• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Emisi Gas Metan (CH4), Suhu Udara Dan Produksi Padi Sawah Ip 400 Pada Fase Vegetatif Musim Tanam I Akibat Varietas dan Bahan Organik Yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laju Emisi Gas Metan (CH4), Suhu Udara Dan Produksi Padi Sawah Ip 400 Pada Fase Vegetatif Musim Tanam I Akibat Varietas dan Bahan Organik Yang Berbeda"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih.2005. Peranan Bahan Organik Tanah Dalam Meningkatkan Kualitas dan Produktivitas Lahan Pertanian. Materi Workshoop dan Kongres Nasional II Masayarakat Pertanian Organik Indonesia.Jakarta.21-22 Desember 2005.

Andoko, A., 2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Anonimous.2003. Program Pertanian Ekologis. http://www.pplh.or.id/selo/

pertanian.php. [12 November 2010].

Armansyah, Sutoyo, N. Rozen dan R. Angraini. 2009.

Hadi, Abdul. 2001. Makalah pada seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. !-14 Februari 2001. Sinergy Forum – PPI TokyoInstitute of technology.

Pengaruh Periode Pengenangan Air terhadap Pembentukan Jumlah Anakan Tanaman Padi (Oryza sativa) dengan Metode SRI (the System of Rice Intensification). Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.

Babu, Y. Jagadeesh, C. Li, S. Frtolking, D.R Nayak and T.K Adhya. 2006. Field validation of DNDC model for methane and nitrous oxside emissions from rice based production systems of India. Nutrient Cycling in Agroecosystems 74:157- 174.

Berkelaar, D. 2001. Sistim Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification-SRI) : Sedikit dapat memberi lebih banyak. Buletin ECHO Development Note, Januari 2001. ECHO Inc. 17391 Durrance Rd. North FtMyers FI.33917 USA. pp.1-6.

DeDatta, S.K., A.C dan C.P. Magnaye. 1969. A Survey of Forms and Souscre of Fertilizer Nitogen for Flooded Rice. Soil and Fertilizer, 32:103-109.

Deptan. 2009. Pedum IP padi 400. Dalam Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP padi 400

Gardner, F.P, R.B.Pearce, dan R.L.Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia, Jakarta

(2)

Hakim, N. M., Y. Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo, G.N., M Rusdi, M. Amin, Diha, G. B. Hong, H. Bailey. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta.

Hasibuan, B. E. 2004. Pupuk dan Pemupukan. USU Press, Medan.

Hasibuan, B.E., 2004. Pupuk dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Petanian, Medan.

Husin, Y .A. 1994. Metane flux from Indonesia wetland rice: The effects of water management and rice variety [dissertasion]. Bogor: Post Graduet Program, Bogor Agricultural University.

Inubushi, K et al. 2001. effect of aquatic weeds on methane emission from submerged paddy sol. Am.J. Bot.88:975-979.

Isnaini, M., 2006. Pertanian Organik Untuk Keuntungan Ekonomi dan Kelestarian Bumi. Kreasi Wacana, Yogyakarta

Kusumanto, 2009. Memahami Konsep Kesuburan Tanah. http//dian-kusumanto.blogspot.com.Diaskes 1 april 2010.

Lestari, Yulin. 2006. the Potentialof microbes in minimizing the risk of global warming. Final report of International Symposium.

Li, Changseng, J. Qiu, S. Frolking, X. Xiao, W . sallas and R. Sass. 2002. Reduced methane emissions from large-scale chenges in water manegement of china’ rice paddies during 1980-2000.

Mulyadi, 2000. Price Policies in Central Java,Ind.Impact on Demand for Urea Fertilizer in Paddy Production and The Resulting Nitrate Contamination, Ph.D Dissertation. University Putra Malaysia, Malaysia.

Murbandono, L. 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Edisi Revisi, Jakarta. Murdiyarso D. Dan Y.A. Husin. 1994. Modelling and meausuring soil organic

matter dynamics and greenhouse gas emissions after forest conversion. Report of Workshop/ training course. Bogor. ASB_Indonesia report 1.

Mutakin, J. 2005. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification) Tesis. Pascasarjana. Unpad, Bandung.

(3)

Nuraini, 2009. Pembuatan Kompos Jerami Menggunakan Mikroba Perombak Bahan Organik. Buletin Teknik Pertanian Vol. 14. No. 1, 2009 : 23 – 26. Purnomo, E. 2006. Peranan Bahan Organik untuk Menyuburkan Tanah. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (Info Teknologi Pertanian No. 7)

Sanchez, P. A., 1993. Sifat dan Pengolahan Tanah Tropika, Jilid 2. Penerbit ITB, Bandung.

Sasongko, W.,R Teknologi pembuatan kompos super, BPTP NTB

Setyanto P (1997) Lahan sawah dan teknologi pengelolaannya. Mitigasi gas metan dari lahan sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Jakenan

Setyanto, Prihasto. 2004. Mitigasi gas metan dari lahan sawah, Tanah Sawah dan Teknologi Pengololaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan agroklimat, Bogor.

Setyanto P (2006) Varietas padi rendah emisi gas rumah kaca. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Setyanto P,Kartikawati R (2008) Sistem pengelolaan tanaman padi rendah emisi gas metan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

Setyorini, D., R. Saraswati, dan E.K. Anwar. 2006. Kompos. hlm.11-40, dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Sosilo, H. 1994. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. Sukana, Endang dan Notohadiprawiro, T. 1988. Peranan Pupuk Dalam

Pembangunan Pertanian. Diskusi Nasional IV Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia 20-21 Desember 1988 di Yogyakarta.

Suprihati. 2007. Populasi mikroba dan fluks metana (CH4) serta nitrous oksida (N2O) pada Tanah Padi Sawah: Pengaruh pengelolaan air, bahan organik dan pupuk nitrogen [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Sutanto, R. 1998. Inventarisasi Teknologi Alternatif Dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Fakultas Pertanian UGM. Yogayakarta.

(4)

Symposium Sustaining Food Security and Managing Natural Resource in Southeast Asia-Challenges for the 21st Century. January 8-11, 2002 at Chiang Mai, Thailand. (klaus.prinz@gmx.net); Advisor, Metta Development Foundation, Yangoon, Myanmar (h-kabir3@yahoo.com). 13 p.

Uphoff. 2003. Initial Report on China National SRI Workshop. Hongzou, 2-3 Maret 2003.

Wididana, G., N. 1998. Bokasi dan Fermentasi. Seri Informasi Teknologi EM. Institut Pengembangan Sumberdaya Alam ( ISPA), Jakarta.

(5)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Balai Penelitian dan Pengembangan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara), Desa Pasar Miring Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang (30 29’ 51,33” N dan 980 54’ 19,87” E) dengan ketinggian tempat 30 meter dpl yang dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai dengan selesai.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu : jerami padi untuk pembuatan kompos, pupuk kandang sapi untuk pupuk kandang, benih padi sebagai objek percobaan, larutan EM-4, urine kambing sebagai pestisida, kotoran ayam sebagai pupuk organik dan Aluminium Foil untuk membungkus jarum suntik dari pengaruh cuaca luar.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sungkup plastik yang berukuran yaitu ( p x l x t ) adalah 50 cm x 50 cm x 100 cm yang di dalamnya terdapat termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, fan yang berguna untuk menghomogenkan suhu dalam sungkup, dan jarum suntik untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup, serta alat-alat laboratorium lainnya. Alat-alat yang digunakan di lapangan antara lain cangkul dalam pengolahan lahan dan pembersihan gulma, label nama untuk penanda perlakuan, meteran untuk pembuatan plot.

(6)

Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 (dua) faktor perlakuan yaitu : Varietas Padi dan pemberian Bahan Organik dengan 3 ulangan.

Masing-masing perlakuan tersebut adalah : 1. Varietas Padi Sawah (V)

V1 = Varietas Impari I

V2 = Varietas Ciherang

2. Bahan Organik (B)

B0 = Kontrol

B1 = Kompos Jerami (10 ton/ha atau 9 kg/plot)

B2

V

= Pupuk Kandang Sapi (10 ton/ha atau 9 kg/plot) Bagan petak kombinasi sebagai berikut :

1B0 V2B1 V1B1

V1B1 V1B2 V2B0

V1B2 V2B0 V1B0

V2B0 V1B1 V2B2

V2B1 V2B2 V1B2

V2B2 V2B0 V2B1

Jumlah kombinasi perlakuan : 6 Jumlah ulangan : 3 Jumlah plot penelitian : 18

Luas plot : 3 m x 3 m

(7)

Jarak antar ulangan : 1 m

Jarak tanam : 30 cm x 30 cm

Jumlah tanaman per plot : 100 tanaman Jumlah tanaman seluruhnya : 1800 tanaman

Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan adalah (Hanafiah, 2003) :

Yijk = ฀ + ฀i + ฀j + ฀k + (฀฀)jk + ฀ijk

Yijk : Nilai pengamatan dari blok ke-i, faktor perlakuan varietas padi sawah

ke-j dan faktor perlakuan bahan organik taraf ke-k. µ : Nilai tengah.

฀i : Pengaruh dari blok taraf ke-i.

฀j : Pengaruh perlakuan varietas padi sawah pada taraf ke-j. ฀k : Pengaruh perlakuan bahan organik pada taraf ke-k.

(฀฀)jk : Pengaruh interaksi antara varietas pada taraf ke-j dan pemberian bahan organik pada taraf ke-k.

εijk : Efek galat pada blok ke-i, varietas padi sawah pada taraf ke-j dan

pemberian bahan organik pada taraf ke-k.

Terhadap faktor yang berpengaruh nyata pada analisis sidik ragam selanjutnya

dilakukan uji rataan perlakuan dengan menggunakan uji jarak Duncan/ DMRT (Duncan

(8)

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Lahan

Persiapan lahan merupakan pelaksanaan pertama dalam pelaksanaan penelitian. Satu minggu sebelum mengolah tanah, petakan sawah diberi air sampai cukup untuk melunakkan tanah sawah. Keadaan tanah sawah sebaiknya sedikit basah. Kemudian petakan sawah dicangkul berkeliling dari bagian luar (tepi) menuju ke bagian tengah petakan sehingga diperoleh hasil yang baik. Tanah dibentuk dalam 18 petakan yang berasal dari 6 petak percobaan untuk setiap ulangan, dimana pada penelitian ini terdapat 3 ulangan (blok) dengan ukuran 3 meter x 3 meter, jarak antar petak 50 cm dan jarak antar ulangan 1 meter. Pembuatan Kompos Jerami

 Jerami segar dipotong-potong sepanjang ± 3 cm dan direndam selama 1 malam. Perendaman ini bertujuan agar jerami tetap lembab.

 Bahan aktif EM-4, gula pasir, dedak dan sekam dicampur dan diaduk sampai rata serta dibagi atas 4 bagian.

 Jerami ditumpuk dimana di atas lembaran plastik dimana jerami tersebut dibuat menjadi 4 lapisan.

 Pada lapisan jerami pertama (1/4 bagian jerami) ditaburkan bahan aktif 1/4 bagian dan dipercikkan air untuk menjaga kelembabannya.

 Setelah itu, tumpukkan kembali lapisan jerami kedua (1/4 bagian jerami) dan taburkan kembali bahan aktifnya ¼ bagian. Demikian seterusnya hingga jerami

habis. Tinggi tumpukan jerami dibuat kurang dari 1,5 m agar memudahkan dalam

pembalikannya.

 Tumpukan ditutup rapat dengan plastik agar terlindung dari hujan dan panas dan diletakkan ditempat yang terlindung dari cahaya matahari secara langsung.

 Suhu tumpukan dipertahankan antara 40-50oC, bila suhu naik > 50o

Kompos jerami siap digunakan setelah 3 - 4 minggu.

C dilakukan

pembalikan dan didiamkan sebentar agar suhu turun lalu ditutup kembali.

Pembuatan Pupuk Kandang Sapi

(9)

 Kotoran sapi yang sudah ditiriskan dipindahkan ke tempat pembuatan kompos dan dicampur dengan dekomposer EM-4, gula pasir, dedak dan sekam kemudian

diaduk secara merata.

 Sekali seminggu diaduk dan dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada minggu pertama diharapkan

terjadi peningkatan suhu sampai 70 0

 Pada minggu ke empat kompos ini telah matang dengan warna pupuk kandang coklat kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau.

C untuk mematikan pertumbuhan biji gulma

sehingga kompos yang dihasilkan dapat bebas dari biji gulma.

 Kemudian pupuk kandang diayak/disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam serta memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan ( misalnya batu dan

potongan kayu).

Analisis Awal

Analisis awal dilakukan terhadap tanah sawah,pupuk kandang sapi dan kompos sapi dan kompos jerami. Analisis sampel tanah terdiri dari : pH, C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tukar. Analisis pupuk kandang sapi dan kompos jerami terdiri dari : C-organik, N-total, C/N, P-total dan K-total.

Persiapan Benih dan Persemaian

Benih sebelum disemai diuji terlebih dahulu di dalam larutan air garam. Larutan air garam tersebut adalah larutan yang apabila dimasukan telur maka telur tersebut akan terapung. Benih dimasukkan ke dalam larutan garam tersebut, benih yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut dan benih yang terapung sebaiknya dibuang saja. Benih yang telah diuji dalam larutan air garam tadi diambil dan dibersihkan dari garam dengan cara merendam dan membilasnya dalam air. Setelah selesai, benih kemudian ditiriskan dan diperam selama 2 hari. Penyemaian padi dilakukan pada media tanah yang dicampur pupuk organik di dalam wadah segi empat ukuran 50 x 50 cm selama 7 hari. Setelah umur 8 – 15 hari dimana benih telah berdaun 2 helai maka benih sudah siap ditanam.

(10)

Pengolahan tanah dengan tujuan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.

Pemupukan

Pemberian pupuk dasar Urea sebesar 200 kg/ha SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pemupukan Urea dilakukan dua kali, yaitu pemupukan pertama pada satu hari sebelum tanam (2/3 bagian), pemberian pupuk kedua (1/3 Bagian) dilakukan pada saat primordia bunga (40 HST). Pupuk SP-36 dan KCl diberikan seluruhnya satu hari sebelum tanam. Pemberian pupuk kandang sapi dan kompos jerami (sebagai perlakuan) diberikan 1 minggu sebelum tanam dangan cara dicampur dengan tanah secara merata pada setiap petakan.

Pengelolaan Air

(11)

Pemeliharaan

Tanaman dipelihara dari gangguan hama dan gulma. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dilakukan jika serangan hama masih rendah. Apabila jumlah populasi serangan sangat tinggi digunakan pestisida yang sesuai dengan hama yang sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang, dengan dosis anjuran. Panen

Panen harus memperhatikan umur padi dan cara pemanenan serta tinggi potongan 20 cm dari bawah agar tanah dapat segera ditanami panen padi yang ideal dilakukan pada saat padi matang fisiologis pada saat kadar air gabah sekitar 22% - 26% atau 90 - 95% gabah dari malai yang sudah kuning.

Pengambilan Sampel Gas di Lapangan

Pengambilan sampel gas dilakukan pada waktu umur tanaman 35, 42 HST, 55 HST dan 81 HST dengan menggunakan sungkup statik, sungkup diletakkan pada plot percobaan dimana posisi kaki sungkup ditekan masuk kedalam tanah sampai bagian bawah sungkup berada di atas permukaan tanah dengan kondisi bawah sungkup rapat dengan permukaan tanah yang bertujuan agar udara dari luar tidak masuk ke dalam sungkup, dan apabila kondisi lahan tergenang air maka posisi bawah sungkup diletakkan di bawah permukaan air atau tepat diletakkan di permukaan tanah.

(12)

tiap perlakuan, hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan dalam penentuan sampel gas.

Cara pengambilan sampel dengan jarum suntik dilakukan di bagian atas sungkup, bagian atas sungkup terbuat dari gabus yang memiliki ketebalan 2 cm. Gabus berfungsi agar pada saat jarum disuntikkan dan dicabut menembus atas sungkup atau bagian gabus, udara yang berada di luar tidak masuk kedalam sungkup atau sebaliknya udara yang berada di dalam sungkup tidak keluar. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas maka jarum suntik ditutup dengan sumbat karet kemudian dibungkus dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas, dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah termos tertutup berisi es batu sehingga tidak terpengaruh udara luar dan suhu dipertahankan tetap dibawah 50C karena gas CH4 akan menguap pada suhu di atas 50C. Kemudian sampel gas

dianalisis di laboratorium dengan menggunakan alat gas kromatografi yang dilengkapi dengan electron capture detector ( ECD).

Fluks (F) dari gas CH4 yang lepas dari satu luasan tanah sawah dihitung berdasarkan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:

F=

F : Fluks gas CH4 (mg/m2/hari)

dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit)

Vch : Volume boks (m3) Ach : Luas boks (m2) mW : Berat molekul CH4 (g)

mV : Tetapan volume molekul CH4 (22.41 l) T : Suhu rata-rata selama pengambilan sampel (0 Nilai 273,2: Tetapan suhu kelvin

(13)

Parameter yang Diamati

1. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam)

Emisi gas CH4 diukur pada saat tanaman padi berumur 35, 42, 55 dan 81

HST (10 Hari sebelum Panen) dengan metode GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectra)

2. Suhu Udara(o

3. Jumlah Anakan C)

Suhu udara diperoleh dari udara bebas yang diukur setiap hari dan sungkup yang diukur pada saat tanaman padi berumur 35, 42, 55 dan 81 HST (10 Hari sebelum Panen) dengan menggunakan termometer udara.

Jumlah anakan dihitung setiap rumpun pada masa vegetatif 4. Produksi gabah per petak (g)

Pengamatan dilakukan pada saat panen, yang dilakukan dengan menimbang berat

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Laju Emisi Metan (CH4) Akibat Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan

Bahan Organik yang Berbeda Pada Fase Vegetatif Umur 35 HST dan 42

HST.

Emisi Umur 35 HST

Daftar sidik ragam laju emisi Metan (CH4) pada umur 35 HST akibat varietas dan pemberian bahan organik dan sidik ragam disajikan pada lampiran 5. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa varietas tanaman padi dengan indeks pertanaman (IP) 400 dan bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi gas metan (CH4) pada pengambilan sampel umur 35 HST sedangkan interaksi antara varietas dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi Metan (CH4) pada 35 HST .

Tabel 4. Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi (CH4) (mg/m2

Perlakuan

/hari) pada Umur 35 HST

Laju Emisi Pada Umur

35 HST

Varietas Inpari I (V1)

B0 = tanpa bahan organik

B1

1,71 a

(15)

B2 = pupuk kandang sapi 7,22 c

Varietas Ciherang (V2)

B0 = tanpa bahan organik

B1 = kompos jerami

B2

1,71 a

2,13 ab

2,35 ab = pupuk kandang sapi

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada umur 35 HST laju emisi metan tertinggi terdapat pada varietas Inpari I dengan pupuk kandang sapi (V1B2) yang berbeda

dengan varietas dengan kompos jerami (V1B1), varietas tanpa perlakuan (V1B0),

varietas Ciherang dengan pupuk kandang sapi (V2B2), varietas Ciherang dengan

kompos jerami (V2B1) dan varietas Ciherang tanpa perlakuan bahan organik

(V2B0). Emisi tertinggi kedua terdapat pada varietas Inpari I dengan kompos

jerami (V1B1) yang berbeda dengan varietas inpari 1 tanpa bahan organik (V1B0)

dan varietas Ciherang tanpa bahan organik (V2B0), namun tidak berbeda dengan

varietas Ciherang dengan kompos jerami (V2B1) dan varietas Ciherang dengan

pupuk kandang sapi (V2B2). Emisi tertinggi ketiga terdapat pada varietas

Ciherang dengan pupuk kandang sapi dan kompos jerami (V2B2 dan V2B1) yang

tidak berbeda dengan tanpa perlakuan pada varietas Inpari I dan Ciherang (V1B0

dan V2B0)

(16)

Gambar 1. Histrogram Interaksi Varietas Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik Terhadap Perubahan Laju Emisi (CH4) pada Umur 35 HST.

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada umur 35 HST laju emisi metan tertingi

terdapat pada perlakuan varietas Inpari I dengan pupuk kandang sapi (V1B2) yaitu 7,22

mg/m2/hari dan yang terendah terdapat pada perlakuan varietas Inpari I dan Ciherang

tanpa diberikan bahan organik 1.71 mg/m2/hari.

Laju Emisi Umur 42 HST

Daftar sidik ragam laju emisi metan (CH4) dapat dilihat pada lampiran 6.

Dari sidik ragam tersebut diketahui bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400, bahan organik dan interaksi varietas tanaman padi dengan IP 400 dengan bahan organik tidak berpengaruh nyata ternyata terhadap laju emisi metan (CH4) pada

42 HST.

Tabel 5. Rataan Laju Emisi Metan (CH4) (mg/m2

Bahan Organik

/hari) Akibat Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda pada 42 HST

Varietas

Rataan Inpari I (V1) Ciherang (V2)

B0 (tanpa bahan organik) 3.26 2.17 2.71

B1 (kompos jerami) 2.42 2.13 2.27

(17)

Rataan 2.73 2.29

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa meskipun varietas tanaman padi dengan IP 400, bahan organik dan interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan (CH4) pada 42 HST, namun kecenderungan emisi

metan tertinggi akibat pengaruh perlakuan varietas terdapat pada varietas Inpari I (V1) yaitu 2.73 mg/m2/hari yang diikuti oleh varietas Ciherang (V2) yaitu 2.29

mg/m2/hari. Pada pengaruh pemberian bahan organik yang memiliki emisi metan yang cenderung tinggi terdapat pada tanpa bahan organik (B0) yaitu 2.71

mg/m2/hari, kemudian pada pupuk kandang sapi (B2) yaitu 2.54 mg/m2/hari dan

kompos jerami (B0) dengan emisi 2.27 mg/m2/hari.

Pengaruh Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik Terhadap Suhu Udara pada Fase Vegetatif Umur 35 HST dan 42 HST.

Suhu 35 HST

Daftar sidik ragam suhu udara 35 HST dapat dilihat pada lampiran 7. Dari sidik

ragam diperoleh bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan

organik serta interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap

peningkatan suhu udara pada tanaman padi dengan IP 400 fase vegetatif umur 35 HST.

Tabel 6. Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara(0

Bahan Organik

C) Dalam Sungkup Pada Umur 35 HST.

(18)

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa suhu yang cenderung tertinggi akibat pengaruh

varietas tanaman padi dengan IP 400 terdapat varietas pada varietas Ciherang (V2) yaitu

25,50 0C dan yang terendah terdapat pada varietas Inpari 1 yaitu 25,39 0C. Pada pengaruh

pemberian bahan organik, diketahui suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada

perlakuan tanpa bahan organik (B0) yaitu 25.58 oC yang diikuti pupuk kandang sapi (B2)

yaitu 25.41 0C.

Suhu 42 HST

Daftar sidik ragam suhu udara 42 HST dapat dilihat pada lampiran 8. Dari sidik

ragam diperoleh bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan

organik serta interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap

peningkatan suhu udara pada tanaman padi dengan IP 400 fase vegetatif umur 42 HST.

Tabel 7. Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara(0

Bahan Organik (B)

C) Dalam Sungkup Pada Umur 42 HST.

Varietas (V)

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa suhu yang cenderung tertinggi akibat pengaruh

varietas tanaman padi dengan IP 400 terdapat pada varietas Ciherang (V2) yaitu 32.11 0

C

dan yang terendah terdapat pada varietas Inpari 1 yaitu 31.44 0C. Pada pengaruh

pemberian bahan organik, diketahui suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada

perlakuan pupuk kandang sapi (B0) yaitu 32.00 0

(19)

(B0) yaitu 31.67 0

C dan yang terendah pada perlakuan kompos jerami (B1) dengan 31.67

0

Bahan Organik

C.

Jumlah Anakan Tanaman Padi Sawah IP 400 (batang)

Daftar sidik ragam jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 akibat perlakuan varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan organik yang berbeda disajikan pada tabel lampiran 9. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas yang berbeda berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada tanaman padi sawah IP 400. Demikian juga halnya dengan perlakuan pemberian bahan organik yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan produktif pada tanaman padi sawah. Interaksi varietas dengan pemberian bahan organik berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah anakan produktif pada tanaman padi sawah IP 400.

Pada Tabel 8 disajikan rataan dan uji Duncan rataan jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 akibat pengaruh faktor varietas dan pemberian bahan organik.

Tabel 8.Rataan Jumlah Anakan (batang) Tanaman Padi Sawah IP 400 Akibat Pengaruh Faktor Varietas Dan Pemberian Bahan Organik

(20)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%

Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 antara varietas Ciherang (V2) berbeda dengan varietas Inpari 1 (V1). Jumlah

anakan varietas Inpari 1 (24.21) lebih banyak dibanding dengan varietas Ciherang (22.16).

Hubungan antara varietas padi dengan jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 pada varietas Inpari 1 disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Histogram Hubungan Antara Varietas dengan Jumlah Anakan tanaman padi sawah IP 400

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 tertinggi terdapat pada varietas Inpari 1 (V1) yaitu 24.21 anakan/rumpun dan

(21)

Dari Tabel 8 dapat juga dilihat bahwa pemberian pupuk kandang sapi (B2)

sangat berbeda dengan tanpa pemberian bahan organik (B0) dan tidak berbeda

dengan pemberian bahan organik kompos jerami (B1) terhadap jumlah anakan

tanaman padi sawah IP 400. Pemberian bahan organik kompos jerami (B1) tidak

berbeda dengan tanpa pemberian bahan organik (B0) terhadap jumlah anakan

tanaman padi sawah IP 400.

Hubungan antara pemberian bahan organik dengan jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram Hubungan Antara Pemberian bahan Organik terhadap Jumlah Anakan Produktif Tanaman Padi Sawah IP 400

Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 tertinggi pada perlakuan pemberian bahan organik kompos jerami dan puuk kandang sapi (B2) sebanyak 25.18 batang/rumpun, dan yang terendah pada

(22)

anakan produktif. Ada kecendrungan peningkatan jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 dengan pemberian pupuk kandang sapi sebanyak 10 ton/ha.

Produksi Padi dengan IP 400 Akibat Varietas dan Bahan Organik yang Berbeda

Daftar sidik ragam produksi gabah padi dengan IP 400 akibat varietas dan bahan

organik yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil sidik ragam diperoleh

bahwa pemberian bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap hasil produksi padi

dengan IP 400 sedangkan varietas yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi padi dengan IP 400 dan interaksi antara bahan organik dan varietas berpengaruh

nyata terhadap produksi padi dengan IP 400.

Tabel 9. Rataan Produksi Padi Sawah Pengaruh Varietas dan Bahan Organik.

Perlakuan Bobot Padi (gram)

Varietas Inpari I (V1)

Varietas Ciherang (V2)

B0 = tanpa bahan organik

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%

Dari Tabel 9 diatas diperoleh hasil produksi gabah padi sawah IP 400 tertinggi

(23)

terendah terdapat pada varietas Inpari I dengan perlakuan tanpa bahan organik yaitu

4486,03 gram/plot.

Gambar 3. Histogram Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Produksi Tanaman Padi dengan IP 400 (gr / plot)

Dari gambar 3 diatas diperoleh bahwa varietas Inpari 1 (V1) perlakuan pupuk

kandang sapi (B2) adalah produksi paling besar yaitu 5.500.71 gr/plot yang berbeda

terhadap varietas Ciherang perlakuan pupuk kandang sapi (V2B2) yaitu 5.006,37 gr/plot

dan berbeda dengan varietas Inpari 1 perlakuan tanpa bahan organik (V1B0) yaitu

4.486,03 gr/plot, dan varietas Ciherang dengan perlakuan tanpa bahan organik (V2B0

Demikian juga hal dengan varietas Ciherang dengan perlakuan pupuk kandang

sapi (V

)

yaitu 4.880,25 gr/plot,serta varietas Inpari 1 dengan perlakuan kompos jerami yaitu

4.904,13 gr/plot, namun tidak berbeda dengan varietas Ciherang perlakuan kompos

jerami yaitu 5.294,73 gr/plot.

2B2) sebesar 5006.37 gr/plot berbeda dengan varietas Inpari 1 dengan perlakuan

tanpa bahan organik (V1B0) yaitu 4486.03 gr/plot, namun tidak berbeda dengan varietas

Ciherang dengan perlakuan tanpa bahan organik (V2B0) yaitu 4880.25 gr/plot dan

(24)

Pembahasan

Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi Metan (CH4) Pada Tanaman Padi Sawah IP 400

Pengamatan fluks emisi metan baru mulai dilakukan pada awal fase vegetatif

yaitu pada umur tanaman 35 HST dan 42 HST yang merupakan fase vegetatif. Varietas

dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan pada 35 HST dan fluks

laju emisi metan tertinggi terdapat pada varietas inpari I perlakuan pupuk kandang sapi

(V1B2) yaitu 7.22 mg/m 2

/hari, dan laju emisi metan terendah terdapat pada varietas inpari

1 dan ciherang tanpa perlakuan bahan organik yaitu 1.71 mg/m2

Varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan

pada umur padi 42 HST dengan fluks emisi metan yang cenderung tertinggi pada varietas

inpari I tanpa perlakuan bahan organik yaitu 3.26 mg/m

/hari. Hal ini disebabkan

oleh emisi yang dihasilkan oleh varietas yang berbeda, varietas inpari I mengemisi

metana lebih tinggi dibandingkan dengan varietas ciherang. Setyanto et al mengatakan

bahwa varietas inpari I mengemisi 195,7 Kg/ha/musim sedangkan varietas ciherang 170,5

Kg/ha/musim. Selain itu, bahan organik yang diaplikasikan pada lahan padi sawah

mengalami proses dekomposisi pada kondisi lahan yang cenderung tergenang pada fase

vegetative umur 35 HST menyebabkan emisi metan yang dihasilkan cenderung tinggi.

2

/hari dan emisi yang cenderung

terendah terdapat pada varietas ciherang perlakuan kompos jerami dengan 2.13

mg/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh kondisi air pada lahan sawah macak-macak atau

pengairan terputus, sehingga lahan tidak selalu tergenang yang menyebabkan proses

mengemisi metana juga menurun. Rendahnya emisi metan yang dihasilkan pada kondisi

macak-macak (pengairan terputus) disebabkan tidak terjadinya reduksi yang tajam pada

tanah sehingga dekomposisi secara anaerobic tidak mendominasi dan fluks menunjukkan

kecendrungan menurun seiring dengan penurunan pemberian air sampai dengan

(25)

Metan merupakan hasil akhir dari proses bahan organik secara anaerobik oleh

bakteri metanogen. Sebagai proses biologi, perombakan bahan organik secara anaerobik

dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi

yang berpengaruh terhadap aktifitas bakteri penghasil metan. Bakteri ini hanya aktif bila

kondisi tanah yang reduktif telah tercapai akibat penggenangan.

Pola ini sesuai dengan pernyataan hou et al. (2000), bahwa fluks emisi metan

musiman akan meningkat pada fase pembentukan anakan dan mencapai puncaknya pada

fase pembungaan. Selanjutnya akan menurun dan akhirnya tidak terdeteksi, seiring

dengan proses pengeringan lahan menjelang panen.

Dari penelitian ini, masing – masing varietas menghasilkan emisi yang berbeda,

hal ini disebabkan periode tumbuh yang berbeda-beda dari varietas tersebut sehingga

supplay eksudat akar bagi bakteri metanogen untuk pembentukan CH4

Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan

metan di lahan sawah. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Wihardjaka (2001)

dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil

bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan Jerami segar, kompos Jerami dan juga berbeda.

Varietas Ciherang memiliki fotosintesis yang lebih baik dibanding Inpari 1, sehingga

eksudat akar berupa senyawa karbon yang mudah terdegradasi lebih banyak dihasilkan.

Jumlah dan susunan akar tanaman juga mempengaruhi proses pembentukan eksudat akar,

semakin banyak dan merata perakaran tanaman, semakin besar distribusi eksudat ke

dalam lapisan tanah.(setyanto et al, 2004)

Faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi metan adalah bahan organik.

Dalam hal ini yaitu kompos jerami dan pupuk kandang sapi. Ketersediaan substrat

organik mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai

(26)

tanpa bahan organik. Bahkan menurut Hadi (2001) pengomposan jerami padi dapat

mereduksi emisi metan sampai separuhnya.

Bahan organik berupa jerami merupakan bahan ameliorant penting dalam menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan

Menurut Yagi and Minami 1990, Schutz et al. 1989. pemberian bahan organik umumnya mempertinggi emisi gas metana dari lahan sawah. Pembenaman jerami ke dalam tanah nyata meningkatkan laju emisi gas metana dibandingkan pemberian pupuk kandang atau kompos. Secara keseluruhan kajian di Balingtan menunjukkan bahwa penggantian varietas padi mampu menekan laju emisi CH4 sebesar 10-66% dan Pemakain bahan organic yang sudah mengalami dekomposisi lanjut atau matang juga berperan menurunkan emisi sebesar 10-25% organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain

sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran

tersebut, bahan organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya.

(27)

Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Suhu Udara pada Lahan Padi Sawah IP 400

Pengukuran suhu di dalam sungkup dilakukan pada saat pengambilan sampel metan dari dalam sungkup. Varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap suhu udara, dapat dilihat bahwa kenaikan suhu udara cenderung tertinggi umur 35 HST terjadi pada varietas Ciherang tanpa diberikan bahan organik (V2B0) yaitu 26 0C sedangkan cenderung terendah terdapat pada varietas

Ciherang dengan diberikan kompos jerami (V2B2) yaitu 25 0C, sedangkan umur

42 HST suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada varietas ciherang perlakuan pupuk kandang sapi yaitu sebesar 32.67 0C sedangkan suhu yang cenderung terendah terdapat pada varietas inpari I tanpa diberikan bahan organik (V1B0)

yaitu sebesar 30.67 0C. 0

(28)

Kenaikan suhu di dalam sungkup dipengaruhi oleh emisi Metan (CH4) pada padi sawah, hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian bahwa suhu udara yang diukur di dalam sungkup lebih besar atau lebih panas dari suhu udara luar saat pengambilan sampel, pada 35 HST rataan suhu udara luar adalah 24.5 0C dan pada sungkup memiliki rataan 25.44 0C sedangkan pada 42 HST memiliki rataan suhu udara luar 31.5 0C dan rataan suhu dalam sungkup sebesar 31.78 0C

Pengaruh Jumlah Anakan Padi Terhadap Laju Emisi Metan (CH4) Akibat Varietas

dan Bahan Organik yang Berbeda

Dari sidik ragam diperoleh bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah

anakan dan pemberian bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan

padi sawah IP 400. Rataan jumlah anakan tertinggi terdapat pada varietas inpari I dengan

perlakuan pupuk kandang sapi (V1B2) sebesar 26.57 anakan sedangkan rataan jumlah

anakan terendah terdapat pada varietas ciherang tanpa perlakuan bahan organik sebesar

20.57 anakan. Hal ini disebabkan oleh varietas itu sendiri, dimana deskripsi inpari I

memiliki jumlah anakan lebih banyak dibanding dengan varietas ciherang dan unsure

hara yang dikandung oleh bahan organik seperti kompos jerami dan pupuk kandang sapi.

Berdasarkan hasil Penelitian diatas Jumlah anakan pada varietas Inpari I lebih banyak dibandingakan rataan jumlah anakan pada varietas Ciherang. Hasil Seperti sudah disebutkan, bahwa tanaman padi bertindak sebagai media bagi

pelepasan CH4 yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh

aerenkimia daun, batang dan akar padi. Bentuk kerapatan dan jumlah pembuluh

aerenkimia setiap padi yang berbeda akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi

mengimisi metan. Tanaman padi yang tumbuh dengan baik akan mengemisi metan lebih

banyak karena pembuluh aerenkimia batang, daun dan akar tanaman berkembang dengan

(29)

analisis laju emisi metan terbesar terdapat pada Varietas Inpari I, hal tersebut terjadi akibat jumlah anakan Inpari I yang lebih banyak dibandingkan dengan varietas Ciherang. Semakin banyak jumlah anakan membuat pembuluh aerenkimia daun, batang dan akar padi juga semakin banyak, dan emisi CH4 yang

dihasilkan juga semakin banyak melalui pembuluh aerenkim dan eksudat akar anakan padi sawah.

Dari sidik ragam diperoleh bahwa intekasi varietas dan bahan organik bepengaruh nyata terhadap produksi padi dengan IP 400 , dan dari Tabel 9 diatas diperoleh bahwa produksi gabah padi sawah dengan IP 400 tertinggi terdapat pada varieetas inpari 1 dengan perlakuan pupuk kandang sapi yaitu 5500,71 gram/petak (V

Demikian pula biomass yang dihasilkan dari tanaman jumlah biomass akar juga mempengaruhi emisi metan. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon tanaman (Setyanto, 2004). Makin banyak biomass akar yang terbentuk maka emisi metan makin tinggi pula.

Produksi Gabah Per Petak Tanaman Padi Sawah IP 400 Akibat Varietas dan Bahan Organik yang Berbeda

1B2) , sedangkan yang terendah terdapat pada varietas inpari 1 dengan tanpa

perlakuan bahan organik (V1B0) yaitu 4486,03 gram/petak. Dari hasil

(30)
(31)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Varietas (Inpari I dan Ciherang) berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi metan (CH4

2. Bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi metan (CH ) pada 32 HST, dan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan padi namun tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan suhu dalam sungkup dan produksi gabah pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif musim tanam I

4

3. Interaksi antara Varietas dan Bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan (CH

) pada 35 HST dan produksi gabah per petak serta jumlah anakan padi, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan suhu dalam sungkup pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif musim tanam I

4

Saran

Untuk menekan laju emisi metan (CH4) dan meningkatkan produksi padi sawah

yang maksimal disarankan untuk para petani menggunakan Varietas Ciherang dan

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Padi IP 400

Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang mengalami pengindentifikasian guna meningkatkan produksi padi tanpa memerlukan tambahan fasilitas irigasi dan pembukan lahan baru. IP padi 400 artinya, petani dapat memanen hamparan sawah yang sama empat kali dalam setahun. Untuk mendukung hal tersebut, dua strategi yang perlu dilakukan oleh pengelola adalah rekayasa sosial dan rekayasa teknologi. Rekayasa sosial dalam hal ini adalah berupa sosialisasi kepada petani tentang padi IP 400 dan Rekayasa teknologi dalam hal ini adalah varietas unggul yang sangat genjah antara 80-104 hari yang mampu berproduksi tinggi, hemat air dengan irigasi berselang, persemaian dapok atau culikan dan pengembangan sistem monitoring dini sebelum tanam, persemaian, penanaman, dan sesudah pemanenan (Deptan 2009). Pola Tanam

(33)

dilakukan antara April-Juni dan pola tanam ke IV dilakukan antara Juli-September. Dimana pada pola tanam I dan III dengan menggunakan varietas padi genjah >105-124 hari seperti Ciherang, IR64 dan Mekongga dan pada pola tanam II dan IV dengan menggunakan varietas padi sangat genjah yang berumur antara 90-104 hari. Ha ini dilakukan untuk mencegah ledakan hama yang terjadi selama masa tanam (Deptan 2009).

Varietas

Beberapa varietas padi yang dibudidayakan di lahan sawah irigasi seperti Cisadane, Memberamo, IR64, IR36, Dodokan, Batang Anai mengemisi gas metana lebih tinggi daripada yang dibudidayakan di lahan sawah tadah hujan meskipun digenangi terus menerus, masing-masing dengan beda 246-282. 115-316, 121-125, 221, 208-337, dan 57 kg CH4/ha. Di ekosistem sawah tadah hujan,

varietas padi yang ditanam secara gogorancah atau tabela memberikan emisi metana berbeda bilamana ditanam secara pindah (tapin). Emisi gas metana pada padi gogorancah selama musim penghujan umumnya lebih tinggi daripada padi tapin selama musim kering, dengan perbedaan sebesar 38, 126, 37, 45, 93, 52 kg CH4

Persemaian dapat dilakukan dengan cara persemaian culikan yaitu dengan menyemaikan benih 15 hari sebelum panen. Persemaian kering yang dilakukan di /ha pada masing-masing varietas Muncul, Way Apoburu, Tukad Balian, Tukad Petanu, Ciherang, dan Cisantana. (BPLP Jawa tengah 2006).Varietas yang dipilih untuk penanaman IP padi 400 sebaiknya didasarkan pada umur tanaman dan ketahanan terhadap hama penyakit. Sebelum dilakukan penanaman, padi terlebih dahulu disemaikan selama 15 hari (Wihardjaka, 2006).

(34)

darat sedangkan persemaian basah dilakukan di lahan sawah di luar areal yang akan dipanen. Pemilihan jenis persemain yang akan dilakukan tergantung dengan kondisi lahan dan jenis benih yang akan digunakan ( Deptan 2009).

Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan dengan Olah Tanah Sempurna (OTS) dan Tanpa Olah Tanah ( TOT). Olah tanah sempurna dilakukan dengan membalikan tanah dengan bajak atau traktor lalu menggenangi tanah dan dilakukan penanaman benih padi umur 21 hari. Tanpa olah tanah dapat dilakukan apabila terbatasnya alat olah tanah dengan persyaratan tanah tidak menggandung fraksir pasir yang tinggi dan mudah berlumpur bila dilakukan penggairan. Pengolahan tanah tanpa olah tanah dilakukan dengan cara pembersihan gulma, penggenangan 3 cm selama 4 hari lalu dikeringkan dan ditanami benih umur 22 HSS dan dengan jarak tanam 20-25 cm (Deptan 2009). Pengairan

Pengairan yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan dengan sistem tanam pindah dan dengan sistem berselang. Sistem yang dilakukan tergantung dengan kondisi, cara tanam dan ketersediaan air di sekitar lahan yang digunakan (Deptan 2009).

Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4)

Bahan organik berupa jerami merupakan bahan amelioran penting dalam menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain

sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran

(35)

Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami segar dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar.

Unsur Hara Jumlah (%) Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008)

Kompos jerami padi merupakan sisa panen tanaman padi sawah yang telah

didekomposisi oleh mikrobia perombak. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan

bahwa kompos jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%;

N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan yang nyata

antara kompos yang dibuat dengan menggunakan dekomposer dengan kompos tanpa

dekomposer, namun pembuatan kompos yang menggunakan dekomposer lebih cepat

dibandingkan dengan tanpa dekomposer.

Jerami yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri

metanogenik dalam membentuk CH4 di lahan sawah. Neue (1993), menghitung total

emisi CH4 dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah,

dengan asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma tanah dan seluruh akar tanaman

ditambah biomassa aquatik (algae dan gulma); jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun

(kurang lebih setara 390 juta ton biomassa atau setara 156 juta t-1 karbon), dan 30%

karbon yang dikembalikan tersebut diubah menjadi CH4, maka sekitar 62,4 Tg (terra gram

= 1012 g) CH4 akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia.

(36)

dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha, dan 2,4 kali lebih tinggi pada

penambahan 12 ton/ha. Sedangkan penambahan 60 ton/ha jerami memberikan emisi yang

sama dengan pemberian 12 ton/ ha. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa

lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang

lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami (tanpa pemupukan). Yagi

and Minami (1990) menemukan bahwa penambahan jerami 6 ton/ha dapat meningkatkan emisi CH4 1,8 - 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada

penambahan 9 ton/ha emisi CH4yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik

dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos

(terhumifikasi) tidak memberi emisi yang tinggi.

Penelitian Wihardjaka (2001) juga dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari pemberian pupuk kandang, pemberian jerami segar, kompos jerami dan tanpa bahan organik.

Tabel 2. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam

(37)

kompos disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan selama proses pengomposan lebih kurang 2 bulan. Namun dengan adanya berbagai teknologi, kotoran ternak dapat didekomposisi menjadi kompos dalam waktu yang lebih singkat.

Kotoran sapi yang mengalami dekomposisi menghasilkan yang sebahagian besar berupa CH4 (Metan) dan CO2

Jenis Gas

(karbondioksida). Proses dekomposisi dibantu oleh beberapa mikroorganisme. Kandungan gas tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 3. Kandungan Emisi yang Terdapat pada Kotoran Sapi

Jumlah (%)

(38)

bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2 per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.

Suhu Udara

Secara umum iklim sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah (Winarso, 2008).

Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata – rata dari pergerakan molekul – molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda – benda lain atau menerima panas dari benda – benda lain tersebut. Dalam sistem dua benda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih tinggi (Yani, 2009).

(39)

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara (dan suhu tanah) berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lakitan, 2002).

Permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi matahari. Oleh sebab itu permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya. Pada malam hari, permukaan bumi tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi tetap akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang, sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu permukaan akan turun. Karena perannya yang demikian maka fluktuasi suhu permukaan akan lebih besar dari fluktuasi udara di atasnya (Lakitan, 2002).

Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

(40)

Konsentrasi metan (CH4

Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke ) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd and Taylor, 1980).

Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).

(41)

dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam

pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg, et al., 1992).

Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan

Pengukuran fluks emisi CH4 di lapangan dilaksanakan dengan metode

sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm yan dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, serta fan kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup homogen. Jarum suntik digunakan untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup.

Sampel gas CH4 diambil pada 35, 42, 55 dan 81 HST, masing-masing gas

CH4 diambil setelah tanaman padi disungkupi selama 10 menit untuk setiap

perlakuan. Dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00 karena pada saat itu akar tanaman akan menghasilkan gas CH4 dalam jumlah yang besar. Fluks

emisi pada pukul 07.00 – 09.00 WIB merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran fluks emisi CH4

Pengambilan sampel gas CH

, sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati. Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap pengaruh udara dari luar.

4 dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum

(42)

dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas CH4. Jarum suntik tersebut selanjutnya

disimpan di dalam wadah tertutup yang berisi es batu agar tidak terpengaruh udara luar dan untuk mempertahankan suhu tetap di bawah 50C karena gas CH4 akan

menguap pada suhu di atas 50C. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan

(43)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di dunia, karena lebih dari setengah penduduk Asia menggantungkan hidupnya pada beras yang dihasilkan dari tanaman padi. Sekitar 1,75 miliar dari sekitar tiga miliar penduduk Asia, termasuk 210 juta penduduk Indonesia menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras. Sementara itu, dari sekitar 1,2 miliar penduduk di Afrika dan Amerika Latin sebesar 100 juta diantaranya hidup dari beras (Andoko, 2002).

Berbagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas telah dilakukan pada tahun–tahun sebelumnya, namun hal ini belumlah cukup sehingga perlu terobosan di tahun 2009 dan tahun-tahun berikutnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) yang merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan produksi padi nasional tanpa memerlukan tambahan fasilitas irigasi (badan litbang pertanian, 2009).

(44)

untuk mencapai produksi tersebut adalah dengan menggunakan metode tanam SRI (System of Rice Intensification) (Departemen Pertanian, 2008).

Selama ini teknik budidaya padi sawah menggunakan metode konvensional, yaitu

dengan memberikan air (menggenangi lahan) selama fase vegetatif dan pada fase

generatif lahan dikeringkan, namun dengan System of Rice Intensification (SRI) justru

kebalikkannya, dimana selama fase vegetatif lahan dibiarkan dalam keadaan lembab dan

pada fase generatif lahan digenangi hingga 10 hari menjelang panen. Lahan dibiarkan

dalam keadaan lembab bertujuan untuk memperlancar aerasi dalam tanah sehingga tanah

sampai retak-retak dan oksigen mudah masuk ke dalam tanah. Oksigen dibutuhkan bagi

perkembangan akar sehingga pertumbuhan dan perkembangan akar bagus akibatnya

pertumbuhan bagian atas tanaman juga akan sempurna (Barkelaar, 2001).

(45)

Disamping itu, hasil penelitian PPLH-IPB pada tahun 2009 menyatakan bahwa sektor kehutanan (deforestri) adalah sector yang menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia yaitu 42,5% disusul energi dan transportasi sebesar 40,9%; sedangkan sektor pertanian menyumbangkan 13,4% emisi GRK. Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber dari tiga macam GRK yaitu : karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan

dinitrogen oksida (N2O), kontribusi masing-masing GRK tersebut terhadap

pemanasan global dari tanah sawah adalah berturut-turut sebesar 55%, 24% dan 15% (Setyanto, 2008).

Di bidang pertanian terutama pada budidaya padi sawah, upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan pemilihan varietas, pengelolaan air irigasi, penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan juga penggunaan jerami padi yang telah dikomposkan. Upaya pemecahan persoalan produksi dan peningkatan produktivitas tanah sawah harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian upaya untuk menurunkan tingkat emisi CH4 dari tanah sawah harus tetap dilakukan tanpa mengorbankan

produksi beras (Setyanto dan Prihasto, 2004).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang emisi CH4 pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif akibat pemberian

berbagai bahan organik pada musim tanam I Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju emisi gas CH4,

(46)

Hipotesis Penelitian

1. Varietas tanaman padi sawah mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara

dan produksi padi IP 400 di lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam I.

2. Bahan organik mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara dan produksi

padi IP 400 di lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam I.

3. Interaksi antara Varietas tanaman padi sawah dan Bahan Organik mempengaruhi laju emisi gas CH4,

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi petani padi sawah untuk mendapatkan teknik budidaya dan cara pemberian jerami yang terbaik bagi budidaya padi sawah nantinya (ramah lingkungan dan produksi yang tinggi).

suhu udara dan produksi padi IP 400 di lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam I.

Kegunaan Penelitian

(47)

ABSTRACT

This research was aimed to determine whether composting organic materials and varieties of rice plants of different IP 400 can reduce the rate of emissions of methane (CH4), the air temperature in rice vegetative phase and also

to know which varieties or organic matter are likely to be better in reducing the rate of gas emissions methane (CH4), air temperature and increase rice production

IP 400. This research was conducted in paddy fields and Development Research Institute, Village Market District Leaning Fence Merbau Deli Serdang (30 29 '51.33 "N and 980 54' 19.87" E) with a height of 30 meters above sea level where conducted from February 2012 to complete. This research used a randomized block design factorial with six combinations of treatments and three replications thus obtained eighteen experimental unit. Treatment consists of V1B0 (Inpari 1 +

Without Organic Materials), V1B1 (Inpari 1 + straw compost 9 kg), V1B2 (Inpari

1 + Cow Manure 9 kg), V2B0 (Ciherang + Without Organic Materials), V2B1

(Ciherang + Compost straw 9 kg), V2B2 (Ciherang + Cow manure 9 kg).

The results of this research indicate varieties of rice IP 400 and composted organic materials that have been able to suppress the emission rate at 42 days after planting, the air temperature and increase rice production IP 400, but did not suppress emission rate at 35 days after planting.

(48)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengomposan bahan organik dan varietas tanaman padi IP 400 yang berbeda dapat menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara pada tanaman padi fase vegetatif juga mengetahui

bahan organik dan varietas mana yang cenderung lebih baik dalam menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400.

Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Balai Penelitian dan Pengembangan, Desa Pasar Miring Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang (30 29’ 51,33” N dan 980 54’ 19,87” E) dengan ketinggian tempat 30 meter dpl dan Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (BK3) yang dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai dengan selesai. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan enam kombinasi perlakuan dan tiga ulangan sehingga diperoleh delapan belas unit percobaan. Perlakuan terdiri atas V1B0 (Inpari 1 + Tanpa Bahan Organik), V1B1 (Inpari 1 + Kompos Jerami 9

kg), V1B2 (Inpari 1 + Pupuk Kandang Sapi 9 kg), V2B0 (Ciherang + Tanpa Bahan

Organik), V2B1 (Ciherang + Kompos Jerami 9 kg), V2B2 (Ciherang + Pupuk

Kandang Sapi 9 kg).\

Hasil penelitian ini menunjukkan varietas tanaman padi IP 400 dan bahan organik yang telah dikomposkan mampu menekan laju emisi pada 42 HST, suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400, tetapi tidak menekan laju emisi pada 35 HST.

(49)

LAJU EMISI GAS METAN (CH4

SKRIPSI

), SUHU UDARA DAN PRODUKSI PADI SAWAH IP 400 PADA FASE VEGETATIF MUSIM TANAM I AKIBAT

VARIETAS DAN BAHAN ORGANIK YANG BERBEDA

Oleh

TIMBUL SIMBOLON

070303021

ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(50)

LAJU EMISI GAS METAN (CH4

SKRIPSI

), SUHU UDARA DAN PRODUKSI PADI SAWAH IP 400 PADA FASE VEGETATIF MUSIM TANAM I AKIBAT

VARIETAS DAN BAHAN ORGANIK YANG BERBEDA

Oleh

Timbul Simbolon

070303021/ILMU TANAH

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Posma Marbun, MP.) (Ir. Fauzi. MP) NIP. 19670712 199303 2 002 NIP. 19571110 198601 1 003

DEPARTEMEN ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(51)

ABSTRACT

This research was aimed to determine whether composting organic materials and varieties of rice plants of different IP 400 can reduce the rate of emissions of methane (CH4), the air temperature in rice vegetative phase and also

to know which varieties or organic matter are likely to be better in reducing the rate of gas emissions methane (CH4), air temperature and increase rice production

IP 400. This research was conducted in paddy fields and Development Research Institute, Village Market District Leaning Fence Merbau Deli Serdang (30 29 '51.33 "N and 980 54' 19.87" E) with a height of 30 meters above sea level where conducted from February 2012 to complete. This research used a randomized block design factorial with six combinations of treatments and three replications thus obtained eighteen experimental unit. Treatment consists of V1B0 (Inpari 1 +

Without Organic Materials), V1B1 (Inpari 1 + straw compost 9 kg), V1B2 (Inpari

1 + Cow Manure 9 kg), V2B0 (Ciherang + Without Organic Materials), V2B1

(Ciherang + Compost straw 9 kg), V2B2 (Ciherang + Cow manure 9 kg).

The results of this research indicate varieties of rice IP 400 and composted organic materials that have been able to suppress the emission rate at 42 days after planting, the air temperature and increase rice production IP 400, but did not suppress emission rate at 35 days after planting.

(52)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengomposan bahan organik dan varietas tanaman padi IP 400 yang berbeda dapat menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara pada tanaman padi fase vegetatif juga mengetahui

bahan organik dan varietas mana yang cenderung lebih baik dalam menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400.

Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Balai Penelitian dan Pengembangan, Desa Pasar Miring Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang (30 29’ 51,33” N dan 980 54’ 19,87” E) dengan ketinggian tempat 30 meter dpl dan Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (BK3) yang dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai dengan selesai. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan enam kombinasi perlakuan dan tiga ulangan sehingga diperoleh delapan belas unit percobaan. Perlakuan terdiri atas V1B0 (Inpari 1 + Tanpa Bahan Organik), V1B1 (Inpari 1 + Kompos Jerami 9

kg), V1B2 (Inpari 1 + Pupuk Kandang Sapi 9 kg), V2B0 (Ciherang + Tanpa Bahan

Organik), V2B1 (Ciherang + Kompos Jerami 9 kg), V2B2 (Ciherang + Pupuk

Kandang Sapi 9 kg).\

Hasil penelitian ini menunjukkan varietas tanaman padi IP 400 dan bahan organik yang telah dikomposkan mampu menekan laju emisi pada 42 HST, suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400, tetapi tidak menekan laju emisi pada 35 HST.

(53)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini dengan baik. Adapun judul skipsi ini adalah Laju Emisi Gas Metan (CH4), Suhu

Udara Dan Produksi Padi Sawah Ip 400 Pada Fase Vegetatif Musim

Tanam I Akibat Varietas dan Bahan Organik Yang Berbeda

Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah mendidik dan mendukung penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Ibu Ir. Posma Marbun, MP dan Ir. Fauzi. MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan berharga kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Medan, Januari 2013

(54)

DAFTAR ISI

Kegunaan Penelitian ... .…. 4

TINJAUAN PUSTAKA IP 400...5

Kompos Jerami... ...8

Pupuk Kandang Sapi...11

Suhu Udara...12

Produksi dan Emisi Gas Metan dari Lahan Sawah...13

Pengukuran Fluks Emisi Gas Metan di Lapangan... 15

BAHAN DAN METODE

Pembuatan Kompos Jerami. ... 20

Pembuatan Kompos Kandang Sapi ... 20

Analisis Awal… ... 21

Persiapan Benih dan Persemaian ... 21

Pengolahan Tanah ... 22

Pemupukan ... 22

Pengolahan Air ... 22

Pemeliharaan ... 24

Panen ... 24

Pengambilan Sampel Gas di Lapangan ... 24

(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil………25 Pembahasan………...34

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan……….………..……….42 Saran……….…….43 DAFTAR PUSTAKA

(56)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami ... 8 2. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang dan

Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam ………..10 3. Kandungan Emisi yang terdapat pada kotoran sapi ... 19 4. Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi (CH4)

(mg/m2/hari) pada Umur 35HST……….…36

5. Rataan Laju Emisi Metan (CH4) (mg/m2/hari) Akibat Varietas Tanaman

Padi IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda pada 42 HST………...…38

6. Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara (0C) Dalam Sungkup Pada Umur 35 HST……….39

7. Rataan Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan

Suhu Udara(0C) Dalam Sungkup Pada Umur 42 HST.……….40

(57)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Deskripsi Padi Sawah Varietas Pandanwangi ... 57

2. Deskripsi Padi Sawah Varietas Ciherang………...58

2. Bagan Percobaan ... 59

3. Denah Tanaman ... 60

4. Sidik Ragam Emisi Metan (CH4) pada umur 35 HST ... 60

5 Sidik Ragam Emisi Metan(CH4 6. Sidik Ragam Suhu/ Tempratur udara ( ) pada umur 42 HST ... 61

o C) pada umur 35 HST ... 61

7. Sidik Ragam Suhu/ Tempratur udara (oC) pada umur 42 HST ... 62

8. Sidik Ragam Jumlah Anakan ... 63

9. Sidik Ragam Produksi Gabah per Petak ... 63

10. Analisis Awal ………...…64

(58)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Histrogram Interaksi Varietas Padi IP 400 dan Bahan Organik Terhadap Perubahan Laju Emisi (CH4) pada Umur 35 HST... 37 2. Histogram Hubungan Antara Varietas dengan Jumlah Anakan tanaman

padi sawah IP 400 ... 42 3. Histogram Hubungan Antara Pemberian bahan Organik terhadap Jumlah

Anakan Produktif Tanaman Padi Sawah IP 400 ... 43 4. Histogram Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap

Gambar

Tabel 4. Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi (CH4) (mg/m2/hari) pada Umur  35 HST
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada umur 35 HST laju emisi metan tertinggi
Tabel 5. Rataan Laju Emisi Metan (CH4) (mg/m2/hari) Akibat Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda pada 42 HST
Tabel 6. Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara(0Dalam Sungkup Pada Umur 35 HST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Single index model dapat memberikan informasi kepada investor terkait jenis saham yang menjadi penyusun portofolio, proporsi dana masing-masing saham pembentuk

Tabel 8.1 Matriks Rpijm Rpijm (Hasil Review) Bidang Cipta Karya Tahun 2017 S/D 2021. No Sektor KEGIATAN/OUTPUT/SUB

Konsentrasi 100 ppm dan 300 ppm merupakan perlakuan yang mampu menekan pertumbuhan tanaman paling baik dibandingkan dengan kontrol maupun perlakuan lain pada minggu

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan OAT pada penderita TB Paru di Indonesia ditinjau

Variabel Definisi Konsep Definisi Operasional Dimensi Indikator Kepercayaan merk (X2) Kepercayaan merk didefinisikan sebagai persepsi akan kehandalan dari sudut

matakuliah eksperimen fisika. Berdasarkan data hasil praktikalitas pada Tabel 5 diketahui bahwa video tutorial pada matakuliah eksperimen fisika sangat praktis

Efek Indonesia Variabel Current Ratio, Quick Ratio, Working Capital to Total Asset, Debt to equity Ratio, Profit Margin Hasil penelitian Current Ratio, Quick Ratio,

Bentuk pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa pada tuturan remaja desa Karangtalun RT 04 RW 03 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga yang sering kali peneliti temui