• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengelolaan Hutan Agroforestri Ditinjau Dari Perpektif Hukum Lingkungan Untuk Pembangunan Hutan Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Model Pengelolaan Hutan Agroforestri Ditinjau Dari Perpektif Hukum Lingkungan Untuk Pembangunan Hutan Berkelanjutan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Tulis

MODEL PENGELOLAAN HUTAN AGROFORESTRI

DITINJAU DARI PERPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN

OLEH :

DWI ENDAH WIDYASTUTI

NIP 19750314 200003 2 004

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

MODEL PENGELOLAAN HUTAN AGROFORESTRI

DITINJAU DARI PERPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

UNTUK PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN

Oleh :

Dwi Endah Widyastuti, S.Hut, M.Si Staf Pengajar Departemen Kehutanan

Fakultas Pertanian-USU

PENDAHULUAN

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam penting dalam

pembangunan negara kita. Sebagai salah satu modal dasar pembangunan

nasional dan menguasai hajat hidup orang banyak, sudah selayaknya hutan

dikelola dengan baik, agar manfaatnya dapat diperoleh secara optimal dan

berkelanjutan. Kerusakan hutan akan menurunkan kualitas lingkungan hidup,

yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Hal tersebut

dikarenakan, selain hutan memiliki fungsi ekologis seperti menjaga tanah, air

serta kekayaan flora dan fauna, juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi,

yang diperoleh dari kayu pohon-pohon yang tumbuh didalamnya. Sebagai

sumber penghasilan sebagian penduduk Indonesia, hutan juga telah membentuk

kondisi sosial budaya masyarakat yang memanfaatkannya, contohnya terdapat

kearifan pemanfaatan oleh penduduk lokal.

Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh

kerusakan hutan, konsep pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan oleh

instrumen hukum UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor

32 Tahun 2009, yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek

lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan yang

(3)

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan, sesuai

untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Hal ini juga semakin menguatkan

tujuan penyelenggaraan kehutanan yang termuat dalam UU Kehutanan Nomor 41

tahun 1999, yaitu untuk meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan

kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan

berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan

ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Dengan demikian

pembangunan hutan yang berkelanjutan adalah yang mampu memadukan aspek

lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya.

Disisi lain walaupun isyu pembangunan berkelanjutan telah lama

didengungkan dalam forum nasional dan internasional, akan tetapi aspek yang

ditekankan pada awal-awal masih tertumpu pada pembangunan aspek ekonomi.

Namun dengan demikian dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat pada

kulitas lingkungannya, maka ketiga aspek tersebut mulai mendapatkan proporsi

yang seimbang. Setiap tingkatan pemerintah baik pusat maupun daerah,

bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat, juga telah menunjukkan kepedulian

dengan dibentuknya badan-badan khusus yang menangani lingkungan (Harding,

Hendriks & Faruq, 2009)

MODEL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

Salah satu model pembangunan hutan yang dapat memenuhi kriteria

pembangunan hutan berkelanjutan adalah model pengelolaan hutan rakyat. Hutan

rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat baik pribadi atau kelompok

(4)

konservasi tanah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan

hutan rakyat pada awalnya dilakukan dengan proyek kegiatan penghijauan.

Namun setelah masyarakat merasa mendapat keuntungan ekonomi, maka

masyarakat mengembangkan sendiri sehingga terbentuklah sentra-sentra hutan

rakyat. Masyarakat mengembangkan hutan rakyat dengan model yang

berbeda-beda. Pemilihan model tersebut didasarkan pada pengalaman petani yang diduga

berdasarkan kesesuaian jenis dengan lokasi tempat tumbuh, kebiasaan petani dan

harga kayu. Hutan rakyat telah memperbaiki kondisi lingkungan, sosial dan

ekonomi petani dan masyarakat. Namun demikian, pengembangan hutan rakyat

sangat spesifik sehingga pengembangannya harus memperhatikan kondisi

biofisik, sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, dan preferensi petani terhadap

pola hutan rakyat yang dikembangkan.

Menurut jenis tanamannya, Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi

hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu:

(1) Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari

satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur.

(2) Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari

berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

(3) Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman

pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan

(5)

HUTAN RAKYAT AGROFORESTRI

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari banyak

menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi,

kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan

global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan

meningkatnya luas areal hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain.

Agroforestri adalah salah satu sistem pengolahan lahan yang dapat ditawarkan

untuk mengatasi masalah yang timbul diatas dan sekaligus juga mengatasi

masalah pangan (Hairiah & Sardjono, 2003).

Agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang

pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan

sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara

sederhana agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini

sebenarnya telah dipraktekkan oleh para petani di berbagai tempat di Indonesia

selama berabad-abad, misalnya yang dikenal dengan ladang berpindah, kebun

campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan.

Menurut De Foresta et al.(1997), agroforestri dapat dikelompokkan

menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri

kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah menanam pepohonan secara

tumpang-sari dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis-jenis

pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh

dan jati atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra.

Sedang jenis tanaman semusim misalnya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan

(6)

bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan atau

ditanam berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem

agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi

banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat dengan pola

tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini tercakup beraneka

jenis komponen seperti pepohonan, perdu, tanaman musiman dan rerumputan

dalam jumlah banyak. Kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan

ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Berdasarkan

Baukema et.al. (2007), keragaman tanaman dan burung di hutan karet

agroforestri, mirip dengan keragaman di hutan alam, dan lebih tinggi dari kebun

karet (plantation). Hal ini menunjukkan bahwa pola agroforestri kompleks dapat

digunakan sebagai kawasan konservasi.

PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup telah

diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Penggantian tersebut sebagaimana disebutkan dalam bagian

pertimbangan, adalah agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan

perlindungan hidup yang lebih baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan

terhadap keseluruhan ekosistem. Adanya tambahan kata “Perlindungan” pada

penamaan UU tersebut, menunjukkan bahwa upaya perlindungan menjadi aspek

yang sangat kuat. Hal ini tampaknya disebabkan kualitas lingkungan hidup yang

semakin menurun dan peningkatan pemanasan global, sehingga diperlukan upaya

(7)

mencegah kerusakan yang semakin parah, hukum lingkungan sebagai intrumen

kebijakan memang harus dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan di masa

depan.

Namun demikian, kerusakan ekologis, termasuk hutan, sebenarnya bukan

lagi merupakan kemungkinan masa depan. Sebaliknya sudah menjadi realita

kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan adaptasi

lingkungan. Wijoyo (2003) melaporkan, bahwa perusakan hutan menempati

posisi kedua pada 3 kasus utama lingkungan pada tahun 1996, yaitu sebesar

18,05% dibawah pencemaran air yang sebesar 35,61% dan diatas pencemaran

udara sebesar 14,63%. Hal ini menunjukkan bahwa kasus-kasus tersebutlah yang

paling dominan. Banyaknya pencemaran dan kerusakan lingkungan akan

menentukan tingkat eskalasi sengketa lingkungan. Contoh kasus lingkungan

hidup yang terkait kehutanan adalah kasus perusakan hutan pinus dan pencemaran

sungai Asahan oleh PT Inti Indorayon Utama pada tahun 1988, kasus bantuan

pinjaman dana reboisasi (DR) pada PT IPTN (Industri Pesawat Terbang

Nusantara) pada tahun 1994 dan kasus ijin penambangan PT Freeport pada tahun

1995. Sebaliknya dalam kasus sengketa lingkungan yang menyangkut hutan

rakyat, frekuensinya sangat kecil dan bersifat lokal. Hal ini dikarenakan hutan

rakyat merupakan hutan dengan status milik pribadi, yang umumnya dimiliki

masyarakat sekitar hutan, dimana pengusahaanya mengadopsi kearifan lokal

sehingga potensi sengketa konflik tidak berkembang besar (Awang, Sepsiaji &

Himmah, 2002). Dengan demikian pembangunan hutan berkelanjutan dengan

model pengelolaan agroforestri berada dalam kondisi yang terbaik untuk

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Awang SA, Sepsiaji D, Himmah B. 2002. Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta.

Baukema H, et.al. 2007. Plant and Bird Diversityin Rubber Agroforest in The Lowlands. Journal of Agroforestry System. Vol 70 No3/July/2007. Hal 217-242.

De Foresta H, Michnon G, Kusworo A. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan-Agroforest Khas Indonesia. ICRAF. Bogor.

Hairiah K, Sardjono MA. 2003. Pengantar Agroforesti. ICRAF. Bogor.

Harding R, Hendriks CH, Faruqi M. 2009. Environmental Decision Making. Renouf Pub Co. Ltd.

Pemerintah Republik Indonesia. UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pemerintah Republik Indonesia. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Purwanto et.al. 2004. Model-Model Pengelolaan Hutan Rakyat (Private Forestry Models). Prosiding Ekspose BP2TPDAS-LBB Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian sesuai dengan pendapat para ahli yaitu wanita lebih. mengalami disabilitas dibanding dengan

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi langsung yang bersifat partisipasi pasif maupun aktif dimana peneliti dapat mengamati obyek penelitian; (2)

a. Penataan kawasan kumuh. Rencana induk sistem proteksi kebakaran. Penataan bangunan dan lingkungan kawasan perdagangan. Penataan bangunan dan lingkungan kawasan perkantoran.

Definisi konsepsional dari penelitian ini adalah Evaluasi Strategi Dinas Tenaga Kerja Dalam Penyaluran Tenaga Kerja adalah kegiatan mencari informasi dan menilai strategi

“Penerapan Model Pembelajaran Think Talk Write (TTW) Berbantuan Media Gambar Seri Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Siswa KelasIII SD”.. Model-Model

Konsep dari acara screening ini bertemakan unsur budaya, dengan nama acara “PESONA” yang memiliki tema pesona budaya Indonesia dikarenakan dari masing-masing karya film

Sebagai salah satu inovasi teknologi pada arus globalisasi, sekarang ini televisi mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat dan telah menyentuh kepentingan masyarakat

were Cmax, tmax and AL/C, the administration of ciprofloxacin and antacids concomitantly result Cmax, tmax and AUC were I.27±0.45g/ml; 110ÿ.48.99 minutes and