Dari hasil analisa matriks EFE diperoleh nilai skor tertinggi untuk peluang BIT 0,540, yaitu daya saing UKM yang lemah. Faktor ancaman yang menonjol dan berpengaruh dalam lingkungan external dengan nilai skor tertinggi 0,260 yaitu produk impor yang lebih murah dan sejenis yang diproduksi oleh UKM. Analisa matrik IE dengan nilai IFE 2,529 dan EFE 2,655 menunjukkan bahwa strategi pemasaran BIT terletak pada Sel V. Dalam hal ini strategi yang dapat diterapkan adalah strategi menjaga dan mempertahankan, dengan alternatif strategi berupa penetrasi pasar, pengembangan produk/jasa.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
STRATEGI DAN KELAYAKAN
PENGEMBANGAN LEMBAGA INTERMEDIASI UNTUK
MENINGKATKAN DAYA SAING USAHA KECIL DAN
MENENGAH DI INDONESIA
(Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek, Serpong)
WISMAN INDRA ANGKASA
Tugas Akhir
Sabagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Industri Kecil Menengah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tugas Akhir : Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia
(Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong)
Nama : Wisman Indra Angkasa
NIP : P05-4090055
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr. Nurmala K Panjaitan, MS, DEA Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Industri Kecil dan Menengah
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam kajian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 ialah Lembaga Intermediasi, dengan judul Strategi dan Kelayakan Pengembangan Lembaga Intermediasi untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah (Studi Kasus Balai Inkubator Teknologi di Puspiptek Serpong).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA dan Ibu Dr. Nurmala K Panjaitan, MS, DEA yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan banyak memberikan saran-saran. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Bambang S Pujantyo selaku Kepala Balai Inkubator Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Drs. Priyanto, ME yang telah memberikan ijin dan membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Derry Pancadarma, MSc selaku Direktur Pusat Kebijakan Difusi Teknologi yang telah memberikan ijin untuk tugas belajar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anakku tercinta, atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, April 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 30 Desember 1964 sebagai anak kelima dari pasangan Achmad Effendi dan Mutamamah. Pendidikan Diploma III ditempuh di Program Studi Budidaya Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta lulus tahun 1986. Tahun 1986 penulis bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Pendidikan Diploma IV didapatkan tahun 1992 pada Program Studi Budidaya Perikanan di Sekolah Tinggi Perikanan di Jakarta.
Saat ini penulis bekerja sebagai Perekayasa Muda bidang kebijakan teknologi di Pusat Kebijakan Difusi Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
DAFTAR ISI
2.1.3 Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah --- 10
2.2 Lembaga Intermediasi --- 12
2.2.1 Definisi --- 12
2.2.2 Kriteria --- 15
2.2.3 Contoh Lembaga Intermediasi di Indonesia --- 16
2.2.4 Contoh Lembaga Intermediasi di Beberapa Negara --- 19
2.3 Sistem Inovasi --- 24
2.3.1 Definisi --- 24
2.3.2 Implementasi --- 27
2.4 Strategi Pengembangan Organisasi --- 29
2.4.1 Definisi --- 29
2.7.2 Konsep Dasar, Persyaratan dan Prinsip Inkubator --- 47
2.7.3 Jenis Inkubator --- 49
2.7.4 Inkubator Bisnis di Beberapa Negara --- 51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN --- 70
4.1 Karakteristik Balai Inkubator Teknologi --- 70
4.1.1 Aspek Legal --- 70
4.1.2 Aspek Organisasi --- 71
4.1.3 Aspek Keuangan --- 74
4.1.4 Aspek Operasional --- 76
4.1.5 Aspek Monitoring --- 82
4.2 Analisis Fungsi Balai Inkubator Teknologi --- 83
4.2.1 Fungsi Organisasi --- 83
4.2.2 Fungsi Inkubator --- 92
4.2.3 Fungsi Lembaga Intermediasi --- 96
4.3 Perumusan Strategi dan Kelayakan Pengembangan Balai Inkubator Teknologi --- 98
4.3.1 Identifikasi Matriks IFE dan Matriks EFE --- 98
4.3.2 Identifikasi Matriks IE --- 102
4.3.3 Analisis SWOT --- 103
4.3.4 Matriks SWOT --- 104
4.3.5 Perumusan Strategi Prioritas --- 106
V. KESIMPULAN DAN SARAN --- 107
5.1 Kesimpulan --- 107
5.2 Saran --- 107
DAFTAR PUSTAKA --- 108
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perkembangan jumlah dan kinerja UMKM dan UB tahun 2007 - 2009 --- 9
2 Penjabaran strategi generik menjadi strategi utama --- 31
3 Persentase tingkat pendidikan formal dari pengusaha UKM industri manu-faktur tahun 2006 --- 41
4 Inovasi pada tingkat perusahaan menurut negara/wilayah --- 43
5 Jumlah inkubator bisnis di beberapa negara --- 44
6 Inkubator bisnis di beberapa negara tahun 2005 --- 51
7 Tipe inkubator bisnis di Kanada --- 54
8 Peran stakeholder dalam pengembangan inkubator bisnis --- 55
9 Komposisi sumber dana pada pengelolaan inkubator bisnis --- 56
10 Jadwal kajian --- 63
11 Anggaran biaya kajian --- 63
12 Aspek penelitian faktor internal dan eksternal Balai Inkubator Teknologi --- 69
13 Beberapa tenant BIT tahun 2006-2010 --- 73
14 Jumlah dana rutin operasional kantor dan pembinaan tenant BIT tahun 2006 - 2010 --- 75
15 Permasalahan monitoring BIT dan solusinya --- 83
16 Program utama BIT tahun 2006-2010 --- 87
17 SDM BIT tahun 2006 - 2010 --- 87
18 Indikator fasilitas dasar tenant BIT --- 93
19 Matriks IFE --- 99
20 Matriks IFE --- 102
21 Matriks SWOT BIT --- 105
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Sistem inovasi nasional --- 15
2 Relation building process --- 19
3 Service flow at incubation centre in Taiwan --- 20
4 Pengembangan pasar untuk BDS di Jerman --- 22
5 Tahapan menentukan strategi utama --- 34
6 Daya saing dan faktor-faktor utama penentu --- 40
7 Bagan organisasi Balai Inkubator Teknologi --- 71
8 Skema proses inkubasi tenant di Balai Inkubator Teknologi --- 77
9 Proses penyusunan RKP, Renja KL, RKA-KL, RAPBN, APBN --- 86
10 Struktur organisasi sistem perekayasa --- 90
11 Matriks IE BIT --- 102
12 Diagaram SWOT BIT --- 103
13 (a) Papan nama; (b) Fasilitas parkir BIT --- 115
14 (a) Gedung perkantoran; dan (b) Ruang tamu BIT --- 115
15 (a) Prasasti peresmian; (b) Fasilitas ruang kantor BIT --- 115
16 PT. Nanotech salah satu tenant dan fasilitas yang diberikan oleh BIT --- 116
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Rekapitulasi karakteristik Balai Inkubator Teknologi --- 111
2 Kondisi dan fasilitas yang dimiliki BIT --- 115
3 Inwall Tenant BIT --- 116
1.1 Latar Belakang
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting
dari perekonomian suatu negara ataupun daerah. Peran penting tersebut telah
mendorong banyak negara termasuk Indonesia untuk terus berupaya
me-ngembangkan UKM. Walaupun kecil dalam skala jumlah pekerja, aset dan omzet,
namun karena jumlahnya cukup besar, maka peranan UKM cukup penting dalam
menunjang perekonomian. Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan yang mendasari
negara berkembang memandang pentingnya keberadaan UKM, yaitu (1) kinerja
UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif;
(2) sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan
produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi; (3) karena sering
diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dari pada usaha
besar (Berry 2001 dalam Rahayu 2005).
Kondisi tersebut diatas dapat dilihat dari berbagai data empiris yang
mendukung bahwa eksistensi UKM cukup dominan dalam perekonomian
Indonesia (KUKM 2010), seperti :
1. Jumlah yang cukup besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi, dimana
pada tahun 2009 tercatat jumlah UKM adalah 587.808 unit atau 1,12 % dari
jumlah total unit usaha (52.769.280 unit).
2. Potensinya yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit
investasi pada sektor UKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja
bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UKM
pada tahun 2009 menyerap 6.198.638 tenaga kerja atau 6,27 % dari total
angkatan kerja yang bekerja (98.886.003 tenaga kerja)
3. Kontribusi UKM dalam Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2009 cukup
nyata, yakni 23,45 % dari total PDB yaitu sebesar 2.993.151,7 milyar rupiah.
Dengan perkembangan lingkungan usaha global yang bergerak dan
ber-kembang sangat cepat dengan tingkat persaingan sangat tinggi, maka
untuk dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing UKM adalah
daya inovasi dan kemampuan teknologi.
Menjadikan UKM dengan keunggulan daya saing perlu dipahami
keterbatasan UKM, antara lain dalam hal ukuran unit usaha, pengembangan
kapasitas modal, teknologi produksi dan pemasaran produk (Tambunan 2000).
Selain itu menurut Tambunan (2004), keterbatasan pengetahuan sumberdaya
manusia (SDM), modal dan teknologi merupakan salah satu penyebab utama
rendahnya daya saing produk UKM dari produk-produk IB (Industri Besar) atau
produk-produk impor.
Keterbatasan kemampuan teknologi pada UKM disebabkan lemahnya
akses terhadap teknologi. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya titik temu
antara lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai penghasil
teknologi dan UKM sebagai pengguna teknologi, sehingga diperlukan adanya
lembaga yang dapat menjembatani/penghubung antara lembaga litbang dan UKM.
Dalam konsep Sistem Inovasi (SI), sebenarnya sudah ada lembaga yang
mem-punyai peran dan fungsi sebagai penghubung antara lembaga penghasil teknologi
dengan pengguna teknologi, yaitu yang dinamakan Lembaga Intermediasi (LI).
SI adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara
para pelaku (aktor lembaga) lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
dalam suatu sistem kolektif untuk penciptaan (creation), penyebaran (diffussion),
dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) bagi pencapai inovasi
(Nelson 1993 dalam Taufik 2000). Aktor utama SI adalah perguruan tinggi,
industri dan organisasi litbang. Aktor pendukung terdiri dari pemerintah (nasional,
regional, dan lokal), lembaga finansial/ventura (pendanaan), lembaga asing,
pengguna (end user), bridging institution (organisasi profesi yang berperan
sebagai ‘intermediaries’) atau di Indonesia dikenal sebagai LI maupun organisasi lainnya (lembaga paten, lembaga pendidikan dan latihan (diklat), dan lain-lain)
(Nelson 1993 dalam Taufik 2000).
Dengan nama berbeda-beda di Indonesia sudah banyak LI yang sudah
terbentuk dan tidak saja berperan sebagai lembaga penghubung yang dapat
meningkatkan kemampuan teknologi pada UKM, tetapi juga berperan dalam
serta SDM. Beberapa kriteria khusus yang harus dimiliki suatu lembaga agar
dapat dikatakan sebagai LI yang mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga
penghubung dan memberikan layanan secara optimal dan terpadu kepada UKM
adalah sebagai berikut (PI-UMKM 2008) :
1. Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
3. Memiliki program kerja baik jangka panjang maupun jangka pendek sesuai
dengan orientasi spesifik kebutuhan UKM.
4. Memiliki kerjasama (networking) yang luas.
5. Memiliki minimal 4 (empat) layanan yaitu layanan pengembangan teknologi,
pengembangan SDM, intermediasi jejaring bisnis/pasar dan fasilitasi akses
pembiayaan, yang menjadi pokok kebutuhan dalam meningkatkan daya saing
UKM.
Selain bentuk LI yang berbeda-beda, kepemilikan LI di Indonesia juga
cukup beragam, dan secara umum dapat dikelompokan menjadi 5 (lima)
kelompok kepemilikan, yaitu (1) milik Perguruan Tinggi (PT); (2) milik Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM); (3) milik Pemerintah Pusat; (4) milik Pemerintah
Daerah (Pemda); (5) milik Asosiasi.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut saat ini beberapa LI
tengah dihadapkan beberapa masalah sehingga tidak dapat memberikan layanan
secara optimal kepada UKM. Masalah yang dihadapi LI, antara lain pendanaan,
SDM, sarana dan prasarana yang masih terbatas. Beberapa LI pendanaannya
sangat minim, tidak rutin dan tidak terstruktur. Sebagian besar pendanaan LI
masih banyak yang hanya mengandalkan proyek dan program-program insentif
dari lembaga pemerintah (Kementerian dan Non Kementerian) serta Pemerintah
Daerah. Karena dana yang dimiliki masih minim, sehingga sarana dan prasarana
yang dimilikinya juga sangat terbatas. Ada juga LI yang tidak dapat beroperasi
secara maksimal, karena tidak memiliki SDM yang memadai dan ahli dalam
menangani UKM. Berdasarkan hal tersebut diatas diperlukan adanya kajian
strategi dan kelayakan pengembangan LI untuk meningkatkan daya saing UKM di
Balai Inkubator Teknologi (BIT) adalah salah satu lembaga yang
mempunyai peran dan fungsi sebagai LI. BIT merupakan LI milik Pemerintah
Pusat yang berlokasi di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahun dan Teknologi
(Puspiptek) Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. BIT merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah pembinaan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi yang mempunyai peran memberikan layanan secara
terpadu kepada UKM. Fungsi dari BIT adalah (BIT 2010) :
1. Menyediakan layanan fasilitas dan advokasi manajemen, akses pasar, akses
pendanaan, aspek legal dan layanan fasilitas laboratorium bagi peneliti BPPT
atau lembaga penelitian lainnya dan masyarakat, dalam rangka menumbuh
kembangkan kewirausahaan baru berbasis teknologi atau inovasi.
2. Memberi layanan advokasi untuk mendukung pengembangan Usaha Kecil
Menengah dan Koperasi (UKMK) yang berbasis teknologi atau inovasi.
3. Meningkatkan jejaring atau networking baik didalam negeri maupun luar
negeri serta memasyarakatkan jasa inkubasi teknologi atau inovasi.
Sejak terbentuk pada tahun 2001, sudah banyak UKM yang berhasil dibina
dan ditingkatkan daya saingnya oleh BIT. Saat ini BIT sedang membina 39 UKM
yang terdiri dari 20 UKM yang merupakan outwall tenant (berlokasi di luar BIT),
dan 19 UKM inwall tenant (berlokasi di dalam BIT). Selain itu BIT mempunyai
mitra 9 lembaga pemerintah, 40 lembaga akademisi dan 724 lembaga bisnis (BIT
2010). BIT dinilai cukup berhasil dalam menjalankan peran dan fungsinya secara
optimal dan terpadu sebagai LI, selain berhasil meningkatkan daya saing UKM
juga berhasil didalam menumbuh-kembangkan UKM baru yang berbasis
teknologi dan inovasi.
Sebagai LI yang dinilai cukup berhasil, BIT dapat dijadikan contoh dan
referensi untuk pengembangan LI yang lain sehingga dapat menjalankan peran
dan fungsinya secara optimal untuk memberikan terpadu dalam rangka
meningkatkan daya saing UKM di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka disusun
1. Bagaimana karakteristik dan kondisi BIT sebagai LI ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi keberhasilan BIT dalam
menjalankan peran dan fungsinya sebagai LI untuk meningkatkan daya saing
UKM ?
3. Bagaimana strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan agar peran dan
fungsinya sebagai LI untuk meningkatkan daya saing dan
menumbuh-kembangkan UKM berbasis teknologi atau inovasi dapat lebih optimal lagi ?
1.3 Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian yang akan dilakukan adalah :
1. Mengidentifkasi karakteristik dan kondisi BIT sebagai LI.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan BIT dalam
menjalankan fungsi dan perannya secara optimal dan terpadu sebagai LI untuk
meningkatkan daya saing UKM.
3. Menyusun strategi dan kelayakan pengembangan BIT ke depan agar peran dan
fungsinya sebagai LI untuk memberikan layanan terpadu untuk meningkatkan
daya saing dan menumbuh-kembangkan UKM berbasis teknologi atau inovasi
di Indonesia dapat lebih optimal.
2.1 Usaha Kecil dan Menengah
2.1.1 Definisi
Di Indonesia, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda tentang Usaha
Kecil dan Menengah (UKM). Pendefinisian ini antara lain oleh Badan Pusat
Statistik, Kementerian Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kesehatan. Definisi
UKM menurut lembaga-lembaga tersebut diatas adalah sebagai berikut (Hubeis
2009) :
1. Badan Pusat Statistik (BPS) : UKM adalah perusahaan atau industri dengan
pekerja antara 5 – 19 orang.
2. Bank Indonesia (BI) : UKM adalah perusahaan atau industri dengan
karakteristik berupa; (a) modal kurang dari 20 juta rupiah; (b) untuk satu
putaran usahanya hanya membutuhkan dana 5 juta rupiah; (c) memiliki asset
maksimal 600 juta rupiah di luar tanah dan bangunan; (d) omzettahunan ≥ 1
miliar rupiah.
3. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Undang-Undang
No. 9 Tahun 1995) : UKM adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan
bersifat tradisional, dengan kekayaan bersih 50 juta – 200 juta rupiah (tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan omzet tahunan ≥ 1 miliar
rupiah; dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2008 dengan kekayaaan bersih
50 juta – 500 juta rupiah dan penjualan bersih tahunan 300 juta – 2,5 miliar
rupiah.
4. Kementerian Perindustrian :
a. Perusahaan memiliki aset maksimum 600 juta rupiah di luar tanah dan
bangunan.
b. Perusahaan memiliki modal kerja di bawah 25 juta rupiah.
5. Kementerian Keuangan : UKM adalah perusahaan yang memiliki omzet
maksimum 600 juta rupiah per tahun an atau aset maksimum 600 juta rupiah
6. Kementerian Kesehatan : perusahaan yang memiliki penandaan standar mutu
berupa Sertifikat Penyuluhan (SP), Merk Dalam Negeri (MD), dan Merk Luar
Negeri (ML).
Adanya berbagai macam penetapan definisi mengenai UKM di atas
membawa berbagai konsekuensi yang strategis. Definisi merupakan konsensus
terhadap entitas UKM sebagai dasar formulasi kebijakan yang akan diambil,
sehingga paling tidak, ada 2 (dua) tujuan adanya definisi yang jelas mengenai
UKM, yaitu pertama, untuk tujuan administratif dan pengaturan; serta kedua,
tujuan yang berkaitan dengan pembinaan (Adiningsih 2000).
Tujuan pertama berkaitan dengan ketentuan yang mengharuskan suatu
perusahaan memenuhi kewajibannya, seperti membayar pajak, melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta mematuhi ketentuan ketenagekerjaan
seperti keamanan dan hak pekerja lainnya. Sementara tujuan kedua lebih pada
pembuatan kebijakan yang terarah seperti upaya pembinaan, peningkatan
kemampuan teknis, serta kebijakan pembiayaan untuk UKM.
Meskipun perbedaan-perbedaan ini bisa dipahami dari segi tujuan
masing-masing lembaga, namun kalangan yang terlibat dengan kelompok UKM seperti
pembuat kebijakan, konsultan, dan para pengambil keputusan akan menghadapi
kesulitan dalam melaksanakan tugasnya. Seperti halnya, kesulitan dalam mendata
yang akurat dan konsisten, mengukur sumbangan UKM bagi perekonomian, dan
merancang regulasi/kebijakan yang fokus dan terarah. Oleh karena itulah, upaya
untuk membuat kriteria yang lebih relevan dengan kondisi saat ini perlu
dilakukan.
2.1.2 Kinerja Usaha Kecil dan Menengah
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat
kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan,
proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan,
serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan
Karakteristik UKM di Indonesia pada umumnya mempunyai daya tahan
untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama
krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan
penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri,
mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat
dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi disebabkan oleh
4 (empat) hal, yaitu : (1) sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi
(consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama; (2) mayoritas UKM lebih
mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha; (3)
pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya
memproduksi barang atau jasa tertentu saja; dan (4) terbentuknya UKM baru
sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
Peranan UKM yang penting sebagai penopang perekonomian, menjadikan
UKM sebagai penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini. Berkaitan
dengan hal ini, paling tidak terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam
menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu (1) sektor UKM sebagai penyedia
lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak tertampung di sektor formal; (2)
sektor UKM mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB); dan (3) sektor UKM sebagai sumber penghasil devisa negara
melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan sektor ini.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa asek, yaitu (1)
nilai tambah; (2) unit usaha, tenaga kerja dan produktivitas; (3) nilai ekspor.
Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut (K-KUKM, 2010) :
1. Nilai tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2009 bila
dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik
Bruto (PDB) UKM dengan nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai
2.993.151,7milyar rupiah. UKM memberikan kontribusi 23,45 % dari total PDB
2. Unit usaha dan tenaga kerja
Pada tahun 2009 jumlah populasi UKM mencapai 587.809 unit usaha atau 2,2
persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya
mencapai 6,2 juta orang.
3. Ekspor non migas UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan
dari 161.543,5 milyar rupiah pada tahun 2008 menjadi 147.878,7 milyar rupiah
pada tahun 2009.
Tabel 1 Perkembangan jumlah dan kinerja UMKM dan UB pada tahun 2007 – 2009
No. Indikator Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Jumlah
2.1.3 Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah
Permasalahan UKM di Indonesia dikelompokkan atas 3 (tiga) kategori
(Hubeis 2009) :
1. Permasalahan klasik dan mendasar, misalnya keterbatasan modal, SDM,
pengembangan produk dan akses pemasaran.
2. Permasalahan pada umumnya, misalnya antara peran dan fungsi instansi
terkait dalam menyelesaikan masalah dasar yang berhubungan dengan
masalah lanjutan seperti prosedur perizinan, perpajakan, agunan dan hukum.
3. Permasalahan lanjutan, misalnya pengenalan dan penetrasi pasar ekspor yang
belum optimal, kurangnya pemahaman desain produk yang sesuai dengan
karakter pasar, permasalahan hukum yang menyangkut perizinan, hak paten
dan prosedur kontrak.
Menurut Urata (2000), secara umum UKM menghadapi dua permasalahan
utama, yaitu masalah finansial dan masalah non finansial. Masalah yang termasuk
dalam masalah finansial (Urata 2000) di antaranya adalah :
1. Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia dan dana yang dapat diakses
oleh UKM.
2. Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM.
3. Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang
dikucurkan kecil.
4. Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai.
5. Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi.
6. Banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya
manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan
manajerial dan finansial.
Termasuk dalam masalah organisasi manajemen (non-finansial) di
antaranya adalah :
1. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan
2. Kurangnya pengetahuan pemasaran, yang disebabkan oleb terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena
keterbatasan kemampuan UKM untuk menyediakan produk/jasa yang sesuai
dengan keinginan pasar.
3. Keterbatasan pendidikan sumber daya manusia (SDM).
4. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi.
Di samping 2 (dua) permasalahan utama di atas, UKM juga menghadapi
permasalahan linkage dengan perusahaan dan ekspor. Permasalahan yang terkait
dengan linkage antar perusahaan, di antaranya sebagai berikut :
1. Industri pendukung yang lemah.
2. UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem cluster dalam bisnis belum
banyak.
Keterbatasan SDM ini merupakan adalah satu hambatan struktural yang
dialami oleh UKM (Urata 2000). Sekitar 70% tenaga kerja UKM hanya SD, dan
alasan tidak melanjutkan sekolah sebagian dikarenakan ketiadaan biaya
(kemiskinan). Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor, di antaranya
sebagai berikut :
1. Kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan.
2. Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
3. Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
4. Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab
permasalahan-permasalahan di atas adalah (1) pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang
berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; (2)
masih terjadinya ketidaksesuaian antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah
dan kebutuhan UKM; (3) serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara
UKM dengan industri yang lebih besar (Urata 2000). Hal ini tentunya
membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan
2.2 Lembaga Intermediasi
2.2.1 Definisi
Intermediasi atau intermediary makna secara harfiahnya adalah perantara
atau penengah. Dalam pembangunan ekonomi biasanya intermediasi merupakan
lembaga yang menjadi penghubung antara pemodal dengan pengusaha/industri.
Dalam hal ini lembaga perbankan merupakan Lembaga Intermediasi (LI) yang
berkaitan dengan konteks pembangunan ekonomi. Dalam konteks kajian ini, LI
yang dimaksud lebih ditekankan kepada LI iptek, yakni suatu lembaga atau
institusi yang menghubungkan atau menjembatani interaksi antara lembaga
penghasil teknologi dan pengguna teknologi. Didalam menjalankan peran dan
fungsinya LI ini tidak saja memberikan layanan pengembangan teknologi tetapi
juga layanan pengembangan SDM, intermediasi jejaring bisnis/pasar dan fasilitasi
akses pembiayaan, yang menjadi pokok kebutuhan dalam meningkatkan daya
saing UKM.
LI merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai lembaga penghubung
(mediatory) dari sumber-sumber produktif pengembangan usaha maupun
pengembangan teknologi dengan pengguna baik masyarakat maupun UKM. Lembaga ini dapat berupa unit khusus yang independen (memiliki otonomi/
kewenangan pengelolaan organisasi yang relatif tinggi). Contoh dari bentuk ini
berupa suatu lembaga/organisasi, misal “Pusat(Center)” sebagai suatu organisasi
yang sepenuhnya berdiri sendiri (otonom), walaupun implementasinya dalam
koordinasi institusi lain (di bawah suatu kementerian/non kementerian
pemerintah) tertentu, ataupun suatu lembaga berupa konsorsium atau bentukan
dari kerjasama beragam pihak, misalnya inkubator, pusat-pusat teknologi, dunia
usaha dan pemerintah.
Secara legal terminologi intermediasi muncul secara eksplisit dalam
Peraturan Presiden (PP) No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2004-2009 Bab 22 mengenai pembangunan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek). Dalam RPJM 2004-2009 menyatakan bahwa pembangunan
iptek merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi yang menjadi landasan bagi
tumbuhnya kreativitas SDM, yang pada gilirannya dapat menjadi sumber
Lemahnya daya saing bangsa dan kemampuan iptek ditunjukkan oleh
sejumlah indikator. Salah satu indikator tersebut adalah karena belum optimalnya
mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas
penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna (PI-UMKM 2008). Masalah ini dapat
terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain institusi yang
mengolah dan menerjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi teknologi siap
pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Disamping itu, masalah tersebut
dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan
pihak industri termasuk UKM, yang antara lain berakibat pada minimnya
keberadaan UKM berbasis teknologi (PI-UMKM 2008).
Dengan perkataan lain, salah satu penyebab lemahnya daya saing UKM
disebabkan oleh masih lemahnya peran kelembagaan intermediasi iptek. Untuk
itulah peran LI menjadi sangat sentral dan strategik dalam proses difusi inovasi.
Difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan, diadopsi dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Melalui proses difusi dimungkinkan suatu inovasi
dikomunikasikan sehingga dapat diketahui oleh banyak orang, tersebar luas dan
akhirnya digunakan oleh masyarakat. Proses difusi biasanya terjadi karena adanya
pihak-pihak yang menginginkan atau secara sengaja merencanakan dan
mengupayakan (Prayitno et al. 2005). Proses difusi teknologi sangat dipengaruhi
oleh adanya interaksi antara 4 (empat) unsur, yaitu karakteristik inovasi itu
sendiri, bagaimana inovasi itu dikomunikasikan, waktu dan sistem sosial dimana
suatu hasil inovasi diperkenalkan (Rogers 1995 dalam Prayitno et al. 2005).
Supaya proses alih teknologi dari penemu kepada pemakai teknologi berjalan
dengan baik, diperlukan LI sebagai salah satu unsur yang sangat penting dalam
proses difusi inovasi, yakni sebagai salah satu bentuk saluran komunikasi.
Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung penguasaan pemanfaatan
dan pemajuan iptek secara nyata telah dijabarkan dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi. Dengan
adanya PP ini, diharapkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh perguruan
tinggi dan lembaga litbang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan masyarakat, UKM serta dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi
Selama ini proses difusi dan alih teknologi yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut, lebih banyak melihat dari sisi technology push. Technology
push adalah istilah dimana teknologi dikembangkan tanpa melihat apakah
teknologi tersebut dibutuhkan atau ada permintaan pasar atau tidak (Taufik 2000).
Di Indonesia, lembaga yang sebetulnya memiliki fungsi atau paling tidak
diharapkan memiliki peran sebagai LI teknologi, sebetulnya telah banyak
di-bentuk. LI tersebut lebih banyak dibentuk oleh lembaga pemerintah (pusat dan
daerah), walaupun ada juga yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi baik negeri
ataupun swasta, LSM, atau perorangan dan asosiasi. LI yang dibentuk oleh
pemerintah pusat, antara lain : BPPT Engineering (BE-BPPT), Business
Technology Center (BTC), Balai Inkubator Teknologi (BIT), program
Kementerian Riset dan Teknologi (KRT), Business Development Service Provider
(BDS-P) dan Forum Pusat Layanan Usaha (PLU) yang merupakan program
Kementerian KUKM. Yang dibentuk oleh Pemda, antara lain Balai Pelayanan
Bisnis Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan
UKM Provinsi DI Yogjakarta, Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi/
Kabupaten/Kota, UPT UMKM Disperindag Provinsi Bali. Sedangkan yang
dibentuk oleh LSM atau perorangan misalnya Andalas Solusi Bisnis, Business
Innovation Center (BIC) Jakarta, Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil
(PUPUK), dan LI yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi diantaranya adalah :
Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Sriwijaya (Unsri), Pusat
Inkubator Agribisnis dan Agroindustri Institut Pertanian Bogor (PIAA-IPB),
UKM Center Universitas Indonesia (UI), UPT Inkubator Industri dan Bisnis (IIB)
Institut Teknologi Bandung (ITB), Pusat Inkubator Bisnis Ikopin (PIBI), IKOPIN,
LPPM Universitas Gadjah Mada dan lain-lain. Sedangkan yang dibentuk oleh
asosiasi antara lain UKM Center Kadin.
Sampai saat ini lembaga-lembaga tersebut sebagian besar masih belum
berperan dan berfungsi secara optimal sebagai LI, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Diperlukan adanya strategi dan kelayakan pengembangan, serta upaya
yang konsisten agar lembaga-lembaga tersebut dapat berperan dan berfungsi
secara optimal menjadi lembaga intermediasi untuk meningkatkan daya saing
Gambar 1 Sistem Inovasi Nasional (KRT 2008)
2.2.2 Kriteria
Lembaga Intermediasi (LI) adalah suatu organisasi atau unit organisasi
sebagai simpul, hub atau gateway dari jaringan kemitraan yang memberikan jasa
pelayanan terpadu untuk meningkatkan daya saing UKM. Beberapa kriteria
khusus yang harus dimiliki suatu lembaga agar dapat dikatakan sebagai LI yang
mempunyai peran dan fungsi sebagai lembaga penghubung dan memberikan
layanan secara optimal dan terpadu kepada UKM adalah sebagai berikut
(PI-UMKM 2008) :
1. Memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
2. Memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
3. Memiliki program kerja baik jangka panjang maupun jangka pendek sesuai
dengan orientasi spesifik kebutuhan UKM.
4. Memiliki kerjasama (networking) yang luas.
5. Minimal mempunyai 4 (empat) layanan, yaitu :
a. Jasa layanan berbasis teknologi
Sebagai pusat data dan informasi yang di dalamnya mencangkup teknologi,
peluang pasar, pusat-pusat unggulan teknologi, tenaga ahli, produk, bahan baku,
lain-lain. Jasa layanan berbasis teknologi meliputi pemberi rekomendasi terkait
penggunaan/pemanfaatan teknologi, advokasi, alih teknologi, konsultansi,
pengujian, jasa operasional, pilot project, pilot plant, prototype, survei.
b. Pengembangan SDM UKM
Yang dimaksudkan dengan layanan pengembangan SDM adalah
layanan-layanan berkaitan dengan upaya agar kemampuan SDM baik sebagai pelaku
UKM atau technopreneur meningkat, baik dari aspek wawasan berbisnis maupun
kemampuan teknis operasional menjalankan usaha. Jasa layanan pengembangan
SDM UKM meliputi pelatihan, pendampingan, workshop, seminar dan lain-lain.
c. Intermediasi/jejaring bisnis Usaha Kecil dan Menengah
Sebagai pusat jaringan UKM dengan pasar, industri serta jaringan sarana
komunikasi dan pemasaran produk berbasis internet. Jasa layanan intermediasi/
jejaring bisnis UKM meliputi mempertemukan UKM dengan pasar dan industri,
promosi produk-produk UKM melalui pameran-pameran dan internet.
d. Fasilitasi akses pembiayaan
Fasilitasi jasa pembiayaan bank dan non bank (pembiayaan berisiko/risk
capital). Jasa layanan fasilitasi akses pembiayaan mempertemukan UKM dengan
lembaga keuangan/pembiayaan bank dan non bank.
2.2.3 Contoh Lembaga Intermediasi di Indonesia
1. Balai Pelayanan Bisnis Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta
Balai Pelayanan Bisnis (BPB) merupakan salah satu unit dibawah Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Provinsi Daerah Istimewa
Yogjakarta (DIY). BPB ini berfungsi untuk memberikan layanan dan fasilitas bagi
pengembangan bisnis di di Yogyakarta, khususnya bagi usaha kecil menengah dan
koperasi (UKMK). Berbagai layanan untuk dunia usaha, khususnya UKMK telah
disediakan oleh BPB yang merupakan beragam layanan dengan mempergunakan
teknologi informasi dan komunikasi. BPB mempunyai tugas dan fungsi sebagai
berikut :
a. Pengelolaan data informasi bisnis.
b. Pengembangan sistem informasi serta pengembangan jaringan pengelolaan
c. Pelayanan informasi bisnis.
d. Pelayanan konsultasi, bimbingan dan pendampingan usaha.
e. Peyelenggaraan pengembangan bisnis.
BPB sebagai lembaga fasilitator pengembangan UKM Provinsi DIY setiap
tahun mengadakan pelatihan bagi UKM dan beberapa diantaranya bersertifikasi.
Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pelaku UKM DIY, baik
dalam manajerial, pemasaran, administrasi dan pemanfaatan teknologi informasi
bagi perkembanagan usahanya.
Jenis Pelayanan yang terdapat dalam BPB adalah :
a. Pelayanan usaha berupa konsultasi melalui tatap muka.
b. Pelayanan usaha melalui pelatihan/bimbingan, pendampingan dan bantuan
promosi pemasaran.
c. Penyelenggraan pengembangan bisnis melalui bantuan promosi pemasaran.
d. SIOT (Sistem Informasi Operasional dan Transaksi).
e. OLAP (Online Analytical Processing).
f. Diskusi Online dan SMS serta Call Center.
2. Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil
Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil atau disingkat PUPUK
(Association for Advancement of Small Business) adalah organisasi non profit,
independen dan bersifat non-politis yang memposisikan diri sebagai organisasi
yang bergerak dalam bidang pengembangan usaha kecil. PUPUK didirikan untuk
menjawab perlunya kegiatan pengembangan usaha kecil yang terintegrasi di
semua lini ekonomi. Melalui pendekatan yang integratif PUPUK berupaya untuk
mendorong usaha kecil agar mengoptimalkan peranannya.
Kegiatan utama PUPUK adalah kerjasama pengembangan UKM,
implementasi program CSR (Corporate Social Responsibility), studi, riset dan
survei yang dilakukan sebelum dan sesudah program kerjasama pengembangan
UKM, program advokasi yang diarahkan pada upaya memperkuat posisi UKM
dalam persaingan bisnis. Kemudian untuk meningkatkan kapasitas dan
kemampu-an teknis UKM melalui kegiatkemampu-an pelatihkemampu-an, workshop, dan in-house training.
Adapun jenis pelatihan dan workshop yang dilaksanakan oleh PUPUK
antara lain tentang :
a. CSR (Corporate Social Responsibility).
b. Klaster industri dan inisiasinya.
c. Local and Regional Economic Development.
d. Kompetensi inti daerah.
e. Perencanaan strategis pembangunan daerah.
f. Rantai nilai (Value Chain Development).
g. Balance Score Card.
h. OVOP (One Village One Product).
Dengan berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh PUPUK tentunya
menghasilkan berbagai pengalaman empirik. Sebagai lembaga yang peduli pada
pengembangan dan penguatan UKM, maka PUPUK merasa berkewajiban untuk
mendiseminasikan berbagai temuan dan pengalaman empirik di lapangan kepada
publik, melalui seminar, workshop dan berbagai publikasi.
Program-program penguatan UKM dilakukan dengan basis potensi yang
dimiliki oleh UKM dan kebutuhan UKM dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya yang dimiliki Indonesia.
3. Surabaya Busines Incubator Centre (Pusat Pembinaan dan
Pengembang-an Wirausaha Jawa Timur)
Misi dan tujuan dari lembaga ini adalah mengembangkan wirausaha
pemula/industri kecil yang belum berpengalaman menjadi wirausaha menengah
dan tangguh.
Bentuk layanan yang dapat diberikan oleh lembaga ini adalah :
a. Menyediakan fasilitas bagi pengusaha pemula dalam bidang industri kecil dan
menengah (IKM) untuk mengembangkan usahanya dengan cara memberikan
dukungan pembinaan administrasi, manajemen, teknologi, pemasaran dan
dana.
b. Memberikan jasa penyuluhan kepada para pengusaha kecil (industri kecil)
diluar tenant, serta mengusahakan jaringan informasi mengenai dunia usaha,
2.2.4 Contoh Lembaga Intermediasi di Beberapa Negara
1. Lembaga intermediasi di negara China
Pemerintah China telah melakukan penggabungan antara sistem iptek sesuai
dengan kebutuhan ekonomi pasar dan kebijakan perpajakan, untuk mendorong
inovasi teknologi dalam dunia usaha. Selain itu juga dikembangkan dan diperkuat
fungsi Research and Development (R&D) dari berbagai lembaga litbang
pemerintah maupun universitas dan melakukan percepatan pengembangan inovasi
teknologi untuk
Berbagai upaya dalam pengembangan UKM di Cina telah dilakukan
melalui LI seperti inkubator teknologi. Salah satu pusat inkubator teknologi
terbesar terdapat di Shanghai, yaitu Shanghai Technology Innovation Center
(STIC), yaitu salah satu lembaga publik non profit di bawah pimpinan Komisi
Iptek Kodya Shanghai yang yang dibentuk pada tahun 1988. STIC merupakan
pusat inkubasi yang cukup berprestasi dan didanai oleh pemerintah Shanghai,
diakui oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Pusat
Pelayanan Teknologi baru dan tinggi, serta merupakan salah satu Pusat
International Business Incubator. STIC mencurahkan perhatiannya untuk suatu
prinsip dari alih teknologi yang unggul, inkubasi teknologi bagi pengusaha, dan
menanamkan teknologi entrepreneur dan berusaha sekuat tenaga untuk
membangun lingkungan inovasi yang baik untuk menyediakan pelayanan
komprehensif terhadap pengguna teknologi dan inovator untuk tujuan
komersialisasi. Sebagai organisasi induk dari Asosiasi Inkubasi Teknologi Bisnis
(Technology Business Incubation Association) Shanghai, selusin inkubator
teknologi, termasuk inkubator “Yangpu” dan “IC Design” didanai dan didirikan
oleh STIC.
Gambar 2 Relation building process (STIC 2007dalam Mulyadi, 2008)
Industry Government
2. Lembaga intermediasi di negara Taiwan
Pertumbuhan penting dalam inovasi dan aktivitas kewirausahaan dalam era
baru perkembangan ekonomi, pada tahun 1996 Small and Medium Enterprise
Administration (SMEA) dari Kementerian Ekonomi (MOEA), mengambil inisiatif
dan memimpin dalam pembangunan dan perkembangan pusat inkubasi di Taiwan.
Pusat inkubasi merupakan tempat pembinaan/pelatihan inovasi bisnis,
produk dan teknologi, serta membantu UKM untuk menumbuhkan
kemampuan-nya sendiri. Dengan menyediakan ruangan kantor, peralatan, dan R&D
technology, membantu penjaminan pembiayaan dan menyediakan konsultasi
manajemen, serta pelayanan bisnis lainnya. Konkrit dari hal yang dimaksud
adalah membantu memfasilitasi integrasi efektif dari sumber daya, membantu
mengurangi biaya dan resiko pemula untuk mengembangkan bisnisnya.
Gambar 3 Service Flow at Incubation Centers in Taiwan (SMEA 2005 dalam
Application Procedures For Locating One’s Start Up Within An Incubation Center
Saat ini, sebagian besar pusat inkubasi di Taiwan berafiliasi dengan
universitas. Kementerian Urusan Ekonomi mendorong lembaga penelitian dan
private sector untuk menanam investasi dalam sektor inkubator dan menyusun
strategi untuk penggabungan beberapa sumber daya dan kekuatan yang berbeda
dari pusat inkubasi yang berjalan dengan unversitas dan lembaga penelitian.
Tujuan utamanya adalah menyediakan suatu bentuk yang komprehensif tentang
pelayanan inkubasi untuk melindungi setiap langkah proses pengembangan UKM.
3. Lembaga intermediasi di negara Jerman
Fungsi LI di Jerman adalah memberikan pelayanan (business development
service-BDS) yang bersifat nirlaba dan berperan penting terhadap pendirian,
kelangsungan hidup, produktivitas, daya saing, perkembangan perusahaan baru
dan UKM.
LI di Jerman memberikan berbagai jenis pelayanan yang meliputi pelatihan,
konsultansi, bimbingan pemasaran, teknologi informasi, pengembangan teknologi
dan promosi jejaring bisnis. LI memberikan 2 (dua) kategori pelayanan, yaitu
bersifat operasional dan yang bersifat strategik. Pelayanan operasional merupakan
kegiatan rutin seperti sistem informasi dan komunikasi, pengelolaan keuangan dan
perpajakan dimana semua kegiatan tersebut didasarkan pada peraturan yang
berlaku di Jerman.
Dilain pihak, pelayanan strategik merupakan kegiatan yang digunakan
untuk mengantisipasi program jangka menengah dan jangka panjang dalam
rangka meningkatkan kinerja perusahaan client, daya saing dan akses ke pasar.
Sebagai contoh pelayanan strategik dapat membantu perusahaan client untuk
mengidentifikasi dan memberikan pelayanan ke pasar, mendisain produk,
menyiapkan fasilitas dan akses ke bank.
Di negara Jerman, fungsi LI dilakukan oleh beberapa pihak (aktor), yaitu :
a. Perusahaan baru/UKM, merupakan sisi demand dari pasar LI.
b. Provider BDS memberikan service langsung ke perusahaan baru/UKM.
Dapat berupa individu, private forprofit firms, NGO, badan pemerintah,
asosiasi dan lain-lain.
c. Fasilitator BDS mendukung provider BDS, contoh mengembangkan produk
Pendanaan publik, pengembangan pasar
Pendanaan privat, Orientasi komersial
Pelayanan langsung Fasilitasi demand/supply
kemampuan provider BDS. Fasilitator juga dapat bekerja pada sisi demand,
contohnya mendidik perusahaan baru/UKM untuk mengenali keuntungan
yang bisa didapat atau memberikan insentif.
d. Donor menyediakan pendanaan pada proyek-proyek BDS. Pada beberapa
kasus, fasilitator BDS adalah donor itu sendiri.
e. Pemerintah, yang seperti donor juga memberikan pendanaan untuk
proyek-proyek BDS. Selain itu, intervensi terhadap BDS, peranan utama pemerintah
adalah menyediakan kebijakan, hukum dan regulasi untuk perusahaan
baru/UKM dan provider BDS, serta infrastuktur, pendidikan dan pelayanan
informasi.
Gambar 4 di bawah mengilustrasikan fungsi dari berbagai aktor tersebut di
atas, masing-masing dengan tujuan yang berbeda-beda tergantung pada orientasi
komersial atau pengembangan publik. Fasilitator BDS mempunyai tujuan untuk
mengembangkan pasar sebagai bagian dari kebijakan sosial dan ekonomi
pemerintah Negara Jerman. Bagi Provider BDS yang berorientasi komersial,
pengembangan pasar yang dilakukan oleh fasilitator BDS adalah tidak relevan
dengan misi Provider BDS komersial dan bahkan sering timbul konflik.
Sebagai contoh, pengembangan pasar untuk BDS sering berimplikasi pada
makin tumbuhnya Provider BDS baru. Pada paradigma pengembangan pasar
untuk BDS, fungsi utama dari Donor dan Pemerintah adalah memfasilitasi
tumbuhnya sisi demand dan supply.
4. Lembaga intermediasi di negara Jepang
Di Jepang, ada lembaga yang dinamakan Japan Small Medium Business
Corporation (JASMEC). Lembaga ini dikelola secara profesional atas dasar
kebijakan umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Didirikan pada tanggal 1 Juli
1999 yang merupakan penggabungan dari Small Business Credit Insurance
Corporation (Japan CIC) dan Japan Small Business Corporation (JSBC).
Lembaga ini berada dibawah pengawasan Ministry of Industry and International
Trade (MITI) dan Ministry of Finance, dimana seluruh modalnya berasal dari
pemerintah pusat. Lembaga ini dibangun untuk mengimplementasikan kebijakan
pemerintah Jepang menyangkut UKM melalui mutu SDM, internasionalisasi (go
international) dan pelayanan informasi, seperti informasi pasar, informasi
teknologi, dan sebagainya.
Bentuk sistem dukungan kepada UKM dilakukan melalui pembuatan
buku petunjuk, training dan pelayanan konsultasi manajemen dengan melibatkan
the chambers of commerce and industry, associations of entrepreneurs dan
asosiasi perdagangan UKM. Jasmec dan SME & Venture Business Support
Centers telah melakukan kerjasama kolektif dalam mengembangkan UKM.
Pelayanan di bidang keuangan dilakukan Japanese Finance for Small
Business (59 cabang), People Finance Corporation (152 cabang) dan The Shoko
Chukin Bank (104 cabang). Sedangkan untuk asuransi kredit dilakukan oleh Small
Business Credit Insurance Corporation dan didukung oleh Prefectural Credit
Insurance Association (asosiasi kredit yang berada di distrik, terdiri dari 52
anggota). Bagi UKM yang membutuhkan investasi, mereka dapat menghubungi
Small and Medium Business Investment & Consultation Co. Ltd. di Tokyo, Osaka,
dan Nagayo.
Sedangkan untuk melihat peluang-peluang usaha yang dapat
dikembangkan serta kelemahan-kelemahan para pesaingnya di luar negeri, UKM
of Commerce and Industry dan National Federation of Commerce-Industry Trade
Association.
Selain lembaga-lembaga yang mendukung pemberdayaan UKM di Jepang,
para pelaku UKM sendiri juga mendirikan National Federation of Small Business
Association dan didukung oleh asosiasi di daerah Perfectural Federation of Small
Business Association guna menyamakan arah dan pandangan sehingga dapat
berkerjasama dengan baik. Asosiasi ini dikelola dengan sangat profesional,
dimana di dalamnya terdapat sekitar 9000 konsultan yang senantiasa memberikan
bimbingan kepada UKM untuk dapat mengakses pasar, meningkatkan kinerjanya,
meningkatkan kualitas produknya, dan sebagainya.
Negara Jepang sudah mengembangkan tiga macam sistem dukungan
kepada UKM yaitu SME/Venture Business Support Centers, Prefectural SME
Support Centers dan Regional SME Support Centers.
Ketiga lembaga ini saling bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain
seperti Commerce and Industry Associations and Chambers of Commerce and
Industry dengan melakukan pelayanan satu atap menyangkut informasi, strategi,
dan implementasi proyek termasuk didalamnya pelayanan konsultasi dan
penyediaan tenaga ahli, serta pelaksanaan training dan seminar, dan lain-lain.
2.3 Sistem Inovasi
2.3.1 Definisi
Sistem Inovasi (SI) semakin sering dibahas, terutama dalam dua dekade
terakhir ini. Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa perusahaan, daerah atau
negara yang berhasil di bidang sosial ekonomi ternyata didukung oleh SI yang
berkembang dan kuat.
Sistem Inovasi pada dasarnya merupakan sistem yang terdiri dari
sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, kemitraan, hubungan interaksi dan
proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi
dan difusinya serta proses pembelajaran. Dengan demikian SI sebenarnya
mencakup basis iptek termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan, aktivitas
penelitian dan pengembangan, dan rekayasa), basis produksi (meliputi
masyarakat umum), dan pemanfaatan dan difusinya dalam masyarakat, serta
proses pembelajaran yang berkembang.
Beberapa definisi yang berkembang tentang SI dari beragam sudut
pandang sebagai berikut :
a. SI adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang interaksinya
memprakarsai, mengimpor, memodifikasi dan mendifusikan
teknologi-teknologi baru (Freeman 1987 dalam Taufik 2000).
b. SI merupakan unsur dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam
menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan
bermanfaat secara ekonomi.
c. SI merupakan sehimpunan aktor yang secara bersama memainkan peran
penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative performance)
(Nelson and Rosenberg 1993 dalam Taufik 2000).
d. SI merupakan sistem yang menghimpun institusi-institusi berbeda yang
berkontribusi, secara bersama maupun individu, dalam pengembangan dan
difusi teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework),
di mana pemerintah membentuk dan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi proses inovasi.
e. SI merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar di suatu negara
yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi (Freeman
1987 dalam Taufik 2000).
f. SI merupakan keseluruhan faktor ekonomi, sosial, politik, organisasional dan
faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan, difusi dan penggunaan
inovasi. Jadi, SI pada dasarnya menyangkut determinan dari inovasi (Edquist
2001 dalam Taufik 2000).
g. Menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi nasional” (national research
and innovation system), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi
yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa
kepada pembangunan ekonomi (Arnold et al. 2001 dalam Taufik 2000).
Dari beragam uraian definisi tersebut dan perkembangan dalam literatur
a. Kata “sistem” dalam istilah SI menunjukkan cara pandang yang secara sadar
memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik) dalam konteks “inovasi
dan difusi.
b. Dalam literatur SI, konvensi yang umum tentang pengertian istilah SI pada
dasarnya lebih luas dari (mencakup) ”sistem iptek” (dan bagian dari sistem relevan lainnya). Istilah SI juga meliputi konteks “inovasi dan difusinya.
Walaupun ada yang menggunakan istilah “sistem riset dan inovasi”/research and innovation system (misalnya Arnold et al. 2001 dalam Taufik 2000),
namun istilah “SI dan difusi” tidak lazim digunakan.
Berdasarkan beberapa sudut pandang dari para ahli dan literatur diatas,
maka SI adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara
para pelaku (aktor lembaga) lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif
dalam penciptaan (creation), penyebaran (diffussion), dan penggunaan
(utilization) ilmu pengetahuan (knowledge) untuk pencapai inovasi (Nelson and
Rosenberg 1993 dalam Taufik 2000). Konsep SI menjadi populer pada akhir
tahun 80-an oleh Christopher Freeman ketika memetakan interaksi antar aktor
invoasi, yaitu antara pemerintah, universitas, lembaga riset dan industri di Jepang.
Kemajuan inovasi teknologi di Jepang tidak terlepas dari interaksi dan sinergi dari
aktor-aktor tersebut, sehingga mampu menghasilkan produk-produk teknologi
yang inovatif dan kompetitif di pasar dunia (Freeman 1995). Inti dari konsep SI
adalah jejaring (network) dan secara umum jejaring merupakan pemetaan dari
interaksi aktor-aktor lembaga, serta faktor lainnya, sehingga membentuk pola
(pattern) jejaring tertentu.
Pengertian jejaring dalam SI dapat dipersepsikan secara sempit (narrow)
maupun luas (broader). Para pakar lebih cenderung melihat jejaring dalam arti
sempit yaitu interaksi antara perguruan tinggi, industri dan pemerintah. Sedangkan
para pemikir lainnya (Freeman 1987; Lundval 1988 dan 1992; Nelson 1988 dan
1993 dalam Taufik 2000) cenderung untuk melihat jejaring tersebut sebagai
hubungan interaksi antar aktor yang terdiri dari aktor utama dan pendukung, serta
faktor-faktor determinan (determinant factors) yang mempengaruhi hubungan
tersebut. Interaksi antar aktor dalam lembaga dapat bermacam-macam, baik itu