ABSTRACT
CORRELATION OF SOIL POLLUTION BY SOIL TRANSMITTED HELMINTH’SEGGS WITH HELMINTHIASIS IN STUDENT OF SDN 01
KRAWANGSARI NATAR By
Sevfianti
Helminthiasis incidence remains a public health problem. There are 24% of the world population is infected by STH. It is Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanusand Ancylostoma duodenale. Low socio-economic circumstances, environments with poor sanitation, did not pay attention to the cleanliness of food and drinks, causing high incidence of helminthiasis, especially in preschool and school age children.
This study was conducted to determine the relationship of soil contamination by STH’s eggs with helminthiasis in children. This research is an observational analytic study with cross sectional design with total sampling techniques. Stool examination were done in this research for students of SDN 01 Krawangsari Natar and soil student home yard. Stool and soil examinated by floating method and the supernatant examinated under microscop to find STH’s eggs.
The data analyzed was using of Chi-Square test, and the result is p = 0.062. Results showed that there was no significant corelation because ofp> 0.05. These result could be caused by several factors such as poor personal hygiene, low immunity, but there is a healthy environment.
There are no significant correlation of soil contamination by STH’s egg with helminthiasis incidence in student of SDN 01 Krawangsari Natar.
ABSTRAK
HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELURSOIL
TRANSMITTED HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI
NATAR
Oleh Sevfianti
Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Terdapat 24% populasi dunia terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, dan Ancylostoma duodenale. Keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan dengan sanitasi buruk, tidak memperhatikan kebersihan makanan dan minuman, merupakan penyebab tingginya angka kejadian kecacingan tersebut, terutama pada anak-anak usia prasekolah dan usia sekolah.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangancross sectional dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Dilakukan pemeriksaan terhadap feses siswa SDN 01 Krawangsari Natar dan tanah pada halaman rumah siswa. Feses dan tanah diperiksa dengan metode floating dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk menemukan telur STH.
Data dianalisis dengan uji Chi-Square dan didapatkan p=0,062. Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna karena p>0.05. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kebersihan pribadi yang buruk, imunitas yang lemah, namun terdapat sanitasi lingkungan yang baik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar.
HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELURSOIL TRANSMITTED HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN
KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR
Oleh SEVFIANTI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR SOIL-TRANSMITTED-HELMINTH(STH) DENGAN KEJADIAN
KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR
(Skripsi)
Oleh SEVFIANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. TelurAscaris lumbricoides...8
Gambar 2. TelurAscaris lumbricoidestidak terfertilisasi...8
Gambar 3. TelurAscaris lumbricoidesterfertilisasi...8
Gambar 4. Telurcacing lumbricoidesterdekortikasi, telur matang...9
Gambar 5. LarvaAscaris lumbricoides...9
Gambar 6. Siklus hidupAscaris lumbricoides...10
Gambar 7. TelurTrichuris trichiura...14
Gambar 8. Siklus hidupTrichuris trichiura...15
Gambar 9. Telur cacing kait...18
Gambar 10. Siklus hidup cacing kait...19
Gambar 11. Siklus penularan cacing pada anak-anak usia sekolah...24
Gambar 12. Kerangka teori...31
Gambar 13. Kerangka konsep...32
Gambar 14. Alur penelitian...42
Gambar 15. Karakteristik anak berdasarkan usia...46
Gambar 16. Persentase jumlah siswa per kelas...46
Gambar 17. Peta lokasi penelitian infeksi STH pada siswa SDN 01 Krawangsari Natar skala Kabupaten Lampung Selatan...49
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI...i
DAFTAR TABEL...iii
DAFTAR GAMBAR...iv
DAFTAR SINGKATAN...v
BAB I : PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang...1
1.2 Rumusan Masalah...4
1.3 Tujuan Penelitian...5
1.3.1 Tujuan Umum...5
1.3.2 Tujuan Khusus...5
1.4 Manfaat Penelitian...6
1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan...6
1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti...6
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi...6
1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat...6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA...7
2.1 Infeksi Kecacingan...7
2.1.1 Cacing Gelang...7
2.1.2 Cacing Cambuk...13
2.1.3 Cacing Kait...17
2.2 Pencemaran Tanah...23
2.2.1 Pengertian Pencemaran Tanah...23
2.2.2 Sumber-Sumber Pencemaran Tanah...23
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Tanah...25
ii
2.4 Kerangka Teori...31
2.5 Kerangka Konsep...32
2.6 Hipotesis...32
BAB III : METODE PENELITIAN...33
3.1 Desain Penelitian...33
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...33
3.3 Populasi dan Sampel...34
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian...35
3.5 Definisi Operasional...36
3.6 Pengumpulan Data...37
3.7 Instrumen Penelitian...37
3.8 Cara Kerja...37
3.9 Alur Penelitian...42
3.10 Pengolahan Data...43
3.11 Analisis Data...43
3.12 Etika Penelitian...44
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN...45
4.1 Hasil Penelitian...45
4.1.1 Karakteristik Siswa SDN 01 Krawangsari Natar...45
4.1.2 Analisis Univariat...47
4.1.3 Analisis Bivariat...47
4.1.4 Pemetaan Pencemaran tanah dan Kecacingan...49
4.2 Pembahasan...51
4.3 Keterbatasan Penelitian...56
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...57
5.2 Saran...58
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
ArcGIS :Geographic Information System
CDC :Center for Disease Control and Prevention GPS :Global Positioning System
Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri MgSO4 :Magnesium Sulfate
NaCl :Natrium Chloride
NAVSTAR : Navigation Satellite Timing and Ranging PERMENLH : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup PPS :Precise Positioning Service
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Definisi Operasional...36
Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Feses...38
Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Tanah...40
Tabel 4. Karakteristik Anak Berdasarkan Jenis Kelamin...45
Tabel 5. Persentase Pencemaran Tanah oleh Telur STH...47
Tabel 6. Persentase Kejadian Kecacingan pada Anak...47
Tabel 7. Hubungan Pencemaran tanah oleh Telur STH dengan Kejadian Kecacingan pada Anak...48
MOTO
“Ingatlah. Kita tak harus menjadi anak penjabat dulu baru bisa sukses”
(Sevfianti)
“Janganlah Kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”
(QS. At-Taubah: 40)
“Barangsiapa yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengumpulkan harta
karena takut miskin, maka dialah orang miskin”
Saya dedikasikan penelitian ini untuk orang-orang yang saya sayangi, cintai, serta
banggakan yang memberikan saya motivasi, ketulusan, kasih sayang, bantuan,
dan doa dengan segala keikhlasan dan kesabaran yaitu
Ayah, Ibu, Erizal, Eri Supriadi, Erawati, Eryenita, Dedi Mizwar, Mahmeldi, Robby Romadhoni, dr. Betta, dr. Hanna, dr. Jhons, Keluarga besar di Riau
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Semelinang Darat, Riau pada tanggal 27 September
1994 dengan nama Sevfianti sebagai anak kedelapan dari delapan bersaudara,
pasangan dari Ayahanda M. Jamil dan Ibunda Yustinar. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri 010 Semelinang Darat pada tahun
2006. Pendidikan menengahnya diselesaikan di Madrasah Tsanawiyah Swasta
Miftahul Jannah Peranap pada tahun 2009. Setelah menyelesaikan pendidikan
menengahnya, penulis melanjutkan jenjang pendidikan tingkat atas di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Peranap dan selesai pada tahun 2012.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung sejak tahun 2012. Pada masa perkuliahan,
penulis mengikuti organisasi Anggota Bidang Pakis Rescue Team Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung Periode 2012-2013, Anggota Forum Studi
Islam Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Paduan Suara Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, serta menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Margajaya, Kecamatan Selagai Lingga, Kabupaten Lampung
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT
yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Shalawat beriring salam kepada junjungan kita,
Rasulallah Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir.
Skripsi dengan judul“Pengaruh pencemaran tanah oleh telurSoil Transmitted Helminth (STH) dengan kejadian kecacingan pada anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) 01 Krawangsari Natar” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M. P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Dr. dr. Muhartono, S. Ked, M. Kes, Sp. PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. Dr. dr. Asep Sukohar, M. Kes., selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
4. Dokter Fitria Saftarina, M. Kes., selaku Wakil Dekan II Fakultas
5. Dokter Betta Kurniawan, M. Kes., selaku Wakil Dekan III Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung sekaligus selaku Pembimbing Utama.
Terima kasih atas kebaikan hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran
dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Dokter Hanna Mutiara, M. Kes., selaku Pembimbing Kedua atas kebaikan
hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik, saran dan motivasi yang telah
diberikan;
7. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, M. Kes., selaku Penguji Utama. Terima
kasih atas kebaikan hati, bimbingan, waktu, ilmu, kritik dan saran yang telah
diberikan;
8. Dokter Susianti, M. Kes., selaku Pembimbing Akademik atas kebaikan hati,
perhatian, pengarahan, dan saran yang telah diberikan;
9. Terima kasih kepada Ibunda (Yustinar) atas semua cinta, kasih sayang,
pengorbanan, ketulusan, dan doa sehingga aku dapat tumbuh dan dewasa
sampai saat ini. Terimakasih telah mewujudkan cita-citaku. Semoga ibunda
selalu sehat dan bahagia. Semoga aku dapat menjadi anak yang ibunda
banggakan;
10. Terima kasih kepada Ayahanda (M. Jamil) atas semua cinta, kasih sayang,
pengorbanan, ketulusan, dan doa sehingga aku dapat tumbuh dan dewasa
sampai saat ini. Terimakasih atas jerih payah ayahanda yang tak akan
pernah bisa terbalas. Semoga aku dapat menjadi anak yang ayah banggakan;
11. Terima kasih kepada saudaraku (Erizal, Eri Supriadi, Erawati, Eryenita,
Dedi Mizwar, Mahmeldi, Robby Romadhoni), atas kasih sayang, dukungan,
cita. Apapun yang terjadi suatu saat nanti kita akan tetap bersama,
bahu-membahu menjaga nama baik keluarga;
12. Terima kasih kepada Paman dan Bibiku (Syahril dan Kasiah), atas kasih
sayang, perhatian, bantuan dan dukungan yang telah diberikan;
13. Terima kasih kepada Om dan Uniku (Rizal dan Sandra), atas kasih sayang,
perhatian, bantuan dan ketulusan yang telah diberikan. Semoga om bahagia
disisi Allah SWT;
14. Terima kasih kepada keponakanku (Adinda Oktari, Arief Rizaldi, Ahmad
Jawad A, Aisyah, M. Rifqi, Habbil FA, Hafizhah AA, Habbib AA, Hanifah
SA), atas tingkah lucu, kasih sayang, dan semangat yang telah diberikan;
15. Terima kasih kepada Pakde dan Bukde (Suwandi dan Sulis), yang telah
menyayangi dan menjadi orangtuaku disini.
16. Terima kasih kepada saudaraku (Yopi Dwi Muhyi, Rangga Enisman,
Septhian Tiyo, Lely Myutiara), atas perhatian, kasih sayang, dan dukungan
yang telah diberikan;
17. Terima kasih kepada sahabatku (Risa, Nurul, Adel, Debby, Hendra), adikku
(Destika Sari) dan Veriza NF; yang telah membantuku dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
18. Terima kasih kepada sahabat seperjuanganku (Silvi, Risa, Kadek, Delvi,
Siti, Thasia, Imel, Tika, Aulia, Redo) atas kebersamaan, ketulusan, dan
semangat dalam menggapai cita-cita bersama;
19. Terima kasih kepada teman-teman STH (Aulia, Eva, Nurul, Risa, Sheba,
20. Terima kasih seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang
telah diberikan;
21. Terima kasih kepada seluruh staf Tata Usaha dan Akademik FK Universitas
Lampung dan pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini;
22. Keluarga KKN Margajaya (Ade Agung D, Hafiz Luthfi, Hendra Effendi,
Jessica Yunggo, Rahmawati Handayani, Rischa Meiyani, Veriza Nanda F),
terimakasih atas kebersamaan, tingkah lucu, motivasi, doa, dan menjadi
keluarga yang sangat luar biasa.
23. Teman-teman angkatan 2012 yang tak bisa disebutkan satu per satu.
Terimakasih atas kebersamaan, ilmu, dan motivasi belajar dalam menggapai
cita-cita bersama;
24. Seluruh kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002-2015) atas
motivasi dan semangat dalam satu kedokteran;
Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari
Allah SWT. Aamiin. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terima
kasih.
Bandar lampung, Februari 2016
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih
dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH)
(Freeman et al, 2015). Data dari World Health Organization (WHO) pada
tahun 2015 menyebutkan bahwa lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari
populasi dunia terinfeksi oleh cacing yang ditularkan melalui tanah. Angka
kejadian terbesar terdapat di Sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia
Timur. Di Indonesia pun prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi, yaitu
45-65%. Di wilayah-wilayah tertentu dengan sanitasi yang buruk, prevalensi
kecacingan dapat mencapai 80% (Chadijah, 2014). Akan tetapi, tidak
terdapat data pasti mengenai prevalensi kecacingan di Provinsi Lampung,
khususnya Kabupaten Lampung Selatan.
Spesies cacing utama yang menginfeksi manusia adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing kait
(Necator americanusdanAncylostoma duodenale). Lebih dari 270 juta anak
usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah tinggal di daerah
2
menginfeksi manusia diantaranya Strongyloides stercoralis, beberapa
spesies Trichostrongylus, Oxyuris vermicularis, dan Trichinella spiralis
(Sutanto, 2011). Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dengan
sanitasi yang buruk, tidak memperhatikan kebersihan makanan atau
minuman, bermain di tanah, tidak mencuci tangan sebelum makan, BAB di
sembarang tempat, dan pemanfaatan feses sebagai pupuk tanaman menjadi
faktor risiko infeksi cacing (Rahayu, 2013).
Infeksi STH ditularkan melalui telur cacing yang terdapat dalam feses
manusia yang terinfeksi. Cacing dewasa yang tinggal di usus dapat
menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah yang sanitasinya tidak
memadai, telur-telur ini akan mencemari tanah dengan berbagai cara. Telur
dapat melekat pada sayuran yang kemudian tertelan tanpa dicuci, dikupas
dan dimasak dengan baik. Telur dapat tertelan dari sumber air yang
terkontaminasi, dan telur tertelan oleh anak-anak yang bermain tanah yang
terkontaminasi kemudian meletakkan tangan dimulut tanpa mencuci tangan.
Selain itu, penularan cacing kait dapat menembus kulit yang terjadi pada
orang-orang yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki pada tanah yang
terkontaminasi (WHO, 2015).
Kejadian kecacingan banyak pada anak-anak dan orang-orang miskin
(Freeman et al, 2015). Anak-anak sering menderita kecacingan karena
kurangnya kebersihan diri dan lingkungan, rendahnya pendidikan,
3
buruk, serta sering bermain tanah (Alelign et al, 2015). Chadijah (2014)
dalam penelitiannya mengatakan bahwa anak usia Sekolah Dasar (SD) lebih
sering diserang oleh infeksi cacing dikarenakan aktivitas mereka yang lebih
banyak berhubungan dengan tanah. Selain itu, Kattula (2014) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah kumuh
memiliki risiko tinggi infeksi STH daripada anak-anak yang tinggal di kota.
Pencemaran tanah oleh feses yang terinfeksi merupakan media penularan
yang baik bagi penularan STH. Samad (2009) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara jumlah telur cacing
di tanah dengan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides. Semakin banyak
telur di tanah semakin bertambah tingkat intensitas infeksi cacing.
Perbedaan terdapat pada Trichuris trichiura. Jumlah telur Trichuris
trichiura di tanah tidak mempunyai korelasi yang bermakna dengan
intensitas infeksi Trichuris trichiura. Anak-anak yang menderita infeksi
STH namun tinggal di lingkungan yang tidak tercemar kemungkinan
mendapatkan infeksi dari tempat bermain yang lingkungannya tercemar
oleh feses yang mengandung telur cacing. Oleh karena itu, pengendalian
lingkungan dari STH dapat menjadi upaya yang efektif untuk mencegah
infeksi cacing (Freemanet al,2015).
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan bahwa kejadian
kecacingan masih banyak di Indonesia dan berkaitan dengan pencemaran
4
hubungan pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan
pada siswa SDN 01 Krawangsari Natar. SDN 01 Krawangsari Natar
merupakan sekolah dasar yang lingkungannya masih berupa tanah. Halaman
rumah siswa-siswi pun masih berupa tanah. Saat bermain di lingkungan
rumah dan sekolah, siswa-siswi ini sering tidak menggunakan alas kaki dan
bermain tanah sehingga pada kuku kaki dan tangan siswa-siswi ini terdapat
banyak kotoran yang dapat menjadi sumber penularan infeksi cacing.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Berapakah prevalensi kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari
Natar?
2. Berapakah prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di halaman
rumah anak SDN 01 Krawangsari Natar?
3. Bagaimanakah distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak di
Desa Krawangsari Natar?
4. Bagaimanakah distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH di
sekitar tempat tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar?
5. Apakah terdapat hubungan pencemaran tanah oleh telur STH di sekitar
tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan kejadian kecacingan
pada anak SDN 01 Krawangsari Natar.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui prevalensi kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari
Natar.
2. Mengetahui prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di
halaman rumah anak SDN 01 Krawangsari Natar.
3. Mengetahui distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak
SDN 01 Krawangsari Natar.
4. Mengetahui distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH
di sekitar tempat tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar.
5. Mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur STH di sekitar
tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan pada anak SDN
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan parasitologi dan
epidemiologi tentang kejadian kecacingan dan pencemaran tanah oleh
telur STH.
1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai sarana bagi peneliti untuk mengaplikasikan teori yang telah
dipelajari selama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk
penelitian selanjutnya tentang kecacingan pada anak agar dilakukan
penyempurnaan atas kelemahan yang terdapat pada penelitian ini.
1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan pemahaman kepada masyarakat luas khususnya
masyarakat di SDN 01 Krawangsari Natar mengenai faktor-faktor
yang dapat meningkatkan kejadian kecacingan serta bahayanya bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Kecacingan
Helminthiasisatau kecacingan menurut World Health Organization(WHO)
adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan
cacing kait (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (WHO,
2015). Nematoda ini tergolong Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu
nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif,
memerlukan tanah dengan kondisi tertentu (Safar, 2010).
2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) 2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup
Ascaris lumbricoides merupakan parasit nematoda terbesar pada
usus manusia, dengan ukuran betina dewasa 20-35 cm, dan jantan
dewasa 15-30 cm (Centers for Disease Control and Prevention,
2015). Cacing dewasa berbentuk silinder dan berwarna merah
8
Gambar 1. Telur danAscaris lumbricoidesdewasa Keterangan:
kiri/kanan: Telur terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan.
Tengah : CacingAscaris lumbricoidesbetina dewasa (CDC, 2015).
Cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari
yang terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi
(Sutanto et al, 2011). Telur yang dikeluarkan diletakkan di lumen
usus. TelurAscaris lumbricoides yang dibuahi berukuran 40 X 60
µm, ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick
hyaline shell. Telur yang tidak dibuahi berukuran 90x40 µm,
berbentuk lonjong tidak teratur, dindingnya terdiri dari dua lapisan
dan bagian dalam telur bergranula (Soedarmo, 2012).
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoidestidak terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan (CDC, 2015).
Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan, dengan
embrio pada tahap awal
9
Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi dapat tumbuh pada
suhu optimum 25-30˚C. Telur cacing ini tidak akan menetas
ditanah dan dapat bertahan hidup selama beberapa tahun (Sutanto
et al, 2011).
Gambar 4. Cacing lumbricoides terdekortikasi, telur matang pada feses basah, pembesaran 200X (CDC, 2015)
Gambar 5. Larva Ascaris
lumbricoides menetas dari telur
(CDC, 2015).
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi akan
berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu lebih kurang 3
minggu. Bentuk infektif tersebut yang apabila tertelan oleh
manusia, akan menetas di usus. Kemudian larva menembus dinding
usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu
dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Di
paru, larva menembus dinding pembuluh darah, kemudian dinding
alveolus, lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea, larva menuju faring sehingga menimbulkan rangsangan
batuk pada faring. Batuk karena rangsangan tersebut menyebabkan
10
halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang
tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu sekitar
2-3 bulan (Sutantoet al, 2011).
Gambar 6. Siklus hidupAscaris lumbricoides(CDC, 2015).
2.1.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan 1,3 milyar orang di dunia pernah terinfeksi Ascaris
lumbricoides. Infeksi tidak jarang bercampur dengan cacing lain,
yaitu Trichuris trichiura (Soedarmo, 2012). Cacing ini ditemukan
kosmopolit. PrevalensiAscaris Lumbricoides di Indonesia adalah
11
2.1.1.3 Patologi dan Gejala Klinis
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.
Ascaris lumbricoides menyebabkan penyakit askariasis. Gejala
klinis yang timbul disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan pada larva terjadi saat larva berada di paru-paru. Pada
orang-orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil di dinding
alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk,
demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang
menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut dengan
sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Gangguan dapat berupa gangguan usus ringan,
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak dapat menyebabkan malabsorbsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status
kognitif pada anak sekolah dasar. Efek serius akan terjadi bila
cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus
(ileus). Pada keadaan tertentu, cacing dewasa dapat menjalar ke
saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus sehingga menimbulkan
keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan operatif (Sutanto
et al,2011).
2.1.1.4 Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis askariasis adalah dengan pemeriksaan
12
diagnosis askariasis. Selain itu, diagnosis dapat pula ditegakkan
bila terdapat cacing dewasa keluar dengan sendirinya, baik melalui
mulut ataupun hidung karena muntah maupun melalui tinja
(Sutantoet al,2011).
2.1.1.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari askariasis adalah kolangitis akut,
apendisitis, kolangitis asending, asma, kolesistitis dan kolik saluran
empedu, pankreatitis, cacing tambang, obstruksi usus besar,
obstruksi usus halus, dan strongiloidiasis (Laskey, 2014).
2.1.1.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan askariasis menurut Kemenkes RI Nomor 5 tahun
2014 adalah sebagai berikut.
a. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya
kebersihan diri dan lingkungan, antara lain kebiasaan mencuci
tangan dengan sabun, menutup makanan, masing-masing
keluarga memiliki jamban keluarga, tidak menggunakan tinja
sebagai pupuk, menjaga kondisi rumah dan lingkungan agar
tetap bersih dan tidak lembab.
b. Farmakologis
• Pirantel pamoat, 10 mg/kgBB, dosis tunggal
13
• Albendazol, 400 mg, dosis tunggal dan tidak boleh
diberikan pada ibu hamil.
2.1.1.7 Pencegahan
Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan
sanitasi, tidak berak di sembarang tempat, melindungi makanan
dari pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan,
dan tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar,
2010).
2.1.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) 2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Cacing Trichuris trichiurabetina memiliki panjang kira-kira 5 cm,
sedangkan yang jantan memiliki panjang kira-kira 4 cm. Bagian
anterior langsing seperti cambuk, dengan panjang kira-kira 3/5 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk,
pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing
jantan bentuknya melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing
dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anterior
seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus (Sutantoet al, 2011).
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari
antara 3000-20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan
14
luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalam berwarna
jernih. Panjang telurTrichuris trichiuraadalah 50-55 µm dan lebar
22-24 µm (Sutanto et al, 2011). Telur Trichuris trichiura akan
matang dalam 3-6 minggu pada suhu optimum kira-kira 30˚C
(Gandahusada, 2002). Telur matang spesies ini tidak menetas
dalam tanah dan dapat hidup selama beberapa tahun (Sutantoet al,
[image:33.595.173.515.292.388.2]2011).
Gambar 7. Telur danTrichuris trichiuradewasa Keterangan:
Kiri : TelurTrichuris trichiuradengan pewarnaan iodin pada feses basah.
Kanan : TelurTrichuris trichiuratanpa pewarnaan pada feses basah.
Tengah : Mikrograf dari Trichuris trichiura betina dewasa dengan panjang sekitar 4 cm (CDC, 2013).
Telur Trichuris trichiura yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
melalui tinja. Dalam lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah yang
lembab dan teduh, telur akan matang dalam waktu 3-6 minggu.
Telur matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk
infektif. Infeksi secara langsung terjadi bila hospes secara tidak
sengaja tertelan telur matang. Larva akan keluar melalui dinding
telur dan masuk kedalam usus halus. Setelah dewasa, cacing turun
15
Cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan sejak
telur tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur kembali adalah
[image:34.595.185.506.185.459.2]sekitar 30-90 hari (Sutanto, 2011).
Gambar 8.Siklus hidupTrichuris trichiura(CDC, 2013).
2.1.2.2 Epidemiologi
Trichuris trichiura adalah cacing yang ditularkan melalui tanah
yang banyak ditemukan di daerah yang lembab, tropis dan
subtropis dan daerah dengan sanitasi yang buruk (Bianucci et al,
2015). Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 2,2 juta orang
terinfeksiTrichuris trichiura. Infeksi cacing ini ini lebih banyak di
negara-negara berkembang. Infeksi cacing ini lebih banyak pada
16
buruk dan lebih sering mengkonsumsi tanah (Donkor, 2014).
Cacing ini bersifat kosmolit, terutama dinegara panas dan lembab
seperti Indonesia (Sutantoet al, 2011).
2.1.2.3 Patologi dan Gejala Klinis
Infeksi berat oleh Trichuris trichiura yang terjadi terutama pada
anak-anak, cacing dapat menyebar di seluruh kolon dan rektum.
Dapat pula terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat penderita yang mengejan saat defekasi. Cacing dapat
memasukkan kepalanya ke mukosa usus, sehingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan pada mukosa usus.
Ditempat perlekatan tersebut, dapat pula terjadi perdarahan. Selain
itu, cacing juga mengisap darah hospes sehingga menyebabkan
anemia. Gejala yang timbul pada anak-anak adalah diare yang
diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan menurun, dan
prolapsus rektum (Sutanto et al, 2011).
2.1.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan ditemukan telur cacing dalam
tinja atau ditemukan cacing dewasa pada anus atau prolaps rekti
17
2.1.2.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari trichuriasis adalah anemia kronis,
gastroenteritis, giardiasis dan infeksi cacing parasit lainnya
(Donkor, 2014).
2.1.2.6 Tatalaksana
Mebendazol merupakan obat pilihan untuk trichuriasis dengan
dosis 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
Albendazol untuk anak-anak diatas 2 tahun diberikan dosis 400 (2
tablet) atau 20 ml suspensi berupa dosis tunggal. Sedangkan
anak-anka dibawah 2 tahun, diberikan setengahnya (Soedarmo, 2012).
Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB dan Oksantel
pamoat 10-20 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal (Supali, 2008).
2.1.2.7 Pencegahan
Pencegahan terutama dilakukan dengan menjaga hygiene dan
sanitasi, tidak berat di sembarang tempat, melindungi makanan dari
pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan
tidak memakai tinja manusia sebagai pupuk tanaman (Safar, 2010).
2.1.3 Cacing kait (Necator americanusdanAncylostoma duodenale) 2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
Ancylostoma duodenale memiliki ukuran lebih besar daripada
18
mm, dan cacing jantan berukuran 8-11 x 0,5 mm. Bentuk cacing ini
menyerupai huruf C. Rongga mulut Ancylostoma duodenale
memiliki dua pasang gigi (Safar, 2010).
Necator americanus betina memiliki ukuran 9-11 x 0,4 mm dan
yang jantan berukuran 7-9 x 0,3 mm. Bentuk cacing ini seperti
huruf S. Necator americanus memiliki sepasang benda kitin. Alat
kelamin pada cacing jantan adalah tunggal, disebut dengan bursa
[image:37.595.231.437.349.474.2]copalatrix (Safar, 2010).
Gambar 9. Telur cacing kait (Haburchak, 2014).
Cacing betina Necator americanus setiap hari mengeluarkan telur
sekitar 9000 butir, sedangkan acing betina Ancylostoma duodenale
mengeluarkan telur sekitar 10.000 butir. Telur cacing kait memiliki
ukuran kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai
dinding tipis. Didalamnya terdapat 4-8 sel. Panjang larva
rabditiform kira-kira 250 mikron, sedangkan panjang larva
filariform kira-kira 600 mikron. Telur dikeluarkan dengan tinja
19
rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari, larva rabditiform
tumbuh menjadi larva filariform yang kemudian menembus kulit
dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus
kulit, larva akan mengikuti kapiler darah menuju jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring, kemudian usus halus
(gandahusada, 2002). Suhu optimum bagi Necator americanus
adalah 28-32˚C, dan untuk Ancylostoma duodenale adalah 23
-25˚C. Inilah sebabnya di Indonesia Necator americanus lebih
[image:38.595.199.497.349.575.2]banyak ditemukan di Indonesia (Sutantoet al, 2011).
Gambar 10. Siklus hidup cacing kait (CDC, 2013).
2.1.3.2 Epidemiologi
Cacing ini terdapat hampir diseluruh daerah khatulistiwa, terutama
20
tinggi sekitar 60-70%, terutama di daerah pertanian dan pinggir
pantai (Safar, 2010).
2.1.3.3 Patologi dan Gejala Klinis
Larva cacing kait memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya
sehingga olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan
perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva (Sutantoet al,
2011). Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan larva
filariform atau dengan cara larva filariform menembus kulit.
Necator americanus lebih menyukai infeksi melalui kulit,
sedangkan Ancylostoma duodenale lebih banyak dengan cara
tertelan. Jika infeksi kedua cacing ini terjadi melalui menelan larva,
maka cacing ini tidak memiliki siklus di paru. Saat larva menembus
kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk ke kulit dan
menimbulkan gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption
(cutaneus larva migrans) berasal dari larva cacing kait yang berasal
dari hewan seperti kucing dan anjing, tetapi kadang-kadang
disebabkan oleh Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.
Saat larva melewati paru, dapat menyebabkan pneumonitis tetapi
jarang.
Cacing dewasa hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan
melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang ditimbulkan berupa
21
Infeksi kronis dapat menimbulkan gejala anemia,
hipoalbuminemia, dan edema. Kadar albumin kurang dari 5
gram/dL dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian.
Kehilangan darah yang disebabkan oleh Necator americanus
adalah 0,03-0,05 ml darah per cacing per hari, dan 0,16-0,34 ml
darah per cacing per hari oleh Ancylostoma duodenale(Soedarmo,
2012).
2.1.3.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur didalam feses
segar dan larva pada tinja yang sudah lama. Telur kedua spesies ini
tidak dapat dibedakan. Untuk dapat membedakan spesies, telur
dibiakkan menjadi larva dengan salah satu cara yaitu Harada Mori
(Safar, 2010).
2.1.3.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari infeksi cacing kait adalah anemia akut,
amebiasis, askariasis, asma, gastroenteritis bakteri, pneumonia
bakteri, bronkiolitis, anemia kronik, defisit kognitif, dermatitis
kontak, eosinofilia, gastroenteritis, kegagalan pertumbuhan, anemia
hemolitik, hipersensitivitas pneumonitis, anemia defisiensi besi,
sindrom loffler, pneumonia, skabies, scistosomiasis,
22
2.1.3.6 Tatalaksana
Creeping eruption di tatalaksana dengan liquid nitrogen atau
kloretilen spray, tiabendazol topikal selama 1 minggu. Selain itu,
penggunaan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut sudah
terbukti memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan terhadap
cacing dewasa digunakan gabungan pirantel-pamoat dengan
mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10
mg/kgBB diberikan pada pagi hari diikuti dengan pemberian
mebendazol 100 mg 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hasil
pengobatan sangat memuaskan terutama bila terdapat infeksi
bersama dengan cacing-cacing lain (Soedarmo, 2012).
Terapi penunjang yang dilakukan yaitu dengan memberikan
makanan bergizi dan preparat besi untuk mencegah anemia. Pada
keadaan anemia yang berat (Hb<5 mg/dl), diberikan preparat besi
sebelum dimulai pengobatan dengan obat cacing. Besi elementer
diberikan secara oral dengan dosis 2 mg/kgBB 3 kali sehari sampai
tanda-tanda anemia hilang (Soedarmo, 2012).
2.1.3.7 Pencegahan
Pencegahan untuk infeksi cacing kait dilakukan dengan
pemberantasan sumber infeksi pada populasi, perbaikan sanitasi
dan kebersihan pribadi maupun lingkungan, serta mencegah
23
terbaik mencegah infeksi cacing kait adalah tidak berjalan tanpa
alas kaki di daerah yang mungkin terdapat cacing kait atau pada
tanah yang terkontaminasi, hindari kontak dengan tanah yang
tercemar, dan hindari penelanan tanah. Infeksi juga dapat dicegah
dengan tidak buang air besar diluar ruangan dan dengan sistem
pembuangan limbah yang efektif (CDC, 2013).
2.2 Pencemaran Tanah
2.2.1 Pengertian Pencemaran Tanah
Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain. Pencemaran yang terjadi pada lingkungan hidup merupakan
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau
komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan (PERMENLH, 2014).
2.2.2 Sumber-Sumber Pencemaran Tanah
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur
cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang
mengandung telur cacing (Chadijah, 2014). Infeksi oleh STH
24
akhirnya mencemari tanah di daerah yang sanitasinya buruk
(WHO, 2015). Telur cacing tersebut akan masuk ke mulut melalui
makanan (Chadijah, 2014). Infeksi cacing STH ini tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis, karena berhubungan dengan kurangnya
sanitasi dan kemiskinan (WHO, 2015).
Gambar 11. Skema siklus hidup / Siklus penularan cacing pada anak-anak usia sekolah (WHO, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Ching (2010) di Desa Sidomulyo,
Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara didapatkan
hasil bahwa persentase kontaminasi tanah oleh telur STH di
halaman rumah penduduk dusun II Desa Sidomulyo adalah sebesar
70% dan spesies terbanyak yang mengkontaminasi tanah
dihalaman rumah penduduk adalah Ascaris lumbricoides yaitu
sekitar 32,5%.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Samad (2009) di
[image:43.595.185.512.243.414.2]25
Utara, didapatkan hasil bahwa proporsi tanah pekarangan rumah
yang tercemar lebih banyak daripada yang tidak tercemar. Dari
semua sampel tanah pekarangan rumah yang telah di uji,
didapatkan tanah yang tidak tercemar oleh telur cacing hanya
47,5%, sedangkan tanah yang tercemar oleh telur cacing adalah
52,5%. Disebutkan bahwa pekarangan depan merupakan bagian
yang paling banyak dijumpai telur yaitu sekitar 1-9 butir, dengan
pencemaran terbanyak oleh Ascaris lumbricoides. Penelitian ini
menyebutkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara jumlah telur
ditanah dengan intensitas infeksi Ascaris lumbricoides,tetapi tidak
ada korelasi bermakna antara jumlah telur ditanah dengan intensitas
infeksiTriuchuris trichiura.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Tanah
Kelangsungan hidup parasit diluar sistem gastrointestinal
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan. Menurut WHO
(2004), faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pencemaran tanah oleh STH dibedakan menjadi tiga kategori,
yaitu:
2.2.3.1 Faktor Fisik a. Suhu
Secara umum, suhu diatas 60˚C dapat mematikan telur cacing.
26
perkembangan dan kelangsungan hidup telur cacing dibedakan
menjadi tiga, yaitu: • Suhu optimum
Suhu optimum adalah suhu antara 16±1˚C dan 34±1˚C. Pada
suhu ini terjadi peningkatan laju perkembangan dan
peningkatan kelangsungan hidup cacing. • Suhu minimum
Telah dilaporkan mengenai pengaruh suhu rendah terhadap
telur cacing. Suhu antara 8,9˚C sampai 15,6˚C akan
menghambat perkembangan sel-sel yang terdapat didalam
telur cacing. • Suhu maksimum
Fakta menunjukkan bahwa suhu tinggi dapat menghambat
semua proses fisiologis. Penghambatan yang sama akan
terjadi pada perkembangan telur cacing yang terkena suhu
tinggi. Pemanasan dapat menghambat perkembangan telur
cacing.
b. Sinar matahari dan radiasi ultraviolet
Beberapa penelitian tentang efek radiasi terhadap telur Ascaris
spp, didapatkan bahwa radiasi dapat merusak telur cacing dan
larva. Selain itu, telur cacingAscarisjuga dapat dibunuh dengan
paparan sinar ultraviolet dari panjang gelombang 280 nm –315
nm atau 180 nm – 315 nm. Dikatakan bahwa telur Trichuris
27
yang meliputi luar telur sehingga memberikan perlindungan
yang cukup dari sinar cahaya yang pendek. Pada cacing kait,
larva lebih cenderung memilih daerah berbayang sehingga
cahaya merupakan stimulus yang dapat meningkatkan aktivitas
larva yang akan meningkatkan deplesi lipid.
c. Musim
Kelembaban minimum yang diperlukan oleh telur Ascaris
adalah 22˚C. Dikatakan bahwa kekeringan yang ekstrim dapat
merusak telur cacing.
2.2.3.2 Faktor Kimia a. pH
Telur parasit dianggap sangat tahan terhadap pH yang ekstrim.
Tanah dan kotoran selain memberikan pH yang optimal untuk
penetasan telur cacing, juga dapat meberikan nutrisi dan
elektrolit yang dibutuhkan telur cacing untuk berkembang lebih
lanjut membentuk larva infektif. PH optimal untuk Necator
americanusadalah 6.0
b. Substansi Kimia
Substansi-substansi kimia beracun seperti asam klorida, asam
sulfat, asam asetat, asam nitrat, asam karbonat, natrium
hidroksida, merkuri klorida dan formaldehid dapat merusak
28
c. Oksigen
Kekurangan oksigen dapat menghambat metabolisme seluruh
nematoda dan akan mempengaruhi aktivitas nematoda tersebut.
PadaAscaris, laju perkembangan akan tertekan jika konsentrasi
oksigen rendah. Telur Trichuris juga tidak berbeda dengan
Ascaris. Karbon dioksida yang dilepaskan jika dibiarkan tetap
berdekatan dengan telur akan menghambat perkembangan
embrio.
2.2.3.3 Faktor Biologi
Faktor biologi yang telah terbukti mempengaruhi perkembangan
telur parasit adalah jamur dan berbagai invertebrata. Jamur ovicidal
mampu menghancurkan telurAscaris lumbricoides. Kecepatan efek
bergantung pada spesies dan jenis jamur. Jamur lain yang telah
terbukti dapat menembus dan menghancurkan telur adalah
Cylindrocarpon radicola. Invertebrata khususnya serangga dan
gastropoda juga dapat merusak telur cacing dengan cara memakan
telur-telur cacing tersebut.
2.3 Pemetaan
GPS (Global Positioning System) merupakan suatu aplikasi untuk
menemukan tempat yang terdapat pada semua lapisan masyarakat, seperti
navigasi, pemetaan, survei tanah, dan tracking. Terdapat ribuan pengguna
29
ditemukan, dikontrol dan dioperasikan oleh departemen pertahanan
Amerika Serikat (Rajendran et al, 2011). Nama resmi GPS adalah
NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global
Positioning System) (Noviantaet al, 2015).
Sistem koordinat global pada GPS dapat menentukan koordinat posisi benda
di bumi melalui koordinat lintang, bujur, maupun ketinggiannya (Dwiyaniti
et al, 2011). Segmen satelit terdiri dari minimal 21 satelit dan 3 satelit suku
cadang. Satelit GPS menyiarkan dua sinyal, yaitu PPS (Precise Positioning
Service) yang tersedia untuk militer dan pemerintah, dan SPS (Standart
Positioning Service) yang dapat digunakan oleh publik. Secara umum,
penerima GPS dapat menentukan informasi mengenai posisi dengan
kesalahan kurang dari 10 meter dan kecepatan informasi kurang dari 5 menit
per detik (Rajendranet al, 2011).
Berbagai alat digunakan untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat,
berupa pengamatan etnografi, wawancara, dan survei. Lebih dari 100 tahun
yang lalu, Jhon Snow menggunakan peta untuk menemukan sumber kolera.
Snow menggali informasi mengenai kesehatan individu dalam suatu
masyarakat dan menciptakan peta wabah, menghubungkan informasi ke
lokasi geografis individu tersebut, dan akhirnya menemukan sumber
epidemi. Penerapan metode modern Snow yang menggunakan Geographic
System Information (GIS) sebagai alat pengumpulan informasi mengenai
30
sampai ke tingkat dasar. Peta yang dihasilkan dari GIS dapat digunakan
untuk menggambarkan hubungan dan menentukan area yang signifikan
dalam masyarakat. Melalui penggunaan data sensus dan koordinat dari GIS,
para peneliti mampu mengungkapkan hubungan yang signifikan antara
lingkungan dan masalah kesehatan yang ada dimasyarakat. Para peneliti
menyimpulkan bahwa pemetaan GIS membuat informasi kesehatan lebih
mudah diakses, dan memudahkan pemerintah untuk mengakses masalah
31
2.4 Kerangka Teori
Keterangan :
: yang diamati dalam penelitian
[image:50.595.126.513.116.545.2]: menyebabkan
Gambar 12. Kerangka Teori
Kebersihan Lingkungan Umur dan
pendidikan
Kejadian kecacingan
Gejala : batuk, demam, mual, muntah, diare, konstipasi, disentri
Pencemaran tanah oleh telur cacing Kebersihan
Individu
Gangguan gizi: BB menurun Kehadiran disekolah menurun
Penurunan aktivitas fisik dan penurunan perkembangan kognitif
Kehilangan darah
Nafsu makan
Gangguan absorbsi
32
2.5 Kerangka Konsep
[image:51.595.139.485.145.236.2]Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 13.Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Terdapat hubungan antara pencemaran tanah oleh telur STH dengan
kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar. Pencemaran tanah
oleh telur STH
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan
rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran
variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan
data sekaligus dalam suatu waktu dengan tujuan untuk mecari hubungan
antara variabel independen (pencemaran tanah oleh telur STH) terhadap
variabel dependen (kejadian kecacingan) (Notoatmodjo, 2010). Selain itu
untuk mengetahui distribusi kecacingan dan kontaminasi tanah dilakukan
analisis klaster dan pembuatanbuffer ringpada pemetaan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN 01 Krawangsari Natar. Pengambilan
data berupa pengambilan feses dan pengambilan sampel tanah di
halaman rumah siswa. Pemeriksaan sampel feses dan tanah dilakukan
di Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
34
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini di lakukan pada bulan Oktober 2015–Januari 2016.
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Notoatmodjo,
2010). Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh siswa
SDN 01 Krawangsari Natar yang memenuhi kriteria inklusi.
3.3.2 Sampel Penelitian
Menurut Sastroasmoro dan Ismael (2008), sampel adalah bagian
dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap
dapat mewakili populasinya (Siswanto, 2011). Sampel pada
penelitian ini adalah seluruh siswa SDN 01 Krawangsari Natar
yang berjumlah 74 orang yang memenuhi kriteria inklusi.
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Siswa dan orangtua yang bersedia mengikuti penelitian dan
telah mengisi lembarinform consent
b. Siswa yang tidak minum obat cacing dalam waktu 6 bulan
terakhir
c. Orangtua yang bersedia untuk dilakukan pengambilan sampel
tanah dihalaman rumahnya
35
e. Tanah disekitar rumah yang dekat dengan tempat pembuangan
sampah, kotoran dan jamban.
Adapun kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah:
a. Siswa yang halaman rumahnya semen
b. Tanah yang tidak bisa diperiksa, seperti tanah yang jumlahnya
terlalu sedikit, dan tanah yang tergenang air.
c. Lokasi rumah yang sulit dijangkau
3.3.3 Teknik Pemilihan Sampling
Teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel pada penelitian
adalah total sampling. Sampel diambil dari populasi penelitian
dengan sejumlah sampel yang ditemukan pada periode penelitian.
Alasan pemilihan total sampling karena jumlah populasi yang
tersedia kurang dari 100.
3.4 Identifikasi Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan variabel
dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pencemaran
tanah oleh telur STH. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
36
3.5 Definisi operasional
Definisi operasional adalah batasan yang harus dibuat pada semua konsep
yang ada agar tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam
[image:55.595.108.509.238.646.2]penelitian tersebut (Sastroasmoro, 2011).
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Pencemaran Tanah oleh telur STH
Ditemukan telur STH pada pemeriksaan sampel tanah. Pemeriksaan laboratorium dengan metode apung.
Mikroskop Positif : Ditemukan telur STH pada spesimen tanah.
-Negatif : tidak ditemukan telur STH pada spesimen tanah. Nominal Kejadian Kecacingan Ditemukan adanya telur cacing melalui pemeriksaan feses yang menginfeksi siswa. Pemeriksaan laboratorium dengan metode apung.
Mikroskop -Positif : Ditemukan telur STH pada spesimen feses anak.
-Negatif : tidak ditemukan telur STH pada spesimen feses anak.
37
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Pemetaan Representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat. (KBBI) Pengambilan titik koordinat.
GPS dan perangkat lunak ArcGIS. -Peta distribusi infeksi STH pada anak. -peta distribusi pencemara n tanah. Numerik
3.6 Pengumpulan data 1. Data Primer
Data primer pada penelitian ini pengumpulan tanah halaman rumah
dan feses dari siswa SDN 01 Krawangsari Natar.
2. Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari data jumlah anak
yang bersekolah di SDN 01 Krawangsari Natar.
3.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah
halaman rumah dan feses anak.
3.8 Cara Kerja
Pemeriksaan Tinja
Dilakukan pemeriksaan pada tinja anak SDN 01 Krawangsari Natar dengan
menggunakan Metode Apung (Floatation Methode). Pemeriksaan dilakukan
[image:56.595.106.511.82.248.2]38
Universitas Lampung. Satu hari sebelum dilakukan pengambilan spesimen,
siswa dibekali pot yang yang berfungsi sebagai wadah tinja, dan diberikan
edukasi untuk mengisi pot tersebut dengan cara yang benar dan membawa
lagi pada pagi keesokan harinya. Adapun alat dan bahan yang digunakan
[image:57.595.137.521.263.355.2]pada pemeriksaan ini ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Feses
Alat Bahan
1. Label
2. Botol bermulut lebar 10 mL 3. Tabung reaksi
4. Kaca objek
5. Penutup kaca objek 6. Mikroskop
1. Sampel feses 2. NaCl jenuh 3. Formaldehid 10%
Cara kerja:
a. Pengambilan spesimen
1) Pemberian wadah kepada siswa untuk diisi dengan feses. Diberikan
edukasi bahwa feses yang didalam wadah jangan sampai tercampur
dengan urin.
2) Sampel feses diambil sebanyak 100 gram.
3) Sampel feses dibawa ke Laboratorium.
b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan parasit
1) Tambahkan pengawet berupa formaldehid 10% dalam spesimen
basah sampai seluruh sampel terendam oleh formaldehid 10%.
2) Feses yang diawetkan dengan formaldehid 10% dicampurkan
dengan perbandingan 1:3.
39
c. Pembuatan larutan NaCl jenuh
1) Larutakan 33 gram NaCl dalam 100 mL aquadest
2) Aduk hingga NaCl benar-benar larut. Larutan ini harus homogen.
d. Pembuatan dan pemeriksaan sampel feses
1) Masukkan 0,5 gram spesimen feses ke botol bermulut lebar
2) Tuangkan larutan NaCl jenuh sampai batas 2,5 mL.
3) Lunakkan spesimen feses dengan aplikator dan campurkan larutan
hingga merata.
4) Masukkan ke dalam tabung reaksi.
5) Isi tabung reaksi sampai penuh dengan larutan NaCl jenuh.
Suspensi ini harus homogen.
6) Letakkan penutup kaca objek dengan hati-hati diatas mul, pastikan
bersentuhan dengan cairan, tanpa gelembung udara. Diamkan
selama 10 menit.
7) Angkat penutup kaca objek. Lakukan dengan hati-hati. Setetes
cairan harus tersisa pada penutup kaca objek tersebut.
8) Letakkan penutup kaca objek tersebut diatas kaca objek.
9) Segera amati dibawah mikroskop dengan objektif 10X. Jangan
biarkan preparat mengering sebelum diperiksa.
10) Gunakan pengatur fokus halus mikroskop saat melakukan
40
Pemeriksaan Tanah
Dilakukan pemeriksaan pada sampel tanah yang berasal dari pekarangan
rumah siswa. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
telur cacing pada tanah-tanah tersebut. Pemeriksaan dilakukan di
Laboratorium Parasitologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, dengan menggunakan Cara Modifikasi Metode
Suzuki. Metode ini diadopsi dari Arrasyd (1999). Alat dan bahan yang
[image:59.595.137.517.345.514.2]digunakan pada pemeriksaan ini ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat dan Bahan pada Pemeriksaan Tanah
Alat Bahan
1. Plastik tertutup 2. Label
3. Sendok 4. Sentrifugator 5. Ice box 6. Kulkas
7. Tabung sentrifuse 8. Pipet
9. Saringan teh 10. Kaca objek
11. Penutup kaca objek 12. Mikroskop
1. Sampel tanah 2. MgSO4 3. Air Kran 4. Aquadest 5. Alkohol 70%
Cara kerja:
a. Pengambilan sampel
1) Kikis sampel tanah dari permukaan tanah pekarangan kiri, kanan,
depan dan belakang rumah dari beberapa titik yang kemudian
dijadikan satu. Tanah diambil ±100 gram.
2) Masukkan sampel pada plastik yang berbeda sesuai dengan lokasi
pengambilan dan diberi label.
41
4) Di laboratorium, sampel dimasukkan kedalam lemari es sampai
dilakukan pemeriksaan.
b. Teknik pemeriksaan
1) Larutkan 2 gram sampel dengan 10 mL air keran.
2) Masukkan ke dalam tabung sentrifuse melalui saringan teh yang
dilapisi kain kasa basah.
3) Sentrifuse selama 2 menit dengan kecepatan 2000 RPM.
4) Buang supernatan dengan hati-hati, kemudian tambahkan 10 mL
Larutan Magnesium Sulfat BJ 1.260 (282 gram/liter Aquadest),
kocok hingga benar-benar larut
5) Sentrifuse kembali selama 5 menit dengan kecepatan 2500 RPM.
6) Tambahkan larutan magnesium sulfat dengan hati-hati sampai
penuh tanpa melimpah.
7) Tutup secara vertikal dengan penutup kaca objek. Tunggu 15-20
menit
8) Angkat penutup kaca objek kemudian letakkan pada kaca objek
42
[image:61.595.166.511.137.678.2]3.9 Alur penelitian
Gambar 14.Alur Penelitian Surat Izin melakukan penelitian Di
SDN 01 Krawang Sari Natar
Melakukan pemeriksaan di laboratorium
Memilih sampel sesuai dengan kriteria inklusi
Surat keterangan lolos kaji etik
Menjelaskan mengenai maksud dan tujuan penelitian
Informed consent
Pengambilan tanah Pengambilan feses
Pengolahan Data
43
3.10 Pengolahan data
Data yang telah diperoleh diolah dengan perangkat komputer. Adapun
tahap-tahap pengolahan data menurut Notoatmodjo (2010) adalah sebagai
berikut.
a. Editing
Pengecekan atau perbaikan isi formulir.
b. Coding
Mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan
selama penelitian kedalam simbol yang sesuai untuk keperluan
analisis.
c. Data Entry
Memasukkan data kedalam program komputer.
d. Tabulasi
Pengecekan ulang data dari setiap sumber data atau responden untuk
mengetahui kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan
dan kemudian dikoreksi.
3.11 Analisis Data
3.11.1 Analisis Univariat
Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing
variabel. Uji statistik yang digunakan untuk uji normalitas data
pada penelitian ini adalah Uji Kolmogorov Smirnov karena sampel
44
3.11.2 Analisis Bivariat
Dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Uji statistik yang digunakan adalah uji
korelasi Chi Square dengan jenis tabel 2x2 yang berfungsi untuk
menguji hubungan antara pencemaran tanah oleh telur STH
dengan kejadian kecacingan pada anak.
3.11.3 Pemetaan
Pada pemetaan dilakukan analisis space time permutation untuk
mengetahui ada atau tidaknya pembentukan klaster dan dilakukan
pembuatan buffer ring untuk mengetahui jangkauan kontaminasi
tanah oleh STH.
3.12 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan surat izin Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung No.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai hubungan pencemaran tanah
oleh telur STH dengan kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari
Natar maka didapatkan kesimpulan sebagai barikut:
1. Prevalensi kejadian kecacingan pada anak SDN 01 Krawangsari Natar
adalah 56,9%.
2. Prevalensi pencemaran tanah oleh telur STH di halaman rumah anak
SDN 01 Krawangsari Natar adalah 37,3%.
3. Distribusi pemetaan kejadian kecacingan pada anak di Desa
Krawangsari Natar menunjukkan bahwa tidak adanya pembentukan
klaster.
4. Distribusi pemetaan pencemaran tanah oleh telur STH disekitar tempat
tinggal siswa SDN 01 Krawangsari Natar menunjukkan bahwa tidak
adanya pembentukan klaster.
5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pencemaran tanah oleh
telur STH di sekitar tempat tinggal siswa dengan kejadian kecacingan
✁8
5.2 Saran
1. Bagi responden, yaitu siswa SDN 01 Krawangsari Natar, diharapkan
untuk lebih meningkatkan lagi kebersihan diri dan melakukan skrining
kecacingan secara rutin setiap 6 bulan agar terhindar dari kecacingan.
2. Bagi instansi
a. Dinas Kesehatan, diharapkan memberikan penyuluhan kesehatan yang
lebih baik dan menarik untuk anak-anak dan orangtua tentang
kecacingan agar anak-anak dan orangtua lebih meningkatkan
kebersihannya.
b. Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Kedokteran diharapkan dapat
bekerja sama dengan pihak terkait untuk melakukan penyuluhan
kepada anak-anak dan orangtua tentang kecacingan.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian kecacingan
sehingga hasilnya dapat untuk menunjang data tentang kecacingan.
b. Melakukan penyempurnaan untuk penelitian yang sama agar didapat
DAFTAR PUSTAKA
Alelign T, Degarege A, Erko B. 2015. Soil-transmitted helminth infections and associated risk factors among schoolchildren in Durbete Town Northwestern Ethiopia.J Parasitol. 2015(March 2010):1–6.
Andiarsa D, Hairani B, Meliyanie G, Fakhrizal D. 2012. Infeksi cacing, imunitas dan alergi.Jurnal Buski. 4(1):47-52.
Arrasyd NK. 1999. Kontaminasi tanah oleh soil-transmitted-helminthdi Ambarita Pagururan Pulau Samosir. Dalam: Samad H. 2009. Hubungan infeksi dengan pencemaran tanah oleh telur cacing yang ditularkan melalui tanah dan perilaku anak sekolah dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung [thesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Bianucci R, Torres EJL, Santiago JMFD, Ferreira LF, Nerlich AG, Souza SMMD, et al. 2015. Trichuris trichiura in a post-colonial Brazilian mummy. Mem Inst Oswaldo Cruz. 110(1):145–147.
CDC. 2015. Parasites-ascariasis [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html.
CDC. 2013. Parasites-trichuriasis [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/.
CDC. 2013. Parasites-hookworm [diakses 18 september 2015]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/.
Chadijah S, Sumolang PPF, Veridiana NN. 2014. Hubungan pengetahuan, perilaku dan sanitasi lingkungan dengan angka kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di Kota Palu.Media Litbangkes.24(1):50-56.
Ching CW. 2010. Kontaminasi tanah oleh soil transmitted helminth di Dusun II Desa Sidomulyo Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Sumatera Utara tahun 2010 [Karya Tulis Ilmiah]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
60
Donkor K. 2014. Trichuris trichiura [diakses 19 September 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/art icle/788570.
Dwiyaniti M, Ashari D, Nitisasmita KM. 2011. Aplikasi GPS Berbasis GSM Modem pada Monitoring Bus.Jurnal Ilmiah Elite Elektro. 2(2):122-128.
Freeman MC, Chard AN, Nikolay B, Garm JV, Okoyo C, Kihara J, et al. 2015. Associations between school- and household-level water, sanitation and hygiene conditions and soil-transmitted helminth infection among Kenyan school children.Parasites & Vectors. 8(1):412.
Gabrie JA, Rueda MM, Canales M, Gyorkos TW, Sanchez AL. 2014. School hygiene and deworming are key protective factors for reduce transmission of soil transmitted helminths among schoolchildren in Honduras. Parasit & Vektors.7:354.
Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. 2002. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: FKUI.
Graham SR, Carlton C, Jamison B. 2011. The benefit of using geographic information systems as a community assessment tool. Public Health Rep. 126(2):298-303.
Haburchak DR. 2014. Hookworm disease [diakses 19 september 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/.
Hairani B, Waris L, Juhairiyah. 2014. Prevalensi Soil Transmitted helminth (STH) pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur.Jurnal Buski. 5(1): 43-48.
Hastutiek P, Fitri LE. 2007. Potensi Musca domestica Linn Sebagai Vektor Beberapa Penyakit.Jurnal Brawijaya. 23(3):125-136.
Ivakdalam LM. 2014. Pengendalian Tikus Sawah ( Rattus argentiventer) Menggunakan Pengujian Tiga Jenis Repelen.Agrilan. 2(1):2302-5352.
Kattula D, Sarkar R, Ajjampur SSR, Minz S, Levecke B, Muliyil J, et al. 2014. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth infection among school children in south India.Indian J. Med. Res. 139(1):76-82.
Kemendagri. 2011. Kabupaten lampung Selatan [diaks