• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Campuran dalam Perspektif Huk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan Campuran dalam Perspektif Huk"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Perkawinan Campuran dalam Perspektif Hukum Adat,

Agama dan Nasional (Studi Kasus Perkawinan Adat Islam

Jawa dan Adat Hindu Bali)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sosial kemasyarakatan di Indonesia telah memungkinkan terjadinya pertemuan dari berbagai manusia yang memiliki latar belakang adat dan agama yang berbeda. Pertemuan dan interaksi sosial ini seringkali berujung pada kisah cinta dari dua insan yang berbeda adat maupun agama yang dianutnya, dimana perbedaan tersebut menjadi penghambat dalam usaha mereka untuk meneruskan hubungan asmara mereka ke jenjang pernikahan.

Segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang dihadapi oleh kedua sejoli berbeda adat dan agama tersebut akan sangat berbeda penanganan maupun pendekatannya, terutama dikarenakan beragamnya kemungkinan pertemuan antara ratusan Adat dan beberapa Agama yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu perlu dibuat berbagai tinjauan dengan menggunakan adat dan agama yang relatif banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Kekhusasan pemilihan adat dan agama ini menarik perhatian penulis untuk membuat makalah yang berjudul “Perkawinan campuran dalam Perspektif Hukum Adat, Agama dan Nasional (Studi Kasus Perkawinan Adat Islam Jawa dan Adat Hindu Bali).”

Tulisan ini juga merupakan salah satu tugas yang disyaratkan dalam mata kuliah Hukum waris Adat di Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis angkat, sesuai dengan latar belakang masalah di atas, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran?

2. Bagaimana Perkawinan Campuran menurut Hukum Adat, Agama dan Negara?

(2)

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang penulis angkat yaitu:

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran.

2. Untuk mengetahui bagaimana Perkawinan Campuran menurut Hukum Adat, Agama dan Negara

3. Untuk mengetahui Implikasi / Dampak Campuran terhadap waris.

1.4. Metode Penulisan

Dalam menyusun tulisan makalah ini, digunakan metode normatif dengan menggunakan sepenuhnya data sekunder seperti pencarian informasi serta data yang didapat dari berbagai sumber seperti internet dan media massa seperti koran dan majalah, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan lain-lain. Menurut Prof. CFG Sunaryati Hartono, bahan hukum primer terdiri dari Undang-undang Dasar dan berbagai dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, seperti Undang-undang, Peraturan pemerintah Pengganti Undang-uandang, dan lain sebagainya.

Sedangkan bahan sekunder adalah seperti textbook (buku atau literatur yang terkait dengan obyek penulisan), laporan penelitian dan lain sebagainya. Bahan-bahan tersebut dipergunakan untuk memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan bahan hukum primer serta implementasinya.

Selain bahan hukum tersebut, bahan lain yang juga dipergunakan adalah bahan hukum tertier, yang berfungsi untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer ataupun bahan hukum sekunder.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

1.1. Perkawinan Campuran

Perkawinan Campuran menurut Hukum Adat berbeda dengan perkawinan campuran menurut ketentuan Undang Undang no 1 tahun 1974. Dalam Pasal 57 UU no 1 tahun 1974 tersebut menyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Sedangkan perkawinan campuran yang berlaku pada hukum adat, menurut Prof. Hilman Hadikusuma adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat adatnya.

Terjadinya perkawinan campuran ini dapat berakibat diperolehnya kewarganegaraan atau kewargaan adat yang baru, bahkan sebaliknya juga dapat kehilangan kewarganegaraan atau kewargaan adatnya.

Perkawinan campuran ini sendiri akan menjadi bertambah lingkupnya tatkala terjadi tambahan klasifikasi perkawinan berbeda agama yang seringkali terjadi pada dua masyarakat adat yang secara mayoritas menganut agama yang berbeda seperti agama Islam di mayoritas Adat Jawa dan agama Hindu di mayoritas adat Bali.

1.2. Perkawinan Campuran menurut Hukum Adat, Agama dan Negara

Pada dasarnya hukum adat menyatakan bahwa sesorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe atau mampu untuk bekerja secara mandiri, cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya dalam tataran kehidupan sosialnya di masyarakat serta jika melakukan koitus (senggama) dan menghasilkan keturunan maka mereka dinyatakan dewasa, dan jika tidak menghasilkan keturunan maka mereka belum dikatakan belum dewasa.

Secara umum Adat Jawa adalah masyarakat patrilineal yang lebih cenderung ke parental yang menganut sistem perkawinan eleutherogamie yang relatif terbuka kepada berbagai suku bangsa dan adat diluar adat Jawa. Tempat dan biaya perkawinan menjadi tanggung-jawab pihak wanita.

(4)

wanita (pradana) sebagai pihak yang harus selalu tunduk dan patuh pada pria, maka perkawinan antara wanita Hindu Bali dengan pria dari suku adat lainnya, dan bahkan agama lain pun tidak lah menjadi masalah. Tempat dan biaya perkawinan menjadi tanggung-jawab pihak Pria (purusa).

Menurut hukum Islam, seseorang dianggap telah dewasa dan siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan jika telah akil baligh, kondisi dimana seorang anak telah mengalami mimpi basah atau telah menstruasi yang pertama kalinya. Tidak ada batas usia yang tegas atas kapan disebut usia akil baligh maupun menstruasi tersebut.

Undang Undang no 1 tahun 1974 mensyaratkan seseorang berusia setidaknya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria sebelum dinyatakan layak untuk menikah dengan persetujuan orang tua atau walinya atau pengadilan/hakim. Namun untuk melakukan pernikahan tanpa menggunakan ijin orang tua / walinya, maka usia minimum yang dipersyaratkan adalah 21 tahun.

Hukum adat tidak secara tegas mengatur keharusan dua orang yang akan menikah untuk memiliki satu agama yang sama, namun dengan masuknya pengaruh agama yang ada, maka masyarakat adat menyerapnya dan memberlakukan ketentuan agamanya dalam salah satu syarat pernikahan. Sementara itu syarat sahnya pernikahan menggunakan berbagai upacara adat yang wajib yang dilakukan secara rangkaian dengan upacara pernikahan menurut agama yang dianut.

Hukum Islam secara tegas melarang terjadinya pernikahan antara seorang wanita muslim dengan pria dari agama selain Islam, sementara untuk pria muslim masih diberi sedikit kelonggaran untuk dapat menikah wanita-wanita ahli kitab yang sering diartikan sebagai para pemeluk agama kristiani (Kristen dan Khatolik), itu pun dengan syarat yang sangat ketat dan seringkali mendapatkan tentangan dari berbagai pihak yang menafsirkan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi yang dapat disebut sebagai ahli kitab.

Dengan demikian, satu-satunya cara untuk pria atau wanita muslim untuk menikah dengan pasangan berbeda agama adalah dengan meminta pasangan berbeda agama itu untuk berpindah memeluk agama Islam sebelum dilangsungkannya akad pernikahan. Maka pernikahan antara pria adat Jawa (Islam) dengan wanita adat Bali (Hindu) satu-satunya jalan untuk dapat diterima di masyarakat adat Jawa adalah dengan deklarasi dari pihak wanita untuk melepaskan agama Hindunya dan berpindah memeluk agama Islam dengan disaksikan oleh para petugas Kantor Urusan Agama setempat.

Untuk syarat sahnya pernikahan menurut agama Islam adalah tercapainya usia akil baligh untuk kedua calon suami istri, adanya ijab kabul (serah-terima antara orang tua/wali dengan mempelai pria), adanya mahar (mas kawin yang sesuai) dan adanya 2 (dua) orang saksi.

(5)

1.3. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Waris

Menurut masyarakat adat Jawa, hal-hal mengenai waris ditetapkan dengan asas sepikul sebahu (2 bagian untuk anak laki-laki dan 1 bagian untuk anak perempuan) atau podho sepikul (bagian anak laki-laki dan perempuan sama) antara porsi ahli waris pria dan ahli waris wanita. Dikarenakan kuatnya pengaruh agama dalam masyarakat adat Jawa, maka dalam kasus ini penentuan waris juga mengikuti agama Islam, dimana ahli waris terbagi menjadi beberapa lapisan yang disesuaikan dengan beberapa kriteria. Untuk lapisan ahli waris pertama adalah suami/istri dan anak-anak kandung, sementara lapis berikutnya jika tidak memiliki anak adalah orang tua pewaris. Dalam hal ini anak angkat tidak mendapatkan waris, kecuali jika pewarisnya sebelumnya telah menuliskan surat wasiat yang memberikan waris kepada anak angkat maksimal satu pertiga dari total harta waris.

Didalam adat Hindu Bali ahli waris yang dikenal hanyalah suami, anak dan saudara laki-laki saja, kecuali dalam perkawinan Gelahang Bareng / Negen Dadua dimana anak perempuan juga mewaris harta peninggalan orang-tuanya. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen Dadua adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa (pihak penanggung-jawab yang biasanya adalah pihak pria). Walaupun Perkawinan Gelahang Bareng /Negen tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu, namun konsekuensi secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasangan suami istri tersebut memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam desa pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dan lain sebagaimnya, Jika pasangan suami istri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda terutama pada saat anak tersebut akan menikah.

Menurut hukum perdata, ahli waris yang sah adalah suami/istri dan anak-anak yang didapatkan dari perkawinan yang sah, artinya dilakukan menurut hukum agamanya dan dicatatkan kepada petugas negara yang berwenang (KUA / Kantor Catatan Sipil). Pembagiannya adalah dikeluarkan terlebih dahulu harta gono-gini suami/istri (separuh dari harta yang diperoleh selama menikah) kemudian dibagi rata sejumlah istri/suami ditambah anak-anak yang lahir dari perkawinan sah tersebut. Anak angkat tidak mendapatkan waris.

(6)

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu

1. Perkawinan campuran yang berlaku pada hukum adat, adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat adatnya.

2. Terdapat perbedaan dalam usia pasangan yang akan menikah (sudah dapat bekerja menurut adat, akil baligh menurut Islam, berusia setidaknya 19/16 tahun menurut UU no. 1 tahun 1974), tata cara pernikahan dan syarat sahnya pernikahan (upacara adat dan hukum agama menurut adat, akli baligh – ijab kabul – mahar – saksi menurut hukum Islam, dan sah menurut agama serta dicatatkan ke KUA / Kanto Catatan Sipil menurut UU no. 1 tahun 1974)

3. Secara adat Jawa ahli waris adalah suami/istri dan anak-anak dimana dengan sistem bagi rata maupun proporsional, sementara menurut agama Islam, ahli waris adalah suami/istri dan anak-anak dari perkawinan sah tersebut dengan perhitungan waris anak secara proporsional, dan menurut hukum negara, ahli waris adalah suami/istri dan anak-anak yang dibagi secara rata setelah dikurangi oleh harta gono-gini. Adat Bali tidak memberikan hak waris kepada anak perempuan kecuali jika perkawinannya adalah Gelahan Bareng / Negen Dadua.

3.2. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu:

1. Bagi para pasangan yang ingin menjalankan pernikahan campuran dalam arti dari masyarakat adat yang berbeda, maka sebaiknya menggunakan hukum negara dalam hal ini Undang Undang no. 1 tahun 1974.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan alat ialah sistem penggerak excavator dengan daya motor bensin yang digunakan 2 Kw untuk menggerakan pompa hidrolik sehingga daya yang dikeluarkan pompa

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah pada kesempatan

Penetapan capaian standar kompetensi keperawatan di RS Aisyiyyah Muntilan berdasarkan Area pelayanan keperawatan dari berbagai level jenjang perawat klinik terendah sampai ke

Meningkatnya akses dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat utamanya kegiatan promotif dan preventif untuk mewujudkan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan

Kapasitas penangkapan radikal bebas DPPH dari ekstrak jahe (Stoilova et al., 2007) maupun ekstrak temulawak (Rosidi et al., 2016) lebih tinggi dibandingkan kapasitas penangkapan

(1) Koordinasi dan pengendalian program, kegiatan, dan anggaran Kementerian dilaksanakan baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan

Spector (2008:31) mengatakan bahwa kriteria kinerja adalah suatu standard yang dapat memungkinkan kita untuk menilai hasil kerja orang yang terkait dalam pekerjaan

kebun yang dijadikan lokasi penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa paket teknologi pengendalian PBK yang diintroduksikan mampu menurunkan tingkat dan intensitas