• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Bukti Hukum Acara Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alat Bukti Hukum Acara Perdata"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Alat Bukti Hukum Acara Perdata Alat Bukti Hukum Acara Pidana (Pasal 164 HIR, 1866 BW) Pasal 184 KUHAP

Tulisan/Surat

Saksi-saksi

Persangkaan

Pengakuan

Sumpah Ket. Saksi

Ket. Ahli

Surat

Petunjuk

Ket. Terdakwa

Untuk itu, disini kami akan menjelaskan satu persatu alat bukti Hukum Acara Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W., sebagai berikut:

(2)

Orang yang melakukan hubungan hukum perdata, tentulah dengan sengaja ataupun tidak membuat alat bukti berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis dibawah ini:

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..

Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian

mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[8]

Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk

pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[9]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

a) Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,

(3)

c) Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[10] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :

Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;

Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.

Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[11] Berikut kami pun memberikan contoh yang diambil dalam sebuah buku Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:

Contoh Penyusunan

Bukti tulis – sederhana

(4)

DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

P – 1 : Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal ……….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1

Kotamadya Bandung, perihal: Roya Hipotek; (oleh Pd BPN)

P – 2 : Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal ……….. . Notaris/PPAT………..

P – 3 : Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………

P – 4 : Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ……… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ……….. .

P – 5 : Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama……….. .

Disampaikan dengan hormat oleh

Kuasa Pembantah,

(5)

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[12] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.

Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela,

meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.

Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk

menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).

Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[13]

a) Orang yang Cakap

Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama

keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata),

(6)

Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung

dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).

b) Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan

Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.

c) Diperiksa Satu Persatu

Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.

d) Mengucapkan Sumpah

Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji

menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.

e) Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti

(7)

f) Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan

Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.

g) Saling Persesuaian

Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.

3. Bukti Persangkaan

Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[14] Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[15]

1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)

Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut

membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

(8)

Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim

menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

4. Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang

pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.

Lalu yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a) dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);

b) kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan

(9)

dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.[16]

5. Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi

keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”[17]

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang

perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan

mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.[18]

Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim

(10)

sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan

penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan

putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[19]

Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;[20]

Sumpah

Decissoir Suppletoir

Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan; Alat bukti kuat yang menentukan keputusan; Dapat dikembalikan;

Dilakukan dalam tiap keadaan. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);

Merupakan alat bukti tambahan; Tidak dapat dikembalikan;

Hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.

(11)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.

Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Macam-macam Alat Bukti: Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Alat bukti kesaksian

(12)

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

Alat bukti pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.

Alat bukti sumpah

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi

keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

DAFTAR PUSTAKA

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel diposkan pada 9 Desember 2010 dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa 2003.

(13)

Sugeng A.S, Bambang. dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Litigasi Perkara Perdata, Jakarta: Kencana, 2011.

Tw, Abdullah, Alat Bukti Dalam Perakara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/.

[1] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia), h. 105.

[2] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet. 31, 2003, h.177

[3] Op. cit, h. 107.

[4] Prof. Subekti, S.H., Op. cit. h. 176.

[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006, h. 134.

[6] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 554.

[7] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana), 2011, h. 66.

[8] M. Yahya Harahap, S.H., Op. cit, h. 566

(14)

[10] Op. cit, h. 607

[11] Op. cit, h. 166

[12] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, h. 166

[13] Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari

http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

[14] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 181

[15] Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/

[16] Aza, Op. cit.

[17] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Op. cit, h. 117

[18] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 183

[19] Ibid, h. 184.

[20] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.A., dan Sujayadi, S.H., Op. cit, h. 76.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.

(16)

Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara

beracara dalam hukum acara perdata.

2. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Dan Bagaimana Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata? B. Apa Saja Alat Bukti Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Perdata? C. Apa Tujuan Pembuktian Perdata Dalam Hukum Acara Perdata? D. Apa Saja Asas-Asas Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata?

BAB II

PEMBAHASAN

1. PEMBUKTIAN

Salah satu tugas hakim ialah menyelidiki apakah yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim dan tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim.

Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Selain itu yang tidak perlu di buktikan lagi adalah yang dalam hukum acara perdata di sebut fakta notoir, yaitu hal yang sudah lazimnya diketahui oleh umum. Misalnya, bahwa Negara Republic

Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945, atau bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup.

(17)

bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang kongkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.

Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan (peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal oleh pihak yang lain. Sedangkan masalah hukumnya tidak usah

dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim. Dalam acara perdata di Indonesia, hakim adalah terikat di dalam acara mencapai putusannya. Hanya berdasar pada alat-alat bukti yang sah, hakim diperbolehkan mengambil keputusan.

Pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain

pembuktian yang tidak lain penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex factie saja. Dengan demikian bukti itu dinilai lengkap dan sempurna, apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu dianggap sudah pasti dan benar. Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :

A. Bukti surat/tulisan B. Bukti saksi

C. Persangkaan D. Sumpah

Dalam praktek masih ada satu macam alat bukti lain yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam siding, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat.

2. MACAM-MACAM ALAT BUKTI

Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.

2.1 Pengertian Alat Bukti Dan Perkembangannya.

Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

(18)

jenis atau alat bukti tertentu. [1]hukum pembuktian yang berlaku di indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.

Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.

Namun di beberapa Negara seperti Belanda [2], telah terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.

Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu saja

melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum.

Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.

Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan Undang-Undang.[3]

2.2 Macam-Macam Alat Bukti

Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).

A. Alat Bukti Tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

(19)

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[4] Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.

Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).

Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian

mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[5]

Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[6]

Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :

A. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan B. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

C. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[7]Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat:

A. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;

B. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.

(20)

adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[8]

C. Alat Bukti Kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[9]

Jadi, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.

D. Alat Bukti Persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.[10]

E. Alat Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928.

Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.[11]

(21)

Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengikat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.[12]

HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:

a. Sumpah Supletoir/Pelengkap (Pasal 155 HIR)

Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.

b. Sumpah Aestimatoir/Penaksir (Pasal 155 HIR)

Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena

jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. c. Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)

Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah Supletoir, maka sumpah decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisioir, ini dapat di lakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.

G. Pemeriksaan Setempat

Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah

pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai berikut : Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.

a. Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat barang itu terletak.

b. Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.[13]

(22)

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan.

Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of

knowledge”.[14]

Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia: a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi

b. Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman

c. Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people). [15]

Dari pengertian diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.

3. TUJUAN PEMBUKTIAN

Pada hakekatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, pihak yang lain kalah (jika

merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.

Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak yang di kenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang pernah dilakukannya? Dengan perkataan lain apakah perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya

merupakan suatu hubungan sebab akibat?

Mengenai permasalahan ini, hans kelsen mengemukakan salah satu teori yang terkenal sebagai “ toerekeningstheoris” (teori pertanggung jawab).

(23)

Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah akibat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu merupakan pertanggung jawaban atau

perbuatannya sendiri.

Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.

Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan.

Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah:

A. Gerachtgkeit (keadilan)

B. Zwegkmassigkeit (kemanfaatan) C. Rechtsicherheit (kepastian hukum)

Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena terjadinya konflik diantara berbagai kepentingan manusia (conflict of human interest). Akibat konflik antar-kepentingan itu sehingga menghendaki adanya penyelesaian fungsi hukum. Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses perdata

adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan proses pidana, dimana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa. Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya.

Secara filosofinya dapat dikatakan bahwa tujuan pembuktian adalah:

“Quod Bonum Felix Faurtumque”, apa yang baik, bahagia dan karunia (oleh allah).

(24)

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata dikenbal asas-asas tersendiri, yang berbeda dengan apa yang dikenal dalam hukum pembuktian lainnya.

Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku bagian dari hukum privat (privaatrecht [Belanda], private law [Inggris], droit prive [Perancis], privatrecht [Jerman].

Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata itu sendiri, seperti tersebut diatas.

A. Asas Audi Et Alteram Partem

Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “Audi Et Alteran Parten”, atau “ Eines Manres Rede Ist Keines Mannes Rede”. Asas kesamaan kedua pihak yang berperkara di muka pengadilan.

B. Asas Ius Curia Novit

Asa “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memfiksikan bahwa setiap hakim itu harus dianggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Hakim sama sekali tidak boleh memutus perkara, dengan alasan bahwa hakim itu tidak mengetahui hukumnya.

C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa

Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri.

Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu” menjadi saksi (recusatio) adalah: a. Orang yang tidak mampu secara mutlak

Hakim di larang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:

1. Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang lurus dari salah satu pihak yang berperkara.

2. Suami atau istri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun sudah bercerai.

(25)

Mereka ini dapat di dengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai keterangan kesaksian:

1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.

2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat. 3.

D. Asas Ultra Ne Petita

Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada yang dituntut oleh penggugat.

E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum

Asas “De Gustibus Non Est Disputandum” ini sebenarnya suatu asas yang aneh. Karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat di persengketakan.

F. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet

Asas ini menentukan bahwa tidak ada yang dapat mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki.

5. BEBAN PEMBUKTIAN

Pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yang menentukan :

(26)

Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut.[16]

Jika tergugat atau penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat

membuktikan maka ia harus dikalahkan. Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya ialah sebagai berikut:

A. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 BW).

B. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang dituntut (pasal 1365 BW).

C. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar semua angsuran (pasal 1394 BW).

D. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) BW).

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” v Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang

(27)

v Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.

Macam-Macam Alat Bukti

A. Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.

Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

B. Alat bukti kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.

C. Alat bukti persangkaan

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.

D. Alat bukti pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.

(28)

Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi

keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain. F. Pemeriksaan setempat

Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah

pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR

G. Saksi ahli/Pendapat ahli

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

M. Nur Rasaid, S.H. Hukum Acara Perdata (Jakarta : Sinar Grafika)

Prof.Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. / Dr. Wiwie Heriani, S.H., M,H. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)

Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika) H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009

[1] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554 [2] Opcit, 555

(29)

[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 149

[5] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566 [6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 158

[7] Opcit, 607

[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 616-622

[9] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 166

[10] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 684 [11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 181

[12] Sudikmo mertokusumo, op. cit., hal. 154.

[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 781

[14] Ibid, 789 [15] Ibid, 789

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif aksiomatik, yaitu de- ngan menurunkan teorema yang telah ada dan pendeteksian pola yang kemu- dian diterapkan dalam

Dokumen ini adalah milik Universitas Iskandarmuda dan TIDAK DIPERBOLEHKAN dengan cara dan alasan apapun dibuat salinannya tanpa seijin Badan Penjaminan Mutu Universitas.. Alamat

Communication Objective Dari riset penyelenggara pasca event yang dilakukan melalui 60 responden yang mengetahui Klub sepatu roda kota Semarang, sebanyak 43, yang berminat gabung

Riset ini bertujuan menganalisis pengaruh indikator keuangan perusahaan asuransi yang terdiri atas pendapatan premi, hasil investasi, volume of capital, loss ratio, beban

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan secara kolaboratif dan partisipatif antara peneliti dan guru matematika kelas VIII dengan

Budidaya tanaman pangan serealia merupakan mata kuliah lanjutan yang diperuntukan bagi mahasiswa Program Studi Agroteknologi, dengan maksud memberikan pemahaman bagi

ekonomi, sosial dan lingkungan Kementerian pariwisata da ekonomi kreatif 2012 4 Tujuan pariwisata berkelanjutan tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu untuk mencapai

Kedua, Kepada institusi sekolah di- sarankan untuk: (1) menyebarluaskan metode pembelajaran kooperatif model make a match kepada guru-guru mata pelajaran lainnya,