• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Skripsi Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjanan Hukum Pada Fakultas Hukum Unviversitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Diajukan oleh :

Nama : PEPY YUSPIKA GUMILAR NIM : 20120610186

FAKULTAS HUKUM

(2)

i

SKRIPSI

Skripsi Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjanan Hukum Pada Fakultas Hukum Unviversitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Diajukan oleh :

Nama : PEPY YUSPIKA GUMILAR NIM : 20120610186

FAKULTAS HUKUM

(3)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Disusun Oleh:

Nama : PEPY YUSPIKA GUMILAR NIM : 20120610186

Skripsi ini telah disetujui Dosen Pembimbing pada tanggal 24 Agustus 2016

Dosen Pembimbing I

Wiratmanto, S.H., M.Hum NIK. 19570801198710153.002

Dosen Pembimbing II

(4)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Dosen Penguji Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pada Tanggal : 6 September 2016

Yang terdiri dari :

Ketua

Prihati Yuniarlin, S.H., M.Hum NIP. 19630602198812153.007 Anggota I

Wiratmanto, S.H., M.Hum NIK. 19570801198710153.002

Anggota II

Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum NIK. 196810231993032153.015

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(5)

iv

HALAMAN PERNYATAAN

1. Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang telah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan di Lembaga Pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian maupun yang belum/tidak diterbitkan sumbernya dijelaskan di dalam tulisan daftar pustaka.

2. Bersedia untuk dipublikasikan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 20 April 2016 Yang menyatakan,

(6)

v

HALAMAN MOTTO

(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, saya persembahkan skripsi ini kepada:

Allah SWT

Nabi Muhammad SAW

1. Kedua orang tuaku, papa Drs. Hendra Gumilar dan mama Mimin Nurmanah, Sp.d yang telah memberikan segalanya untuk hidupku, dan telah begitu banyak memberikan dukungan baik secara materil ataupun non materil dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak semoga papa sama mama selalu sehat dan ada dalam lindungan Allah SWT.

2. Saudariku tercinta Rafikah Isnia Aulia Wati Gumilar, makasih sayang buat do’a, dukungan, serta ledekannya buat teteh makin semangat buat selesaiin

skripsi ini. Semoga kita rukun terus ya buat bahagiain mama papa.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010” sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 Fakultas Hukum,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dengan penuh rasa hormat penulis, maka dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Bambang Cipto, MA selaku Rektor Universitas Muhammadyah Yogyakarta

2. Bapak Dekan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum

3. Wiratmanto, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan serta dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(9)

viii

dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ahdiana Yuni Lestari, SH.,M.Hum, selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang bersedia memberikan waktunya untuk membantu penulis untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi.

6. Drs. Rizal Pasi, S.H., selaku hakim pada Pengadilan Agama Bantul yang telah membantu penulis untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi.

7. Untuk sahabat-sahabatku Fitri Astuti Handayani, Shobikha Tritina Hakima, Septi Kurniawati, Narita Angga Riyantari. Terimakasih udah nemenin, suka duka udah dilewatin bareng semoga kita tetep kaya gini yaa sampai tua nanti.

8. Untuk Putri Maharani, Andhika Sewanto, Dwi Nova sahabat seperjuangan. Terimakasih udah mau bantuin aku, digangguin terus sama pertanyaan-pertanyaan dari yang penting sampai gak penting. Semoga sukses buat kalian.

9. Untuk Shafira Ayu Zulfawani, Choerul Chofidoh, Septian Adi Nugroho, Andiningtyas DM. Terimakasih buat kegilaan nya walaupun kita kenal akhir-akhir perjuangan tapi kesan kalian luar biasa.

(10)

ix

11.Semua teman-teman seangkatan Fakultas Hukum 2012 . terimakasih banyak sukses dan semangat terus buat kita semua.

12.Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara moril ataupun materiil.

Penulis menyadari, bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan dalam pembuatan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran akan diterima dengan lapang dada untuk perbaikannya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Yogyakarta, Penyususun

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan Tentang Perkawinan... 7

B. Tinjauan Tentang Anak ... 26

C. Pengakuan Anak Luar Kawin ... 35

D. Pengesahan Anak Luar Kawin ... 41

BAB III METODE PENELITIAN... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Bahan Penelitian... 49

C. Narasumber ... 50

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

E. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 54

A. Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan ... 54

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin ... 55

(12)

xi

BAB V PENUTUP ... 111

A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(13)

12

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materiil Kedudukan Anak diluar Kawin menjadi pintu terang dalam permasalahan kedudukan anak luar kawin dalam hukum di Indonesia. Pasalnya dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hak-hak serta perlindungan hukum terhadap anak luar kawin lebih terjamin. Perlindungan bagi anak wajib diatur oleh Pemerintah karena anak memiliki peran yang strategis demi mencapai cita-cita bangsa di masa depan, tanpa perlu adanya diskriminasi apakah anak tersebut anak sah atau anak diluar perkawinan.

Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dalam hal perlindungan hukum terhadap anak luar kawin setelah adanya Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 disertai dengan wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi anak diluar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya sepanjang masih bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah penetapan pengesahan terhadap anak luar kawin maka hak-hak yang dimiliki anak luar kawin akan sama dengan hak yang dimiliki seorang anak yang sah.

(14)
(15)

kedudukan anak luar kawin dalam hukum di Indonesia. Pasalnya dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hak-hak serta perlindungan hukum terhadap anak luar kawin lebih terjamin. Perlindungan bagi anak wajib diatur oleh Pemerintah karena anak memiliki peran yang strategis demi mencapai cita-cita bangsa di masa depan, tanpa perlu adanya diskriminasi apakah anak tersebut anak sah atau anak diluar perkawinan.

Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dalam hal perlindungan hukum terhadap anak luar kawin setelah adanya Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 disertai dengan wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini.

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi anak diluar kawin dapat memiliki hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya sepanjang masih bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah penetapan pengesahan terhadap anak luar kawin maka hak-hak yang dimiliki anak luar kawin akan sama dengan hak yang dimiliki seorang anak yang sah.

(16)

Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu antara anak sah dan anak tidak sah. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah”.

Anak tidak sah sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Undang-Undang pada dasarnya adalah keturunan yang kelahirannya tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Hal ini sebagai akibat dari gejala sosial di masyarakat, sebagai contoh fenomena samenlaven (kumpul kebo), perilaku seks bebas, hubungan zina, kawin siri dan bahkan akibat dari perkosaan. Anak tidak sah dalam arti luas meliputi anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang. Sedangkan dalam arti sempit yang dimaksud dengan anak tidak sah terbatas pada anak luar kawin saja. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang menentukan status dan kedudukan seorang anak dalam hubungan hukumnya dengan orang tuanya adalah keabsahan perkawinan kedua orang tuanya.1

1Rossy Novita Khatulistiwa, 2013, “Uji Materil Pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) Undang

-Undang

Perkawinan : Implikasi Terhadap Sistem Hukum Keluarga Di Indonesia” Program Studi Magister

(17)

Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari orang tua yang tidak menikah secara sah. Oleh kedua orang tuanya, anak tersebut dapat diakui sebagai anak ketika orang tuanya kawin secara sah. Apabila pengakuan tersebut dilakukan, maka tetap saja anak tersebut menjadi anak luar kawin (yang tidak diakui). Dalam banyak hal, hukum mempersamakan antara anak luar kawin yang diakui dengan anak kandung yang sah.2

Kedudukan hukum seorang anak terhadap orang tuanya ditentukan berdasarkan status kelahiran anak tersebut. Anak sah mempunyai kedudukan hukum yang sah di mata hukum sehingga mempunyai hubungan keperdataan dengan ortang tuanya. Anak luar kawin berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga dari ibunya sebagaimana ditentukan sebagai berikut:3

“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Anak luar kawin juga berhak mendapatkan perlindungan hukum termasuk dalam bidang keperdataanya seperti yang dapat dinikmati oleh anak-anak lainnya, tidak boleh ada diskriminasi dalam hal menyangkut hak asasi manusia. Walaupun disadari bahwa anak sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai generasi penerus bangsa ini, namun dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum menikmati haknya. Lahirnya seorang anak diluar perkawinan akan menimbulkan banyak

2

Munir Fuady, 2014, Konsep Hukum Perdata, Jakarta, PT Grafindo Persada, hlm. 10

3

(18)

masalah bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga mengakibatkan hukum antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti status anak, perwalian dan hak waris yang menyangkut diri anak.

Salah satunya seperti yang terjadi pada Hj. Aisyah Mochtar yang lebih dikenal dengan nama Machica Mochtar memperjuangkan status hukum anaknya yakni Muhammad Iqbal Ramadhan yang lahir pada 5 Februari 1996 buah dari perkawinannya dengan Moerdiono yang dilangsungkan pada 20 Desember 1993 secara agama Islam (siri) dan tidak di catatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).

Dalam permohonanya, Machica Mochtar mengungkapkan bahwa ia dan putranya, Muhammad Iqbal Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP. Hal ini karena perkawinan antara Machica Mochtar dengan Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif sehingga anaknya (Iqbal), tidak mempunya hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.4

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal

4

(19)

adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis mengartikan perkawinan adalah:5

“Persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal” (dalam R Soetojo

Prawirohamidjojo, 1988: 35). Esensi pengertian perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.

Menurut Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, kedudukan anak luar kawin akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun sampai saat ini belum terwujud sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat bahkan negara ini sendiri.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penulis merumuskan judul dalam penelitian skirpsi ini adalah STATUS ANAK LUAR KAWIN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah status anak luar kawin menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?

Berdasarkan latar belakang hingga munculnya rumusan masalah maka penulis mempunyai tujuan dalam melakukan penelitian ini yaitu sebagai berikut :

5

(20)

1. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui status anak luar kawin serta perlindungan hukumnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Tujuan Subyektif

Untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang menunjang penelitian dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Berdasarkan latar belakang hingga munculnya rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penulis mengharapkan penelitian ini mempunyai manfaat yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian guna penulisan hukum ini diharapkan bermanfaat untuk ilmu pengetahuan bidang perdata yang berkaitan dengan perlindungan hukum status anak yang lahir di luar perkawinan baik dalam hal perlindungan hukum ataupun yang berkaitan dengan status hubungannya dengan orang tua kandungnya menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Manfaat Praktis

(21)
(22)
(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Dalam terminologi bahasa Arab perkawinan adalah nikah, yang secara bahasa kata ‗nikah’ bermakna “himpunan atau kesatuan” dapat pula bermakna “berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya”. Adapun kata perkawinan menurut kamus bahasa Indonesia adalah “perjanjian yang

diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian dengan akad yang disaksikan beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan”. Hal ini

senada dengan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Yang dimaksud dengan “arti” Perkawinan adalah: “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri”, sedangkan “tujuan” Perkawinan adalah: “membentuk keluarga/rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

1

Siska Lis Sulistiani, 2015, Keududukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.9

2

(24)

Dengan “ikatan lahir-bathin” dimaksudkan bahwa Perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja,

tapi harus kedua-duanya.3

Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita.4

“perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina

rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykhologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan”.5

Pengertian ini juga diperkuat dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah pernikahan, di mana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidha untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.6

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak.7

Pengertian perkawinan dari beberapa sarjana, sebagai berikut:8

3

Ibid

4

Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, hlm.2

5

Ibid

6

Siska Lis Sulistiani, Loc.cit

7

Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.1

8

(25)

a. Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan—Hukum Adat – Hukum Agama, mengemukaan:

“menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja sebagai “perikatan perdata” tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggan.” Sedangkan menurut hukum agama perkawinan

adalah perbuatan suci (sekramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik desuai dengan ajaran agama masing-masing.”

b. Sayuti Thalib, S.H., dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia memberikan pengertian pendek mengenai perkawinan yaitu:

“Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.

(26)

d. Drs. HA. Zahry Hamid dalam bukunya pokok-pokok hukum perkawinan islam dan undang-undang perkawinan di Indonesia, memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam sebagai berikut:

“Pernikahan atau perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syariat Islam”.

Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena ia merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan.9

2. Tujuan Perkawinan

Pada mula-mulanya dapat dipastikan bahwa perkawinan itu adalah suatu tindakan yang keramat yang mengesahkan hubungan seorang lelaki dan seorang perempuan , sebagai suami-isteri. Hubungan suami isteri itu mempunyai tujuan yaitu melangsungkan adanya keturunan.

Di dalam kepercayaan orang Indonesia suatu perkawinan yang tiada menurunkan anak adalah suatu perkawinan yang tidak berhasil.

9

(27)

Terdapat suatu kepercayaan di Jawa sini bahwa jika dari suatu perkawinan tidak dilahirkan seorang anak, maka si suami dan si isteri harus memperbaharui perkawinannya (bangun nikah) dengan harapan agar supaya dengan pemilihan hari yang lebih tepat, anak keturunan dapat dilahirkan.

Suatu perkawinan yang disebut perkawinan in extremis bisa juga dilakukan. Di dalam hal ini ada perkawinan dengan orang yang telah hampir meninggal.10

Hal ini terbukti pada kenyataan, seperti yang dikemukakan oleh Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH:11

“bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang

sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan dinamakan “In ex tremis”, yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia”.

Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa ‗untuk itu

suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

10

Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta, Bina Aksara, hlm.95-96

11

(28)

dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material’.12

Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.13

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bila kita rasakan sangat ideal. Karena tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan bathin antara suami dan isteri yang ditunjukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam perkawinan “ikatan lahir bathin” dimaksud, adalah bahwa

perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan bathin yang merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

Selanjutnya, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak

12

Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.22

13

(29)

boleh berakhir begitu saja. Dan pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila.

Dalam hukum perdata, hubungan antara suami dan isteri hanya melihat dari segi lahirnya saja atau dari segi hubungan perdata, artinya yaitu terlepas dari peraturan-peraturan yang diadakan oleh suatu agama tertentu.14

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.15

Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawadah dan rahmah.16

3. Syarat Materiil dan Syarat Formil Perkawinan

Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbaagi menjadi syarat intern (materill) dan syarat-syarat ektern (formal).17

14

Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, Op.Cit , hlm.4

15

Hilman Hadikusuma, Op.Cit , hlm 23

16

Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.10

17

(30)

a. Syarat Materiil

Syarat materill adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

Sebelum melangsungkan perkawinan, maka calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana diatur Pasal 6-12 Undang-undang Perkawinan, dan khusus bagi mereka yang pegawai negeri sipil masih ditambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.18

Adapun syarat-syarat pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Ada persetujuan dari kedua calon mempelai

Syarat yang pertama ini terdapat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon yang akan melangsungkan perkawinan. Kedua calon itu masing-masing harus saling setuju untuk mengikat tali perkawinan dengan nya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan.19

Adanya persetujuan calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan, dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.20

18

Gatot Supramono, 1998, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm 14-15

19

Ibid, hlm 15

20

(31)

Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-undang Perkawinan, dapat kami hubungkan sistem perkawinan pada zaman dahulu, zaman kakek-nenek kita dan sebelumnya dimana pada waktu itu terjadi kawin paksa. Seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya.21

Untuk menanggulangi kawin paksa Undang-Undang perkawinan telah memeberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk Pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk kawin itu dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2) Umur calon mempelai, untuk laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, sedangkan umur wanitanya sudah mencapai 16 tahun Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan maka syaratnya bagi laki-laki umurnya minimal 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan).22

Mengapa disyaratkan umur minimal seperti ini, dalam Perjelasan Umum Undang-undang yang bersangkutan menyebutkan bahwa Undang-undang menganut prinsip, dengan umur tersebut calon sumi isteri itu dianggap telah masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, dan

21

Ibid, hlm 15

22

(32)

dianggap telah mampu mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta mendapat keturunan yang baik dan sehat.23

3) Ada izin dari kedua orang tua atau walinya bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun

Mengenai izin untuk melakukan perkawinan dari kedua orang tua atau walinya hanya berlaku bagi mereka yang belum berumur 21 tahun. Undang-undang tidak memberi penjelasan mengapa ditentukan batas 21 tahun ke atas tidak perlu ada izin yang demikian. Hemat kami karena umur 21 tahun dianggap telah dewasa untuk melakukan tindakan hukum perkawinan ini sehingga tidak perlu meminta izin orang tua atau walinya.24 4) Tidak melanggar larangan perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan syarat berikutnya bahwa mempelai tidak boleh melanggar larangan perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan ada 6 (enam) point larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yaitu :25

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.;

23

Ibid, hlm 16

24

Ibid, hlm 17

25

(33)

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d) Berhubungan susuan, yaitu oarng tua susuan, anak susuan dan bibi/paman susuan;

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;

5) Berlaku asas monogami

Asas ini juga menjadi salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan. Seorang suami hanya dapat mempunyai satu orang isteri. Oleh karena itu calon mempelai laki-laki tidak dapat melangsungkan perkawinan lebih dari satu orang sekaligus. Kalaupun nantinya si suami hendak beristeri lebih dari seorang, harus ada alasan yang sah untuk itu.26

6) Berlaku waktu tunggu bagi janda yang hendak menikah lagi Peraturan tentang waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Perkawinan, khusus bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya, baik karena kematian suaminya maupun karena perceraian, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinanya karena perceraian, 130 hari bagi

26

(34)

mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya.27

b. Syarat Formil

Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.

Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut undang-undang tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu hanya di bawah tangan. Dan masih ada sebagian masyarakat yang melaksanakan seperti ini.

Syarat- syarat formil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1) Pemberitahuan

Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan.28

Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuannya disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talat, dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama

27

Ibid, hlm 20

28

(35)

Islam pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat.29

2) Penelitian

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP No 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan menurut Undang-undang. Selain itu berdasarkan ayat (2) nya pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan melakukan penelitian terhadap :

a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai;

b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c) Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun;

d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-undang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;

29

(36)

e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas minimum umur perkawinan;

f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan peceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;

g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seoang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;

h) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang di sahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain..30

3) Pengumuman

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah Pegawai Pencatat perkawinan menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.

30

(37)

Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatat perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.31

4) Pelaksanaan32

Sesuai ketentuan pemberitahuan akan kehendak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan.

Mengenai bagaimana tata cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepecayaannya itu, supaya sah.

Peraturan Pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang bewenang dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Sesaat sesudah dilangsungkannya pekawinan sesuai Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai menandatangani akta pekawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat pekawinan.

4. Syarat Sah Perkawinan

31

Ibid, hlm 24-25

32

(38)

Sahnya suatu pekawinan ditinjau dari sudut keperdataan, apabila pekawinan itu sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Selama pekawinan itu belum terdaftar, maka pekawinan itu belum di anggap sah menurut ketentuan hukum, walaupun telah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama.

Apabila ditinjau dari segi agama, pencatatan perkawinan hanyalah sebagai perbuatan administrasi saja dalam perkawinan tersebut dan tidak menentukan sah atau tidak nya perkawinan.33

Apabila diteliti ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut:

“perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu.”

Dinyatakan juga tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan perumusan tesebut berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi pencatatan bukan syarat yang menentukan sahnya perkawinan.34

Sahnya suatu perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan; berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan

33

Djoko Prakoso, I Ketut Murtia, 1987, Op.Cit, hlm. 19

34

(39)

kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.35

Pasal 2 Undang-undang Perkawinan berbunyi:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamnya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.36

Jadi bagi mereka yang memeluk agama Islam, maka yang menentukan sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan hukum Islamn. Hal yang sama juga terdapat pada agama Nasrani dan Hindu Bali yaitu hukum agama merupakan yang menjadi dasar dari pelaksanaan sahnya suatu perkawinan.37

35

Ibid

36

Ibid, hlm 20-21

37

(40)

Prof. Dr. Hazairin, SH menjelaskan masalah tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dalam bukunya yang bejudul “Tinjauan Mengenai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” adalah sebagai berikut:38

“ jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti yang dijumpai di Indonesia. Maka untuk suatu sahnya perkawinan itu, haruslah menurut ketentuan hukum agamanya dan

kepercayaannya.”

Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan pelaksanaan Peraturan Peraturan No. 9 Tahun 1975 adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan dari masing-masing orang yang akan melaksanakan perkawinan; kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.39

5. Akibat Adanya Perkawinan

Akibat dari adanya suatu perkawinan, maka dengan sendirinya menimbulkan bermacam-macam masalah. Namun masalah yang menonjol dan juga cukup penting adalah : masalah hubungan suami isteri, hubungan antara orang tua dengan anak serta masalah harta benda.

38

Ibid, hlm 21

39

(41)

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, baik terhadap suami dan isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Akibat-akibat hukum perkawinan tersebut, adalah:40 a. Akibat perkawinan terhadap suami isteri

1) Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UUP),

2) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP),

3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (Pasal 31 ayat [2] dan [3] UUP),

4) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat [1] UUP).

b. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan 1) Timbulnya harta bawaan dan harta bersama,

2) Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apa pun,

40

(42)

3) Suami atau isteri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UUP). c. Akibat perkawinan terhadap anak

1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak yang sah (Pasal 42 UUP)

2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja.

B. Tinjauan Tentang Anak 1. Pengertian Anak

Adanya anak menunjukan adanya bapak dan ibu yang melahirkan anak itu, atau dengan kata lain; adalah hasil dari terjadinya suatu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah seorang anak yang mana laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya.41

Keberadaan seorang anak diatur dalam peraturan hukum positif Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Hal ini

41

(43)

selaras dengan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak dan PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang pengangkatan anak. Ketentuan tersebut menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun.

Dari pandangan sosial, Hadiotono berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. Dari beberapa terminologi tersebut pada prinsipnya, anak adalah pribadi yang memiliki peranan strategis dalam mengemban tanggung jawab masa depan bangsa, namun anak masih memerlukan peranan orang tua dalam memelihara, mendidik dan mengarahkan dalam mencapai kedewasaannya.42

Pengertian anak juga diatur dalam Konvensi Anak 1989. Konvensi tersebut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990. Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi anak adalah:

“setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun,

kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi

anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

42

(44)

Adapun secara biologis anak merupakan hasil dari pertemuan sel telur seorang perempuan yang disebut ovum dengan spermatozoa dari laki-laki yang kemudian menjadi zygot, lalu tumbuh menjadi janin. Sehingga secara biologis tidak mungkin seorang anak lahir tanpa adanya kontribusi laki-laki dan perempuan. Tetapi hal ini berbeda dari sisi yuridis, seorang anak terkadang lahir tanpa keberadaan seorang ayah, hal ini terdapat dalam Undang-Undang perkawinan, di mana suatu kelahiran tanpa disertai dengan adanya perkawinan yang sah (anak luar kawin), maka si anak hanya akan memiliki ibu sebagai orang tuanya, sedangkan KUHPerdata menganut prinsip yang lebih tegas bahwa tanpa adanya pengakuan dari kedua orang tuanya, maka si anak dapat dipastikan tidak memiliki tidak akan memiliki ayah maupun ibu secara yuridis.43

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenal 2 (dua) macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin. Mengenai anak sah dan anak luar kawin dijelaskan didalam Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan.

2. Anak Sah

Berdasarkan beberapa aturan perundang-undangan anak sah diberikan definisi antara lain, sebagai berikut:44

a. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah”

43

Ibid, hlm.16

44

(45)

b. Pasal 250 KUHPerdata menyebutkan bahwa “anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh si suami sebagai ayahnya”.

c. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak sah adalah: “anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

Hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.

Sedangkan berdasarkan teori para doktrinal anak sah memiliki pengertian lain, menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan anak sah adalah anak yang dilahirkan dari pernikahan yang sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.45

Menurut Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami mutlak menjadi anak dari suami itu tanpa memerlukan pengakuan darinya. Maka seorang anak mendapatkan kedudukan sebagi anak yang sah apabila kelahiran si anak didasarkan pada perkawinan orang tuanya yang sah atau telah didahului oleh adanya perkawinan yang sah. Menurut makna etimologi dari beberapa kategori pengertian tersebut, antara lain:46

1) Seorang anak yang dibenihkan dalam perkawinan dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah,

45

Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.80

46

(46)

2) Seorang anak dibenihkan di luar perkawinan namun dilahirkan dalam perkawinan yang sah,

3) Seorang anak dibenihkan di dalam perkawinan yang sah namun dilahirkan di luar perkawinan

4) (Khusus Kompilasi Hukum Islam) seorang anak yang dibenihkan oleh pasangan suami isteri di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri.

3. Anak Luar Kawin

Seorang anak dikategorikan sebagai anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang perkawinan jika dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, ada dua kategori yang dirumuskan oleh Undang-Undang untuk menunjukan keabsahan seorang anak, yaitu berdasarkan waktu kelahirannya dan sebab yang mengaitkan tumbuh nya anak di dalam rahim seorang perempuan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang perkawinan , perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bisa dikatakan bahwa pengertian anak luar kawin menurut Undang-undang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat perkawinan sah yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(47)

sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”, maka

substansi pengertian keduanya memiliki sedikit perbedaan, karena ketentuan Pasal 250 KUHPerdata lebih menekankan keabsahan anak semata-mata hanya pada hubungan kebapakan, hal ini dari kalimat terakhir yang berbunyi, “...memperoleh si suami sebagai bapaknya”.

Disebutkan dalam Pasal 272 KUHPerdata bahwa, “anak luar kawin

kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau pernodaan darah disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri”. Menurut DY Witanto beberapa faktor yang

melatarbelakangi kehamilan pranikah dan kelahiran anak luar kawin antara lain:47

a. Karena usia pelaku masih dibawah batas usia yang diizinkan untuk melangsungkan perkawinan,

b. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan, c. Karena perbedaan keyakinan dan kepercayaan (agama),

d. Karena akibat tindak pidana (pemerkosaan), e. Karena tidak mendapat restu orang tua,

f. Karena si laki-laki terikat perkawinan dengan wanita lain dan tidak mendapat izin untuk melakukan poligami,

g. Karena pergaulan seks bebas (free sex),

47

(48)

h. Karena prostitusi/perdagangan jasa seksual.

Menurut pasal di atas anak luar kawin dikelompokan menjadi 3 golongan antara lain:

1) Anak Zina

Anak zina menurut pengertian dalam Pasal 284 KUHPerdata adalah, “seorang pria yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya bahwa Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya dan seorang wanita yang telah kawin melakukan mukah (overspel) padahal diketahuinya Pasal 27 KUHPerdata berlaku baginya. Sehingga menurut hukum Barat seseorang anak baru dapat dikategorikan sebagai anak zina jika anak tersebut lahir dari hubungan suami isteri yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau keduanya sedang terikat perkawinan dengan yang lain.

(49)

Anak zina merupakan jenis anak luar kawin dalam pengertian anak tidak sah. Istilah ini dalam pengertian hukum perdata Barat dipengaruhi oleh asas monogami secara mutlak yang dianut oleh KUHPerdata, di mana pada waktu yang sama seorang laki-laki atau perempuan hanya boleh terikat perkawinan dengan seorang perempuan atau seorang laki-laki saja, dan jelas hal ini berbeda dengan hukum Islam yang menerima asas poligami.48

Anak yang lahir karena zinah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan atau dibenihkan seorang lelaki, sedangkan perempuan atau lelaki itu ada dalam perkawinan dengan orang lain.49 2) Anak karena Pernodaan Darah (Sumbang)

Anak sumbang (incest) atau sering disebut anak hasil dari penodaan darah yaitu anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana di antara keduanya dilarang untuk melangsungkan perkawinan, baik karena terikat hubungan darah, hubungan semenda, hubungan persusuan (dalam hukum Islam) dan sebagainya.50

Anak yang lahir dalam sumbang adalah anak yang lahir dari seorang ibu, yang dilarang kawin menurut Undang-Undang dengan seorang lelaki yang membenihkan anak itu.51

3) Anak Alam (natuurkijk kind)

48

Ibid, hlm 21-22

49

Ali Afandi, Op.Cit, hlm 147

50

Siska Lis Sulistiani, Op.Cit, hlm.22

51

(50)

Anak yang lahir diluar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau di kenal dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dinamakan natuurkijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut sistem yang dianut BW (KUH Perdata) dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja, belum terjad suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengkuan terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya, demikian menurut Prof. Subekti. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau istilah hukumnya natuurkijk kind.52

Yang dimaksud dalam pembahasan anak luar kawin lainnya adalah anak luar kawin selain anak zina dan anak sumbang. Anak luar kawin lainnya memiliki kesempatan untuk menjadi ahli waris dari orang tua biologisnya, meskipun bagian warisnya tidak sebesar ahli waris dari golongan anak sah dikarenakan mendapatkan pengakuan dari orang tua biologisnya, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 865 KUHPerdata. Di antara kategori anak luar kawin lainnya adalah:53 a) Anak mula’nah

b) Anak syubhat

52

Soerdharyo Soimin, 2002, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 40

53

(51)

C. Pengakuan Anak Luar Kawin

Anak yang dilahirkan diluar kawin, perlu diakui oleh ayah atau ibunya supaya ada hubungan hukum. Sebab kalau tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum. Jadi meskipun seorang anak itu jelas dilahirkan oleh seorang ibu, ibu itu harus dengan tegas mengakui anak itu. Kalau tidak maka tidak ada hubungan hukum antara ibu dan anak.

Pengakuan ini adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan pengakuan seorang anak itu menjadi anak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan itu, baru menjadi anak sah, jika kedua orang tuanya kemudian kawin, setelah mereka itu kedua-duanya mengakui anak itu, atau jika pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan itu sendiri. 54

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 42, yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Dengan demikian, agar supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan anak itu sangat penting sekali. Dalam hal akta Pengakuan Anak pada prinsipnya lebih ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku.55

Status seorang anak sepanjang mengenai anak-anak luar kawin banyak dikupas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Demikian pula

54

Ali Afandi, Op.Cit, hlm.146

55

(52)

Undang-Undang Perkawinan menyingkap adanya kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.56

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan kedudukan seorang anak dalam hubungannya dengan perkawinan orang tuanya, sebagaimana dikemukakan pada pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu atau sebab perkawinan yang sah.57

Kemudian dalam pasal 43 ayat pertama mengemukakan sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.”

Karena secara biologis tidak mungkin seorang anak tidak mempunyai ayah, maka demi kepentingan hukum yang menyangkut segala akibatnya di bidang pewarisan, kewarganegaraan, perwalian dan lain sebagainya. Maka melalui pengakuan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. Biasanya dengan dilangsungkan perkawinan orang tuanya, diterbitkan akta pengakuan anak. 58

Orang membedakan pengakuan anak luar kawin dalam 2 (dua) kelompok :59

1. Pengakuan secara suka rela

56

Ibid

57

Ibid

58

Ibid, hlm 43

59

(53)

Pengakuan anak secara suka rela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan, yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya.60

Ada 3 (tiga) cara uuntuk mengakui anak luar kawin secara suka rela, yaitu :61

a) Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan; b) Di dalam akta perkawinan;

c) Di dalam akta otentik.

Karena pengakuan itu baru sah, kalau diberikan di hadapan seorang Notaris atau Pegawai Catatan Sipil (bisa dalam surat lahir, akta perkawinan maupun dalam akta tersendiri), padahal keduanya adalah Pejabat Umum, yang memang diberikan kewenangan khusus untuk membuat akta-akta seperti itu, maka dapat kita katakan, bahwa pengakuan anak luar kawin harus diberikan dalam suatu akta otentik.62

Karena tidak disyaratkan , bahwa akta otentik yang bersangkutan maksudnya yang dibuat dihadapan akta notaris, harus semata-mata memuat pengakuan anak luar kawin, maka pengakuan juga dapat diberikan didalam suatu wasiat umum, yang dibuat di hadapan seorang Notaris.63

60

Ibid

61

Ibid, hlm 111

62

Ibid

63

(54)

Cara yang kedua adalah pengakuan yang diberikan dalam akta perkawinan dari ayah dan ibu si anak luar kawin. Hal itu berarti, bahwa lelaki dan perempuan yang semula mengadakan hubungan di luar nikah dan menghasilkan anak luar kawin, kemudian memutuskan untuk saling menikah secara sah, dan sekaligus mengakui anak luar kawin itu.64

Cara yang ketiga adalah pengakuan yang dituangkan dalam suatu otentik, yang dimaksud dengan akta otentik disini adalah akta notaris. Pengakuan dalam akta otentik perlu ditindak lanjuti dengan melaporkannya kepada kantor Catatan Sipil, di mana kelahiran anak itu dulu telah didaftarkan, dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minit akta kelahiran yang bersangkutan.65

2. Pengakuan karena terpaksa

Pengakuan karena terpaksa terjadi, kalau hakim, dalam suatu perkara gugatan kedudukan anak atas dasar persangkaan, bahwa seorang laki-laki tertentu adalah ayah dari anak tertentu menetapkan , bahwa orang laki-laki itu adalah ayah dari anak yang bersangkutan. Karena didasarkan atas ketetapan pengadilan, maka pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang dipaksakan atau terpaksa.66

64

Ibid , hlm 112

65

Ibid , hlm 113

66

(55)

Didalam doktrin terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat daripada pengakuan anak luar kawin, yaitu bersifat deklaratif saja, ataukah ia bersifat konstitutif.67

Pengakuan bersifat deklaratif, mereka yang menganut pendapat, bahwa pengakuan merupakan sarana bukti saja, berangkat dari anggapan , bahwa yang mengakui anak yang bersangkutan adalah memang ayah atau ibu biologisnya. Karena ia hanya merupakan bukti keturunan, maka sifatnya hanya deklaratif saja. Akibatnya, kedudukan si anak sebagai keturunan orang yang mengakuinya memang sudah ada sejak anak itu lahir.68

Pengakuan sebagai tindakan hukum, kalau pengakuan itu merupakan suatu tindakan hukum, dengan mana orang menerima kedudukan sebagai ayah/ibu atas nama anak yang diakuinya, maka dengan pengakuan itu baru tercipta hubungan kekeluargaan antara yang mengakui dengan yang diakui dan karenanya dikatakan bersifat konstititif.69

Akibat daripada pengakuan adalah

:70

a. Lahirnya hubungan hukum dengan yang mengakuinya

Akibat hukum dari adanya pengakuan adalah lahirnya hubungan hukum antara yang mengakui dengan yang di akui.

67

Ibid, hlm 126

68

Ibid, hlm 127

69

Ibid, hlm 129

70

(56)

Anak luar kawin tersebut dengan pengakuan itu selanjutnya mendapatkan status sebagai “anak luar kawin yang diakui”.71

Adanya hubungan hukum antara anak yang bersangkutan dengan ayah dan ibu yang mengakuinya, membuat akibat yang lebih lanjut dalam hukum, seperti :72

1) Keharusan minta izin kawin;

2) Ada kewajiban alimentasi dari anak terhadap orang tua yang mengakuinya;

3) Adanya hubungan perwalian dengan ayah atau ibu yang mengakuinya, yang terjadi demi hukum;

4) Adanya hak mewaris dari anak yang diakui dengan ayah dan ibu yang mengakuiya;

5) Adanya hak mewaris dari ayah dan ibu yang mengakui, atas harta warisan dari anak yang diakui olehnya.

b. Adanya akibat hukum yang sangat terbatas dengan keluarga pihak yang mengakuinya

Hubungan hukum itu terbatas sekali, hanya antara yang mengakui dan anak yang diakui. Antara anak luar kawin dengan keluarga ayah ata ibu yang mengakuinya, tidak ada hubungan hukum apa-apa. Antara mereka keadaannya sama seperti antara 2 (dua) orang lain. Konsekuensinya, kalau saudara dari ayah yang mengakuinya (atau saudara ibu yang

71

Ibid, hlm 132-133

72

(57)

mengakuinya) meninggal dunia, maka bagi anak luar kawin itu tidak ada dasar sama sekali untuk mempunyai kesempatan mewaris dari saudara ayah atau ibu itu, sekalipun si mati tidak meninggalkan keturunan.73

D. Pengesahan Anak Luar Kawin

Jika kita menyebut seorang anak itu seorang anak sah, maka anak itu dilahirkan atau dibuahkan di dalam suatu perkawinan yang sah. Demikian isi dari Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah tidak sah. Meskipun demikian anak yang demikian itu kemudian bisa disahkan.74

Suatu syarat guna pengesahan ialah, bahwa pada waktu nikah dilakukan atau sebelumnya harus adanya suatu pengakuan sebagai anak (erkenning) oleh ibu dan bapak.75

Dalam hal Akta Pengakuan Anak taupun Akta Pengesahan ini pada prinsipnya ditunjukan untuk maksud menciptakan hubungan hukum perdata antara anak yang diakui dengan si pengaku. Sedangkan Akta Pengesahan Anak adalah semacam pernyataan bahwa anak tersebut setelah di sahkan menjadi anak sah, dalam pengertian hukum perdata. Supaya terhadap anak yang dilahirkan oleh ibunya dan mendapat pengakuan dari ayahnya maka peristiwa pengakuan sangat penting sekali mendapat pengesahan dari suatu lembaga yang berwenang yang merupakan langkah lebih lanjut dari

73

Ibid, hlm 133

74

Ali Afandi, Op.Cit, hlm.148

75

(58)

pengakuan kedua orang tuanya tadi. Jika anak yang diakui tersebut, telah mendapat pengesahan, maka status atau kedudukan anak tersebut menjadi sama (tidak berbeda) dengan anak sah dalam segala hal. Melalui pengesahan anak ini ditimbulkan hubungan hukum perdata baru. 76

Dari bentuk Akta Pengesahan Anak itu sendiri, sebenarnya bukan merupakan suatu akta dalam bentuk tersendiri. Pada awalnya akta kelahiran biasa, dengan adanya pengesahan anak kemudian dicantumkan data pengesahan anak, yang dikenal dengan istilah populer “catatan pinggir”.

Disebut catatan pinggir, karena catatan tentang perubahan status anak tersebut dicatat pada bagian pinggir dari akta kelahiran semula. “Catatan pinggir”

pada suatu Akta Catatan Sipil pada dasarnya berisi perubahan data dan informasi atas akta semula.77

“Catatan pinggir” ini dapat diterapkan pada semua jenis dan macam Akta Catatan Sipil, dengan adanya “catatan pinggir” pada suatu akta, berarti

data dan informasi lama tidak berlaku lagi, sedangkan yang dipergunakan sebagai data selanjutnya adalah tercantum dalam “catatan pinggir”.78

Penerbitan akta bercatatan pinggir, biasanya dilakukan berhubung adanya peristiwa baru yang oleh undang-undang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum baru. Misalnya terjadi karena adanya Keputusan Pengadilan Negeri karena ganti nama, perubahan dan pembetulan tanggal dan bulan serta tahun kelahiran serta pembetulan nama, juga karena perubahan

76

Victor M. Situmorang, Cormentyna Sitanggang, Op.Cit, hlm. 42

77

Ibid, hlm.43

78

(59)

kewarganegaraan karena proses mengikuti suami, ataupun karena pengakuan dan pengesahan anak.79

Lembaga Catatan Sipil adalah juga lembaga yang berwenang melakukan pengesahan anak. Hal ini ditegaskan dalam Keputusan Presiden bahwa Lembaga Catatan Sipil juga berfungsi untuk Pencatatan dan Penerbitan Kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak (Pasal 5 ayat 2 Kepres No.12 Tahun 1983).80

Dengan demikian, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan “Surat Pengesahan” (Brieven van wettingin) oleh Kepala Negara.81

Peristiwa pengakuan atau pengesahan anak tidak dapat dilakukan secara diam-diam tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan pencatatan dalam akta kelahiran anak tersebut, atau dalam akta perkawinan orang tuanya (yang berakibat pengesahan ) atau dapat juga dalam suatu akta tersendiri dari Pegawai Pencatatan Sipil.82

Pada pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan pula bahwa : “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”.

79

Ibid

80

Ibid, hlm.44

81

Ibid

82

(60)

Pengesahan merupakan sarana hukum, dengan mana seorang anak luar kawin diubah status hukumnya sehingga mendapatkan hak-hak seperti yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang anak sah.83

Unsur-unsur pengesahan :84 1. Pengakuan

Tindakan pengesahan dilakukan pertama-tama, disamping pernikahan (kedua) orang tuanya dengan cara mengakui anak luar kawin yang bersangkutan. Jadi, pengakuan disamping pernikahan orang tua merupakan syarat adanya pengesahan

2. Pernikahan

Syarat kedua untuk pengesahan adalah, bahwa ayah yang mengakui anak luar kawinnya, menikah dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Kalau pengakuan itu diberikan dalam akta nikah, maka dengan pernikahan kedua orang tua itu, pengakuan itu langsung berubah dan mempunyai akibat sebagai suatu pengesahan.

Cara melakukan pengesahan:85

1. Pengakuan dan perkawinan

Cara pengesahan pertama adalah dengan pengakuan disertai dengan perkawinan dari orang tua anak luar kawin yang mengakuinya.

2. Melalui surat pengesahan

83

J Satrio, Op.Cit.,hlm 164

84

Ibid., hlm. 165-167

85

(61)

Pengesahan anak luar kawin bisa juga dilakukan melalui surat pengesahan presiden. Dari diadakannya lembaga pengesahan anak luar kawin melauli Surat Pengesahan, orang menyimpulkan, bahwa pembuat Undang-Undang hendak mengupayakan agar sebanyak mungkin anak-anak luar kawin, yang orang tuanya saling menikahi, memperoleh status anak sah.

3. Dalam hal ada kelalaian

Karena undang-undang tidak menyebutkan alasan dari kelalaian orang yang akan mengesahkan anak, maka kita bisa menafsirkan nya dengan luas, baik karena sengaja ataupun kelalaian termasuk dan untuk gampangnya ketidaktahuan dari orang tua. Ini bukan alasan mengada-ada, tetapi merupakan kelalaian yang ada dan bisa diduga banyak muncul dalam praktek.

4. Karena halangan

Halangan yang dimaksud adalah halangan perkawinan dari ayah yang mau mengesahkan dengan ibu si anak luar kawin yang bersangkutan. 5. Peranan Presiden dan Mahkamah Agung

(62)

disodorkan, untuk membuktikan, bahwa mereka atas dasar kematian itu, terhalang untuk melangsungkan perkawinan yang sudah direncanakan.

Presiden, sebelum memberikan keputusan, akan meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Mahkamah agung, sebelum memberikan advisinya, kalau dipandang perlu dapat memanggil para keluarga sedarah dari pemohon, untuk didengar pendapat mereka tentang permohonan pengesahan yang diajukan oleh yang bersangkutan. Mahkamah agung juga bisa memerintahkan Pengadilan yang ada di bawahnya untuk mendengar pendapat dari keluarga sedarah pemohon, terutama kalau para anggota keluarga tersebut tinggal di tepat jauh dari tempat tinggal pemohon.

(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan pada judul, latar belakang serta rumusan masalah yang diajukan, maka jenis penelitiannya adalah yuridis normatif. Penelitian ini yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dalam hal perlindungan hukum terhadap anak luar kawin setelah adanya Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa:1

Penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum

Hal senada juga dikemukakan oleh Ronny Hanitijo Soemitro, bahwa:2

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan”

1

Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hlm. 109

2

(64)

B. Bahan Penelitian

Dalam jenis penelitian hukum normatif hanya diperlukan bahan penelitian berupa bahan hukum dan bahan non hukum. Bahan hukum meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.3

1. Bahan hukum primer diantaranya:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

2. Bahan hukum sekunder

a. Buku-buku tentang hukum perkawinan b. Buku-buku tentang hukum keluarga c. Buku-buku tentang hukum waris d. Buku-buku tentang akta catatan sipil e. Buku-buku ten

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui jenis basis krim yang paling efektif dalam formulasi sediaan krim minyak atsiri daun jeruk nipis sebagai antibakteri P.. Uraian

Dan yang paling menyedihkan, Kangjoon bukan sahaja tidak menanam perasaan kepada Yunra, malah, Kangjoon selalu bersama yeoja-yeoja yang lain.... Even itu semua berlaku, Yunra

Pengujian dengan analisis regresi ditujukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh antara restitusi (variabel independen) terhadap penerimaan bea perolehan hak atas

Moderator: Kalau Uncle nak buat kartun, nak tengok kartun yang macam mana?. Zakuan: Kartun yang

Suffian tersenyum, memandang Adelia yang dilihat tidak keruan sejak mengetahui status dirinya dalam keluarga Datuk Aman Zainal dan Datin Hanim.. “Tapi janji, adik takkan

Fasa pembangunan sistem carian hadis menggunakan ciri asas kata kunci dan kategori ini dilakukan berdasarkan analisis perancangan dan keperluan serta reka bentuk sistem yang

menggambarkan tiga situasi berbeza yang terdapat dalam petikan tersebut. Aku dengan Amirah bersahabat baik sejak kecil. Aku mempercayai dirinya dan yakin bahawa dia dapat

Bagi setiap ayat, anda tidak boleh menyenaraikan lebih daripada satu kesalahan penggunaan kata atau istilah dan satu kesalahan tatabahasa. Anda tidak perlu menyalin ayat