iii
tunggakan pajak dan untuk meningkatkan kepatuhan material wajib pajak yang menimbulkan aspek psikologis bagi wajib pajak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak di Kantor Pelayanan pajak Pratama Kota Bandung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif dan verifikatif. Metode deskriftif digunakan untuk mengetahui gambaran variabel penagihan pajak dalam mengetahui tunggakan pajak dan kepatuhan material wajib pajak sedangkan verifikatif untuk mengetahui hubungan antara penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak. Untuk mengetahui pengaruh penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Pengujian statistik yang digunakan adalah perhitungan analisis jalur, uji hipotesis dengan menggunakan aplikasi SPSS 17.0 for windows.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak. Selain itu, penerapan penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak , besarnya pengaruh tersebut adalah sebesar 71,06%, dan sisanya dipengaruhi factor lain.
iv
taxpayer compliance materials that give rise to psychological aspects of the taxpayer. The purpose of this study to determine the effect of the tax billing address tax arrears to the material compliance of taxpayers in the tax service office Pratama Bandung.
The method used in this research is descriptive method and verifikatif. Descriptive methods are used to determine the variable picture of tax collection and tax arrears in knowing the material compliance of taxpayers while verifikatif to determine the relationship between tax collection in dealing with tax arrears to the material compliance of taxpayers. To determine the effect of the tax billing address the arrears of taxpayer compliance. The test statistic used is the calculation of path analysis, hypothesis testing using SPSS 17.0 for windows applications.
The results of this study indicate that there is a strong relationship between the tax collection of tax arrears in overcoming material compliance of taxpayers. In addition, the application of the tax billing address the tax arrears of a taxpayer compliance material, the magnitude of the effect it amounted to 71.06%, and other factors influenced the rest.
iii
tunggakan pajak dan untuk meningkatkan kepatuhan material wajib pajak yang menimbulkan aspek psikologis bagi wajib pajak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak di Kantor Pelayanan pajak Pratama Kota Bandung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif dan verifikatif. Metode deskriftif digunakan untuk mengetahui gambaran variabel penagihan pajak dalam mengetahui tunggakan pajak dan kepatuhan material wajib pajak sedangkan verifikatif untuk mengetahui hubungan antara penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak. Untuk mengetahui pengaruh penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Pengujian statistik yang digunakan adalah perhitungan analisis jalur, uji hipotesis dengan menggunakan aplikasi SPSS 17.0 for windows.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak. Selain itu, penerapan penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak terhadap kepatuhan material wajib pajak , besarnya pengaruh tersebut adalah sebesar 71,06%, dan sisanya dipengaruhi factor lain.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
Negara Republik Indonesia mempunyai tujuan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang - Undang Dasar 1945 adalah mewujudkan masyarakat adil, makmur,
merata material dan spiritual, yang dapat diwujudkan melalui pembangunan nasional
secara bertahap, terencana, berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam hal
memenuhi kebutuhan dana yang memadai guna melaksanakan pembangunan
nasional, pemerintah mempunyai sumber-sumber penerimaan yang berasal dari luar
negeri dan dalam negeri. Salah satu contoh penerimaan yang berasal dari dalam
negeri yang sangat penting dan potensial sekali untuk membiayai pembangunan
nasional adalah dari sektor pajak.
Pajak merupakan iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan - peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran - pengeluaran umum yang berhubung dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
pajak merupakan salah satu penerimaan non migas yang sangat berperan dalam usaha
melaksanakan pembangunan nasional, dimana sektor ini relatif dapat mengikuti
keadaan perekonomian serta perubahan - perubahan yang terjadi didalamnya.
pengeluaran negara, dan fungsi regulerend yaitu mengatur pajak sebagai sarana untuk
menunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara dalam lapangan ekonomi, sosial dan
menentukan politik perekonomian dengan sasaran untuk tujuan tertentu yang letaknya
di luar bidang keuangan. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang mana
digunakan untuk membiayai proses pembangunan, yang sejak lama menempuh
kebijaksanaan yang seimbang dalam anggaran, yang berarti pengeluaran
pembangunan dibuat sama dengan penerimaannya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa: “Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh Orang pribadi atau Badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya demi
kemakmuran rakyat.” Sebagai tindak lanjut guna meningkatkan penerimaan dari
sektor pajak pemerintah telah melakukan beberapa kali perubahan terhadap
Undang-Undang Perpajakan di Indonesia, dari menggunakan sistem pemungutan pajak official
assessment hingga kini menggunakan sistem pemungutan pajak self assessment yang mana wajib pajak (WP) diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung,
memperhitungkan, melaporkan, dan membayar sendiri jumlah pajak terutang,
sehingga dapat dikatakan wajib pajak memiliki peranan besar dalam menentukan
keberhasilan sistem perpajakan tersebut. Namun, pada kenyataannya masih banyak
tersebut dilakukan dengan menyembunyikan data maupun tidak melunasi pajak
terutang tepat pada waktunya.
Akibat dari tindakan wajib pajak ini maka dilakukanlah tindakan penagihan
pajak yang berfungsi sebagai sarana pencairan tunggakan pajak. Untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, salah satu hal yang harus diperhatikan oleh fiskus adalah
bagaimana penagihan pajak terhadap wajib pajak dapat berjalan dengan lancar sesuai
yang diharapkan. Karena lancar tidaknya suatu penagihan akan mempengaruhi
pendapatan dari sektor pajak tersebut.
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa (SP), mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Panca Kurniawan dan Bagus
Pamungkas, 2006:1 ). Dalam hal penagihan pajak aparatur Direktorat Jenderal Pajak
akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP)
sebagai sarana pelunasan pajak terutang. Namun, kenyataan di lapangan masih
banyak wajib pajak yang tidak menghiraukan atas diterbitkannya Surat Tagihan Pajak
atau Surat Ketetapan Pajak tersebut dan selanjutnya aparatur perpajakan melakukan
penagihan secara aktif dengan menerbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan
lainnya. Surat Teguran Pajak bukan merupakan suatu sarana yang dapat menjamin
penerimaan negara berupa pajak dapat diterima/ diperoleh dengan cepat. Hal ini dapat
Teguran Pajak tersebut dan harus dilakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa
yang merupakan salah satu sarana pengadministrasian yang penting dalam
melaksanakan penagihan guna mencapai penerimaan negara dari sektor pajak.
Masih sering dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak
dilunasinya Utang Pajak sehingga memerlukan tindakan penagihan yang mempunyai
kekuatan hukum yang memaksa, merupakan pertimbangan khusus tentang keluarnya
Undang - Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.(blog pajak, rizal) Dengan
adanya peraturan – peraturan tentang tindakan penagihan dengan Surat Paksa didalam Undang - Undang, maka akan mencegah adanya kehendak kepada pihak pembayar
untuk tidak memenuhi kewajibannya. Undang - Undang penagihan pajak ini
diharapkan akan memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan yang
dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak
berat sebelah, tidak memihak, adil serasi, selaras dalam wujud tata aturan yang jelas
dan sederhana serta memberikan kepastian hukum (Waluyo, 2006).
Undang - Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa diharapkan dapat
mengatasi semua permasalahan yang ada dalam hal penagihan pajak, khususnya
masalah penunggakan Utang Pajak oleh Wajib Pajak (Yenni Chrisyanti, 2008).
Dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa petugas mengalami kesulitan
berhadapan dengan wajib pajak yang tidak menerima atas adanya surat paksa untuk
Belum optimalnya kegiatan penagihan yang dilakukan sehingga tunggakan
pajak kumulatif terus mengalami peningkatan (Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo,).
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dan langkah-langkah yang baik yang dapat
mengatasi permasalahan yang timbul dimasyarakat terutama masalah tunggakan
pajak serta dapat memberi motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib
pajak.
Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan, tingkat kepatuhan wajib
pajak (WP) untuk membayar pajak tampaknya masih rendah. Itu terlihat dari
tingginya tunggakan pajak yang per akhir Maret lalu mencapai Rp 50,5 triliun. Angka
tersebut menurun tipis jika dibanding posisi tunggakan per 1 Januari 2010 sebesar Rp
50,8 triliun.
Dengan berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian
memutuskan mengambil judul : ”Analisis Penagihan Pajak Dalam Mengatasi Tunggakan Pajak Pengaruhnya Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.”
1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis mengidentifikasikan
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Belum optimalnya kegiatan penagihan yang dilakukan sehingga tunggakan pajak
2. Masih sering dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya
Utang Pajak sehingga memerlukan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan
hukum yang memaksa, merupakan pertimbangan khusus tentang keluarnya UU
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3. Dalam pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa petugas mengalami
kesulitan berhadapan dengan wajib pajak yang tidak menerima atas adanya surat
paksa untuk membayar tunggakan pajaknya.
4. Tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) untuk membayar pajak tampaknya masih
rendah.
1.2.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana Penagihan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.
2. Bagaimana Tunggakan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.
3. Seberapa besar Pengaruh Penagihan Pajak Dalam Mengatasi Tunggakan Pajak
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
Wilayah Kota Bandung.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Penagihan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada
2. Untuk mengetahui Tunggakan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.
3. Untuk mengetahui Seberapa Besar Pengaruh Penagihan Pajak Dalam
Mengatasi Tunggakan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis
Peneliti mengharapkan hasil penelitian dapat bermanfaat dan untuk menambah
pengetahuan, dan juga memperoleh gambaran langsung tentang Analisis
Penagihan Pajak Dalam Upaya Mengatasi Tunggakan Pajak Pengaruhnya
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
Wilayah Kota Bandung.
2. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung
Dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan bagi instansi tentang Analisis
Penagihan Pajak Dalam Upaya Mengatasi Tunggakan Pajak Pengaruhnya
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
3. Bagi Pihak Lain
Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan pertimbangan dan pemikiran dalam
penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama, yaitu Analisis Penagihan Pajak
Dalam Upaya Mengatasi Tunggakan Pajak Pengaruhnya Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung.
1.5 Lokasi Dan Waktu Penelitian 1.5.1 Lokasi Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak
Wilayah Kota Bandung.
1.5.2 Waktu Pelaksanaan Kerja Praktek
Adapun waktu pelaksanaan penelitian yang dilakukan mulai bulan April 2011
Tabel 1.1 Waktu Penelitian
Tahap Prosedur
Bulan Maret 2011 April 2011 Mei 2011 Juni 2011 Juli 2011 I Tahap Persiapan
1. Bimbingan dengan dosen Pembimbing
2. Membuat outline dan proposal skripsi
3. Mengambil formulir penyusunan skripsi
4. Menentukan tempat penelitian
II
Tahapan Pelaksanaan 1. Mengajukan outline dan
proposal skripsi
2. Meminta surat pengantar ke perusahaan
3. Penelitian di perusahaan
4. Penyusunan Skripsi
III
Tahap pelaporan
1. Menyiapkan draf skripsi
2. Sidang akhir Skripsi
3. Penyempurnaan laporan skripsi
10 2.1 Kajian Pustaka
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik
materil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan kesejahteraan rakyat tersebut
pemerintah diperhadapkan dengan banyak pertimbangan diantaranya masalah
pembiayaan pembangunan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara
dalam membiayai pembangunan yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal
dari dalam negeri berupa pajak. Pajak berasal dari rakyat sebagai kewajiban, oleh
rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat dalam meningkatkan taraf hidup
bermasyarakat.
2.1.1 Pajak
Pajak merupakan iuran yang dipungut oleh negara baik oleh pemerintahan
pusat maupun pemerintahan daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan
pelaksanaan pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana dari sektor swasta
(wajib pajak yang membayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak pemerintah)
dan diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka
2.1.1.1Pengertian Pajak
Banyak para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan pengertian atau
definisi yang berbeda mengenai pajak, tetapi pada dasarnya mempunyai inti dan
tujuan yang sama. Dalam hal ini penulis mengutip pengertian pajak menurut beberapa
para ahli, antara lain:
1. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo menyatakan bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang
-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
(2006: 1)
2. Menurut Soeparman Soemahamidjadja yang dikutip oleh Erly Suandy
menyatakan bahwa:
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
(2002: 9) Dari kedua pengertian tentang pajak tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara baik dipungut oleh pemerintah
2. Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjukan dalam hal yang individual. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
hanya ditunjukan adanya kontra prestasi oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.1.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak adalah kegunaan pokok, manfaat pokok pajak. Sebagai alat untuk
menentukan politik perekonomian, pajak memiliki kegunaan dan manfaat pokok
dalam meningkatkan kesejahteraan umum.
Pada umumnya dikenal 2 macam fungsi pajak yaitu:
1. Fungsi Budgetair
Fungsi budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal (fiscal
funcition), yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas negara yang dilakukan sistem pemungutan berdasarkan undang-
undang perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi Regulerend
disebut fungsi tambahan, karena fungsi regulerend hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak yaitu fungsi budgetair.
Berdasarkan kedua fungsi pajak diatas tersebut dapat dipahami atau
dimengerti bahwa fungsi budgetair pajak dikaitkan dengan anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) umumnya dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) pada khususnya dimaksudkan untuk mengisi kas negara/ daerah
sebanyak-banyaknya dalam rangka membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah
pusat/ daerah.
2.1.2 Penagihan Pajak
2.1.2.1 Pengertian Penagihan Pajak
Pengertian Penagihan Pajak menurut Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa :
“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah
disita.”
(2009;1) Tujuan pelaksanaan penagihan pajak adalah guna pelunasan utang pajak oleh
wajib pajak. Oleh karena itu, rangkaian tindakan penagihan pajak oleh fiskus (aparat
pajak) harus diarahkan guna terpenuhinya tujuan tersebut. Rangkaian tindakan
penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus pada dasarnya mencakup tiga kelompok
1) Pemantauan Pembayaran Pajak;
2) Penagihan yang bersifat aktif; dan
3) Penagihan dengan Surat Paksa.
2.1.2.2 Dasar Penagihan Pajak
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) merupakan surat ketetapan pajak
yang menentukan besar jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus
dibayar. SKPKB diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang KUP. SKPKB dikeluarkan
dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya masa
pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak. SKPKB diterbitkan apabila :
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak terutang tidak atau
kurang dibayar;
2) SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
3) Berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenakan tarif 0% (nol persen);
4) Kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan membantu proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh fiskus tidak dipenuhi oleh wajib pajak sehingga tidak
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Pada saat kondisi tertentu, setelah mengeluarkan SKPKB, dapat terjadi bahwa
fiskus menemukan data baru berkaitan dengan perhitungan pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak, dan ternyata diketahui bahwa besarnya pajak terutang yang telah
ditetapkan dalam SKPKB masih kurang dari yang semestinya. Hal ini tentunya akan
menguntungkan bagi wajib pajak tetapi merugikan bagi negara. Untuk mengantisipasi
hal ini, Undang-Undang KUP memberikan kewenangan kepada fiskus untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) untuk
menagih kekurangan pajak yang terutang tersebut.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) merupakan surat
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan
oleh fiskus (dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya).
Ketentuan tentang SKPKBT diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang KUP yang
memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan
SKPKBT dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya
masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, apabila ditemukan data baru dan
atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah
pajak terutang. SKPKBT merupakan koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya dan
baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak (SKPKB, SKPLB
atau SKPN). Dengan perkataan lain SKPKBT tidak akan mungkin diterbitkan
sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan SKPKBT tidak
Penerbitan SKPKBT dilakukan dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau
data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang
terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Apabila masih ditemukan lagi data
yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya SKPKBT, dan atau data baru
yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, SKPKBT masih dapat
diterbitkan lagi. Data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh wajib
pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan pajak semula, baik dalam SPT dan
lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada
waktu pemeriksaan.
c. Surat Tagihan Pajak
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk tagihan pajak dan atau untuk menagihkan
sanksi, baik yang berupa bunga atau denda administrasi. Sesuai dengan Pasal 14
Undang-Undang KUP, Surat Tagihan Pajak untuk Pajak penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM) dikeluarkan apabila:
1) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2) Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
4) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan
PPnBM tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dilakukan sebagai
PKP;
5) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak;
6) Pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat faktur pajak
atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi
selengkapnya faktur pajak.
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat
ketetapan pajak. Hal ini membuat dalam hal penagihannya dapat dilakukan dengan
Surat Paksa. STP diterbitkan oleh fiskus sebagai suatu ketetapan pajak yang
dimaksudkan untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak
sesuai batas waktu yang ditentukan serta sanksi yang dijatuhkan kepada wajib pajak
karena tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Undang-Undang KUP menentukan bahwa STP memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan surat ketetapan pajak lainnya yang dikeluarkan oleh fiskus (SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, dan SKPN) dan harus dipatuhi oleh wajib pajak. Apabila ternyata
wajib pajak tidak mematuhi isi dari STP yang diterbitkan kepadanya, fiskus dapat
melakukan tindakan penagihan pajak lebih lanjut kepada wajib pajak tersebut,
termasuk pelaksanaan Surat Paksa.
2.1.2.3 Pengertian Surat Paksa
Sesuai dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.” Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa Surat Paksa diterbitkan oleh pejabat yang berwenang
tidak hanya untuk menagih utang pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang
pajak yang berkenaan tetapi juga untuk menagih biaya yang timbul dalam rangka
penagihan pajak, termasuk biaya penyampaian Surat Paksa.
Surat Paksa dalam bahasa hukum disebut sebagai parate executie atau eksekusi langsung, yang berarti bahwa penagihan pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa
melalui proses Pengadilan Negeri. Hal ini bisa dimengerti karena Surat Paksa
mempunyai titel eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, di mana
fiskus dapat melakukan kewajiban dan wewenangnya untuk melaksanakan eksekusi
langsung atas apa yang disebutkan dalam Surat Paksa.
Adanya kekuatan parate executie atau eksekusi langsung yang diberikan pada Surat Paksa oleh undang-undang terlihat pada Surat Paksa yang berkepala kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.”
Kalimat ini terdapat juga pada setiap putusan pengadilan umum, militer, administrasi,
maupun agama; di tingkat pertama, banding, sampai dengan Mahkamah Agung.
Adanya kalimat tersebut membuat surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 7 angka 1 Undang - Undang
Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan
ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan Surat
Paksa. Namun, apabila terdapat pihak-pihak yang beranggapan dirugikan karena tidak
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dapat dilakukan perlawanan
dengan mengajukan gugatan yang ditujukan kepada Pengadilan Pajak bukan pada
Pengadilan Tata Usaha Negara, atau Pengadilan Negeri. Muatan perlawanan adalah
penyampaian surat paksa atau tindakan pelaksanaan surat paksa seperti tata cara
penyampaian surat paksa, jumlah utang pajak yang tercantum dalam surat paksa,
surat keputusan perintah penyitaan, dan surat keputusan pengumuman lelang, ketika :
a. Surat Paksa tidak disampaikan kepada wajib pajak atau penanggung pajak,
atau pihak-pihak yang diperkenankan menerima Surat Paksa tersebut;
b. Surat Paksa memuat jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak
sebagaimana mestinya;
c. Surat Paksa dikirim melalui pos wesel walaupun tercatat;
d. Surat Paksa tidak ditandatangani oleh pejabat pajak yang menerbitkan;
e Penyitaan dilakukan terhadap barang-barang yang dikecualikan dari
penyitaan;
f. Penyitaan dilakukan terhadap barang-barang yang dilarang disita;
g. Pengumuman lelang dan pelaksanaannya tidak sesuai yang ditentukan.
2.1.2.4 Jurusita Pajak
Jurusita pajak merupakan pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan
oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Jurusita pajak pusat diangkat dan
diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan
pajak pusat sedangkan jurusita pajak daerah diangkat dan diberhentikan oleh
gubernur atau bupati/walikota untuk penagihan pajak daerah.
Jurusita pajak dalam melaksanakan tugasnya merupakan pelaksana eksekusi dari
putusan yang sama kedudukannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, untuk dapat diangkat sebagai jurusita pajak,
seorang pegawai harus memenuhi syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk diangkat menjadi jurusita pajak yaitu :
1. Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang setingkat
dengan itu;
2. Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan IIa;
3. Berbadan sehat;
4. Lulus pendidikan dan latihan jurusita pajak; serta
5. Jujur, bertanggung jawab, dan penuh pengabdian.
a. Tugas Jurusita Pajak
Jurusita Pajak bertugas untuk melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan penagihan pajak, yaitu :
1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
2) Memberitahukan Surat Paksa, yaitu menyampaikan Surat Paksa secara resmi
kepada penanggung pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat
3) Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan, dari
pejabat berwenang sesuai dengan izin yang diberikan oleh Menteri Keuangan
atau gubernur.
Jurusita pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi dengan kartu tanda
pengenal jurusita pajak dan harus diperlihatkan kepada penanggung pajak. Ketentuan
ini memberikan keharusan jurusita pajak dalam melaksanakan kewajibannya
dilengkapi dengan kattu tanda pengenal yang berwenang. Hal ini dimaksudkan
sebagai bukti diri bagi jurusita pajak bahwa yang bersangkutan adalah jurusita pajak
yang sah dan betul-betul bertugas untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak.
b. Wewenang Jurusita Pajak
a. Dalam melaksanakan tugasnya, jurusita pajak berwenang memasuki dan
memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain
untuk menemukan obyek sita di tempat usaha dan melakukan penyitaan di
tempat kedudukan atau di tempat tinggal penanggung pajak, atau di tempat
lain yang diduga sebagai tempat penyimpanan obyek sita.
b. Jurusita Pajak berkewajiban :
1. Memperlihatkan tanda pengenal Jurusita Pajak;
2. Memberitahukan dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa (SP);
4. Menyampaikan SURAT PERINTAH MELAKSANAKAN PENYITAAN
(SPMP);
5. Membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita;
6. Membuat lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
7. Menempelkan segel sita pada barang-barang yang telah disita, bila
dianggap perlu;
8. Menempelkan Surat Paksa (salinan) pada pengumuman kantor Pejabat;
9. Meninggalkan Surat Paksa (salinan) dalam hal Penanggung Pajak menolak
menerima salinan Surat Paksa.
c. Jurusita Pajak dapat meminta bantuan kepada Kepolisian, Kejaksaan,
Departemen Kehakiman, Pemerintah Daerah Setempat, Badan Pertanahan
Nasioanal, Direktorat jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, bank
atau pihak lain dalam rangka melaksanakan pencegahan pajak.
2.1.2.5 Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.17 Dari
definisi ini tampak bahwa dalam pengenaan dan pemungutan pajak pengertian
penanggung pajak lebih luas daripada wajib pajak.
Wajib pajak adalah orang atau badan yang namanya tercantum dalam surat
ketetapan pajak, sedangkan wajib pajak orang pribadi adalah sesorang yang
perundang-undangan perpajakan sedangkan wajib pajak badan adalah sekumpulan
orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma , kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Secara tegas dapat
disimpulkan bahwa selain wajib pajak yang tercantum namanya dalam surat
ketetapan pajak dapat pula ditunjuk penanggung pajak lainnya yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Pajak yang bersangkutan sebagai yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak. Apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya, fiskus dapat
melakukan tindakan Penagihan Pajak tidak hanya terhadap wajib pajak dimaksud
tetapi juga terhadap penanggung pajak yang sesuai dengan Ketentuan
Undang-Undang Perpajakan ikut bertanggung jawab dalam pembayaran pajak. Hal ini
membuat tindakan penagihan pajak baik penagihan aktif maupun penagihan dengan
surat paksa dapat juga dilakukan terhadap penanggung pajak. Penyampaian Surat
Teguran, Surat Paksa, Tindakan Penyitaan, Lelang, Pencegahan dan Penyanderaan
juga dapat dilakukan terhadap penanggung pajak. Dengan demikian, yang menjadi
penanggung pajak adalah wajib pajak itu sendiri atau;
1. Pengurus dalam hal wajib pajak adalah badan;
2. Orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan dalam hal wajib
3. Salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau yang mengurus harta
peninggalan dalam hal wajib pajak adalah suatu warisan yangbelum terbagi;
4. Wali dalam hal wajib pajak adalah anak yang belum dewasa; atau
5. Pengampu dalam hal wajib pajak adalah orang yang berada dalam pengampuan.
2.1.3 Tunggakan Pajak
2.1.3.1 Pengertian Tunggakan Pajak
Pengertian tunggakan pajak menurut Panca Kurniawan dan Bagus
Pamungkas menyatakan bahwa:
“Tunggakan Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk
sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
(2006:1) Sedangkan pengertian tunggakan pajak menurut Siti Resmi menyatakan bahwa:
“Tunggakan pajak adalah jumlah piutang pajak yang belum lunas sejak
dikeluarkannya ketetapan pajak, dan jumlah piutang pajak yang belum lunas yang sebelumnya dalam masa tagihan pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Keputusan Pembetulan dan Putusan Banding.”
(2007:40) Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tunggakan pajak
merupakan suatu pajak yang belum dapat dibayar oleh wajib pajak dalam masa
2.1.3.2 Pengertian Pencairan Tunggakan Pajak
Pengertian pencairan tunggakan pajak menurut Waluyo menyatakan bahwa:
“Pencairan tunggakan pajak adalah jumlah pembayaran atas tunggakan
pajak yang dapat terjadi, karena:
1. Pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Pajak untuk pelunasan piutang pajak yang terdaftar dalam STP/ SKPKB/ SKPKBT/ SK Pembetulan/ SK Keberatan/ Putusan Banding yang mengakibatkan bertambahnya jumlah piutang pajak.
2. Pemindahbukuan. Sebenarnya wajib pajak sudah membayar utang pajaknya, tapi salah nomor rekening sehingga dianggap belum melunasi utangnya. Oleh karena itu, dilakukan pemindahbukuan.
3. Pengajuan permohonan pembetulan yang dikabulkan atas Surat Teguran/ Surat Peringatan/ Surat lain yang sejenis, Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, SPMP, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan harga Limit yang dalam perhitungannya terdapat kesalahan atau kekeliruan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah piutang pajak.
4. Pengajuan Keberatan/ Banding yang dikabulkan atas SKPKB/ SKPKBT yang mengakibatkan berkurangnya jumlah piutang pajak.
5. Penghapusan Piutang. Dilakukan karena piutang pajak sudah tidak mungkin lagi ditagih penyebabnya antara lain karena wajib pajak dan atau penanggung pajak sudah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan, wajib pajak dan atau penanggung pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi dan hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluarsa. 6. Wajib pajak pindah yang artinya wajib pajak pindah alamat dan tidak
dapat ditemukan lagi”.
(2003:64) Berdasarkan Pengertian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
pencairan tunggakan pajak merupakan pembayaran yang dilakukan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak, yang digunakan untuk pelunasan piutang pajak
dan diajukannya keberatan atau banding sehingga mengakibatkan berkurangnya
berpindah tempat tinggal maka piutang pajak tersebut akan dihapuskan karena
penanggung pajak sudah tidak ada atau tidak dapat ditemukan lagi.
2.1.3.3 Mekanisme Pencairan Tunggakan Pajak
Mekanisme pencairan tunggakan pajak menurut undang-undang perpajakan adalah
sebagai berikut:
1. Pembayaran surat setoran pajak
Pengertian surat setoran pajak (SSP) menurut Siti Resmi (2003:34) menyatakan bahwa:
“Surat Setoran Pajak merupakan surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ketempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan”.
Pengertian surat setoran pajak (SSP) menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa:
“Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas nagara melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan”.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Surat Setoran Pajak (SSP)
merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran
pajak yang terutang ke kas ngara atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
2. Pemindahbukuan
Pengertian pemindahbukuan menurut Waluyo (2007:71) menyatakan bahwa:
“Pemindahbukuan adalah pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang tapi dinyatakan dalam Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran
Pajak (SKKPP) karena adanya kesalahan pencatatan”.
Pengertian pemindahbukuan menurut www.google.commenyatakan bahwa:
“Pemindahbukuan adalah karena adanya pemberian bunga kepada wajib
pajak akibat kelambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemindahbukuan
merupakan adanya kelebihan pembayaran pajak yang besarnya dinyatakan dalam
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) dan adanya pemberian
bunga kepada wajib pajak akibat kelambatan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak.
3. Pengurangan/ Penghapusan Utang Pajak
Pengertian penghapusan utang menurut Panca Kurniawan dan Bagus
Pamungkas (2006:8) menyatakan bahwa:
“Penghapusan utang adalah utang pajak dapat dihapuskan karena
terdapat surat ketetapan pajak dalam hal terjadinya pembatalan surat ketetapan pajak, maka secara hukum untuk menagih pajak telah hilang,
oleh karena itu utang pajak harus dihapuskan”.
Pengertian penghapusan utang menurut Siti Resmi (2003:13) menyatakan bahwa:
“Penghapusan utang adalah kewajiban pajak oleh wajib pajak tertentu
dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan penyidikan dipandang perlu bahwa wajib pajak tidak mampu lagi memenuhi
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penghapusan utang
merupakan penghapusan atau dihapuskannya hutang wajib pajak dikarenakan
pembatalan surat ketetapan pajak atau wajib pajak mengalami kebangkrutan maupun
mengalami kesulitan likuiditas.
2.1.4 Pengertian Kepatuhan Perpajakan
Menurut Safri Nurmantu dalam buku Siti Kurnia Rahayu, menyatakan bahwa:
“Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan.
Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.”
(2010 : 138) Sedangkan menurut Widi Widodo menyatakan bahwa :
“Kepatuhan material dapat diidentifikasi dari :
1. Kesesuaian jumlah kewajiban pajak yang harus dibayar dengan perhitungan sebenarnya.
2. Penghargaan terhadap indepedensi akuntan public/konsultan pajak 3. Besar/kecilnya jumlah tunggakan pajak”
(2010:70)
2.1.5 Konsep Penghubung
Dalam penerimaan pajak kepatuhan wajib pajak dalam melunasi utang
pajaknya merupakan factor yang cukup penting mengingat pajak merupakan
penerimaan Negara yang cukup besar. Pemungutan pajak oleh pemerintah diatur oleh
dengan penagihan pajak yaitu upaya memaksa wajib pajak untuk melaksanakan
kewajibannya.
Menurut Undang – Undang no 19 Pasal 1 butir 9, dalam buku Siti Kurnia Rahayu (2010:196) menyatakan bahwa :
“Penagihan pajak dengan surat paksa adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur, melaksanakan penagihan seketika sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penagihan pajak yang terutang oleh Wajib Pajak harus dilakukan untuk
tercapainya realisasi pencairan tunggakan pajak yang mengakibatkan penerimaan
kekas negara menjadi bertambah.
Menurut Waluyo dalam buku “Perubahan Undang-Undang Perpajakan
dan Reformasi “ menyatakan bahwa :
“Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu
menunjukan jumlah yang sangat besar. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan dibidang pajak semakin meningkat. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa”.
(2000:238) Untuk itu hasil pencairan tunggakan pajak atau penerimaan pajak dapat
digunakan untuk membiayai pembangunan yang bersifat umum, artinya
pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak agar seluruh masyarakat Indonesia
dapat menikmatinya dimasa yang akan datang. Jadi semakin optimalnya peranan
meningkat pula pencairan tunggakan pajak yang mengakibatkan penerimaan pajak
meningkat.
Pencairan tunggakan pajak akan optimal jika didukung oleh Fiskus yang
mengerti dan memahami tentang perpajakan, mempunyai rasa tanggung jawab, serta
Wajib Pajak yang sadar akan pentingnya pembayaran pajak. Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa peranan pelaksanaan penagihan pajak sangat
diperlukan karena mempunyai pengaruh dalam pencairan tunggakan pajak.
Menurut Chaizi Nasucha, dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:138) menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dari:
“Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk
melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”
Teori pendukung yang menghubungkan menurut Gatot S.M. Faisal adalah
sebagai berikut:
“Di samping bertujuan untuk mencairkan tunggakan pajak, tindakan penagihan pajak dengan surat paksa juga merupakan wujud law enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi wajib pajak”.
(2009:225)
2.2 Kerangka Pemikiran
Pajak merupakan sumber penghasilan utama pemerintah untuk membiayai
anggaran belanja pada suatu negara. Semakin besar suatu negara maka semakin besar
pula dana yang dibutuhkan dari sektor pajak untuk membiayai anggaran belanja
negara tersebut. Di Indonesia saja, sektor pajak merupakan penyumbang penghasilan
utama bagi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Pengertian pajak menurut Liberti Pandiangan(2008: 113) menyatakan bahwa:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pelaksanaan peraturan perundang – undangan perpajakan sering terdapat utang pajak yang tidak dilunasi oleh wajib pajak sebagaimana mestinya,
kenyataannya saat ini masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak
dilunasinya utang wajib pajak.
Bagi wajib pajak yang kurang atau tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya maka Direktorat Jendral Pajak akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak
yang mencantumkan perhitungan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Terhadap
tunggakan pajak disebutkan sebelumnya di atas perlu dilaksanakan tindakan
penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Dalam hal ini
jumlah tagihan pajak sebagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen yang menjadi
pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihan dapat
dilaksanakan terhadap penanggung pajak.
Peraturan – peraturan tentang tindakan – tindakan untuk memaksa terutama ditujukan kepada kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban utamanya yaitu
pembayaran utang pajak atau tunggakan pajak. Pelunasan tunggakan pajak oleh
penanggung pajak merupakan salah satu tujuan penting dari pemberlakuan undang – undang penagihan pajak dengan surat paksa.
Pengertian pencairan tunggakan pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa:
“Pencairan tunggakan pajak adalah pembayaran yang dilakukan dengan
menggunakan surat setoran pajak, yang digunakan untuk pelunasan piutang
pajak.”
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pencairan tunggakan
pajak merupakan pembayaran yang menggunakan surat setoran pajak untuk
pelunasan piutang pajaknya.
Mekanisme pencairan tunggakan pajak antara lain melakukan pembayaran
surat setoran pajak baik dibayar secara tunai ataupun diangsur, melakukan
pemindahbukuan termasuk didalamnya salah setor dan lebih bayar, dan pengurangan
atau penghapusan utang.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 yang
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentun peraturan perundang-undangan
dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang patuh adalah
wajib pajak yang sadar akan pajak, paham atas hak dan kewajiban perpajakannya,
dan diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran
Pajak Wajib Pajak Wajib Pajak Patuh Wajib Pajak Tidak Patuh
Mengatasi Tunggakan Pajak
Penagihan Tunggakan Pajak Membayar pajak Tidak Membayar Pajak
Kepatuhan Wajib Pajak Tunggakan Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Hipotesis :
Penagihan Pajak Dalam Mengatasi Tunggakan Pajak Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Material Wajib Pajak
Kepatuhan Formal
1. Kesesuaian jumlah kewajiban pajak yang
harus dibayar dengan perhitungan sebenarnya
2. Penghargaan terhadap indepedensi akuntan
public/konsultan pajak
3. Besar/kecilnya jumlah tunggakan pajak
2.3 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2010:93) menyatakan bahwa:
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik”.
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran diatas, maka yang dapat disajikan oleh
penulis adalah berhipotesis bahwa:
“Penagihan Pajak Dalam Mengatasi Tunggakan Pajak Berpengaruh Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota
36 3.1 Objek Penelitian
Pengertian objek penelitian Menurut Suharsimin Arikunto adalah sebagai
berikut :
“Objek penelitian (variabel penelitian) adalah apa yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian.”
(2006:118) Objek dalam penelitian ini adalah penagihan pajak, pencairan tunggakan
pajak, dan kepatuhan wajib pajak.
3.2 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, metode penelitian menggunakan analisis
deskriftif dan verifikatif.
Pengertian metode deskriptif yang yang dikemukakan oleh Sugiyono
adalah sebagai berikut :
“Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak
digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.”
Deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan suatu fenomena
berdasarkan kenyataan yang sedang berlangsung dan melihat hubungan antara
fenomena yang diteliti.
Menurut Mashuri pengertian metode verifikatif adalah sebagai berikut:
“Metode verifikatif yaitu memeriksa benar tidaknya apabila dijelaskan
untuk menguji suatu cara dengan atau tanpa perbaikan yang telah dilaksanakan di tempat lain dengan mengatasi masalah yang serupa
dengan kehidupan.”
(2009:45)
Metode verifikatif dilakukan untuk menguji hipotesis dengan menggunakan
alat uji statistik yaitu Analisis Jalur (Path Analysis).
3.2.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan proses penelitian. Desain penelitian akan berguna bagi
semua pihak yang terlibat dalam proses penelitian.
Menurut Sugiyono dapat disimpulkan proses penelitian kuantitatif meliputi: 1. Sumber masalah
2. Rumusan masalah
3. Konsep dan teori yang relevan dan penemuan yang relevan 4. Pengajuan hipotesis
5. Metode penelitian
6. Menyusun instrumen penelitian 7. Kesimpulan.
(2009:50) Berdasarkan proses penelitian yang telah dijelaskan diatas, maka desain
1. Sumber masalah
Membuat identifikasi masalah berdasarkan latar belakang penelitian sehingga
mendapatkan judul sesuai dengan masalah yang ditemukan.
2. Rumusan masalah
Rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicari jawabannya
melalui pengumpulan data. Rumusan masalah dalam penelitian ini telah
dipaparkan dalam latar belakang penelitian dan diperinci dalam identifikasi
masalah dan rumusan masalah.
3. Konsep dan teori yang relevan dan penemuan yang relevan
Untuk menjawab rumusan masalah yang sifatnya sementara (berhipotesis),
maka peneliti dapat membaca referensi teoritis yang relevan dengan masalah
dan berfikir. Selain itu penemuan penelitian sebelumnya yang relevan juga
dapat digunakan sebagai bahan untuk memberikan jawaban sementara
terhadap masalah penelitian (hipotesis). Telaah teoritis mempunyai tujuan
untuk menyusun kerangka teoritis yang menjadi dasar untuk menjawab
masalah atau pertanyaan penelitian yang merupakan tahap penelitian dengan
menguji terpenuhinya kriteria pengetahuan yang rasional.
4. Pengajuan hipotesis
Jawaban terhadap rumusan masalah yang baru didasarkan pada teori dan
didukung oleh penelitian yang relevan, tetapi belum ada pembuktian secara
empiris (faktual). Maka jawaban itu disebut hipotesis. Hipotesis yang dibuat
pada penelitian ini adalah penagihan pajak dalam mengatasi tunggakan pajak
5. Metode penelitian
Untuk meguji hipotesis tersebut peneliti dapat memilih metode penelitian
yang sesuai, pertimbangan ideal untuk memilih metode iti adalah tingkat
ketelitian data yang diharapkan dan konsisten yang dikehendaki. Sedangakan
pertimbangan praktis adalah, tersedianya dana, waktu, dan kemudahan yang
lain. Pada penelitian kali ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif
dan verifikatif.
6. Menyusun instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data berbentuk kuesioner,
untuk pedoman wawancara dan observasi. Sebelum instrumen digunakan
untuk pengumpulan data, maka instrumen penelitian harus terlebih dulu diuji
validitas dan reliabilitasnya. Dimana validitas digunakan untuk mengukur
kemampuan sebuah alat ukur dan reliabilitas digunakan untuk mengukur
sejauh mana pengukuran tersebut dapat dipercaya. Setelah data terkumpul
maka selanjutnya dianalisis untuk menjawab rumusan masalah dan menguji
hipotesis yang diajukan dengan teknik statistik tertentu.
7. Kesimpulan
Kesimpulan adalah langkah terakhir berupa jawaban atas rumusan masalah.
Dengan menekankan pada pemecahan masalah berupa informasi mengenai
solusi masalah yang bermanfaat sebagai dasar untuk pembuatan keputusan.
Desain penelitian yang lebih sederhana lagi akan dijelaskan dalam bentuk
Tabel 3.1 Desain Penelitian Tujuan
Penelitian
Desain Penelitian Jenis Penelitian Metode yang
digunakan
Unit Analisis Time Horizon
T-1 Descriptive Descriptive dan Survey
KPP Cross
Sectional T-2 Descriptive Descriptive dan
Survey
KPP Cross
Sectional T-3 Descriptive dan
Verficative
Explanatory Survey
KPP Cross
Sectional
Dari tabel diatas dapat penulis uraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana Penagihan Pajak, digunakan metode
deskriftive dan survey yang dilakukan dengan cara membadingkan
data-data yang diperoleh dengan teori-teori yang relevan.
2. Untuk mengetahui tunggakan pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
di Wilayah Kota Bandung, digunakan metode descriptive dan survey
dengan cara membandingkan data-data di KPP di Wilayah Kota Bandung
dengan wajib pajak yang terdaftar di KPP di Wilayah Kota Bandung.
3. Untuk mengetahui Seberapa Besar Pengaruh Penagihan Pajak Dalam
Mengatasi Tunggakan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota Bandung, digunakan
metode descriptive dan Verifikatif yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dan informasi tentang kedua variabel tersebut dan menganalisis secara
kuantitatif dan kualitatif serta melakukan uji hipotesis yang telah
3.2.2 Operasionalisasi Variabel.
Operasionalisasi variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu
yang ditetapkan untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Namun untuk membatasi pembahasan agar
tidak meluas perlu dilakukan operasionalisasi variabel. Operasionalisasi variabel
merupakan proses penguraian variabel peneltian kedalam subvariabel, konsep
variabel, indikator, dan pengukuran.
Adapun definisi operasional menurut Nur Indriantoro dan Bambang Supomo menyatakan bahwa:
“Definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi
variable yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu dapat digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalisasikan construct, sehingga memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau mengembangkan cara pengukuran construct
yang lebih baik.”
(2002:69) Variabel itu sendiri dalam konteks penelitian menurut Sugiyono sebagai berikut:
“Variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang, atau obyek,
yang mempunyai “variasi” antara satu orang dengan yang lain atau
satu obyek dengan obyek yang lain”.
(2009:58) Agar penelitian ini dapat di laksanakan sesuai dengan yang diharapkan,
maka perlu dipahami berbagai unsur-unsur yang menjadi dasar dari suatu
penelitian ilmiah yang termuat dalam operasionalisasi variabel penelitian
a. Variable Bebas/Independent (Variabel X dan Variabel Y)
Sugiyono mendefinisikan variabel bebas adalah sebagai berikut :
“Variabel bebas adalah variable yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variable dependent
(terikat)”.
(2009 : 39)
Dalam hal ini variabel bebas yang akan yang berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti adalah penagihan pajak dan pencairan tunggakan pajak.
b. Variabel Tidak Bebas/Dependent (Variabel Z)
Sugiyono mendefinisikan variabel terikat adalah sebagai berikut :
“Variabel terikat merupakan variable yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variable bebas.”
(2009 : 40)
Dalam hal ini variabel yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti
adalah Kepatuhan wajib pajak. Selengkapnya mengenai opersionalisasi variabel
Tabel 3.2
Operasional Variabel Penelitian
Variabel Konsep Indikator Skala No.
Kuesioner Penagihan
Pajak “Penagihan serangkaian tindakan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang
yang telah disita.”
(Pedoman Penagihan Pajak)
a. Menerbitkan Surat Teguran
b. Menerbitkan Surat Paksa
c. Menerbitkan Surat melakukan penyitaan d. Pengumuman Lelang e. Melakukan Pelelangan (Pedoman Penagihan Pajak) Ordinal 1,2 3,4 5,6 7,8 9,10 Tunggakan
Pajak jumlah piutang pajak yang “Tunggakan pajak adalah belum lunas sejak dikeluarkannya ketetapan pajak, dan jumlah piutang pajak yang belum lunas yang sebelumnya dalam masa tagihan pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan dan Putusan
Banding.”
(Siti Resmi ; 2007)
jumlah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan.
(Siti Resmi ; 2007)
Rasio
Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan material dapat diidentifikasi dari :
1. Kesesuaian jumlah jewajiban
pajak yang harus dibayar dengan perhitungan sebenarnya.
2. Penghargaan terhadap
indepedensi akuntan public/konsultan pajak
3. Besar/kecilnya jumlah
tunggakan pajak”
(Widi Widodo, Moralitas, Budaya
dan Kepatuhan Pajak, 2010)
Jumlah tunggakan Pajak
3.2.3 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data 3.2.3.1 Sumber Data
Jenis data yang digunakan peneliti dalam penelitian mengenai “Analisis Penagihan Pajak Dalam Mengatasi Tunggakan Pajak Pengaruhnya Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Kota
Bandung “ adalah data sekunder dan primer.
1. Data Primer
Menurut Sugiyono menjelaskan bahwa:
“Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data”.
(2009:402) Pengumpulan data primer dalam penelitian ini melalui cara menyebarkan
kuesioner dan melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak
yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini wajib pajak
diwilayah kota Bandung.
2. Data Sekunder
Menurut Sugiyono menjelaskan bahwa:
“Sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dengan cara
membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literature, buku-buku, serta dokumen perusahaan”.
(2009:402) Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis karena penelitian ini
penelitian dalam studi kasus ini dititikberatkan pada masalah penagihan pajak
serta penyebaran kuesioner pada wajib pajak untuk mengetahui secara
langsung pandangan responden, sementara untuk data penerimaan pajak
diperoleh dengan meminta data penerimaan pajak kepada KPP diwilayah kota
bandung serta penyebaran kuesioner kepada petugas penagihan pajak di KPP
wilayah kota bandung, pengambilan data ini dirasakan cukup mewakili untuk
kebutuhan pengolahan data yang akan dilakukan peneliti.
3.2.3.2 Teknik Penentuan Data
Unit analisis dalam penelitian ini adalah petugas pajak di 5 KPP. Dengan
demikian maka populasi dalam penelitian ini adalah petugas pajak di 5 KPP .
Untuk menentukan ukuran populasi sampel dalam penelitian ini mengacu pada
pernyataan Arikunto (2000), bahwa untuk menentukan anggota sampel, maka
apabila populasi kurang dari seratus lebih baik diambil seluruhnya sehingga
penelitian merupakan penelitian populasi (sensus). Mengacu pada definisi tersebut
maka yang diteliti adalah petugas pajak di 5 KPP, dengan demikian maka
pengambilan sampel digunakan sensus, artinya keseluruhan populasi diambil
sebagai objek penelitian.
3.2.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan maka dibutuhkan data
dan informasi yang akan mendukung penelitian ini. Oleh karena itu digunakan
1. Penelitian Lapangan (Field research)
Penelitian lapangan ini terdiri dari:
Observasi, yaitu pengamatan lapangan terhadap objek yang diteliti,
termasuk pengumpulan data dari dokumen dan catatan perusahaan.
Wawancara, yaitu pertanyaan lisan yang disampaikan kepada karyawan
dan pejabat yang berkaitan dengan penelitian dan kemudian hasilnya
dicatat.
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan mengkaji berbagai
sumber pustaka berupa literatur-literatur hasil penelitian serta media ilmiah
yang ada hubungannya dengan topik penelitian. Data yang didapat berupa
data sekunder.
Adapun untuk memperoleh data tersebut, penulis menggunakan dua
sumber:
- Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari jawaban responden yang dipilih sebagai sample penelitian, yaitu dengan kuesioner, dengan cara mendatangi
dan memberikan kuesioner kepada petugas pajak di 5 KPP . Variabel yang
menggunakan data ini adalah variabel penagihan pajak.
- Data Sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, yaitu
berupa jumlah penerimaan pajak per bulan dari tahun 2008-2010 di 5 KPP .
Data ini digunakan untuk variabel pencairan tunggakan pajak dan variabel
Sebelum kuesioner selanjutnya digunakan untuk pengumpulan data yang
sebenarnya, terlebih dahulu dilakukan uji coba kepada responden yang memiliki
karakteristik yang sama dengan karakteristik populasi penelitian. Uji coba
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan (validitas) dan kekonsistenan
(reliabilitas) alat ukur penelitian, sehingga diperoleh item-item pertanyaan atau
pernyataan yang layak untuk digunakan sebagai alat ukur untuk pengumpulan
data penelitian.
A. Uji Validitas Alat Ukur
Untuk menguji tingkat kesahihan alat ukur digunakan teknik korelasi,
yaitu dengan mengkorelasikan masing-masing item pernyataan atau pertanyaan
terhadap totalnya. Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu
mengkorelasikan skor tiap butir dengan skor total yang merupakan jumlah tiap
skor butir. Teknik korelasi menurut Masrun (1979) dalam Sugiyono untuk
menentukan validitas item ini samapai sekarang merupakan teknik yang paling
banyak digunakan. Item yang memiliki korelasi positif dengan kriterium (skor
total) serta korelasi yang tinggi menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai
validitas yang tinggi pula. Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi
syarat adalah jika r = 0,3. Jika korelasi antara butir dengan skor total kurang dari
0,3 maka butir dalam instrument tersebut dinyatakan tidak valid. Selanjutnya
angka korelasi yang bernilai positif berarti bahwa data valid. Metode korelasi
R = n XY – ( X) ( Y)
(n ( X2 )- ( X)2 ) (n ( X2 )- ( X)2 )
Sumber : Sugiyono
Dimana :
R = Kooefesien korelasi item yang dicari
Xi = Skor yang diperoleh subjek dalam setiap item
Yi = Adalah skor total yang diperoleh subjek seluruh item
[image:51.595.141.575.362.570.2]n = Jumlah subjek
Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas Ku