HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK
LAMPUNG
Oleh
MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RELATIONSHIP BETWEEN THE DEGREE OF SEVERITY ATOPIC DERMATITIS WITH QUALITY OF LIFE PATIENTS IN ABDUL MOELOEK
HOSPITAL LAMPUNG
MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS
ABSTRACT
Atopic dermatitis is a chronic inflammatory skin diseases, recurrent that related to atopic symptoms such as allergic rhinitis , allergic conjunctivitis and bronchial asthma. Atopic dermatitis is a health problem that can affect the patient's quality of life . Quality of life is an individual perception about their position in life in the context of culture and value systems where they live and in relation to their goals, expectations, standards and concerns.
The purpose of this study was to determine the relationship of the severity of atopic dermatitis with quality of life in patients in Abdul Moeloek Hospital of Lampung Province. This research used observational analytic cross sectional approach with amount of sample is 46 people. This research was conducted at the General Hospital Abdul Moeloek Lampung Province. Getting data was started from November to December 2013, until the number of sample was collected. Based on this research, average score severity of atopic dermatitis patients in Abdul Moeloek Hospital of Lampung is 40.26 and quality of life is 10.41. There is relation between the severity with quality of life in dermatitis atopic patient, p value is <0,05.
HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN DI RSUD ABDUL MOELOEK
LAMPUNG
MUHAMMAD ADIN ARCHIETOBIAS
ABSTRAK
Dermatitis Atopik merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang yang berhubungan dengan simptom atopik lain seperti rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan asma bronkial. Dermatitis atopik masih menjadi masalah kesehatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 46 orang. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pengambilan data dimulai dari November hingga Desember 2013, sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.
Dari penelitian ini diperoleh hasil rerata skor tingkat keparahan pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 40,26 dan rerata skor kualitas hidup pasien sebesar 10,41. Didapatkan hubungan yang bermakna antar tingkat keparahan dengan kualitas hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek.
i DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR DIAGRAM ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
DAFTAR BAGAN ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1 Tujuan Umum ... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Kerangka Teori ... 5
1.6 Kerangka Konsep... 5
1.7 Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik ... 7
2.1.1 Etiopatogenesis ... 15
2.1.2 Gambaran Klinis ... 19
2.1.3 Diagnosis... 21
ii
2.2.1 Komponen Kualitas Hidup ... 30
2.2.2 Pengukuran Kualitas Hidup ... 31
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 33
3.2 Desain Penelitian ... 33
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33
3.4 Subyek Penelitian ... 33
3.5 Variabel Penelitian... 35
3.6 Definisi Operasional ... 36
3.7 Cara Pengumpulan Data ... 36
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 39
3.8 Ethical Clearence ... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 40
4.1.1 Karakteristik Responden ... 40
4.1.2 Analisis Univariat ... 41
4.1.2.1 Tingkat Keparahan ... 41
4.1.2.2 Kualitas Hidup ... 42
vii DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
iii DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1Definisi Operasional ... 36
4.1Karakteristik Responden ... 40
4.2Skor Tingkat Keparahan Dermatitis Atopik ... 41
4.3Skor Kualitas Hidup Dermatitis Atopik ... 42
v DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Tabel Penentuan Jumlah Sampel dari Populasi Tertentu ... 53
2. Lembar Penjelasan ... 54
3. Lembar Informed Consent ... 55
4. Kuesioner Penelitian ... 56
5. Kuesioner DLQI ... 58
6. Kuesioner SCORAD ... 60
7. Hasil Pengolahan SPSS ... 61
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, berulang yang berhubungan dengan simptom atopik lain seperti rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan asma bronkial. Dermatitis atopik biasa mulai sebelum usia dua tahun dan merupakan simptom atopik pertama yang menunjukan tanda klinis. Kelainan kulit pada DA ditandai dengan papul, kadang vesikel yang gatal, kemudian dapat menjadi eksoriasi dan likenifikasi, serta predileksi yang khas (Patrick, 2008).
World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) mendefinisikan bahwa kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisi mereka dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan serta perhatian mereka. Hal ini merupakan konsep tingkatan yang terangkum secara kompleks mencakup kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan mereka kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 1997).
Penelitian Monti, dkk tahun 2011 di Italia menyebutkan ada hubungan kuat antara keparahan DA dan kualitas hidup. Penelitian Aziah, dkk tahun 2002 juga menerangkan bahwa pasien dan keluarga yang menderita DA sedang dan berat memiliki dampak yang lebih besar dalam kualitas hidup dibandingkan dengan DA ringan (Aziah, et al., 2002; Monti, et al., 2011). Penelitian Chamlin, dkk tahun 2004 juga menunjukkan bahwa Dermatitis atopik sangat mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini merupakan kerangka konseptual yang komprehensif merangkum cara di mana dermatitis atopik mempengaruhi kualitas hidup. Hasil penelitian Chamlin ini mendorong untuk mengembangkan kerengka konsep instrumen kualitas hidup (Chamlin, et al., 2004).
Prevalensi penyakit dermatitis atopik di Bandar Lampung pada tahun 2011
adalah 3252 penderita baru dan 557 penderita lama dari 16542 penderita
penyakit kulit dan jaringan. Sedangkan prevalensi penyakit dermatitis atopik
penderita lama dari 45254 penderita penyakit kulit dan jaringan. Dilihat dari
data tersebut, dermatitis atopik adalah dermatitis kedua terbanyak yang sering
diderita masyarakat Bandar Lampung (Data dinas Kesehatan Kota Bandar
Lampung, 2012-1013).
Berdasarkan data perevalensi yang cukup tinggi dan penelitian sebelumnya tentang dermatitis atopik dari berbagai negara serta anjuran dari WHO untuk meneliti tingkat kualitas hidup dari setiap penyakit , maka penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan antara tingkat keparahan Dermatitis Atopik dengan Kualitas Hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung“.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat keparahan Dermatitis Atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menggambarkan Tingkat Keparahan pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung.
3. Mencari hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kualitas hidup pada pasien di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : a. Bagi Penulis
Menambah pengalaman penulis dalam melakukan penelitian mengenai hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik terhadap kualitas hidup penderitanya
b. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi bagi masyarakat mengenai hubungan tingkat keparahan dermatitis atopik terhadap kualitas hidup mereka
c. Bagi Pendidikan
1.5 Kerangka Teori
Bagan 1. Kerangka Teori
\
1.6 Kerangka Konsep
Bagan 2. Kerangka Konsep
Emosional
Pekerjaan
atau
Pendidikan
Aktivitas
Rekreasi
Kehidupan
Sosial
Kualitas
Hidup
Independent Variabel Dependent Variabel
Tingkat Keparahan Dermatitis Atopik
Kualitas Hidup Tingkat Keparahan
1.7Hipotesis
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu penyakit keradangan kulit kronik, ditandai rasa gatal, eritema, vesikel dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya.(Nurul, et al.2009).
Gambar 1. Dermatitis Atopik (Williams, 2005)
dan Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 (Kuster, et al., 1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onsetdermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memilikitanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik (Illi et al., 2004 dalam Bieber, 2008). Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tandasensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dan Bieber, 2003 dalam Bieber, 2008).
dengan “hygiene hypothesis”, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006 dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al., 2005 dalam Bieber, 2008).
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, alergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).
a. Faktor Endogen 1. Sawar kulit
dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009). Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah (Boediardja, 2006). 2. Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2006): Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans
Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting
cells (APC) atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE
(FcεRI). Selain itu ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T.
Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap
banyak alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4
Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel
T, serta jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE.
Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai
penemuan para peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme : Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi 5, 9, 10,
IL-13.
Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan
granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2.
Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain
IL-8, IL-10, IL-12, GM- CSF danregulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES).
Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA :
IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan
menghambat produksi IgE.
Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN-
bersama-sama dengan peningkatan IL-12. Eosinofil pada lesi DA fase akut :
Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper
(ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil dan sel inflamasi lainnya.
IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan
kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12
penyandi reseptor α sel T (TCRα) dan gen 11q1γ penyandi reseptor subunit reseptor subunit IgE (FcεRI ).
Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme
tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25).
3. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN- , dan peningkatan IL-4. Produksi IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi
IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test) (Boediardja, 2006).
4. Faktor psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).
b. Faktor eksogen 1. Iritan
gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).
2. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:
Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal
tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik) (Boediardja, 2006).
Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT) (Boediardja, 2006).
Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi
meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi
TNF-α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).
3. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2006).
2.1.1 Etiopatogenesis
Menurut Tanjung tahun 2012 dermatitis atopik ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik.
a. Faktor Genetik
(granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi
tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel mas kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko genetik DA.
b. Respons imun pada kulit
Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui
reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcεRI,
II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN- , TNF, IL-2 dan 17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Pada pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL
dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil.
Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro
c. Respons sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut : - Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat. - Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat. - Respons hipersensitivitas lambat terganggu
- Eosinofilia
- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat - Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2
d. Sawar kulit
Umumnya penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat kadar lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skin capacitance (kemampuan stratum korneum meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan sensasi untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengansegala akibat-akibatnya.
e. Faktor lingkungan
makanan yang menyebabkan alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa sea food dan kacang-kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus DA, suhu udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara tiba-tiba dapat menjadi masalah bagi penderita DA. Hubungan psikis dan penyakit DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan (seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit.
2.1.2 Gambaran Klinis
ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak.
DA pada anak (2 – 10 tahun)
Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo). Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan.
DA pada remaja dan dewasa
perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus. Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderung membaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecil sampai tua. Berbagai kelainan kulit dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor) (Tanjung, 2012).
2.1.3 Diagnosis
Berbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris dikoordinasi oleh William. Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.
Kriteria Mayor : - Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak - Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria Minor - Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks) - Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermatografism dan delayed blanched response - Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie – Morgan - Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior - Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritema - Gatal bila berkeringat - Intolerans perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi - Tes alergi kulit tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat - Awitan pada usia dini
2.1.4. Tingkat keparahan penyakit
Tingkat keparahan penderita DA dinilai dengan menggunakan sistem SCORAD, yang terdiri dari beberapa kriteria :
A. Luasnya lesi
B. Intensitas lesi
Kriteria ini meliputi eritema, edema/papulasi, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan xerosis, yang dinilai dengan skor 0-3
C. Keluhan penderita
Dua kriteria yang mencerminkan keluhan subyektif penderita yaitu gatal dan gangguan tidur, yang dinyatakan dalam skor 0-10 untuk masing-masing kriteria. Dari ketiga kriteria di atas dapat dihitung SCORAD dengan rumus A/5 + 7B/2 + C. Pada penelitian ini derajat keparahan DA dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
a. Ringan : < 25 b. Sedang : 25-50 c. Berat : > 50
2.1.5. Penatalaksanaan a. Non-Medika Mentosa
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.
- Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll)
- Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. - Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
- Menghindarkan stres emosi.
- Mengobati rasa gatal (Tanjung, 2012) b. Medika Mentosa
1. Pengobatan topikal a) Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi.
b) Kortikosteroid topikal
Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.
c) Imunomodulator topikal Takrolimus
0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat.
Pimekrolimus
Yaitu suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
d) Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif.
2. Pengobatan sistemik a. Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.
b. Antihistamin
aktifitas penderita dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2.
c. Anti infeksi
Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S.aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin. Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
d. Interferon
IFN bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
e. Siklosporin
f. Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet atau
kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit. Dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra
violet atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan m engubah produksi sitoksin keratinosit (Tanjung, 2012)
2.2 Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dan dalam kaitannya dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran. Ini adalah konsep yang luas dan kompleks yang dipengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan mereka dengan lingkungan mereka (WHO, 1997).
a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan oleh masing–masing individu yang memilikinya. Masing – masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana mereka menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka.
b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan
c. Kualitas objektif yaitu bagaimana hidup sesorang dirasakan oleh dunia luar. Kualitas objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai– nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.
Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu rentang spektrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada diantaranya yang merupakan teori kualitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup dan pemenuhan kebutuhan, biologis dan mencapai potensial hidup.
a. Kesejahteraan
Kesejahteraan berhubungan dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam suatu dunia objektif dan faktor eksternal hidup. Ketika kita membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan realisasi diri.
b. Kepuasan hidup
Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika pengharapan–pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh di sekitarnya maka sesorang puas. Kepuasan adalah pernyataan mental yaitu keadaan yang kognitif.
c. Kebahagiaan
Ini merupakan perasaan yang spesial yang berharga dan sangat diinginkan tetapi sulit diperoleh. Tidak banyak orang percaya bahwa kebahagiaan diperoleh dari adaptasi terhadap budaya seseorang, kebahagiaan diasosiasikan dengan dimensi–dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi bukan dengan uang.
d. Makna dalam hidup
Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidakberartian dan kesangat berartian dari hidup.
e. Pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan seseorang terpenuhi maka kualitas hidupnya tinggi. Kebutuhan merupakan suatu ekspresi sifat dasar kita yang pada umumnya dimiliki oleh makhluk hidup.
f. Pencapaian potensial hidup
kekhususan dari makhluk hidup tetapi hanya tingkat dimana pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organisme sosial. g. Gambaran biologis kualitas hidup
Gambaran biologis kualitas hidup yaitu sistem informasi biologis dan tingkat keseimbangan eksistensial dilihat dari segi kesehatan fisik. Kesehatan fisik mencerminkan tingkat sistem informasi biologi seperti sel
– sel dalam tubuh membutuhkan informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak, dapat dilihat sebagai kondisi dari sistem informasi biologis.
2.2.1 Komponen kualitas hidup
Felce, et al. (1995) menyebutkan bahwa ada tiga komponen dalam pengukuran kualitas hidup, yakni komponen objektif, komponen subjektif, dan komponen kepentingan. Komponen objektif berkaitan dengan data objektif atau kondisi kehidupan yang sebenarnya pada berbagai aspek kehidupan. Komponen subjektif merupakan penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini pada berbagai aspek kehidupan, dan komponen kepentingan merupakan seberapa penting suatu aspek kehidupan dalam mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
a. Kesehatan fisik
Penyakit dan kegelisah, tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas pekerjaan.
b. Psikologis
Perasaan positif, berfikir; belajar; mengingat; dan konsentrasi, self-esteem, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif, kepercayaan individu.
c. Hubungan sosial
Pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual. d. Lingkungan
Kebebasan; keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi.
2.2.2 Pengukuran Kualitas Hidup
Menurut Patrick (1973), Brook (1983) dalam Hendromartono (2000), kualitas hidup dipengaruhi pengalaman, kepercayaan, harapan, serta persepsi orang tersebut, yang secara kolektif disebut persepsi sehat.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan desain potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis adanya hubungan antar variabel (Dahlan, 2010) dimana dalam hal ini variabel penelitian adalah dermatitis atopik dan kualitas hidup pasien. Pengukuran dan pengambilan variabel dilakukan pada satu saat yang bersamaan.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Pengambilan data dimulai dari November hingga Desember 2013, sampai dengan jumlah sampel terpenuhi.
3.4 Subyek Penelitian a. Populasi
1. Populasi Target
Pasien Dermatitis Atopik yang pernah berobat atau sedang berobat 2. Populasi Terjangkau
Pasien Dermatitis Atopik yang pernah atau sedang berobat di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung
b. Sampel
Sampel kasus dari pasien Dermatitis atopik dalam kurun waktu November 2012 - November 2013 yang datang berobat ke poli klinik kulit-kelamin RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung dan melalui data sekunder (catatan medik) untuk melihat data pasien, kemudian mendatangi pasien dermatitis atopik dan memberi kuesioner sebagai data primer.
1. Kriteria Inklusi
Responden yang menderita Dermatitis Atopik Mampu untuk komunikasi dengan baik
Bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent
yang telah disediakan 2. Kriteria Eksklusi
Responden yang tidak mengisi dengan lengkap lembar kuesioner
yang telah disediakan
c. Besar sampel
Menurut Isaac dan Michael dalam Sugiyono (2007) :
s = Jumlah sampel N = Jumlah populasi
Diketahui populasi pasien dermatitis atopik yang berobat ke RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode November 2012 – November 2013 sebanyak 48 pasien (Data rekam medik RSUD Abdul Moeloek, 2013).
λ2 = Chi Kuadrat, dengan dk = 1, taraf kesalahan 1%, 5% dan 10% Peneliti memilih kesalahan 5%.
d = 0,05 P = Q = 0,5
Mengacu pada tabel penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan 1%, 5%, dan 10% (lampiran), maka besar sampel minimal dalam penelitian ini menjadi 46 pasien dermatitis atopik yang datang berobat atau pernah berobat ke poli kulit-kelamin RSUD Abdul Moeloek periode November 2012 – Desember 2013.
3.5 Variabel Penelitian
a. Variabel bebas (independent variable)
b. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas hidup pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung
3.6 Definisi Operasional
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan membatasi penelitian, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara
pengukuran Hasil Skala
Tingkat
b. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen kuesioner. Pada penelitian ini digunakan instrumen kuesioner I, II
1. Kuesioner I untuk mengetahui data demografi pasien dermatitis atopik. 2. Kuesioner II untuk dengan menggunakan instrumen kuesioner kualitas
hidup dermatologi.
3. Kuesioner III untuk menilai tingkat keparahan dermatitis atopik dengan kuesioner SCORAD.
c. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data dari hasil kuesioner yang diisi oleh responden, dan data sekunder yang merupakan data dari catatan medik responden di RSUD Abdul Moeloek Provinsi Lampung
d. Cara kerja
e. Alur Penelitian
Bagan 3. Alur Penelitian
Prosedur perizinan penelitian ke RSUD Abdul Moeloek
Survei pendahuluan
(data prevalensi dan rekam medis pasien)
Sampel kasus (pasien dermatitis atopik) yang didatangi ke tempat sampel yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani
informed consent
Pengumpulan Data Sampel kasus (pasien dermatitis
atopik) yang datang ke poli klinik kulit-kelamin yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan mengisi dan menandatangani
informed consent
Kuesioner dibagikan dan diisi oleh responden
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah dengan alat bantu program analisis statistik, untuk analisis data digunakan analisis data univariat dan bivariat yaitu untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Uji hipotesis yang sesuai guna pengambilan keputusan yang sahih (Dahlan, 2010).
Karena analisis yang dilakukan adalah analisis hubungan antara variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square, jika memenuhi syarat. Jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square, maka digunakan uji alternatifnya, yaitu uji Fischer (Dahlan, 2010).
3.9 Ethical Clearance
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Rerata skor tingkat keparahan pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 40,26 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori keparahan tingkat sedang yaitu sebanyak 24 (52,17%) responden.
2. Rerata skor kualitas hidup pasien dermatitis atopik di RSUD Abdul Moeloek Lampung sebesar 10,41 dengan sebagian besar responden berada dalam kategori gangguan kualitas hidup sedang yaitu sebanyak 20 (43,41%) responden.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antar tingkat keparahan dengan kualitas hidup pasien Dermatitis Atopik di RSUD Abdul Moeloek.
5.2 Saran
2. Bagi peneliti lain, perlu dipertimbangkan untuk memasukan responden berusia >15 tahun karena dikhawatirkan data yang kurang valid dalam malakukan anamnesis.
3. Bagi instansi kesehatan seperti rumah sakit perlu menerapkan strategi agar pasien Dermatitis Atopi yang berobat tidak hanya mendapat terapi penyakitnya namun juga dukungan untuk meningkatkan kualitas hidup. 4. Bagi Penderita Dermatitis Atopik agar segera berobat apabila gejala
DAFTAR PUSTAKA
Abramovits, W., 2005. Atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 53 (1): S86-S93 Artana, I.P. 2013. Kadar Malondialdehyde serum dan stres psikologis berkorelasi
positif dengan severitas dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.
Aziah, M. S. N., Rosnah, T., Mardziah, A., Norzila, M. Z. 2002. Childhood atopic dermatitis: a measurement of quality of life and family impact. Department of pediatrics. 57: 329-339.
Bieber, T. 2008. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 358 (14): 1483-1493.
Boediardja, S.A., 2006. Etiopatogenesis Beberapa Dermatitis pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah, T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 11- 28.
Chamlin, S. L., Frieden, I. J., Williams, M. L., Chren, M. L. M. 2004. Effects of atopic dermatitis on young American children and their families. Pediatrics. 114: 607-611.
Dahlan, MS. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Ed 4. Jakarta : Salemba Medika
Dharmadji, H. T. 2006. Berbagai Dermatitis yang Sering Terjadi pada Bayi dan Anak. Dalam: Djajakusumah T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 1-10. Dina, W. 2010. Hubungan kadar Interleukin-17 dengan tingkat keparahan dermatitis
atopi di RSUP Sanglah Denpasar (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.
Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya
Felce, D., Perry, J. 1995. Quality of Life : its definition and measurement. Welsh Centre for Learning Disabilities Applied Research Unit. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7701092
Gondokaryono, S. P. 2009. Peran Probiotik pada Dermatitis Atopik. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 56-64.
Hendromartono. 2000. Pengaruh perbaikan status aeterohemoreolgik pada kualitas hidup penderita diabetes melitus tak tergantung insulin dengan gangguan pembuluh darah perifer tungkai bawah. (Disertasi). Universitas Airlangga. Surabaya
Hendrawan, I.W. 2013. Kadar Eosinophil Cationic Protein serum Berkorelasi Positif Dengan Derajat Keparahan dermatitis atopik (Tesis). Denpasar; Universitas Udayana.
Hoetomo,M. 2011. Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Atopik pada Berbagai Derajat
Keparahan Dermatitis Atopik.[Disertasi] Universitas Airlangga. Surabaya Leung, D. Y. M., Bieber, T. 2003. Atopic dermatitis. The Lancet. 361: 151-160.
Monti, F., Agostini, F., Gobbi, F., Neri, E., Schianchi, S., Archangeli, F. 2011. Quality of life measures in Italian children with atopic dermatitis and their families. Italian Journal of Pediatrics.
Segre, J.A. 2006. Epidermal barrier formation and recovery in skin disorders. J Clin Invest.116: 1150-58.
Soebaryo, R. W., 2002. Masalah Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.
Sularsito, S. A. 2007. Dermatitis Atopik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 5. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. hal.138-147
Tsuboi, H., Kouda, K., and Takeuchi, K. 1998. 8-Hydroxydeoxyguanosine in urine as
an index of oxidative damage to DNA in evaluation of atopic dermatitis. British J Dermatol. 2003; 149: 248-54.
Vendegodt, Merrick, Andersen. 2003. QOL I.the IQOL theory og global quality of
life concept. 3 September 2013. Diunduh dari
http://www.livskvalitet.org/pdf/QOL_theory_I_ (The_IQOL_theory).pdf
WHOQOL. 1997. Measuring Quality of Life. Geneva Switzerland: Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse, World Health Organization
Williams, H. C. 2005. Atopic dermatitis. The New England Journal of Medicine. 352(22):2314-2324
Wisesa, T. W. 2009. Masalah Kulit yang Sering Ditemukan pada Bayi dan Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. Balai Penerbitan FK UI, Jakarta. 1-8.
World Health Organization. (1998). WHOQOL-BREF. 3 September 2013, dari http://www.who.int/evidence/assesment-instruments/qol/index .htm