ABSTRACT
STUDY OF CONSERVATION TILLAGE SYSTEM AND LONG TERM NITROGEN FERTILIZATION FOR THE SOIL BIOMASS CARBON MICROORGANISM (C-MIC) AND CORN (Zea maysL.) PRODUCTION
IN ULTISOL SOIL
By
ADITYA KIRANA
Indonesia is an agricultural country who most of people work as farmers. One of the most important process in planting is a soil tillage. For the short term,
intensive tillage can improve soil physical problem, but in the long term can cause damage to the soil. To reduce the negative impact need to implement soil
conservation tillage systems. Soil conservation tillage system is a system of land preparation that aims to prepare the land for crops to grow and produce optimum, but still concern for soil and water conservation. Nutrient of nitrogen is the most important element for plants, except that the N element is also required for soil microorganism in order to continue activity.
This study aims to determine biomass carbon microorganism (C-mic) and corn productivity in three kinds of soil tillage system (Intensive tillage, Minimum tillage, and No tillage) and long term nitrogen fertilization effect.
This research by using a randomized block design (RAK) and arranged in a factorial (3x3) with 4 replications. The first factor in this research is the treatment of tillage system (T), namely T1= intensive tillage, T2= minimum tillage, T3= no
tillage, and the second factor in this study were long-term nitrogen fertilization (N), N0= 0 kg N ha-1, N1= 100 kg N ha-1and N2= 200 kg N ha-1. The soil
samples were taken at three points of each plot at the one day before processing of land and when corn reached maximum vegetative. The result were tested for the homogenity by Bartlet test, aditifity test by Tukey test, and then analysis of variety, and continued with Honestly Significant Difference test 5% and
correlation test between N fertilizer and C-Mic, Production, and C-mic with corn production.
The results showed that overall of Intensive Tillage, Minimum Tillage, and No Tillage did not significantly increase biomass carbon of microorganism (C-mic) and corn production. N fertilization 200 kg N ha-1significantly increased biomass
carbon microorganism during the vegetative plant corn, but not significant at the time before tillage and significantly affected for crop production. There was no interaction between soil tillage system with N fertilization to increase biomass carbon of microorganism and corn production.
ABSTRAK
PENGARUH SISTEM OLAH TANAH KONSERVASI DAN PEMUPUKAN NITROGEN JANGKA PANJANG TERHADAP BIOMASA KARBON MIKROORGANISME TANAH (C-MIK) DAN PRODUKSI TANAMAN
JAGUNG (Zea maysL.) DI TANAH ULTISOL
Oleh
ADITYA KIRANA
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dengan cara bercocok tanam. Salah satu proses terpenting dalam bercocok tanam adalah pengolahan tanah. Dalam jangka pendek, olah tanah intensif dapat memperbaiki sifat fisik tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut perlu menerapkan sistem pertanian olah tanah konservasi. Sistem Olah Tanah Konservasi (OTK) adalah suatu sistem persiapan lahan yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, dengan tetap memperhatikan konservasi tanah dan air. Unsur hara nitrogen merupakan unsur yang paling penting bagi tanaman, selain itu unsur N juga diperlukan untuk mikroorganisme tanah agar dapat terus beraktivitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biomasa karbon mikroorganisme (C-mik) dan produktivitas tanaman jagung pada tiga macam pengolahan tanah (Olah Tanah Intensif, Olah Tanah Minimum, dan Tanpa Olah Tanah) dan pemupukan nitrogen jangka panjang.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dan disusun secara faktorial (3x3) dengan 4 ulangan. Faktor pertama dalam penelitian ini adalah perlakuan sistem olah tanah (T) yaitu T1= olah tanah intensif, T2= olah tanah
minimum, T3 = tanpa olah tanah, dan faktor kedua dalam penelitian ini adalah
pemupukan nitrogen jangka panjang (N) yaitu N0 = 0 kg N ha-1, N1= 100 kg N ha-1
dan N2 = 200 kg N ha-1. Sampel tanah diambil pada tiga titik setiap plot tanaman
jagung pada waktu sehari sebelum pengolahan tanah dan pada saat tanaman jagung mencapai vegetatif maksimum. Data yang diperoleh diuji homogenitas dengan uji
Bartlet, uji aditifitas dengan Uji Tukey, kemudian analisis ragam, serta dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) 5% serta uji korelasi antara Pupuk N dengan C-mik, Produksi, dan C-mik dengan produksi jagung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum Perlakuan Sistem Olah Tanah baik Sistem Olah Tanah Intensif (OTI), Olah Tanah Minimum (OTM), dan Tanpa Olah Tanah (TOT) tidak berpengaruh nyata meningkatkan biomasa karbon mikroorganisme (C-mik) dan produksi tanaman jagung. Pemupukan N 200 kg ha-1
berpengaruh nyata meningkatkan biomasa karbon mikroorganisme tanah pada saat masa vegetatif tanaman jagung, tetapi tidak nyata pada saat sebelum perlakuan dan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman. Tidak terdapat interaksi antara sistem pengolahan tanah dengan pemupukan N terhadap peningkatan biomasa karbon mikroorganisme dan produksi tanaman jagung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Perlakuan Sistem Olah Tanah baik Sistem Olah Tanah Intensif (OTI), Olah Tanah
Minimum (OTM), dan Tanpa Olah Tanah (TOT) tidak berpengaruh nyata
meningkatkan biomasa karbon mikroorganisme (C-mik) dan produksi tanaman
jagung.
2. Pemupukan N 200 kg ha-1 berpengaruh nyata meningkatkan biomasa karbon
mikroorganisme tanah pada saat masa vegetatif tanaman jagung, tetapi tidak nyata
pada saat sebelum perlakuan, dan berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman.
3. Tidak terdapat interaksi antara sistem pengolahan tanah dengan pemupukan N
terhadap peningkatan biomasa karbon mikroorganisme dan produksi tanaman
jagung.
B. Saran
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai pengaruh berbagai sistem olah tanah
40
2. Berdasarkan hasil uji korelasi disarankan untuk menggunakan dosis pupuk N
diatas 200 kg ha-1 untuk melihat hasil optimal biomasa mikroorganisme tanah
ABSTRACT
STUDY OF CONSERVATION TILLAGE SYSTEM AND LONG TERM NITROGEN FERTILIZATION FOR THE SOIL BIOMASS CARBON MICROORGANISM (C-MIC) AND CORN (Zea maysL.) PRODUCTION
IN ULTISOL SOIL
By
ADITYA KIRANA
Indonesia is an agricultural country who most of people work as farmers. One of the most important process in planting is a soil tillage. For the short term,
intensive tillage can improve soil physical problem, but in the long term can cause damage to the soil. To reduce the negative impact need to implement soil
conservation tillage systems. Soil conservation tillage system is a system of land preparation that aims to prepare the land for crops to grow and produce optimum, but still concern for soil and water conservation. Nutrient of nitrogen is the most important element for plants, except that the N element is also required for soil microorganism in order to continue activity.
This study aims to determine biomass carbon microorganism (C-mic) and corn productivity in three kinds of soil tillage system (Intensive tillage, Minimum tillage, and No tillage) and long term nitrogen fertilization effect.
This research by using a randomized block design (RAK) and arranged in a factorial (3x3) with 4 replications. The first factor in this research is the treatment of tillage system (T), namely T1= intensive tillage, T2= minimum tillage, T3= no
tillage, and the second factor in this study were long-term nitrogen fertilization (N), N0= 0 kg N ha-1, N1= 100 kg N ha-1and N2= 200 kg N ha-1. The soil
samples were taken at three points of each plot at the one day before processing of land and when corn reached maximum vegetative. The result were tested for the homogenity by Bartlet test, aditifity test by Tukey test, and then analysis of variety, and continued with Honestly Significant Difference test 5% and
correlation test between N fertilizer and C-Mic, Production, and C-mic with corn production.
The results showed that overall of Intensive Tillage, Minimum Tillage, and No Tillage did not significantly increase biomass carbon of microorganism (C-mic) and corn production. N fertilization 200 kg N ha-1significantly increased biomass
carbon microorganism during the vegetative plant corn, but not significant at the time before tillage and significantly affected for crop production. There was no interaction between soil tillage system with N fertilization to increase biomass carbon of microorganism and corn production.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian dengan cara bercocok tanam. Salah satu proses terpenting dalam
bercocok tanam adalah pengolahan tanah. Pengolahan tanah secara konvensional
dilakukan dengan cara mengolah secara intensif dengan cara membajak atau
mencangkul tanah sebelum ditanami dan sisa-sisa dari tanaman sebelumnya
disingkirkan. Dalam jangka pendek, olah tanah intensif dapat memperbaiki sifat
fisik tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah.
Penyebabnya adalah stuktur tanah yang terbentuk secara alami oleh penetrasi akar
dan aktifitas fauna tanah menjadi rusak akibat pengolahan tanah yang terlalu
sering dilakukan, mempercepat menurunnya kandungan bahan organik akibat
aerasi terlalu berlebihan, pengolahan tanah pada waktu penyiangan banyak
memutuskan akar tanaman yang dangkal dan meningkatnya kepadatan tanah pada
kedalaman 15-25 cm akibat penggunaan alat berat saat pengolahan tanah (Hakim,
dkk., 1986). Untuk mengurangi dampak negatif tersebut perlu menerapkan sistem
pertanian olah tanah konservasi.
Sistem Olah Tanah Konservasi (OTK) adalah suatu sistem persiapan lahan yang
bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi
2
OTK, tanah diolah seperlunya saja atau bila perlu tidak diolah sama sekali, dan
mulsa dari residu tanaman sebelumnya dibiarkan menutupi permukaan lahan
minimal 30%. Olah tanah konservasi (conservation tillage) dapat dalam bentuk
olah tanah minimum (OTM), tanpa olah tanah (TOT) dan pemanfaatan mulsa
(Utomo, 1990). Olah tanah konservasi di samping memiliki
keunggulan-keunggulan teknis dan ekonomis, juga menawarkan suatu cara untuk mengurangi
emisi GRK serta meningkatkan simpanan karbon (carbon sequestration) di tanah.
Hal ini menegaskan bahwa peralihan dari praktik olah tanah konvensional menuju
olah tanah konservasi secara meluas akan memberikan sumbangan yang besar
dalam peningkatan deposit karbon di dalam tanah, yang secara langsung akan
meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi emisi gas CO2 di atmosfer. Hal
ini dapat menjadi suatu kontribusi sektor pertanian yang sangat berarti dalam
upaya mitigasi resiko dari perubahan iklim akibat pemanasan global (Johanis,
2008).
Pengolahan tanah yang tidak tepat selain dapat menimbulkan banyak kerugian
tetapi juga dapat mengancam ketahanan pangan nasional akibat penurunan
kualitas lahan. Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pengganti
tanaman pangan pokok yang cukup berperan dalam pemenuhan kebutuhan
pangan. Angka produksi jagung nasional tahun 2008 sebesar 15,86 juta ton lebih
tinggi dibandingkan pada tahun 2007 yaitu sebesar 13,29 juta ton (Deptan, 2008).
Namun angka tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk
sebagai pengganti tanaman pangan pokok. Oleh karena itu salah satu usaha untuk
meningkatkan angka produksi jagung yaitu dengan cara pengolahan tanah yang
tepat agar kualitas lahan dapat tetap terjaga melalui penerapkan sistem olah tanah
3
menggunakan mulsa dari residu tanaman sebelumnya. Menurut Utomo (2004),
dengan adanya mulsa in situ, aliran permukaan dan erosi tanah dapat ditekan
sehingga bahan organik tanah dan kesuburan tanah dapat meningkat. Dengan
demikian biota (mikroorganisme) dalam tanah dan produksi tanaman juga akan
meningkat.
Unsur hara nitrogen merupakan unsur yang paling penting bagi tanaman. Unsur
ini dijumpai dalam jumlah besar di bagian yang muda daripada jaringan tua
tanaman, terutama berakumulasi pada daun dan biji. Nitrogen merupakan
penyusun setiap sel hidup, karenanya terdapat pada seluruh bagian tanaman.
Unsur ini juga merupakan bagian dari penyusun enzim dan molekul klorofil
(Hakim, dkk., 1986). Selain itu unsur N juga diperlukan untuk mikroorganisme
tanah agar dapat terus beraktivitas. Menurut Hakim, dkk. (1986) pemberian
pupuk yang mengandung amonium sangat membantu menstimulir proses
nitrifikasi, karena untuk terjadinya nitrifikasi harus ada amonium.
Rao (1994) menyatakan bahwa akar tanaman mengeluarkan eksudat yang berupa
asam-asam organik, asam amino, gula protein, polisakarida dan senyawa lain yang
belum terindentifikasi. Eksudat akar yang dikeluarkan oleh akar tanaman akan
merangsang meningkatnya populasi mikroorganisme tanah yang merupakan
sumber biomasa mikroorganisme tanah. Mikroorganisme berpengaruh terhadap
siklus C dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas struktur tanah.
Berdasarkan kenyataan tersebut bahwa mikroorganisme tanah memegang peranan
penting dalam berbagai proses di dalam tanah, maka penting untuk mengetahui
jumlah biomasa karbon mikroorganisme (C-mik) untuk pendugaan biomasa
4
.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biomasa karbon mikroorganisme
(C-mik) dan produksi tanaman jagung pada tiga macam sistem olah tanah (Olah
Tanah Intensif, Olah Tanah Minimum, dan Tanpa Olah Tanah) dan pemupukan
nitrogen jangka panjang.
C. Kerangka Pemikiran
Pengolahan tanah dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi mekanik terhadap
tanah. Tujuannya adalah untuk mencampur dan menggemburkan tanah,
mengendalikan tanaman pengganggu, mencampur sisa tanaman dengan tanah, dan
menciptakan kondisi kegemburan tanah yang baik untuk pertumbuhan akar (Gill
dan Vanden Berg, 1967).
Sistem pengolahan tanah terdiri dari olah tanah intensif (OTI) dan olah tanah
konservasi (OTK), Sistem olah tanah konservasi adalah suatu sistem persiapan
lahan yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan
berproduksi dengan optimum, dengan tetap memperhatikan konservasi tanah dan
air. Olah tanah konservasi dicirikan dengan berkurangnya pembongkaran atau
pembalikan tanah, penggunaan sisa tanaman sebagai mulsa, dan disertai
penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma dan tanaman
penggangu lainnya. Olah tanah konservasi terbagi menjadi olah tanah minimum
(OTM), dan tanpa olah tanah (TOT). Sistem olah tanah intensif dimaksudkan
untuk meningkatkan produktivitas lahan yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan
tujuan pengolahan tanah secara umum yang diungkapkan oleh Hakim, dkk. (1986)
5
diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman. Menurut Utomo (1989) pengertian olah tanah minimum adalah tanah
diolah seperlunya saja atau di sekitar lubang tanam kemudian sisa tanaman
sebelumnya dijadikan mulsa penutup tanah. Sedangkan untuk tanpa olah tanah,
tanah dibiarkan tidak terganggu kecuali alur kecil atau lubang tugal sebagai
tempat menaruh benih, gulma dikendalikan dengan herbisida ramah lingkungan,
serta sisa tanaman sebelumnya dan atau gulma dipergunakan sebagai mulsa yang
merupakan syarat budidaya olah tanah konservasi, sedangkan pemupukan dan
kegiatan kultur teknis lainnya tetap dilakukan (Rahman, 2009).
Pengolahan tanah yang terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan struktur
tanah dan kekahatan bahan organik tanah. Hal ini akibat pengolahan tanah dalam
jangka panjang dapat meningkatkan mineralisasi C dan N potensial (Woods dan
Schuman, 1988). Sarno, dkk. (1998) melaporkan bahwa kadar C-total pada tanpa
olah tanah sangat nyata lebih tinggi daripada olah tanah intensif dan minimum,
tetapi kadar C-total antara olah tanah miniumum dan tanpa olah tanah tidak
berbeda nyata. Gonggo, Hermawan, dan Anggareni (2005) menyatakan bahwa
pengolahan tanah minimum dan intensif juga menyebabkan penurunan C-organik
tanah masing-masing sebesar 12,85% dan 51,62%. Penurunan tersebut diduga
karena pengolahan tanah mengakibatkan tingginya proses pelapukan bahan
organik. Karbon penting sebagai bahan pembangun bahan organik, karena
sebagian besar bahan kering tanaman terdiri dari bahan organik.
Utami (2005) menjelaskan bahwa semakin tinggi kandungan dan masukan bahan
organik ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan C-organik tanah yang
6
memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan biomasa mikroorganisme
tanah. Niswati, dkk. (1998) melaporkan bahwa pada olah tanah konservasi,
jumlah mesofauna tanah nyata lebih banyak daripada olah tanah intensif. Diduga
bahwa dengan adanya sisa-sisa tumbuhan di permukaan tanah yang dapat
berfungsi sebagai sumber pakan bagi berbagai jenis fauna tanah. Selain itu,
keadaan ini dapat juga disebabkan oleh tidak terganggunya tanah pada olah tanah
konservasi sehingga mesofauna tanah jumlahnya lebih banyak.
Nitrogen adalah unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah
banyak dalam bentuk amonium dan nitrat yang berfungsi sebagai pembentuk
jaringan tanaman. Sumber N tidak diperoleh dari mineral dan batuan, tetapi
berasal dari hasil pelapukan bahan organik, dari udara melalui fiksasi N oleh
mikroorganisme baik yang bersimbiosis dengan akar tanaman legum seperti
bakteri Rhizobium atau tidak seperti bakteri Azotobakter dan Clostridium.
Hubungan antara karbon dan nitrogen pada proses pelapukan bahan organik
dalam tanah sangat penting. Hubungan ini dikenal dengan istilah C/N. Bahan
organik akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang berfungsi
sebagai sumber energi, proses ini disebut mineralisasi. Sedangkan nitrogen
dibutuhkan oleh mikroorganisme sebagai pembentuk jaringan tubuh dengan cara
diabsorpsi ke dalam tubuh mikroorganisme atau disebut imobilisasi N. Proses
mineralisasi dan imobilisasi berjalan bersamaan pada proses dekomposisi bahan
organik. Rasio karbon dan nitrogen (C/N) mempunyai arti penting, misalnya
apakah terjadi kompetisi antara mikroorganisme tanah dan tanaman terhadap
kebutuhan unsur hara nitrogen. Selanjutnya C/N berguna untuk mengetahui
7
unsur nitrogen dalam tanah (Bachtiar, 2006 dalamFauzi, 2008). Masalah timbul
bila kandungan bahan organik yang terurai itu sedikit, karena mikroorganisme
mungkin akan kekurangan nitrogen dan bersaing dengan tanaman untuk
memperoleh nitrogen apa saja yang tersedia dalam tanah.
Indikator kesuburan tanah salah satunya dapat dilihat dari tinggi rendahnya
biomasa mikroorganisme dalam tanah (C-mik). Biomasa mikroorganisme tanah
merupakan bahan yang hidup dari bahan organik tanah yang meliputi bakteri,
fungi, algae dan protozoa, tidak termasuk akar tanaman dan fauna tanah yang
lebih besar dari amuba terbesar ( (Jenkinson dan Ladd,
1981dalamBangun, 2002).
Mikroorganisme tanah merupakan tenaga penggerak dalam transformasi hara di
dalam tanah sehingga berperan penting dalam kesuburan tanah dan fungsinya
dalam ekosistem (Smith dan Paul, 1990 dalam Bangun, 2002). Menurut Smith
dan Paul (1990 dalam Bangun, 2002) biomasa mikroorganisme merupakan
komponen yang labil dari fraksi organik tanah yang terdiri dari 1 3 % dari total
C-organik tanah dan meningkat sampai 5% total nitrogen tanah. Tanah yang
banyak mengandung berbagai mikroorganisme tanah, secara umum dapat
dikatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah yang memiliki sifat fisik dan kimia
yang baik.
Tingginya populasi mikroorganisme dan beragamnya jenis mikroorganisme tanah
hanya mungkin ditemukan pada tanah yang mempunyai sifat yang memungkinkan
bagi mikroorganisme tersebut untuk berkembang dan aktif (Buchari, 1999). Hal
ini sesuai dengan keadaan lahan yang menerapkan sistem olah tanah konservasi
8
sekali, sisa residu dari tanaman sebelumnya dijadikan mulsa penutup tanah,
sehingga aerasi dan kelembaban tanah dapat tetap terjaga. Berbeda dengan sistem
olah tanah konvensional yang mengolah tanah secara intensif, hal ini
menyebabkan kondisi lingkungan tanah dapat terganggu, sehingga menghambat
mikroorganisme untuk aktif dan berkembang. Rao (1994) menyatakan bahwa
akar tanaman mengeluarkan eksudat yang berupa asam-asam organik, asam
amino, gula protein, polisakarida dan senyawa lain yang belum teridentifikasi.
Secara umum ekosistem rizosfir yang sehat akan dihuni oleh organisme yang
menguntungkan yang memanfaatkan substrat organik dari bahan organik atau
eksudat tanaman sebagai sumber energi dan nutrisinya (Hidersah dan Simarmata,
2004).
Menurut hasil penelitian jangka panjang selama 21 tahun berturut-turut di
Hajimena, Lampung dengan pola tanam rotasi serelia-legum, menunjukkan bahwa
rata-rata produksi jagung TOT pada dosis 200 kg N ha-1 mencapai 5,5 t ha-1,
sedangkan OTI 5,3 t ha-1dan OTM 5,2 t ha-1. Sebaliknya pada tanpa N, produksi
jagung TOT hanya 3,3 t ha-1, sedangkan OTI 3,5 t ha-1 dan OTM 3,1 t ha-1.
Namun pada musim tanam ke 37 produksi jagung tertinggi diperoleh pada sistem
olah tanah minimum dengan dosis pupuk 200 kg N ha-1yaitu 5,9 t ha-1sedangkan
TOT 5,4 t ha-1dan OTI 5,4 t ha-1(Rahman, 2009).
Raguan (2009) juga melaporkan, untuk peningkatan biomasa karbon
mikroorganisme pada musim tanam ke 37 perlakuan tanpa olah tanah tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan biomasa karbon mikroorganisme tanah
dibandingkan dengan perlakuan olah tanah minimum dan olah tanah intensif, baik
9
pada perlakuan tanpa olah tanah telah terjadi pemadatan yang menyebabkan
berkurangnya oksigen (O2) di dalam tanah sehingga aktivitas mikroorganisme
menurun.
Hasil penelitian Raguan (2009) menyatakan bahwa perlakuan olah tanah
minimum berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan biomasa karbon
mikroorganisme tanah dibandingkan perlakuan tanpa olah tanah dan perlakuan
olah tanah intensif, hal ini disebabkan karena pada perlakuan olah tanah minimum
tanah diolah seminimum mungkin dengan cara dibesik dengan alat seperti cangkul
atau garu dan terdapat mulsa yang dapat digunakan sebagai tambahan bahan
organik. Berbeda dengan sistem tanpa olah tanah (TOT), mulsa dibiarkan di atas
tanah tanpa diolah sedikitpun. Bahan organik dapat digunakan sebagai sumber
energi bagi pertumbuhan mikroorganisme tanah, selain itu bahan organik juga
dapat menjaga kelembaban tanah sehingga mikroorganisme dapat berkembang
dan aktif. Tanah dalam kondisi yang lembab merupakan kondisi yang ideal bagi
mikroorganisme tanah untuk dapat melakukan aktivitasnya secara optimal
(Raguan, 2009). Tanah yang banyak mengandung berbagai mikroorganisme
tanah, secara umum dapat dikatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah yang
memiliki sifat fisik dan kimia yang baik (Raguan, 2009). Dengan demikian
produksi yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Perkembangan mikroorganisme sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimia tanah
(Rao, 1994). Tersedianya unsur hara yang cukup, pH tanah yang sesuai, aerasi
dan drainase yang baik, air cukup dan sumber energi (bahan organik) yang cukup
adalah beberapa faktor yang harus dipenuhi agar mikroorganisme tanah dapat
10
berkaitan dengan populasi dan aktivitas mikroorganisme dalam tanah. Tingkat
respirasi tanah sering dihubungkan dengan populasi mikroorganisme tanah,
karena respirasi menggambarkan aktivitas mikroorganisme yang ada dalam tanah.
Semakin banyak karbondioksida yang dikeluarkan tanah, semakin tinggi aktivitas
mikroorganisme, ini berarti semakin tinggi pula populasi mikroorganisme
(Akhmad, 1993).
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dapat menghasilkan biomasa karbon
mikroorganisme (C-mik) dan produksi tanaman jagung tertinggi
2. Pemupukan N 200 kg N ha-1 dapat menghasilkan biomasa karbon
mikroorganisme (C-mik) dan produksi tanaman jagung tertinggi.
3. Terdapat interaksi antara sistem pengolahan tanah dengan pemupukan N
terhadap peningkatan biomasa karbon mikroorganisme dan produksi