• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

CORRELATION OF SOIL POLLUTION BY SOIL TRANSMITTED HELMINTH’SEGGS WITH HELMINTHIASIS IN STUDENT OF SDN 01

KRAWANGSARI NATAR By

Sevfianti

Helminthiasis incidence remains a public health problem. There are 24% of the world population is infected by STH. It is Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanusand Ancylostoma duodenale. Low socio-economic circumstances, environments with poor sanitation, did not pay attention to the cleanliness of food and drinks, causing high incidence of helminthiasis, especially in preschool and school age children.

This study was conducted to determine the relationship of soil contamination by STH’s eggs with helminthiasis in children. This research is an observational analytic study with cross sectional design with total sampling techniques. Stool examination were done in this research for students of SDN 01 Krawangsari Natar and soil student home yard. Stool and soil examinated by floating method and the supernatant examinated under microscop to find STH’s eggs.

The data analyzed was using of Chi-Square test, and the result is p = 0.062. Results showed that there was no significant corelation because ofp> 0.05. These result could be caused by several factors such as poor personal hygiene, low immunity, but there is a healthy environment.

There are no significant correlation of soil contamination by STH’s egg with helminthiasis incidence in student of SDN 01 Krawangsari Natar.

(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELURSOIL

TRANSMITTED HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI

NATAR

Oleh Sevfianti

Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Terdapat 24% populasi dunia terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale. Keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan dengan sanitasi buruk, tidak memperhatikan kebersihan makanan dan minuman, merupakan penyebab tingginya angka kejadian kecacingan tersebut, terutama pada anak-anak usia prasekolah dan usia sekolah.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangancross sectional dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Dilakukan pemeriksaan terhadap feses siswa SDN 01 Krawangsari Natar dan tanah pada halaman rumah siswa. Feses dan tanah diperiksa dengan metode floating dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk menemukan telur STH.

Data dianalisis dengan uji Chi-Square dan didapatkan p=0,062. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna karena p>0.05. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kebersihan pribadi yang buruk, imunitas yang lemah, namun terdapat sanitasi lingkungan yang baik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar.

(3)

HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELURSOIL TRANSMITTED HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN

KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR

Oleh SEVFIANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR SOIL-TRANSMITTED-HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN

KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR

(Skripsi)

Oleh SEVFIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. TelurAscaris lumbricoides...8

Gambar 2. TelurAscaris lumbricoidestidak terfertilisasi...8

Gambar 3. TelurAscaris lumbricoidesterfertilisasi...8

Gambar 4. Telurcacing lumbricoidesterdekortikasi, telur matang...9

Gambar 5. LarvaAscaris lumbricoides...9

Gambar 6. Siklus hidupAscaris lumbricoides...10

Gambar 7. TelurTrichuris trichiura...14

Gambar 8. Siklus hidupTrichuris trichiura...15

Gambar 9. Telur cacing kait...18

Gambar 10. Siklus hidup cacing kait...19

Gambar 11. Siklus penularan cacing pada anak-anak usia sekolah...24

Gambar 12. Kerangka teori...31

Gambar 13. Kerangka konsep...32

Gambar 14. Alur penelitian...42

Gambar 15. Karakteristik anak berdasarkan usia...46

Gambar 16. Persentase jumlah siswa per kelas...46

Gambar 17. Peta lokasi penelitian infeksi STH pada siswa SDN 01 Krawangsari Natar skala Kabupaten Lampung Selatan...49

(6)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI...i

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR SINGKATAN...v

BAB I : PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Penelitian...5

1.3.1 Tujuan Umum...5

1.3.2 Tujuan Khusus...5

1.4 Manfaat Penelitian...6

1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan...6

1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti...6

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi...6

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat...6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA...7

2.1 Infeksi Kecacingan...7

2.1.1 Cacing Gelang...7

2.1.2 Cacing Cambuk...13

2.1.3 Cacing Kait...17

2.2 Pencemaran Tanah...23

2.2.1 Pengertian Pencemaran Tanah...23

2.2.2 Sumber-Sumber Pencemaran Tanah...23

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Tanah...25

(7)

ii

2.4 Kerangka Teori...31

2.5 Kerangka Konsep...32

2.6 Hipotesis...32

BAB III : METODE PENELITIAN...33

3.1 Desain Penelitian...33

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...33

3.3 Populasi dan Sampel...34

3.4 Identifikasi Variabel Penelitian...35

3.5 Definisi Operasional...36

3.6 Pengumpulan Data...37

3.7 Instrumen Penelitian...37

3.8 Cara Kerja...37

3.9 Alur Penelitian...42

3.10 Pengolahan Data...43

3.11 Analisis Data...43

3.12 Etika Penelitian...44

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN...45

4.1 Hasil Penelitian...45

4.1.1 Karakteristik Siswa SDN 01 Krawangsari Natar...45

4.1.2 Analisis Univariat...47

4.1.3 Analisis Bivariat...47

4.1.4 Pemetaan Pencemaran tanah dan Kecacingan...49

4.2 Pembahasan...51

4.3 Keterbatasan Penelitian...56

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...57

5.2 Saran...58

DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR SINGKATAN

ArcGIS :Geographic Information System

CDC :Center for Disease Control and Prevention GPS :Global Positioning System

Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri MgSO4 :Magnesium Sulfate

NaCl :Natrium Chloride

NAVSTAR : Navigation Satellite Timing and Ranging PERMENLH : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup PPS :Precise Positioning Service

(9)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Definisi Operasional...36

Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Feses...38

Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Tanah...40

Tabel 4. Karakteristik Anak Berdasarkan Jenis Kelamin...45

Tabel 5. Persentase Pencemaran Tanah oleh Telur STH...47

Tabel 6. Persentase Kejadian Kecacingan pada Anak...47

Tabel 7. Hubungan Pencemaran tanah oleh Telur STH dengan Kejadian Kecacingan pada Anak...48

(10)
(11)
(12)

MOTO

“Ingatlah. Kita tak harus menjadi anak penjabat dulu baru bisa sukses”

(Sevfianti)

“Janganlah Kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”

(QS. At-Taubah: 40)

“Barangsiapa yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengumpulkan harta

karena takut miskin, maka dialah orang miskin”

(13)

Saya dedikasikan penelitian ini untuk orang-orang yang saya sayangi, cintai, serta

banggakan yang memberikan saya motivasi, ketulusan, kasih sayang, bantuan,

dan doa dengan segala keikhlasan dan kesabaran yaitu

Ayah, Ibu, Erizal, Eri Supriadi, Erawati, Eryenita, Dedi Mizwar, Mahmeldi, Robby Romadhoni, dr. Betta, dr. Hanna, dr. Jhons, Keluarga besar di Riau

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Semelinang Darat, Riau pada tanggal 27 September

1994 dengan nama Sevfianti sebagai anak kedelapan dari delapan bersaudara,

pasangan dari Ayahanda M. Jamil dan Ibunda Yustinar. Penulis menyelesaikan

pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri 010 Semelinang Darat pada tahun

2006. Pendidikan menengahnya diselesaikan di Madrasah Tsanawiyah Swasta

Miftahul Jannah Peranap pada tahun 2009. Setelah menyelesaikan pendidikan

menengahnya, penulis melanjutkan jenjang pendidikan tingkat atas di Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Peranap dan selesai pada tahun 2012.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter di Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung sejak tahun 2012. Pada masa perkuliahan,

penulis mengikuti organisasi Anggota Bidang Pakis Rescue Team Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung Periode 2012-2013, Anggota Forum Studi

Islam Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Paduan Suara Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung, serta menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata

(KKN) di Desa Margajaya, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung

(15)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT

yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan tepat waktu. Shalawat beriring salam kepada junjungan kita,

Rasulallah Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir.

Skripsi dengan judul“Pengaruh pencemaran tanah oleh telurSoil Transmitted Helminth (STH) dengan kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Krawangsari Natar” adalah salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M. P., selaku Rektor Universitas

Lampung;

2. Dr. dr. Muhartono, S. Ked, M. Kes, Sp. PA., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung;

3. Dr. dr. Asep Sukohar, M. Kes., selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

4. Dokter Fitria Saftarina, M. Kes., selaku Wakil Dekan II Fakultas

(16)

5. Dokter Betta Kurniawan, M. Kes., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung sekaligus selaku Pembimbing Utama.

Terima kasih atas kebaikan hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran

dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Dokter Hanna Mutiara, M. Kes., selaku Pembimbing Kedua atas kebaikan

hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik, saran dan motivasi yang telah

diberikan;

7. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, M. Kes., selaku Penguji Utama. Terima

kasih atas kebaikan hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran yang telah

diberikan;

8. Dokter Susianti, M. Kes., selaku Pembimbing Akademik atas kebaikan hati,

perhatian, pengarahan, dan saran yang telah diberikan;

9. Terima kasih kepada Ibunda (Yustinar) atas semua cinta, kasih sayang,

pengorbanan, ketulusan, dan doa sehingga aku dapat tumbuh dan dewasa

sampai saat ini. Terimakasih telah mewujudkan cita-citaku. Semoga ibunda

selalu sehat dan bahagia. Semoga aku dapat menjadi anak yang ibunda

banggakan;

10. Terima kasih kepada Ayahanda (M. Jamil) atas semua cinta, kasih sayang,

pengorbanan, ketulusan, dan doa sehingga aku dapat tumbuh dan dewasa

sampai saat ini. Terimakasih atas jerih payah ayahanda yang tak akan

pernah bisa terbalas. Semoga aku dapat menjadi anak yang ayah banggakan;

11. Terima kasih kepada saudaraku (Erizal, Eri Supriadi, Erawati, Eryenita,

Dedi Mizwar, Mahmeldi, Robby Romadhoni), atas kasih sayang, dukungan,

(17)

cita. Apapun yang terjadi suatu saat nanti kita akan tetap bersama,

bahu-membahu menjaga nama baik keluarga;

12. Terima kasih kepada Paman dan Bibiku (Syahril dan Kasiah), atas kasih

sayang, perhatian, bantuan dan dukungan yang telah diberikan;

13. Terima kasih kepada Om dan Uniku (Rizal dan Sandra), atas kasih sayang,

perhatian, bantuan dan ketulusan yang telah diberikan. Semoga om bahagia

disisi Allah SWT;

14. Terima kasih kepada keponakanku (Adinda Oktari, Arief Rizaldi, Ahmad

Jawad A, Aisyah, M. Rifqi, Habbil FA, Hafizhah AA, Habbib AA, Hanifah

SA), atas tingkah lucu, kasih sayang, dan semangat yang telah diberikan;

15. Terima kasih kepada Pakde dan Bukde (Suwandi dan Sulis), yang telah

menyayangi dan menjadi orangtuaku disini.

16. Terima kasih kepada saudaraku (Yopi Dwi Muhyi, Rangga Enisman,

Septhian Tiyo, Lely Myutiara), atas perhatian, kasih sayang, dan dukungan

yang telah diberikan;

17. Terima kasih kepada sahabatku (Risa, Nurul, Adel, Debby, Hendra), adikku

(Destika Sari) dan Veriza NF; yang telah membantuku dalam proses

penyelesaian skripsi ini;

18. Terima kasih kepada sahabat seperjuanganku (Silvi, Risa, Kadek, Delvi,

Siti, Thasia, Imel, Tika, Aulia, Redo) atas kebersamaan, ketulusan, dan

semangat dalam menggapai cita-cita bersama;

19. Terima kasih kepada teman-teman STH (Aulia, Eva, Nurul, Risa, Sheba,

(18)

20. Terima kasih seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang

telah diberikan;

21. Terima kasih kepada seluruh staf Tata Usaha dan Akademik FK Universitas

Lampung dan pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan

penyusunan skripsi ini;

22. Keluarga KKN Margajaya (Ade Agung D, Hafiz Luthfi, Hendra Effendi,

Jessica Yunggo, Rahmawati Handayani, Rischa Meiyani, Veriza Nanda F),

terimakasih atas kebersamaan, tingkah lucu, motivasi, doa, dan menjadi

keluarga yang sangat luar biasa.

23. Teman-teman angkatan 2012 yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Terimakasih atas kebersamaan, ilmu, dan motivasi belajar dalam menggapai

cita-cita bersama;

24. Seluruh kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002-2015) atas

motivasi dan semangat dalam satu kedokteran;

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari

Allah SWT. Aamiin. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan

manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terima

kasih.

Bandar lampung, Februari 2016

Penulis

(19)
(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH)

(Freeman et al, 2015). Data dari World Health Organization (WHO) pada

tahun 2015 menyebutkan bahwa lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari

populasi dunia terinfeksi oleh cacing yang ditularkan melalui tanah. Angka

kejadian terbesar terdapat di Sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia

Timur. Di Indonesia pun prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi, yaitu

45-65%. Di wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk, prevalensi

kecacingan dapat mencapai 80% (Chadijah, 2014). Akan tetapi, tidak

terdapat data pasti mengenai prevalensi kecacingan di Provinsi Lampung,

khususnya Kabupaten Lampung Selatan.

Spesies cacing utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang

(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing kait

(Necator americanusdanAncylostoma duodenale). Lebih dari 270 juta anak

usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah

(21)

2

menginfeksi manusia diantaranya Strongyloides stercoralis, beberapa

spesies Trichostrongylus, Oxyuris vermicularis, dan Trichinella spiralis

(Sutanto, 2011). Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dengan

sanitasi yang buruk, tidak memperhatikan kebersihan makanan atau

minuman, bermain di tanah, tidak mencuci tangan sebelum makan, BAB di

sembarang tempat, dan pemanfaatan feses sebagai pupuk tanaman menjadi

faktor risiko infeksi cacing (Rahayu, 2013).

Infeksi STH ditularkan melalui telur cacing yang terdapat dalam feses

manusia yang terinfeksi. Cacing dewasa yang tinggal di usus dapat

menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang sanitasinya tidak

memadai, telur-telur ini akan mencemari tanah dengan berbagai cara. Telur

dapat melekat pada sayuran yang kemudian tertelan tanpa dicuci, dikupas

dan dimasak dengan baik. Telur dapat tertelan dari sumber air yang

terkontaminasi, dan telur tertelan oleh anak-anak yang bermain tanah yang

terkontaminasi kemudian meletakkan tangan dimulut tanpa mencuci tangan.

Selain itu, penularan cacing kait dapat menembus kulit yang terjadi pada

orang-orang yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki pada tanah yang

terkontaminasi (WHO, 2015).

Kejadian kecacingan banyak pada anak-anak dan orang-orang miskin

(Freeman et al, 2015). Anak-anak sering menderita kecacingan karena

kurangnya kebersihan diri dan lingkungan, rendahnya pendidikan,

(22)

3

buruk, serta sering bermain tanah (Alelign et al, 2015). Chadijah (2014)

dalam penelitiannya mengatakan bahwa anak usia Sekolah Dasar (SD) lebih

sering diserang oleh infeksi cacing dikarenakan aktivitas mereka yang lebih

banyak berhubungan dengan tanah. Selain itu, Kattula (2014) dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah kumuh

memiliki risiko tinggi infeksi STH daripada anak-anak yang tinggal di kota.

Pencemaran tanah oleh feses yang terinfeksi merupakan media penularan

yang baik bagi penularan STH. Samad (2009) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara jumlah telur cacing

di tanah dengan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides. Semakin banyak

telur di tanah semakin bertambah tingkat intensitas infeksi cacing.

Perbedaan terdapat pada Trichuris trichiura. Jumlah telur Trichuris

trichiura di tanah tidak mempunyai korelasi yang bermakna dengan

intensitas infeksi Trichuris trichiura. Anak-anak yang menderita infeksi

STH namun tinggal di lingkungan yang tidak tercemar kemungkinan

mendapatkan infeksi dari tempat bermain yang lingkungannya tercemar

oleh feses yang mengandung telur cacing. Oleh karena itu, pengendalian

lingkungan dari STH dapat menjadi upaya yang efektif untuk mencegah

infeksi cacing (Freemanet al,2015).

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan bahwa kejadian

kecacingan masih banyak di Indonesia dan berkaitan dengan pencemaran

(23)

4

hubungan pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan

pada siswa SDN 01 Krawangsari Natar. SDN 01 Krawangsari Natar

merupakan sekolah dasar yang lingkungannya masih berupa tanah. Halaman

rumah siswa-siswi pun masih berupa tanah. Saat bermain di lingkungan

rumah dan sekolah, siswa-siswi ini sering tidak menggunakan alas kaki dan

bermain tanah sehingga pada kuku kaki dan tangan siswa-siswi ini terdapat

banyak kotoran yang dapat menjadi sumber penularan infeksi cacing.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah dalam

penelitian ini yaitu:

1. Berapakah prevalensi kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari

Natar?

2. Berapakah prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di halaman

rumah anak SDN 01 Krawangsari Natar?

3. Bagaimanakah distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak di

Desa Krawangsari Natar?

4. Bagaimanakah distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH di

sekitar tempat tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar?

5. Apakah terdapat hubungan pencemaran tanah oleh telur STH di sekitar

tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01

(24)

5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan

pada anak SDN 01 Krawangsari Natar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui prevalensi kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari

Natar.

2. Mengetahui prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di

halaman rumah anak SDN 01 Krawangsari Natar.

3. Mengetahui distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak

SDN 01 Krawangsari Natar.

4. Mengetahui distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH

di sekitar tempat tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar.

5. Mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur STH di sekitar

tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan pada anak SDN

(25)

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan parasitologi dan

epidemiologi tentang kejadian kecacingan dan pencemaran tanah oleh

telur STH.

1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai sarana bagi peneliti untuk mengaplikasikan teori yang telah

dipelajari selama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk

penelitian selanjutnya tentang kecacingan pada anak agar dilakukan

penyempurnaan atas kelemahan yang terdapat pada penelitian ini.

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan pemahaman kepada masyarakat luas khususnya

masyarakat di SDN 01 Krawangsari Natar mengenai faktor-faktor

yang dapat meningkatkan kejadian kecacingan serta bahayanya bagi

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Kecacingan

Helminthiasisatau kecacingan menurut World Health Organization(WHO)

adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari cacing

gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan

cacing kait (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (WHO,

2015). Nematoda ini tergolong Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu

nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif,

memerlukan tanah dengan kondisi tertentu (Safar, 2010).

2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) 2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup

Ascaris lumbricoides merupakan parasit nematoda terbesar pada

usus manusia, dengan ukuran betina dewasa 20-35 cm, dan jantan

dewasa 15-30 cm (Centers for Disease Control and Prevention,

2015). Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna merah

(27)

8

Gambar 1. Telur danAscaris lumbricoidesdewasa Keterangan:

kiri/kanan: Telur terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan.

Tengah : CacingAscaris lumbricoidesbetina dewasa (CDC, 2015).

Cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari

yang terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi

(Sutanto et al, 2011). Telur yang dikeluarkan diletakkan di lumen

usus. TelurAscaris lumbricoides yang dibuahi berukuran 40 X 60

µm, ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick

hyaline shell. Telur yang tidak dibuahi berukuran 90x40 µm,

berbentuk lonjong tidak teratur, dindingnya terdiri dari dua lapisan

dan bagian dalam telur bergranula (Soedarmo, 2012).

Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoidestidak terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan (CDC, 2015).

Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan, dengan

embrio pada tahap awal

(28)

9

Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi dapat tumbuh pada

suhu optimum 25-30˚C. Telur cacing ini tidak akan menetas

ditanah dan dapat bertahan hidup selama beberapa tahun (Sutanto

et al, 2011).

Gambar 4. Cacing lumbricoides terdekortikasi, telur matang pada feses basah, pembesaran 200X (CDC, 2015)

Gambar 5. Larva Ascaris

lumbricoides menetas dari telur

(CDC, 2015).

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi akan

berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu lebih kurang 3

minggu. Bentuk infektif tersebut yang apabila tertelan oleh

manusia, akan menetas di usus. Kemudian larva menembus dinding

usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu

dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Di

paru, larva menembus dinding pembuluh darah, kemudian dinding

alveolus, lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari

trakea, larva menuju faring sehingga menimbulkan rangsangan

batuk pada faring. Batuk karena rangsangan tersebut menyebabkan

(29)

10

halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang

tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu sekitar

2-3 bulan (Sutantoet al, 2011).

Gambar 6. Siklus hidupAscaris lumbricoides(CDC, 2015).

2.1.1.2 Epidemiologi

Diperkirakan 1,3 milyar orang di dunia pernah terinfeksi Ascaris

lumbricoides. Infeksi tidak jarang bercampur dengan cacing lain,

yaitu Trichuris trichiura (Soedarmo, 2012). Cacing ini ditemukan

kosmopolit. PrevalensiAscaris Lumbricoides di Indonesia adalah

(30)

11

2.1.1.3 Patologi dan Gejala Klinis

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.

Ascaris lumbricoides menyebabkan penyakit askariasis. Gejala

klinis yang timbul disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.

Gangguan pada larva terjadi saat larva berada di paru-paru. Pada

orang-orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil di dinding

alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk,

demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang

menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut dengan

sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa

biasanya ringan. Gangguan dapat berupa gangguan usus ringan,

seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada

infeksi berat, terutama pada anak dapat menyebabkan malabsorbsi

sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status

kognitif pada anak sekolah dasar. Efek serius akan terjadi bila

cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus

(ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa dapat menjalar ke

saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus sehingga menimbulkan

keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan operatif (Sutanto

et al,2011).

2.1.1.4 Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis askariasis adalah dengan pemeriksaan

(31)

12

diagnosis askariasis. Selain itu, diagnosis dapat pula ditegakkan

bila terdapat cacing dewasa keluar dengan sendirinya, baik melalui

mulut ataupun hidung karena muntah maupun melalui tinja

(Sutantoet al,2011).

2.1.1.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari askariasis adalah kolangitis akut,

apendisitis, kolangitis asending, asma, kolesistitis dan kolik saluran

empedu, pankreatitis, cacing tambang, obstruksi usus besar,

obstruksi usus halus, dan strongiloidiasis (Laskey, 2014).

2.1.1.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan askariasis menurut Kemenkes RI Nomor 5 tahun

2014 adalah sebagai berikut.

a. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya

kebersihan diri dan lingkungan, antara lain kebiasaan mencuci

tangan dengan sabun, menutup makanan, masing-masing

keluarga memiliki jamban keluarga, tidak menggunakan tinja

sebagai pupuk, menjaga kondisi rumah dan lingkungan agar

tetap bersih dan tidak lembab.

b. Farmakologis

• Pirantel pamoat, 10 mg/kgBB, dosis tunggal

(32)

13

• Albendazol, 400 mg, dosis tunggal dan tidak boleh

diberikan pada ibu hamil.

2.1.1.7 Pencegahan

Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan

sanitasi, tidak berak di sembarang tempat, melindungi makanan

dari pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan,

dan tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar,

2010).

2.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) 2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup

Cacing Trichuris trichiurabetina memiliki panjang kira-kira 5 cm,

sedangkan yang jantan memiliki panjang kira-kira 4 cm. Bagian

anterior langsing seperti cambuk, dengan panjang kira-kira 3/5 dari

panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk,

pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing

jantan bentuknya melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing

dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anterior

seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus (Sutantoet al, 2011).

Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari

antara 3000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan

(33)

14

luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalam berwarna

jernih. Panjang telurTrichuris trichiuraadalah 50-55 µm dan lebar

22-24 µm (Sutanto et al, 2011). Telur Trichuris trichiura akan

matang dalam 3-6 minggu pada suhu optimum kira-kira 30˚C

(Gandahusada, 2002). Telur matang spesies ini tidak menetas

dalam tanah dan dapat hidup selama beberapa tahun (Sutantoet al,

[image:33.595.173.515.292.388.2]

2011).

Gambar 7. Telur danTrichuris trichiuradewasa Keterangan:

Kiri : TelurTrichuris trichiuradengan pewarnaan iodin pada feses basah.

Kanan : TelurTrichuris trichiuratanpa pewarnaan pada feses basah.

Tengah : Mikrograf dari Trichuris trichiura betina dewasa dengan panjang sekitar 4 cm (CDC, 2013).

Telur Trichuris trichiura yang dibuahi dikeluarkan dari hospes

melalui tinja. Dalam lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah yang

lembab dan teduh, telur akan matang dalam waktu 3-6 minggu.

Telur matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk

infektif. Infeksi secara langsung terjadi bila hospes secara tidak

sengaja tertelan telur matang. Larva akan keluar melalui dinding

telur dan masuk kedalam usus halus. Setelah dewasa, cacing turun

(34)

15

Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan sejak

telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur kembali adalah

[image:34.595.185.506.185.459.2]

sekitar 30-90 hari (Sutanto, 2011).

Gambar 8.Siklus hidupTrichuris trichiura(CDC, 2013).

2.1.2.2 Epidemiologi

Trichuris trichiura adalah cacing yang ditularkan melalui tanah

yang banyak ditemukan di daerah yang lembab, tropis dan

subtropis dan daerah dengan sanitasi yang buruk (Bianucci et al,

2015). Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 2,2 juta orang

terinfeksiTrichuris trichiura. Infeksi cacing ini ini lebih banyak di

negara-negara berkembang. Infeksi cacing ini lebih banyak pada

(35)

16

buruk dan lebih sering mengkonsumsi tanah (Donkor, 2014).

Cacing ini bersifat kosmolit, terutama dinegara panas dan lembab

seperti Indonesia (Sutantoet al, 2011).

2.1.2.3 Patologi dan Gejala Klinis

Infeksi berat oleh Trichuris trichiura yang terjadi terutama pada

anak-anak, cacing dapat menyebar di seluruh kolon dan rektum.

Dapat pula terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus

akibat penderita yang mengejan saat defekasi. Cacing dapat

memasukkan kepalanya ke mukosa usus, sehingga terjadi trauma

yang menimbulkan iritasi dan peradangan pada mukosa usus.

Ditempat perlekatan tersebut, dapat pula terjadi perdarahan. Selain

itu, cacing juga mengisap darah hospes sehingga menyebabkan

anemia. Gejala yang timbul pada anak-anak adalah diare yang

diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan menurun, dan

prolapsus rektum (Sutanto et al, 2011).

2.1.2.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan ditemukan telur cacing dalam

tinja atau ditemukan cacing dewasa pada anus atau prolaps rekti

(36)

17

2.1.2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari trichuriasis adalah anemia kronis,

gastroenteritis, giardiasis dan infeksi cacing parasit lainnya

(Donkor, 2014).

2.1.2.6 Tatalaksana

Mebendazol merupakan obat pilihan untuk trichuriasis dengan

dosis 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.

Albendazol untuk anak-anak diatas 2 tahun diberikan dosis 400 (2

tablet) atau 20 ml suspensi berupa dosis tunggal. Sedangkan

anak-anka dibawah 2 tahun, diberikan setengahnya (Soedarmo, 2012).

Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB dan Oksantel

pamoat 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal (Supali, 2008).

2.1.2.7 Pencegahan

Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan

sanitasi, tidak berat di sembarang tempat, melindungi makanan dari

pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan

tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar, 2010).

2.1.3 Cacing kait (Necator americanusdanAncylostoma duodenale) 2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup

Ancylostoma duodenale memiliki ukuran lebih besar daripada

(37)

18

mm, dan cacing jantan berukuran 8-11 x 0,5 mm. Bentuk cacing ini

menyerupai huruf C. Rongga mulut Ancylostoma duodenale

memiliki dua pasang gigi (Safar, 2010).

Necator americanus betina memiliki ukuran 9-11 x 0,4 mm dan

yang jantan berukuran 7-9 x 0,3 mm. Bentuk cacing ini seperti

huruf S. Necator americanus memiliki sepasang benda kitin. Alat

kelamin pada cacing jantan adalah tunggal, disebut dengan bursa

[image:37.595.231.437.349.474.2]

copalatrix (Safar, 2010).

Gambar 9. Telur cacing kait (Haburchak, 2014).

Cacing betina Necator americanus setiap hari mengeluarkan telur

sekitar 9000 butir, sedangkan acing betina Ancylostoma duodenale

mengeluarkan telur sekitar 10.000 butir. Telur cacing kait memiliki

ukuran kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai

dinding tipis. Didalamnya terdapat 4-8 sel. Panjang larva

rabditiform kira-kira 250 mikron, sedangkan panjang larva

filariform kira-kira 600 mikron. Telur dikeluarkan dengan tinja

(38)

19

rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari, larva rabditiform

tumbuh menjadi larva filariform yang kemudian menembus kulit

dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus

kulit, larva akan mengikuti kapiler darah menuju jantung kanan,

paru-paru, bronkus, trakea, laring, kemudian usus halus

(gandahusada, 2002). Suhu optimum bagi Necator americanus

adalah 28-32˚C, dan untuk Ancylostoma duodenale adalah 23

-25˚C. Inilah sebabnya di Indonesia Necator americanus lebih

[image:38.595.199.497.349.575.2]

banyak ditemukan di Indonesia (Sutantoet al, 2011).

Gambar 10. Siklus hidup cacing kait (CDC, 2013).

2.1.3.2 Epidemiologi

Cacing ini terdapat hampir diseluruh daerah khatulistiwa, terutama

(39)

20

tinggi sekitar 60-70%, terutama di daerah pertanian dan pinggir

pantai (Safar, 2010).

2.1.3.3 Patologi dan Gejala Klinis

Larva cacing kait memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya

sehingga olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan

perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva (Sutantoet al,

2011). Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan larva

filariform atau dengan cara larva filariform menembus kulit.

Necator americanus lebih menyukai infeksi melalui kulit,

sedangkan Ancylostoma duodenale lebih banyak dengan cara

tertelan. Jika infeksi kedua cacing ini terjadi melalui menelan larva,

maka cacing ini tidak memiliki siklus di paru. Saat larva menembus

kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk ke kulit dan

menimbulkan gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption

(cutaneus larva migrans) berasal dari larva cacing kait yang berasal

dari hewan seperti kucing dan anjing, tetapi kadang-kadang

disebabkan oleh Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.

Saat larva melewati paru, dapat menyebabkan pneumonitis tetapi

jarang.

Cacing dewasa hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan

melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang ditimbulkan berupa

(40)

21

Infeksi kronis dapat menimbulkan gejala anemia,

hipoalbuminemia, dan edema. Kadar albumin kurang dari 5

gram/dL dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian.

Kehilangan darah yang disebabkan oleh Necator americanus

adalah 0,03-0,05 ml darah per cacing per hari, dan 0,16-0,34 ml

darah per cacing per hari oleh Ancylostoma duodenale(Soedarmo,

2012).

2.1.3.4 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur didalam feses

segar dan larva pada tinja yang sudah lama. Telur kedua spesies ini

tidak dapat dibedakan. Untuk dapat membedakan spesies, telur

dibiakkan menjadi larva dengan salah satu cara yaitu Harada Mori

(Safar, 2010).

2.1.3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari infeksi cacing kait adalah anemia akut,

amebiasis, askariasis, asma, gastroenteritis bakteri, pneumonia

bakteri, bronkiolitis, anemia kronik, defisit kognitif, dermatitis

kontak, eosinofilia, gastroenteritis, kegagalan pertumbuhan, anemia

hemolitik, hipersensitivitas pneumonitis, anemia defisiensi besi,

sindrom loffler, pneumonia, skabies, scistosomiasis,

(41)

22

2.1.3.6 Tatalaksana

Creeping eruption di tatalaksana dengan liquid nitrogen atau

kloretilen spray, tiabendazol topikal selama 1 minggu. Selain itu,

penggunaan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut sudah

terbukti memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan terhadap

cacing dewasa digunakan gabungan pirantel-pamoat dengan

mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10

mg/kgBB diberikan pada pagi hari diikuti dengan pemberian

mebendazol 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hasil

pengobatan sangat memuaskan terutama bila terdapat infeksi

bersama dengan cacing-cacing lain (Soedarmo, 2012).

Terapi penunjang yang dilakukan yaitu dengan memberikan

makanan bergizi dan preparat besi untuk mencegah anemia. Pada

keadaan anemia yang berat (Hb<5 mg/dl), diberikan preparat besi

sebelum dimulai pengobatan dengan obat cacing. Besi elementer

diberikan secara oral dengan dosis 2 mg/kgBB 3 kali sehari sampai

tanda-tanda anemia hilang (Soedarmo, 2012).

2.1.3.7 Pencegahan

Pencegahan untuk infeksi cacing kait dilakukan dengan

pemberantasan sumber infeksi pada populasi, perbaikan sanitasi

dan kebersihan pribadi maupun lingkungan, serta mencegah

(42)

23

terbaik mencegah infeksi cacing kait adalah tidak berjalan tanpa

alas kaki di daerah yang mungkin terdapat cacing kait atau pada

tanah yang terkontaminasi, hindari kontak dengan tanah yang

tercemar, dan hindari penelanan tanah. Infeksi juga dapat dicegah

dengan tidak buang air besar diluar ruangan dan dengan sistem

pembuangan limbah yang efektif (CDC, 2013).

2.2 Pencemaran Tanah

2.2.1 Pengertian Pencemaran Tanah

Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda,

daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan

perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan

perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lain. Pencemaran yang terjadi pada lingkungan hidup merupakan

masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau

komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia

sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah

ditetapkan (PERMENLH, 2014).

2.2.2 Sumber-Sumber Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur

cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang

mengandung telur cacing (Chadijah, 2014). Infeksi oleh STH

(43)

24

akhirnya mencemari tanah di daerah yang sanitasinya buruk

(WHO, 2015). Telur cacing tersebut akan masuk ke mulut melalui

makanan (Chadijah, 2014). Infeksi cacing STH ini tersebar luas di

daerah tropis dan subtropis, karena berhubungan dengan kurangnya

sanitasi dan kemiskinan (WHO, 2015).

Gambar 11. Skema siklus hidup / Siklus penularan cacing pada anak-anak usia sekolah (WHO, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Ching (2010) di Desa Sidomulyo,

Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara didapatkan

hasil bahwa persentase kontaminasi tanah oleh telur STH di

halaman rumah penduduk dusun II Desa Sidomulyo adalah sebesar

70% dan spesies terbanyak yang mengkontaminasi tanah

dihalaman rumah penduduk adalah Ascaris lumbricoides yaitu

sekitar 32,5%.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Samad (2009) di

[image:43.595.185.512.243.414.2]
(44)

25

Utara, didapatkan hasil bahwa proporsi tanah pekarangan rumah

yang tercemar lebih banyak daripada yang tidak tercemar. Dari

semua sampel tanah pekarangan rumah yang telah di uji,

didapatkan tanah yang tidak tercemar oleh telur cacing hanya

47,5%, sedangkan tanah yang tercemar oleh telur cacing adalah

52,5%. Disebutkan bahwa pekarangan depan merupakan bagian

yang paling banyak dijumpai telur yaitu sekitar 1-9 butir, dengan

pencemaran terbanyak oleh Ascaris lumbricoides. Penelitian ini

menyebutkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara jumlah telur

ditanah dengan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides,tetapi tidak

ada korelasi bermakna antara jumlah telur ditanah dengan intensitas

infeksiTriuchuris trichiura.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Tanah

Kelangsungan hidup parasit diluar sistem gastrointestinal

dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan. Menurut WHO

(2004), faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

pencemaran tanah oleh STH dibedakan menjadi tiga kategori,

yaitu:

2.2.3.1 Faktor Fisik a. Suhu

Secara umum, suhu diatas 60˚C dapat mematikan telur cacing.

(45)

26

perkembangan dan kelangsungan hidup telur cacing dibedakan

menjadi tiga, yaitu: • Suhu optimum

Suhu optimum adalah suhu antara 16±1˚C dan 34±1˚C. Pada

suhu ini terjadi peningkatan laju perkembangan dan

peningkatan kelangsungan hidup cacing. • Suhu minimum

Telah dilaporkan mengenai pengaruh suhu rendah terhadap

telur cacing. Suhu antara 8,9˚C sampai 15,6˚C akan

menghambat perkembangan sel-sel yang terdapat didalam

telur cacing. • Suhu maksimum

Fakta menunjukkan bahwa suhu tinggi dapat menghambat

semua proses fisiologis. Penghambatan yang sama akan

terjadi pada perkembangan telur cacing yang terkena suhu

tinggi. Pemanasan dapat menghambat perkembangan telur

cacing.

b. Sinar matahari dan radiasi ultraviolet

Beberapa penelitian tentang efek radiasi terhadap telur Ascaris

spp, didapatkan bahwa radiasi dapat merusak telur cacing dan

larva. Selain itu, telur cacingAscarisjuga dapat dibunuh dengan

paparan sinar ultraviolet dari panjang gelombang 280 nm –315

nm atau 180 nm – 315 nm. Dikatakan bahwa telur Trichuris

(46)

27

yang meliputi luar telur sehingga memberikan perlindungan

yang cukup dari sinar cahaya yang pendek. Pada cacing kait,

larva lebih cenderung memilih daerah berbayang sehingga

cahaya merupakan stimulus yang dapat meningkatkan aktivitas

larva yang akan meningkatkan deplesi lipid.

c. Musim

Kelembaban minimum yang diperlukan oleh telur Ascaris

adalah 22˚C. Dikatakan bahwa kekeringan yang ekstrim dapat

merusak telur cacing.

2.2.3.2 Faktor Kimia a. pH

Telur parasit dianggap sangat tahan terhadap pH yang ekstrim.

Tanah dan kotoran selain memberikan pH yang optimal untuk

penetasan telur cacing, juga dapat meberikan nutrisi dan

elektrolit yang dibutuhkan telur cacing untuk berkembang lebih

lanjut membentuk larva infektif. PH optimal untuk Necator

americanusadalah 6.0

b. Substansi Kimia

Substansi-substansi kimia beracun seperti asam klorida, asam

sulfat, asam asetat, asam nitrat, asam karbonat, natrium

hidroksida, merkuri klorida dan formaldehid dapat merusak

(47)

28

c. Oksigen

Kekurangan oksigen dapat menghambat metabolisme seluruh

nematoda dan akan mempengaruhi aktivitas nematoda tersebut.

PadaAscaris, laju perkembangan akan tertekan jika konsentrasi

oksigen rendah. Telur Trichuris juga tidak berbeda dengan

Ascaris. Karbon dioksida yang dilepaskan jika dibiarkan tetap

berdekatan dengan telur akan menghambat perkembangan

embrio.

2.2.3.3 Faktor Biologi

Faktor biologi yang telah terbukti mempengaruhi perkembangan

telur parasit adalah jamur dan berbagai invertebrata. Jamur ovicidal

mampu menghancurkan telurAscaris lumbricoides. Kecepatan efek

bergantung pada spesies dan jenis jamur. Jamur lain yang telah

terbukti dapat menembus dan menghancurkan telur adalah

Cylindrocarpon radicola. Invertebrata khususnya serangga dan

gastropoda juga dapat merusak telur cacing dengan cara memakan

telur-telur cacing tersebut.

2.3 Pemetaan

GPS (Global Positioning System) merupakan suatu aplikasi untuk

menemukan tempat yang terdapat pada semua lapisan masyarakat, seperti

navigasi, pemetaan, survei tanah, dan tracking. Terdapat ribuan pengguna

(48)

29

ditemukan, dikontrol dan dioperasikan oleh departemen pertahanan

Amerika Serikat (Rajendran et al, 2011). Nama resmi GPS adalah

NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global

Positioning System) (Noviantaet al, 2015).

Sistem koordinat global pada GPS dapat menentukan koordinat posisi benda

di bumi melalui koordinat lintang, bujur, maupun ketinggiannya (Dwiyaniti

et al, 2011). Segmen satelit terdiri dari minimal 21 satelit dan 3 satelit suku

cadang. Satelit GPS menyiarkan dua sinyal, yaitu PPS (Precise Positioning

Service) yang tersedia untuk militer dan pemerintah, dan SPS (Standart

Positioning Service) yang dapat digunakan oleh publik. Secara umum,

penerima GPS dapat menentukan informasi mengenai posisi dengan

kesalahan kurang dari 10 meter dan kecepatan informasi kurang dari 5 menit

per detik (Rajendranet al, 2011).

Berbagai alat digunakan untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat,

berupa pengamatan etnografi, wawancara, dan survei. Lebih dari 100 tahun

yang lalu, Jhon Snow menggunakan peta untuk menemukan sumber kolera.

Snow menggali informasi mengenai kesehatan individu dalam suatu

masyarakat dan menciptakan peta wabah, menghubungkan informasi ke

lokasi geografis individu tersebut, dan akhirnya menemukan sumber

epidemi. Penerapan metode modern Snow yang menggunakan Geographic

System Information (GIS) sebagai alat pengumpulan informasi mengenai

(49)

30

sampai ke tingkat dasar. Peta yang dihasilkan dari GIS dapat digunakan

untuk menggambarkan hubungan dan menentukan area yang signifikan

dalam masyarakat. Melalui penggunaan data sensus dan koordinat dari GIS,

para peneliti mampu mengungkapkan hubungan yang signifikan antara

lingkungan dan masalah kesehatan yang ada dimasyarakat. Para peneliti

menyimpulkan bahwa pemetaan GIS membuat informasi kesehatan lebih

mudah diakses, dan memudahkan pemerintah untuk mengakses masalah

(50)

31

2.4 Kerangka Teori

Keterangan :

: yang diamati dalam penelitian

[image:50.595.126.513.116.545.2]

: menyebabkan

Gambar 12. Kerangka Teori

Kebersihan Lingkungan Umur dan

pendidikan

Kejadian kecacingan

Gejala : batuk, demam, mual, muntah, diare, konstipasi, disentri

Pencemaran tanah oleh telur cacing Kebersihan

Individu

Gangguan gizi: BB menurun Kehadiran disekolah menurun

Penurunan aktivitas fisik dan penurunan perkembangan kognitif

Kehilangan darah

Nafsu makan

Gangguan absorbsi

(51)

32

2.5 Kerangka Konsep

[image:51.595.139.485.145.236.2]

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 13.Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis

Terdapat hubungan antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan

kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar. Pencemaran tanah

oleh telur STH

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan

rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran

variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

data sekaligus dalam suatu waktu dengan tujuan untuk mecari hubungan

antara variabel independen (pencemaran tanah oleh telur STH) terhadap

variabel dependen (kejadian kecacingan) (Notoatmodjo, 2010). Selain itu

untuk mengetahui distribusi kecacingan dan kontaminasi tanah dilakukan

analisis klaster dan pembuatanbuffer ringpada pemetaan.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Krawangsari Natar. Pengambilan

data berupa pengambilan feses dan pengambilan sampel tanah di

halaman rumah siswa. Pemeriksaan sampel feses dan tanah dilakukan

di Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

(53)

34

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini di lakukan pada bulan Oktober 2015Januari 2016.

3.3 Populasi dan sampel

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Notoatmodjo,

2010). Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh siswa

SDN 01 Krawangsari Natar yang memenuhi kriteria inklusi.

3.3.2 Sampel Penelitian

Menurut Sastroasmoro dan Ismael (2008), sampel adalah bagian

dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap

dapat mewakili populasinya (Siswanto, 2011). Sampel pada

penelitian ini adalah seluruh siswa SDN 01 Krawangsari Natar

yang berjumlah 74 orang yang memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

a. Siswa dan orangtua yang bersedia mengikuti penelitian dan

telah mengisi lembarinform consent

b. Siswa yang tidak minum obat cacing dalam waktu 6 bulan

terakhir

c. Orangtua yang bersedia untuk dilakukan pengambilan sampel

tanah dihalaman rumahnya

(54)

35

e. Tanah disekitar rumah yang dekat dengan tempat pembuangan

sampah, kotoran dan jamban.

Adapun kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:

a. Siswa yang halaman rumahnya semen

b. Tanah yang tidak bisa diperiksa, seperti tanah yang jumlahnya

terlalu sedikit, dan tanah yang tergenang air.

c. Lokasi rumah yang sulit dijangkau

3.3.3 Teknik Pemilihan Sampling

Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel pada penelitian

adalah total sampling. Sampel diambil dari populasi penelitian

dengan sejumlah sampel yang ditemukan pada periode penelitian.

Alasan pemilihan total sampling karena jumlah populasi yang

tersedia kurang dari 100.

3.4 Identifikasi Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel

dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pencemaran

tanah oleh telur STH. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

(55)

36

3.5 Definisi operasional

Definisi operasional adalah batasan yang harus dibuat pada semua konsep

yang ada agar tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam

[image:55.595.108.509.238.646.2]

penelitian tersebut (Sastroasmoro, 2011).

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Pencemaran Tanah oleh telur STH

Ditemukan telur STH pada pemeriksaan sampel tanah. Pemeriksaan laboratorium dengan metode apung.

Mikroskop Positif : Ditemukan telur STH pada spesimen tanah.

-Negatif : tidak ditemukan telur STH pada spesimen tanah. Nominal Kejadian Kecacingan Ditemukan adanya telur cacing melalui pemeriksaan feses yang menginfeksi siswa. Pemeriksaan laboratorium dengan metode apung.

Mikroskop -Positif : Ditemukan telur STH pada spesimen feses anak.

-Negatif : tidak ditemukan telur STH pada spesimen feses anak.

(56)

37

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Pemetaan Representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat. (KBBI) Pengambilan titik koordinat.

GPS dan perangkat lunak ArcGIS. -Peta distribusi infeksi STH pada anak. -peta distribusi pencemara n tanah. Numerik

3.6 Pengumpulan data 1. Data Primer

Data primer pada penelitian ini pengumpulan tanah halaman rumah

dan feses dari siswa SDN 01 Krawangsari Natar.

2. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari data jumlah anak

yang bersekolah di SDN 01 Krawangsari Natar.

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah

halaman rumah dan feses anak.

3.8 Cara Kerja

Pemeriksaan Tinja

Dilakukan pemeriksaan pada tinja anak SDN 01 Krawangsari Natar dengan

menggunakan Metode Apung (Floatation Methode). Pemeriksaan dilakukan

[image:56.595.106.511.82.248.2]
(57)

38

Universitas Lampung. Satu hari sebelum dilakukan pengambilan spesimen,

siswa dibekali pot yang yang berfungsi sebagai wadah tinja, dan diberikan

edukasi untuk mengisi pot tersebut dengan cara yang benar dan membawa

lagi pada pagi keesokan harinya. Adapun alat dan bahan yang digunakan

[image:57.595.137.521.263.355.2]

pada pemeriksaan ini ditunjukkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Feses

Alat Bahan

1. Label

2. Botol bermulut lebar 10 mL 3. Tabung reaksi

4. Kaca objek

5. Penutup kaca objek 6. Mikroskop

1. Sampel feses 2. NaCl jenuh 3. Formaldehid 10%

Cara kerja:

a. Pengambilan spesimen

1) Pemberian wadah kepada siswa untuk diisi dengan feses. Diberikan

edukasi bahwa feses yang didalam wadah jangan sampai tercampur

dengan urin.

2) Sampel feses diambil sebanyak 100 gram.

3) Sampel feses dibawa ke Laboratorium.

b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan parasit

1) Tambahkan pengawet berupa formaldehid 10% dalam spesimen

basah sampai seluruh sampel terendam oleh formaldehid 10%.

2) Feses yang diawetkan dengan formaldehid 10% dicampurkan

dengan perbandingan 1:3.

(58)

39

c. Pembuatan larutan NaCl jenuh

1) Larutakan 33 gram NaCl dalam 100 mL aquadest

2) Aduk hingga NaCl benar-benar larut. Larutan ini harus homogen.

d. Pembuatan dan pemeriksaan sampel feses

1) Masukkan 0,5 gram spesimen feses ke botol bermulut lebar

2) Tuangkan larutan NaCl jenuh sampai batas 2,5 mL.

3) Lunakkan spesimen feses dengan aplikator dan campurkan larutan

hingga merata.

4) Masukkan ke dalam tabung reaksi.

5) Isi tabung reaksi sampai penuh dengan larutan NaCl jenuh.

Suspensi ini harus homogen.

6) Letakkan penutup kaca objek dengan hati-hati diatas mul, pastikan

bersentuhan dengan cairan, tanpa gelembung udara. Diamkan

selama 10 menit.

7) Angkat penutup kaca objek. Lakukan dengan hati-hati. Setetes

cairan harus tersisa pada penutup kaca objek tersebut.

8) Letakkan penutup kaca objek tersebut diatas kaca objek.

9) Segera amati dibawah mikroskop dengan objektif 10X. Jangan

biarkan preparat mengering sebelum diperiksa.

10) Gunakan pengatur fokus halus mikroskop saat melakukan

(59)

40

Pemeriksaan Tanah

Dilakukan pemeriksaan pada sampel tanah yang berasal dari pekarangan

rumah siswa. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya

telur cacing pada tanah-tanah tersebut. Pemeriksaan dilakukan di

Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung, dengan menggunakan Cara Modifikasi Metode

Suzuki. Metode ini diadopsi dari Arrasyd (1999). Alat dan bahan yang

[image:59.595.137.517.345.514.2]

digunakan pada pemeriksaan ini ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Tanah

Alat Bahan

1. Plastik tertutup 2. Label

3. Sendok 4. Sentrifugator 5. Ice box 6. Kulkas

7. Tabung sentrifuse 8. Pipet

9. Saringan teh 10. Kaca objek

11. Penutup kaca objek 12. Mikroskop

1. Sampel tanah 2. MgSO4 3. Air Kran 4. Aquadest 5. Alkohol 70%

Cara kerja:

a. Pengambilan sampel

1) Kikis sampel tanah dari permukaan tanah pekarangan kiri, kanan,

depan dan belakang rumah dari beberapa titik yang kemudian

dijadikan satu. Tanah diambil ±100 gram.

2) Masukkan sampel pada plastik yang berbeda sesuai dengan lokasi

pengambilan dan diberi label.

(60)

41

4) Di laboratorium, sampel dimasukkan kedalam lemari es sampai

dilakukan pemeriksaan.

b. Teknik pemeriksaan

1) Larutkan 2 gram sampel dengan 10 mL air keran.

2) Masukkan ke dalam tabung sentrifuse melalui saringan teh yang

dilapisi kain kasa basah.

3) Sentrifuse selama 2 menit dengan kecepatan 2000 RPM.

4) Buang supernatan dengan hati-hati, kemudian tambahkan 10 mL

Larutan Magnesium Sulfat BJ 1.260 (282 gram/liter Aquadest),

kocok hingga benar-benar larut

5) Sentrifuse kembali selama 5 menit dengan kecepatan 2500 RPM.

6) Tambahkan larutan magnesium sulfat dengan hati-hati sampai

penuh tanpa melimpah.

7) Tutup secara vertikal dengan penutup kaca objek. Tunggu 15-20

menit

8) Angkat penutup kaca objek kemudian letakkan pada kaca objek

(61)

42

[image:61.595.166.511.137.678.2]

3.9 Alur penelitian

Gambar 14.Alur Penelitian Surat Izin melakukan penelitian Di

SDN 01 Krawang Sari Natar

Melakukan pemeriksaan di laboratorium

Memilih sampel sesuai dengan kriteria inklusi

Surat keterangan lolos kaji etik

Menjelaskan mengenai maksud dan tujuan penelitian

Informed consent

Pengambilan tanah Pengambilan feses

Pengolahan Data

(62)

43

3.10 Pengolahan data

Data yang telah diperoleh diolah dengan perangkat komputer. Adapun

tahap-tahap pengolahan data menurut Notoatmodjo (2010) adalah sebagai

berikut.

a. Editing

Pengecekan atau perbaikan isi formulir.

b. Coding

Mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan

selama penelitian kedalam simbol yang sesuai untuk keperluan

analisis.

c. Data Entry

Memasukkan data kedalam program komputer.

d. Tabulasi

Pengecekan ulang data dari setiap sumber data atau responden untuk

mengetahui kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan

dan kemudian dikoreksi.

3.11 Analisis Data

3.11.1 Analisis Univariat

Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing

variabel. Uji statistik yang digunakan untuk uji normalitas data

pada penelitian ini adalah Uji Kolmogorov Smirnov karena sampel

(63)

44

3.11.2 Analisis Bivariat

Dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen. Uji statistik yang digunakan adalah uji

korelasi Chi Square dengan jenis tabel 2x2 yang berfungsi untuk

menguji hubungan antara pencemaran tanah oleh telur STH

dengan kejadian kecacingan pada anak.

3.11.3 Pemetaan

Pada pemetaan dilakukan analisis space time permutation untuk

mengetahui ada atau tidaknya pembentukan klaster dan dilakukan

pembuatan buffer ring untuk mengetahui jangkauan kontaminasi

tanah oleh STH.

3.12 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapatkan surat izin Komite Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung No.

(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pencemaran tanah

oleh telur STH dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari

Natar maka didapatkan kesimpulan sebagai barikut:

1. Prevalensi kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar

adalah 56,9%.

2. Prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di halaman rumah anak

SDN 01 Krawangsari Natar adalah 37,3%.

3. Distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak di Desa

Krawangsari Natar menunjukkan bahwa tidak adanya pembentukan

klaster.

4. Distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH disekitar tempat

tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar menunjukkan bahwa tidak

adanya pembentukan klaster.

5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pencemaran tanah oleh

telur STH di sekitar tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan

(65)

✁8

5.2 Saran

1. Bagi responden, yaitu siswa SDN 01 Krawangsari Natar, diharapkan

untuk lebih meningkatkan lagi kebersihan diri dan melakukan skrining

kecacingan secara rutin setiap 6 bulan agar terhindar dari kecacingan.

2. Bagi instansi

a. Dinas Kesehatan, diharapkan memberikan penyuluhan kesehatan yang

lebih baik dan menarik untuk anak-anak dan orangtua tentang

kecacingan agar anak-anak dan orangtua lebih meningkatkan

kebersihannya.

b. Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Kedokteran diharapkan dapat

bekerja sama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan

kepada anak-anak dan orangtua tentang kecacingan.

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian kecacingan

sehingga hasilnya dapat untuk menunjang data tentang kecacingan.

b. Melakukan penyempurnaan untuk penelitian yang sama agar didapat

(66)

DAFTAR PUSTAKA

Alelign T, Degarege A, Erko B. 2015. Soil-transmitted helminth infections and associated risk factors among schoolchildren in Durbete Town Northwestern Ethiopia.J Parasitol. 2015(March 2010):16.

Andiarsa D, Hairani B, Meliyanie G, Fakhrizal D. 2012. Infeksi cacing, imunitas dan alergi.Jurnal Buski. 4(1):47-52.

Arrasyd NK. 1999. Kontaminasi tanah oleh soil-transmitted-helminthdi Ambarita Pagururan Pulau Samosir. Dalam: Samad H. 2009. Hubungan infeksi dengan pencemaran tanah oleh telur cacing yang ditularkan melalui tanah dan perilaku anak sekolah dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung [thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Bianucci R, Torres EJL, Santiago JMFD, Ferreira LF, Nerlich AG, Souza SMMD, et al. 2015. Trichuris trichiura in a post-colonial Brazilian mummy. Mem Inst Oswaldo Cruz. 110(1):145147.

CDC. 2015. Parasites-ascariasis [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html.

CDC. 2013. Parasites-trichuriasis [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/.

CDC. 2013. Parasites-hookworm [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/.

Chadijah S, Sumolang PPF, Veridiana NN. 2014. Hubungan pengetahuan, perilaku dan sanitasi lingkungan dengan angka kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di Kota Palu.Media Litbangkes.24(1):50-56.

Ching CW. 2010. Kontaminasi tanah oleh soil transmitted helminth di Dusun II Desa Sidomulyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Sumatera Utara tahun 2010 [Karya Tulis Ilmiah]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

(67)

60

Donkor K. 2014. Trichuris trichiura [diakses 19 September 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/art icle/788570.

Dwiyaniti M, Ashari D, Nitisasmita KM. 2011. Aplikasi GPS Berbasis GSM Modem pada Monitoring Bus.Jurnal Ilmiah Elite Elektro. 2(2):122-128.

Freeman MC, Chard AN, Nikolay B, Garm JV, Okoyo C, Kihara J, et al. 2015. Associations between school- and household-level water, sanitation and hygiene conditions and soil-transmitted helminth infection among Kenyan school children.Parasites & Vectors. 8(1):412.

Gabrie JA, Rueda MM, Canales M, Gyorkos TW, Sanchez AL. 2014. School hygiene and deworming are key protective factors for reduce transmission of soil transmitted helminths among schoolchildren in Honduras. Parasit & Vektors.7:354.

Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. 2002. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: FKUI.

Graham SR, Carlton C, Jamison B. 2011. The benefit of using geographic information systems as a community assessment tool. Public Health Rep. 126(2):298-303.

Haburchak DR. 2014. Hookworm disease [diakses 19 september 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/.

Hairani B, Waris L, Juhairiyah. 2014. Prevalensi Soil Transmitted helminth (STH) pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur.Jurnal Buski. 5(1): 43-48.

Hastutiek P, Fitri LE. 2007. Potensi Musca domestica Linn Sebagai Vektor Beberapa Penyakit.Jurnal Brawijaya. 23(3):125-136.

Ivakdalam LM. 2014. Pengendalian Tikus Sawah ( Rattus argentiventer) Menggunakan Pengujian Tiga Jenis Repelen.Agrilan. 2(1):2302-5352.

Kattula D, Sarkar R, Ajjampur SSR, Minz S, Levecke B, Muliyil J, et al. 2014. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth infection among school children in south India.Indian J. Med. Res. 139(1):76-82.

Kemendagri. 2011. Kabupaten lampung Selatan [diaks

Gambar

Gambar 1. Telur dan Ascaris lumbricoides dewasaKeterangan:kiri/kanan: Telurterfertilisasi pada feses basah tanpapewarnaan.Tengah : Cacing Ascaris lumbricoides betina dewasa (CDC,2015).
Gambar 4. Cacing lumbricoides
Gambar 6. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015).
Gambar 7. Telur dan Trichuris trichiura dewasaKeterangan:Kiri : Telur Trichuris trichiura dengan pewarnaan iodin padafeses basah.Kanan : Telur Trichuris trichiura tanpa pewarnaan pada fesesbasah.Tengah : Mikrograf dari Trichuris trichiura betina dewasadengan panjang sekitar 4 cm (CDC, 2013).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur cacing dan perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung Pengambilan sampel secara

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan subfaktor kesejahteraan inti dari faktor sosial ekonomi dan tingkat pengetahuan terhadap kejadian dan

Genteng dan batu bata sama-sama berbahan dasar tanah liat, selain itu juga berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul „Identifikasi Pencemaran Tanah oleh Telur dan Larva Soil-transmitted Helminths di Desa Klungkung,

Tingkat pengetahuan siswa tentang teknik mencuci tangan yang benar dengan kejadian diare di SDN 01 Pontianak Utara mempunyai hubungan yang signifikan (bermakna)

Hal ini sejalan dengan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar dimana terdapat hubungan yang bermakna antara