• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN 1 (Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN 1 (Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN 1

(Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS) Oleh

DONI HENDRY WIJAYA

Salah satu tindak pidana yang banyak terjadi pada seluruh wilayah hukum di Indonesia adalah tindak pidana narkotika. Secara umum permasalahan tindak pidana narkotika dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi gelap, perdagangan gelap, dan penyalahgunaan narkotika. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya penyalahgunaan narkotika diantaranya faktor lingkungan, keadaan ekonomi, pergaulan dan rasa ingin coba-coba. Seperti terdakwa dalam perkara nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS membeli narkotika jenis shabu-shabu dari seseorang, kemudian shabu-shabu tersebut ia gunakan sendiri karena rasa ingin mencoba. Berdasarkan uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 pada perkara nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara membaca dan mengutip dari buku-buku literatur sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan cara wawancara (interview) kepada responden penelitian guna mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. Responden penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih serta Dosen bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(2)

bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Pertimbangan non yuridis tersebut berupa bentuk dan motif kesalahan terdakwa yang dengan sengaja menyalahgunakan narkotika tanpa izin, selain itu sikap dan riwayat hidup terdakwa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan merupakan tulang punggung keluarga serta terdakwa mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintah sedang gencar-gencarnya memerangi penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, tidak pandang bulu siapa korbannya. Saat ini penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, survei yang dilakukan BNN didapatkan data bahwa pengguna narkotika di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 3,4 juta orang, tahun 2009 sebanyak 3,6 juta orang, tahun 2010 sebanyak 4,2 juta orang, dan tahun 2011 sebanyak 5 juta orang ( http://dunia-narkotika.blogspot.com/jumlah-pengguna-narkotika-di-Indonesia.html di akses jam 20.08 WIB, 10 November 2011).

Faktor-faktor yang menyebabkan adanya penyalahgunaan narkotika diantaranya faktor lingkungan, keadaan ekonomi, pergaulan dan faktor rasa ingin coba-coba. Bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika sangatlah besar bagi generasi muda maka bangsa Indonesia harus mempunyai sikap untuk memerangi kejahatan tindak pidana narkotika (Badan Narkotika Provinsi Lampung, 2011).

(4)

“Serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak pada sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu memeriksa dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Pada tahap ini tersangka dituntut, diperiksa dan diadili oleh hakim dinamakan terdakwa” (Hartono Hadisoeprapto, 1999: 127).

Ketentuan dalam mengambil suatu keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut:

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu Pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan.

2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti.

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana (Hartono Soeprapto, 1999: 128).

Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang untuk tiap-tiap tindak pidana. Hal ini berarti bahwa masalah pemidanaan sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim (Sudarto, 1986: 78).

(5)

Perihal menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika, hakim harus mengetahui dan menyadari apa makna pemidanaan yang diberikan dan ia harus juga mengetahui serta menyadari apa yang hendak dicapainya dengan mengenakan pidana tertentu kepada pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Oleh karena itu, keputusan hakim tidak boleh terlepas dari serangkaian kebijakan kriminal yang akan mempengaruhi tahap berikutnya (Sudarto, 1986: 100).

Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa untuk memperoleh suatu pidana yang proposional harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dari sudut pandang si pelaku dan si pembuat itu. Namun demikian ini bukan berarti bahwa dalam menjatuhkan vonis atau pidana, hakim hanya memperhatikan atau mempertimbangkan faktor-faktor non yudisial, karena pada intinya faktor ini hanya mempengaruhi besar kecil pidana yang akan dijatuhkan. Pengaruh faktor pelaku ini secara garis besar dapat dilihat dari 2 (dua) bagian: faktor sikap tindak (ekstern) dan mental (intern) yang kesemuanya dapat sama-sama mempengaruhi penjatuhan vonis hakim.

Putusan hakim juga harus dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana, khususnya pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Tetapi biasanya dalam peradilan, putusan hakim yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika terkesan ringan.

Pada kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Usman Ali bin Asnawi yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Gunung Sugih, dimana pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 non tanaman yaitu jenis shabu-shabu. Pelaku terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menentukan bahwa:

(6)

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Berdasarkan prariset yang dilakukan penulis, Pengadilan Negeri Gunung Sugih menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Usman Ali bin Asnawi yang bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara. (Sumber Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS tersebut, terlihat bahwa vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa yaitu 8 (delapan) bulan masih terlalu jauh dengan sanksi pidana hukuman maksimal yang sebagaimana diatur pada Pasal 127 ayat (1) huruf (a) yaitu selama 4 (empat) tahun penjara.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat

skripsi dengan judul: “Analisis Yuridis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1 (Studi Kasus Putusan Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS).

(7)

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika sebagaimana terdapat pada putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2012 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Kejaksaan Negeri Gunung Sugih.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(8)

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai analisis putusan di masa-masa yang akan datang.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 73). Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(9)

Menurut Andi Hamzah (2001: 12), pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Unsur pertama adalah kemampuan bertanggung jawab yang dapat diartikan sebagai implementasi tanggung jawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya, sedangkan unsur kedua adalah kesalahan yang dapat diartikan sebagai unsur kesengajaan, kelalaian, atau kealpaan.

1. Kemampuan bertanggung jawab

Kemampuan bertangggung jawab harus memuat unsur :

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai hukum dan yang melawan hukum (intellectual factor);

(10)

Menurut Roeslan Saleh (1981: 89), orang yang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat:

1. Dapat menginsyafi makna perbuatannya;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawablah yang dapat dikenakan pertanggungjawaban. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab bilamana:

1. Keadaan jiwanya

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (ideot,imbecile, dsb);

c. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, ngelindur, mengigau, dsb.

2. Kemampuan jiwanya

a. Dapat menginsyafi hakikat dari perbuatannya;

b. Dapat menentukan kehendaknya atau tindakan tersebut (apakah akan dilaksanakan/tidak);

c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

(11)

1. Alasan pemaaf/kesalahannya ditiadakan

a. Jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP); b. Pengaruh daya paksa (Pasal 48 KUHP);

c. Pembelaan terpaksa karena serangan (Pasal 49 KUHP); d. Perintah jabatan karena wewenang (Pasal 51 KUHP). 2. Alasan pembenar/peniadaan sifat melawan hukum

a. Keadan darurat (Pasal 48 KUHP);

b. Terpaksa melakukan pembelaan karena serangan terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 49 KUHP);

c. Perbuatan yang dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP);

d. Perbuatan yang dilaksanakan menurut perintah jabatan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 KUHP).

2. Kesengajaan/kelalaian atau kealpaan

Bentuk atau corak kesengajaan ada 3 macam yaitu: a. Sengaja dengan maksud (Dolus Directus)

Yaitu apabila si pelaku memang menghendaki dengan maksud akibat perbuatan yang dilakukan sesuai dengan sempurna.

(12)

Yaitu apabila si pelaku mengetahui dari perbuatannya yang dilakukan akan timbul atau pasti terjadi akibat lain dari perbuatan yang dilakukan.

c. Sengaja dengan kemungkinan (Dolus Evertualis)

Yaitu apabila si pelaku dapat memperkirakan kemungkinan yang timbul akibat lain dari perbuatan yang dilakukan dan ternyata kemungkinan tersebut benar-benar terjadi (Edi Setiadi, 1997: 98).

Hubungan kemampuan bertanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf sehingga mampu bertanggung jawab harus mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur kesalahan dari semua unsur kesalahan. Jadi harus dihubungkan pula dengan tindak pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa harus memenuhi beberapa syarat yaitu:

a. Melakukan perbuatan pidana; b. Mampu bertanggung jawab; c. Dengan sengaja atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf (Roeslan Saleh, 1981: 60).

b. Dasar pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

(13)

tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah:

a) Keterangan Saksi; b) Keteranagn Ahli; c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184).

Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis ). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Perihal mengambil suatu putusan, hakim dalam sidang pengadilan wajib mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana.

(14)

peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannnya suatu tindak pidana.

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana.

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana.

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadan sosial ekonomi.

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tindak pidana apapun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana.

(15)

pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku dan hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur, hal tersebut akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku.

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannnya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku mendapat ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian ( Soerjono Soekanto, 1983: 112). Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

(16)

b. Dasar-dasar; asas-asas; pokok pangkal (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, 2005: 238).

c. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHAP).

d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP).

e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Satjipto Raharjo, 1996: 26).

f. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku (Moeljatno, 1993: 54).

g. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).

(17)

i. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, harus mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya (Andi Hamzah, 2001: 12).

E. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pemahaman terhadap proposal skripsi ini secara keseluruhan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan proposal skripsi yang terdiri dari Latar belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana dan Narkotika, serta Dasar Pertimbangan Hakim.

(18)

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dalam penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika serta analisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

V PENUTUP

(19)

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (ciminal responsibility) yang dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertangungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yanmg dilakukannya (Moeljatno, 1993: 6).

Berdasarkan dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh karena itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

1) Adanya kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. 2) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan

(20)

3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat (Moeljatno, 1993: 7).

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelaktual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi, maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan jika melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya pasti mampu bertanggung jawab, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang

(21)

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak

dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak

normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut:

1) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini terus menerus.

2) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Perihal menentukan adanya pertanggungjawaban pidana, seseorang pembuat dalam melakukan suatu tundak pidana harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa kesengajaan (Dollus) atau karena kelalaian (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, orang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu:

1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Dollus Directus)

(22)

yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannnya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Dollus Evertualis)

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya (Edi Setiadi, 1997).

(23)

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut dengan alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus di luar KUHP, yaitu:

1) Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya. 2) Hak jabatan atau pekerjaan.

Hal yang termasuk dasar pembenar bela paksa Pasal 49 ayat (1) KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Pasal 50, perintah karena jabatan Pasal 51 ayat (1). Dalam dasar pemaaf ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dalam dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam data berpikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan.

B. Tindak Pidana Narkotika

(24)

dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Istilah narkotika berasal dari kata narkon yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya beku dan kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah Narcose atau Narcicis yang berarti membiuskan (Ikin A.Ghani,1985: 5).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kasalahan fisik, psikis, dan sosial. Napza (narkotika, psikotopika, dan zat adiktif) sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan bahwa narkotika adalah zat yang sangat dibutuhkan. Untuk itu penggunaannya secara legal dibawah pengawasan dokter dan apoteker. Di Indonesia sejak adanya undang-undang narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah.

(25)

medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Adiksi adalah suatu kelainan obat yang bersifat kronik/periodik sehingga penderita kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menimbulkan kerugian terhadap dirinya dan masyarakat. Orang-orang yang sudah terlibat pada penyalahgunaan narkotika pada mulanya masih dalam ukuran (dosis) yang normal. Lama-lama pengguna obat menjadi kebiasaan, setelah biasa menggunakan mar kemudian untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang lebih tinggi (toleransi). Setelah fase toleransi ini berakhir menjadi ketergantungan, pengguna merasa tidak dapat hidup tanpa narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana narkotika sangat membahayakan kepentingan bangsa dan Negara (Gatot Supramono, 2004: 93).

Narkotika merupakan bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh, terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi). Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan:

(26)

Narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan (contoh:heroin/putauw, kokain, ganja, shabu-shabu).

2) Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat dipergunakan dalam terapi atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh:morfin, petidin, metadon).

3) Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh:kodein).

Peran yang dilakukan oleh pemerintah sangatlah besar dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan sejenisnya. Melalui pengendalian dan pengawasan langsung terhadap jalur peredaran gelap dengan tujuan agar potensi kejahatan tidak berkembang menjadi ancaman faktual. Langkah yang ditempuh antara lain dengan tindakan sebagai berikut:

1. Melakukan pengawasan terhadap tempat-tempat yang diduga keras sebagai jalur lalu lintas gelap peredaran narkotika;

2. Secara rutin melakukan pengawasan di tempat hiburan malam;

3. Bekerja sama dengan pendidik untuk melakukan pengawasan terhadap sekolah yang diduga terjadi penyalahgunaan narkotika oleh siswanya;

(27)

C. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 angka (8) KUHAP). Oleh karena itu, fungsi seorang hakim adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan. Berdasarkan ketentuan di atas maka tugas seorang hakim adalah:

1. Menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya; 2. Memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya;

3. Mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.

Seorang hakim dalam sistem kehidupan masyarakat dewasa ini berkedudukan sebagai penyelesaian setiap konflik yang timbul sepanjang konflik itu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Melalui hakim, kehidupan manusia yang bermasyarakat hendak dibangun di atas nilai-nilai kemanusian. Oleh sebab itu, dalam melakukan tugasnya seorang hakim tidak boleh berpihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta nilai-nilai kemanusian (Wahyu Affandi, 1984: 35).

(28)

yang bersifat perlindungan terhadap masyarakat, menciptakan suasana damai dan tertib serta bagi si pelaku kejahatan itu sendiri. Pidana yang dijatuhkan dapat berupa suatu untuk merehabilitasi atau mengintegrasikan kembali pelaku kejahatan tersebut dalam masyarakat.

Perihal mewujudkan hakikat pemidanaan seperti tersebut di atas, maka hakim harus melihat tindak pidana yang telah terjadi secara keseluruhan dengan maksud hakim tidak boleh kaku dengan hanya melihat segi-segi yuridisnya saja dari tindak pidana tersebut. Jadi dalam hal ini elemen-elemen tindak pidana tersebut, baik yang menyangkut pembuat (pelaku) dan juga hal-hal di luar pembuat (perbuatannya) harus merupakan satu kesatuan yang integral sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut (Wahyu Affandi, 1984: 52).

Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa untuk memperoleh suatu pidana yang proposional harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dari sudut pandang si pelaku dan si pembuat itu. Tetapi, ini bukan berarti bahwa dalam menjatuhkan vonis atau pidana, hakim hanya memperhatikan atau mempertimbangkan faktor-faktor non yudisial, karena pada intinya faktor ini hanya mempengaruhi besar kecil pidana yang akan dijatuhkan.

Kedudukan hakim sebagai pelaksana keadilan ditunjang dari pengetahuan yang cukup tentang pemidanaan terutama untuk mencapai pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum hakim menjatuhkan hukuman pada pelaku tindak pidana berkenaan dengan penjatuhan pidana. Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal, hal ini menjadi ciri negara hukum.

(29)

timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

Sistem yaang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 2001: 97).

Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi,

mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law).

(30)

serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007: 119).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Pihak pengadilan dalam rangka penegak hukum pidana, hakim dapat menjatuhkan pidana tidak boleh terlepas dari serangkaian politik kriminal dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim mempunyai dua tujuan yaitu pertama untuk menakut-nakuti orang lain, agar supaya mereka tidak melakukan kejahatan, dan kedua untuk memberikan pelajaran kepada si terhukum agar tidak melakukan kejahatan lagi (Barda Nawawi Arief, 1996: 2).

Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: 1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1);

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2));

3. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1));

(31)

5. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1));

6. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 22 ayat (1));

Sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim sangat penting peranannya dalam penegakan hukum apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan atas hukum. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa segala putusan peradilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dalam dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Selain itu di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilaan yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas mengisyaratkan bahwa ternyata masalah penjatuhan pidana kepada seseorang bukanlah hal yang mudah. Hakim selain harus mendasarkan diri pada Peraturan Perundang-undangan, tetapi juga harus memperhatikan perasaan dan pendapat umum masyarakat. Dengan perkataan lain sedapat mungkin putusan hakim harus mencerminkan kehendak perundang-undangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

(32)

mengatur tentang narkotika. Tetapi yang ada hanya ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan. Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menentukan batas maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang meliputi perbuatannya tersebut (Soedjono, 1995: 40).

Suatu putusan pidana sedapat mungkin harus bersifat futuristic. Artinya menggambarkan apa yang diperoleh darinya. Keputusan pidana selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan kembali si terpidana agar dapat diharapkan baginya untuk tidak melakukan kejahatan lagi di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindari. Salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya pidana yang diberikan kepada seseorang terdakwa selalu didasarkan kepada asas keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut telah mencerminkan sifatfuturistikdari pemidanaan itu (Soedjono, 1995: 41).

Sebelum hakim memutuskan perkara terlebih dahulu ada serangkaian keputusan yang harus dilakukan, yaitu:

a. Keputusan mengenai perkaranya yaitu apakah perbuatan terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

(33)

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana (Sudarto, 1968: 78).

Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana. Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Pada umumnya hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat non-yudiris.

1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum; b. Keterangan saksi;

c. Keterangan terdakwa; d. Barang-barang bukti;

e. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika.

2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Selain pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat non yuridis yaitu: a. Akibat perbuatan terdakwa;

(34)

Suatu putusan hakim akan bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:

1. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman konsep keadilan dan kebenaran; 2. Integritas hakim yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya;

3. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh dari pihak-pihak berperkara maupun tekanan publik;

4. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral;

5. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;

6. Sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah;

7. Kondisi aturan hukum di dalam aturan hukum formil dan materiil masih mengandung kelemahan (Wahyu affandi, 1984: 89).

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan (the way test) berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan ini?

3. Adilkah bagi pihak-pihak terkait dalam putusan ini? 4. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2007: 136).

(35)

(rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan (Soerjono Soekanto, 1986: 125).

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hakum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).

(36)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus (Soerjono Soekanto, 1983: 41).

Berdasarkan pengertian tersebut maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris digunakan dalam penelitian ini untuk memahami persoalan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dengan berdasarkan pada studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS.

B. Jenis dan Sumber Data

(37)

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS.

(38)

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, media massa, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti (Soerjono Soekanto, 1983: 119). Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Menurut Soerjono Soekanto (1983: 121), sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(39)

3). Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 5 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

(40)

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok pembahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(41)

1

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 pada perkara nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS dikenakan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri dengan pertimbangan bahwa pelaku sebagai subyek hukum telah cakap atau mampu dalam melakukan perbuatan hukum. Pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 karena unsur kesengajaan (dolus), yaitu pelaku penyalahgunaan narkotika mengetahui bahwa perbuatannya bersifat melanggar hukum dan dengan sengaja menyalahgunakan narkotika maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut di depan hukum.

(42)

2

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan 1 sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS yaitu majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis adalah unsur delik pada Pasal 127 ayat (1) huruf (a), alat bukti yang berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, barang bukti serta keterangan terdakwa dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa.

Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis tersebut berupa bentuk dan motif kesalahan terdakwa yang dengan sengaja menyalahgunakan narkotika tanpa izin sehingga berlawanan dengan program pemerintah dalam memberantas narkotika di Indonesia serta tindakan terdakwa meresahkan masyarakat sehingga menjadi faktor yang memberatkan terdakwa, selain itu sikap dan riwayat hidup terdakwa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan merupakan tulang punggung keluarga serta terdakwa mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut di kemudian hari menjadi faktor yang meringankan terdakwa dalam pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusannya.

B. Saran

(43)

3

1. Majelis hakim hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi dalam hal pertanggungjawaban pidana bagi pengguna narkotika (bukan pengedar) agar pecandu tersebut setelah direhabilitasi akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya tersebut di kemudian hari.

2. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan hendaknya memvonis terdakwa jangan terlalu dekat dengan batas minimum sanksi pidana yang ada di undang-undang atau jauh dari batas hukuman maksimum sanksi pidana dari undang-undang yang digunakan, hal tersebut tidak akan menimbulkan efek jera pada diri pelaku ataupun contoh pada masyarakat yang lainnya agar tidak melakukan tindak pidana yang serupa.

(44)

4

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Wahyu. 1984.Hakim dan Penegakan Hukum. Alumni. Bandung.

Ali, Muhammad. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Pustaka Amani. Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Dirjosisworo, Soedjono. 1990. Hukum Narkotika Indonesia. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Ghani, A. Ikin. 1985. Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya. Yayasan Bina Taruna. Jakarta.

Hadisoeprapto, Hartono. 1999. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

Hamzah, Andi. 2001.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta. Moeljatno. 1993.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Mulyadi, Lilik. 2007.Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya.

Rahardjo, Satjipto. 1996.Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggungjawaban Pidana. Alumni. Bandung.

Soedjono. 1995. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press Jakarta.

(45)

5

Sudarto. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Supramono, Gatot. 2004.Hukum Narkoba Indonesia. Djambatan. Jakarta. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor: 195/Pid.B/2011/PN.GS. Badan Narkotika Provinsi Lampung.

(46)

ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN I

(Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS) (Skripsi)

Oleh

DONI HENDRY WIJAYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(47)
(48)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan... 16

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan data... 40

E. Analisis Data... 41

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden... 42

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih (Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)... 44

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1... 47

(49)

A. Kesimpulan... 62 B. Saran... 64

DAFTAR PUSTAKA

(50)

MOTTO

Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, sebab itu jangan sakali-kali kamu termasuk

Orang-orang yang ragu.

(Qs : Al Baqarah : 147)

Sebelum kita berharap dan meminta orang lain

untuk menghargai, menghormati,menyayangi dan mencintai kita, yang harus kita

lakukan terlebih dahulu adalah

membuat diri kita layak dan pantas

untuk dihargai, dihormati, disayangi dan dicintai oleh orang lain.

(Mario Teguh)

Dalam hidup jangan pernah takut untuk bermimpi, karena hidup penuh dengan

mimpi, berawal dari mimpi tersebut, kita termotivasi untuk mengejar mimpi itu, yang

terpenting kita harus selalu berusaha, bekerja keras dan senatiasa berdoa untuk

meraih mimpi menjadi kenyataan.

(51)

ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN I

(Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)

Oleh:

DONI HENDRY WIJAYA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(52)

Judul Skripsi : ANALISIS YURIDIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA GOLONGAN 1 (Studi Kasus Putusan No: 195/Pid.B/2011/PN.GS) Nama Mahasiswa : Doni Hendry Wijaya

No. Pokok Mahasiswa : 0812011022 Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

I. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003 NIP. 19611231 198903 1 023

II. Ketua Bagian Hukum Pidana

(53)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ...

Sekretaris/ Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(54)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini untuk:

Kedua Orang Tuaku

Dua Insan Manusia Yang Begitu Sangat Kusayangi Dan Kucintai, Berkat Didikan,

Bimbingan Dan Doa Mereka Dalam Membesarkanku Sehingga Aku Bisa Menjadi

Orang Yang Berhasil

Adik Kandungku, Kakak-kakak Sepupuku, Serta Adik-adik Sepupuku

Tumbuh Bersama Dalam Suatu Ikatan Keluarga Membuatku Semakin Yakin

Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat Susah Maupun Senang

Seluruh Keluarga Besar

Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam

Menjalani Hidup Ini

Seseorang

Yang Selalu Mengisi Hari-hariku, Tempat Berkeluh Kesah, Orang Yang Selalu

Memberiku Semangat, Motivasi Dan Penuh Perhatian

Almamater Universitas Lampung

(55)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Ratu, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 20 April 1990. Anak semata wayang buah cinta dari pasangan Ayahanda (Alm) Yahya Iskandar dan Ibunda Sumiati.

Jenjang Pendidikan penulis dimulai pada Sekolah Dasar Negeri 3 Rejomulyo Lampung Selatan yaitu kelas I dan II, kemudian kelas III pindah di Sekolah Dasar Negeri 2 Penumangan Baru, Tulang Bawang dan diselesaikan tahun 2002. Selanjutnya penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Bina Desa dan selesai tahun 2005. Setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2008.

(56)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil a’lamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul:

“Analisis Yuridis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika Golongan 1 (Studi Kasus Putusan Nomor 195/Pid.B/2011/PN.GS)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung; 2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung sekaligus Pembimbing I (satu) yang telah banyak membantu dalam perbaikan skripsi ini agar lebih baik. Terima kasih atas kebaikan hati, kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk membimbing penulis;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Sekaligus Pembahas I (satu) atas ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan, dan memberi masukan agar terselesaikannya skripsi ini;

(57)

5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah memberikan waktu, masukan, dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu DR.Dra.Nunung Rodliyah, M.A., selaku pembimbing akademik penulis;

7. Seluruh Dosen Pengajar dan staf administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan serta bantuannya kepada penulis;

8. Bapak Dedy Wijaya Susanto, S.H., M.H., Iwan Gunawan, S.H., M.H., Irdo Nanto Rossi, S.H., dan Adi Purnama, S.H., yang telah memberikan sedikit waktunya pada saat penulis melakukan penelitian;

9. Ayahanda (Alm) Yahya Iskandar dan Ibunda Sumiati tercinta, serta Adikku tersayang (Alm) Riki Riza Faisal, terima kasih atas semua doa, dukungan, dan semangat serta pengorbanannya.

10. Buyah Samsul Arifin, Ibu Elly Yani, Abi Ishak Effendi, Bunda Burhariah, Abi Selamat Japarrudin, Mami Putri Sari, terima kasih atas semua doa, dukungan, dan semangat serta pengorbanannya.

11. Arvian Arya Perdana Beliuk, Ervina Surya Komala Beliuk, Zulfikri Arya Rais Beliuk, Aditya Reza Pratama, Yuvita Azzahra, Yolland Rischa Sanjaya, Dermawan Rizal Sanjaya, Andeta Risma Sanjaya, Fajar Restu Sanjaya, Nabila Rahma Sanjaya, M. Fikri Rahman, (alm) Chandra Sapriadi yang telah memberikan doa dan bantuan serta dukungannya.

12. For My Love, terima kasih atas perhatian, doa dan semangatnya serta selalu menanti keberhasilan penulis.

(58)

14. Serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi semua.

Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha dan ketulusan yang diberikan kepada penulis.

Bandar Lampung, April 2012 Penulis,

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

• Untuk melihat efek persaingan antar calon terhadap perolehan suara secara lebih sistmatis dapat dilihat dari pilhan pada partai lewat kartu suara yang digunakan dalam

19 Rajah di bawah merujuk kepada kegiatan ekonomi dagangan di Tanah Melayu pada awal abad ke-20. Apakah implikasinya terhadap ekonomi

Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, tes, wawancara, dan dokumentasi.Teknisanalisis

M eto d e respon perm ukaan digunakan untuk m elih at pengaruh perlakuan konsentrasi nitrat dan fosfat terh ad ap produksi biom assa m

[r]

[r]