KARYA ILMIAH
EKSTRAKSI PATI DARI BIJI ALPUKAT
O L E H
LINDA MASNIARY LUBIS
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
LINDA MASNIARY LUBIS. Ekstraksi Pati dari Biji Alpukat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium
metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap mutu pati biji alpukat yang
dihasilkan.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 2 faktor. Faktor I adalah Konsentrasi Larutan Natrium Metabisulfit (K)
dengan 5 taraf, yaitu : K1 = 0 ppm, K2 = 750 ppm, K3 = 1500 ppm,
K4 = 2250 ppm, K5 = 3000 ppm. Faktor II adalah Suhu Pengeringan (S) dengan
3 taraf, yaitu : S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70oC. Kombinasi perlakuan
15 dengan 2 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit yang digunakan maka rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit,
dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar. Semakin tinggi suhu
pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji alpukat semakin besar,
sedangkan rendemen, kadar air dan nilai organoleptik warna semakin kecil.
Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan
berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit. Semakin
tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka rendemen
semakin kecil, sedangkan kadar abu dan residu sulfit semakin besar.
Disimpulkan bahwa untuk menghasilkan pati biji alpukat bermutu baik
disarankan merendam biji alpukat dalam natrium metabisulfit dengan konsentrasi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis haturkan Kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayahNya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Tulisan berjudul ”Ekstraksi Pati dari Biji Alpukat” ini merupakan hasil
penelitian yang Penulis lakukan pada bulan September 2007 di Laboratorium
Biokimia, Fakultas Pertanian, USU Medan.
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada Bapak Dekan, Bapak Ketua Departemen Teknologi Pertanian, serta
seluruh staf pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian USU yang telah memberikan saran dan arahan kepada Penulis dalam
menyusun tulisan ini.
Penulis menyadari tulisan ini masih kurang sempurna, namun demikian
Penulis tetap berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Diketahui oleh : Penulis,
Dekan Fakultas Pertanian USU,
Prof.Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., PhD Linda Masniary Lubis, STP., M.Si
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
PENDAHULUAN ... 1
METODE PENELITIAN ... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 1. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit ... 2. Pengaruh Suhu Pengeringan ... 3. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan ... . 6 6 7 8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 12
PENDAHULUAN
Biji buah alpukat sampai saat ini hanya dibuang sebagai limbah yang
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal di dalam biji alpukat
mengandung zat pati yang cukup tinggi, yakni sekitar 23%. Hal ini
memungkinkan biji alpukat sebagai alternatif sumber pati.
Biji alpukat yang diolah menjadi pati, selain bermanfaat mengurangi
pencemaran lingkungan, juga dapat menciptakan peluang usaha baru. Pati biji
alpukat selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai hasil olahan yang mempunyai
nilai jual tinggi, antara lain : dodol, kerupuk, snack, biskuit dan sebagainya
(Winarti dan Purnomo, 2006).
Biji alpukat tergolong besar, terdiri dari dua keping (cotyledon), dan
dilapisi oleh kulit biji yang tipis melekat. Biji tersusun oleh jaringan parenchyma
yang mengandung sel-sel minyak dan butir tepung sebagai bahan cadangan
makanan (Kalie, 1997).
Menurut hasil analisis Alsuhendra, et al., (2007) biji alpukat memiliki
kandungan air 12,67 %, kadar abu 2,78 %, kandungan mineral 0,54 % lebih tinggi
dari biji buah lainnya. Biji alpukat kaya akan sumber campuran kompleks
senyawa polifenolik mencakup dari yang sederhana katekin dan epikatekin
dengan zat polimerik terbesar.
Biji alpukat merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan bagi
tumbuhan, selain buah, batang, dan akar. Pati merupakan penyusun utama
cadangan makanan tumbuh-tumbuhan. Pati adalah polimer D-glukosa dan
butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies
tumbuhan. Pati terdiri atas dua polimer yang berlainan, senyawa rantai lurus,
amilosa, dan komponen yang bercabang, amilopektin (deMan, 1997). Komposisi
kimia dan sifat-sifat dari pati biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia dan sifat-sifat pati biji alpukat
Komponen Jumlah (%) Komponen Jumlah (%)
Sumber : Winarti dan Purnomo, (2006).
*Amilosa + amilopektin = pati ; tn = tidak dianalisa
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan biji alpukat
adalah dengan mengekstrak pati dari dalam biji. Masalah utama dalam ekstraksi
pati biji alpukat adalah apabila biji alpukat dihancurkan menghasilkan warna
cokelat sehingga pati yang dihasilkan juga agak cokelat. Untuk menghasilkan pati
biji alpukat dengan warna putih, diperlukan perlakuan khusus pada pengolahan
pati biji alpukat dengan cara perendaman di dalam larutan natrium metabisulfit
(Na2S2O5) agar diperoleh pati biji alpukat dengan mutu yang baik.
Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit
dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak
terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH di bawah 3. Selain sebagai pengawet,
sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat
melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Sulfur dioksida juga
dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1988).
Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi
mikroba, mereduksi ikatan disulfide enzim, dan bereaksi dengan keton
membentuk hidroksi sulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan
(Cahyadi, 2006).
Salah satu cara untuk mengawetkan produk adalah dengan
mengeringkannya. Produk seperti ini mempunyai prospek pasar yang cukup baik.
Kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kebersihan, kandungan
air dan kandungan kimiawi bahan (Syafriandi, 2003).
Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
kebusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan
yang dikeringkan mempunyai waku simpan lebih lama (Adawyah, 2007).
Keuntungan dari pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan
volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang
pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 di Laboratorium
Biokimia, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan.
Bahan yang digunakan adalah biji alpukat yang diperoleh dari Pedagang
Kaki Lima Simpang Glugur, Kelurahan Glugur Kota, Medan. Bahan kimia yang
digunakan adalah Natrium metabisulfit (Na2S2O5), larutan Iodine 0,01 N,
HCl pekat, larutan Natrium tiosulfat 0,1 N. Alat Penelitian yang digunakan adalah
timbangan, oven, beaker glass, aluminium foil, desikator, kain saring, muffle,
krus porselin, gelas ukur, burette, pipet tetes, blender, erlenmeyer, stirrer.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 2 faktor. Faktor I adalah Konsentrasi Larutan Natrium Metabisulfit (K)
dengan 5 taraf, yaitu : K1 = 0 ppm, K2 = 750 ppm, K3 = 1500 ppm,
K4 = 2250 ppm, K5 = 3000 ppm. Faktor II adalah Suhu Pengeringan (S) dengan
3 taraf, yaitu : S1 = 50oC, S2 = 60oC, S3 = 70oC. Kombinasi perlakuan 15 dengan
2 ulangan.
Pelaksanaan Penelitian : kulit biji alpukat dikupas, lalu dicuci dengan
menggunakan air bersih yang mengalir, kemudian dilakukan pengecilan ukuran
dengan menggunakan pisau stainless steel. Selanjutnya dihaluskan dengan
menggunakan blender dengan penambahan air 1 : 1 (1 kg biji ditambah dengan
1 liter air). Setiap unit percobaan digunakan 300 gram biji alpukat. Dilakukan
penyaringan dengan menggunakan kain saring untuk mengambil pati dari dalam
jaringan. Apabila endapan telah terbentuk, air bening di atasnya dibuang secara
dengan air bersih dan diendapkan kembali sebanyak tiga kali, lalu direndam
kembali dalam larutan Na2S2O5 sesuai perlakuan pada saat perendaman keempat.
Endapan pati yang diperoleh dikeringkan dalam oven dengan suhu pengeringan
yang sesuai dengan perlakuan. Pati kering digiling dan selanjutnya diayak, dan
dilakukan pengemasan. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pengukuran data.
Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisa sesuai
dengan parameter, yaitu : rendemen (Rangana, 1987), kadar air (AOAC, 1970),
kadar abu (Soedarmadji, et al., 1989), kadar residu sulfit (AOAC, 1970),
uji organoleptik warna (Soekarto, 1985).
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam, bila
terdapat perbedaan yang nyata, analisis dilanjutkan dengan pengujian beda rataan
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit,dan
nilai organoleptik warna pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh konsentrasi
natrium metabisulfit terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit,dan nilai
organoleptik warna pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Uji LSR pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap rendemen, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat
Konsentrasi
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit maka rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai
organoleptik warna pati biji alpukat semakin besar. Rendemen tertinggi terdapat
pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 12,65% dan terendah terdapat pada
K1 (0 ppm) sebesar 11,23%. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan K5
(3000 ppm), yaitu sebesar 6% dan terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 4%.
Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 1,2%
Residu sulfit tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 72,92
ppm dan terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 64,46 ppm. Nilai organoleptik
warna tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (3000 ppm), yaitu sebesar 3,38 dan
terendah terdapat pada K1 (0 ppm) sebesar 1,73.
2. Pengaruh Suhu Pengeringan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi natrium
metabisulfit berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu
sulfit,dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh suhu
pengeringan terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit,dan nilai
organoleptik warna pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati biji alpukat
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) menurut uji LSR
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka
kadar abu dan residu sulfit pati biji alpukat semakin besar sedangkan rendemen,
kadar air, dan nilai organoleptik warna semakin kecil. Rendemen tertinggi
terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar 14,22% dan terendah terdapat pada
S3 (70oC) sebesar 8,72%. Kadar air tertinggi terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar
sebesar 0,20%. Residu sulfit tertinggi terdapat pada S3 (70oC), yaitu sebesar
69,76 ppm dan terendah terdapat pada S1 (50oC) sebesar 68,10 ppm. Nilai
organoleptik warna tertinggi terdapat pada S1 (50oC), yaitu sebesar 2,76 dan
terendah terdapat pada S3 (70oC) sebesar 2,52.
3. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Natrium Metabisulfit dan Suhu Pengeringan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi
natrium matabisulfit dan suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen,
kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat. Hasil uji LSR pengaruh interaksi
konsentrasi natrium matabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar
abu, dan residu sulfit pati biji alpukat ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji LSR pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen, kadar abu, dan residu sulfit pati biji alpukat
Interaksi
Perlakuan Rendemen (%)
Kadar Abu
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa bahwa rendemen tertinggi terdapat pada
kombinasi perlakuan K4S1 (2250 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 14,60% dan
terendah terdapat K1S3 (0 ppm dan 70oC), yaitu sebesar 6,89%.
Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu
pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat dapat dilihat pada Gambar 1.
S1 ; = 9E-05 K+ 14.028 ; r = 0.1091
0 750 1500 2250 3000
Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)
R
Gambar 1. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap rendemen pati biji alpukat
Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit untuk setiap suhu
pengeringan maka rendemen dari pati biji alpukat semakin meningkat. Menurut
Syafriandi, (2003), kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar
kebersihan, kandungan air dan kandungan kimiawi bahan.
Kadar abu tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K5S3 (3000 ppm
perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), K1S2 (0 ppm dan 60oC), K2S1
(750 ppm dan 50oC), K3S1 (1500 ppm dan 50oC), K4S1 (2250 ppm dan 50oC) dan
K5S1 (3000 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 0,20%. Hubungan interaksi antara
konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu dapat
dilihat pada Gambar 2.
S3 ; = 0.0007 K + 0.02 ; r = 0.8256
0 750 1500 2250 3000
Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)
K
Gambar 2. Grafik hubungan interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap kadar abu pati biji alpukat
Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan
maka kadar abu semakin meningkat. Menurut Apandi (1984), perlakuan sebelum
pengeringan dengan sulfur dioksida (SO2) yang biasa digunakan dalam
pengeringan merusak seluruh thiamin. Yang tidak rusak oleh pengeringan adalah
Residu sulfit tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K5S3 (3000 ppm
dan 70oC), yaitu sebesar 73,75 ppm dan terendah terdapat pada kombinasi
perlakuan K1S1 (0 ppm dan 50oC), yaitu sebesar 63,83 ppm.
Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu
pengeringan terhadap residu sulfit dapat dilihat pada Gambar 3.
S1 ; = 0.0033 K+ 65.228 ; r = 0.9764
0 750 1500 2250 3000
Konsentrasi Natrium Metabisulfit (ppm)
R
Gambar 3. Grafik hubungan konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan terhadap residu sulfit pati biji alpukat
Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan
maka semakin meningkat residu sulfit pada pati biji alpukat. Menurut Susanto dan
Saneto, (1994), jumlah penyerapan dan penahanan (residu) SO2 dalam bahan yang
dikeringkan dipengaruhi oleh antara lain: varietas, kemasakan dan ukuran bahan,
konsentrasi SO2 yang digunakan, suhu dan waktu sulfuring, suhu, kecepatan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka
rendemen, kadar air, kadar abu, residu sulfit, dan nilai organoleptik warna pati
biji alpukat semakin besar.
2. Semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar abu dan residu sulfit pati biji
alpukat semakin besar, sedangkan rendemen, kadar air dan nilai organoleptik
warna semakin kecil.
3. Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan
berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar abu dan residu sulfit. Semakin
tinggi konsentrasi natrium metabisulfit dan suhu pengeringan maka rendemen
semakin kecil, sedangkan kadar abu dan residu sulfit semakin besar.
Saran
Untuk menghasilkan pati biji alpukat bermutu baik disarankan merendam
biji alpukat dalam natrium metabisulfit dengan konsentrasi 3000 ppm dan
DAFTAR PUSTAKA
Alsuhendra, Zulhipri, Ridawati, dan E. Lisanti, 2007. Ekstraksi dan Karakteristik Senyawa Fenolik dari Biji Alpukat (Persea Americana Mill.). Proseding Seminar Nasional PATPI, Bandung.
AOAC, 1970. Official Methods of Analysis of Association of Official Analitycal Chemists. Associattion of Official Analitycal Chemist, Washington DC.
Apandi, M., 1984. Teknologi Buah dan Sayuran. Alumni, Bandung.
Cahyadi, W., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
deMan, J. M., 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Penerjemah K. Padmawinata. ITB-Press, Bandung.
Kalie, M. B., 1997. Alpukat, Budi Daya dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.
Rangana, S.,1987. Quality Control of Fruits and Vegetable Products. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Soekarto, E., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi, 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.
Syarief, R. dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.