Islamis Liberal:
Peran Ganda Politik Demokratis Masyumi
Oleh Saidiman Ahmad♣
Kemenangan partai‐partai Islam pasca‐revolusi di Mesir dan Tunisia, juga di Maroko, sebelumnya di Turki, tidak terlalu mengejutkan. Jauh sebelum penyelenggaraan Pemilu, para ahli politik sudah memperkirakan kemenangan partai‐partai Islam jika kran demokrasi dibuka di wilayah itu.1 Didahului kemenangan partai Refah di Turki, FIS (Front Islamique du Salut) di Aljazair, kemenangan kedua kelompok Islamis AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) di Turki, sampai kemenangan‐kemenangan di hampir semua negara transisi berpenduduk mayoritas Muslim. Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir, Partai an‐Nahdla di Tunisia dan PJD (Parti de la Justice et du Développement) di Maroko.
Yang paling mengejutkan dari kemenangan partai‐partai Islam ini adalah bahwa ternyata artikulasi politik mereka adalah demokrasi. Kecemasan bahwa jika partai‐ partai Islam berkuasa maka mereka akan meruntuhkan demokrasi sejauh ini tidak terbukti. Yang muncul ke permukaan adalah aspirasi politik demokratis. Di beberapa tempat, seperti Turki, AKP jauh lebih merepresentasikan kekuatan politik demokratis ketimbang partai manapun.2 Sesaat setelah memenangi Pemilu, partai al‐ NahdlaTunisia tampil dengan jargon‐jargon pro‐kebebasan. Pemimpin‐pemimpin partainya berkali‐kali menegaskan akan menjaga kebebasan warga Tunisia. Tak lama setelah berhasil memenang Pemilu, salah satu tokoh utama an‐Nahdla, Rached Ghannouchi, berjanji akan menjaga hak semua warga negara termasuk mereka yang tak beragama.3 Demikian halnya yang muncul dari Partai Keadilan dan Pembebasan yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tegas mereka menyatakan pemihakan kepada agenda‐agenda kebebasan sipil. Wartawan senior The New York Times, Thomas L. Friedman, bahkan berkali‐kali memperlihatkan keakraban dengan keluarga‐keluarga elit partai itu. Dia menyatakan bahwa tidak ada yang terlalu patut dirisaukan dengan partai Ikhwan itu, atau bahkan dengan partai Salafi Al‐Nour.
♣ Saidiman Ahmad adalah menejer Jaringan Islam Liberal (JIL); co‐founder Serikat Jurnalis
Thomas L. Friedman mewawancarai seorang juru bicara Al Nour yang menyatakan: “Maybe 20,000 out of 80 million Egyptians drink alcohol. Forty million don’t have sanitary water. Do you think that, in Parliament, I’ll busy myself with people who don’t have water, or people who get drunk?” 4
Di negara yang belum demokratis seperti Arab Saudi, oposisi yang paling serius terhadap rezim diktator datang dari kelompok yang menamakan diri kaum Sahwi. Kelompok ini datang dari kalangan Islam Wahhabisme, ideologi keagamaan resmi negara. Mereka menyuarakan dan mendukung gagasan‐gagasan kebebasan politik di negaranya. Madawi Al‐Rasheed mengidentifikasi setidaknya ada empat kelompok masyarakat Arab Saudi yang berkontestasi. Mereka adalah kelompok Wahhabi pendukung rezim yang diwakili oleh Aimmat al‐Da’wah al‐Najdiyyah, Sahwi, kaum revolusioner yang dipimpin oleh Usamah bin Ladin, dan kelompok liberal.5
Islam dan gerakan Islam sebetulnya memiliki legitimasi sebagai kekuatan politik demokratis. Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), partai kedua terbesar di masa Orde Lama Indonesia, adalah contoh bagaimana sebuah partai agama menjadi representasi politik demokratis.
Charles Kurzman memasukkan nama pemimpin Masyumi, Mohammad Natsir, sebagai salah satu tokoh Muslim liberal.6 Menurut Kurzman, jumlah Muslim liberal sesungguhnya jauh lebih banyak dari Muslim fundamentalis. Ini adalah kelompok dominan pada masyarakat Muslim yang terus bertambah banyak. Setiap kali seorang Muslim fundamentalis melakukan hal‐hal bodoh seperti pengrusakan kafe dan aksi teroris, maka akan semakin banyak yang berpindah menjadi Muslim liberal.7
Sekularisme dan Islam sebagai Senjata Ideologi
Setidaknya ada tiga hal yang sering dianggap menghalangi kompatibilitas Islam dan demokrasi. Pertama, konsep kesatuan agama dan negara. Kedua, konsep ummah. Ketiga, peminggiran terhadap aspirasi perempuan.
Konsep kesatuan agama dan negara disebut menghalangi demokrasi karena dinilai bertentangan dengan semangat sekularisme. Sekularisme yang dimaksud di sini adalah pemisahan agama dan negara. Tanpa pemisahan, maka diyakini hampir mustahil akan muncul sebuah sistem politik demokratis.
Klaim semacam ini lambat laun semakin ditinggalkan. Fakta menunjukkan bahwa di negara‐negara yang paling demokratis klaim pemisahan negara dan agama tidak pernah benar‐benar terjadi. Sebaliknya, agama justru selalu menjadi salah satu inspirasi terpenting dalam negara.9 Di Eropa Barat, partai‐partai agama, yakni Kristen Demokrat, adalah kekuatan politik paling dominan. Terlalu susah menyatakan bahwa negara sedemokratis Inggris bukanlah negara agama.
Lebih jauh, apa yang disebut sebagai sekularisme sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Charles Taylor menyatakan bahwa sekarang ini adalah abad sekular.10 Apa yang diramalkan para sosiolog tahun 1960an tentang abad sekular sesungguhnya sudah terjadi. Di masa sekular ini agama adalah salah satu pilihan saja dalam kontestasi politik.
Di masa sekular, agama adalah salah satu pilihan rasional. Dalam politik, ada sejumlah sumberdaya yang bisa dimanfaatkan, salah satunya adalah agama. Agama sebagai komoditas politik bukan hal yang tabu.
Charles Taylor menelusuri lebih jauh jejak sekularisme dalam agama. Ia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya sekularisme tidak datang dari luar agama. Sekularisme tidak anti‐agama. Sekularisme justru adalah kelanjutan dari evolusi agama. Sekularisme adalah cara agama menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.11
menjadi salah satu pendorong orang melakukan gerakan, gerakan yang bahkan mengancam nyawa sekalipun.
Dalam konteks Indonesia, Islam hampir selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kalau bukan oposisi, terhadap kekuatan politik rezim. Pada masa kolonial Belanda, Islam telah digunakan sebagai senjata ideologis (ideological weapon)12 atau sentimen primordial untuk melawan dominasi penjajah. Sarekat Dagang Islam (SDI) dianggap sebagai peletak dasar pertumbuhan nasionalisme Indonesia.
Pada sebagian besar negara‐negara berpenduduk mayoritas Muslim kekuatan oposisi tidak muncul dari kelompok sekuler‐demokratis, melainkan dari kelompok Islam itu sendiri. Carrie Rosefski Wickham melihat bahwa gerakan Islam ini menggunakan isu penerapan sistem politik Islam untuk mendesak kekuatan rezim diktator.13
Selain menjadi gerakan oposisi terhadap rezim diktator, gerakan Islam sebetulnya juga bisa menjadi peredam gerakan ekstrimisme dari kelompok Islam garis keras. Paparan selanjutnya akan mengemukakan Masyumi sebagai kasus di mana gerakan Islam memainkan peran ganda tersebut.
Peran Ganda Masyumi
Masih terjadi perdebatan apakah Masyumi yang lahir pada 1946 itu adalah kelanjutan dari Masyumi bentukan Jepang yang terbentuk tahun 1943 ataukah ia benar‐benar partai politik baru pasca‐kemerdekaan? Jepang memprakarsai pendirian Masyumi sebelum kemerdekaan karena berharap dan melihat potensi kekuatan terbesar ummat Islam yang bisa mereka manfaatkan. Kolonialisme Belanda dianggap memiliki kebijakan yang memojokkan dan melemahkan Islam. Jepang berupaya mengembalikan kekuatan besar itu untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya.
Masyumi muncul di tengah dan menjadi bagian terpenting dari situasi politik Indonesia yang sedang mencari bentuk. Melalui propaganda negara Islam, Masyumi terjun ke dalam apa yang Jacques Bertrand sebut debat “institusionalisasi” negara.
Pada masa‐masa debat institusionalisasi itu, pertarungan politik tereduksi pada dua kekuatan besar: nasionalis‐sekuler dan nasionalis‐Islam.14 Pada dasarnya kedua kelompok ini berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Yang pertama terdiri dari kaum Muslim birokrat dan priyayi yang menolak konsep negara Islam. Sementara yang kedua berasal dari Muslim santri yang memperjuangkan gagasan pendirian negara Islam.
Persamaan lain dari kedua kelompok ini adalah bahwa masing‐masing memakai jargon yang sama, yakni demokrasi. Kelompok ketiga dari kalangan Islam lahir kemudian. Kelompok ketiga ini justru melancarkan aksi menolak jalan kompromis yang dilancarkan oleh masyumi. Mereka menghendaki pendirian negara secara paksa tanpa harus melalui mekanisme demokratis.
Oleh karena itu, sebenarnya ada tiga kelompok Islam: nasionalis‐sekuler yang diwakili oleh Soekarno Cs, nasionalis‐Islam yang diwakili oleh Masyumi Mainstream, dan Islam ekstrimis yang diwakili oleh DI/TII. Tipologi ini agak mirip dengan trikotomi politik Islam Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Allan Samson yakni Islam fundamentalis, reformis, dan akomodasionis.15
Yang menarik dari tipologi ini adalah peran yang dimainkan oleh Masyumi sebagai representasi kelompok tengah atau nasionalis‐Islam. Masyumi berdiri di antara dua kekuatan dan gerakan politik yang masing‐masing mengancam demokrasi.
Soekarno pada masa Orde Lama memiliki kecenderungan diktator. Ia mengusulkan gagasan satu partai, menjadi presiden seumur hidup, mengeluarkan dektrit pembubaran parlemen, mendesak kelompok oposisi, dan seterusnya. Dengan maklumat negara selamanya dalam masa revolusi, sebetulnya Soekarno memang sedang membangun negara diktator. Posisi diktator ini tambah berbahaya seiring dengan semakin diterimanya kekuatan komunis sebagai pendukung utama. Komunisme sendiri adalah semua paham politik otoritarian.
Luthfi Assaukanie mengulas panjang lebar posisi Masyumi dalam debat seputar Islam dan negara.16 Salah satu yang penting adalah bahwa Masyumi menempatkan diri sebagai partai yang menolak sistem pemisahan negara dan agama tapi pada saat yang sama juga menolak disebut sebagai pengusung teokrasi. Mereka tegas menolak memisahkan negara dan agama. Itu sesuatu yang tidak mungkin dan bertentangan dengan apa yang terjadi pada masyarakat demokratis Eropa. Suatu negara demokratis bisa dibangun berdasarkan prinsip agama.
Dengan argumen yang sama, Masyumi juga tampil sebagai peredam gejolak pemberontakan yang dilakukan oleh Kartosuwiryo, Daud Beurueh dan Kahar Muzakkar. Argumen tentang Islam yang demokratis ternyata menjadi pisau bermata dua. Ia digunakan untuk melawan gagasan diktator Soekarno juga untuk melawan argumen revolusioner kelompok Kartosuwiryo. Akibatnya jelas, gerakan separatis DI/TII selamanya tidak bisa merebut simpati mayoritas pendukung Masyumi. Gerakan itu terisolir hanya di tiga wilayah. Gerakan PUSA pimpinan Daud Beureuh di Aceh segera mengakhiri perlawanan dan memilih jalan damai. Sementara DI/TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan berhasil ditumpas. Hingga kini tak muncul lagi.
Peran ganda Masyumi juga terlihat dalam tubuh Masyumi sendiri. Faksi radikal yang muncul di Jawa Barat di bawah komando Isa Anshary tidak bisa betul‐betul melakukan perlawanan frontal karena adanya kekuatan moderat yang sangat besar dari dalam partai.17
Ada baiknya memaparkan satu tokoh terkemuka Masyumi yang memiliki peran sangat sentral dalam gerakan Islam Indonesia. Dia adalah mantan Ketua Masyumi dan Mantan Perdana Menteri, Mohammad Natsir.
Mohammad Natsir
Natsir adalah tokoh Masyumi yang paling terkemuka. Di tangannya, Masyumi muncul sebagai partai modern yang disegani. Ia pula yang secara konsisten menjadi lawan debat Soekarno yang paling tangguh dari kubu Islam.
fikiran saudara diperlukan untuk membangun negara dengan arti yang lebih luas, menyempurnakan negara kita yang masih muda ini dalam pelbagai lapangan.”18
Dalam debat mengenai negara, Masyumi sering mendapat pertanyaan retoris “Mungkinkah al‐Quran mengatur negara?” Pertanyaan ini dijawab oleh Natsir dalam sebuah tulisan tahun 1940 berjudul “Persatuan Islam dan Negara.” Melengkapi gugatan dan pertanyaan itu, Natsir mengajukan tambahan pertanyaan “Bagaimana caranya tuan hendak mengatur negara dengan Islam itu? Apakah al‐Qur’an itu cukup untuk mengatur negara modern seperti negara dalam abad ke‐20 ini yang bukan sedikit seluk beluknya, amat ruwet (gecompliceerd), dan sulit rumit?”
Menjawab pertanyaan‐pertanyaan yang dia ajukan sendiri itu, Natsir menulis bahwa memang kalau kita membuka al‐Quran tidak akan ditemui aturan tentang anggaran belanja negara, valuta, devisa, lalu lintas, bagaimana memasang antena radio dan seterusnya. “Semua itu tidak memerlukan wahyu Ilahi yang kekal. Itu semua adalah urusan duniawi,” kata Natsir.19
Dalam penjelasan ini, kelihatan sekali bahwa Natsir sebetulnya memiliki pandangan maju mengenai peran agama. Meski tidak ia akui, pandangannya memiliki pararelitas dengan pandangan sekularisme modern. Sekularisme ala Charles Taylor yang memandang sekularisme adalah modifikasi kaum agama, ketimbang sesuatu yang lain dari agama. Sekularisme adalah kelanjutan evolusi agama. Ia bagian dari agama, bukan sesuatu yang berada di luarnya.
Nurcholish Madjid, tokoh yang pernah dijuluki Natsir Muda, memandang kata “syura” sebagai kata‐kata kunci yang dikembangkan Natsir sebagai konsep demokrasi.22 Natsir adalah demokrat modern yang memberi hak orang untuk berpendapat dan menghargai pendapat itu. Bagi Cak Nur, Natsir adalah sosok yang sangat artikulatif mendukung hak‐hak azasi dan sangat sensitif mengenai hal itu. “Motif utama perlawanan Natsir kepada Soekarno justru adalah karena Soekarno dianggap merampas hak azasi,”23 demikian Nurcholish Madjid.
Ada tiga perdana menteri asal Masyumi yang pernah ada: Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Demokrasi konstitusional mencapai prestasi tertingginya di masa ketiga perdana menteri asal Masyumi itu. Dibanding partai‐partai nasionalis lain seperti PNI, Partai Indonesia Raya, Partai Katolik dan lain‐lain, Masyumi jauh lebih memiliki sikap yang jelas mendukung praktik demokrasi liberal.24 Soekarno, misalnya, mengusung demokrasi timur, demokrasi Indonesia, demokrasi terpimpin dan segala macam yang pada ujung hendak mengebiri demokrasi. Pemilu demokratis pertama berhasil dilaksanakan pada masa perdana menteri Burhanuddin Harahap.
Dalam sebuah polemik mengenai UUDS Pasal 18 mengenai hak setiap orang atas kebebasan beragama, keinsafan batin dan pikiran, Natsir menulis “Keragaman Hidup antar‐Agama.” Tulisan itu dimaksudkan untuk menjawab tuduhan sejumlah kalangan di luar Islam yang meragukan komitmen Islam dalam isu kebebasan.
Dalam tulisan itu, Natsir mencoba menunjukkan bahwa Masyumi tegas membela pasal tersebut. Pasal itu sudah sesuai dengan prinsip Islam yang dianut oleh Natsir dan Masyumi. Tulisan itu dimulai dengan penjelasan soal tauhid. Bagi Natsir, bahkan gagasan kebebasan dimulai dari prinsip tauhid itu sendiri. “Tauhid pada hakekatnya adalah suatu revolusi rohani yang membebaskan manusia dari kungkungan dan kekangan jiwa dengan arti yang seluas‐luasnya," kata Natsir. “Keimanan kepada Tuhan,” lanjut Natsir, “diperoleh dengan jalan yang bersih daripada segala macam paksaan."Bagi Natsir, adalah sunnatullah, bahwa sesuatu keyakinan yang sebenar‐ benarnya keyakinan, tidak dapat diperoleh dengan paksaan.25
Cara Natsir berargumen sebenarnya tidak jauh berbeda dengan cara para intelektual Muslim liberal saat ini berargumen. Ia membumbui tulisannya dengan ayat‐ayat pendukung, seperti “tidak ada paksaan dalam agama” dan seterusnya. Pemaksaan dalam beragama tidak pernah bisa dibenarkan karena ia adalah sesuatu yang seharusnya tumbuh subur di dalam jiwa.
cara yang bersih dari segala yang bersifat paksaan." Adapun perbedaan agama dan pandangan harus disikapi secara bijak. Natsir menulis "Perbedaan tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim mencari titik persamaan pada agama‐agama itu."26
Lebih jauh Natsir menegaskan "Dengan penuh keyakinan akan kebenaran..., seorang Muslim harus memancarkan di sekelilingnya jiwa tasamuh dan toleransi." Natsir mendukung gagasan toleransi aktif, bukan pasif. Yang dimaksud dengan gagasan toleransi aktif adalah aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara bermacam‐ macam perbedaan. Melindungi kemerdekaan beragama, bagi Natsir, adalah sangat penting agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing‐masing. "Muslim diperintah berjuang mempertahankan orang yang terdzolimi, yaitu yang terusir dari kediamannya hanya lantaran bertuhankan Allah," tegasnya. Selanjurnya ia menyatakan bahwa seorang Muslim "Harus berjuang mempertahankan biara‐biara, gereja‐gereja, tempat‐tempat sembahyang dan mesjid‐ mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah."27
Natsir hendak menyatakan bahwa cara terbaik yang Islami menghadapi perbedaan adalah mencari titik temu atau persamaan, bukan sebaliknya. Bukankah ini semua adalah gagasan yang juga dikemukakan oleh para intelektual dan aktivis Muslim liberal?
Kesimpulan
Dari kasus Masyumi terlihat bagaimana kelompok Islamis memainkan peran dalam menjaga demokrasi. Peran ganda ia mainkan, baik sebagai kritik terhadap rezim diktator, maupun sebagai peredam ekspresi ekstrimitas Islam garis keras.
Masyumi juga mengalami hal serupa. Gerak perubahan dan dinamika yang terjadi pada partai ini berkembang sesuai dengan perlakukan rezim terhadap mereka. Tahun 1960, partai ini dilarang secara resmi oleh Presiden Soekarno. Tokoh‐ tokohnya dianggap mendukung dan terlibat dalam gerakan PRRI. Pada masa Orde Baru partai ini tidak pernah benar‐benar dipulihkan. Orde Baru malah memberi ruang politik terbatas bagi eks Masyumi dalam sebuah wadah, Parmusi. Represi politik Orde Baru memaksa para tokoh Masyumi mengambil jalan lain, yakni melalui gerakan dakwah. Mohammad Natsir kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), sebuah lembaga yang salah satu programnya adalah mengirimkan anak‐anak muda Muslim Indonesia belajar ke universitas‐universitas di Arab Saudi. Lulusan‐lulusan Arab Saudi inilah yang kelak mendirikan kelompok‐ kelompok Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad.29 DDII juga mendorong munculnya gerakan dakwah di kampus‐kampus yang kelak bermetamorfosis menjadi partai politik, PK atau PKS, yang sepenuhnya memilih jalan demokrasi, jalan yang juga pernah ditempuh Natsir dan kawan‐kawannya.
1
Lihat, misalnya, Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad (W.W. Norton & Company; 2003).
2
Lihat M. Hakan Yavuz, “Opportunity Spaces, Identity, and Islamic Meaning in Turkey,” dalam Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism, a social movement theory approach (Indiana University Press, 2004).
3
Dinukil dari Ulil Abshar‐Abdalla, Revolusi Post‐Islamis di Dunia Islam (www.islamlib.com, 21 November 2011).
4
“Barangkali 20 ribu dari 80 juta rakyat Mesir mengonsumsi minuman beralkohol. Ada delapan juta rakyat yang tidak punya akses kepada air bersih. Apakah anda berpikir di Parlemen saya akan menyibukkan diri dengan mereka yang minum minuman beralkohol ataukah dengan rakyat yang tidak punya akses air bersih?” Lihat Thomas L. Friedman, Political Islam Without Oil, The New York Times, 10 Januari 2012.
5
Lihat Madawi al‐Rasheed, Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation (Cambridge University Press, 2006).
6
Lihat Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Source Book (Oxford University Press, 1998).
7
Lihat Charles Kurzman, The Missing Martyrs: Why There Are So Few Muslim Terrorists (New York: Oxford University Press, 2011), h. 92‐127.
8
Lihat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations: Remaking of the World Order (New York: Simon and Schuster, 1997), h. 114, sebagaimana yang dikutip oleh Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca‐Orde Baru (Jakarta, Gramedia, 2007), h.14.
9
Lihat antara lain, Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Anchor Books, 2000).
10
Lihat Charles Taylor, A Secular Age (The Belknap Press of Harvard University Press, 2007), h. 1.
11
Lihat Charles Taylor, Ibid.
12
13
Lihat Carrie Rosefski Wickham, Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Change in Egypt (New York: Columbia University Press, 2003), h. 1.
14
Lihat Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1999), h. 32
15
Lihat Allan Samson, Conception of Politics, Power, and Ideology in Contemporary Indonesian Islam, dalam Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye (ed.), Political Power and Communication in Indonesia (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1978), h. 196‐226, sebagaimana yang dipaparkan oleh Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2009), h. 41‐46.
16
Lihat Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), h. 84‐97.
17
Lebih jauh mengenai peran ganda Masyumi, lihat Boy R. Compton, Kemelut Demokrasi Liberal: Surat‐ surat Rahasia, pent. Hamid Basyaib (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 205‐226.
18
Mohammad Natsir, 70 Tahun: Kenang‐kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1978), h. 109
19
Mohammad Natsir, ibid, h. 55
20
Mohammad Natsir, Ibid, h. 55
21
Mohammad Natsir, Ibid, h. 55‐56
22
Lihat Nurcholish Madjid, Natsir, Seorang Tokoh yang Universalis, dalam Dr. Tarmizi Taher dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (Jakarta, Pustaka Firdaus, Cet. 2: 2001), h. 92
23
Nurcholish Madjid, Ibid, h. 92
24
Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1952), h. 38‐39.
25
Lihat Mohammad Natsir, Keragaman Hidup antar Agama,” dalam Herbert Feith (ed.), Indonesian Political Thingking 1945‐1965, terj. Min Yubhaar, Pemikiran Politik Indonesia 1945‐1965 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 217.
26
Lihat Mohammad Natsir, Keragama Hidup, h. 218.
27
Lihat Mohammad Natsir, Keragaman Hidup, h. 218‐219.
28
Burhanuddin Muhtadi mengulas fenomena perubahan embrio PKS sejak masih berbentuk gerakan dakwah, gerakan mahasiswa, Partai Keadilan, sampai Partai Keadilan Sejahtera, dari yang ideologis sampai yang pluralis. Lihat Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
29