MEMPENGARUHI PERMINTAAN UANG
KARTAL DI INDONESIA
T E S I S
Oleh :
AGUS EDY RANGKUTI
037018011/EP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan
Pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
AGUS EDY RANGKUTI
0370180011/EP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEMPENGARUHI PERMINTAAN UANG KARTAL DI INDONESIA
Nama : AGUS EDY RANGKUTI Nomor Pokok : 037018011
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Murni Daulay , MSi Ketua
Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc Wahyu A. Pratomo, SE, MEc.
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Murni Daulay, MSi Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc
Telah Diuji pada
Tanggal: 23 November 2006
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : 1. Dr. Murni Daulay, MSi
Anggota : 2. Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc. 3. Wahyu A. Pratomo, SE, MEc. 4. Drs. Iskandar Syarif, MA.
1. NAMA : AGUS EDY RANGKUTI
2. TEMPAT / TGL LAHIR : SIBOLGA, 17 AGUSTUS 1972
3. PEKERJAAN : STAF PENGAJAR POLITEKNIK NEGERI MEDAN
4. AGAMA : ISLAM
5. ORANG TUA :
a. AYAH : H. ASIR RANGKUTI (Alm)
b. IBU : HJ. Dra. LIMBAYUNG NASUTION (Almh)
6. ALAMAT : JL. SAKTI LUBIS / BENGKEL 13 MEDAN
7. PENDIDIKAN :
a. SD : SD NEGERI 060817 MEDAN
b. SMP : SMP NEGERI 2 MEDAN
c. SMA : SMA NEGERI 2 MEDAN
d. S1 : FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
e. S2 : SEKOLAH PASCA SARJANA
MAGISTER EKONOMI PEMBANGUNAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan menyelesaikan tesis
ini, yang berjudul “ Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Uang
Kartal di Indonesia.”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak tidak
mungkin tesis dapat terselesaikan. Untuk itu perkenankan penulis menyampaikan ras
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof.Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan meyelesaikan pendidikan program magister.
2. Ibu Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku direktur sekolah pasca sarjana
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan kami menjadi mahasiswa program
magister pada sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi, selaku ketua program studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pasca sarjana, Universitas Sumatera Utara, juga sebagai
pembimbing yang begitu banyak memberikan dorongan , bimbingan dan saran dalam
penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc dan Bapak Wahyu A Pratomo, SE, Mec. selaku
pembimbing dan telah memberikan perhatian dan dorongan melalui bimbingan dan
saran dalam penyelesaian tesis ini
meraih pendidikan dan semua nasehat menjadi pemacu semangat bagi meraih ilmu
pengetahuan..
7. Khusus bagi Istri tercinta Nelly Murni, Ssi. APT. dan kedua anak anakku tersayang
M. Alfathi Rangkuti dan Michelia Aisyah Rangkuti yang tetap memberikan dorongan
dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi ini
Penulis menyadari bahwa dengan terbatasnya pengetahuan penulis tentu dalam
penulisan ini ditemui banyak kekurangan . Oleh karena itu penulis harapkan kritik dan
saran dalam penyempurnaan tulisan ini
Medan, Agustus 2007
Penulis
Agus Edy Rangkuti
.
ABSTRACT
The Under Developing countries’ problems are instability and uncertainty. This condition forced the economic agents to keep a great amount of Currency outside Banks for the shake of precautionary. Other factors such as disorganized financial institutions in the Developing Countries and the availabilities of monetary information made the people to keep the Currency outside Banks. The purpose of this research is to study the influence of Gross Domestic Product (GDP), Inflation (INF), Exchange Rate (ER), and Interest Rate (IR) to Currency Outside Bank (UKR).
The method in this research is Ordinary Least Square (OLS). The model is estimated by using multiple linear regressions.
The result showed that simultaneously Independence variables (GDP, INF, ER, and IR) significantly influence the dependent variable (UKR), and partially independent variables (GDP, INF, and ER) significantly and positively influence the dependent variable (UKR), however INF significantly and negatively influence the UKR. Overall estimation showed ER had the most influent on the demand of the currency outside bank (UKR)
ABSTRAK
Kondisi perekonomian negara negara sedang berkembang yang penuh dengan ketidak stabilan dan ketidak pastian mendorong agen ekonomi untuk memegang uang kartal untuk tujuan berjaga jaga dalam jumlah uang lebih besar. Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, inflasi, nilai kurs dan suku bunga terhadap jumlah uang kartal yang beredar.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan regresi linear berganda, karena penelitian ini dirancang untuk meneliti pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Metode yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).
Secara serempak (bersama) variabel variabel independen (Pendapatan perkapita, inflasi, Nilai Tukar, dan suku bunga), mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal). Secara parsial variabel variabel independen yaitu pendapatan, inflasi, dan nilai tukar (kurs) mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel dependen (Permintaan Uang Kartal), sedangkan variabel independen suku bunga berpengaruh negatip pada Permintaan Uang Kartal. Secara keseluruhan dari hasil Estimasi menunjukkan bahwa nilai tukar (ER) mempunyai pengaruh paling besar terhadap permintaan uang kartal di Indonesia
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
DAFTAR SINGKATAN... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Definisi dan Fungsi Uang... ... 6
2.2 Teori Permintaan Uang... 6
2.3 Penawaran Uang ... 14
2.5 Pendapatan Perkapita ... 17
2.6 Kebijakan Pengendalian Uang Beredar ... 24
2.7 Kebijakan Inflasi... 26
2.8 Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia ... 29
2.9 Kebijakan Suku Bunga di Indonesia ... 31
2.10Penelitian Sebelumnya ... 32
2.11Kerangka Pemikiran ... 36
2.12Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 38
3.2 Sumber Data ... 38
3.3 Model Analisis ... 38
3.4 Uji Diagnosis ... 39
3.5 Batasan Operasional ... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1 Perkembangan dan Faktor faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Uang Kartal di Indonesia ... 43
4.2 Analisis dan Pembahasan ... 56
4.3 Uji hipotesis ... 58
4.4 Analisis Koefisien Determinasi ... 61
4.5 Uji Multikolinearitas ... 62
4.6 Uji Autokorelasi ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 64
5.1. Kesimpilan ... 64
5.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1 Uang Kartal, M1, dan M2 (dalam Miliar Rupiah) di Indonesia 16
2.2 Pertumbuhan PNB riil perkapita 23
2.5 Data Suku Bunga di Indonesia (dalam persen) 32
4.1 Hasil uji Chow 58
4.2 Nilai t hitung 60
4.3 Uji multikolinearitas 62
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 36
4.1 Permintaan Uang Kartal 43
4.2 Perkembangan PDB Indonesia 46
4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia 51
4.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap US $ Dollar 53
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Lampiran 1. Data Penelitian 69
2. Lampiran 2 Regresi Utama 71
3. Lampiran 3. Chow Test 71
4. Lampiran 4. uji Multikolinearitas 72
DAFTAR SINGKATAN
UKR = Uang Kartal
PDB = Pendapatan
INF = Inflation
ER = Exchange Rate
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Uang dapat dikatakan sebagai salah satu penemuan terpenting manusia
yang menopang kemajuan peradabannya. Kita yang hidup pada masa kini
dapat menjalani hidup dengan relatif mudah dengan nyaman karena adanya
uang. Transaksi transaksi yang kita lakukan dapat diseleaikan dengan cepat,
mudah, murah, dan akurat karena telah terbangunnya sistem keuangan yang
kuat dan efisien. Dengan uang manusia dapat mempersiapkan masa tuanya,
tanpa khawatir apa yang diperolehnya membusuk atau kehilangan nilai karena
rusak.
Harus diakui bahwa amatlah sulit untuk membuat definisi yang
lengkap dan memuaskan tentang uang. Sebab definisi dan pengertian
praktisnya selalu berubah dinamis sesuai dengan dinamika perkembangan
masyarakat atau perekonomian. Dengan kata lain, perkembangan tentang
definisi dan pengertian uang merupakan manifestasi dari proses penyesuaian
manusia terhadap kemajuan hidup yang dialaminya. Di masyarakat yang
perekenomiannya sudah relatif maju seperti Amerika Serikat, definisi dan
pengertian uang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan di Indonesia.
universal tentang uang adalah sesuatu (benda) yang diterima secara umum
dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Dua unsur terpenting dari definisi diatas adalah “sesuatu benda” dan
“diterima secara umum”, menunjukkan bahwa uang digunakan untuk
memperlancar/mempermudah kegiatan transaksi dalam sebuah perekonomian.
Berdasarkan definisinya dapat dikatakan bahwa uang bisa saja
berbentuk segala sesuatu (benda), tetapi tidak semua benda merupakan uang.
Syarat utama agar sebuah benda dapat digunakan sebagai uang adalah benda
tersebut diterima secara umum. Dengan demikian definisi uang mengandung
pengertian ekonomi, hukum, politis.
Permasalahan yang paling sering dihadapi oleh negara negara sedang
berkembang adalah adanya anggapan bahwa ‘dunia’ yang sepenuhnya
rasional, perilaku individu pada umumnya dianggap didasarkan pada suatu
jumlah infinite discounted dari suatu nilai fungsi biaya yang diperkirakannya.
Sehingga individu tersebut membutuhkan seluruh informasi yang tersedia
guna memperkirakan kondisi masa datang. Hal ini berangkat dari kondisi
negara negara sedang berkembang yang penuh dengan ketidak stabilan dan
ketidak pastian. Kondisi ini akan mendorong agen ekonomi untuk memegang
uang kartal untuk tujuan berjaga jaga dalam jumlah uang lebih besar.
Disamping itu, faktor kelembagaan keuangan masih relatif baru dan belum
terorganisir dengan baik serta informasi mengenai kegiatan di bidang ekonomi
moneter relatif belum tersedia atau tidak mudah diperoleh, ini memberikan
yang baik bagi uang sehingga masyarakat tetap menyimpan uangnya dalam
bentuk uang kartal.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan betapa pentingnya peranan
uang kartal dalam sistem moneter suatu negara.
Berdasar latar Belakang pada uraian diatas, adalah menarik untuk
mengkaji: “Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Permintaan
Uang Kartal di Indonesia.”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka ada beberapa rumusan masalah yang
dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian ini, yaitu:
Bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, tingkat inflasi, nilai kurs, dan
suku bunga terhadap permintaan Uang Kartal di Indonesia.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pendapatan perkapita, inflasi, nilai
kurs dan suku bunga terhadap jumlah uang kartal yang beredar.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat peran sektor moneter dalam upaya mengendalikan
harga melalui pengendalian jumlah uang beredar khususnya uang
2. Bagi pengambil keputusan Kebijakan moneter (otoritas moneter)
diperoleh informasi faktor faktor yang mempengaruhi permintaan
uang kartal.
3. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui keadaan
perekonomian selama kurun waktu penelitian dan penerapan kebijakan
moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam mengatasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Fungsi Uang
Uang adalah sesuatu yang diterima / dipercaya masyarakat sebagai alat
pembayar atau transaksi.
Uang mempunyai empat fungsi penting, yaitu sebagai berikut:
a) Satuan hitung (unit of account)
Yang dimaksud uang sebagai satuan hitung (unit of account) adalah
uang dapat memberikan harga suatu komoditas berdasarkan satu ukuran
umum, sehingga fungsi ini menggantikan sistem barter yang menghendaki
adanya double coincidents of wants (kehendak ganda yang selaras). Harga
barang yang diukur dengan nilai uang memberikan kemudahan masyarakat
dalam bertransaksi.
b) Alat transaksi / pembayar (medium of exchange)
Uang sebagai alat tukar, harus mendapat penjaminan kepercayaan oleh
pemerintah berdasarkan undang undang atau keputusan yang berkekuatan
hukum. Dengan fungsinya sebagai alat transaksi, uang amat mempermudah
dan mempercepat kegiatan pertukaran dalam perekonomian modern.
c) Penyimpan nilai (store of value)
Fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) dikaitkan dengan
meningkatkan daya beli, sehingga semua transaksi tidak perlu dihabiskan saat
itu juga. Keadaan inflasi yang parah ataupun deflasi dapat merubah keinginan
orang untuk memiliki uang sebagai store of value
d) Standard pembayaran di masa mendatang (standard of deffered
payment).
Sebagai ukuran bagi pembayaran masa depan uang terkait dengan
transaksi utang piutang atau transaksi kredit, dan juga kegiatan ekonomi yang
balas jasanya tidak diberikan saat itu juga. Pembayaran untuk masa
mendatang tersebut dimungkinkan karena uang memiliki fungsi standard
pembayaran di masa mendatang (standard of deffered payment). Dengan
fungsi tersebut beberapa balas jasa atau pembayaran di masa mendatang
menjadi lebih mudah dihitung, karena diukur dengan daya beli (purchasing
power), dibanding bila diukur dengan komoditas tertentu (Rahardja, 2001).
2.2. Teori permintaan uang
Teori yang menjelaskan mengenai permintaan uang dapat dibedakan
menjadi: teori klasik, dan teori keynes.
a) Teori Permintaan Uang Klasik
Mengenai permintaan uang, kaum klasik mempunyai teori yang cukup
terkenal, yang dinamakan sebagai “teori kuantitas mengenai uang” atau “ the
quantity theory of money”, yaitu mengenai permintaan dan sekaligus
penawaran uang, beserta interaksi antara keduanya. Fokus dari teori tersebut
beredar) dengan nilai uang (atau tingkat harga). Selanjutnya, ada 3 (tiga)
faktor yang mempengaruhi turun naiknya nilai uang yaitu:
1. jumlah uang yang beredar (kuantitas) disebut sebagai penawaran uang
2. kecepatan permintaan uang
3. jumlah komoditi yang diperjual belikan
Analisa klasik dalam teori permintaan uang yang tergolong dalam
teori moneter kuantitatif antara lain dikemukakan oleh:
1. Irving Fisher
Pendekatan secara velositas atau disebut “transaction velocity
approach” diperkenalkan oleh Irving fisher pada tahun 1911 dalam bukunya
“the purchasing power of money”. Pendekatan ini menjelaskan bahwa
jumlah uang yang dibelanjakan sama dengan jumlah uang yang diterima.
Teori Irving Fisher menitik beratkan fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar.
Selanjutnya dalam menentukan nilai uang ada 3 (tiga) variabel yang penting,
yaitu:
a. Jumlah uang yang beredar
b. Kecepatan uang beredar
c. Jumlah barang yang diperdagangkan
Fisher melihat permintaan uang adalah suatu kepentingan yang sangat
likuid untuk memenuhi motif transaksi. Dengan sederhana persamaan
MV = PT
Dimana nilai dari barang yang dijual dikalikan dengan harga rata rata
dari barang tersebut (P) harus sama dengan volume uang yang ada dalam
masyarakat (M) dikalikan berapa kali rata rata “perputaran” uang, dalam
periode tersebut atau “transaction velocity of circulation” (V). T, atau
volume transaksi, dalam suatu periode tertentu ditentukan oleh tingkat output
masyarakat (pendapatan nasional) dan bisa pula dianggap mempunyai nilai
tertentu dalam satu tahun.
Menurut Fisher dan kaum klasik diasumsikan selalu dalam keadaan
“full employment”. Dan Velocity, ditentukan oleh faktor faktor kelembagaan,
mencakup faktor faktor, misalnya tingkat permintaan uang akan sama dengan
pendapatan nasional. Maka secara matematis dapat ditulis:
Md = kPY
Dimana k adalah proporsi / bagian dari GNP yang diwujudkan dalam bentuk
uang kas, jadi besarnya sama dengan 1/V, sedangkan Y adalah tingkat
pendapatan nasional riil, dan P adalah harga umum.
2. Teori Cambridge
Teori Cambridge mengatakan selain faktor faktor kelembagaan,
tingkat bunga, besar kekayaan masyarakat, dan ramalan dari masyarakat
tentang masa depan juga turut mempengaruhi, walaupun dianggap konstan.
Dengan demikian, Teori Cambridge selangkah lebih maju dari teori Fisher,
karena telah mempertimbangkan tingkat bunga maupun tingkat ekspektansi
b) Teori Permintaan Uang Keynes
Dalam bukunya, General Theory of Employment Interest and Money,
yang ditulis pada tahun 1936, merupakan kritikan terhadap kaum klasik atas
ketidak mampuan teori klasik menjelaskan masalah depresi yang terjasi
melalui konsep mekanisme pasar yang selalu berada dalam keadaan full
employment.
Di dalam teori moneter, teori uang Keynes lebih menekankan fungsi
uang sebagai penyimpan nilai dan bukan hanya sebagai alat tukar umum.teori
ini kemudian dikenal dengan “liquidity preference”, dan membagi motif
permintaan uang masyarakat dalam tiga tujuan, yaitu:
a. Permintaan uang untuk tujuan transaksi.
Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan
transaksi dan berjaga-jaga tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat
pendapatan, maka besar keinginan akan uang kas untuk transaksi dan
berjaga-jaga. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya
melakukan transaksi yang lebih banyak dibanding seseorang masyarakat yang
pendapatannya rendah.
b. Permintaan uang untuk berjaga jaga.
Setiap orang menghadapi ketidak pastian mengenai apa yang akan
terjadi pada waktu yang akan datang. Ketidakpastian ini menyebabkan orang
memegang uang tunai yang lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk
transaksi. Menurut Keynes antisipasi terhadap pengeluaran yang direncanakan
tunai lebih besar dari yang dibutuhkan untuk tujuan transaksi, yaitu untuk
tujuan berjaga jaga (precautionary). Menurutnya jumlah uang yang dipegang
untuk tujuan berjaga jaga ini tergantung dari besar penghasilan, semakin
tinggi penghasilan semakin besar pula uang yang dipegang untuk tujuan
berjaga jaga.
Oleh karena permintaan uang dengan tujuan transaksi (mt) dan berjaga jaga
(mp) ini dipengaruh oleh faktor yang sama, maka biasanya kedua variable ini
dijadikan satu menjadi permintaan uang untuk transaksi berjaga jaga (m1),
jadi dengan kata lain permintaan uang untuk berjaga jaga merupakan
penjumlahan dari permintaan uang untuk transaksi dan berjaga jaga, secara
matematis yaitu :
M1 = mt + mp c. Permintaan uang untuk tujuan spekulasi.
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi, menurut Keynes ditentukan oleh
tingkat bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin rendah keinginan
masyarakat akan uang kas untuk tujuan tujuan / motivasi spekulasi. Alasannya,
pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uas kas
(opportunity cost of holding money) makin besar / tinggi, sehingga keinginan
masyarakat akan uang kas akan makin kecil. Sebaliknya, makin rendah tingkat
bunga makin besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua,
hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga
"normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang
Menurut Keynes terjadinya inflasi disebabkan oleh permintaan agregat
sedangkan permintaan agregat ini tidak hanya karena ekspansi bank sentral,
namun dapat pula disebabkan oleh pengeluaran investasi baik oleh pemerintah,
maupun oleh swasta dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi
penerimaan (defisit anggaran belanja negara) dalam kondisi full employment.
Secara garis besar Keynes menyebutkan bahwa inflasi terjadi karena suatu
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya.
Pertumbuhan jumlah uang yang beredar yang tinggi sering menjadi
penyebab tingginya tingkat inflasi, naiknya uang yang beredar akan
menaikkan permintaan agregat (agregat demand) yang pada akhirnya jika
tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya
tingkat harga. Hal ini berarti jika pertumbuhan di sektor riil yang dicerminkan
oleh pertumbuhan GDP, maka peristiwa meningkatnya inflasi bisa
diminimalisir.
Tidak banyak berbeda dari teori Cambridge dalam hal motif uang
untuk tujuan transaksi dan berjaga jaga, yaitu dipengaruhi oleh pendapatan,
dan pengaruh yang tidak terlalu kuat dari tingkat bunga. Tetapi menjadi
pembedaan utama adalah penekanan Keynes terhadap permintaan uang untuk
motif spekulasi, yaitu pilihan untuk memegang kekayaan dalam bentuk uang
atau surat berharga, dan prilaku ini dipengaruhi oleh tingkat bunga.
Hubungan tingkat bunga dan harga surat berharga adalah sebagai berikut:
1. Jika tingkat bunga diharapkan naik maka harga surat berharga akan turun,
2. Jika tingkat bunga diharapkan turun maka harga surat berharga akan naik,
karena masyarakat akan memilih untuk memegang obligasi. (Boediono,
2000)
Dalam mekanisme permintaan uang untuk tujuan spekulasi berkisar
pada harapan tentang tingkat bunga di masa yang akan datang, dengan tujuan
untuk melindungi kekayaan maupun meraih keuntungan.
Bentuk total dari permintaan uang Keynes adalah:
Md = (kY + ∅(R,W))P
dimana ∅(R,W) adalah permintaan uang untuk motif spekulasi yang
dipengaruhi oleh tingkat bunga ( R ) dan nilai dari Asset ( W ). Dan P adalah
tingkat harga.
Teori moneter Keynes mempunyai implikasi-implikasi teoritis maupun
tingkat kebijakan yang penting dan berbeda dari teori klasik, antara lain:
1. Teori Keynes mempunyai implikasi bahwa perubahan sektor moneter bisa
mempengaruhi sektor riil melalui perubahan suplai uang bersama sama
dengan permintaan uang mempengaruhi tingkat bunga, selanjutnya
perubahan tingkat bunga mempengaruhi tingkat investasi (riil), yang
kemudian melalui proses multiplier, mempengaruhi tingkat output
masyarakat.
2. Dengan memasukkan faktor ekspektansi dan ketidakpastian, maka fungsi
permintaan uang adalah fungsi yang tidak stabil, atau berubah cepat dari
Sedangkan perbedaan pandangan antara Monetarists dan Keynesian
adalah kalangan Monetarists adalah teori yang melanjutkan teori kuantitas
uang klasik, teori mereka yang pokok adalah adanya hubungan antara
kuantitas uang dan harga harga, dimana uang beredar merupakan faktor
penentu utama tingkat harga.
Selanjutnya pandangan Monetarist tentang uang, berasal dari teori
Friedman yaitu:
1. Monetarist beranggapan bahwa jalur antara uang beredar dengan
perubahan GNP adalah langsung dan meyakinkan, tidak hanya sebatas
tingkat harga, karena dipengaruhi oleh perbedaan perekonomian,
dimana sudah mendekati full employment atau resesi.
2. Monetary Velocity ( V ) adalah sesuatu yang dapat ditaksir, dan
hubungan antara uang beredar dengan GNP adalah V = GNP/M
3. Kalangan Monetarist beranggapan bahwa kebijakan fiskal tidak begitu
perlu diperhatikan, perubahan uang beredar saja cukup untuk mengatasi
persoalan ekonomi
Sedangkan pendapat Keynesian (Neo Keynesian) tentang uang adalah
sebagai berikut:
1. Uang beredar mempengaruhi GNP dengan jalur yang kurang / tidak
langsung dan kurang meyakinkan, terutama karena anggapan bahwa V
tidak stabil dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena dalam
setiap transmisinya ke sektor riil dipengaruhi oleh tingkat bunga dan
2. Mengenai kemungkinan perubahan tingkat bunga mempengaruhi
pengeluaran agregat, maka kebijaksanaan moneter yang dibahas
keynesian memiliki asumsi sebagai berikut: terdapat pihak kreditur yang
apabila uang beredar meningkat dan jika pendapatan obligasi
dibelanjakan ke sektor riil maka secara tidak langsung kebijakan moneter
berhubungan dengan GNP.
2.3. Penawaran Uang
Penawaran Uang dalam teori moneter mempunyai arti yang sama
dengan jumlah uang yang beredar. Dua topik penting dalam pembahasan
uang beredar dalam kebijakan stabilisasi adalah:
1. Kemantapan dan keyakinan hubungan antara perubahan jumlah uang
beredar dengan perubahan total pengeluaran masyarakat. Jika hubungan
tesebut kuat dan meyakinkan maka perubahan uang beredar dapat
dijadikan indikator dari pengaruh kebijakan tersebut dalam
perekonomian.
2. Persoalan apakah otoritas moneter menetukan / mengontrol uang beredar
secara tepat
Hasil interaksi antara bank sentral, pemerintah, lembaga keuangan
bank dan non-bank dengan masyarakat sangat menentukan perubahan jumlah
Otoritas moneter adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian
moneter, fungsi otoritas moneter tersebut dilaksanakan oleh Bank Sentral
dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI), dengan fungsi fungsi:
1. Mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayar yang
sah
2. Memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa
3. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank bank.
4. Memegang kas pemerintah
Jumlah uang beredar (M1) mencakup kewajiban sistem moneter yang
terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). Uang kartal terdiri atas uang
kertas dan uang logam yang berlaku, tidak termasuk uang kas pada KPKN
dan bank umum. Uang giral terdiri atas rekening giro, kiriman uang,
simpanan berjangka, dan tabungan dalam Rupiah yang sudah jatuh tempo,
yang seluruhnya merupakan dalam rupiah pada sistem moneter. Sehingga
uang beredar ( M1 ) adalah:
M1 = C + D 2.4. Permintaan Uang Kartal di Indonesia
Secara teknis yang dihitung sebagai uang beredar adalah uang yang
benar-benar berada di tangan masyarakat. Uang yang berada di tangan bank
(bank umum dan bank sentral), serta uang kertas dan logam (uang kartal)
milik pemerintah tidak dihitung sebagai uang beredar tetapi sebagai likuiditas
Kemampuan bank umum dalam menciptakan uang giral tergantung
dari uang primer yang lebih ditentukan dan dikendalikan oleh BI. Besarnya
uang primer dapat mencerminkan arah kebijakan BI dalam mengendalikan
uang beredar. Perkembangan uang kartal disajikan melalui tabel dibawah ini :
Tabel 2-1. Uang Kartal, M1, dan M2 (dalam miliar Rupiah) di Indonesia (1970 – 2004) 1981 2.557 6.486 10.337 1982 2.934 7.121 11.695 1983 3.333 7.569 14.663 1984 3.712 8.581 17.937
1985 4.440 10.104 23.153
1986 5.338 11.677 27.661
1987 5.782 12.685 33.885
1988 6.246 14.392 41.998
1989 7.426 20.144 58.705
1990 9.094 23.819 84.630
1991 9.346 26.342 99.059
1992 11.478 28.779 119.053
1993 14.431 37.036 145.559
1994 18.637 45.622 174.319
1995 20.807 52.677 222.638
1996 22.487 64.089 288.632
1997 28.424 78.343 355.643
1998 41.394 101.197 577.381
1999 58.353 124.633 646.205
2000 72.371 162.186 747.028
2001 76.342 177.731 844.053
2002 80.686 191.939 883.908
2003 94.542 223.799 955.682
2004 109.265 243.123 1.009.456
Perkembangan jumlah permintaan uang mencerminkan ataupun
seiring dengan kemajuan perekonomian suatu negara. Peningkatan jumlah
permintaan uang disertai perubahan komposisinya adalah keadaan dimana
perekonomian suatu negara semakin maju, yaitu apabila uang kartal memiliki
persentase yang semakin meningkat terhadap M1, dan komposisi uang giral
terhadap M1 makin meningkat juga.
2.5. Pendapatan Perkapita
Pendapatan per kapita (per capita income) adalah pendapatan rata-rata
penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu, yang biasanya satu tahun.
Pendapatan per kapita bisa juga diartikan sebagai jumlah dari nilai barang dan
jasa rata-rata yang tersedia bagi setiap penduduk suatu negara pada suatu
periode tertentu. Pendapatan per kapita diperoleh dari pendapatan nasional
pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara pada tahun
tersebut.
Tolak ukur yang paling banyak dipakai untuk mengukur keberhasilan
sebuah perekonomian antara lain: pendapatan nasional, tingkat kesempatan
kerja, tingkat harga dan posisi neraca pembayaran luar negeri. Salah satu
indikator telah terjadinya alokasi yang efisien secara makro adalah nilai
output nasional yang dihasilkan sebuah perekonomian pada satu periode
tertentu, sebab besarnya output nasional dapat menunjukkan hal penting
Pertama besarnya output nasional merupakan gambaran awal seberapa
efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian (tenaga kerja, barang
modal, uang, dan kemampuan kewirausahaan) digunakan untuk memproduksi
barang dan jasa. Maka semakin besar pendapatan nasional suatu negara,
semakin baik efisiensi alokasi sumber daya ekonominya.
Kedua, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang
produktivitas dan tingkat kemakmuran suatu negara, dimana alat ukur yang
dipakai untuk mengukur kemakmuran adalah output nasional perkapita. Nilai
output perkapita diperoleh dengan cara membagi besarnya output nasional
dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan, jika angka output
pendapatan semakin besar maka tingkat kemakmuran dianggap semakin
tinggi.
Ketiga, besarnya output nasional merupakan gambaran awal tentang
masalah masalah struktural yang mendasar yang dihadapi suatu
perekonomian. Jika sebagian besar output nasional dinikmati oleh sebagian
kecil penduduk maka perekonomian tersebut mempunyai masalah dengan
distribusi pendapatannya.
Selain perhitungan pendapatan nasional, perhitungan pendapatan suatu
daerah (region) diperlukan guna mengetahui perbedaan pembangunan yang
dilaksanakan antara suatu daerah dengan daerah lainnya.
PDRB adalah jumlah seluruh nilai produk barang dan jasa yang
dihasilkan oleh unit unit produksi yang beroperasi pada suatu daerah dalam
jumlah dari pendapatan yang diterima oleh faktor faktor produksi yang
dimiliki oleh penduduk wilayah tersebut yang ikut serta dalam proses
produksi dalam jangka waktu tertentu
Hasil perhitungan PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan harga
konstan. Perhitungan atas dasar harga berlaku (current price) merupakan
jumlah seluruh barang yang dihasilkan oleh unit unit produksi didalam suatu
periode tertentu, biasanya dalam satu tahun yang dinilai dengan harga tahun
yang bersangkutan. Pada perhitungan atas harga berlaku belum
menghilangkan faktor inflasi.
Perhitungan atas dasar harga konstan (constant price) menggambarkan
perubahan volume / kuantum produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah
dihilangkan dengan cara menilai harga suatu tahun dasar tertentu. Pada
perhitungan atas dasar harga konstan ini, faktor inflasi telah dihilangkan.
Perhitungan atas dasar harga konstan berguna untuk melihat pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan atau sektoral.
Pendapatan perkapita merupakan gambaran rata rata pendapatan yang
diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi. Pendapatan
perkapita sering menjadi tolak ukur kemakmuran suatu negara atau daerah.
Pendapatan perkapita pada dasarnya mengukur emampuan dari suatu negara
untuk memperbesar output dalam laju yang lebih cepat dari pada pertumbuhan
penduduk. Tingkatan dan laju pertumbuhan pendapatan perkapita riil (yakni
tingkat inflasi) merupakan tolak ukur ekonomis yang paling sering digunakan
untuk mengukur sejauh mana kemakmuran ekonomis dari suatu negara.
Berdasarkan tolak ukur tersebut, maka akan dimungkinkan untuk
mengetahui seberapa banyak barang dan jasa riil yang tersedia bagi rata rata
penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi.
Konsep pendapatan nasional yang biasa dipakai dalam menghitung
pendapatan per kapita pada umumnya adalah Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB). Dengan demikian, pendapatan per
kapita dari suatu negara dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
PDB Tahun t
PDB per kapita =
Jumlah penduduk pada tahun t
PNB Tahun t
PNB per kapita =
Jumlah penduduk pada tahun t
2.5.1 Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita
Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan
masyarakat suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan
mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita negara yang
mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita suatunegara.
Tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per
kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga
sangat menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
Bank Dunia (World Bank) telah mengelompokkan negara-negara menjadi 5
kelompok berdasarkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
1. Kelompok Negara Berpendapatan Rendah (Low Income Economies), yaitu
negara-negara yang memiliki PNB per kapita US $ 520,00 atau kurang.
2. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Bawah (Lower – Middle
Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara
US $ 521,00 sampai US $ 1.740,00.
3. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah (Middle Economies), yaitu
negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 1.741,00
sampai US $ 2.990,00.
4. Kelompok Negara Berpendapatan Menengah Tinggi (Upper – Middle
Economies), yaitu negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara
US $ 2.991,00 sampai US $ 4.870,00.
5. Kelompok Negara Berpendapatan Tinggi (High Income Economies), yaitu
negara-negara yang mempunyai PNB per kapita antara US $ 4.871,00
2.5.2 Perbandingan per Kapita Indonesia dengan Negara lain
Pendapatan per kapita Indonesia jika dibandingkan dengan
negara-negara di Asia Tenggara, ternyata masih termasuk rendah. Untuk lebih
jelasnya, lihat tabel berikut:
Tabel 2.2. Perbandingan PNB perkapita negara negara ASEAN (1999)
Sumber: IMF World Economic Outlook, September 2000
Sementara itu, pertumbuhan PNB Riil Per Kapita di dunia dapat dilihat dari
Tabel 2.3 Pertumbuhan PNB riil per kapita
Sumber: IMF World Economic Outlook, September 2000
Berdasarkan tabel diatas, secara umum pada tahun 1998 pertumbuhan
PNB Riil Per Kapita di dunia mengalami penurunan sebagaimana halnya
Indonesia kecuali negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Jerman,
Kanada dan Perancis.
Hal ini terjadi, karena di dunia yang arus globalisasinya semakin
gencar, kejadian atau masalah yang terjadi di suatu negara atau kawasan
Pertumbuhan PNB riil per kapita di suatu negara atau di suatu
kawasan, tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi negara atau
kawasan yang bersangkutan.
2.6. Kebijakan Pengendalian Uang Beredar
Kebijakan pengendalian moneter setelah era deregulasi (1983)
didasarkan pada target moneter sebagai target antara. Target moneter yang
digunakan adalah uang beredar dalam arti sempit yaitu M1 dengan tetap
memperhatikan uang beredar dalam arti luas. Sedangkan sasaran operasional
yang digunakan adalah uang kartal. Alasan mengapa uang digunakan sebagai
target antara selain indikator tingkat bunga, adalah karena alasan historis.
Sebagaimana kita tahu bahwa pada awal orde baru (1969) situasi ekonomi
berada pada kondisi hiperinflasi, dalam keadaan demikian keterkaitan antara
uang (ekspansi moneter) dengan inflasi sangat menonjol.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian
moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja.
Sejak 1983 BI telah mengeluarkan piranti kebijakan moneter, yaitu :
a. Operasi Pasar Terbuka
Bank Indonesia menggunakan instrumen Operasi Pasar Terbuka
(OPT) untuk mempengaruhi likuiditas di pasar uang guna memelihara
kestabilan rupiah, diantaranya dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI), yaitu surat berharga yang diterbitkan BI sebagai pengakuan hutang
kepada Bank, dapat juga dibeli masyarakat luas melalui perantaraan
perusahaan pialang pasar uang / pasar modal.
b. Penetapan Tingkat Diskonto
Di dalam perkembangannya melaksanakan kebijakan moneter, BI
untuk sementara waktu meniadakan fasilitas diskonto, yaitu pada pertengahan
tahun 1998 diikuti dengan peniadaan sementara transaksi Surat Berharga
Pasar Uang. Dengan demikian walaupun tidak secara resmi diumumkan
bahwa bunga SBI sebagai patokan suku bunga dalam negeri, namun telah
secara efektif menjadi acuan tingkat suku bunga dalam negeri. Sejak tahun
1987 penetapan tingkat diskonto tidak lagi merupakan keputusan bank
Indonesia, melainkan berdasarkan mekanisme pasar melalui proses lelang,
sehingga tingkat diskonto yang terjadi merupakan cerminan kondisi pasar
uang yang ada. Penetapan tingkat diskonto dilakukan dengan
mempertimbangkan kebutuhan pengendalian moneter.
c. Penentuan Giro Wajib Minimum
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva
lancar yang besarnya adalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Jika
rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank menyalurkan
kreditnya akan lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya. Giro Wajib
Minimum ditetapkan BI atas bank-bank umum sebagai upaya mempengaruhi
kemampuan Bank untuk menyalurkan aktiva produktifnya. Dalam kurun
Minimum (GWM), sementara pada tahun sebelum Pakto 1988, adalah sebesar
15%.
Kemampuan bank-bank umum dalam menghimpun dana pihak ketiga
(DPK), harus mampu dicadangkan sebesar persentase tertentu di Bank
Indonesia melalui ketentuan GWM. Besarnya GWM ataupun reserve
requrement (RR) berhasil dihimpun bank-bank umum.
2.7. Kebijakan Inflasi
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan sejumlah
bank-bank sentral di dunia menggunakan inflation targeting dalam rangka
kebijakan moneter sebagai rasa ketidakpuasan terhadap penggunaan
besaran-besaran moneter ataupun exchange rate targeting. Inflation targeting adalah
strategi kebijakan moneter yang bersifat forward looking dengan
memfokuskan secara langsung pada kestabilan harga atau inflasi yang rendah
sebagai sasaran tunggal akhir (Debelle dan Lim, 1998). Umumnya strategi
pencapaian tersebut dilakukan melalui transmisi besaran-besaran harga (price
targeting), seperti suku bunga dan nilai tukar. Salah satu alasan pertimbangan
penggunaan strategi kebijakan moneter ini adalah karena melemahnya
hubungan antara besaran-besaran moneter (monetary aggregates), sehingga
mempersulit dalam pencapaiaan sasaran akhir. Globalisasi perekonomian
dunia, inovasi produk-produk keuangan, sekuritisasi aset serta decoupling
antara sektor keuangan dan sektor riil merupakan faktor yang melatar
Pertimbangan lainnya adalah karena terdapatnya kesulitan dalam
mencapai sasaran akhir ganda (multiple targets) dalam waktu bersamaan
karena terdapatnya tradeoff antara masing-masing sasaran ganda tersebut.
Pengalaman Indonesia dan beberapa negara yang menggunakan sasaran ganda
menunjukkan bahwa banyak kendala ditemukan untuk mencapai semua
sasaran akhir tersebut secara optimal pada saat bersamaan, sehubungan
dengan adanya sifat kontradiktif diantara sasaran akhir tersebut. Sebagai
contoh, apabila Bank Sentral melakukan ekspansi moneter untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, maka tindakan tersebut akan memberikan dampak
yang tidak menguntungkan terhadap laju inflasi dan keseimbangan neraca
pembayaran. Sebaliknya, apabila otoritas moneter ingin mengetatkan
kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan laju inflasi maka hal tersebut
akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
pengangguran.
Trade off tersebut merupakan phenomena umum sebagaimana
dikemukakan dalam teori Phillips, yang dijelaskan dalam Phillips Curve.
Pertimbangan lain adalah dengan penetapan sasaran tunggal inflasi maka
dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter, sehingga dapat
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam memerangi
inflasi. Laju inflasi yang tinggi tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat
tetapi juga dapat mengganggu kestabilan ekonomi makro lainnya, seperti
mengganggu keseimbangan neraca pembayaran dan memperlemah nilai tukar
menggunakan sasaran akhir tunggal dalam kebijakan moneternya, seperti
Selandia Baru, Kanada, Australia, Swedia, Spanyol dan Inggris. Stanley
Fischer dalam Gali (2004), Deputy Managing Director IMF, menyatakan
bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi sasaran utama kebijakan moneter
bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi laju
inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengkuti pertumbuhan
naturalnya.
Sementara Bernanke dan Mishkin (1997) dan Masson (1998)
mengemukakan beberapa motivasi dari banyaknya beberapa negara-negara
pada akhir-akhir ini menggunakan inflasi sebagai sasaran tunggal, dapat
disarikan sebagai berikut:
a. Penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal dapat digunakan sebagai nominal
anchor dalam kebijakan moneter untuk meyakinkan masyarakat bahwa
bank sentral akan melaksanakan kebijakan moneter secara disiplin dan
konsisten.
b. Adanya suatu preposisi dalam teori makroekonomi yang mengemukakan
bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
efisiensi dalam jangka panjang.
c. Uang bersifat netral dalam jangka menengah dan panjang sehingga
peningkatan jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga,
d. Mahalnya biaya inflasi yang tinggi, khususnya dalam kaitan dengan alokasi
sumber daya atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang atau
keduanya.
e. Pengaruh kebijakan moneter terhadap inflasi memerlukan lag yang sulit
diprediksikan dan bervariasi pengaruhnya.
Pengalaman beberapa negara, seperti Selandia Baru, Canada, Spanyol,
Swedia dan Inggris menunjukkan bahwa setelah negara-negara tersebut
menetapkan inflasi sebagai sasaran tunggal, laju inflasi dapat dikendalikan
pada level yang cukup rendah. Namun dalam jangka pendek terdapat tradeoff
antara penurunan inflasi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Sementara
itu, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berada pada tingkat yang
sustainable.
2.8. Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
Dalam hal nilai tukar, Bank Indonesia (BI) melaksanakan kebijakan
nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan presiden.
Fungsi BI dalam hal ini adalah hanya sebatas memberi usulan kepada
pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah
ditetapkan pemerintah. Usulan BI kepada pemerintah berdasarkan tugasnya
dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar antara lain dapat berupa :
1. Dalam sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau revaluasi terhadap
mata uang asing.
2. Dalam sistem nilai tukar mengambang berupa usaha untuk tetap
3. Dalam nilai tukar mengambang terkendali berupa penetapan nilai tukar
harian serta lebar pita intervensi.
Dalam UU No. 24 tahun 1999 pasal tentang lalu lintas devisa dan
sistem nilai tukar, disebutkan bahwa BI menggunakan sistem nilai tukar yang
ditetapkan pemerintah. Dalam kurun waktu 1984 – 1997, kebijakan nilai tukar
yang dianut oleh BI penggunaan batas fluktuasi rupiah dengan batas atas dan
batas bawah disebut juga dengan sistem kurs terbatas. Kemudian pada tanggal
14 Agustus 1997, BI akhirnya melepaskan pita intervensinya setelah pada
tanggal 11 Agustus 1997 dilakukan lebih dari dua kali intervensi.
Kebijakan pengendalian kurs berdasarkan mekanisme pasar yang
disebut sistem kurs mengambang (free floating rate) merupakan suatu sejarah
baru dalam kebijakan moneter.
Dalam kurun waktu sebelum periode krisis, BI tetap mengupayakan
tingkat depresiasi sebesar 4% untuk meningkatkan daya saing ekspornya
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendorong pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan. Inflasi yang terjadi di Indonesia akibat jatuhnya
nilai tukar rupiah, adalah keadaan dimana kelangkaan Dollar AS
menyebabkan rupiah diperdagangkan dengan harga yang jauh lebih murah,
artinya dalam konsep perdagangan internasional, harga barang impor menjadi
lebih mahal, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun produksi dalam negeri,
sebaliknya terjadi kenaikan ekspor. Kedua hal di atas dapat menimbulkan
inflasi dalam negeri karena hubungannya terhadap peningkatan pertumbuhan
Indonesia menggunakan import content yang tinggi, maka semakin banyak
dibutuhkan rupiah untuk membeli kebutuhan produksinya, untuk kemudian
menaikkan harga barang akibat kenaikan biaya produksinya. Bagi eksportir
rendahnya nilai rupiah membuat penghasilannya meningkat jika harga 1 unit
barang yang dijual dalam bentuk Dollar AS, kemudian kelebihan penghasilan
tersebut dibelanjakan di dalam negeri, sehingga uang beredar bertambah dan
akhirnya menaikkan tingkat inflasi (Salvatore dalam Khalwaty, 2000).
Kurs rupiah yang sempat menembus angka Rp. 16.000 per US. Dollar
adalah ekspresi kepanikan sektor keuangan Indonesia, kemudian menjalar
kepada kepanikan dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Ekspektasi negatif
yang diterima masyarakat baik dalam dan luar negeri terhadap kondisi
moneter Indonesia, sedaya upaya dibendung oleh BI dalam upayanya menjaga
dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
Kondisi krisis nilai tukar yang tidak stabil di atas adalah keadaan
dimana krisis moneter tidak hanya menyebabkan krisis ekonomi tetapi
berimbas kepada krisis politik dan kepercayaan. Jika dilihat dari usaha BI
untuk menstabilkan nilai rupiah mulai menunjukkan hasil dimana pada tahun
2002 kurs rupiah berada pada posisi Rp. 8900/US. Dollar, untuk selanjutnya
stabil pada kisaran Rp. 8000 hingga Rp. 8.900 per US. Dollar.
2.9. Kebijakan Suku Bunga di Indonesia
Kebijakan moneter dalam sistem nilai tukar Rupiah yang fleksibel
secara teori memerlukan sensivitas yang tinggi antara suku bunga domestik
tukar Rupiah dengan suku bunga serta elatisitas yang tinggi antara perubahan
nilai tukar Rupiah dengan penawaran ekspor dan permintaan impor. Selain
itu, nilai tukar Rupiah yang fleksibel dan stabil juga harus tetap dijaga agar
tidak memberikan tekanan pada harga-harga domestik.
Oleh karena suku bunga tampak memegang peranan vital dalam
pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel, maka
pendekatan pengendalian moneter diusulkan untuk menggunakan suku bunga
sebagai sasaran operasional dengan inflasi sebagai sasaran tunggal. Suku
bunga sebagai sasaran operasional akan diuji transmisinya secara detail mulai
dari suku bunga overnight, suku bunga deposito, suku bunga SBI lelang, dan
suku bunga kredit.
Perkembangan nilai tukar rupiah yang relatif stabil, trend penurunan
inflasi yang terus berlangsung, dan uang primer yang terkendali di bawah
target indikatifnya tersebut, telah memberikan ruang gerak bagi Bank
Indonesia untuk memberikan sinyal penurunan suku bunga secara bertahap
antara lain guna mempercepat proses pemulihan ekonomi.
2.10. Penelitian Sebelumnya
Ada beberapa peneliti yang telah meneliti mengenai permintaan uang,
antara lain:
1. Insukindro (1998)
Disimpulkan bahwa uang berfungsi sebagai stok penyangga atau persediaan,
karena dia diharapkan dapat menghilangkan kesenjangan yang tidak dapat
saat mereka menerima pendapatan dan saat mereka membelanjakan, serta cara
yang digunakan dalam transaksi tersebut (tunai, atau kredit). Kesenjangan ini
dapat disebabkan oleh adanya shock baik dari sisi permintaan maupun sisi
penawaran atau keduanya, dan kecepatan pelaku ekonomi dalam melakukan
penyesuaian penyesuaian. Dalam kondisi semacam ini, masyarakat
memegang uang kartal bukan hanya untuk tujuan bertransaksi, tetapi lebih
kepada untuk berjaga jaga, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk
motif spekulasi.
2. Aliman (1998)
Disimpulkan bahwa lebih banyaknya variabel tingkat pendapatan nasional
yang mempunyai pengaruh lebih kuat dan lebih segera dibandingkan dengan
pengaruh sebaliknya baik di Indonesia dan di Thailand (kecuali untuk M2
dengan tingkat pendapatan nasional di Indonesia dan M1 dengan tingkat
pendapatan nasional di Thailand). Apabila ada penambahan jumlah uang
beredar, apakah M0, M1, M2 baru akan menaikkan tingkat pendapatan
nasional setelah melalui proses multiplier dalam jangka waktu yang relatif
lama. Dilain pihak adanya kenaikan tingkat pendapatan nasional dalam waktu
yang relatif tidak lama akan menuntut penambahan jumlah uang yang beredar
lebih segera, karena tingkat pendapatan nasional yang tidak lain output
nasional, kalau mengalami kenaikan dengan tanpa diimbangi dengan
penambahan jumlah uang beredar, harga harga akan turun, dan hal ini akan
menyebabkan pelaku ekonomi menjadi kurang bergairah karena revenue nya
3. Maravic dan Palic (2005)
Disimpulkan bahwa untuk jangka panjang dan jangka pendek fungsi
permintaan uang sangat spesifik, tetapi permintaan uang tidak stabil selama
periode observasi, mencapai titik stabil pada periode pertengahan 2002.
Permintaan uang masih sangat dipengaruhi oleh expected inflasi. Pembayaran
suku bunga jangka pendek merupakan trasaksi deposit yang sangat liquid.
4. Sterken (1999)
Disimpulkan dari vektor kointegrasi jangka panjang bahwa elastisitas income
melebihi elastisitas unit, hal ini disebabkan sistem perekonomian yang
terpusat dan adanya kegiatan black market. Sebuah kenaikan satu persen pada
harga makanan atas harga barang yang bukan makanan akan mengakibatkan
0,2 persen kenaikan penyimpanan uang kontan perkapita. Untuk
mengimbanginya pihak otoritas moneter di Ethopia selama masa kelaparan
meningkatkatan supply uang kartal. Meningkatnya supply dan demand uang
kartal tidak menimbulkan inflasi pada masa kelaparan di Ethopia
5. Santoso et al. (1999)
Beralihnya sistem nilai tukar rupiah dari sistem mengambang terkendali
(managed floating exchange rate) ke sistem nilai tukar mengambang penuh
(floating exchange rate) memberikan dampak terhadap kebijakan moneter di
Indonesia. Nilai tukar yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu nominal
anchor dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tidak berlangsung
Indonesia, nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap arus lalu lintas modal
internasional yang bergerak sedemikian dinamis.
Pasar keuangan yang berkembang pesat sebagai imbas keterbukaan
tersebut telah mendorong ketidak stabilan permintaan akan uang sehingga
telah mengurangi efektivitas kebijakan moneter dengan pendekatan kuantitas.
Ketidakstabilan permintaan uang tersebut antara lain disebabkan pesatnya
perkembangan produk-produk keuangan dan terjadinya decoupling antara
sektor keuangan dan sektor riil dimana uang bukan hanya sebagai alat
transaksi tetapi juga sebagai barang yang diperdagangkan.
Pengujian empiris dengan menggunakan vector autoregression dan
Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan moneter
dengan inflation targeting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah era
sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka inflation
targeting dapat dilakukan dengan menggunakan sukubunga PUAB overnight
sebagai kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara,
sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal.
Sementara penggunaan MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan
secara kaku (policy rules) tetapi dimungkinkan terjadinya discretionary policy
sepanjang shock terhadap inflasi dan nilai tukar berasal dari supply shock dan
bersifat sementara. Disamping itu, masih kuatnya hubungan langsung antara
monetary aggregates dengan inflasi maka pengalihan kebijakan moneter dari
Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai variabel indikator untuk
mendeteksi tekanan terhadap inflasi.
2.11. Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka Pemikiran perlu dijelaskan secara teoritis antara
variabel independen dan variabel dependen. Dengan demikian maka
kerangka pemikiran penulis dari penelitian ini adalah Permintaan uang Kartal
(sebagai dependent variable) dipengaruhi oleh inflasi, pendapatan per kapita,
kurs, dan suku bunga (sebagai independent variable)
PENDAPATAN PER KAPITA
( + )
INFLASI
( + ) PERMINTAAN UANG
KARTAL
KURS ( + )
SUKU BUNGA ( - )
2.12. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara ataupun kesimpulan
sementara untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian.
Berdasarkan teori dan permasalahan sebelumnya, maka dibuatlah
hipotesis sebagai berikut:
1. Kenaikan Pendapatan Perkapita mempunyai pengaruh positif terhadap
jumlah permintaan uang kartal di Indonesia.
2. Tingkat inflasi mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah permintaan
uang kartal di Indonesia.
3. Kurs Mata Uang Rupiah terhadap Dollar AS mempunyai pengaruh yang
positif terhadap jumlah permintaan uang kartal di Indonesia.
4. Suku bunga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh faktor faktor sebagai
berikut Pendapatan Perkapita, Inflasi, Kurs dan tingkat bunga bank terhadap
permintaan uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970 – 2004, dengan
mengambil data tahunan.
3.2. Sumber data
Dalam penyusunan tesis ini penulis mengadakan serangkaian
penelitian guna mendapatkan data yang diperlukan. Adapun data yang
digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research) yaitu dengan cara melakukan pencatatan data
yang sudah ada dan didapat dari sumber yang terpercaya seperti Bank
Indonesia, dan Badan Pusat Statistik Indonesia.
3.3. Model Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan regresi linear berganda, karena penelitian ini dirancang untuk
meneliti pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Metode
Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Permintaan Uang Kartal di
Indonesia dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:
UKR = f (PDB, INF, ER, IR) ….……….……… (1)
Dan dari persamaan (1) dispesifikasikan kedalam model
ekonometrika dalam bentuk model logaritma - linear :
Ln UKR = α + β1 LnPDB + β2 LnINF + β3 LnER - β4 LnIR + μ
Dimana:
UKR = jumlah uang kartal beredar per tahun (miliar rupiah)
α = intercept
PDB = tingkatan pendapatan perkapita (juta rupiah)
INF = tingkat inflasi (persen)
ER = Kurs (Rupiah)
IR = tingkat suku bunga (persen)
β1, β2,...dst. = koefisien regresi
μ = error term
3.4. Uji Diagnosis
3.4.1. Uji Kesesuaian (Test of Goodeness of Fit) a. Uji Parsial (uji – t)
Uji Parsial digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh positif dan
b. Uji F Hitung
Uji F hitung statistik digunakan untuk melihat secara bersama sama
apakah ada pengaruh positif dan signifikan variabel bebas terhadap variabel
terikat .
c. Uji Determinasi (R2)
Uji ini bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar variasi dari
variabel terikat dapat diterangkan oleh variable bebas. Apabila R2 = 0, artinya
variasi dari variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas sama
sekali. Sementara apabila R2=1, artinya variasi dari variabel terikat dapat
diterangkan 100% oleh variabel bebas. Dengan demikian model regresi akan
ditentukan oleh R2 yang nilainya antara nol dan satu.
3.4.2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolinieritas
Salah satu asumsi regresi linear klasik adalah tidak adanya
multikolinearitas sempurna (no perfect multicolinearity). Ada tiga hal yang
perlu dibahas terlebih dahulu dalam multikolinearitas (Sumodinongrat, 1994)
: (1) multikolinearitas pada hakekatnya adalah fenomena sample. (2)
multikolinearitas adalah persoalan derajat bukan persoalan jenis. (3) masalah
multikolinearitas hanya berkaitan dengan adanya hubungan liniear di antara
Pengujian ini untuk mendeteksi multikolinearitas dengan cara melihat
gejala – gejala yang biasa dipakai untuk melihat adanya multikolinearitas
yaitu antara lain dengan melihat koefisien determinasi (R2). Multikolinearitas
terjadi apabila nilai Fhitung terhadap Ftabel tinggi tetapi tidak semua koefisien
regresi signifikan. Apabila R2 tinggi yaitu 0,7 sampai 1 maka antara variabel
independen yang berkorelasi mungkin terjadi multikolinearitas.
b. Uji Otokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time
series. Sehingga terdapat saling ketergantungan antara faktor pengganggu
yang berhubungan dengan observasi yang dipengaruhi oleh unsur gangguan
yang berhubungan dengan pengamatan lainnya. Oleh karena itu masalah
autokorelasi biasanya muncul dalam data time series, meskipun tidak menutup
kemungkinan terjadi dalam data cross sectional.
Uji untuk melihat autokorelasi dapat dilakukan dengan uji
Durbin-Watson Test ataupun dengan uji Lagrange Multiplier Test (LM-Test).
Namun uji DW Test tidak bisa diterapkan terhadap model regresi yang
mempunyai nilai kelambanan (lag) dari variabel tak bebas. Dengan
membandingkan nilai X2hitung dengan X2tabel dinyatakan penilaian:
• Jika nilai X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
• Jika nilai X2hitung < X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
ada masalah autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak
dapat ditolak
3.5. Batasan Operasional
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang
digunakan dalam penelitian ini maka, perlu diberikan batasan operasional
sebagai berikut:
1. Uang Kartal (UKR) adalah uang kertas dan uang logam yang di edarkan
oleh Bank Indonesia dan dinyatakan dalam miliar Rupiah
2. Pendapatan Perkapita (PDB) adalah tingkat Pendapatan Domestik Bruto
tahunan berdasarkan harga konstan tahun 1993 dan 2003 dan dinyatakan
dalam juta Rupiah
3. Inflasi (INF) adalah adalah kecenderungan harga naik secara umum dan
terus menerus untuk penelitian ini data diambil dari Indeks harga
konsumen (dalam persen)
4. Nilai Tukar (ER) adalah nilai tukar mata uang Rupiah per satu satuan
dollar AS, dan dinyatakan dalam Rupiah.
5. Suku Bunga (IR) adalah tingkat suku bunga deposito selama 12 bulan,
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Uang Kartal Di Indonesia
4.1.1. Perkembangan Uang Kartal
Perkembangan permintaan Uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970
hingga tahun 2004 secara rata rata adalah 20,521 miliar Rupiah pertahun,
tetapi perkembangan ini tidaklah secara merata mengalami kenaikan,
melainkan diawali dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998.
Permintaan uang kartal kembali mulai naik secara wajar pada tahun 2000,
2001, dan 2002, dan melonjak lagi pada tahun 2003 dan 2004. Permintaan
uang kartal untuk periode 1970 – 2004 terbesar pada tahun 2004 sebesar
19265 miliar rupiah, dan terkecil pada tahun 1970 sebesar 155 miliar rupiah.
Kenaikan jumlah permintaan uang kartal di Indonesia pada umumnya
disebabkan dua faktor. Pertama, musim lebaran yang setiap tahun
menunjukkan peningkatan kebutuhan uang kartal dari masyarakat. Kedua,
kenaikan harga bahan bakar minyak yang juga menyumbang peningkatan
kebutuhan uang kartal.
Perkembangan permintaan uang kartal di Indonesia sejak tahun 1970 hingga
tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:
0
Gambar 4.1. Permintaan Uang Kartal Di Indonesia Sumber: Bank Indonesia
4.1.2. Pendapatan Perkapita
Perhitungan PDB dapat memberikan gambaran ringkas tentang tingkat
kemakmuran suatau negara atau tingkat kesejahteraan sosial masyarakat,
semakin berkembangnya PDB, sektor riil akan berkembang, Sebelum krisis
ekonomi (1970-1997) pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat berfluktuasi
dengan kecenderungan menaikkan, selama periode tersebut Pertumbuhan
rata-rata mencapai 6,58 %, kondisi paling buruk dialami yaitu masa krisis Tahun
1982 sampai tahun 1985 pertumbuhan ekonomi rendah disebab kan oleh
melemahnya perekonomian dunia disebabkan resesi dunia sehingga
permintaan terhadap ekspor Indonesia menurun, penurunan yang besar ini
ekonomi semakin merosot dan pada tahun 1998 terjadi krisis ekomi dan
inflasi sampai 58 % yang melemahkan hampir setiap kegiatan perekonomian
Indonesia mencapai -13,13 %. Periode 1999-2004 pertumbuhan ekonomi
semakin meningkat, dan pertumbuhan dan sampai mulai pertumbuhan
ekonomi semakin meningkat mencapai rata-rata 3,99 %.). Perkembangan
PDB riil Indonesia dilihat dari pertahunnya yaitu: Selama tahun 2000-2004
meningkat secara representatif, dimana pada tahun 2002 meningkat sebesar
3,64 persen dibandingkan tahun 2001. Pertumbuhan ini terjadi pada sektor
pertanian, sektor pertambangan-penggalian, sektor perdagangan, sektor
pengangkutan dan sektor keuangan-persewaan-jasa perusahaan, untuk tahun .
2003 meningkat sebesar 3,48 persen dibandingkan tahun 2002. Pertumbuhan
ini terjadi pada sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan,
sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Tahun 2003-2004 hampir semua
komponen PDB mengalami peningkatkan terutama komponen investasi fisik,
Perkembangan Pendapatan Perkapita (PDB) di Indonesia sejak tahun 1970
hingga tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut:
0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000
1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 199 1
1994 1997 2000 2003 Tahun
Miliar Ru
piah
Gambar 4.2. Perkembangan PDB Indonesia Sumber: Bank Indonesia
4.1.3. Inflasi
Sebelum krisis ekonomi (1970-1997) pertumbuhan ekonomi Indonesia
sangat berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat,
Tahun 1998 tingkat inflasi tercatat cukup tinggi karena adanya Cost
Push Inflation. Industri yang berkembang di Indonesia ternyata berdampak
karena katergantungan sektor industri pada bahan baku impor, melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar yang pernah mencapai Rp. 15.000 per 1 US$
pada tahun 1998 menyebabkan harga bahan baku import meningkat sehingga
mempengaruhi harga-harga dalam negeri. Demikian juga pasca krisis 1997,
daya beli masyarakat mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan inflasi
tercatat relatif rendah dibandingkan pada saat periode krisis yang lalu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan drastis pada tahun
1998-1999 merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem
perekonomian Indonesia.
Tingginya tingkat suku bunga telah mengakibatkan tingginya biaya
modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosotnya
kemampuan usaha sektor produksi. Sebagai akibatnya kualitas aset perbankan
turun secara drastis sementara sistem perbankan diwajibkan untuk terus
memberikan imbalan kepada depositor sesuai dengan tingkat suku bunga pasar.
Rendahnya kemampuan daya saing usaha pada sektor produksi telah pula
menyebabkan berkurangnya peran sistem perbankan secara umum untuk
menjalankan fungsinya sebagai intermediator kegiatan investasi.,melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar yang pernah mencapai Rp. 15.000 per 1 US$
pada tahun 1998 menyebabkan harga bahan baku import meningkat sehingga
mempengaruhi harga-harga dalam negeri. Krisis ekonomi dan moneter
merupakan suatu pukulan yang sangat berat bagi sistem perekonomian
Indonesia. Dalam periode tersebut, banyak lembaga-lembaga keuangan,
termasuk perbankan, mengalami kesulitan keuangan. Tingginya tingkat suku
bunga telah mengakibatkan tingginya biaya modal bagi sektor usaha yang pada