PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN
(STUDI KASUS : FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN
LABUHANBATU PERIODE 2014-2019)
SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA
100906067
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)
PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN (STUDI KASUS: FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN LABUHANBATU PERIODE 2014-2019).
RINCIAN ISI SKRIPSI, 100 HALAMAN, 14 BUKU, 6 TABEL, 2 JURNAL, 4 ARTIKEL, 3 SITUS INTERNET. (KISARAN BUKU DARI TAHUN 1987-2011).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang kemudian dihubungkan dengan langkah-langkah strategis peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. 30% komposisi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan, tetapi tidak satupun kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan berhasil dikeluarkan oleh DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Dengan melihat besarnya angka keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu tetapi tidak sejalan dengan lahirnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan menunjukkan rendahnya kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sebagai wakil perempuan di luar parlemen (representative subtantive). Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis yang diperoleh.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
DETAILS OF THE CONTENTS OF THE THESIS, 100 PAGES, 14 BOOKS, 6 TABLES, 2 JOURNALS, 4 ARTICLES, 3 INTERNET SITES. (The RANGE OF THE BOOK FROM 1987-2011).
ABSTRACT
This research aims to elaborate on the problems of the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency which is then linked with strategic measures to improve the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency. 30% of Labuhan Batu Regency in the composition of the REPRESENTATIVES are women, but none of the policies that are sensitive to the interests of women successfully issued by the DPRD Labuhan Batu Regency. By looking at the magnitude of the numbers of female representation in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency but not in line with the inception of the policy that is sensitive to the interests of women shows poor quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu District as a representative of women outside the Parliament (representative subtantive). Therefore, researchers are using design case study and interview methods as a primary data collection techniques and research rely on analysis results obtained.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Penguji Skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dilaksanakan Pada:
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Tim Penguji:
Ketua :
( )
Nip.
Anggota I :
( )
Nip.
Anggota II :
( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:
Nama : Sholihin Anwar Muda Ritonga
NIM : 100906067
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen (Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode 2014-2019)
Menyetujui :
Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing,
(Dra.T.Irmayani,M.Si) (Dra. Evi Novida Ginting, M.SP)
NIP. 196806301994032001 NIP. 196611111994032004
Mengetahui: Dekan FISIP USU,
Karya ini dipersembahkan untuk
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena hanya atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Usaha diiringi doa serta bantuan orang-orang sekitar
merupakan hal-hal yang memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Peningkatan Kualitas Perempuan di Parlemen
(Studi Kasus : Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu Periode
2014-2019)” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Ilmu Politik pada jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan yang
sedikit banyak mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namum
kesulitan-kesulitan yang dihadapi juga bisa dijadikan motivasi. Penulis dalam
kesempatan ini mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Badarudin M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara Medan
2. Ibu Dra. T Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen S-1 Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.SP selaku Dosen pembimbing, yang sudah
banyak memberikan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis dan
memberikan penghargaan dengan sabar dalam penyusunan skripsi ini hingga
selesai.
4. Bapak/Ibu Dosen departemen Ilmu Politik S-1 Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Orang tua penulis yaitu, Bapak M. Anwar Ritonga dan Ibu Mulyati Hasibuan,
yang selalu mendoakan dan mendukung agar penulis selalu sehat dan
semangat, dan telah banyak memberikan dukungan moral dan material yang
tidak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini,
menyelesaikan perkuliahan dan mendapatkan gelar sarjana seperti yang telah
di cita-citakan.
6. Kepada adik-adik penulis, Anggi, Ricsa, dan Azmal yang telah mendukung
dan memotivasi penulis.
7. Kepada keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan bantuan baik
moril maupun materil, Nenek Hj. Nuraisyah Khan, Tante Jenab, Tante Lia,
Tante Ningsih, Tulang Aman, dan seluruh keluarga besar lainnya yang tidak
dapat disebut satu persatu.
8. Kepada Rahmi Milasari Tanjung S.Pd yang selalu memberi dan menjadi
9. Kepada teman-teman penulis di departemen Ilmu Politik stambuk 2010, yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, semoga pertemanan kita dapat terus
berlanjut dan tidak terbatas hanya dalam perkuliahan.
10. Kepada kakak-kakak senior dan adik-adik junior di departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Medan.
11. Kepada kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bung Kosner, Bung
Irfan, Bung Rahmad, Bung Josef, Bung Tariq, Bung Amar, Bung Putra, Bung
Janter, Bung Jeki, Bung Halim, Bung Hugo, Bung Novjel, Bung Ludin, Bung
Julius, Bung Hendra dan kawan-kawan lainnya yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
12. Kepada para narasumber, Ibu Hj. Ellya Rosa, Ibu Hj. Meika Rianti, dan
Bapak H. Fahrinsal Siregar yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Banyak Kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, isi dari skripsi ini
masih sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat memperbaiki kesalahan pada masa mendatang
Medan, 4 Agustus 2015
DAFTAR ISI
6.1Konsep Pemberdayaan Perempuan ... 12
6.1.1 Gambaran Umum Pemberdayaan Perempuan ... 12
6.1.2 Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik ... 15
6.1.3 Pemberdayaan Perempuan di Parlemen ... 20
6.2Teori Partisipasi Politik ... 27
6.2.1 Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik ... 27
6.2.2 Partisipasi Politik Perempuan ... 29
7. Metodologi Penelitian ... 33
7.1Jenis Penelitian ... 33
7.2Lokasi Penelitian ... 34
7.3Teknik Pengumpulan Data ... 34
7.4Teknik Analisis Data ... 35
BAB II Gambaran Umum Lokasi Penelitian 38
1. Sejarah Labuhanbatu ... 38
1.1Sebelum Zaman Penjajahan Belanda ... 38
1.2Zaman Penjajahan Belanda ... 39
1.3Zaman Penjajahan Jepang ... 40
1.4Setelah Proklamasi ... 41
2. Pemekaran Labuhanbatu ... 48
3. Letak dan Geografis Labuhanbatu ... 49
4. Populasi Penduduk ... 50
5. Gambaran Umum DPRD Kabupaten Labuhanbatu ... 53
5.1Dinamika DPRD Kabupaten Labuhanbatu ... 53
5.2Fraksi-Fraksi ... 53
5.8Kegiatan Komisi-Komisi ... 64
BAB III Penyajian dan Analisis Data ... 65
1. Gambaran Umum Perempuan di DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 65
2. Partisipasi Perempuan di Fraksi Golkar DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 69
3. Peningkatan Kualitas Perempuan di DPRD Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu ... 78
3.1Mengikuti Pelatihan dan Pendidikan Politik ... 79
3.2Mengubah Budaya di Parlemen ... 82
3.3Membentuk Jaringan Lintas Partai yang Terdiri dari Perempuan di Parlemen ... 83
3.4Menjalin Kerjasama dengan Organisasi Masyarakat ... 84
3.5Menjalin Kerjasama dengan Partai Politik ... 86
3.6Merancang dan Membuat Kebijakan yang Sensitif Gender ... 92
BAB IV Penutup ... 95
1. Kesimpulan ... 95
2. Saran ... 97
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Presentase Penduduk Menurut Suku Bangsa per Kecamatan ... 50
Tabel 2 Presentase Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
di Kabupaten Labuhanbatu ... 51
Tabel 3 Presentase Penduduk Menurut Agama per Kecamatan ... 52
Tabel 4 Nama-Nama Anggota DPRD TK II Kabupaten
Labuhanbatu Berdasarkan Jenis Kelamin ... 67
Tabel 5 Komposisi Fraksi Golkar DPRD TK II Kabupaten
Labuhanbatu ... 72
Tabel 6 Tingkat Pendidikan Anggota Fraksi Golkar DPRD TK II
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
SHOLIHIN ANWAR MUDA RITONGA (100906067)
PENINGKATAN KUALITAS PEREMPUAN DI PARLEMEN (STUDI KASUS: FRAKSI GOLKAR DPRD KABUPATEN LABUHANBATU PERIODE 2014-2019).
RINCIAN ISI SKRIPSI, 100 HALAMAN, 14 BUKU, 6 TABEL, 2 JURNAL, 4 ARTIKEL, 3 SITUS INTERNET. (KISARAN BUKU DARI TAHUN 1987-2011).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang kemudian dihubungkan dengan langkah-langkah strategis peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu. 30% komposisi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan, tetapi tidak satupun kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan berhasil dikeluarkan oleh DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Dengan melihat besarnya angka keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu tetapi tidak sejalan dengan lahirnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan menunjukkan rendahnya kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sebagai wakil perempuan di luar parlemen (representative subtantive). Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode wawancara sebagai teknik utama pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis yang diperoleh.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
DETAILS OF THE CONTENTS OF THE THESIS, 100 PAGES, 14 BOOKS, 6 TABLES, 2 JOURNALS, 4 ARTICLES, 3 INTERNET SITES. (The RANGE OF THE BOOK FROM 1987-2011).
ABSTRACT
This research aims to elaborate on the problems of the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency which is then linked with strategic measures to improve the quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency. 30% of Labuhan Batu Regency in the composition of the REPRESENTATIVES are women, but none of the policies that are sensitive to the interests of women successfully issued by the DPRD Labuhan Batu Regency. By looking at the magnitude of the numbers of female representation in PARLIAMENT of Labuhan Batu Regency but not in line with the inception of the policy that is sensitive to the interests of women shows poor quality of women in PARLIAMENT of Labuhan Batu District as a representative of women outside the Parliament (representative subtantive). Therefore, researchers are using design case study and interview methods as a primary data collection techniques and research rely on analysis results obtained.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Parlemen merupakan lembaga yang sangat strategis bagi suatu negara
demokratis, karena disinilah ditentukan kebijakan yang menyangkut masyarakat,
khususnya keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan keseteraan gender
adalah suatu bentuk upaya perjuangan bahwa tidak adanya perbedaan hak maupun
kewajiban antara dualitas gender yang ada, yakni maskulin (laki-laki) dengan
feminis (perempuan) di dalam bermasyarakat dan bernegara1.
Hadirnya perempuan di dalam parlemen merupakan indikator bahwa
negara demokrasi tersebut memiliki demokratisasi yang esensial, dimana bukan
hanya jargon semata. Ide tentang perlunya kehadiran perempuan di parlemen
inilah yang pada akhirnya dapat menentukan bahwa perempuan dapat
diperlakukan secara adil dan setara. Adil dan setara yang dimaksud bukan hanya
dalam ranah publik saja, setidaknya dalam ranah domestik juga mereka tidak
mendapat suatu perlakuan yang diskriminatif maupun eksploitatif melalui aturan
hukum yang dibentuk nantinya dalam parlemen.
Permasalahan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat
berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi
1
sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang
seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar
negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jam kerja yang tidak
memihak terhadap pekerja perempuan, permasalahan reproduksi seperti tidak ada
jaminan terhadap ibu hamil dan ibu yang hendak melahirkan menunjukkan
lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan
ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum
pejuang perempuan menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah
perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu
undang-undang2.
Pada dasarnya ketidakadilan yang dipermasalahkan dari perempuan adalah
minimnya aksesbilitas mereka untuk terlibat dalam ranah publik. Kekhasan ranah
publik yang sangat patriarkhis atau maskulin memang mengkonstruksi kesadaran
masyarakat bahwa ranah tersebut tidaklah relevan untuk perempuan. Padahal
ranah publik adalah satu-satunya ruang yang dapat menciptakan suatu aturan yang
adil dan setara terhadap perempuan di dalam bermasyarakat. Salah satu contoh
ranah publik tersebut adalah parlemen yakni lembaga yang memiliki hak
membentuk aturan dalam masyarakat.
Kehadiran perempuan di parlemen harusnya menjadi angin segar atas
kondisi objektif yang telah dirasakan perempuan saat ini. Semestinya perempuan
dapat menggantungkan asanya kepada perempuan di parlemen atas perlindungan
2
secara hukum terkait kondisi dan permasalahan objektif perempuan, karena dapat
dikatakan bahwa perempuan di parlemen menjadi tolak ukur bagaimana keadilan
dan kesetaraan gender dapat diperjuangkan. Posisi strategis, wewenang yang
dimiliki, dan ruang yang lebih luas menjadikan suatu motivasi bahwa perempuan
di parlemen inilah yang menjadi pionir bagi perempuan-perempuan di luar
parlemen (dalam masyarakat). Namun adanya fakta buruk akan perempuan di
parlemen dapat membuat masyarakat menjadi acuh kembali akan representasi
perempuan di parlemen tersebut. Fakta-fakta yang disebutkan disini adalah
dimana adanya perempuan di parlemen yang melakukan tindakan korupsi,
pecitraan semu dan kurangnya partisipasi aktif dalam mendukung kesejahteraan
masyarakat.
Korupsi yang terjadi di kalangan perempuan di parlemen menjadi suatu
keresahan masyarakat di atas ekpektasi mereka yang meyakini bahwa perempuan
dapat lebih baik dalam parlemen sebagaimana penelitian yang dilakukan Women Research Institute (WRI)3. Penelitian WRI melakukan data survei sekitar 71% masyarakat lebih percaya anggota parlemen perempuan dibandingkan laki-laki.
Namun ketika dihadapkan dengan realitas seperti korupsi yang dilakukan oleh
perempuan di parlemen salah satunya seperti Angelina Sondakh, maka inilah yang
akan berdampak buruk, karena akan terjadi stereotyping oleh masyarakat terhadap perempuan yang ingin mencalonkan diri menjadi perempuan parlemen.
3Kharina Triandana, “
Korupsi yang di lakukan perempuan di parlemen merupakan suatu
hambatan dalam perjuangan perempuan di dalam sektor publik khususnya politik.
Selain korupsi, pecitraan semu dan kurangnya signifikasi partisipasi aktif
perempuan dalam parlemen juga menjadi faktor pendukung yang menghambat
perempuan untuk menjadi figur yang dikatakan cocok dalam parlemen. Melalui
ketiga hambatan yang terjadi demikian diyakini bahwa metode substantive representative perempuan dalam parlemen belumlah tercapai di Indonesia. Hanya dengan memperhatikan suatu jumlah kuota yang semata-mata dikatakan adil dan
setara tidaklah cukup, harus ada upaya peningkatan kualitas yang signifikan. Jika
ketiga hal tersebut terus terjadi dan tidak adanya upaya rekonstruksi kapabilitas
perempuan, dapat diyakini bahwa keadilan dan kesetaraan pada perempuan tidak
dapat tercapai.
Memang penting adanya upaya kuota perempuan dalam parlemen sebagai
bentuk hutang peradaban terhadap perempuan. Julie Ballington menjelaskan
bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya semakin banyak
perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu perempuan dan
mengubah dinamika gender di kamar parlemen4. Dengan kata lain, semakin
banyak jumlah perempuan di parlemen maka akan semakin banyak juga isu
tentang perempuan diperdebatkan.
4
Sampai sekarang pro dan kontra terhadap peranan perempuan dalam
parlemen masih saja berlangsung. Pro dan kontra disini berangkat dari
permasalahan apakah keterwakilan perempuan dapat menjadi figur yang mumpuni
dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadilan
dan kesetaraan gender pada khususnya. Oleh karena itu memang perlu adaya
suatu politik pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas
perempuan, yang mau tak mau harus dilakukan sebagai upaya konkrit menjamin
representasi perempuan di dalam parlemen.
Pemberdayaan perempuan dengan tujuan meningkatkan kualitas
perempuan di ruang politik bukanlah sesuatu yang dilakukan hanya dengan
membuka jalan atau ruang publik begitu saja terhadap perempuan. Perlu adanya
strategi yang komperensif mulai dari hulu hingga ke hilir kepada perempuan5.
Hulu yang patut dibentuk untuk memberdayakan perempuan pada dasarnya
dimulai dari metode rekruitmen yang jelas kepada perempuan yang akan menjadi
figur publik, bekerjasama dengan basis dukungannya sehingga dapat pola
hubungan timbal balik yang membangun, hingga pembentukan lingkungan yang
ramah gender sebagai bekal perpektif perempuan. Sedangkan hilir yang
dimaksudkan adalah menciptakan suatu produk-produk legislasi dan implementasi
kebijakan yang ramah gender sehingga tidak ada ketimpangan hukum antara
perempuan dengan laki-laki sebagai warga negara.
5
Salah satu indikator kualitas adalah pendidikan, baik itu jenjang
pendidikan secara formal maupun nonformal. Pendidikan perempuan merupakan
upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya perempuan agar mereka mampu
berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses pembangunan6. Selain pendidikan
secara umum, pendidikan politik adalah sebuah keharusan untuk dikonsumsi oleh
perempuan terutama politisi perempuam. Sehingga berbagai macam perangkat
politik baik itu partai politik, LSM, maupun pemerintah harus memberikan
pendidikan politik yang benar-benar berkualitas bagi perempuan yang terlibat di
dalam partai politik dan pertarungan politik di dalam pemilu. Pendidikan politik
memang telah menjadi bagian dari gerakan perempuan itu sendiri, terlebih pada
saat ini ketika kesadaran bahwa gerakan perempuan mempunyai potensi gerakan
yang semakin meluas maka gerakan untuk membangun kekuatan politik
perempuan sudah tidak bisa ditunda lagi dan diharapkan ini akan menjadi salah
satu alternatif dalam mencari penyelesaian untuk beragam permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa, terutama yang berdampak sangat besar terhadap perempuan
seperti kenaikan harga yang membuat perempuan harus lebih bekerja keras,
memutar otak untuk tetap melanjutkan hidupnya dan keluarganya.
Keberadaan organisasi-organisasi perempuan juga mendukung atas
peningkatan kualitas perempuan. Partai-partai politik seharusnya mendirikan dan
mengembangkan organisasi-organisasi sayap yang fokus terhadap isu perempuan
guna menjadi wadah bagi perempuan atas kepentingan mereka di dunia politik.
6
Organisasi-organisasi yang fokus terhadap perempuan yang didirikan partai
politik sebaiknya tidak sekedar tempat perkumpulan kaum perempuan saja,
melainkan juga harus memberikan edukasi atau pendidikan politik sehingga
melahirkan perempuan-perempuan yang berkualitas.
Melalui pemberdayaan hulu dan hilir perempuan di parlemen dan peranan
partai politik yang meliputi rekrutmen dan pendidikan politik tersebut, bisa
berimplikasi pada peningkatan kapabilitias perempuan dalam parlemen yang
mampu setara dalam politik maskulin yang eksis saat ini. Hal itu juga berarti pada
adanya peningkatan partisipasi aktif perempuan dalam pembangunan negara.
Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan dalam Beijing Platform bahwa tanpa partisipasi aktif perempuan dan melibatkan perspektif perempuan dalam
setiap tingkatan pengambilan kebijakan, tujuan dari kesetaraan, pembangunan dan
perdamaian tidak akan bisa tercapai7.
Di saat perempuan di berbagai daerah dipusingkan dengan kecilnya
jumlah mereka ke parlemen, perempuan di Kabupaten Labuhanbatu sudah
mencoba untuk mendominasi akses ke parlemen daerah. Kabupaten yang
parlemennya pernah dipimpin oleh sosok perempuan ini kembali menghadirkan
fenomena yang menarik. Terdapat 14 perempuan dari 45 orang yang terpilih
menduduki kursi di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, dengan persentase melebihi
angka 30%. Hasil ini mengalami peningkatan yang signifikan dari hasil pemilu
7
sebelumnya yang hanya melibatkan 5 perempuan dari 50 jatah kursi di legislatif
atau hanya mencapai angka 2,5 persen saja. Yang paling menarik adalah apa yang
terjadi di Partai Golkar, 80% wakil mereka di DPRD Kabupaten Labuhanbatu
adalah perempuan atau berdasarkan jumlah, 4 dari 5 wakil Partai Golkar di DPRD
Kabupaten Labuhanbatu adalah perempuan. Nama-nama keempat perempuan
tersebut adalah Hj. Ellya Rosa Siregar, S.Pd, Trully Simanjuntak, SMIP, Hj.
Meika Rianti Siregar, SH, Hj. Nurmaya Shofa tanjung, dan Hj. Meika Rianti
Siregar, SH.
Representasi perempuan di DPRD TK II Kabupaten Labuhanbatu secara
kuota ini dapat dikatakan sebagai langkah awal yang luar biasa terhadap
perjuangan perempuan dalam haknya di dalam dunia politik. Harapan akan
munculnya kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan pun
meninggi, paling tidak akan semakin banyak perdebatan-perdebatan yang terjadi
di DPRD Kabupaten Labuhanbatu terkait dengan isu kepentingan perempuan.
Tetapi dari investigasi yang dilakukan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, selama
setahun berjalannya parlemen di Kabupaten Labuhanbatu belum ada kebijakan
yang dikeluarkan terkait isu kepentingan perempuan. Bahkan hingga saat ini
kebijakan tentang isu perempuan baru satu kali di perdebatkan di DPRD
Kabupaten Labuhanbatu dan perdebatan itu pun tidak bisa diformulasikan
Fenomena belum adanya kebijakan yang dikeluarkan terkait isu
kepentingan perempuan bahkan hingga saat ini kebijakan tentang isu perempuan
baru satu kali di perdebatkan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu padahal jumlah
perempuan di DPRD Labuhanbatu sudah cukup banyak semakin menggambarkan
bahwa kuantitas perempuan yang ada belum bisa menjamin kualitasnya di dalam
parlemen, khususnya sebagai wakil/representasi perempuan di luar parlemen.
Untuk itu perlu adanya strategi untuk meningkatkan kualitas perempuan di
parlemen, sehingga mereka mampu mengemban fungsi sebagai penyuara dan
pejuang kepentingan perempuan.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana peningkatan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.
Dalam penelitian ini, peniliti akan memfokuskan objek penelitian terhadap Fraksi
Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu karena Fraksi Golkar DPRD Labuhanbatu
merupakan fraksi yang paling banyak diisi oleh perempuan. Dalam mengkaji
fenomena ini, sajian akan diawali dengan eksplorasi gambaran umum perempuan
di DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang meliputi jenjang pendidikan, pengalaman
kerja politik, dan analisis terhadap akses fungsional struktural perempuan di
DPRD Kabupaten Labuhanbatu. Kemudian penyajian akan diakhiri dengan
strategi meningkatkan kualitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu.
2. Perumusan Masalah
peneliti merupakan unsur yang sangat penting. Perumusan masalah merupakan
penjelasan mengenai alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu
dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah yang
menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu
dijawab atau dicari jalan pemecahannya.8 Masalah penelitian harus tampak dan
dirasakan sebagai suatu tantangan bagi peneliti untuk dipecahkan dengan
mempergunakan keahlian atau kemapuan profesonalnya, yang tidak mungkin
diselesaikan oleh semua orang, khususnya orang-orang diluar disiplin ilmu yang
berkenaan dengan masalah tersebut.9
Oleh sebab itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“bagaimana peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD Kabupaten
Labuhanbatu?”
3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk
menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana
batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang masuk
dalam ruang penelitian dan faktor yang mana yang tidak masuk dalam ruang
penelitian, dan yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah objek
8
Husni Usman dan Pramono, 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara. Hal.26
9
penelitian fokus kepada peningkatan kualitas perempuan di Fraksi Golkar DPRD
Kabupaten Labuhanbatu.
4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai atau didapatkan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana peningkatkan kualitas perempuan di Fraksi
Golkar DPRD Kabupaten Labuhanbatu.
5. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai penambah referensi
bagi para mahasiswa, khususnya Departemen Ilmu Politik – FISIP USU
2. Bagi penulis penelitian ini sangat bermanfaat dalam mengembangkan
kemampuan berfikir dan menulis karya ilmiah di bidang politik dengan
melihat fenomena politik yang terjadi.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi perempuan di parlemen
yang merekomendasikan langkah-langkah dalam meningkatkan kualitas
6. Kerangka Teori
Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu
yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sendiri
digunakan sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena
yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah sebagai
berikut:
6.1 Konsep Pemberdayaan Perempuan
6.1.1 Gambaran Umum Pemberdayaan Perempuan10
Pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk
memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial,
budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri
untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah,
sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Pemberdayaan
perempuan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk
pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu
masyarakat menjadi berdaya.
10
Pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk mengatasi hambatan
guna mencapai pemerataan atau persamaan bagi laki-laki dan perempuan pada
setiap tingkat proses pembangunan. Teknik analisis pemberdayaan atau teknik
analisis longwe sering dipakai untuk peningkatan pemberdayaan perempuan
khususnya dalam pembangunan. Sara H. Longwee mengembangkan teknik
analisis gender yang dikenal dengan kerangka pemampuan perempuan. Metode
Sara H. Longwee mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan,
bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan
dalam upaya memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai
kesetaraan gender. Kriteria analisis yang digunakan dalam metode ini adalah (1)
tingkat kesejahteraan, (2) tingkat akses (terhadap sumberdaya dan manfaat), (3)
tingkat penyadaran, (4) tingkat partisipasi aktif (dalam pengambilan keputusan),
dan (5) tingkat penguasaan (kontrol). Pemahaman akses (peluang) dan kontrol
(penguasaan) disini perlu tegas dibedakan. Akses (peluang) yang dimaksud di sini
adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan
hasil sumberdaya tersebut, sedangkan kontrol (penguasaan) diartikan sebagai
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil
sumberdaya. Dengan demikian, seseorang yang mempunyai akses terhadap
sumberdaya tertentu, belum tentu selalu mempunyai kontrol atas sumberdaya
Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan
mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan nonmateri yang
penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun diantara masyarakat.
Di Indonesia keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki-laki
membuat pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat
perempuan bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus
dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan.
Strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih
unggul dari laki-laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan,
namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi
yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas
perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Yang
diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak mereka
untuk menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan
melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan
nonmaterial yang penting.
Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender,
tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan
tingkat kemiskinan. Tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu
memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan
Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis
dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis
gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis
gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis
berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu
kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan
kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses
tersebut melibatkan input, antara lain seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan,
klinik atau program pemberian kredit. Umumnya kegiatan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara
atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan
yang ada. Kebutuhan strategis biasanya berkaitan dengan perbaikan posisi
perempuan (misalnya memberdayakan perempuan agar memperoleh kesempatan
lebih besar terhadap akses sumberdaya, partisipasi yang seimbang dengan
laki-laki dalam pengambilan keputusan) memerlukan jangka waktu relatif lebih
panjang.
6.1.2 Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik
Harus diakui meskipun saat ini emasipasi perempuan telah dibuka lebar,
bidang politik. Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam
masyarakat tradisional, dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola
urusan-urusan keluarga, atau sebagai pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif.
Dengan demikian perempuan bukan penentu keputusan untuk menghasilkan
sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan sebagai subyek tetapi hanya sekedar
sebagai obyek atau pelaksana.
Dalam konteks yang lain perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok, maka apabila ingin meluruskan jangan menggunakan kekerasan (paksa)
karena akan patah tetapi kalau dibiarkan akan tetap bengkok. Oleh karena itu
untuk meluruskan perempuan harus dengan wasiat (petuah-petuah) yang baik
(disarikan dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah R.A.).
Dengan demikian perempuan merupakan makhluk yang perlu dijaga dan
dilindungi, hal ini dikarenakan perempuan merniliki berbagai sifat yang menjadi
kelemahannya, yaitu; hidup dengan perasaan, tidak senang blak-blakan, lebih
menyukai harta, suka bertipu daya, dan senang dirayu. Sisi kelemahan lainnya dan
perempuan menunut S.C., Utami Munandar adalah11:
1. Memiliki sifat inferior, dan tidak berani mengambil inisiatif apalagi
mengambil keputusan yang menentukan.
2. Lebih emosional dan kurang berfikir secara rasional.
11
3. Menghendaki cinta orang lain hanya untuk dirinya, tanpa memperhatikan
kepentingan orang lain.
4. Menginginkan atensi, afeksi dan kasih sayang dan orang lain.
Melihat kenyataan yang didasarkan teori dan pendapat dan para pakar
tersebut, maka sangat penting adanya upaya-upaya untuk memberdayakan
perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat berpartisipasi aktif
dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan
menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka,
akan hak dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan
pengetahuannya untuk mengorganisasikan diri mereka sendiri. Beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik, adalah
sebagai berikut12:
1. Melibatkan kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam proses penga mbilan
keputusan pada tingkat lokal
Banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melibatkan
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal ini bisa dilihat dari pengikutsertaan masyarakat dalam
program-program pembangunan pada tingkat nasioanal, daaerah, kabupaten/kota
sampai tingkat desa/kelurahan. Namun pengikutsertaan perempuan dalam proses
pengambilan keputusan tersebut masih bersifat semu, peran perempuan dalam
12
proses pengambilan keputusan hanya sebuah pelengkap, sehingga keikutsertaan
perempuan dalam proses pengambilan keputusan belum mampu memasukkan
agenda yang menjadi kepentingannya. Hal ini dikarenakan segala yang berkaitan
dengan perenca-naan dan pelaksanaan program sudah disusun sedemikian rupa
sehingga tinggal mengambil keputusan saja. Peran perempuan dalam hal ini hanya
sebagai alat legitimasi terhadap program dan proyek yang telah disusun. Oleh
Karena itu kiranya masih perlu pelibatan perempuan secara nyata dalam proses
pengambilan keputusan dengan mem-berikan kesempatan kepada perempuan
untuk berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program dan
proyek sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat.
2. Menggugah kaum perempuan dalam memilih kepemimpinan yang
mempresentasikan kepentingannya pada tingkat lokal, regional maupun
nasional
Secara filosofi dilaksanakannya pilihan presiden, gubernur dan bupati
serta kepala desa secara langsung membuka peluang bagi perempuan untuk
menggunakan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Namun tidak banyak
perempuan yang menggunakan kesempatan untuk bisa duduk dalam jabatan
politik karena arena politik yang keras, penuh intrik, adu strategi, bahkan
intimidasi dan violence (kekerasan), sehingga perempuan rnenganggap arena
politik bukan tempat yang “aman” baginya . OIeh karena itu perlu dilakukan
pendidikan politik kepada perempuan dalam rangka menggugah kesa-daran hak
yang bersifat paternalism akan sedikit berat, tetapi hal ini harus dilakukan untuk
rnewujudkan peran serta penempuan dalam bidang politik.
3. Melibatkan kaum perempuan dalam membagi kekuasaan secara demokratis.
Membagi kekuasaan secara demokratis mengandung pengertian bahwa
penyelesaian masalah yang ada diletakkan pada tingkatan kekuasaan yang
terdekat. Organisasi-organisasi yang ada diberi kebebasan untuk me-nyelesaikan
masalahnya sendini, termasuk organisasi kaum perempuan. Pemerintah tidak
perlu mencampuri masalah intern organisasi selama organisasi yang bersangkutan mam-pu menyelesaikan masalahnya sendiri. Pemerintah hanya perlu memberi
support kepada organisasi perempuan untuk bisa eksis dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat termasuk dalam pengambilan keputusan, karena
pengam-bilan keputusan merupakan kegiatan yang bersifat politis.
4. Melibatkan kaum perempuan dalam mengalokasikan sumber-sumber komunal
secara adil.
Sumber-sumber komunal yang ada harus dialokasikan secara adil,
sehingga tidak ada yang memiliki hak istimewa dan yang dimarjinalkan untuk
menikmati sumber-sumber komunal yang ada. Oleh karena itu tidak boleh ada
diskriminasi antara kaum perempuan dengan laki-laki dalam pengalokasian
sumber-sumber komunal. Disinilah satu makna yang mencerminkan terwujudnya
6.1.3 Pemberdayaan Perempuan di Parlemen
Salah satu ruang lingkup politik adalah parlemen. Memajukan parlemen
yang demokratis memerlukan lingkungan yang inklusif dan proses politik yang
responsif dalam pemberdayaan perempuan. Diterimanya perspektif perempuan
dan partisipasi mereka dalam politik adalah prasyarat pembangunan demokrasi
dan berkontribusi pada tata kelola yang baik. Meski demikian, secara global
perempuan kurang terwakili dalam badan pembuatan keputusan. Penelitian
menunjukkan bahwa jumlah perempuan di parlemen berpengaruh, setidaknya
semakin banyak perempuan di parlemen semakin cenderung mengangkat isu
perempuan dan mengubah dinamika gender di kamar parlemen. Proporsi anggota
parlemen perempuan memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk
perdebatan politik.
Dengan kehadiran perempuan di parlemen, partai memiliki tanggung
jawab dalam memastikan bahwa kesetaraan gender diwakili dalam keterwakilan
perempuan di Parlemen. Partai cukup berpengaruh dalam menentukan isu yang
dibahas. Mereka membentuk kebijakan dan prioritas tata kelola pemerintahan oleh
karena itu partai politik seharusnya memiliki letak strategis untuk mengatasi
kekhawatiran perempuan. Pada prakteknya, partai politik memiliki sejarah yang
beragam dari sisi kepengurusan. Contoh dalam bagian ini memberikan gambaran
langkah yang diambil untuk mengangkat isu kesetaraan gender pasca pemilihan
Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diambil dalam
pemberdayaan politik perempuan di Parlemen13:
(a) memberikan pelatihan kepada anggota legislatif yang baru terpilih
Untuk sebagian besar anggota legislatif yang baru terpilih, kerja parlemen
adalah pengalaman baru. Sementara sekretariat parlemen sering memberikan
pelatihan pengenalan kepada anggota baru, partai politik sering memberikan
pelatihan mereka sendiri untuk anggota dewan baru tentang fungsi partai dalam
menjalankan fungsi mereka di parlemen. Pelatihan ini dapat memberikan
pengembangan keterampilan umum dan dapat ditargetkan pada anggota
perempuan untuk menavigasikan aturan dan prosedur yang ada.
(b) mendorong reformasi peka gender ke parlemen
Sebagai kelompok di parlemen, anggota legislatif perempuan harus dapat
mengubah budaya di parlemen. Saat perempuan memasuki parlemen, mereka
cenderung memasuki ranah yang sejalan dengan masalah gender, misalnya
lingkungan politik di mana budaya lembaga dan prosedur operasional mungkin
bias terhadap mereka. Melaksanakan kajian iklim politik diperlukan untuk
memastikan kondisi di mana perempuan bekerja cukup kondusif bagi partisipasi
mereka. Dengan mempertimbangkan isu seperti waktu sidang di parlemen, lokasi
fasilitas untuk anggota dewan perempuan, dan ketentuan cuti untuk orang tua
dapat membawa reformasi positif untuk meningkatkan partisipasi perempuan.
13
Menghilangkan hambatan terhadap partisipasi perempuan cukup krusial untuk
membentuk parlemen yang ramah gender dalam menyuarakan kepentingan
laki-laki dan perempuan.
Di Afrika Selatan, anggota kaukus partai perempuan African National
Congress menyuarakan perlunya reformasi kelembagaan parlemen saat mereka
dilantik tahun 1994. Mereka meminta jadwal sidang dicocokkan dengan jadwal
sekolah supaya anggota dewan dapat meluangkan reses atau menggunakan waktu
untuk konstituen saat libur sekolah. Mereka juga mendorong supaya pembahasan
selesai lebih awal pada malam hari untuk mengakomodasi anggota dewan yang
sudah berkeluarga, atau ada fasilitas penitipan anak.
(c) memastikan pemberdayaan dan peningkatan kualitas perempuan dalam
kebijakan
Survey terhadap 300 anggota parlemen oleh IPU menunjukkan bahwa
kebijakan partai politik adalah penentu prioritas dan agenda legislatif. Badan
pembuatan keputusan partai politik, seperti komite eksekutif sangat berpengaruh.
Meski demikian perempuan masih kurang terwakili dalam kelompok ini.
Kenyataannya, tidak semua partai politik mendorong kesetaraan gender atau
menegakkan pernyataan mereka dan melaksanakannya dengan menempatkan
perempuan dalam jabatan pembuatan keputusan tertinggi. Dukungan dari partai
yang berkuasa merupakan faktor penting dalam penerapan dan pelaksanaan
Partai politik dapat mendorong pemberdayaan perempuan melalui
pengembangan kebijakan dalam dua cara:
(a) mendorong kebijakan reformasi gender secara spesifik, Seperti pemberantasan
kekerasan berbasis gender, cuti orang tua atau isu berbasis hak reproduksi;
(b) memastikan bahwa perspektif gender harus diutamakan ke semua debat
kebijakan dan prioritas partai, termasuk peningkatan kesetaraan gender di bidang
seperti akses ke keadilan, kesehatan, kewarganegaraan, hak atas tanah, keamanan
dan waris.
Parlemen dapat juga memastikan bahwa komitmen internasional, seperti
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) diterjemahkan menjadi hukum positif nasional dan menjadi dasar langkah pemerintah. Kapasitas anggota partai perempuan, baik laki-laki maupun
perempuan, sebaiknya dikembangkan untuk melakukan analisa dari perspektif
gender. Pengembangan kebijakan, kajian legislasi dan alokasi sumber daya harus
dilihat dari dampak terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat mencakup
upaya mendukung kapasitas komisi khusus yang menangani kesetaraan gender
untuk melakukan analisa anggaran berdasar gender dan memiliki akses terhadap
data. Langkah organisasi yang terkait adalah memastikan resolusi dan
rekomendasi dari divisi perempuan, komisi kebijakan internal, atau kaukus
parlemen perempuan menginformasikan pengembangan kebijakan dalam partai
Terkadang anggota dewan memiliki kemampuan yang terbatas dalam
mengkaji isu kesetaraan gender karena disiplin partai. Biasanya, kebijakan partai
menentukan kelompok partai di parlemen dan suaranya pada isu tertentu. Oleh
karena itu tuntutan kepada anggota dewan sebaiknya realistis, di mana identitas
partai sangat kuat, ruang untuk anggota parlemen dalam bertindak di luar garis
kebijakan partai mungkin terbatas. Hal ini memperkuat pentingnya memastikan
pengurus utamakan gender dalam kebijakan partai.
(d) dukungan jaringan lintas partai yang terdiri dari perempuan dan kaukus
perempuan di parlemen
Perempuan di seluruh dunia menyadari bahwa sebagai minoritas di
parlemen, ada keuntungan strategis dari koalisi dan aliansi untuk membentuk
perubahan kebijakan. Kaukus perempuan menjadi forum efektif yang menyatukan
perempuan dari berbagai partai untuk menyalurkan kepentingan dan
kekhawatiran, dan harus mengutamakan gender dalam penyusunan kebijakan dan
pengawasan pemerintah. Secara konkret, kegiatan kaukus dapat memberikan
dukungan kapasitas kepada anggota dewan perempuan, dengan analisa RUU,
dengan pendapat dengan OMS, menyelenggarakan lokakarya untuk isu tertentu,
menentukan posisi bersama tentang isu yang didorong oleh anggota perempuan
kepada pimpinan partai mereka, dan mengawasi tindakan pemerintah terkait
pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan. Dukungan partai untuk
(e) Bangun kemitraan strategis dengan organisasi masyarakat sipil
Pembentukan koalisi antara politisi perempuan dan masyarakat sipil bisa
menjadi efektif dalam mendorong kebijakan. Pada banyak contoh, terutama jika
partai berusaha mendorong amandemen konstitusi atau legislasi yang
meningkatkan pemberdayaan perempuan, aktivis dalam partai politik telah
bekerja erat dengan organisasi masyarakat sipil untuk mencapai tujuan mereka di
contoh lain, organisasi masyarakat sipil dan yang secara strategis menargetkan
aktivis partai perempuan untuk memperjuangkan perubahan kebijakan yang
diinginkan dalam kedua skenario, Organisasi masyarakat sipil dapat memberikan
tekanan kepada pemerintah dan menyuarakan tuntutan masyarakat.
(f) melakukan kerjasama dengan partai politik
Periode pasca pemilihan sangat penting bagi partai untuk melakukan
assessment kesetaraan gender. Biasanya partai politik bergantung pada contoh
anekdot saat menyusun strategi pemberdayaan perempuan padahal dapat
melakukan kajian internal. Partai dapat diuntungkan dari analisa sistematis
terhadap kebutuhan dan peluang anggota perempuan. Selain itu, pembahasan
kesetaraan gender dalam partai politik dapat mencakup aturan terkait fungsi
partai, kebijakan dan komitmen, serta posisi yang diduduki oleh perempuan di
dalam partai dan di dalam lembaga legislatif. Hal ini dapat difasilitasi melalui
Setelah pemilihan, partai dapat menuai manfaat dari assessment atas
kinerja mereka sendiri dan perhatian yang sudah diluangkan untuk isu gender
semasa kampanye. Partai sendiri dapat menilai apakah praktek atau aturan tertentu
merugikan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung selama
pemilihan, seperti pendanaan untuk calon atau aturan rekrutmen. Sebaliknya,
tindakan atau rencana strategis dapat dikembangkan dan disesuaikan pada temuan
assessment tersebut. Kebijakan partai baru dapat diadopsi atau reformasi
dilakukan kapan saja, tapi terdapat keuntungan strategis dari upaya yang
dilakukan pada periode pasca pemilihan.
Melembagakan kesetaraan gender berarti peraturan dan prosedur yang
ditetapkan partai dilaksanakan oleh anggota partai, terutama anggota kaukus
dalam parlemen. Ambisi partai, seperti penentuan target khusus dan komitmen
kebijakan yang diartikulasikan tidak berarti banyak jika tidak diiringi dengan
dukungan dan persetujuan dari anggota partai, laki-laki dan perempuan. Karena
laki-laki adalah mayoritas di parlemen dan mendominasi struktur kepengurusan
partai, mereka adalah mitra penting untuk mewujudkan perubahan. Hal ini
membutuhkan proses pelatihan internal untuk memberikan pemahaman kepada
anggota terutama lelaki tentang kesetaraan gender. Pelatihan orientasi, biasanya
diberikan kepada anggota parlemen baru, sebaiknya mencakup ketentuan tentang
kesetaraan gender. Dukungan dan visi pimpinan partai sangat penting dalam hal
ini. Di Spanyol, pimpinan PSOE Zapatero menyatakan diri sebagai feminis dan
ini telah berdampak meluas sehingga perempuan diperlakukan sama dengan
laki-laki di dalam partai, dan pendapat mereka dipertimbangkan setara dengan mitra
mereka yang laki-laki.
6.2 Teori Partisipasi Politik
6.2.1. Gambaran Umum terhadap Partisipasi Politik14
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk
ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengadiri rapat umum, menjadi anggota suatu
partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya15.
Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan
secara aktif (the active engage ment) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Herbert McClosky
memberikan batasan partisipasi politik sebagai “kegiatan kegiatan sukarela dari
warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum”. Huntington dan Nelson membuat batasan
14
Damsar, 2010, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal 180-183-186
15
partisipasi politik sebagai“kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi
-pribadi, yang dimaksut sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau sepontan, mantap atau
sporaecara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”
Rush dan Althoff memberikan batasan partisipasi politik sebagai “keterlibatan
dalam aktivitas politik pada suatu sistem politik. Beberapa pandangan ahli tentang
tipologi partisipasi politik. Roth dan Wilson membuat tripologi partisipasi politik
atas dasar piramida partisipasi. Pandangan Roth dan Wilson tentang piramida
politik menujukan bahwa semakin tinggi intensitas dan derajat aktivitas politik
seseorang, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya.
Rush dan Althoff mengajukan hierarki partisipasi politik sebagai suatu
tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff
adalah menduduki jabatan politik atau administratif. Sedangkan hierarki yang
terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apatis secara total yaitu
orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi
Hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan
orang-orang, seperti yang diperhatikan oleh bagan hirarki partisipasi politik dimana garis
vertikal segitiga menujukan hierarki, sedangkan garis orizontalnya menujukan
kuantitas dari keterlibatan orang-orang.
Almond membedakan partisipasi politik atas dua bentuk, yaitu :
normal dalam demokrasi modern.
2. Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partosipasi politik
yang tidak lezim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.
6.2.2. Partisipasi Politik Perempuan
Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang
memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana
mereka dapat mempertahankan dan mengembangkan kepentingan
-kepentingannya. Namun ideologi yang mapan yang berkembang menyebabkan
perempuan dieksklufsikan dari dunia politik. Pamela Paxton dan Sheri Kunovich
dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa ideologi patriarkis ini bahkan
lebih kuat pengaruhnya terhadap keterwakilan politik ketimbang sistem politiknya
sendiri16.
Tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional, yaitu tuntutan
agar perempuan seharusnya berada dalam pembuatan keputusan sebanding
dengan keanggotaan mereka dalam penduduk, sering kali dihadapkan dengan
pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki
sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki
kepentingan-kepentingan berbeda dari keluarga mereka umumnya tidak dipertimbangkan.
Keinginan ini sering pula dibenturkan dengan kenyataan bahwa perempuan itu
16
sendiri terdiri dari bermacam-macam perbedaan. Namun, mereka seolah lupa
bahwa ada kepentingan yang semua perempuan dari kelas manapun pasti
merasakannya, yaitu seperti persoalan-persoalan terkait dengan fungsi reproduksi
dan adanya hukum yang membakukan peran gender perempuan. Hukum
sebagai suatu norma umum tentunya berlaku bagi perempuan manapun tanpa
terkecuali.
United Nation-Center for Social Development dan Humanitarians Affairs
menjelaskan lima pendapat mendasar mengenai perlunya partisipasi politik yang
juga dijadikan sebagai dasar tuntutan penambahan keterwakilan perempuan dalam
lembaga-lembaga politik, yaitu:17
1. Demokrasi dan egaliterisme
Sedikitnya separuh dari penduduk adalah perempuan dan harus diwakili
secara proporsional. Pengakuan akan hak-hak wanita menjadi warga negara
yang sepenuhnya harus tercermin dalam partisipasi efektif mereka pada
tingkat-tingkat kehidupan politik yang bebeda-beda. Tidak ada demokrasi
yang sesungguhnya kalau perempuan dikeluarkan dari kedudukan politik.
2. Legitimasi
Rendahnya keterwakilan perempuan membahayakan legitimasi sistem
demokrasi karena menjauhkan para wakil terpilih dari pemilih
perempuannya. Hasil keputusan politik tidak sama untuk laki -laki dan
17
perempuan sehingga dapat menimbulkan keraguan publik terhadap sistem
perwakilan. Akibatnya, mungkin terjadi kaum perempuan menolak undang
-undang atau kebijakan yang telah dirumuskan tanpa partisipasi mereka
seperti pada Declaration of Sentiment yang dibuat di Seneca Falls 1848, yang
menyatakan bahwa konstitusi AS tidak sah karena mereka tidak
diikutsertakan dalam pembentukannya.
3. Perbedaan kepentingan
Perempuan dikondisikan memiliki peranan sosial, fungsi,dan nilai-nilai
yang berbeda. Oleh karena itu, perempuan memiliki kebutuhan sendiri.
Komposisi yang berlaku sekarang membuat mereka tidak sanggup untuk
menyuarakan dan membela kepentingan mereka.
4. Perubahan politik
Terdapat beberapa petunjuk bahwa politisi perempuan jika jumlahnya
cukup dapat mengubah pusat perhatian politik. Keberadaan perempuan di
dunia politik menyebabkan meluasnya ruang lingkup politik. masalah
-masalah seperti pemeliharaan anak, gender, dan perencanaan keluarga
yang semula dianggap lingkup pribadi sekarang dapat dianggap sebagai
masalah politik.
5. Penggunaan sumber daya manusia yang lebih efisien
Pentingnya peran biologis dasar dan sosial perempuan sudah jelas,
meskipun masukan mereka kadangkala tidak diakui, mereka adalah
dibayar maupun yang tidak dibayar. Mengecualikan perempuan dari
jabatan-jabatan kekuasaan dan lembaga-lembaga perwakilan memperburuk kehidupan
publik dan membatasi perkembangan suatu masyarakat yang adil. Tanpa
perwakilan sepenuhnya dari perempuan dalam pengambilan keputusan,
proses politik menjadi kurang efektif.
Di samping itu, sebuah penelitian yang dilakukan Edward A. Koning juga
menunjukkan bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan, maka perempuan
lain di luar itu pun akan merasa sebagai bagian dari parlemen. Dengan demikian,
internalisasi nilai patriarki pada perempuan akan berkurang, dan mereka semakin
menyadari bahwa politik bukan hanya urusan laki-laki, tetapi juga perempuan18.
Hal penting lain yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan terbukanya sistem
politik terhadap perempuan sama artinya dengan menaikkan peluang untuk
mendapatkan politisi yang potensial menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, hal ini
juga dapat meningkatkan kualitas dari parlemen itu sendiri.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa tuntutan perwakilan deskriptif
akan mengarah pada suatu perwakilan substantif, dimana kehadiran perempuan
dalam lembaga pembentuk kebijakan bukan hanya sebagai simbol dari salah satu
jenis kelamin, tetapi lebih dari itu keberadaan mereka adalah penting untuk
mengubah budaya dan prioritas-prioritasnya dan terutama untuk meningkatkan
cakupan perhatiannya19.
18
Ibid, hal 21
19
7. Metodologi Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
teori di atas, maka penulis menggunakan penelitian deskriptif, dimana penelitian
deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah
pada masa sekarang berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini
memberikan gambaran yang detail mengenai gejala atau fenomena20. Tujuan
dasar penelitian deskrtiptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta
hubungan antara fenomena yang diselidik. Jenis penelitian ini tidak sampai
mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan
untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang
menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial, karenanya pada penelitian
deskriptif tidak menggunakan atau melakukan pengujian hipotesa seperti yang
dilakukan pada penelitian eksplanatif berarti tidak dimaksudkan untuk
membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori21.
7.1. Jenis Penelitian
Menurut Hadari Nawawi22 , metode penelitian deskriptif dapat diartikan
sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
20
Bambang Prasetyo dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 42.
21
Sanafiah Faisal, 1995, Format Penulisan Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta; Raja Grafindo Persada, hal 20.
22
atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan
lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagai mana
adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data -data dan
fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.Tujuan
dari penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat penggambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah
tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis fenomena yang terjadi di
Kabupaten Labuhanbatu terkait peningkatan kuantitas perempuan di DPRD
Kabupaten Labuhanbatu pada periode 2014-2019. Di samping itu juga penelitian
ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah
kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan untuk
menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan
yang diteliti. Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
7.2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi yang menjadi sumber penelitian yaitu Kantor
DPRD Kabupaten Labuhanbatu yang beralamat di jl. SM. Raja, no. 56
Rantauprapat.
7.3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data, keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan dalam penelitian
sekunder.23 Teknik pengumpulan data tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini yakni melalui
wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara adalah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun
narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta
melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait
dengan penelitian ini. Dalam hal ini peneliti mengambil informan yaitu
anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu khususnya anggota Fraksi
Partai Golkar yang memiliki kompetensi dalam pengumpulan data.
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah mencari data
dan informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu penulis juga mencari
informasi dan referensi tambahan melalui artikel-artikel dalam
majalah, koran dan sebagainya.
7.4. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah menggunakan analisa kualitatif. Tujuan dari analisa data adalah untuk
memperoleh keluaran (output) dari hasil yang ingin dicapai dari penelitian.
23
Penelitian ini mencoba menganalisis fenomena yang tejadi terkait peningkatan
kuantitas perempuan di DPRD Kabupaten Labuhanbatu di tengah rendahnya
partisipasi perempuan di arena politik yang terjadi di Indonesia pada umumnya.
Metode analisis deskriptif yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun
dan kemudian diinterpretasikan. Sehingga memberikan keterangan-keterangan
terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang terkumpul dari
8. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan dan membahas latar belakang
masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan gambaran umum
lokasi penelitian, dimana penulis megambil lokasi
penelitian di DPRD Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi
Sumatera Utara.
BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Pada bab ini akan dianalisis proses rekrutmen perempuan
untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Labuhanbatu
dan menjelaskan tentang peranan perempuan di DPRD
Labuhanbatu.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Sejarah Singkat Labuhan Batu24
1.1. Sebelum Zaman Penjajahan Belanda
Sistem Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu
sebelum penjajahan Belanda adalah bersifat Monarki. Kepala pemerintahan disebut
Sultan dan Raja yang dibantu oleh seorang yang bergelar Bendahara Paduka Sri
Maharaja dan bertugas sebagai Kepala Pemerintahan sehari-hari (semacam Perdana
Menteri). Selanjutnya di bawah Bendahara Sri Paduka Maharaja ada Tumenggung
yang menjadi Jaksa Merangkap Kepala Polisi. Kemudian ada Laksamana yaitu
Panglima Angkatan Laut/Panglima Perang. Di bawah Laksamana ada Hulu
Balang atau Panglima Angkatan Darat. Kemudian ada pula Bentara kanan
bertugas sebagai ajudan Sultan dan Bentara kiri yang menjadi Penghulu Para
Bangsawan.
Kesultanan/kerajaan yang terdapat di wilayah Kabupaten Labuhan Batu
pada waktu itu terdiri 4 kesultanan yaitu:
1. Kesultanan Kota Pinang berkedudukan di Kota Pinang.
2. Kesultanan Kualuh berkedudukan di Tanjung Pasir.
3. Kesultanan Bilah berkedudukan di Negeri Lama.
4. Kesultanan Panai berkedudukan di Labuhan Bilik.
24