1
Riyâdhah ‘Sang Guru Ngaji’
Oleh: Muhsin Hariyanto
SIANG HARI itu udara terasa ‘begitu panas’, dan ruang kerjanya juga tak memenuhi syarat untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya, karena terlalu sempit dan tak berkipas angin, apalagi ber-AC. Sementara ‘Sang Guru Ngaji’ itu harus memersiapkan tulisan sebagai bahan ceramahnya di malam hari, hari itu juga. Ia pun berkata kepada dirinya: “saya harus bisa!”. Dan akhirnya tulisan ringan itu pun selesai dikerjakan olehnya, dan bahkan pada saat dipresentasikan di forum pengajian yang mengundangnya, beberapa orang dari jamaah pengajiannya meminta foto-kopi tulisannya yang sengaja dia persiapkan untuk dibagikan, seraya (sebagian dari mereka) mengucapkan ‘kata pujian’: “Materi pengajiannya sangat bagus dan sesuai dengan kebutuhan kami, ustadz.”
Mendengar pujian dari sebagian dari jamaahnya, ‘Sang Guru Ngaji’ itu pun segera berstighfar, karena khawatir, ‘jangan-jangan’ dengan pujian itu menjadikan dirinya ‘besar-hati’ dan bahkan ‘sombong’ karenanya. Astaghfirullâhal ‘azhîm, dia ucapkan istighfarnya dengan suara lirih, berkali-kali. Dia -- Sang Guru Ngaji itu -- benar-benar ingat pada pesan salah satu gurunya yang pernah mengajarkan -- kepadanya -- sebuah materi kajian yang berjudul “Artipenting Riyâdhah”, yang diambil intisari pelajarannya dari kitab Madârijus Sâlikîn, karya seorang ulama besar, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, yang – antara lain -- menyatakan bahwa: “salah satu di antara persinggahan kalimat iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în, dalam QS al-Fâtihah, ialah: “Riyâdhah”, yang bermakna: “melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz I, hal. 476-480.)
Dalam Riyâdhah, kata Ibu Qayyim al-Jauziyyah -- kita berlatih untuk membiasakan diri dalam melaksanakan‘ibâdah mahdhah dan ghairu mahdhah. Sehingga, kedua macam ibadah itu – pada akhrinya – akan menjadi sebuah kebiasaan hidup kita sehari-hari, dan kita nikmati sebagai wujud pengadian kita kepada Allah.
Riyâdhah, menurut Al-Harawi -- penulis kitab Manâzilus Sâirin --, yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madârijus Sâlikîn, memiliki tiga tingkatan:
2
Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotorinya. Memerbanyak kesalehan dalam bermu'amalah, berarti: “memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan oleh-Nya.
Kedua, ةصاخلاةضاير (Riyâdhah orang-orang khusus). Yaitu, dengan cara: “memotong sesuatu yang memisahkan hatinya dari Allah secara keseluruhan, dan benar-benar hanya menghadap kepada-Nya secara utuh. Dalam arti: “hadir bersama Allah dengan sepenuh hati dan tidak menoleh kepada selain-Nya.” Dan inilah yang dikenal dengan sebutan: “dzikr sepanjang ruang dan waktu.” Seseorang yang yang sudah mencapai derajat ini, akan selalu mengingat Allah, di mana pun dan kapan pun, sehingga ucapan dan tindakannya selalu terkontrol, karena keinginannya untuk selalu mendapatkan ridha-Nya, dan menghindar dari kemurkaan-Nya.
Ketiga, ةصاخلاةصاخةضاير (Riyâdhah orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus), yaitu, dengan cara: “mencintai Allah secara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan apa pun yang akan diberikan oleh-Nya.” Imbalan yang terbesar yang dia ‘impikan’ adalah: “Ridha Allah”, karena Ridha Allah-lah yang sebenarnya merupakan ekspresi cinta Alllah kepada hamba-Nya. Dan ‘cinta Allah’ yang seperti itu (baca ridha Allah) hanya akan diperoleh oleh setiap hamba-Nya yang ridha untuk hanya berilâh (baca beribadah) kepada-Nya, sebagaimana yang telah dialami oleh seseorang yang sudah mencapai derajat Nafsun Muthmainnah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama melalui telaah mereka dalam tafsir QS al-Fajr/89: 27-30.
Mungkin saja ‘Sang Guru Ngaji’ itu belum sampai pada posisi (maqâm) ketiga. Tetapi, paling tidak ‘dia’ telah berusaha untuk menapaki riyâdhah-nya, untuk – pada saatnya – dia harapkan menggapai derajat Nafsun Muthmainnah.
Insyâallâh.
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Univrsitas Muhammadiyah Yogyakarta