• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL (Analisis Naratif dalam Novel As Seen on TV Karya Christian Simamora)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL (Analisis Naratif dalam Novel As Seen on TV Karya Christian Simamora)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL

(Analisis Naratif dalam Novel As Seen on TV Karya Christian Simamora)

REPRESENTATION OF MASCULINITY IN NOVEL (Narrative Analysis of Christian Simamora’s Novel As Seen on TV)

Disusun oleh Restia Noviana

20120530267

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL

(Analisis Naratif dalam Novel As Seen on TV Karya Christian Simamora)

REPRESENTATION OF MASCULINITY IN NOVEL (Narrative Analysis of Christian Simamora’s Novel As Seen on TV)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Strata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh: Restia Noviana

20120530267

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan si suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Apabila kemudian hari terbukti bahwa

pernyataan ini tidak benar, saya sanggup menerima hukuman atau sanksi apa pun

sesuai peraturan yang berlaku.

Yogyakarta, 25 Agustus 2016

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas

akhir skripsi yang berjudul Representasi Maskulinitas dalam Novel ini. Penyusunan

tugas akhir skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat ujian akhir guna memperoleh

gelar Sarjana Strata 1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini, peneliti juga ingin menyampaikan segenap terima kasih

kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan selama peneliti

menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, yang selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya. Terima

kasih atas kesehatan, kelancaran, dan petunjuk, serta ridha yang telah

Engkau berikan.

2. Kedua orang tua, yaitu Sumardi, S.E. dan Eti Suhaeti, yang senantiasa

selalu memberikan dukungan berupa materi serta semangat, motivasi, dan

doa yang tiada hentinya kepada peneliti.

3. Bapak Haryadi Arief Nuur Rasyid., S.IP., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bapak Fajar Junaedi, S.Sos., M.Si., yang telah bersedia membimbing dan

memberikan banyak bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan tugas

akhir skripsi ini.

5. Bapak Filosa Gita Sukmono, S.Ikom., MA. dan Ibu Firly Annisa, S.IP.,

MA., selaku Tim Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan

saran yang sangat berarti bagi peneliti.

6. Babes alias teman kesayangan, yang tak henti-hentinya memberikan

semangat, motivasi, bantuan, serta canda dan tawa kepada peneliti selama

menyelesaikan tugas akhir skripsi ini. Widi Lestari, Giska Oktaviani, Erna

(5)

dan menyenangkan. You guys are my forever babes. Semoga tugas akhir

skripsi kalian selalu dilancarkan dan segera menyusul.

7. Putri Nurfitriyani, sahabat tersayang yang selalu memberikan cinta dan

dukungan dari jauh. Semoga kita selalu sukses. I love you so much, bestie.

8. Derry Sandika, yang telah memberikan semangat dan selalu menemani di

kala suka dan duka selama proses menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Semoga kuliahnya selalu dilancarkan dan segera lulus.

9. Muhammad Rifki Oktaviano, sebagai teman seperjuangan sekaligus rival

yang mau saling sharing dan membantu. Finally we did it, bro. Both of us

are the winner.

10.Semua kerabat dan sahabat dekat peneliti yang tidak bisa disebutkan

satu-persatu, terima kasih atas segala dukungan dan semangatnya yang telah

diberikan kepada peneliti.

Yogyakarta, 25 Agustus 2016

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Kerangka Teori... 9

1. Novel Sebagai Media Komunikasi Produksi Makna ... 10

2. Representasi Realitas dalam Media ... 12

3. Konstruksi Gender dalam Media ... 18

4. Maskulinitas dalam Novel... 24

F. Metode Penelitian... 30

1. Jenis Penelitian ... 30

2. Objek Penelitian ... 30

3. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4. Teknik Analisis Data ... 30

5. Tahapan Analisis ... 37

(7)

BAB II: GAMBARAN OBYEK PENELITIAN ... 39

A. Tinjauan Pustaka ... 39

B. Serial ‘J Boyfriend’ ... 42

C. Sinopsis Novel ... 45

D. Profil Christian Simamora... 50

BAB III: PEMBAHASAN ... 55

A. Unsur-Unsur Narasi Novel As Seen on TV ... 55

1. Cerita (Story) ... 55

2. Alur (Plot) ... 58

3. Durasi (Duration) ... 61

B. Struktur Narasi Novel As Seen on TV ... 69

C. Model Aktan Novel As Seen on TV ... 75

D. Narator Novel As Seen on TV ... 80

E. Oposisi Segi Empat Novel As Seen on TV ... 81

BAB IV: PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

A. Sumber Buku ... 105

B. Sumber Jurnal ... 106

(8)

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Program Studi Ilmu Komunikasi Konsertasi Advertising

Restia Noviana 20120530267

REPRESENTASI MASKULINITAS DALAM NOVEL

Analisis Naratif dalam Novel As Seen on TV Karya Christian Simamora

Tahun Skripsi : 2016

Daftar Pustaka : 22 Buku + 6 Jurnal + 2 Data Internet

ABSTRAK

Wacana maskulinitas merupakan isu mengenai konstruksi gender yang sering disajikan dalam berbagai media. Isu sosial seperti ini terus ditampilkan oleh media demi kepentingan kaum kapitalis untuk memenuhi tuntutan pasar. As Seen on TV adalah salah satu novel karya Christian Simamora yang merepresentasikan konsep maskulinitas melalui tokoh utama laki-lakinya yang bernama Javi. Sang penulis mencoba membentuk sebuah konsep maskulinitas baru yang berbeda dari konsep-konsep maskulinitas sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi maskulinitas dinarasikan dalam novel tersebut. Peneliti menggunakan metode analisis naratif melalui empat tahapan, yaitu analisis unsur narasi, struktur naratif Tzvetan Todorov, model aktan dan struktur fungsional Algirdas Greimas untuk menemukan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan representasi maskulinitas dalam teks pada novel tersebut. Hasil analisis ditemukan bahwa konsep maskulinitas yang dinarasikan dalam novel tersebut menggambarkan sosok laki-laki ideal adalah laki-laki sukses yang memiliki latar kehidupan perkotaan yang mewah dan modern serta bertubuh six pack, atletis, berotot, dan berwajah tampan. Selain suka memperhatikan penampilan, ia juga berjiwa bebas dan suka bersenang-senang dengan bersantai di beerhouse, meminum alkohol, dan menikmati seks bebas. Ia juga laki-laki dandy yang suka memanjakan diri dengan barang-barang mewah seperti mobil, rumah bagus, dan penampilan fashionable. Selain itu ia memiliki sisi manly yang kuat dan lebih dominan dibanding perempuan, namun di lain sisi juga punya kehidupan cinta yang hangat, romantis, suka dimanja, humoris, dan bisa menghargai perempuan.

(9)

University of Muhammadiyah Yogyakarta Faculty of Social Science and Political Science Departement of Communication Studies Concetration Advertising

Restia Noviana 20120530267

REPRESENTATION OF MASCULINITY IN NOVEL

Narrative Analysis of Christian Simamora’s Novel As Seen on TV

Year Thesis : 2016

Bibliography : 22 Books + 6 Journals + 2 Internet Sources

ABSTRACT

Discources of masculinity is the issue of gender that is often served in a variety of media. These kind of social issues is keep to be shown by the media in the interests of the capitalists to meet market demands. As Seen on TV is one of the novel by Christian Simamora which represented the concept of masculinity through it main character named Javi. The author tried to build a new concept of masculinity that is different from previous concepts of masculinity. Thie research objective was determine how the narrative of representation of masculinity shown in the novel. This research use narrative analysis method through four stages, they are analysis of the elements of the

narrative, Tzvetan Todorov’s narrative structure, Algirdas Grimas’s actant models and

functional structure to find moments that associated with the representation of masculinity in the text on the novel. The results of the analysis found that the concept of masculinity that is narrated in the novel depicts the figure of the ideal man is a successful man who has a background of modern and luxury urban life and has a sixpack body, athletic, muscular, and handsome. Beside he likes to be stylish, he is also has a free spirit and likes to have fun and chill in beerhouse, drinking alcohol, and enjoy free sex. He is also a dandy male who loves to pamper themselves with luxury items such as cars, nice home, and fashionable appearance. In addition he has a strong manly side and more dominant than woman, but on the other hand also had a warm love life, romantic, likes to be pampered, humorous, and could respect a women.

(10)
(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hiburan merupakan salah satu kebutuhan manusia sebagai pengisi

waktu senggang atau penghilang penat, agar terhindar dari rasa stres dan

monoton saat melakukan aktivitas kegiatan harian. Pada jaman modern ini,

mendapatkan hiburan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Banyak

masyarakat mencoba berbagai hal atau hobi yang disukainya sebagai

penghilang bosan seperti pergi berlibur, bermain bersama sanak saudara atau

kerabat, menonton televisi, dan lain-lain. Salah satu hiburan menarik yang

juga bisa dilakukan seorang diri pada saat mengisi waktu luang adalah

membaca novel.

Novel merupakan salah satu bentuk dari karya sastra yang paling

populer di dunia, baik berupa fiksi maupun non fiksi. Definisi sastra sendiri

adalah hasil karya seni para pengarang atau sastrawan, yang antara lain berupa

prosa (cerita pendek dan novel), puisi, dan drama (naskah drama atau

pementasan drama). Jenis-jenis sastra seperti ini disebut karya sastra atau

sastra kreatif (Sehandi, 2014:1).

Novel dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu novel serius dan novel

populer. Novel serius adalah novel yang tidak main-main dan tidak bersifat

(12)

permasalahan kehidupan secara intens. Novel populer merupakan semacam

sastra yang dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial yang

disangkutkan pada selera banyak orang, sehingga lebih mudah dibaca dan

dinikmati (Rokhmansyah, 2014: 45).

Novel merupakan salah satu bentuk seni kemanusiaan yang paling

populer yang muncul pada abad pertengahan, yang dirancang untuk menarik

perhatian massa. Pada abad ke-20, novel telah menjadi artefak pengalihan

pikiran massal dalam budaya pop. Jenis novel populer yang bersifat

kontemporer dari berbagai macam genre, baik itu novel detektif, kriminal,

fiksi ilmiah, romance, thiller, dan novel-novel petualangan mengisi rak-rak

toko buku dan terus menjadi sumber bacaan menyenangkan bagi masyarakat.

Novel-novel kontemporer tersebut ditulis hanya dengan tujuan untuk

melakukan pengalihan pikiran massa sehingga bisa secara teratur dibuang dan

digantikan oleh novel-novel baru (Danesi, 2010: 75).

Dengan daya komunikasinya yang luar biasa, novel banyak digemari

oleh semua kalangan masyarakat. Hal itu dikarenakan pengaruh dari

penggambaran cerita dan alur yang kuat yang ditampilkan lewat

tulisan-tulisan atau kalimat-kalimat yang kreatif, sehingga banyak pembaca yang

tertarik untuk mengkonsumsi novel sebagi salah satu pilihan hiburan yang

bisa dinikmati di waktu senggang. Kelebihan novel sendiri adalah dengan

harganya yang cukup terjangkau bagi semua kalangan usia, juga bisa dibaca

(13)

Meski tidak sepopuler film, namun banyak sekali karya-karya film

besar yang diangkat dari novel-novel yang juga tidak kalah larisnya. Sebut

saja seperti Romeo and Juliet karya William Shakespeare, ketujuh serial Harry

Potter milik J.K. Rowling, atau The Twilight Saga yang ditulis oleh Stephenie

Meyer. Begitu juga dengan novel-novel buatan penulis-penulis Indonesia,

perkembangannya semakin melejit di dunia hiburan. Banyak novel-novel best

seller yang sudah diangkat ke layar lebar dan meraih sukses besar dalam

kancah dunia perfilman. Contohnya adalah Ayat-Ayat Cinta, Eiffle I’m in

Love, Perahu Kertas, dan masih banyak lagi.

Meski novel dan film sama-sama memiliki kekuatan masing-masing

dalam menyampaikan cerita, namun bagi para pecinta novel sendiri, membaca

novel memiliki kenikmatan tersendiri yang sangat berbeda dibanding

menonton film, meskipun film tersebut adalah film yang sudah diadaptasi dari

novel yang sama. Hal itu dikarenakan para penikmat novel punya bayangan,

imajinasi, dan ekspektasi masing-masing yang berbeda-beda, sehingga

terkadang cerita yang dituangkan ke dalam film tidak sesuai dengan keinginan

pembaca.

Dengan permainan kata yang kreatif, cerita dalam novel bisa

mendeskripsikan kejadian lebih spesifik dan jelas, sehingga bayangan cerita

yang berada dalam imajinasi pembaca akan terasa lebih detail dan hidup. Hal

itu akan lebih mudah menghanyutkan emosi pembacanya sehingga ia akan

(14)

memaparkan konflik cerita yang lebih luas dan alur lebih panjang. Efeknya,

emosi pembaca akan semakin dimainkan dan terbawa ke dalam cerita,

sehingga muncul perasaan penasaran dan ingin segera buru-buru membaca

halaman selanjutnya. Selain itu, salah satu kelebihan novel adalah tidak

membatasi imajinasi pembacanya. Pembaca punya hak sesuka hatinya untuk

membayangkan apa yang ditulis oleh penulis.

Kini berbagai genre novel-novel menarik karya penulis Indonesia

sudah banyak bermunculan dan dapat ditemui dengan mudah di toko-toko

buku terdekat. Salah satu genre yang cukup populer di kalangan masyarakat

sendiri adalah novel-novel bergenre fiksi romance. Novel-novel dengan genre

tersebut telah berperan aktif dalam mengekspresikan langsung realita sosial

tentang laki-laki, dalam melakukan penggambaran atas definisi laki-laki

terkait wacana maskulinitas melalui tokoh utama laki-lakinya, juga mahir

membentuk image ideal bagi laki-laki sesuai dengan keinginan pasar melalui

sosok yang menarik serta berwajah tampan. Tuntutan ini menjadi sebuah

kesepakatan pada masyarakat akan definisi maskulinitas pada saat ini.

Maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan,

keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, keringat yang

menetes, otot laki-laki yang menyembul, atau bagian tubuh tertentu dari

kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik (Kurnia, 2014:

22). Dengan kata lain, maskulinitas bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang

(15)

Citra maskulinitas yang sering kita jumpai di dalam novel-novel

tersebut dikemas dengan sangat apik, seperti contohnya adalah sosok

Christian Grey dan Edward Cullen yang bisa kita jumpai dalam novel Fifty

Shades of Grey dan The Twilight Saga. Keduanya ditampilkan sebagai sosok

laki-laki sejati dari kalangan menengah ke atas yang memiliki kehidupan

modern, serba mewah, dan hedonis. Selain itu mereka juga digambarkan

dengan tampilan fisik yang menarik berupa wajah tampan, tubuh berotot, dan

digilai banyak perempuan. Pencitraan tentang wacana maskulinitas tersebut

terus dikonsep dan dikembangkan melalui media, kemudian diturunkan dari

generasi ke generasi melalui mekanisme perkembangan budaya, dan tanpa

disadari telah menjadi suatu kewajiban yang harus dijalani jika ingin dianggap

sebagai laki-laki sejati.

Salah satu jenis novel populer yang digemari di kalangan masyarakat

Indonesia saat ini, khususnya bagi kalangan remaja dewasa, melestarikan

konstruksi gender mengenai maskulinitas adalah novel-novel karya Christian

Simamora. Sejak tahun 2010 lalu, Christian Simamora telah melahirkan

delapan novel best seller dengan tema ‘J Boyfriend’, yaitu novel-novel yang

memiliki tokoh utama laki-laki dengan nama panggilan yang berawal dari

huruf J. Novel-novel karya Christian Simamora tersebut banyak

menggambarkan tentang konsep maskulinitas dengan menampilkan tokoh

(16)

Konsep maskulinitas sendiri dibentuk oleh kebudayaan, sehingga sifat

kelelakian berbeda-beda di setiap tempat dan bisa berubah-ubah mengikuti

tren perubahan jaman. Dengan adanya perkembangan jaman tersebut, konsep

maskulinitas yang digambarkan dalam novel tersebut pun ikut berkembang

sehingga lebih berbeda dan tidak lagi sama dengan konsep-konsep

sebelumnya.

Pada era sebelum tahun 1980, konsep maskulinitas muncul dengan

figur sosok laki-laki kelas pekerja yang lebih mendominasi. Bentuk tubuh dari

hasil bekerja sebagai buruh dan perilaku seperti lelaki dewasa yang matang

adalah sisi maskulinitas mereka. Di era tahun 1980, laki-laki ideal

digambarkan sebagai laki-laki yang yang memiliki sifat alamiah sebagai

manusia, yaitu penyayang dan perhatian, juga suka memanjakan dirinya

dengan produk-prouk komersial selayaknya perempuan. Kemudian di era

tahun 1990, konsep maskulinitas berubah lagi. Laki-laki cenderung

mementingkan leisure time. Mereka adalah sosok yang memiliki jiwa cuek

yang bebas, suka bersenang-senang dengan alkohol, dan menikmati seks.

Pada era tahun 2000, mulai muncul sosok trend laki-laki metroseksual yang

ditampilkan oleh media, yaitu sosok laki-laki yang berasal dari kalangan

menengah atas, mengagungkan fashion, rajin berdandan, berpenampilan rapi,

dan juga tergabung dalam komunitas bergengsi. Mereka adalah sosok laki-laki

(17)

Seiring perubahan jaman yang semakin maju, sosok maskulinitas di

era modern kini yang ditampilkan dalam novel-novel karya Christian

Simamora pun ikut berkembang. Dalam setiap novelnya, ia menggambarkan

sosok laki ideal dengan karakter dan sifat yang hampir sama, yaitu

laki-laki dewasa dengan latar kehidupan perkotaan Jakarta yang mewah dan

modern dari kalangan menengah ke atas. Mereka selalu digambarkan dengan

ciri-ciri fisik yang sama, yaitu bertubuh six pack, atletis, berotot, dan berwajah

tampan. Tetapi sosok mereka tidak hanya sebatas seperti laki-laki

metroseksual yang suka memperhatikan penampilan saja, mereka juga

laki-laki berjiwa bebas yang suka bersenang-senang dengan minum-minum

alkohol dan menikmati seks, bersantai di beerhouse, meminum wine, dan

melakukan hubungan seks bebas. Mereka juga laki-laki dandy yang suka

memanjakan diri dengan barang-barang mewah seperti mobil, rumah bagus,

serta penampilan elegan dan fashionable. Selain itu Christian Simamora juga

tidak luput menggambarkan ciri-ciri laki-laki manly yang kuat dan lebih

dominan dibanding perempuan, namun di lain sisi juga punya kehidupan cinta

yang hangat, romantis, suka dimanja, dan humoris.

Pada karya-karya Christian Simamora, konsep maskulinitas yang

ditampilkan memiliki karakter yang lebih kuat dan sempurna, karena ia

mengadopsi semua konsep maskulinitas dari jaman ke jaman sehingga

mencakup semua konsep maskulinitas setiap dekade. Konsep ini menjadi satu

(18)

sehingga apa yang digambarkan dalam novel tersebut adalah sebuah tampilan

sosok laki-laki maskulin yang berbeda dengan konsep maskulinitas yang

lama.

Berdasarkan hal itu, peneliti ingin mengkaji bagaimana representasi

maskulinitas yang digambarkan lewat tokoh utama laki-laki yang ada dalam

novel-novel karya Christian Simamora tersebut. Peneliti akan mengambil

salah satu novel dari delapan serial ‘JBoyfriend’ sebagai objek penelitian ini,

yaitu novel yang berjudul As Seen on TV.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah penelitian ini adalah, bagaimana representasi maskulinitas

di dalam novel karya Christian Simamora?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang sudah

diuraikan sebelumnya, maka tujuan penulisan yang ingin dicapai adalah untuk

mendeskripsikan bagaimana representasi dan konsep maskulinitas dalam

novel karya Christian Simamora yang berjudul As Seen on TV dinarasikan

serta menggali ideologi apa yang ada di balik pengembangan maskulinitas

(19)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini adalah dapat

memberikan masukan bagi akademisi, khususnya dalam kajian Ilmu

Komunikasi, yaitu bagaimana representasi maskulinitas dalam sebuah

novel.

2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan

masukan kepada dunia kesastraan Indonesia, khususnya novel, agar

menjadikan novel sebagai media yang bermanfaat melalui pesan-pesan

yang disampaikan, bukan hanya sebagai media hiburan saja.

E. Kerangka Teori

1. Novel Sebagai Media Komunikasi Produksi Makna

Sebagai manusia kita terbiasa melakukan interaksi setiap harinya,

baik dengan sesama, hewan, maupun tanda-tanda yang ada di sekitar kita.

Semua interaksi tersebut dinamakan sebagai komunikasi. Jadi secara

singkat, komunikasi merupakan aktifitas yang kita lakukan secara natural

setiap harinya (Lambert, 2008: 2).

Definisi komunikasi sendiri adalah proses pernyataan antar

(20)

pengirim pesan kepada penerima pesan dengan menggunakan bahasa

sebagai alat penyalurnya (Effendy dalam Rosmawaty, 2010: 14).

Ada dua pandangan atau mahzab utama di dalam ilmu komunikasi

(Fiske, 2012: 2). Yang pertama, kelompok yang melihat komunikasi

sebagai transimisi pesan. Kelompok ini fokus dengan bagaimana pengirim

dan penerima, mengirimkan dan menerima pesan. Pandangan ini melihat

komunikasi sebagai proses di mana seseorang memengaruhi perilaku atau

cara berpikir orang lain. Jika efek yang muncul berbeda atau tidak seperti

yang diinginkan, maka hal tersebut dianggap sebagai kegagalan

komunikasi, dan mereka mencoba melihat berbagai tahapan di dalam

proses komunikasi untuk menemukan di mana kegagalan terjadi.

Pandangan ini disebut sebagai kelompok yang menafsirkan komunikasi

sebagai proses pengiriman pesan.

Mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan

pertukaran makna. Kelompok ini fokus dengan bagaimana pesan atau teks,

berinteraksi dengan manusia untuk memproduksi makna; artinya,

pandangan ini sangat memerhatikan peran teks di dalam budaya kita.

Pandangan ini menganggap bahwa kesalahpahaman bukanlah kegagalan

komunikasi, kesalahpahaman tersebut bisa terjadi karena

perbedaan-perbedaan budaya antara pengirim atau penerima. Bagi mahzab ini, ilmu

komunikasi adalah kajian teks dan budaya. Metode utama dari pandangan

(21)

Agar komunikasi bisa terjadi, pengirim pesan harus bisa membuat

sebuah pesan yang terdiri dari berbagai tanda. Pesan ini kemudian

menstimulasi penerimanya untuk menciptakan makna bagi dirinya sendiri,

di mana makna tersebut sedikit banyak berkaitan dengan makna yang pada

awalnya diciptakan oleh pengirim. Semakin sering dua orang berbagi kode

yang sama, semakin mungkin menggunakan dua sistem yang sama,

sehingga makna yang dimiliki oleh kedua orang itu akan semakin mirip

satu sama lain. Kode atau tanda yang digunakan dalam berinteraksi itu

bisa berupa bahasa atau isyarat non verbal. Menurut Patterson dan

Manusov (dalam Berger, 2014: 105), komunikasi merupakan sinonim

dengan bahasa, dan isyarat non verbal adalah salah satu aspek yang

menjadi dasar komunikasi.

Ketika si pengirim pesan menghasilkan pesan yang kemudian

diproduksi menjadi sebuah makna oleh si penerima pesan dalam konteks

interaksi sosial, baik secara tatap muka atau dengan perantara teknologi,

kemampuan individu tersebut untuk mengkoordinasikan wacana dan

tindakan serta berkomunikasi secara efisien amat sangat ditentukan oleh

kesamaan latar yang dimiliki oleh si penerima (Schober dan Brennan

dalam Berger, 2014: 161).

Interaksi sosial itulah yang menciptakan kode atau tanda yang

digunakan dalam proses komunikasi, yang kemudian akan menghasilkan

(22)

dan berulang-ulang secara stabil, akan melahirkan apa yang disebut

dengan aturan sosial. Aturan tersebut akan menjadi sebuah kesepakatan

bersama dan diturunkan dari generasi-ke generasi dan menjadi sebuah

kebudayaan, sehingga produksi makna dalam komunikasi akan lebih

efektif dan berhasil apabila si pengirim dan penerima pesan berasal dari

latar budaya dan kelompok sosial yang sama.

Ketika kita melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna, maka novel sebagai media komunikasi massa yang menggunakan

bahasa sebagai medium produksi makna menggunakan teks untuk

mengkonstruksi tanda-tanda. Untuk itu dalam penelitian yang berbasis

pada kajian teks media dalam ranah bidang komunikasi, maka novel

dilihat sebagai sebuah teks dan sebagai medium bahasa produksi makna.

2. Representasi Realitas dalam Media

Menurut Oxford English Dictionary, to represent something is to

describe or depicit, to call it up in the mind by description or portrayal or

imagination, and to place a likeness of it before us in our mind or in the

sense. To represent also means to symbolize, stand for, to be a specimen

of, or to substitute for. Secara singkat dijelaskan bahwa representasi

adalah sebuah produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997: 16).

Sedangkan menurut Marcel Danesi dalam bukunya yang berjudul

(23)

proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik baik

berupa gambar, suara, dan sebagainya.

Bahasa merupakan salah satu komponen penting untuk

memproduksi dan mengkonstruksi sebuah makna. Bahasa telah

mengoperasikan sistem representasi yang terjadi di media. Konteks bahasa

yang dimaksud dalam sistem representasi tidak hanya sekedar terbatas

pada kata-kata, melainkan juga dalam bentuk simbol atau tanda yang

berupa suara, gambar, musik, objek, dan lain-lain. Bahasa merupakan

sebagai salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan pikiran,

ide, atau perasaan yang direpresentasikan melalui budaya (Hall, 1997: 1).

Menurut Stuart Hall dalam bukunya yang berjudul

Reperesentation: Cultural Representations and Signifying, ada dua proses

representasi (Hall, 1997: 16), yaitu:

1. Representasi mental, yaitu sebuah konsep tentang sesuatu yang

masih ada di dalam kepala seseorang yang masih berbentuk

abstrak.

2. Representasi bahasa, yaitu konsep abstrak yang berada di

dalam kepala seseorang yang diterjemahkan ke dalam bahasa

agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang

(24)

Ide dasar semua teori paradigma definisi sosial sebenarnya

berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas

sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh

norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, atau sebagainya, yang

kesemua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan

struktur dan pranata sosial. Sebenarnya manusia memiliki kebebasan

dalam bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di

mana individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan

dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia

kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap

apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama

para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia

dipandang sebagai pencipta ralitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia

sosialnya (Ritzer dalam Nurhadi, 2015: 11).

Akhirnya dalam pandangan paradigma definisis sosial, realitas itu

merupakan perilaku sosial hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan

konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dan para pengikut

interaksi simbolis dari realitas sosial itu disebut sebagai pelaku sosial

(Nurhadi, 2015: 12).

Berbicara mengenai representasi sosial tentu saja berkaitan erat

dengan asumsi-asumsi dasar teori konstruksi sosial, atau sebuah teori yang

(25)

konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Berger dan Luckmann

mencetuskan ada beberapa asumsi-asumsi dasar dalam teori tersebut

(dalam Sandinata, 2013: 5), yaitu:

1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui

kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di

sekelilingnya.

2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial

tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang, dan

dilembagakan.

3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus-menerus.

4. Membedakan antara realitas dan pengetahuan. Realitas

diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan

yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak

bergantung terhadap kehendak kita sendiri. Sementara

pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa

realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristk yang

spesifik.

Jika dilihat dari perspektif teori Berger dan Luckmann, ada tiga

bentuk realitas dalam proses konstruksi sosial yang dilakukan individu

(26)

1. Realitas objektif, yakni merupakan suatu kompleksitas definisi

realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas

tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang

kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

2. Realitas simbolik, merupakan semua ekspresi simbolik dari

apa yang dihayati sebagai realitas objektif, misalnya teks

produk industri media, seperti berita di media cetak atau

elektronika, begitu juga yang ada di film-film.

3. Realitas subjektif, yaitu konstruksi definisi realitas yang

dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi.

Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu

merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses

eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain

dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi

itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan

objektifikasi, yang kemudian memunculkan sebuah konstruksi

realitas objektif yang baru.

Dalam perkembangannya, media telah banyak berperan dalam

merepresentasikan realitas sosial, yang direkonstruksikan dari suatu

budaya dan kemudian direkayasa dan disajikan lagi kepada khalayak.

(27)

media. Sejatinya representasi yang dilakukan oleh media tidak lagi

merefleksikan dunia nyata, tapi lebih sebagai suatu proses mengkonstruksi

dunia yang ada di sekitar kita dan proses bagaimana kita memaknainya.

Realitas sosial tersebut dikonstruksikan ulang sedemikian rupa agar dapat

diterima oleh masyarakat sebagai gambaran nyata (Carter dan Linda

Steiner, 2004: 2).

Menurut Burhan Bungin, realitas media adalah realitas yang

dikonstruksikan oleh media dalam dua model (Bungin, 2008: 201).

Pertama adalah model peta analog, yaitu model di mana realitas sosial

dikonstruksikan oleh media berdasarkan sebuah model analogi

sebagaimana suatu realitas itu terjadi secara rasional.

Dan yang kedua adalah model refleksi realitas atau model simulasi

peta, yaitu penciptaan realitas menggunakan model-model kehidupan yang

ditampilkan secara nyata dan realistis, padahal sebenarnya tidak demikian

adanya. Melalui model simulasi ini, individu terjebak dalam satu ruang

yang disadarinya sebagai nyata, walaupun sesungguhnya semu atau maya.

Bila dalam model peta analog peta merupakan reperesentasi dari sebuah

teritorial, maka dalam model simulasi peta mendahuli teritorial, di mana

realitas sosial, budaya, dan realitas kehidupan lainnya di dalam dunia

nyata dibangun berdasarkan model simulasi yang ditawarkan oleh media

(28)

Media membentuk realitas melalui pencintraan yang ditampilkan

kepada khalayak dengan menggunakan ikon-ikon budaya modern dan

kelas sosial atas, agar dapat menggambarkan atau menyetarakan dengan

ikon kemodernan dan ikon kelas sosial tersebut. Media menggunakan

kode atau tanda, baik berupa verbal maupun visual dalam berbagai model

simulasi, yang kemudian berhasil membangun imajinasi khalayak tentang

realitas sosial, walaupun realitas itu bersifat semu dan hanya ada di dalam

media atau sebagai theatre ofmind khalayak (Bungin, 2008: 209).

3. Konstruksi Gender dalam Media

Berbicara mengenai maskulinitas, tentu saja tidak bisa lepas dari

pembicaraan mengenai konstruksi gender. Secara umum, gender tidak

sama dengan jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan konstruksi biologis

yang dimiliki individu sesuai dengan kodratnya sejak lahir. Namun gender

adalah konstruksi sosial dan budaya yang bisa berubah-ubah seiring

perkembangan jaman, sehingga gender bersifat dinamis.

Menurut Ivan Hill (dalam Kurnia, 2004: 18), gender adalah

sebuah distingsi perilaku dalam budaya vernacular. Konsep gender ini

membedakan waktu, tempat, peralatan, tugas, gerak-gerik, bentuk tuturan,

dan bermacam-macam persepsi yang dikaitkan pada laki-laki atau

perempuan yang dipertahankan secara kultural. Perbedaan yang bukan

(29)

menggambarkan perbedaan antara sifat serta karakter laki-laki dan

perempuan secara signifikan.

Wacana gender merupakan salah satu bagian kompleks sebuah

konstruksi identitas yang dibentuk oleh media (Gauntlett, 2002: 14).

Karena konstruksi sosial tersebut, kini kita hidup di jaman di mana

identitas gender tidak lagi ada kaitannya dengan kondisi biologis,

melainkan bergantung pada kondisi ekonomi dan kultural yang

membentuk konstruksi itu.

Menurut J. MacInnes (dalam Beynon, 2002: 8), konstruksi gender

yang dibentuk oleh media, baik itu maskulinitas atau femininitas,

merupakan sebuah ideologi yang dikonstruksikan oleh orang-orang di

jaman modern sebagai sebuah imaji yang membentuk dan membedakan

bagaimana sosok laki-laki atau perempuan ideal berdasarkan orientasi

seksual mereka.

Dalam perkembangannya, media telah menampilkan banyak

gambaran tentang bagaimana bentuk laki-laki dan perempuan ideal yang

sempurna, yang mempengaruhi khalayak sebagai audiensnya. Sehingga

sangat disayangkan, banyak laki-laki dan perempuan yang kemudian

mengadopsi identitas mereka dalam realitas sosial yang sejatinya telah

direproduksi ulang dan digambarkan dalam media tersebut (Gauntlett,

(30)
[image:30.612.160.536.139.316.2]

Gambar 1.1 Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan Men are Should be: Woman are Should be:

Masculine Feminine

Dominant Submissive

Strong Weak

Aggressive Passive

Intelligent Intuitive

Rational Emotional

Active Communicative

Men Like: Women Like:

Cars and Technology Shopping and Makeup Getting Drunk Social Drinking with Friends Casual Sex Many Partners Committed Relationship

Sumber: (Kurnia, 2004: 19)

Perbedaan maskulin dan feminin yang telah digambarkan di atas

pun kemudian membuat sebuah anggapan umum bahwa karakter laki-laki

bersifat kuat, keras, dan beraroma keringat sementara karakter perempuan

bersifat lemah, lembut, dan beraroma wangi. Yang kemudian

anggapan-anggapan umum tersebut dianggap sebagai sebuah ketidakadilan gender,

baik bagi laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Berdasarkan perbedaan karekteristik maskulin dan feminin

tersebut, terdapat dua pandangan yang berseberangan mengenai

pembentukannya. Menurut pandangan kelompok pertama, perbedaan

maskulinitas dan femininitas berkaitan dengan perbedaan biologis atau

seks orientasi antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran ini terdapat

(31)

maskulinitas dan femininitas bersifat alamiah. Sementara pandangan

kedua yang menolak pemikiran tersebut, meyakini perbedaan maskulinitas

dan femininitas tak ada hubungannya dengan perbedaan bilogis antara

laki-laki dan perempuan. Kelompok ini disebut sebagai penganut mahzab

orientasi budaya, dan pandangannya banyak dianut oleh kaum feminis

(Kurnia, 2004: 21). Wacana gender jelas berada dalam lingkup kelompok

yang kedua.

Karena memiliki otot yang lebih kuat, laki-laki menangani

pekerjaan fisik yang berat. Sedangkan karena memiliki organ reproduksi

yang sensitif, perempuan melakukan pekerjaan yang membutuhkan sedikit

kekuatan fisik tapi perlu ketelatenan dan kelembutan. Perbedaan gender

tersebut berlangsung terus-menerus dalam sejarah yang sangat panjang

dan kompleks hingga sekarang. Ia dibentuk, disosialisasikan, diperkuat,

bahkan dikonstruksikan secara sosial hingga banyak yang dianggap seperti

ketentuan Tuhan dan sebagai sebuah kodrat, seolah-olah bersifat biologis

dan tidak dapat diubah lagi (Widyatama, 2006: 4). Kedua konstruksi

gender tersebut, baik maskulinitas maupun femininitas, kemudian

sama-sama melahirkan ketidakadilan gender yang memunculkan streotipe atau

pelabelan dan penandaan terhadap suatu kelompok tertentu.

Ditambah lagi, media telah memiliki andil besar dalam

menggambarkan konstruksi gender pada khalayak, yang kemudian

(32)

femininitas yang ditampilkan. Media menggambarkan ideologinya seperti

apakah sosok-sosok laki-laki dan perempuan ideal, sehingga orang-orang

akan berpikir bahwa gambaran-gambaran dari ideologi tersebut nyata dan

benar adanya.

Konstruksi gender yang dibentuk oleh media akhirnya membuat

sosialisasi gender tersebut dianggap mutlak seolah-olah seperti bersifat

biologis dan tidak bisa diubah lagi. Keadaan bilogis yang tadinya alami

telah dilebih-lebihkan dan menempatkannya pada posisi yang sama sekali

tidak relevan. Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan

dipahami sebagai kodrat sejak lahir, sehingga apabila seseorang terlahir

sebagai laki-laki maka ia harus punya sifat yang kuat, dominan atau

agresif. Sebaliknya, apabila seseorang terlahir sebagai perempuan ia harus

memiliki karakter lemah lembut, anggun, dan submisif. Padahal sama

sekali tidak ada alasan biologis yang mengharuskan laki-laki dan

perempuan menjadi seperti itu (Sugihastuti dan Itsna Hadi Septiawan,

2010: 5).

Berkaitan dengan budaya patriarki yang selalu menempatkan

kedudukan laki-laki di atas wanita, konstruksi gender seringkali

menjadikan perempuan sebagai pihak submisif yang derajatnya selalu

lebih rendah dari laki-laki. Meski konstruksi gender di jaman sekarang

(33)

ini sosok perempuan masih banyak dianggap tidak memiliki kewenangan

sebanyak yang dimiliki laki-laki.

Contohnya seperti dalam kehidupan rumah tangga, perempuan

hampir selalu ditempatkan menjadi sosok yang lebih sering berkecimpung

dan melakukan pekerjaan rumah, sementara laki-laki bebas mencari kerja

di luar rumah. Begitu juga dengan sosok-sosok pemerintah atau pebisnis

sukses yang terlihat di media, lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dari

pada perempuan. Hal itu menunjukkan bahwa laki-laki selalu memiliki

kewenangan lebih sebagai pemegang kepentingan hampir dalam segala

hal (Gauntlett, 2002: 8).

Karena laki-laki digambarkan memiliki fisik yang besar, agresif,

prestatif, dominan-superior, asertif, kuat, rasional, jantan, perkasa, dan

dimitoskan sebagai pelindung, maka laki-laki dianggap pantas berada di

wilayah publik, mencari nafkah, sebagai kepala rumah tangga, menjadi

decision maker, dan sebagainya (Widyatama, 2006: 6).

Dengan menampilkan bagaimana cara laki-laki atau perempuan

bersikap direprsentasikan dan diatur, media telah membuat kita secara

tidak sadar mempelajari hal-hal tersebut dan menerimanya sebagai sesuatu

yang normal, yang kemudian membentuk apa yang kita ketahui tentang

dunia dan dapat menjadi sumber utama pelbagai ide dan opini, dan

mempengaruhi sebagian besar cara kita berpikir dan bertindak (Burton,

(34)

4. Maskulinitas dalam Novel

Menurut Webster’s New World Dictionary, maskulinitas adalah

designating of or belonging to the gender of worlds denoting or referring

to males, as well as many other words to which no distinction of sex is

attributed. Definisi tersebut akhirnya memunculkan berbagai karakter

maskulinitas yang menjadi wacana sehari-hari. Maskulinitas adalah imaji

kejantanan, ketangkasan, keberanian, keperkasaan, dan keteguhan hati

(Kurnia, 2004: 22). Sejatinya, mengadopsi laki-laki maskulin berarti

mengadopsi nilai-nilai superioritas laki-laki.

Seperti apa yang sudah dibahas sebelumnya, menurut D.H.G.

Morgan (dalam Beynon, 2002: 7), seorang laki-laki dikatakan maskulin

bukan dari siapa mereka, melainkan dari apa yang mereka lakukan dan

kenakan. Apa yang disebut dengan maskulinitas adalah hasil konstruksi

sosial dan budaya yang dilahirkan melalui kode dalam interaksi sosialnya

dan diturunkan dari generasi ke generasi, bukan lagi konstruksi biologis

yang dimiliki oleh laki sejak lahir. Karenanya, terlahir sebagai

laki-laki tidak lantas membuat seseorang menjadi maskulin.

Menurut Eve Kosofsky Sedgwick, maskulinitas tidak selalu

berhubungan dengan laki-laki. Seperti yang diterangkan D.H.G Morgan di

atas, laki-laki adalah konstruksi bilogis yang dimiliki sejak lahir,

(35)

merupakan sifat-sifat yang dimiliki laki-laki. Namun perempuan bisa juga

dikatakan maskulin apabila mengadopsi sifat-sifat yang dimiliki laki-laki

(Sedgwick, 1995: 13). Perempuan yang mengadopsi sifat-sifat laki-laki

atau berperilaku seperti laki-laki tersebut disebut sebagai tomboy

(Halberstam, 1998: 5).

J. MacInnes mengatakan (dalam Beynon, 2002: 3), bahwa pertama

kali maskulinitas muncul hanya merupakan sebagai salah satu bentuk

fantasi dan imaji tentang bagaimana sosok seorang laki-laki ideal, untuk

sekedar memenuhi keinginan orang-orang. Kemudian fantasi dan imaji

tersebut diterjemahkan menjadi ideologi kaum kapitalis yang

direpresentasikan menjadi realitas sosial melalui media demi

kepentingan-kepentingan mereka.

Seperti dikutip dari Media Awarness NetWork (dalam Kurnia

2004: 28), ada lima karakteristik maskulinitas. Pertama adalah, sikap yang

berperilaku baik dan sportif. Sikap ini dimasukkan dalam pesan media

yang berkaitan dengan sikap laki-laki yang menggunakan wewenang

dalam melakukan dominasi yang ia punya. Jika muncul kekerasan dalam

wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi laki-laki untuk

mengatasi masalah dan mengatasi hidup.

Kedua, yaitu mentalitas cave man. Hal ini terlihat dari penggunaan

ikon pahlawan dari sejarah populer mendemonstrasikan maskulinitas

(36)

bajak laut, dan bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan laki-laki di sini

dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami mereka. Figur

laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero. Laki-laki dibayangkan bisa

menyelesaikan semua permasalahan sendirian dengan selalu menjadi

pemain tunggal.

Kemudian yang ketiga, yaitu pejuang baru. Hal ini dilambangkan

dengan pemunculan pejuang baru yang biasanya dikaitkan dengan

kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas

karena memberikan imaji ikut petualangan dan kekuatan laki-laki.

Selanjutnya yang keempat adalah, otot yang mencitrakan tubuh

laki-laki ideal. Sebuah bentuk fisik yang hanya bisa didapatkan dengan

latihan olahraga yang memadai. Imaji seperti itu banyak muncul di media

yang mengumbar dada telanjang laki-laki yang berbentuk sixpack dan

seringkali diberi efek basah atau berkeringat.

Terakhir adalah, maskulinitas dan kepahlawanan. Hal ini seperti

dipengaruhi oleh film aksi Hollywood. Maskulinitas laki-laki dikaitkan

dengan kekuatan teknologi sebagai alat bantu aksi laki-laki perkasa yang

pandai olah tubuh membela diri untuk membasmi kejahatan.

Menurut Bettina Baron dan Helga Kotthoff (dalam Prasetyo,

(37)

1. Multiple masculinity, yaitu konsep yang menjelaskan bahwa

maskulinitas dibentuk berdasarkan perbedaan konsep yang

terjadi dalam suatu budaya tertentu.

2. Hirearchy and hegemony, yaitu konsep maskulinitas yang

dibentuk karena adanya suatu kebudayaan yang terjadi di

beberapa tempat, lembaga, maupun instansi yang ada di suatu

daerah. Dari beberapa tempat inilah terbentuk suatu dominasi

atau hegemoni maskulinitas. Hal ini dapat terjadi di suatu

lembaga maupun perkantoran di mana posisi seorang atasan

sebaiknya adalah laki-laki, karena dipandang memiliki

kemampuan yang lebih dibanding perempuan. Konsep ini

merupakan suatu hegemoni maskulinitas yang terjadi di dalam

masyarakat secara umum.

3. Collective masculinity, yaitu menjelaskan bagaimana suatu

sifat maskulinitas itu terbentuk dalam suatu masyarakat. Ciri

maupun sifat maskulinitas tidak begitu saja hadir dalam suatu

interaksi sosial, tetapi perlu adanya suatu share yang terjadi di

dalam kelompok sosial. Dari adanya interaksi sosial ini, maka

muncul beberapa ciri maskulinitas yang mana ciri tersebut

menjadi generalisasi yang umum dalam masyarakat.

4. Bodies as arenas, adalah konsep yang menjelaskan bagaimana

(38)

dalam mencerminkan sifat maskulinitas. Tubuh seorang

laki-laki yang berotot, kekar, serta kuat dianggap menjadi sesuatu

yang penting untuk menunjukkan identitas diri seorang

maskulinitas.

5. Active construction, yaitu bagaimana suatu konsep gender ini

ditunjukkan mengenai apa yang dilakukan dari pada siapa

yang melakukan.

6. Division, yaitu konsep yang menjelaskan bahwa maskulinitas

itu terbagi menjadi ke dalam beberapa bentuk. Hal ini

didasarkan karena maskulinitas dapat terjadi dan ditemukan

dalam beberapa aspek kehidupan.

7. Dynamic, yaitu menjelaskan bagaimana maskulinitas dapat

dikonstruksikan sesuai dengan perubahan jaman.

Melalui ideologi kapitalisme, muncul stereotipe imaji maskulinitas

dalam media yang terus berkembang dan berubah-ubah dari jaman ke

jaman. Sebagaimana dikatakan oleh Susan Bordo, laki-laki cenderung

sebagai mahkluk yang jantan, berotot, dan berkuasa. Tak jauh berbeda

dengan pendapat Jib Fowles yang mengatakan bahwa penampakan

laki-laki itu adalah aktif, agresif, rasional, dan tidak bahagia. Aktivitas laki-laki-laki-laki

lebih banyak berkaitan dengan kegiatan fisik seperti olahraga, pergi ke

(39)

Bahkan Peter McKay (dalam Rutherford, 2015: 9) dalam

tulisannya di Daily Express mengatakan bahwa laki-laki suka bertempur

dan bersemangat membayangkan pertempuran. Hal itu menjelaskan

bahwa sosok laki-laki diidentikkan dengan pertempuran, keperkasaan, dan

perkelahian.

Novel menjadi salah satu media yang telah berperan aktif dalam

mengekspresikan langsung realita sosial tentang sosok laki-laki dan

maskulinitas juga mahir membentuk image ideal bagi laki-laki sesuai

dengan keinginan pasar melalui sosok yang menarik serta berwajah

tampan. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan penggambaran

atas definisi laki-laki dalam wacana maskulinitas melalui tokoh utama

laki-lakinya. Beberapa di antaranya seperti novel The Twilight Saga

karangan Stephenie Meyer, TheFiftyShadeSeries karangan El James, dan

RomeoandJuliet karya William Shakespeare.

Ketika di dalam sebuah novel sang penulis menampilkan sosok

laki-laki ideal dan dianggap sempurna dengan menggambarkan

ciri-cirinya secara sedemikian rupa, maka terjadi proses decoding dari

khalayak terhadap tokoh yang ada di dalam novel itu. Secara tidak

langsung, si penulis telah mengkonstruksikan sebuah citra atau konsep

maskulinitas dan membentuk realitas sosial kepada khalayak, bahwa

laki-laki ideal adalah laki-laki-laki-laki yang memiliki ciri-ciri serupa seperti sosok

(40)

Konstruksi maskulinitas tersebut terdiri dari signifikasi

imaji-imajinya. Beberapa imaji tersebut memberikan nilai-nilai tertentu seperti

nilai kejantanan, metroseksualitas, ketampanan, sampai pada nilai baik

atau buruk dan benar atau salah. Dengan menggunakan imaji-imaji dan

nilai-nilai yang ditawarkan, pembaca diajak untuk memasuki konstruksi

ruang dan waktu imaji dalam novel tesrebut dan menjadi subjek di

dalamnya. Ajakan inilah yang disebut sebagai ideologi, yang kemudian

diterjemahkan kepada khalayak menjadi sebuah wacana maskulinitas yang

pada akhirnya akan melahirkan ketidakadilan gender terhadap laki-laki

yang tidak memenuhi konsep maskulinitas tersebut.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan

menggunakan metode penelitian analisis naratif, dengan melihat teks

dalam sebuah cerita yang akan dijadikan sebagai objek kajian yang diteliti.

Peneliti menggunakan struktur narasi Tzvetan Todorov serta melakukan

penataan aktan dan model struktur fungsional Algirdas Greimas.

2. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah salah satu novel

(41)

judul As Seen on TV, dengan menganilisis bagaimana representasi

maskulinitas dalam sosok tokoh utama laki-laki dinarasikan dalam novel

tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data 1. Dokumentasi

Analisis pada penelitian ini memfokuskan pendekatan analisis

naratif dalam novel karya Christian Simamora. Data yang

dikumpulkan berupa salah satu novel yang diambil dari serial ‘J

Boyfriend’ yang berjudul As Seen on TV sebagai objek penelitian yang

akan dianalisis.

2. Studi Pustaka

Selain dokumentasi yang bertujuan untuk membantu proses

penelitian dan analisis, peneliti juga menggunakan teknik

pengumpulan data studi pustaka berupa beberapa buku dan hasil

penelitian-penelitian sebelumnya sebagai bahan referensi untuk dalam

penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, teknik analisis data yang akan digunakan

(42)

Tzvetan Todorov, model aktan Algirdas Greimas, dan struktur oposisi segi

empat.

Narasi sendiri sebenarnya berasal dari kata Latin narre, yang

artinya ‘membuat tahu’. Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya

memberitahu sesuatu atau peristiwa. Menurut Girard Ganette (dalam

Eriyanto, 2013: 1), definisi narasi adalah reprsentasi dari sebuah peristiwa

atau rangkaian peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, sebuah teks baru

bisa disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa peristiwa atau

rangkaian dari peristiwa-peristiwa (Eriyanto, 2013: 2).

Analisis naratif melihat teks sebagai sebuah cerita. Di dalam cerita

ada plot, adegan, tokoh, dan karakter. Narasi tidak ada hubungannya

dengan fakta dan fiksi. Narasi hanya berkaitan dengan cara bercerita,

bagaimana fakta disajikan atau diceritakan kepada khalayak. Dengan

membuat dan menyajikan peristiwa ke dalam suatu narasi, maka peristiwa

itu lebih mudah diikuti oleh khalayak (Eriyanto, 2013: 9).

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan empat tahap

penelitian untuk melihat bagaimana maskulinitas direpresentasikan dalam

novel As Seen on TV. Pertama adalah menganalisis unsur narasi untuk

mengetahui bagaimana peristiwa disusun dan jalinan antara satu peristiwa

dengan peristiwa lain lewat elemen-elemen narasi (Eriyanto, 2013; 15),

(43)

1. Cerita (story), yaitu urutan kronologis dari suatu peristiwa, di

mana peristiwa tersebut bisa ditampilkan dalam teks bisa juga

tidak ditampilkan dalam teks. Sebuah narasi pada dasarnya

mengangkat suatu peristiwa tertentu. Peristiwa yang utuh dari

awal hingga akhir itulah yang disebut dengan cerita.

2. Alur (plot), yaitu apa yang ditampilkan secara eksplisit dalam

sebuah teks. Narasi umumnya menampilkan peristiwa dalam

bentuk alur. Pembuat cerita berkepentingan untuk membuat

narasi yang disajikan menarik. Karena itu, urutan peristiwa

yang disajikan tidak selalu mengikuti kronologi waktu, tetapi

diatur peristiwa mana yang menarik terlebih dahulu, baru

disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak menarik.

Pembuat cerita juga ingin khalayak bisa menikmati narasi,

karena itu urutan waktu diatur agar bisa menimbulkan

ketegangan bagi pembaca narasi.

3. Durasi (duration), yaitu perbandingan waktu aktual dan

dengan waktu ketika peristiwa disajikan dalam sebuah teks.

Sebuah narasi tidak akan mungkin memindahkan waktu yang

sesungguhnya dalam realitas dunia nyata ke dalam teks.

Peristiwa nyata yang berlangsung tahunan atau puluhan tahun

kemungkinan hanya disajikan beberapa jam saja dalam

(44)

Selanjutnya peneliti akan menganalisis struktur narasi yang

digagas oleh Tzvetan Todorov. Narasi memiliki lima tahap, yang pertama

dimulai dari adanya keseimbangan pada kondisi awal. Pada tahap kedua,

muncul sebuah gangguan yang merusak keseimbangan. Tahap ketiga,

gangguan semakin besar sehingga dampaknya semakin terasa. Kemudian

tahap keempat, adalah upaya untuk memperbaiki gangguan. Selanjutnya

pada tahap kelima, narasi diakhiri dengan pemulihan menuju

keseimbangan untuk menciptakan keteraturan kembali (Eriyanto, 2013:

46).

Setelah melihat unsur dan struktur, di dalam sebuah narasi juga

harus memahami karakter, yakni orang-orang yang dibentuk oleh narator

dan memiliki sifat atau perilaku tertentu. Dengan adanya karakter, hal itu

akan memudahkan pembuat cerita untuk mengungkapkan gagasannya.

Setiap cerita mempunyai karakter, dan masing-masing karakter

menempati fungsi masing-masing dalam suatu narasi, sehingga narasi

menjadi utuh. Fungsi di sini dipahami sebagai tindakan dari sebuah

karakter, didefinisikan dari sudut pandang signifikasinya sebagai bagian

dari tindakannya dalam teks. Peneliti akan menggunakan model aktan

milik Algirdas Greimas, yang menjelaskan bahwa sebuah narasi

dikarakterisasi oleh enam peran yaitu objek, subjek, pengirim (destinator),

(45)
[image:45.612.169.527.144.356.2]

Gambar 1.2 Model Aktan

Sumber: (Eriyanto, 2013: 96)

Karakter yang digambarkan dalam model aktan tersebut

menempati posisi dan fungsinya masing-masing. Yang pertama adalah

subjek, yang menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang

mengarahkan jalannya sebuah cerita. Posisi subjek ini bisa diidentifikasi

dengan melihat porsi terbesar dari cerita. Yang kedua adalah objek,

merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa berupa

orang, tetapi juga bisa sebuah keadaan atau kondisi yang dicita-citakan.

Yang ketiga adalah pengirim (destinator), yang merupakan penentu arah

yang memberikan aturan dan nilai-nilai dalam narasi. Pengirim umumnya

tidak bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah atau

aturan-aturan kepada tokoh utama dalam narasi. Yang keempat adalah

penerima (receiver), yang berfungsi sebagai pembawa nilai dari pengirim.

Fungsi ini mengacu kepada objek tempat di mana pengirim menempatkan Objek

Subjek Pengirim

(Destinator)

Pendukung (Adjuvant)

Penerima (Receiver)

(46)

nilai atau aturan dalam cerita. Yang kelima adalah pendukung (adjuvant),

yang berfungsi sebagai pendukung subjek dalam usahanya mencapai

objek. Dan fungsi terakhir adalah penghalang (traitor), yaitu karakter yang

menghambat subjek dalam mencapai tujuan (Eriyanto, 2013: 96).

Kemudian yang terakhir, peneiliti akan menggunakan struktur

oposisi segi empat milik Algirdas Greimas untuk melihat bagaimana

representasi maskulinitas dinarasikan lewat novel karya Christian

Simamora, dengan menganalisa realitas dan fakta melalui empat sisi, yaitu

[image:46.612.233.464.390.569.2]

S1, S2, S1, dan S2.

Gambar 1.3 Oposisi Segi Empat

Sumber: (Eriyanto, 2013: 198)

Dalam oposisi segi empat, fakta atau realitas bisa dibagi ke dalam

empat sisi (S1, S2, S1, dan S2). Hubungan antara S1 dengan S2 dan antara

S1 dengan S2 adalah hubungan oposisi. Hubungan antara S1 dengan S2 dan S1

S1 S2

(47)

antara S2 dengan S1 adalah hubungan kontradiksi. Sementara hubungan

antara S1 dengan S1 dan antara S2 dengan S2 adalah hubungan implikasi.

Lewat model segi empat ini, hubungan yang simplifistik di antara realitas

bisa dihindari (Eriyanto, 2013: 198).

5. Tahapan Analisis

Peneliti akan melakukan beberapa tahapan penelitian dalam

melakukan analisis naratif pada novel As Seen on TV karya Christian

Simamora. Peneliti akan menulis ulang dan menguraikan setiap

narasi-narasi kualitatif berupa teks yang terdapat dalam novel tersebut, lalu

menganalisis unsur dan struktur narasinya dengan menggunakan struktur

narasi Tzvetan Todorov.

Selanjutnya, peneliti akan menganalisis masing-masing karakter

dalam model aktan dikembangkan oleh Algirdas Julien Greimas untuk

menjelaskan posisi karakter tersebut dalam novel serta bagaimana relasi

antara satu karakter dengan karakter lainnya. Kemudian, peneliti akan

menganalisis relasi di antara unsur-unsur cerita dengan menggunakan

struktur oposisi segi empat untuk melihat bagaimana representasi

masukulintas dinarasikan di dalam novel tersebut. Lalu pada bagian akhir

peneliti akan meringkas hasil analisis yang telah didapatkan dan membuat

(48)

G. Sistematika Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori,

metedologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

Bab kedua berisi tentang penelitian terdahulu tentang

maskulinitas, pemaparan objek penelitian, sinopsis objek

penelitian, dan profil pengarang novel.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ketiga berisi tentang penyajian data,

pembahasan, dan pemaparan analisis data hasil penelitian yang

telah dikaji dari novel berjudul As Seen on TV karya Christian

Simamora.

BAB IV PENUTUP

Pada bab keempat berisi tentang kesimpulan dan saran

dari keseluruhan hasil pembahasan yang telah didapat dalam

(49)

BAB II

GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan wacana maskulinitas yang telah banyak ditampilkan

oleh media, dalam beberapa tahun sebelumnya sudah banyak penelitian yang

berusaha mengkaji tentang perkembangan representasi maskulinitas dalam

media. Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa wacana maskulinitas

dalam media tidak selalu sama, karena adanya perkembangan yang juga

dipengaruhi oleh konstruksi budaya dan waktu.

Beberapa penelitian tersebut adalah penelitian yang berjudul

Maskulinitas dalam L’MEN yang disusun oleh Agung Budi Prasetyo dan

diakses dalam Jurnal Komunikator Universitas Muhammdiyah Yogyakarta

Vol. 3 No. 2 November 2011, Hegemoni Maskulinitas dalam Iklan Minuman

Berernergi yang disusun oleh I Nyoman Winata dan diakses dalam Majalah

Ilmiah Universitas Pandanaran Vol. 10 No. 23 tahun 2013, Representasi

Maskulinitas dalam Novel Keluarga Permana Karya Ramdhan K.H. yang

disusun oleh Alfi Irsyad Ibrahim yang diakses dalam Jurnal Meta Sastra Vol.

6 No. 2 Desember 2013, dan Representasi Maskulinitas pada Iklan Rokok

dalam Media Cetak yang disusun oleh Asmara Yudha Wijayadi dan disusun

(50)

Pada penelitian yang berjudul Maskulinitas dalam L’MEN yang

disusun oleh Agung Budi Prasetyo, representasi maskulinitas yang

dikonstruksikan berupa sosok laki-laki ideal dengan tampilan wajah modern

atau wajah kota metropolitan yang mempunyai kulit yang bersih, mulus,

wajah rupawan, dan bentuk tubuh yang berotot dengan perut sixpack. Ciri-ciri

maskulinitas tersebut lebih merujuk pada konsep maskulinitas pada era tahun

2000, yaitu sosok laki-laki atletis atau metroseksual yang peduli dengan

penampilan tubuh.

Kemudian pada penelitian yang disusun oleh I Nyoman Winata dengan

judul Hegemoni Maskulinitas dalam Iklan Minuman yang menjadikan iklan

Extra Joss dan Kuku Bima Ener-G sebagai objek penelitiannya, lebih merujuk

pada konsep maskulinitas di era sebelum tahun 1980 yang menampilkan

sosok laki-laki para pekerja, berkeringat, berotot, dan juga mempunyai posisi

yang lebih dominan dibanding perempuan.

Lalu penelitian dengan judul Maskulinitas dalam Novel Keluarga

Permana karya Ramdhan K.H. yang disusun oleh Alfi Irsyad Ibrahim dan

diakses dalam Jurnal Meta Sastra Vol. 6 No. 2 Desember 2013, menunjukkan

tentang maskulinitas yang terbelenggu oleh konteks sosial patriarkat sehingga

mengalami perubahan, di mana si tokoh utama laki-laki mengecap bahwa

laki-laki sebagai manusia yang superior dari pada perempuan, sehingga ia

besrsikap kejam pada perempuan. Maskulinitas konsep tersebut juga lebih

(51)

menganggap laki-laki ideal itu adalah laki-laki yang dominan dan punya

kekuasaan lebih dari perempuan.

Dan yang terakhir dalam penelitian dengan judul Representasi

Maskulinitas dalam Iklan Rokok pada Media Cetak yang disusun oleh Asmara

Yudha Wijayadi yang menggunakan iklan A Mild, Dji Sam Soe, Djarum

Super, dan Lucky Strike. Dalam iklan tersebut menampilkan bahwa sosok

maskulin laki-laki ditunjukkan dengan tato, karakteristik yang gagah, berani,

kuat, berjiwa bebas, suka tantangan dan petualangan, serta tidak takut

menghadapi resiko. Konsep maskulinitas dalam penelitian tersebut lebih

merujuk pada konsep maskulinitas di era tahun 1990 yang menggap laki-laki

ideal adalah laki-laki berjiwa bebas, suka bersenang-senang dan menghadapi

petualangan, tangguh, juga pemberani.

Sedangkan dalam penelitian mengenai konsep maskulinitas yang

dilakukan oleh peneliti sendiri, peneliti melihat Christian Simamora

menggambarkan sosok laki-laki yang berbeda dalam novelnya dengan

peneliatian-penelitain yang sudah pernah dikaji sebelumnya. Melalui tokoh

utama laki-lakinya, Christian Simamora menggambarkan sosok laki-laki ideal

dengan karakter dan sifat yang hampir selalu sama, yaitu laki-laki dewasa

dengan latar kehidupan perkotaan Jakarta yang mewah dan modern dari

kalangan menengah ke atas. Mereka selalu digambarkan dengan ciri-ciri fisik

yang sama, yaitu bertubuh six pack, atletis, berotot, dan berwajah tampan.

(52)

suka memperhatikan penampilan saja, mereka juga laki-laki berjiwa bebas

yang suka bersenang-senang dengan minum-minum alkohol dan menikmati

seks, bersantai di beerhouse, meminum wine, dan melakukan hubungan seks

bebas. Mereka juga laki-laki dandy yang suka memanjakan diri dengan

barang-barang mewah seperti mobil, rumah bagus, serta penampilan elegan

dan fashionable. Selain itu Christian Simamora juga tidak luput

menggambarkan ciri-ciri laki-laki manly yang kuat dan lebih dominan

dibanding perempuan, namun di lain sisi juga punya kehidupan cinta yang

hangat, romantis, suka dimanja, dan humoris.

Pada karya-karya Christian Simamora, konsep maskulinitas yang

ditampilkan memiliki karakter yang lebih sempurna dibanding konsep-konsep

maskulinitas lama, karena ia mengadopsi semua konsep maskulinitas dari

jaman ke jaman sehingga mencakup semua konsep maskulinitas setiap

dekade. Hal itulah yang menjadikan sosok laki-laki ideal dalam novel tersebut

berbeda dengan sosok laki-laki ideal pada tahun-tahun sebelumnya.

B. Serial ‘J Boyfriend’

Sejak tahun 2010 silam, Christian Simamora telah merilis delapan

novel kontemporer dengan tema ‘J Boyfriend’, yaitu no

Gambar

Gambar 1.1 Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan
Gambar 1.2 Model Aktan
Gambar 1.3 Oposisi Segi Empat
Gambar 3.1 Skema Durasi Alur (Plot Duration)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat efisiensi, perubahan total faktor produktivitas dan indeks ketidakstabilan usaha perikanan tuna dengan menggunakan

admin selesai dibuat dengan menggunakan fungsi PHP, kemudian saya diminta untuk membuat halaman yang akan digunakan untuk memasukkan konten berita baru tepatnya adalah

Analisa teknikal memfokuskan dalam melihat arah pergerakan dengan mempertimbangkan indikator-indikator pasar yang berbeda dengan analisa fundamental, sehingga rekomendasi yang

memperoleh barang dari agen, disalurkan kepada rekanan atau konsumen akhir. • Rekanan : memperoleh barang dari agen

[r]

12.14.04.08.01.08.037 Jumlah Kondisi Barang Asal usul Tahun Cetak / Pem- belian Unit Organisasi Dinas Pendidikan. UPTD Dinas Pendidikan

Pola Pemanfaatan Media dalam situasi kelas, yaitu pemanfaatan media dalam situasi kelas adalah penggunaannya dipadukan dengan proses belajar mengajar dalam situasi

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah Kejelasan Sasaran Anggaran, Penekanan Anggaran, dan Group