• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PASCAHUNI PERFORMANSI FISIK INSTALASI GAWAT DARURAT DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI PASCAHUNI PERFORMANSI FISIK INSTALASI GAWAT DARURAT DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

xiii ABSTRACT

Background : One of the assessment criteria for hospital services is health services provided by paramedics who were in the emergency room. Physical a hospital is something that very important for a hospital. Physical fields including construction, performance space, and supporting infrastructure. This study aims to describe from the emergency room users for the physical condition of emergency room during a post occupancy evaluation of emergency room PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Hospital.

Method : This study is a descriptive observational. The type of data and data analysis in the form of qualitative and quantitative data. The population in this study are the internal and external users emergency room. The total sample of 56 respondents. Data analysis was then performed using triangulation to data processing and conclusions.

Result and Discussion : Physical performance results show emergency room location is easily accessible by the patient but on the other side is still not enough to accommodate some transportation at the same time. The lighting level is 328 lux, the moisture level is 58% it means appropiate with the technical guidelines, but the noise level is 55,8 db and the room temperature is 27,8C it means not appropiate with the technical guidelines. According to the result of observation in 5 location, the result for safety category is good, security category is good and comfort is enough.

Summary : from the research that has been done, we can conclude that based on users perception views from safety category, security category and comfort needs to be improved.

(2)

1

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Tercantum pada Undang – undang No. 44 tahun 2009 pasal 7 menyebutkan bahwa rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian dan peralatan. Pada pasal 10 disebutkan bahwa Ruang Gawat Darurat adalah salah satu ruang yang disyaratkan harus ada pada bangunan rumah sakit, yang merupakan ruang pelayanan khusus yang menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan selama 24 jam ( Kemenkes, 2012).

Salah satu kriteria penilaian pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga paramedik yang berada di Instalasi Gawat Darurat (IGD), sehingga dapat dikatakan kualitas pelayanan IGD merupakan salah satu ujung tombak pemberian pelayanan kesehatan dari sebuah Rumah Sakit. Oleh karena itu pelayanan IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi pengaruh dimana pengalaman besar bagi masyarakat akan memberikan gambaran tentang bagaimana kualitas pelayanan yang ada di Rumah Sakit itu sebenarnya.

(3)

sangat cepat dan adanya banyak pesaing merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola rumah sakit. Pengelola rumah sakit harus mempunyai paradigma baru dalam pengelolaan rumah sakit, agar rumah sakit tetap dapat bertahan atau bahkan mengungguli pesaingnya. Perubahan dan perkembangan politik, ekonomi dan social selama beberapa tahun terakhir ini memberikan implikasi yang tidak kecil terhadap pengelolaan rumah sakit dan status rumah sakit (Mulyadi, 2001).

Fisik rumah sakit merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu rumah sakit. Bidang fisik termasuk bangunan, performansi ruang, tata lansekap dan infrastruktur pendukung mulai didekati dengan indikator kenyamanan, keindahan serta keberpihakkan pada lingkungan yang kesemuanya membangun citra layanan kesehatan di kelasnya. Bangunan yang indah, fungsional, efisien dan bersih memberikan kesan yang positif bagi seluruh pengguna rumah sakit, terutama konsumen dan pasien (Hatmoko, 2010).

Pada dasarnya fisik rumah sakit juga berhubungan langsung dengan kualitas layanan medik. Bangunan yang baik akan memberikan tingkat kenyamanan yang tinggi dalam pemanfaatannya sehingga memberikan sumbangan pada proses penyembuhan pasien dan produktivitas pelaku. Bangunan yang baik juga akan memberikan jaminan bagi terlaksananya prosedur-prosedur pelayanan medik yang diberikan (Hatmoko, 2010).

(4)

pelayanan kepada pasien. Penunjang dalam pemberian pelayanan IGD adalah fasilitas dan kualitas dari gedung bangunan IGD itu sendiri. Banyak rumah sakit yang mengupayakan penampilan fisiknya sebagai salah satu unsur dalam strategi pengembangan. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Benny Poliman, di Rumah Sakit Honoris Jakarta, ternyata disain bangunan yang berhubungan dengan kebutuhan pelanggan, akan menghasilkan antara lain : Physical Comfort, meliputi kenyamanan temperatur, cahaya yang sesuai, tidak bising, furniture yang nyaman dan tidak berbau. Social contact, meliputi cukup privasi (percakapan dengan dokter tidak mudah di dengar orang yang tidak berkepentingan). Symbolic meaning, seperti ruang tunggu yang sempit dan kursi yang tidak nyaman akan mengesankan kurang menghargai pasien (Miller & Swensson, 1995).

Menurut Garvin, et all., dalam Tjiptono (2008), salah satu mengukur kepuasan Terhadap suatu produk adalah service ability, dimana pelayanan yang diberikan tidak terbatas hanya sebelum penjualan, tetapi selama proses penjualan hingga purna jual, yang juga mencakup pelayanan reperasi dan ketersediaan komponen yang dibutuhkan. Peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh para pengelola rumah sakit.

(5)

jam yang tersedia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yang memberikan layanan lengkap dan terpadu mencakup pelayanan laboratorium, radiologi dan farmasi. Instalasi Gawat Darurat dilayani langsung oleh Dokter Umum yang berkompeten di bidangnya. Jumlah kunjungan IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, merupakan kunjungan tertinggi dibandingkan unit-unit lainnya.

Hasil pengamatan peneliti pada bulan Agustus tahun 2015 masih ada ruang yang sudah beralih fungsi di IGD tersebut, tata ruangnya belum maksimal sehingga menimbulkan tidak kenyamanan bagi pengguna. Mulai dari ruang tunggu yang kapasitasnya tidak terlalu banyak, pintu masuk dan pintu keluar yang masih menjadi satu sehingga bisa menimbulkan tabrakan antar pasien, ruang operasi yang sudah beralih fungsi menjadi ruang istirahat para perawat.

Angka kunjungan di IGD sangat tinggi. Banyak pasien yang berobat, mulai dari yang keadaan darurat dan tidak darurat. Berdasarkan data yang didapat angka kunjungan selama 3 bulan periode Desember – Februari di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II adalah 7912 kunjungan. Dalam rangka mewujudkan Ruang Gawat Darurat yang memenuhi standar pelayanan dan persyaratan mutu, keamanan dan keselamatan perlu didukung oleh bangunan dan prasarana yang memenuhi persyaratan teknis, maka dari itu diperlukan evaluasi pasca huni. Selain itu, RS ini masih termasuk bangunan baru sehingga belum pernah dilakukannya evaluasi pasca huni.

(6)

Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Gawat Darurat yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan RI tahun 2012. Mengenai tentang persyaratan teknis prasarana bangunan Ruang Gawat Darurat yang meliputi persyaratan prasarana yang menunjang faktor keselamatan, prasarana yang menunjang faktor kesehatan lingkungan, prasarana yang menunjang faktor kenyamanan, prasarana yang menunjang faktor keamanan dan prasarana yang menunjang faktor kemudahan. Dimana peneliti hanya mengambil sebagian dari persyaratan prasarana faktor kesehatan lingkungan yaitu system ventilasi, system pencahayaan, sedangkan persyaratan prasarana faktor kenyamanan yaitu sistem pengkondisian udara meliputi temperature, kelembaban dan kebisingan. Dan untuk pesyaratan prasarana faktor keselamatan meliputi sistem kelistrikan. Beberapa parameter ini diambil karena merujuk pada penelitian sebelumnya dan keterbatasan alat serta kemampuan peneliti.

Menurut Haryadi dan Slamet (1996) perencanaan pengembangan dalam rangka peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit selalu berdasarkan keadaan yang sebenarnya saat ini, untuk mencapai kondisi yang lebih baik di saat mendatang. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari prasarana dan sarana fisik saat ini perlu dilakukan evaluasi, yaitu evaluasi pasca huni (post occupancy evaluation). Evaluasi Pasca Huni (EPH) merupakan pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya.

(7)

Bagaimana kondisi performansi fisik di dalam ruang instalasi gawat darurat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II saat ini?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui tentang kondisi performansi fisik ruangan IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II yang sesuai dengan standar operasional yang berlaku.

2. Tujuan khusus

a. Untuk memperoleh gambaran performansi fisik berdasarkan lokasi, pencahayaan, kebisingan, kelembaban dan penghawaan instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

b. Untuk mengkaji kesesuaian performansi fisik IGD yang memiliki kriteria kategori keselamatan (safety), keamanan (security) dan kenyamanan yang ditetapkan oleh Kemenkes RI 2012 berdasarkan pengguna internal dan pengguna eksternal.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat bagi rumah sakit

(8)

memenuhi kategori keselamatan (safety), keamanan (security), dan kenyamanan, sehingga meningkatkan kepuasan pengguna internal maupun pengguna eksternal.

2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Memberikan kajian tentang manajemen fisik rumah sakit terutama di bagian instalansi gawat darurat.

3. Manfaat bagi peneliti

(9)

8 A. Instalasi Gawat Darurat

1. Fungsi / Lingkup kerja

Gawat darurat adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan pemeriksaan medis segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita. Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan standar (DepKes RI, 1992).

IGD berfungsi memberikan pelayanan kesehatan karena kondisi gawat adrurat dan memerlukan penanganan cepat dan tepat, meliputi kasus bedah (traumatology dan terkait dengan organ tubuh bagian dalam) dan non bedah (penyakit dalam, anak dan syaraf).

(10)

bencana yang terjadi di tiap daerah (DepKes RI, 2004).

Ruang IGD, selain sebagai area klinis, IGD juga memerlukan fasilitas yang dapat menunjang beberapa fungsi-fungsi penting sebagai berikut: kegiatan ajar mengajar, penelitian/riset, administrasi, dan kenyamanan staff. Adapun area-area yang ada di dalam kegiatan pelayanan kesehatan bagi pasien di IGD adalah: (1) Area administratif, (2) Reception/Triage/Waiting area, (3) Resuscitation area, (4) Area Perawat Akut (pasien yang tidak menggunakan ambulan), (5) Area Konsultasi (untuk pasien yang menggunakan ambulan), (6) Staff work stations, (7) Area Khusus, misalnya: Ruang wawancara untuk keluarga pasien, Ruang Prosedur, Plaster room, Apotik, Opthalmology/ENT, Psikiatri, Ruang Isolasi, Ruang Dekontaminasi, Area ajar mengajar. (8) Pelayanan Penunjang, misalnya: Gudang/ Tempat Penyimpanan, Perlengkapan bersih dan kotor, Kamar mandi, Ruang Staff, Tempat Troli Linen, (9) Tempat peralatan yang bersifat mobile Mobile X-Ray equipment bay, (10) Ruang alat kebersihan. (11) Area tempat makanan dan minuman, (12) Kantor Dan Area Administrasi, (13) Area diagnostic misalnya medis imaging area laboratorium, (14) Departemen keadaan darurat untuk sementara/ bangsal observasi jangka pendek/ singkat (opsional), (15) Ruang Sirkulasi.

(11)

teknologi, keparahan penyakit, waktu penggunaan laboratorium dan imaging medis, jumlah atau susunan kepegawaian dan struktur.

Menurut Kemenkes (2012), kebutuhan ruang, fungsi dan luasan ruang serta kebutuhan fasilitas pada ruang gawat darurat di Rumah sakit kelas C adalah sebagai berikut:

a. Ruang Penerimaan

1) Ruang administrasi , berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi, meliputi: pendataan pasien IGD, keuangan dan rekam medik. Besaran ruang/luas bekisar antara 3-5 m2/ petugas (luas area disesuaikan dengan jumlah petugas). Untuk kebutuhan fasilitas antara lain seperti meja, kursi, lemari berkas/arsip, telefon, safety box dan peralatan kantor lainnya.

2) Ruang tunggu pengantar pasien, berfungsi sebagai ruangan dimana keluarga/pengantar pasien menunggu. Ruang ini perlu disediakan tempat duduk dengan jumlah yang sesuai aktivitas pelayanan. Besaran ruang/luas 1-1,5 m2/ orang (luas disesuaikan dengan jumlah kunjungan pasien/hari). Kebutuhan fasilitas yang diperlukan antara lain kursi, meja, televisi dan alat pengkondisi udara (AC/Air Condition).

(12)

pasien yang siap digunakan apabila diperlukan.

5) Ruang dekontaminasi (untuk RS di daerah industry), ruang untuk membersihkan/ dekontaminasi pasien setelah drop off dari ambulan dan sebelum memasuki area triase. Kebutuhan fasilitas uang diperlukan adalah shower dan sink lemari/rak alat dekontaminasi.

6) Area yang dapat digunakan untuk penanganan korban bencana massal. Kenutuhan fasilitas yang diperlukan adalah area terbuka dengan/tanpa penutup, fasilitas air bersih dan drainase.

b. Ruang Tindakan

1) Ruang resusitasi, ruangan ini dipergunakan untuk melakukan tindakan penyelamatan penderita gawat darurat akibat gangguan ABC. Luasan ruangan minimal 36 m2. Kebutuhan fasilitas yang diperlukan seperti nasoparingeal, orofaringeal, laringoskop set anak, laringoskop set dewasa, nasotrakeal, orotrakeal, suction, trakeostomi set, bag valve mask, kanul oksigen, oksigen mask, chest tube, ECG, ventilator transport monitor, infusion pump, vena suction, nebulizer, stetoskop, warmer, NGT, USG.

(13)

3) Ruang tindakan non bedah, ruangan ini untuk melakukan tindakan non bedah pada pasien. Luasan ruangan minimal 7,2 m2/ meja tindakan. Kebutuhan fasilitas yang diperlukan yaitu kumbah lambung set, EKG, irrigator, nebulizer, suction, oksigen medis, NGT, infusion pump, jarum spinal, lampu kepala, otoskop set, tiang infus, tempat tidur, film viewer, ophtalmoskop, bronkoskopi, slit lamp.

4) Ruang observasi, ruang untuk melakukan observasi terhadap pasien setelah diberikan tindakan medis. Kebutuhan fasilitas hanya tempat tidur periksa.

5) Ruang pos perawat (nurse station), ruang untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelayanan keperawatan, pengaturan jadwal, dokumentasi s/d evaluasi pasien. Pos perawat harus terletak dipusat blok yang dilayani agar perawat dapat mengawasi pasiennya secara efektif. Kebutuhan fasilitas yang diperlukan antara lain meja, kursi, wastafel, computer, dll.

c. Ruang Penunjang Medis

1) Ruang petugas/ Staf, merupakan ruang tempat kerja, istirahat, diskusi petugas IGD, yaitu kepala IGD, dokter, dokter konsulen, perawat. Kebutuhan fasilitas yang diperlukan adalah sofa, lemari, meja/kursi, wastafel, pantry.

(14)

yang diperlukan antara lain sofa, lemari, meja/kursi, wastafel. 3) Gudang kotor, Fasilitas untuk membuang kotoran bekas

pelayanan pasien khususnya yang berupa cairan. Spoolhoek berupa bak atau kloset yang dilengkapi dengan leher angsa. Kebutuhan fasilitas yang diperlukan adalah kloset leher angsa, kran air bersih.

4) Toilet petugas, terdiri dari kamar mandi/ WC untuk petugas IGD. 5) Ruang loker, merupakan ruang tempat menyimpan

barang-barang milik petugas/staf IGD dan ruang ganti pakaian. 2. Syarat Khusus Instalasi Gawat Darurat

Komponen pelayanan yang diberikan kepada IGD terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal serta jenis perabotan dan jumlah. Kualitas juga mempengaruhi terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam ruangan tersebut. Ada 2 faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia. Salah satu fungsi utama IGD adalah untuk menerima, menstabilkan dan mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi, gawat dan kondisi- kondisi yang sifatnya tidak gawat.

Adapun persyaratan khusus untuk IGD menurut pedoman teknis sarana prasarana RS kelas C yaitu:

(15)

rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan mudah dimengerti masyarakat umum.

c. Area IGD harus memiliki pintu masuk kendaraan yang berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi Rawat Jalan/ Poliklinik, Instalasi rawat inap serta area zona servis dari rumah sakit.

d. Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang jalan raya maka pintu masuk ke area IGD harus terletak pada pintu masuk pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk masuk ke area RS.

e. Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak yang memiliki ataupun tidak memiliki lantai bawah tanah maka perletakan IGD harus berada pada lantai dasar atau area yang memiliki akses langsung.

f. IGD disarankan untuk memiliki area yang dapat digunakan untuk penanganan korban bencana massal.

g. Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikkan pasien memiliki system sirkulasi yang memungkinkan ambulan bergerak satu arah.

h. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan instalasi bedah sentral.

(16)

j. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan unit kebidanan. k. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan instalasi

laboratorium.

l. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan instalasi radiologi.

m. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan BDRS (Bank Darah Rumah Sakit).

Menurut DepKes RI tahun 1991, konsep dasar Unit Gawat Darurat ditetapkan dengan pertimbangan dasar, yaitu:

a. Pemisahan antara ruang bedah dan non bedah.

b. Dilakukan pemisahan sirkulasi antara pasien dengan perawat/dokter. c. Pengaturan sirkulasi perawat/dokter dan tempat alat-alat medik

(bench) sehingga dimungkinkan penggunaan alat-alat secara bersama.

d. Pembentukan ruang-ruang perawatan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai ruang periksa, observasi dan resusitasi.

e. Keseluruhan ruang dan alat ditetapkan untuk dapat digunakan selama 24 jam.

f. Mempunyai pintu masuk khusus yang mudah dilalui kendaraan dan mudah dilihat.

3. Pelayanan Gawat Darurat

(17)

darurat dan melakukan resusitasi dan stabilisasi.

Menurut Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008, rumah sakit menyelenggarakan pelayanan gawat darurat secara terus menerus selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu. Fasilitas yang disediakan di Instalasi Unit Rawat Darurat harus menjamin efektifitas dan efisiensi bagi pelayanan gawat darurat dalam waktu 24 jam dan dalam seminggu secara terus-menerus.

Instalasi/ Unit Rawat Darurat tidak terpisah secara fungsional dari unit-unit pelayanan lainnya di rumah sakit artinya dikelola dan diintegrasikan dengan instalasi/ unit lainnya di rumah sakit. Instalasi/ Unit Rawat Darurat harus dipimpin oleh dokter, dibantu oleh tenaga medis, keperawatan dan tenaga lain yang telah memperoleh setifikasi pelatihan gawat darurat (DepKes RI, 2008).

Luas Unit Rawat Darurat disesuaikan dengan beban kerja yang diperkirakan untuk 20 tahun mendatang dan kelas rumah sakit. Ruang triage digunakan untuk seleksi pasien sesuai dengan tingkat kegawatan penyakitnya. Ruang resusitasi letaknya harus berdekatan dengan ruang triase. Cukup luas untuk menampung beberapa penderita. Keadaan ruangan menjamin ketenangan.

(18)

dokter spesialis anak, dokter spesialis kebidanan) yang siaga di tempat dalam 24 jam, dokter umum siaga ditempat 24 jam yang memiliki kualifikasi medic untuk pelayanan GELS (General Emergency Life Support) dan atau ATLS + ACLS dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi kasus dengan masalah ABC (Airway, Breathing, Circulation) untuk terapi definitive serta memiliki alat transportasi untuk rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam (DepKes RI, 2008).

Ruang tindakan untuk rumah sakit kelas A dan B dipisahkan antara ruang tindakan bedah dan non bedah. Untuk rumah sakit kelas A, B dan C digunakan untuk menangani bedah minor, infeksi dan luka bakar.

Ruang IGD harus berdekatan dengan radiologi, laboratorium klinik dan ruang operasi. Ruang Rawat Darurat mempunyai akses langsung ke instalasi pemulasaran jenazah. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga: (a) arus penderita dapat lancer dan tidak ada “ cross infection”, (b) harus dapat menampung korban bencana sesuai dengan kemampuan kelas rumah sakit, (c) kegiatan mudah dikontrol oleh kepala perawat pada saat itu.

(19)

Komunikasi telepon / radio ke luar rumah sakit dan telepon internal di unit gawat darurat dan ke rumah sakit disiapkan di luar IGD. Ruangan harus didesain sedemikian rupa sehingga mudah dijadikan satu dan mudah dibersihkan dalam rangka antisipasi bencana.

4. Keselamatan (Safety) dan Keamanan (Security) Fasilitas Rumah

Sakit

Menurut DepKes RI tahun 2008, konstruksi rumah sakit tidak membahayakan keselamatan pasien, karyawan dan masyarakat umum yang tinggal disekitarnya. Bangunan tersebut hendaknya tahan terhadap beban dan elemen yang mungkin terjadi, misalnya:

a. Pintu keluar hendaknya terbatas pada tipe-tipe berikut, yaitu pintu yang mengarah keluar bangunan, tangga di dalam ruangan, ramp, dan tangga luar

b. Minimum tersedia 2 pintu keluar yang berjauhan satu dengan lainnya pada setiap lantai gedung dan ada tanda untuk keluar apabila dalam keadaan darurat (exit gate)

c. Pintu keluar langsung berhubungan dengan tempat terbuka di luar bangunan.

(20)

lokasi yang strategis. Seluruh bangunan harus memenuhi aspek keamanan. Aspek keamanan pasien antara lain meliputi:

a. Pegangan sepanjang tangga

b. Toilet dilengkapi dengan pegangan dan bel c. Pintu dapat dibuka dari luar

Rumah sakit hendaknya menjamin keamanan terhadap orang yang berada di rumah sakit dan properti yang ada. Sistem keamanan pada rumah sakit direncanakan menggunakan 2 sistem, yaitu aktif dan pasif. Sistem keamanan aktif dapat menggunakan sistem monitor video (CCTV) yang diletakkan pada area-area yang kritis. Sistem ini memungkinkan petugas untuk memonitor segala sesuatu yang terjadi dalam 24 jam. Sistem keamanan pasif di dapat dari penataan lansekap dan pencahayaan luar ruangan yang memadai pada area-area yang kritis, terutama pada malam hari (Hatmoko AU, 2010).

5. Kenyamanan Fasilitas Rumah Sakit

Semua area di rumah sakit mempunyai pencahayaan yang cukup untuk mendukung kenyamanan dan penyembuhan pasien serta untuk mendukung kinerja karyawan dalam melakukan tugasnya. Ventilasi yang cukup hendaknya disediakan untuk menjamin kenyamanan pasien, karyawan dan masyarakat umum.

(21)

area yang dirancang untuk aktifitas utama rumah sakit. Rumah sakit mempunyai lingkungan yang mendukung kenyamanan pasien, keluarga, dan pengunjung secara psikologis. Tingkat kebisingan di setiap kamar/ruang berdasarkan fungsinya harus memenuhi persyaratan kesehatan sebagai berikut:

a. Ruang perawatan, isolasi, radiologi, operasi, maksimum 45dBA b. Klinik gigi, bengkel mekanis, maksimum 80 dBA

c. Laboratorium maksimum 68 dBA

d. Ruang cuci, dapur, dan ruang penyediaan air panas dan air dingin maksimum 8 dBA

Rumah sakit hendaknya menyediakan dan memelihara lingkungan yang sehat dan indah bagi pasien, karyawan, dan masyarakat umum.

6. IGD yang Memberikan Keselamatan (Safety), Keamanan (Security)

dan Kenyamanan Bagi Penggunanya

(22)

Tabel 1.

Kriteria IGD Menurut DepKes RI (2008)

Kriteria IGD Syarat

Keselamatan (safety) 1. Pintu keluar yang mengarah ke luar bangunan.

2. Tersedia dua buah pintu keluar. 3. Ada tanda untuk keluar apabila dalam

keadaan darurat (exit gate)

4. Pintu keluar langsung berhubungan dengan tempat terbuka di luar bangunan (alam terbuka)

Kategori kemanan (security) dengan bebas tabrakan, tidak licin dan terkontrol. Sedangkan kategori kenyamanan mempunyai syarat seperti : cukup luas, pandangan bebas, luasan cukup, terlindung dari cuaca luar, suhu optimal dan bebas kebisingan.

Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

(23)

Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya. Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006).

B. Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation)

(24)

untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan penghuni atas bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni (Suryadhi, 2005).

Menurut Haryadi dan Sudibyo (1996), pengertian dari EPH adalah penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada penghuni/pemakai, terutama nilai-nilai (individu maupun kelompok) dan kebutuhannya.

Menurut Preiser (1998) Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai – nilai dan kebutuhannya. Evaluasi pasca huni mempunyai kegunaan:

1. Untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan (sebagai lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuninya.

2. Sebagian masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.

Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan (lingkungan binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/pemakainya dan sebagai masukan dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.

(25)

persyaratan fisik, bangunan juga harus mempunyai fungsi atas kegiatan pada penghuninya, sehingga bangunan dan penghuninya mempunyai interaksi (Suryadhi, 2005).

Rumah sakit merupakan sebuah fasilitas umum yang sarat dengan prasarana pengguna sarana. Sebuah rumah sakit sangat berpengaruh dengan keadaan dan fungsi dari prasarana dan sarananya, terlebih pada rumah sakit modern yang menggunakan teknologi maju. Banyak manajemen rumah sakit yang kurang memperhatikan hal ini. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan hanya terdiri atas ruangan dan pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga komponen lain yaitu komponen servis. Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan elektrikal dan mekanikal dan perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung dari kegiatan yang berlangsung di dalam rumah tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.

(26)

(post occupancy evaluation).

Jenis kegiatan dalam evaluasi pasca huni akan pada interaksi antar komponen dalam proses evaluasi pasca huni:

1. Kriteria kinerja a. Teknikal b. Fungsional c. Behavioral 2. Pengguna

a. Individu b. Kelompok c. Organisasi 3. Setting

a. Ruang b. Bangunan c. Fasilitas

Evaluasi pasca huni memiliki tahapan sebagaimana berikut: 1. Perencanaan Evaluasi Pasca Huni

a. Pengenalan masalah dan kelayakan 1) Memilih tingkatan usaha yang sesuai 2) Memilih biaya evaluasi yang sesuai b. Perencanaan Sumber Daya

(27)

2) Perencanaan waktu c. Perencanaan Riset

1) Menentukan kategori kritis yang perlu diteliti

2) Memilih indikator yang dapat mempresentasikan kategori 3) Mengembangkan ukuran bagi tiap indikator

4) Menyusun kriteria untuk evaluasi ukuran 5) Antisipasi hasil dan kesimpulan

2. Pelaksanaan Evaluasi Pasca Huni

a. Awal Proses Pengumpulan Data Lapangan 1) Mobilisasi

2) Antisipasi reaksi

b. Pemantauan dan Manajemen Prosedur Pengumpulan Data 1) Penalaan antar pengamat

2) Uji awal instrument pengumpulan data c. Analisis Data

1) Tujuan analisis data: pemberian, interpretasi dan penjelasan 2) Macam – macam analisis berhasil/gagal, peningkat, rerata,

presentase, variabilitas, bandingan 2 kelompok, analisis varian sederhana, chi-square, analisis korelasi.

(28)

3. Penerapan Evaluasi Pasca Huni a. Pelaporan Temuan

Pendahuluan, Metodologi, analisis data, temuan, kesimpulan, apendiks, pustaka.

b. Rekomendasi Tindakan

1) Tindakan terkait kebijakan 2) Tindakan terkait prosedur 3) Tindakan terkait teknik c. Review Hasil

1) Jangka pendek 2) Jangka menengah 3) Jangka panjang

Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi terhadap tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan dengan mempelajari Performance (tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan tentang performansi bangunan rumah sakit merupakan dasar peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit.

Pengertian dari Evaluasi Pasca Huni adalah:

(29)

2. Evaluasi Pasca Huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan kebutuhan- kebutuhannya.

3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian hari.

4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal telah dilakukan sehari-hari (sadar atau tidak, terstruktur atau tidak). Tiga tingkatan dari EPH, yaitu:

1. Indikatif EPH

Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan, dilakukan dalam waktu yang sangat singkat (kurang lebih 3 jam). Biasanya evaluator sudah sangat mengenal dengan objek evaluasinya. Perolehan data dapat diperoleh salah satunya dari mempelajari dokumen (blue print), walk in through, kuesioner, wawancara.

2. Investigatif EPH

Berlangsung lebih lama dan lebih kompleks, biasanya dilakukan setelah ditemukan isu-isu (saat indukatif EPH) dikerjakan selama 2-4 minggu. Hasil dari EPH indikatif mempengaruhi hasil – hasil identifikasi permasalahan utama. EPH investigatif meliputi berbagai macam topik yang lebih detail dan reliabel.

(30)

digunakan akan lebih sempurna. Tidak seperti EPH indikatif, dimana kriteria bentuk bangunan yang digunakan dalam evaluasi berdasarkan pada pengalaman dari tim evaluasi, maka EPH investigatif menggunakan kriteria riset yang ditempatkan secara obyektif dan eksplisit.

Pembentukan kriteria evaluasi pada level investigatif melibatkan sedikitnya dua macam kegiatan: patokan perkiraan dibandingkan dengan patokan fasilitas serupa yang ada saat ini.

3. Diagnostik

Menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil yang lebih tepat/akurat memerlukan waktu beberapa bulan. Hasilnya merupakan evaluasi yang menyeluruh. EPH diagnostik ini mengikuti strategi metode yang beragam, diantaranya ; kuesioner, survey dan ukuran-ukuran fisik dimana seluruh pendekatan ini disesuaikan dengan evaluasi komparatif terhadap fasilitas – fasilitas dengan tipe yang sama secara lintas-bagian. EPH diagnostik dilaksanakan dalam jangka waktu beberapa bulan hingga satu tahun atau lebih. Hasil-hasil dan rekomendasinya akan berorientasi jangka panjang yang bertujuan untuk memperbaiki tidak hanya pada fasilitas utama, tetapi juga dalam patokan tipe bangunan yang diberikan. Metodologi yang digunakan sangat mirip dengan metode tradisional dimana riset ini memfokuskan pada penggunaan paradigma ilmiah.

(31)

dengan melibatkan berbagai acam variabel. Tak jarang upaya yang dilakukan adalah untuk mengembangkan hasil-hasil yang mengindikasikan hubungan-hubungan antar-variabel. Karenanya, EPH diagnostik menggunakan baik teknik pengumpulan data maupun teknik analisa sempurna yang menghasilkan EPH investigatif dan indikatif.

Bagian penting dari EPH diagnostik telah diteliti, sementara tujuannya memiliki kolerasi secara fisik, lingkungan dan ukuran bentuk perilaku yang memberikan pengalaman lebih baik terhadap signifikansi beragam kriteria bentuk yang bersifat relatif. Seluruh prasyarat yang diajukan dalam EPH diagnostik memiliki potensi yang cukup besar dalam pembuatan prediksi yang bersifat akurat tentang bentuk bangunan dan menambahkan patokan pengetahuan untuk tentang tipe bangunan yang diberikan melalui perbaikan-perbaikan dalam kriteria desain dan pedoman literatur yang digunakan. Tahap kegiatan:

a. Planning: rancangan evaluasi (tujuan, sasaran, waktu, tenaga, sumber informasi, cara dan alat.

b. Conducting: pengumpulan data, analisis, temuan dan rekomendasi evaluasi.

c. Applying: tindak lanjut/implementasi

(32)

Bunyi mempunyai definisi:

1) Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastic seperti udara. Ini adalah bunyi objektif.

2) Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan penyimpangan fisis yang digambarkan di atas. Ini adalah bunyi subjektif.

Menurut Doelle (1998) bunyi dapat dihasilkan:

1) Di udara (airborne sound), misalnya suara manusia barcakap atau bernyanyi.

2) Karena benturan/tumbukan (impact sound) atau bunyi struktur (structure sound).

3) Karena getaran mesin.

Telinga normal tanggap terhadap bunyi diantara jangkauan frekuensi audio sekitar 20 sampai 20.000 Hz. Gelombang bunyi yang merambat dari sumbernya dengan muka gelombang berbentuk bola yang terus-menerus membesar, segera melemah bila jarak dari sumbernya bertambah. Sebagian energinya akan dipantulkan, diserap, disebarkan, dibelokkan atau ditransmisikan ke ruang yang berdampingan, tergantung pada sifat akustik dindingnya.

(33)

kata lain tiap bunyi yang tidak diinginkan oleh penerima dianggap sebagai bising. Jadi pembicaraan atau music dianggap sebagai bising bila mereka tidak diinginkan. Seseorang cenderung mengabaikan bising bila bising itu secara wajar menyertai pekerjaan, seperti mesin ketik atau mesin di pabrik. Sumber bising dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) bising interior bisa dari alat-alat seperti mobil, motor, kipas angin, AC, televisi, radio, penghisap debu, mesin bor, dan (2) outdoor, seperti bunyi air hujan, angin, air mengalir. Bising berfrekuensi tinggi lebih mengganggu dari pada bising frekuensi rendah. Secara umum bising bias menghasilkan gangguan yang jauh lebih besar pada malam hari dari pada siang hari.

Sebuah rumah sakit adalah jenis bangunan yang penghuninya sangat dipengaruhi oleh bising. Karena itu pemilihan lokasi yang sesuai harus dipertimbangkan agar dapat mengurangi bising outdoor. Sedangkan bising interior dalam rumah sakit disebabkan oleh:

1) Peralatan mekanik (mesin diesel, kompresor, AC, elevator) 2) Fasilitas operasional ( unit pipa ledeng, mesin cuci, fasilitas

masuk )

3) Fasilitas pelayanan pasien ( tangki oksigen, trolley, alat-alat kesehatan )

(34)

berjalan)

Menurut Doelle (1998), bising yang cukup keras di atas 70 dB dapat menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Bising yang sangat keras, di atas 85 dB dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi kesehatan seseorang pada umumnya dan bila berlangsung lama, kehilangan pendengaran sementara atau permanen dapat terjadi, juga penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan luka perut.

Pengaruh bising dapat menurunkan produktivitas dari pekerja. Hal ini telah dibuktikan dalam bidang industri, produksi akan turun dan pekerja-pekerja akan membuat lebih banyak kesalahan. Bila dipengaruhi oleh bising di atas 80 dB untuk waktu yang lama. Sebaliknya, juga terbukti bahwa hal yang sama dapat terjadi bila pekerja bekerja di tempat yang terlalu sunyi. Ini dibuktikan bahwa bising dalam jumlah tertentu dapat ditolerir dan sebenarnya sejumlah bising dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan jiwa. Bising buatan disebut acoustical deodorant. Misalnya musik latar belakang yang dipilih secara tepat dan didistribusikan dengan baik, seperti di ruang tunggu, hotel dan restoran.

(35)

Lantai dapat ditutup dengan penutup elastic (tegel karet, tegel gabus, tegel vinyl atau linoleum) untuk mengurangi bising benturan. Selain itu petugas rumah sakit juga dilatih untuk berbicara dengan sopan dan menghargai orang lain, seperti tidak berbicara atau tertawa keras-keras.

b. Suhu Udara

Usia sebagai bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu penting sekali dipikirkan mengenai pemakaian energi dalam tahap disain. Apabila kita salah dalam men gamb il keputusan dalam tahap disain, akibatnya harus ditanggung selama gedung ini berdiri. Misalnya kalau kita lebih banyak menggunakan AC, padahal bisa dihemat dengan membuka jendela, lubang angin, tanaman, pelindung (awning), beranda. Selain kerugian dalam bentuk materi (uang) juga merusak lingkungan dan menghabiskan energi yang tidak perlu.

Thermal comfort Zone, Moore (1999) adalah kombinasi dari temperature udara, kelembaban, radiant temperature, arus udara, dan hal yang berpengaruh di dalam comfort zone adalah temperatur udara dan kelembaban.

(36)

Tata laksana penghawaan dan pengaturan suhu udara menurut KEPMENKES RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit:

1) Penghawaan atau ventilasi di rumah sakit harus mendapat perhatian yang khusus. Bila menggunakan sistem pendingin, hendaknya dipelihara dan dioperasikan sesuai buku petunjuk. Sehingga dapat menghasilkan suhu, aliran udara, dan kelembaban nyaman bagi pasien dan karyawan. Untuk rumah sakit yang menggunakan pengatur udara sentral harus diperhatikan cooling tower-nya agar tidak menjadi perindukan bakteri legionella dan untuk AHU (Air Handling Unit) filter udara harus dibersihkan dari debu dan bakteri atau jamur. 2) Suplai udara dan Exhaust hendaknya digerakkan secara

mekanis, dan exhaust fan hendaknya diletakkan pada ujung sistem ventilasi.

3) Ruangan dengan volume 100 m3 sekurang-kurangnya 1 (satu) fan dengan diameter 50 cm dengan debit udara 0,5 m3/detik, dan frekuensi pergantian udara per jam adalah 2 (dua) sampai dengan 12 kali.

(37)

6) Sistem hendaknya dibuat keseimbangan tekanan.

7) Suplai udara untuk daerah sensitif: ruang operasi, perawatan bayi, diambil dekat langit-langit dan exhaust dekat lantai, hendaknya disediakan 2 (dua) buah exhaust fan dan diletakkan minimal 7,50 cm dari lantai.

8) Suplai udara di atas lantai

9) Suplai udara koridor atau buangan exhaust fan dari tiap ruang hendaknya tidak digunakan sebagai suplai udara kecuali untuk suplai udara ke WC, toilet, gudang.

10) Ventilasi ruang-ruang sensitif hendaknya dilengkapi saringan 2 beds. Saringan I pasang di bagian penerimaan udara dari luar dengan efisiensi 30% dan saringan II (filter bakteri) dipasang 90%. Untuk mempelajari sistem ventilasi sentral dalam gedung hendaknya mempelajari khusus central air conditioning system.

11) Penghawaan alamiah, lubang ventilasi diupayakan sisitem silang (cross ventilation) dan dijaga agar aliran udara tidak terhalang.

12) Penghawaan ruang operasi harus dijaga agar tekanannya lebih tinggi dibandingkan ruang-ruang yang lain dan menggunakan cara mekanis (air conditioner).

(38)

di atas lantai atau minimum 0,20 meter dari langit-langit. 14) Untuk mengurangi kadar kuman dalam udara ruang (indoor)

1 (satu) kali sebulan harus di disinfeksi dengan menggunakan electron presipitator (resorcinol, trieylin glikol) atau disaring dengan electron presipitator atau menggunakan penyinaran ultraviolet.

15) Pemantauan kualitas udara ruang minimum 2 (dua) kali setahun dilakukan pengambilan sampel dan pemeriksaan parameter kualitas udara (kuman, debu, dan gas).

c. Pencahayaan

Pencahayaan menurut Simha (2001) bertujuan:

1) Untuk mendukung aktivitas dan kegiatan lain pengguna bangunan.

2) Untuk mendukung fungsi keamanan.

3) Untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dan menyenangkan Cahaya sendiri dapat dibagi dua, yaitu cahaya alam (matahari) dan cahaya buatan (lampu). Kenyamanan dari sebuah cahaya menurut Moore (1999) ditentukan oleh : kondisi fisiologis mata, latar belakang objek, bentuk/wujud objek yang dipandang, mengontrol silau tingkat kekuatan penyinaran.

(39)

1) Lingkungan rumah sakit baik dalam maupun luar ruangan harus mendapat cahaya dengan intensitas cukup berdasarkan fungsinya.

2) Semua ruang yang digunakan baik untuk bekerja ataupun untuk menyimpan barang /peralatan perlu diberi penerangan.

3) Ruangan pasien harus diberikan penerangan umum dan penerangan untuk malam hari dan diediakan saklar dekat pintu masuk, saklar individu ditempatkan pada titik yang mudah dijangkau dan tidak menimbulkan berisik. Disetiap setiap area pencahayaan adalah faktor yang sangat penting,

Sebaiknya digunakan sistem pencahayaan dengan standar yang tinggi. Masing-masing cahaya perlu mempunyai suatu tenaga 30,000 lux, untuk menerangi suatu ukuran bidang sedikitnya 150 mm dan dengan konstruksi yang sempurna. Pertimbangan lain sebaiknya area klinis juga tetap harus diberikan pencahayaan walaupun dalam keadaan siang karena hal ini dapat mengurangi efek disorientasi bagi para staff dan pasien.

Preiser et.al (1998) menyebutkan dalam evaluasi pasca huni yang diukur adalah kriteria performansi yang meliputi tiga aspek yaitu:

(40)

finishing interior, atap, akustik, pencahayaan dan sistem kontrol lingkungan.

2) Aspek fungsional: meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi dan alur kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan. Organisasi yang menempati gedung mengharapkan memperoleh kepuasan dari gedung tersebut karena kinerja fungsionalnya.

3) Aspek perilaku: meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi lingkungan, citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.

C. Peran Evaluasi Pasca Huni dalam Proses Revitalisasi Fasilitas Kesehatan

Menurut Hatmoko (2003), kebanyakan fasilitas kesehatan sekarang

berada dalam tahap penghunian dan pemanfaatan. Dan karenanya, sesungguhnya sangat diperlukan evaluasi terhadap fasilitas yang ada sekarang, yang lazim disebut dengan Evaluasi Pasca Huni atau EPH (Post

Occupancy Evaluation). Tahap evaluasi pasca huni adalah tahap yang sangat perlu untuk melihat kesesuaian antara apa yang ada sekarang dengan

pola-pola pemanfaatan oleh manusia dan perilakunya. Evaluasi pasca huni adalah suatu proses evaluasi fasilitas dengan cara yang sistematik setelah fasilitas

tersebut dibangun dan dihuni dalam suatu kurun waktu tertentu.

Kegunaan evaluasi pasca huni terbagi dalam 3 jangka waktu:

1. Kegunaan jangka pendek. Meliputi peningkatan dalam hal-hal berikut:

(41)

fasilitas yang proaktif terhadap aspirasi pengguna, peningkatan pemanfaatan ruang dan umpan balik terhadap perikerja bangunan, peningkatan sikap pengguna melalui keterlibatan dalam proses evaluasi,

pemahaman implikasi perikerja dalam kaitannya dengan ketersediaan anggaran, serta proses pengambilan kepurusan yang lebih rasional dan

objektif.

2. Kegunaan jangka menengah. Meliputi peningkatan dalam hal-hal berikut:

kemampuan pengembangan fasilitas sesuai dengan pertumbuhan organisasi, penghematan biaya dalam proses pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan serta peningkatan usia bangunan, serta

akuntabilitas perikerja bangunan oleh semua pengguna.

3. Kegunaan jangka panjan, meliputi peningkatan dalam hal-hal berikut:

perikerja fasilitas dalam jangka panjang, perbaikan basis data, standar, dan kriteria untuk perancangan fasilitas, serta perbaikan sistem penilaian fasilitas melalui kuantifikasi.

Bagi fasilitas kesehatan, evaluasi pasca huni perlu dikaitkan dengan

state of the art” fasilitas kesehatan, yang meliputi beberapa kategori:

1. Dalam kriteria perikerja terdapat beberapa kriteria yang perlu diikuti,

antara lain Standar Fasilitas Kesehatan, Standar Arsitektural untuk fasilitas

kesehatan, khususnya Fasilitas Kesehatan, maupun hasil-hasil penelitian mengenai fasilitas kesehatan komunitas seperti Fasilitas Kesehatan.

2. Dalam komponen pengguna meliputi penyedia jasa dalam fasilitas

(42)

pengguna jasa fasilitas kesehatan (individu maupun kelompok masyarakat).

3. Dalam komponen setting perlu ditinjau komponen-komponen setting

fasilitas kesehatan yang terdiri atas berbagai unit, bagian, ataupun kelompok fasilitas tertentu.

[image:42.595.103.546.293.622.2]

D. KERANGKA TEORI

Gambar 1. Kerangka teori evaluasi pasca huni IGD berdasarkan performansi fisik E. LANDASAN TEORI

Penampilan fisik adalah merupakan suatu hal yang penting bagi Evaluasi Pasca Huni :

Pengguna eksternal Pengguna internal

Kualitas Ruang IGD sesuai standar Kemenkes RI 2012

Standar Kemenkes RI 2012 : Pencahayaan

Kebisingan Kelembaban Penghawaan

Performansi fisik segi fungsional : Keselamatan

Keamanan Kenyamanan

(43)

sebuah rumah sakit. Dari sisi dokter maupun paramedik, rumah sakit yang baik secara fungsional akan meningkatkan kinerja, semangat dan produktivitas. Dari sisi pasien dan pengunjung, penampilan rumah sakit yang menarik akan memberi rasa aman dan nyaman yang dapat mempercepat penyembuhannya.

Evaluasi Pasca Huni didefinisikan sebagai pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi terhadap tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan dengan mempelajari Performance (tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan tentang performansi bangunan rumah sakit merupakan dasar peningkatan fungsi dan pelayanan rumah sakit.

Persepsi individu terhadap suatu objek merupakan hasil mengorganisasikan dan menginterpretasikan berbagai informasi dan kejadian yang diterimanya ketika individu terlibat dengan objek tersebut. Persepsi konsumen dan penyedia jasa kesehatan terhadap lingkungan fisik rumah sakit dapat mempengaruhi perilaku dan respon mereka. Persepsi dan aspirasi pengguna baik internal maupun eksternal juga menjadi dasar dalam optimalisasi pelayanan kesehatan.

(44)

yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pedoman fasilitas rumah sakit yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Medik Kementrian Kesehatan RI dapat dipakai salah satu acuan. Standarisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas, dsb) dengan pedoman (standar) yang ditetapkan atau dapat disebut pembakuan dalam penelitian ini standar yang digunakan adalah standar RS tipe C dari Kementrian Kesehatan RI.

[image:44.595.163.503.325.613.2]

F. KERANGKA KONSEP

Gambar 2. Kerangka konsep evaluasi pasca huni IGD berdasarkan performansi fisik

G. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian tentang manajemen fisik di rumah sakit sudah beberapa kali Kondisi fisik IGD

sesuai dengan standar Kemenkes RI 2012

EPH dari segi presepsi penggunanya : Aspek keselamatan

Aspek keamanan Aspek kenyamanan

(45)

dilakukan, antara lain :

1. Suryadhi, 2005, dengan judul penelitian “Evaluasi Pasca Huni Instalasi Rawat Darurat di Badan Rumah Sakit Tabanan”. Metode pengambilan data yang digunakan menggunakan kuesioner dan pengukuran lingkungan fisik. Hasil penelitian menunjukkan masih banyak ruangan di IRD BRSU Tabanan yang memiliki kekurangan-kekurangan bila dibandingkan dengan standar Departemen Kesehatan RI. Persamaan dengan penelitian ini yaitu metode pengambilan datanya dengan menggunakan kuesioner. Perbedaannya adalah Rumah Sakit yang di teliti dan titik-titik ruangan yang diteliti.

2. Poliman, 1997 dengan judul penelitian “Strategi Pengembangan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Honoris dengan Menggunakan Teori Evaluasi Pasca Huni”. Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi performansi fisik UGD RS Honoris yang ada sekarang dan membandingkannya dengan konfimasi pasien. Berdasarkan sifatnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif.

3. Nugroho, 2011 dengan judul penelitian “Evaluasi Pasca Huni Pengguna Internal Berdasarkan Performa Fisik Kamar Operasi RS Panembahan Senopati Bantul.” Persamaan dengan penelitian ini adalah mengevaluasi suatu bangunan dari segi performansi fisik yang sesuai dengan standar normatif. Namun letak perbedaannya yaitu obyek yang diteliti.

(46)

EPH Investigatif. Karena peneliti akan mengadakan pengamatan langsung hal-hal yang menjadi dampak permasalahan yang timbul dari penghuni IGD itu sendiri, kemudian dilanjutkan pada investigasi baik itu survey langsung maupun dengan kuesioner selama 1 bulan. Pada penelitian ini lebih difokuskan pada bagaimana kondisi fisik IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II saat ini dengan standarisasi dari DepKes RI.

Namun, disisi lain ada persamaan dari penelitian sebelumnya yaitu cara pengumpulan data dan cara penelitian. Subyek penelitian ini adalah pengguna internal dan eksternal, sedangkan obyek penelitian ini adalah bangunan Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II.

H. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan kerangka konsep penelitian, maka terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana performansi fisik lokasi, pencahayaan, kebisingan, kelembaban dan penghawaan instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II saat ini apakah sesuai dengan standar Kemenkes RI 2012?

(47)

46 A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah bertujuan untuk mendiskripsikan kondisi fisik di

Instalasi Gawat Darurat, dilihat dari sisi keselamatan, kenyamanan dan

memberikan kemudahan, mengkaji kenyataan yang ada sekarang ini dan

dibandingkan dengan standar normatif, serta mendeskripsikan persepsi

pengguna terhadap kondisi fisik Instalasi Gawat Darurat. Berdasarkan tujuan

tersebut, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Jenis

data dan analisis data berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif

diperoleh dari observasi dan wawancara dan data kuantitatif diperoleh dari

data kuesioner dan pengukuran suhu, pencahayaan, kebisingan dan

kelembaban di Instalasi Gawat Darurat RS PKU Muhammadiyah II

Yogyakarta.

B. Subyek dan Obyek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Pada penelitian ini ada 3 kelompok subjek penelitian yaitu :

a. Pengguna internal medis yang terdiri dari 8 orang dokter umum dan 12 orang perawat yang bertugas di Instalasi Gawat darurat. Dari non

medis diambil 4 orang yaitu asisten apoteker, petugas laboratorium,

petugas radiologi dan petugas pendaftaran pasien. Dan tidak lupa

(48)

antara lain Kepala Bagian Umum dan Kepala Bagian Pelayanan

Medis.

b. Pengguna eksternal yang terdiri dari salah satu keluarga pasien yang mewakili 1 orang pasien yang datang berobat ke IGD RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta.

c. Performansi fisik instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang dilihat dari tiga aspek :

1) Aspek teknikal yang meliputi pencahayaan, suhu, kelembaban dan kebisingan.

2) Aspek fungsional yang meliputi way-finding, sign and symbol, pemanfaatan ruang dan fasilitas ruang.

3) Aspek perilaku yang meliputi kebersihan dan kenyamanan. 2. Obyek Penelitian

Sedangkan obyek penelitian ini adalah bangunan fisik Instalasi Gawat

Darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dengan metode

evaluasi pasca huni (EPH).

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pengguna internal dan eksternal

instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh jumlah populasi

(49)

responden, sedangkan jumlah sampel untuk pengguna eksternal sebanyak

30 responden. Total keseluruhan responden sebanyak 56 responden.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui :

1. Observasi lapangan dengan dibantu cek list dan gambar yang dilakukan oleh peneliti dengan kamera. Observasi dilakukan dalam jangka waktu 1

bulan, pada bulan Agustus 2015.

2. Kuesioner diisi oleh pengguna gedung baik pengguna internal maupun eksternal.

Penelitian ini akan menggunakan responden untuk menggali persepsi

mereka tentang sarana kondisi fisik IGD baik itu dari kategori keselamatan

(safety), keamanan (security) dan kenyamanan yang ada di IGD RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Untuk cara pengambilan responden penelitian ini

dengan cara stratified random sampling, hal ini dikarenakan populasi yang

akan diteliti cukup heterogen maka perlu dibuatkan pengelompokkan, agar

semua kelompok terwakili. Setelah di kelompokkan maka sampel diambil

secara random (Singarimbun dan Effendi, 1989).

E. Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Kuesioner

Kuesioner berisi pertanyaan pendapat mereka tentang sarana kondisi fisik

IGD baik itu dari kategori keselamatan (safety), keamanan (security),

(50)

Unit II. Kuesioner tersebut sudah pernah dipakai pada penelitian

sebelumnya dan direplikasi dari penelitian sebelumnya. Kuesioner ini di

uji validitas dan reabilitas.

2. Alat ukur

Alat ukur yang digunakan disewa dari Toko Geologist di Jalan Kaliurang

KM.8,5 Sleman-Yogyakarta yang sudah dikalibrasi, terdiri dari :

a. Lux meter, yaitu alat untuk mengukur intensitas cahaya baik cahaya alam di siang hari maupun cahaya lampu di malam hari. Satuan yang

digunakan adalah Lux.

b. Sound level meter, yaitu alat untuk mengukur tingkat kebisingan, satuan yang digunakan adalah desibel (db).

c. Humidity meter, yaitu alat untuk mengukur tingkat kelembaban suatu ruangan.

3. Alat untuk dokumentasi

Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan secara visual kondisi

fisik ruang instalasi gawat darurat.

F. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Performansi fisik ruang instalasi gawat darurat.

(51)

G. Definisi Operasional

1. Kondisi fisik Instalasi Gawat Darurat yaitu kondisi fisik yang memenuhi persyaratan normative baik dari kategori keselamtan (safety), keamanan

(security), dan kenyamanan yang ada di IGD RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II meliputi lokasi, pencahayaan, penghawaan, kebisingan

dan kelembaban. Cara ukur dilakukan dengan cara observasi.

2. Evaluasi pasca huni yaitu Kegiatan dalam rangka penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan

kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang terdapat di Instalasi gawat darurat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Evaluasi pasca huni disini berdasarkan persepsi penggunanya baik

pengguna internal maupun pengguna eksternal. Variabel ini akan diukur

dengan metode penyebaran kuesioner.

3. Pengguna internal yaitu Petugas medis yang bekerja di IGD atau yang bersangkutan dengan IGD seperti dokter, perawat, petugas laboratorium,

dll.

4. Pengguna eksternal yaitu Pengguna eksternal diambil sebagai subyek penelitian karena merupakan pengguna dari fasilitas dan pelayanan IGD

ini yang harus dipenuhi tuntunannya. Dalam penelitian ini hanya keluarga

pasien yang mewakili pasien yang datang berobat ke IGD.

5. Aspek keselamatan yaitu Kategori keselamatan (safety) dengan kriteria pintu keluar yang mengarah ke luar bangunan, tersedia dua buah pintu

(52)

dan pintu keluar langsung berhubungan dengan tempat terbuka diluar

bangunan (alam terbuka).

6. Aspek keamanan yaitu Kategori kemanan (security) dengan bebas tabrakan, tidak licin dan terkontrol.

7. Aspek kenyamanan yaitu kategori kenyamanan mempunyai syarat seperti : cukup luas, pandangan bebas, luasan cukup, terlindung dari cuaca luar,

suhu optimal dan bebas kebisingan.

H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Pada penelitian kualitatif validitas dilakukan dengan malakukan tringulasi

sumber. Triangulasi sumber yaitu membandingkan data hasil pengamatan atau

observasi dengan data dari jawaban pengguna. Cara berikutnya mengadakan

pengecekan kembali dalam proses pengumpulan data, baik tentang data yang

dikumpulkan, proses analisisnya maupun dalam pengembalian keputusan.

I. Analisis Data

Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu valid dan

reliabel (Arikunto, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian dan

validitas instrumen agar diketahui apakah instrumen yang digunakan sudah

baik atau belum.

a. Uji Validitas

Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang

diinginkan (Arikunto, 2006). Pengujian validitas menggunakan teknik

analisis korelasi bivariate pearson. Dinyatakan valid jika, nilai

(53)

berdasarkan jumlah sampel penelitian

b. Uji Reliabilitas

Pengujian reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach. Dinyatakan

reliabel jika, nilai Alpha Cronbach diatas 0,600. Hasil uji reliabilitas

Alpha Cronbach yang didapat untuk masing-masing variabel.

Data yang diperoleh dari kuesioner dan observasi lapangan, sebelum

dilakukan pengolahan data mulai dari membuat ringkasan. Pada penelitian

kuantitatif akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada instrumen yang

digunakan. Tujuan dari uji validitas tersebut untuk menguji kelayakan

instrumennya. Untuk uji validitas menggunakan teknik analisis korelasi

bivariate pearson. Sedangkan, pengujian untuk reliabilitas menggunakan

(54)

53 A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan salah satu rumah sakit tipe C di Yogyakarta yang telah terakreditasi pelayanan dasar. Rumah sakit tersebut adalah rumah sakit swasta yang dimiliki oleh Persarikatan Muhammadiyah. Saat ini, rumah sakit yang beralamat di Jl. Wates KM 5,5 Gamping, Sleman ini dipimpin oleh Direktur yaitu dr. H Ahmad Faesol, Sp. Rad., M. Kes.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam hal ini merupakan pengembangan dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang terletak di Jl. Ahmad Dahlan 20 Yogyakarta. Sebagai bagian pengembangan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, maka secara historis kemudian sejarah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah rumah sakit tersebut.

(55)

Salah satu pelayanan yang ada di RS PKU Muhammadiyah adalah IGD. IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II melayani 24 jam kasus emergency dan non emergency. Memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 10 tempat tidur. Yang masih dibagi lagi 4 tempat tidur untuk kasus false emergency, 5 tempat tidur untuk ruang tindakan kasus emergency dan 1 tempat tidur untuk ruang observasi. Angka kunjungan selama 3 bulan periode Desember – Februari di IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II adalah 7912 kunjungan.

[image:55.595.143.517.465.745.2]

Selain IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II saat ini memiliki beberapa jenis pelayanan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jenis-jenis pelayanan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II:

Tabel 2.

Jenis Pelayanan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

No Jenis Pelayanan Keterangan

1 Gawat darurat 24 jam

2 Klinik spesialis Spesialis kebidanan, anak, penyakit dalam, paru, jantung, bedah umum, bedah orthopedic, bedah urologi, gigi anak, THT, mata, saraf, kulit dan kelamin

3 Rawat inap Klas 3 : 70 tempat tidur Klas 2 : 32 tempat tidur Klas 1 : 12 tempat tidur Klas VIP: 10 tempat tidur

4 Kamar bayi 5 tempat tidur

5 Perawatan intensif 15 tempat tidur

6 Kamar operasi -

7 Hemodialisa -

8 Laboratorium -

9 Fisioterapi -

(56)

12 Gizi -

13 Bina Ruhani -

14 Pemulasaran Jenazah -

[image:56.595.147.516.113.157.2]

Saat ini RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II memiliki 28 dokter umum, 2 dokter gigi, dan 38 dokter spesialis berbagai bidang. Berikut merupakan tabel yang menunjukkan distribusi SDM medik RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II:

Tabel 3.

Distribusi SDM Medik RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

No Uraian Jumlah

1. Dokter Umum 28

2. Dokter Gigi Umum 2

3. Dokter Spesialis Obsgyn 3

4. Dokter Spesialis Anak 3

5. Dokter Spesialis Dalam 5

6. Dokter Spesialis Paru 1

7. Dokter Spesialis Jantung 1

8. Dokter Spesialis Bedah Umum 3 9. Dokter Spesialis Bedah Tulang 2 10. Dokter Spesialis Bedah Digestiv 1 11. Dokter Spesialis Konservasi Gigi 1 12. Dokter Spesialis Bedah Mulut 1 13. Dokter Spesialis Anestesi 3 14. Dokter spesialis Radiologi 2

15. Dokter Spesialis THT 3

16. Dokter Spesialis Mata 3

17. Dokter Spesialis Kulit & Kelamin 2

18. Dokter Spesialis Syaraf 3

19. Dokter Spesialis Jiwa 1

(57)

laboratorium, farmasi, radiologi, elektro medik, gizi, dan fisioterapi dengan jumlah keseluruhannya adalah 59 SDM. Untuk SDM penunjang non medik terdiri dari SDM bagian pemeliharaan, sanitasi, linen laoundry, kendaraan, dan satpam dengan jumlah keseluruhannya adalah 31 orang. 2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji Validitas Instrumen

1) Angket Pengguna Internal

[image:57.595.199.453.442.748.2]

Sampel penelitian untuk pengguna internal ini berjumlah 26 sehingga nilai r tabelnya (0,05, 26) adalah 0,388. Oleh karena itu, item dinyatakan valid jika jika, nilai pearson correlation (r hitung) diatas 0,388. Hasil pengujian validitas untuk pengguna internal tersaji pada tabel berikut:

Tabel 4.

Uji Validitas Angket Pengguna Internal No. Item Pearson Correlation Keterangan

IT1 0.676 Valid

IT2 0.436 Valid

IT3 0.485 Valid

IT4 0.440 Valid

IT5 0.447 Valid

IT6 0.512 Valid

IT7 0.469 Valid

Tabel 4 (Lanjutan)

Uji Validitas Angket Pengguna Internal No. Item Pearson Correlation Keterangan

IT8 0.468 Valid

IT9 0.445 Valid

IT10 0.506 Valid

IT11 0.434 Valid

IT12 0.403 Valid

(58)

IT14 0.573 Valid

IT15 0.610 Valid

IT16 0.699 Valid

IT17 0.509 Valid

IT18 0.573 Valid

IT19 0.407 Valid

IT20 0.544 Valid

IT21 0.548 Valid

IT22 0.482 Valid

IT23 0.524 Valid

IT24 0.731 Valid

IT25 0.471 Valid

IT26 0.504 Valid

IT27 0.496 Valid

IT28 0.418 Valid

Tabel tersebut menunjukkan hasil uji validitas untuk angket pengguna internal. Berdasarkan tabel terlihat bahwa semua item pertanyaan memiliki nilai r hitung lebih besar dari 0,388 sehingga semua item pertanyaan dinyatakan valid.

2) Angket Pengguna Eksternal

[image:58.595.200.452.110.349.2]

Sementara sampel penelitian untuk pengguna eksternal berjumlah 30 responden sehingga nilai r tabelnya (0,05, 30) adalah 0,361. Oleh karena itu, item dinyatakan valid jika jika, nilai pearson correlation (r hitung) diatas 0,361. Hasil pengujian validitas untuk pengguna internal tersaji pada tabel berikut:

Tabel 5

Uji Validitas Angket Pengguna Eksternal No. Item Pearson Correlation Keterangan

ET1 0.581 Valid

ET2 0.578 Valid

[image:58.595.198.454.646.743.2]
(59)

ET4 0.724 Valid

ET5 0.426 Valid

ET6 0.819 Valid

ET7 0.669 Valid

ET8 0.490 Valid

ET9 0.490 Valid

ET10 0.500 Valid

ET11 0.639 Valid

ET12 0.595 Valid

ET13 0.819 Valid

ET14 0.539 Valid

ET15 0.500 Valid

Tabel tersebut menunjukkan hasil uji validitas untuk angket pengguna eksternal. Berdasarkan tabel terlihat bahwa semua item pertanyaan memiliki nilai r hitung lebih besar dari 0,361 sehingga semua item pertanyaan dinyatakan valid.

[image:59.595.198.455.111.300.2]

b. Uji Reliabilitas Instrumen

Tabel 6

Uji Reliabilitas Instrumen

Variabel Alpha Cronbach Keterangan

Internal 0,743 Reliabel

Eksternal 0,745 Reliabel

[image:59.595.173.509.479.542.2]
(60)

3. Hasil Observasi

a. Fisik Bangunan IGD

Letak bangunan IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam hal ini dapat dikatakan strategis, yaitu terletak pada jalan utama yang mudah dijangkau. Berikut merupakan tampak depan bangunan ruang IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II:

Gambar 3

Tampak Depan Ruang IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa pintu utama untuk mengakses IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II dalam hal ini adalah satu. Artinya bahwa pintu masuk dan pintu keluar didesain satu pintu, sehingga akses keluar masuk pasien dan pengunjung terpusat pada satu pintu tersebut.

(61)
[image:61.595.196.491.122.375.2]

Gambar 4

Denah Ruang IGD RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

b. Hasil Observasi pada Titik Pengamatan

Observasi pada penelitian ini dilakukan pada lima titik pengamatan. Kelima titik pengamatan tersebut dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama adalah ruang dalam, main entrance, dan dropping area pasien. Sementara kelompok ked

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori evaluasi pasca huni IGD berdasarkan performansi fisik
Gambar 2. Kerangka konsep evaluasi pasca huni IGD berdasarkan performansi fisik
Tabel 2.
Tabel 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

(論文題名) 演劇における観客創出装置―やる演劇から見る演劇へ― (内容の要旨)

Ismail Hutajulu mempunyai hak eksklusif atas ciptaannya, yaitu hak yang hanya boleh dimanfaatkan oleh Ismail Huta- julu selaku pencipta, sehingga pihak lain tidak boleh

Baik skar hipertrofik dan keloid diobati dengan modalitas terapi yaitu menurunkan jaringan yang berlebih tadi, sedangkan jenis skar yang terjadi karena menurunnya

Catatan : Daftar Nominatif ini dapat berubah jika ada sanggahan, pengaduan, duplikasi dan sebab lainnya.. Instansi

Nutrisi adalah substansi organik dan non organik yang ditemukan dalam makanan dan dibutuhkan oleh tubuh agar dapat berfungsi dengan baik ( Kozier dalam Mubarak,

Berdasarkan pertimbangan teoritis dan fakta-fakta penerapan pendekatan komunikatif pada berbagai kurikulum, terutama kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia, maka

Feryawan (2011) seperti juga halnya Komarulzaman & Alisjahbana (2006) menguji hipotesis kutukan SDA pada era otonomi daerah, karena isu mengenai kutukan SDA menjadi

Kabupaten Bolaang Mongondow Utara adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Utara yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2007 tanggal 23 Mei 2007