• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS

TEMPE DAN EFEKNYA TERHADAP PEMULIHAN

KERUSAKAN OTOT PADA ATLET SETELAH LATIHAN

KEKUATAN

MANSUR JAUHARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatanadalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)

RINGKASAN

MANSUR JAUHARI. Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan, Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN, HADI RIYADI dan IKEU EKAYANTI

Latihan merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan oleh seorang atlet sebelum mengikuti suatu pertandingan dan merupakan suatu proses yang berulang dan meningkat yang bertujuan untuk meningkatkan potensi dalam upaya mencapai prestasi yang optimal. Salah satu bentuk latihan adalah latihan kekuatan, yang dapat menyebabkan kerusakan otot dan harus segera dipulihkan. Salah satu zat gizi yang berperan dalam membantu proses pemulihan tersebut adalah asam amino rantai bercabang BCAA (Branched Chain Amino Acids). Tempe merupakan salah satu bahan yang berpotensi karena selain mengandung protein dengan kandungan BCAA yang tinggi juga mengandung isoflavon yang merupakan salah satu komponen penting dalam pemulihan kerusakan otot. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan formula minuman olahraga berbasis tempe yang dapat diterima secara sensori untuk pemulihan kerusakan otot, (2) mengevaluasi tingkat penerimaan panelis terhadap formula minuman olahraga berbasis tempe sebagai kandungan utama, (3) menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan, (4) menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan

Penelitian pengembangan formula minuman olahraga berbasis tempe diawali dengan pembuatan tepung tempe dengan bahan utama tempe segar dengan lama fermentasi 36 jam. Tempe dipotong-potong kemudian diblansir dengan cara dikukus, dilanjutkan penggilingan dan pengeringan dengan cara dikering bekukan (freeze drying). Pengayakan terhadap tepung tempe dilakukan dengan saringan 80 mesh. Analisa terhadap tepung tempe menunjukkan setiap 100 gram mengandung kadar air 5.39 g, abu 1.22 g, protein 45.55 g, lemak 33.9 g, karbohidrat 13.94 g, kalsium 0.14 g, besi 0.018 g, natrium 0.004 g, magnesium 0.06 g, klorida 0.04 g dan kalium 0.10 g.

(5)

Untuk menguji pengaruh minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot dan stres oksidatif pada atlet mahasiswa, desain penelitian eksperimen dengan metode double blind randomized controlled trial ditetapkan sejumlah 18 orang atlet mahasiswa pria usia 18-24 tahun yang dipilih secara acak dan dibagi ke dalam 3 kelompok perlakukan intervensi masing-masing berupa a) minuman tempe dan b) minuman whey, yang masing-masing mengandung protein 23 gram, serta c) minuman plasebo. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan squat, yang dibagi menjadi enam set dengan lima belas pengulangan dengan interval istirahat 2 menit antar set. Subjek melakukan latihan kekuatan dengan beban 75 % dari kekuatan maksimalnya (1RM/one repetition maximum). Segera setelah latihan kekuatan selesai subjek mengonsumsi minuman perlakuan. Minuman perlakuan juga diberikan pada hari ke dua sampai dengan hari ke empat. Creatine kinase (CK), kekuatan maksimal, nyeri otot diukur sebagai penanda kerusakan otot. Percobaan di atas juga digunakan untuk menguji pengaruh minuman tempe terhadap stres oksidatif. CK, kekuatan maksimal, nyeri otot, kadar malondialdehid (MDA) dan superoksida dismutase (SOD) diukur pada saat sebelum latihan dan pada 6, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan kekuatan.

Pemberian minuman tempe setelah latihan secara nyata menurunkan kadar CK dan meningkatkan kekuatan otot pada titik waktu 24 jam (p<0.05), tetapi memberikan respon yang sama terhadap nyeri otot. Penurunan aktivitas CK pada titik waktu 24 jam setelah latihan pada kelompok yang diberikan minuman tempe, whey dan plasebo masing-masing adalah 80.66 U/L, 124.5 U/L, dan 192.33 U/L, sedangkan untuk peningkatan kekuatan otot masing-masing adalah 0.41 kg, -1.66 kg dan -5 kg. Pemberian minuman tempe setelah latihan memberikan respon yang sama terhadap kadar MDA dan SOD bila dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu whey dan plasebo (P>0.05), akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa perlakuan minuman tempe memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan stres oksidatif. Penelitian yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa minuman tempe berpotensi sebagai minuman olahraga alternatif untuk pemulihan kerusakan setelah latihan kekuatan pada atlet.

(6)

SUMMARY

MANSUR JAUHARI. Development of Tempeh-Based Sport Drinks and its Effect on Muscle Damage Recovery of Athletes After Resistance Training. Supervised by AHMAD SULAEMAN HADI RIYADI and IKEU EKAYANTI

Training is an essential activity that should be done by an athlete prior to attending the game and it is an iterative and increased process aiming to enhance the potency in order to obtain optimal achievement. Resistance training is one form of training which may lead to the muscle damage and should be recovered immediately. Branched chain amino acids are nutrients that play roles in the recovery processes. One of ingredient that is potential for recovery the muscle damage is tempeh. Beside it contains proteins with high content of BCAA, it also contain isoflavone an important component in the muscle damage recovery.This research was aimed: (1) to develop an appropriate formula of tempeh-based sport drinks for muscle damage recoveries which is sensorically acceptable, (2) to evaluate the level of panelist acceptability on tempeh-based sport drink formula, (3) to analyze the effect of administering tempeh drinks on muscle damage recovery after resistance training, (4) to analyze the effect of administering of tempeh drinks on oxidative stress after resistance training.

First step in the research on development of tempeh-based sport drink formula was the preparation of tempeh flour as the main ingredient. Fresh tempeh with 36 h of fermentation were cut and steamed blanched. After grinding the ground tempeh was freeze dried and shieved on 80 mesh shieve. This tempeh flour contained 5.3 g moisture, 1.22 g ash, 45.55 g protein, 33.9 g fat, 13.94 g carbohydrate, 0.14 g calcium, 0.018 g iron, 0.004 g sodium, 0.06 g magnesium, 0.04 g chloride and 0.10 g potassium per 100 gram flour.

Sport drink formulation were made with the compotition of tempeh flour as the main ingredient, sugar, chocolate powder and water. Based on its ingredient composition, there were three kinds of formula which were differentiated by the level of tempeh flour concentration namely F1(8.66%), F2 (7.31%) and F3 (6.32%). To determine the best formula for further study, the sensory analysis was performed. Results of the hedonic test showed that the F2 formula had the highest overall acceptability (5.42) than the F3 (5.37) and F 1 (4.92) (p>0.05). The F2 had the highest overall preference with the score of 80% and there was chosen as the best formula for further investigation. This formula contained protein 23 g, carbohydrate of 48 g, fat of 17.11 g, energy of 437.9 calorie, branched chain amino acids (BCAA) of 4161.6 mg, Ca of 72.92 mg, Fe of 9.46 mg, Mg of 33.12 mg, Na of 2.37 mg, Cl of 21.30 mg and K 54 mg, and isoflavone of 25.78 g per serving.

(7)

fifteen repetitions and 2 minute rest interval between sets. Subject performed resistance training with load of 75% of maximum strength (1 RM / one repetition maximum). As soon as the resistance training was over, subjects consumed the test drinks. Test drinks was administered at day 2 up to day 4. Creatine kinase level (CK), maximal voluntary contraction (MVC) and muscle soreness as marker of muscle damage were recorded before training and at six, 24, 48, 72, and 96 h post exercise.

Administering of tempeh drinks after training significantly decreased the CK level and increased maximal strength at 24 h (P<0.05), but had similar response in muscle soreness. The decrease in CK activity at time points of 24 hours after exercise in the group given a tempeh drinks, whey and placebo namely 80.66 U / L, 124.5 U / L, and 192.33 U / L, respectively, whereas the increase in muscle strength were 0:41 kg, -1.66 kg and -5 kg, respectively. Administering of tempeh drinks after training had similar response on level of MDA and SOD level of all groups (p>0.05), but there was a tendency that the treatment of tempeh drinks give a better effect in reducing oxidative stress. In conclusion, tempeh drinks was potential to be used as an alternative sports drinks for muscle damage recovery on athlete.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

PENGEMBANGAN MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS

TEMPE DAN EFEKNYA TERHADAP PEMULIHAN

KERUSAKAN OTOT PADA ATLET SETELAH LATIHAN

KEKUATAN

MANSUR JAUHARI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Budi Setiawan, MS

2. Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc

(11)

Judul Disertasi : Pengembangan Minuman Olahraga Berbasis Tempe dan Efeknya terhadap Pemulihan Kerusakan Otot pada Atlet Setelah Latihan Kekuatan

Nama : Mansur Jauhari

NIM : I162090061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MS Ketua

Dr Ir Hadi Riyadi, MS Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian:10-04-2014 Tanggal Lulus: Ketua Program Studi

Ilmu Gizi Manusia

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, beserta Anggota Pembimbing yaitu Dr Ir Hadi Riyadi MS dan Dr Ir Ikeu Ekayanti M.Kes yang telah memberi masukan, arahan, bimbingan dan dorongan moril selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Budi Setiawan MS selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup dan Prof Dr drh Agik Suprayogi MSc selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup dan ujian terbuka serta kepada Prof Dr dr A Purba MSc AIFO selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan juga kepada Prof drh M Rizal M Damanik MRepSc PhD selaku Ketua Program Studi dan Prof Dr Ir Dodik Briawan M.CN selaku Sekretaris Program studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pasca Sarjana IPB (periode 2010-2014), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS selaku ketua Program studi Ilmu Gizi Manusia Sekolah Pasca Sarjana IPB (periode 2014-2018). Ucapan terimakasih kami sampaikan pula kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah memberikan wawasan keilmuan selama penulis menuntut ilmu di IPB, juga kepada pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan memberikan layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Jakarta pada waktu itu (Prof Dr Bedjo Sujanto M,Pd), Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Dr Achmad Sofyan Hanif M.Pd (periode 2005-2009), Dr Bambang Sudjiono M.Pd (periode 2009-2013), Dr Abdul Sukur M.Si (periode 2013-2017), Ketua Jurusan Olahraga Prestasi Tirto Apriyanto S.Pd M.Si yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui Program Penelitian Hibah Disertasi Doktor serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich-Like di University of Adelaide Australia yang telah menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan kepada penulis. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr John Carragher dan Dr Beverley Muhlhausler dari

School of Agriculture, Food and Wine University of

Adelaide Australia atas bimbingan, saran dan bantuan selama penulis mengikuti Program Sandwich-like.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ketua Laboratorium Somatokinetika Fakultas Ilmu keolahragaan UNJ beserta staf atas izin dan pelayanan yang baik selama penulis melakukan penelitian di sana, serta kepada pimpinan dan segenap staf Laboratorium Pramita Jakarta, Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

(13)

dalam penelitian ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ari Subarkah, M.Pd dan Bapak Bayu Nugraha, M.Pd yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, khususnya dalam pelaksanaan latihan kekuatan.

Terimakasih juga penulis sampaikan atas kebaikan, ketulusan, dukungan dari para sahabat tercinta dan teman-teman seperjuangan di program Studi Ilmu Gizi Manusia Angkatan 2009, Ibu Hidayah Dwiyanti, Ibu Dewi Kartikasari, Ibu Iskari Ngadiarti, Ibu Katrin Roosita, Pak Ali rosidi dan Pak Arifasno Napu, untuk kakak-kakak kelasku Ibu Atik Kridawati, Ibu Wilda Welis, Ibu Asli Wirda Hayati, Ibu Mellova serta untuk adik-adik kelasku Ibu Betty, Ibu Dara, Ibu Teti, Ibu Trini, Pak Nurrahman, Ibu Yuni dan Ibu Nia. Terimakasih juga untuk teman-teman dosen dari Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ, Pak Aan, Ibu Heni, Ibu Eva, Ibu Ika, Ibu Marlinda, Ibu Nur, Ibu Yana, Pak Ari terimakasih atas persahabatan, perhatian, dan dukungannya selama ini.

Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak pengelola Jurnal Pakistan Journal Nutrition dan Jurnal Agritech yang telah menerima naskah yang merupakan bagian dari disertasi ini untuk dipublikasikan.

Ungkapan terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Siti Murtinah (alm) dan Ayahanda Drs Ahmad Suyuti, atas doa, kasih sayang dan bekal ilmu yang cukup yang diberikan kepada ananda sehingga ananda dapat mencapai strata pendidikan tertinggi ini. Juga kepada kakak-kakak ku Mas Saiful (alm), Mas Munir, Mas Burhan, Mbak Atun, Mbak Ummi, Mas Imam serta Adikku Atiq dan Aziz, Terimakasih atas doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian Tujuan Umum

Latihan Kekuatan (Resistance Exercise) Sistem Energi pada Latihan Kekuatan Kerusakan Otot Setelah latihan

Kebutuhan Protein pada Latihan Kekuatan Metabolisme Protein

Peran Protein dan Asam Amino BCAA Pada Pemulihan Kerusakan Otot Perubahan Konsentrasi Asam Amino Selama Latihan Kekuatan

Waktu Pemberian Protein

Stres Oksidatif Setelah Latihan Kekuatan Antioksidan

Potensi Tempe Dalam Pemulihan Kerusakan Otot Definisi Operasional

Daftar Pustaka

PENGEMBANGAN FORMULA MINUMAN OLAHRAGA BERBASIS TEMPE UNTUK PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT

PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP PEMULIHAN KERUSAKAN OTOT SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET MAHASISWA

PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN TEMPE TERHADAP STRES

OKSIDATIF SETELAH LATIHAN KEKUATAN PADA ATLET

(16)

6. 7.

Abstrak Pendahuluan Metode

Hasil dan Pembahasan Kesimpulan

Daftar Pustaka

PEMBAHASAN UMUM

Implikasi Hasil dan Keterbatasan Penelitian SIMPULAN DAN HASIL

Simpulan Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Nilai rerata tingkat kesukaan minuman tempe (skala 1-9)

Persentase penerimaan panelis terhadap minuman olahraga berbasis tempe Bagan pelaksanaan penelitian pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan pada atlet

Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar CK serum pada subjek setelah latihan

Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kekuatan maksimal pada subjek setelah latihan kekuatan

Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap nyeri otot pada subjek setelah latihan kekuatan

Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar MDA plasma pada subjek setelah latihan kekuatan

Pengaruh pemberian minuman perlakuan terhadap perubahan kadar SOD eritrosit pada subjek setelah latihan kekuatan

(18)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan kering dan 100 g dalam bahan yang dapat dimakan (BDD)

2. Komposisi asam amino tepung tempe

3. Kandungan asam amino pada minuman tempe dan whey per takaran saji 4. Karakteristik subjek pada baseline

5. Asupan zat gizi subjek

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

(20)
(21)

1.PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prestasi olahraga di Indonesia harus terus ditingkatkan baik prestasi di tingkat regional maupun internasional. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi olahraga seperti faktor teknik, taktik, pembinaan mental dan strategi yang baik, serta metode latihan dan sarana prasarana yang memadai. Faktor lain yang sangat penting adalah pemenuhan gizi seimbang, dengan pemenuhan gizi yang baik diharapkan kondisi fisik atlet menjadi lebih baik.

Latihan merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang atlet sebelum mengikuti suatu pertandingan. Latihan merupakan suatu proses yang berulang dan meningkat guna meningkatkan potensi dalam upaya mencapai prestasi yang optimal. Atlet mengikuti program latihan jangka panjang untuk meningkatkan kondisi fisik dan mental sebagai sarana untuk mempersiapkan menuju suatu pertandingan (Tangkudung 2006).

Latihan kekuatan merupakan komponen umum dari latihan olahraga. Selama latihan, terutama latihan eksentrik seperti latihan beban, latihan plyometric dan berlari kencang umumnya dapat menyebabkan kerusakan otot. Selain itu dapat menyebabkan robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z. Kerusakan sel otot setelah melakukan latihan dengan intensitas yang tinggi ditandai salah satunya oleh meningkatnya kadar enzim creatine kinase (CK) (Bean 2009). Peningkatan kadar enzim CK ini disebabkan oleh kerusakan pada sarkolema akibat gerakan yang terus menerus dalam intensitas tinggi. Kerusakan sarkolema menyebabkan keluarnya enzim CK dari sel otot menuju sistem sirkulasi darah (Tortora 2009). Selain itu kerusakan sel otot setelah melakukan latihan dengan intensitas tinggi juga ditandai oleh meningkatnya kadar enzim LDH (Lactate Dehidrogenase) dan serum myoglobin.

Penelitian White et al. (2008) menemukan terjadinya peningkatan kerusakan otot secara signifikan yang ditandai dengan kenaikan CK setelah latihan kekuatan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan Udani et al. (2009) yang mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kerusakan otot dan rasa nyeri setelah melakukan latihan kekuatan. Penelitian Cooke et al. (2010) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan terhadap kerusakan otot setelah latihan kekuatan.

(22)

perlu adanya upaya untuk mempercepat proses pemulihan khususnya melalui pengaturan gizi. Al Masri et al. (2011) menyebutkan bahwa tidak terpenuhinya gizi setelah latihan dapat mengakibatkan kelelahan otot dini dan nyeri yang berkepanjangan.

Dalam proses pemulihan kerusakan otot, salah satu zat gizi yang berperan terutama protein, di mana secara langsung protein diperlukan dalam menekan gangguan garis z pada otot (Helman et al. 2003), sedangkan secara tidak langsung melalui pembentukan β-Hydroxy-β- Methylbutyrate (HMB) melalui transaminasi leusin (Nissen et al. 1996). HMB dikonversi ke HMG-CoA dalam sitosol, yang dapat digunakan untuk sintesis kolesterol dalam sel. Di semua sel, kolesterol diperlukan untuk sintesis membran sel baru serta perbaikan membran yang rusak dalam memelihara fungsi sel dan pertumbuhan (Nissen dan Abumrand 1997).

Branched chain amino acids (BCAA) atau asam amino rantai bercabang yaitu leusin, valin, dan isoleusin merupakan asam amino yang penting bagi para atlet dan individu yang aktif, karena digunakan dalam metabolisme energi dalam kerja otot. Selain itu, leusin memainkan peran penting dalam regulasi sintesis protein (Brian dan Haub 2007). Menurut Bean (2009) asam amino BCAA dapat meminimalkan pemecahan protein otot selama latihan intensitas tinggi. BCAA merupakan proporsi tertinggi dalam jaringan otot dan yang pertama dipecah untuk energi selama intensitas tinggi, dan latihan yang lama, sehingga apabila jumlah BCAA cukup tersedia maka semakin kecil kemungkinan terjadinya pemecahan jaringan otot yang ada.

(23)

yang lain seperti kekuatan maksimal dan rasa nyeri otot. Penelitian yang dilakukan White et al. (2008) menunjukkan bahwa konsumsi karbohidrat dan whey protein setelah atau sesudah latihan tidak berpengaruh terhadap kerusakan dan nyeri otot pada atlet yang berlatih kekuatan dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya, Buckley et al. (2010), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi whey protein setelah latihan kekuatan, pemulihan kekuatan otot dapat meningkat.

Salah satu sumber protein yang cukup potensial dan belum banyak digunakan pada atlet adalah tempe, yang merupakan makanan tradisional yang sangat popular di Indonesia, tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus. Hampir separuh penduduk Indonesia senang mengkonsumsi tempe khususnya pada masyarakat menengah ke bawah. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi seperti isoflavon yang lebih baik dibanding kedelai. Selain itu tempe mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasaran, serta mudah dimasak. Di dalam proses pembuatan tempe dari kedelai, enzim protease menghidrolisis komponen protein menjadi asam amino bebas dan nitrogen terlarut. Proses hidrolisa ini menghasilkan kenaikan asam amino bebas pada tempe menjadi 85 kali lebih banyak daripada asam amino bebas pada kedelai (Mahmud 1996). Tempe juga mengandung asam amino BCAA (valin, leusin, isoleusin) yang tinggi dibanding dengan asam amino yang lainnya. Nilai cerna tempe lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai, keadaan tersebut meningkatkan mutu gizi protein tempe (Hermana et al. 1996). Melihat banyaknya keunggulan dari tempe sebagai sumber protein, tempe mempunyai potensi untuk digunakan dalam memperbaiki kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Tempe dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, antara lain tempe dapat dibuat menjadi minuman yang dikenal dengan minuman tempe. Minuman tempe dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai minuman olahraga yang mempunyai kualitas protein yang baik yang mengandung BCAA, yang diharapkan memberikan manfaat terhadap pemulihan dari kerusakan otot setelah melakukan latihan olahraga.

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian

(24)

Salah satu zat gizi yang penting dalam pemulihan kerusakan otot adalah protein. Stimulus sintesis protein dan meminimalkan pemecahan protein adalah dua proses seluler yang penting untuk pemulihan kerusakan otot setelah kerusakan (Rennie et al. 2001). Walaupun pemecahan protein mungkin merupakan proses penting yang terlibat dalam respon adaptif selama pemulihan (Tipton et al. 2008), meningkatkan sintesis protein dalam otot selama periode pemulihan sangat penting untuk regenerasi otot dan hipertrofi. Oleh karena itu, pentingnya strategi yang dapat mendorong keseimbangan protein otot yang positif selama beberapa hari setelah kerusakan otot untuk meningkatkan sintesis protein.

Beberapa penelitian tentang pemulihan kerusakan otot yang sudah dilakukan sebelumnya pada umumnya menggunakan sumber protein yang berasal dari susu seperti Gilson et al. (2010) menggunakan susu coklat, Cockburn et al. (2011) menggunakan susu, sedangkan penelitian lainnya menggunakan whey protein antara lain White et al. (2008), Buckley et al. (2010), Cooke et al. (2010), Burnley et al. (2010). Penelitian yang menggunakan asam amino bebas seperti asam amino rantai bercabang (BCAA) adalah Matsumoto et al. (2009), Howatson et al. (2012), Jackman et al. (2010), sedangkan Street et al. (2011) menggunakan glutamin, dan Kirby et al. (2012) menggunakan asam amino leusin.

Selama ini dalam memenuhi kebutuhan protein setelah melakukan latihan, atlet banyak menggunakan produk yang sudah ada di pasaran seperti whey protein yang harganya relatif mahal. Salah satu sumber protein yang potensial namun belum banyak digunakan pada atlet adalah tempe, tempe juga mengandung isoflavon yang dapat berperan sebagai antioksidan. Antioksidan dapat menangkal radikal bebas yang dihasilkan selama latihan, radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan otot secara sekunder (Howatson et al. 2008). Dengan demikian isoflavon dapat berperan dalam mempercepat pemulihan kerusakan orot. Selain itu, ketersediaan tempe di Indonesia yang mudah diperoleh akan menjamin kontinuitas sumberdaya tersebut. Namun demikian belum ada penelitian tentang pengaruh pemberian tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan. Agar mudah dikonsumsi setelah latihan tempe dapat diolah menjadi suatu minuman yang nikmat. Dengan melihat kandungan BCAA dan isoflavon dalam tempe memungkinkan untuk digunakan sebagai minuman bagi atlet guna membantu proses pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan.

Beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan terkait dengan penggunaan tempe untuk pemulihan kerusakan otot :

1. Bagaimana kandungan gizi dan penerimaan minuman tempe secara sensori apabila minuman tempe digunakan sebagai minuman olahraga untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan?

2. Bagaimanakah pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan?

3. Bagaimanakah pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan?

Tujuan Umum

(25)

Tujuan Khusus

1. Mengembangkan formula minuman olahraga berbasis tempe yang dapat diterima secara sensori untuk pemulihan kerusakan otot.

2. Mengevaluasi tingkat penerimaan panelis terhadap formula minuman olahraga berbasis tempe sebagai kandungan utama.

3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan.

4. Menganalisis pengaruh pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif setelah latihan kekuatan.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian antara lain:

1. Dihasilkan produk minuman olahraga alternatif untuk membantu atlet dalam mempercepat proses pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan melalui pemanfaatan pangan lokal yaitu minuman tempe.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengangkat potensi minuman tempe sebagai sumber protein nabati untuk pemulihan kerusakan otot setelah latihan kekuatan.

3. Membantu menyediakan minuman fungsional olahragawan untuk meningkatkan prestasi atlet.

4. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu gizi olahraga.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu:

1. H1 : ada perbedaan penerimaan minuman tempe terhadap pemberian

jumlah air yang berbeda pada tepung tempe

2. H1 : terdapat efek pemberian minuman tempe terhadap pemulihan

kerusakan otot

3. H1 : terdapat efek pemberian minuman tempe terhadap stres oksidatif

Ruang Lingkup Penelitian

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Al Masri. 2011. 100 Questions & Answers About Sports Nutrition and Exercise. Jones and Bartlett Publishers, LLC.

Bean A. 2009. Sports Nutrition. London. Published by A & C Black Publishers Ltd 36 Soho Square.

Brian SS, Haub MD. 2007. Whey, Casein, and Soy Protein. Sports Nutrition fats and Proteins. Driskell JA, editor. New York. CRC Press.

Buckley JD, Thomson RL, Coates AM, Howe PR, Denichilo MO, Rowney MK. 2010 Supplementation with a whey protein hydrolysate enhances recovery of muscle force-generating capacity following eccentric exercise. J Sci Med Sport.13(1) :178-81.

Burnley ECD, Olson AN, Sharp RL, Baier SM, Alekel DL. 2010. Impact of protein supplements on muscle recovery after exercise-induced muscle soreness. Journal Exercise Science Fitness 8: 89-96.

Close GL, Ashton T, McArdle A, MacLaren, DPM. 2005. The emerging role of free radicals in delayed onset muscle soreness and contraction-induced muscle injury. Comparitive Biochemistryand Physiology. 142: 257-266. Cockburn E. 2010. Acute protein-carbohydrate supplementation: effects on

exercise-induced muscle damage. Current Topic In Nutraceutical Research. 8: 7-18.

Cockburn E, Ansley PR, Hayes PR, Stevenson E. 2011.Effect of volume of milk consumed on the attenuation of exercise-induced muscle damage. Eur J Appl Physiol. 112: 3187–3194.

Cooke, Rybalka, Stathis. 2010. Whey Protein Isolate Attenuates Strength Decline After Eccentrically-Induced Muscle Damage in Health Individuals. Journal of International Society of Sports Nutrition.7 (30) : 1-9.

Gilson SF, Saunders MJ. 2010. Effects of chocolate milk consumption on markers of recovery following soccer training : a randomized cross-over study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 7(19): 1-10.

Hermana, Mahmud MK. 1996. Pengembangan Teknologi Pembuatan Tempe. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia.

(27)

Howatson G, Someren KV. 2008. The prevention and treatment of exercise induced muscle damage. Sports Medicine. 38: 483-503.

Howatson G, Hoad M, Goodall S, Tallent J, Bell PG, French DN. 2012. Exercise-induced muscle damage is reduced in resistance-trained males by branched chain amino acids: a randomized, double-blind, placebo controlled study. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 9(20):1-7.

Jackman SR, Witard OC, Jeukendrup AE, Tipton KD. 2010. Branched-chain amino acid ingestion can ameliorate soreness from eccentric exercise. Medicine Science Sports Exercise. 42:962–970.

Kirby, TJ. Triplett NT, Haines TL, Skinner JW, Fairbrother KR, McBride JM. 2012. Effect of leucine supplementation on indices of muscle damage following drop jumps and resistance exercise Amino Acids. 42: 1987–1996 MacIntyre DL, Sorichter S, Mair J, Berg A, McKenzie DC. 2001. Markers of

inflammation and myofibrillar proteins following eccentric exercise in humans. European Journal of AppliedPhysiology. 84: 180-186.

Mahmud MK. 1996. Tempe dan Infeksi. Bunga rampai Tempe Indonesia. Sapuan, Soetrisno N, editor. Jakarta. Yayasan Tempe Indonesia.

Malm C, Lenkei R. Sjodin B. 1999. Effects of eccentric exercise on the immune system in men. Journal of Applied Physiology. 86: 461-468.

Matsumoto K, Koba T, Hamada K, Sakura M, Higughi T, Miyata H. 2009. Branched-chain amino acid supplementation attenuates muscle soreness, muscle damage and inflammation during an intensive training program. J Sports med phys fitness. 49: 424-31.

Millard-Stafford M, Warren GL, Thomas LM, Doyle JA, Snow T,Hitchcock K. 2005. Recovery from run training: efficacy of a carbohydrate-protein beverage? Int J Sport Nutr Exerc Metab. 15:610-624.

Nissen S, Sharp R, Ray M, Rathmacher JA, Rice D, Fuller JC Jr, Con-nelly AS, Abumrad N. 1996. Effect of leucine metabolite beta-hydroxy-beta-methylbutyrate on muscle metabolism during resistance-exercise training. J Appl Physiol. 81:2095-2104.

Nissen SL, Abumrad NN. 1997. Nutritional role of the leucine metabolite β -hydroxy-β-methylbutyrate (HMB). J Nutr Biochem 1997; 8:300–311. Rennie MJ, Tipton KD. 2000. Protein and amino acid metabolism during and after

exercise and the effects of nutrition. Annu Rev Nutr. 20:457-483.

Seifert JG, Kipp RW, Amann M, Gazal O. 2005. Muscle damage, fluid ingestion, and energy supplementation during recreational alpine skiing. Int J Sport Nutr Exerc Metab. 15:528-536.

(28)

Street B, Byrne C, Eston R. 2011. Glutamine supplementation in recovery from Eccentric exercise attenuates Strength loss and muscle soreness. J Exerc Sci Fit. 9: 116–12.

Tangkudung J. 2006. Kepelatihan Olahraga. Jakarta: Penerbit Cerdas Jaya.

Tidball JG. 2005. Inflammatory processes in muscle injury and repair. American Journal of Physiology. 288: R345-R353.

Tipton KD. 2008. Protein for adaptations to exercise training. Eur J Sport Sci. 8:107-118.

Tortora G. 2009. Principles of Anatomy And Physiology. John Wiley & Sons, Inc. All rights reserved.

Udani, JK, Singh, BB. 2009. BounceBackTM Capsules For Reduction of DOMS after Eccentric Exercise : Randomized, Double-Blid, Placebo-Controlled, Crosover Pilot Studi. Journal of the International Society of Sports Nutrition. 6(14): 1-6.

Urso ML, Clarkson PM. 2003. Oxidative stress, exercise, and antioxidant supplementation. Toxicology. 189: 41-54.

White JP, Wilson JM, Austin KG, Greer BK, St John N, Panton LB. 2008. Effect of carbohydrate-protein supplement timing on acute exercise-induced muscle damage. J Int Soc Sports Nutr. 5(5): 1-7.

(29)

2.TINJAUAN PUSTAKA

Latihan Kekuatan (Resistance Training)

Salah satu cara untuk mengembangkan kekuatan atlet adalah dengan cara melakukan latihan kekuatan (Resistance Training). Kekuatan otot yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan tugas seperti mendorong atau mengangkat. Ketahanan otot yang lebih besar memungkinkan orang untuk melakukan pekerjaan yang berat dalam waktu yang lama tanpa merasa lelah. Orang-orang yang meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan dengan menggunakan otot untuk bergerak melawan kekuatan beban. Angkat berat dan latihan kekuatan lainnya dapat menekan otot-otot yang menyebabkan peningkatan ukuran dan kekuatan (Smolin dan Gresvenor 2010).

Latihan kekuatan adalah jenis aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot, power, daya tahan otot, dan / atau hipertrofi. Latihan beban (dengan barbel, dumbel, menggunakan mesin) adalah yang paling efektif untuk meningkatkan ukuran otot dan kekuatan karena memberikan variabilitas yang besar untuk gerakan-gerakan yang dilakukan dan mudah diukur bahwa perkembangan tersebut mudah dipantau dan ditentukan (Kraemer et al.2001).

Latihan kekuatan harus dilakukan 2-3 hari seminggu pada awal program latihan, dan dua hari seminggu setelah latihan kekuatan yang diinginkan telah dicapai. Hal ini dapat dilakukan dengan beban atau dengan mesin latihan kekuatan. Setiap sesi harus mencakup minimal 8 sampai 10 latihan yang melatih kelompok otot utama. Setiap latihan harus diulang 8 sampai 12 kali. Peningkatan jumlah beban dalam mengangkat akan meningkatkan kekuatan otot. Peningkatan jumlah pengulangan akan meningkatkan daya tahan (Smolin dan Gresvenor 2010).

Resistance Training, sering disebut latihan kekuatan atau latihan beban, melibatkan penggunaan otot untuk mendorong terhadap kekuatan. Tubuh beradaptasi untuk melakukan tugas yang diminta, apakah tugas itu adalah untuk mengangkat beban lebih berat, peregangan milimeter lebih jauh, atau terus mengangkat selama beberapa menit lagi. Ketika otot bekerja, tekanan atau beban berlebihan menyebabkan otot untuk beradaptasi dengan meningkatnya ukuran dan kekuatan, proses tersebut disebut sebagai hipertrofi. Dengan semakin meningkatkan jumlah atau intensitas latihan pada setiap sesi, secara perlahan otot mengalami hipertrofi. Semakin besar jumlah dan intensitas latihan, semakin besar efek dari latihan. Dengan meningkatkan kekuatan otot, latihan kekuatan juga dapat meningkatkan kekuatan otot. Peningkatan dalam kekuatan otot terjadi ketika kekuatan otot meningkat, ketika kinerja kardiovaskular ditingkatkan karena latihan aerobik, dan ketika diet dioptimalkan. Ketika otot tidak digunakan, otot menjadi lebih kecil dan lebih lemah. Proses ini disebut atrofi. (Smolin dan Gresvenor 2010).

(30)

Sistem Energi pada Latihan Kekuatan

Energi untuk aktivitas latihan kekuatan terutama berasal dari sistem anaerobik. Ini karena kebutuhan ATP yang sangat tinggi diperlukan untuk menghasilkan tingkat yang besar selama aktivitas dengan intensitas tinggi dan durasi pendek. Ini sesuai, dengan serat otot rangka yang beradaptasi untuk terjadinya hipertropi dengan kemampuan metabolisme energi anaerobik.

Pool ATP dan creatine phosphate dalam sel otot adalah sumber utama ATP selama beberapa detik pertama dari aktivitas intensitas tinggi. Tingkat ATP dipertahankan selama beberapa detik pertama dari latihan intensitas yang sangat tinggi, setelah tingkat creatine phosphate dan ATP habis ke tingkat yang rendah dengan cara yang sesuai. Namun, tingkat ATP tidak habis ke titik kelelahan, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain yang lebih bertanggung jawab untuk kelelahan otot selama melakukan intensitas yang sangat tinggi. Dalam merespon latihan intensitas yang lebih tinggi, tingkat creatine phosphate meningkat, adaptasi ini lebih besar dalam serat otot Tipe II daripada Tipe I (Wildman and Miller 2004).

Glikolisis anaerobik meningkat karena terjadinya latihan intensitas yang sangat tinggi. Kontribusi dari glikolisis anaerob untuk regenerasi ATP selama detik pertama. Latihan terus-menerus, menyebabkan tingkat creatine phosphate akan habis dan glikolisis anaerobik menjadi sistem regenerasi penyedia ATP yang utama. Akibatnya, produksi asam laktat menjadi salah satu faktor pembatas dari performa (Bean 2009). Glikolisis anaerobik terjadi terutama dalam serat tipe II karena kebutuhan kekuatan yang tinggi. Beberapa ATP aerobik juga dihasilkan pada serat tipe I yang digunakan untuk yang pertama dan bila tersedia oksigen, tetapi kontribusi dari jalur aerobik minimal. Total produksi ATP sebagian bergantung pada tingkat kebugaran, frekuensi, intensitas, waktu, dan jenis aktivitas serta hidrasi dan status energi atlet. Regenerasi ATP melalui glikolisis yang kemudian akan diproduksi asam laktat dari piruvat yang memungkinkan untuk produksi ATP yang cepat selama latihan intensitas tinggi. NADH diperlukan untuk mengubah piruvat menjadi asam laktat yang diproduksi pada awal glikolisis. Reaksi laktat dehidrogenase (LDH) sehingga meregenerasi NAD+ pada langkah awal glikolisis.

Ketergantungan lebih besar pada glikolisis anaerobik dan regenerasi asam laktat untuk regenerasi cepat ATP. Di satu sisi merupakan cara yang sangat cepat karena sistem anaerobik menghasilkan ATP, yang mendukung upaya latihan yang lebih kuat. Di sisi lain, asam laktat dalam jaringan otot dapat mengurangi kapasitas fungsional yang dapat menghambat aktivitas, mengikat kalsium dan enzimatik. Produksi asam laktat secara langsung berkaitan dengan intensitas latihan, sistem energi dapat mempertahankan upaya latihan yang hanya sebentar selama latihan yang sangat kuat (Wildman and Miller 2004).

Kerusakan Otot Setelah latihan

(31)

otot jaringan, sebuah proses yang ditandai dengan gangguan retikulum sarkoplasma dan sarkomerik protein garis z (Belcastro et al 1998). Kondisi tersebut dipicu oleh trauma dari aktivitas fisik yang kemudian memicu kaskade metabolik yang ditandai oleh peningkatan progresif indikator mikroskopis kerusakan otot (Evan et al. 1986). Beberapa indikator kerusakan otot mencakup peningkatan tingkat CK, LDH dan nyeri otot (Candow 2006). Kadar enzim CK meningkat setelah latihan dengan intensitas tinggi yang disebabkan oleh kerusakan pada sarkolema akibat gerakan yang terus menerus dalam intensitas tinggi. Kerusakan sarkolema menyebabkan keluarnya enzim CK dari sel otot menuju sistem sirkulasi sehingga hal ini dapat dijadikan indikator kerusakan otot (Tortora 2009). Peningkatan indeks kerusakan otot berhubungan dengan kinerja yang menurun (White et al. 2008).

Menurut Willoughby et al.(2003) bahwa olahraga berat dapat menyebabkan kerusakan otot dan peradangan yang tergantung pada modus latihan, intensitas, dan durasi. Latihan dengan komponen eksentrik besar menghasilkan besarnya kerusakan serat otot, peradangan, serangan nyeri otot yang tertunda, dan berbagai defisit fungsional. Respon terhadap kerusakan otot karena latihan yang disebabkan oleh besarnya peningkatan inflamasi sitokin pada otot yang digunakan, pada plasma. Hampir setiap orang dapat mengalami beberapa jenis nyeri otot setelah latihan. Nyeri otot sering disebut sebagai serangan nyeri otot tertunda. Serangan nyeri otot tertunda menggambarkan fenomena nyeri otot atau kekakuan otot yang umumnya terjadi 12 sampai 48 jam setelah olahraga. Hal ini biasanya terjadi pada individu yang tidak terbiasa untuk berolahraga, melakukan peningkatan intensitas latihan yang mendadak atau melakukan olahraga setelah lama tidak aktif (Al Masri 2011).

Kerusakan otot terjadi karena latihan eksentrik dengan gejala seperti nyeri otot, kehilangan kekuatan otot dan berbagai gerakan dan pembengkakan (Nosaka 2007). Tindakan otot eksentrik melibatkan gerakan yang menyebabkan otot untuk berkontraksi memanjang sementara. Contoh aktivitas otot eksentrik termasuk turun tangga, berjalan menurun, dan angkat berat di gym. Serangan nyeri otot tertunda diperkirakan sebagai akibat luka kecil yang terjadi di membran dari serat otot. Jumlah kerusakan tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti seberapa keras, berapa lama, dan apa jenis latihan yang atlet lakukan. Ketika serat otot yang rusak, peradangan (pembengkakan) terjadi dan menempatkan tekanan pada saraf di sekitarnya, menimbulkan rasa nyeri dan nyeri tekan. Berbeda dengan keyakinan yang diyakini banyak orang, serangan nyeri otot tertunda bukan hasil asam laktat yang tersisa dalam otot, karena mayoritas asam laktat biasanya hilang dalam beberapa menit setelah olahraga. Sebagian besar kerusakan otot disebabkan oleh tindakan otot eksentrik (Al Masri 2011).

Kebutuhan Protein pada Latihan Kekuatan

(32)

penambahan yang lebih lambat dalam ukuran, kekuatan dan massa, atau bahkan hilangnya otot, meskipun latihan keras. Dalam prakteknya tubuh mampu beradaptasi dengan sedikit variasi dalam asupan protein. Hal ini menjadi lebih efisien dalam daur ulang asam amino selama metabolisme protein jika asupan rendah selama jangka waktu tertentu. Tubuh juga bisa beradaptasi dengan asupan protein yang tinggi secara konsisten dengan mengoksidasi surplus asam amino untuk energi. Penting untuk dipahami bahwa diet tinggi protein saja tidak akan menghasilkan peningkatan kekuatan atau ukuran otot. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila asupan protein yang optimal dikombinasikan dengan latihan kekuatan yang intensif (Dunford 2008).

Latihan kekuatan mempunyai kebutuhan harian protein paling besar dibanding atlet endurance (daya tahan). Rekomendasi asupan saat ini adalah antara 1,4 dan 1,8 g / kg berat badan / hari (William 1998). Rekomendasi protein untuk atlet kekuatan menurut Asosiasi Diet Amerika ACSM (American College of Sport Medicine) adalah 1,6-1,7 g / kg berat badan per hari. Belum ada anjuran banyaknya protein yang harus dikonsumsi pada satu waktu. Beberapa atlet dianjurkan bahwa konsumsi protein tidak lebih dari 30 g protein karena tidak banyak yang dapat diserap dari saluran pencernaan sekaligus dan sebaiknya mengkonsumsi sejumlah kecil protein dalam sekali makan sepanjang hari untuk penyerapan protein yang maksimal. Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung atau menyangkal angka ini. Jumlah maksimum protein yang dapat diserap atau harus dikonsumsi untuk meningkatkan penyerapan pada atlet terlatih tidak diketahui pada saat ini (Dunford 2008).

Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan menggunakan jumlah protein yang berbeda-beda seperti penelitian yang dilakukan White et al. (2008) memberikan protein sebanyak 23 gram yang diberikan sebelum atau sesudah latihan kekuatan berupa whey protein. Sedangkan Gilson et al. (2010) memberikan protein sebanyak 28 gram protein dari susu coklat yang diberikan setelah latihan sepak bola. Buckley et al. (2010), dalam penelitiannya memberikan whey protein dengan kandungan protein sebanyak 25 gram setelah latihan kekuatan.

Metabolisme Protein

Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, di samping itu beberapa asam amino mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium dan kobalt. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat di semua protein akan tetapi tidak terdapat di dalam karbohidrat dan lemak. Unsur nitrogen merupakan 16 % dari berat protein (Almatsier 2006).

(33)

sebagai asam amino esensial). Asam amino esensial terdiri dari histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptopan dan valin sedangkan yang termasuk asam amino non esensial adalah alanin, arginin, asparigin, asam aspartat, sistein, asam glutamat, glutamin, glisin, prolin, serin dan tirosin (Benardot 2006).

Protein membentuk bagian dari struktur setiap sel dan jaringan dalam tubuh, termasuk jaringan otot, organ-organ internal, tendon, kulit, rambut dan kuku. Sekitar 20% dari total berat badan orang dewasa adalah protein. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan baru, untuk memperbaiki jaringan dan untuk mengatur saluran metabolik, dan juga dapat dibutuhkan untuk membuat hampir semua enzim serta berbagai hormon (seperti adrenalin dan insulin) dan neurotransmitter. Protein memiliki peran dalam menjaga keseimbangan cairan yang optimal pada jaringan, transportasi gizi dalam dan luar sel, membawa oksigen dan mengatur pembekuan darah (Bean 2009).

Pencernaan protein berawal di lambung dan selesai di usus halus. Enzim yang mencernakan protein dibentuk sebagai prekursor inaktif (zimogen) yang berukuran lebih besar daripada enzim aktifnya. Zimogen inaktif tersebut disekresikan dari sel pembentuknya dan masuk ke dalam lumen saluran pencernaan. Di dalam lumen tersebut, zimogen mengalami pemutusan untuk menghasilkan bentuk yang lebih kecil dan memiliki aktivitas proteolitik.

Pencernaan protein dimulai di lambung, sekresi cairan yang kaya HCL berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sangat asam (pH 1,5-2,5) dalam lambung. Hal ini penting untuk pencernaan protein karena dua alasan. Pertama, pH rendah mengaktifkan enzim pencernaan protein yang pertama yaitu pepsin. Kedua, keasaman cairan lambung meluruskan struktur protein yang kompleks. Karena protein secara alami memiliki desain tiga dimensi tertentu, Pelurusan struktur protein tersebut disebut sebagai denaturasi protein. Denaturasi protein meningkatkan efisiensi enzim protein pepsin dan selanjutnya pencernaan dapat terjadi (Wildman and Miller 2004). Pepsinogen disekresikan oleh chief cell lambung. Sel parietal mensekresikan asam klorida (HCL), HCL mengubah pepsinogen sehingga menjadi pepsin (Marks et al. 2000). Protein dihidrolisa dalam lambung oleh pepsin dengan bantuan asam klorida menyebabkan terbuka dan terpecahnya protein menjadi peptida yang lebih kecil yaitu proteosa dan pepton (Muchtadi 1993). Jumlah waktu yang dihabiskannya di lambung tergantung pada sejumlah variabel, termasuk jenis dan bentuk protein yang dikonsumsi, kandungan lemak dari makanan, kandungan serat makanan, area permukaan, dan berat total makanan yang dikonsumsi (Driskell 2007).

Produk akhir dari pencernaan protein lambung dengan pepsin terutama polipeptida yang besar, bersama dengan beberapa oligopeptida dan asam amino bebas. Produk-produk akhir dari pencernaan dalam lambung bersifat asam melalui sfingter pilorus ke duodenum (proksimal atau bagian atas dari usus halus) untuk pencernaan lebih lanjut (Gropper 2009).

(34)

kelenjar Brunner dari usus halus mengeluarkan banyak mukus (lendir) (Wildman and Miller 2004)

Proenzim atau zimogen pencernaan disekresi oleh pankreas, dan selanjutnya bertanggung jawab untuk pencernaan protein dan polipeptida, meliputi: tripsinogen, chymotrypsinogen, procarboxypeptidases A dan B, proelastase, kollagenase. Dalam usus halus, zimogen ini tidak aktif secara kimiawi yang masing-masing harus diubah menjadi enzim aktif, sehingga mampu menghidrolisis substrat. Berikut reaksi yang terjadi dalam usus halus untuk mengaktifkan zimogen:

Enteropeptidase

Tripsinogen Tripsin

Enteropeptidase (sebuah endopeptidase yang sebelumnya dikenal sebagai enterokinase) disekresikan dari brush border usus halus karena respon dari CCK dan sekretin. Setelah tripsin terbentuk, ia dapat merubah tripsinogen dan chimotripsinogen untuk menghasilkan enzim proteolitik yang aktif.

Tripsin

Tripsinogen Tripsin

Tripsin

Kimotripsinogen Kimotripsin

Tripsin dan kimotripsin keduanya endopeptidase. Tripsin yang spesifik untuk ikatan peptida berdekatan dengan asam amino dasar (lisin dan arginin). Kelebihan Tripsin bebas yang dihasilkan dari tripsinogen juga bertindak dengan memberikan umpan balik yang negatif untuk menghambat sintesis tripsinogen oleh sel pankreas, sehingga pankreas mengatur sekresi zimogen. kimotripsin adalah spesifik untuk ikatan peptida yang berdekatan dengan asam amino aromatik (fenilalanin, tirosin, dan triptofan) dan untuk ikatan peptida yang berdekatan dengan metionin, asparagin dan histidin (Groper 2009).

Endopeptidase yang berasal dari proelastase, dan kolagenase menghidrolisis polipeptida menjadi fragmen lebih kecil, seperti oligopeptida dan tripeptida. Procarboxypeptida dikonversi menjadi karboksipeptidase oleh tripsin dan berfungsi sebagai eksopeptidase.

Tripsin

Prokarboksipeptida Karboxipeptidase

Exopeptidase ini memecahkan ikatan peptida pada karboksi terminal - C polipeptida menjadi asam amino bebas, enzim karboksipeptidase tergantung pada seng dan spesifik membutuhkan seng di tempat aktif. Karboksipeptidase menghidrolisis peptida dengan terminal - C aromatik netral atau asam amino alifatik netral. Karboksipeptidase B memecah asam amino dasar dari terminal – C akhir, menghasilkan asam amino bebas dasar sebagai produk akhir (Groper 2009).

(35)

oligopeptida. Asam amino bebas juga hadir dalam usus halus dan diserap oleh transporter khusus, dengan asam amino netral diserap tercepat, diikuti oleh asam amino dasar dan asam amino asam. Dengan demikian, komposisi, kualitas, dan sumber dari muatan asam amino mempengaruhi asam amino di pool plasma. Setelah asam amino yang diserap ke dalam darah, mereka beredar melalui vena portal ke hati dan kemudian ke seluruh tubuh. Ini asam amino dimetabolisme untuk energi, dibuat menjadi protein, atau dilepaskan kembali ke sirkulasi (Driskell 2007).

Peran Protein dan Asam Amino BCAA pada Pemulihan Kerusakan Otot

Perbandingan mikrograf elektron dari jaringan otot yang diambil dari atlet sebelum dan setelah latihan yang keras mengungkapkan cukup jelas kerusakan otot yang dipicu latihan, termasuk robeknya sarkolema di beberapa serat otot, miofibril yang rusak, dan rusaknya garis z. kerusakan otot secara mikroskopis setelah latihan juga ditunjukkan oleh peningkatan kadar protein, seperti mioglobin dan enzim CK, yang biasanya terkurung dalam serat otot. Dari 12 sampai 48 jam setelah periode latihan berat, otot rangka sering menjadi sakit, seperti serangan nyeri otot tertunda atau delayed onset muscle soreness (DOMS) disertai oleh kekakuan, nyeri, dan pembengkakan. Meskipun penyebab DOMS belum sepenuhnya dipahami, kerusakan otot mikroskopis tampaknya menjadi faktor utama. Dalam menanggapi kerusakan otot yang dipicu latihan, serat-serat otot menjalani perbaikan: daerah baru sarkolema dibentuk untuk menggantikan sarkolema yang robek, dan protein otot (termasuk miofibril) disintesis dalam sarkoplasma dari serat otot (Tortora 2009).

(36)

dilakukan Shimomura (2006) efek suplementasi BCAA menurunkan serangan nyeri otot dan kelelahan otot setelah latihan.Penelitian lain yang dilakukan oleh Howatson et al. (2012) dengan memberikan BCAA 20 g / hari, yang diberikan 7 hari sebelum latihan dan 4 hari pada masa pemulihan memberikan pengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar CK dan peningkatan kekuatan otot dibandingkan dengan plasebo pada 24, 48, 72 dan 96 jam setelah latihan. Namun demikian penelitian yang dilakukan Jackman et al. (2010) yang memberikan BCAA 29.2 g per hari, setelah latihan selama 3 hari berturut-turut, berpengaruh terhadap penurunan nyeri otot pada 48 dan 72 jam setelah latihan tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar CK.

Asam amino diperkirakan memberi efek perlindungan melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Secara langsung, asam amino dapat menekan jalur yang bertanggung jawab atas gangguan garis z pada otot selama metabolik kascade yang dipicu oleh trauma mekanik (Helman et al. 2003), sementara mekanisme tidak langsung berhubungan dengan pembentukan asam amino spesifik yang berasal dari metabolit, seperti β-Hydroxy-β- Methylbutyrate (HMB), ditunjukkan dalam studi dengan indeks kerusakan otot yang lebih rendah (Nissen et al. 1996). Langkah pertama dalam pembentukan HMB adalah transaminasi leusin menjadi α-ketoisocaproate (KIC), yang terjadi baik di sitosol dan mitokondria sel otot (Krebs dan Lund 1977). Dalam mitokondria, KIC adalah ireversibel yang dioksidasi menjadi isovaleril-CoA oleh enzim rantai bercabang

asam α-keto dehidrogenase. Isovaleryl-CoA kemudian lebih lanjut mengalami

langkah metabolisme dalam mitokondria, menghasilkan β-hidroksi-β

-methylglutaryl-CoA(CoA). Selanjutnya metabolisme oleh enzim HMG-CoA lyase hasil dalam produk akhir dan asetoasetat asetil-KoA. Sekitar 90% dari KIC teroksidasi untuk isovaleryl CoA dalam mitokondria hati dan akhirnya menjadi asetoasetat dan asetil-CoA (Nissen 2007).

Teori utama pengaruh HMB adalah dengan meningkatkan integritas membran sel dengan menyediakan substrat yang memadai untuk sintesis kolesterol.Sudah jelas bahwa HMB dikonversi ke HMG-CoA dalam sitosol, yang dapat digunakan untuk sintesis kolesterol dalam sel (Nissen dan Abumrand 1997). Dalam semua sel, kolesterol diperlukan untuk sintesis membran sel baru serta perbaikan membran yang rusak dalam memelihara fungsi sel yang tepat dan pertumbuhan (Chen 1984; Dabrowski et al. 1980). Sel tertentu, seperti sel otot, membutuhkan sintesis de novo dari kolesterol untuk fungsi kolesterol sel. Oleh karena itu, selama periode stres yang meningkat pada sel-sel, seperti terjadi dalam otot selama latihan yang keras, permintaan untuk kolesterol untuk pertumbuhan atau perbaikan membran selular mungkin melebihi apa yang dapat dilakukan melalui produksi endogen yang normal dari tersedianya HMG-CoA seluler (Nissen 2007).

Perubahan Konsentrasi Asam Amino Selama Latihan Kekuatan

(37)

untuk penyediaan energi / oksidasi atau substrat saat glukoneogenesis. Latihan telah terbukti menyebabkan perubahan di kedua konsentrasi asam amino bebas di samping perubahan metabolisme protein (Blomstrand 1996). Latihan aerobik telah terbukti bertanggung jawab untuk perubahan dalam konsentrasi asam amino serta keseluruhan perubahan dalam sintesis protein (Sheffield et al. 2004). Selanjutnya, olahraga kekuatan dapat merangsang perubahan besar dalam konsentrasi asam amino dan sintesis protein, mengakibatkan perubahan secara keseluruhan hipertropi otot (Rasmussen and Phillips 2003). Selain itu, penelitian lain juga melaporkan peningkatan dalam tingkat sintesis protein pada perenang terlatih setelah dikombinasikan dengan latihan kekuatan dan latihan daya tahan (Tipton et al. 1996). Keseluruhan peningkatan hipertrofi otot adalah hasil sebuah kondisi di mana tingkat sintesis protein otot lebih tinggi dari nilai pemecahan protein otot. Perubahan hipertrofi otot dilaporkan menjadi proses yang lambat, sebagian besar karena hubungan antara sintesis protein dan pemecahan (Phillips et al. 2002).

Latihan kekuatan dikaitkan dengan peningkatan sintesis protein otot setelah latihan (Phillips et al. 1997). MacDougall et al. (1995) melaporkan bahwa penggunaan latihan kekuatan pada subyek terlatih akan menyebabkan peningkatan cepat (dalam 2-4 jam) dalam sintesis protein dan peningkatan ini berlangsung selama 24-36 jam. Phillips et al. (1997) melakukan penelitian serupa pada subjek tidak terlatih dilaporkan bahwa sintesis protein tetap meningkat secara signifikan sebesar 34% setelah 48 jam. Menurut (Kerksick dan Leutholtz 2005) latihan yang akut dan panjang dapat meningkatan sintesis protein yang dihasilkan setelah latihan kekuatan terus-menerus. Hal tersebut sangat penting untuk orang-orang yang sangat terlatih dan untuk tetap memaksimalkan lingkungan anabolik di dalam tubuh mereka untuk pertumbuhan otot, dan juga untuk individu yang lebih tua atau kurang aktif yang hanya melakukan latihan kekuatan beberapa hari per minggu untuk mencegah atrofi otot dan penurunan yang terkait dalam fungsi otot. Latihan kekuatan menyebabkan peningkatan sintesis protein otot baik latihan akut maupun latihan yang lama, studi terbaru dan peningkatan teknik yang lebih jelas menentukan komponen protein otot rangka yang bertanggung jawab atas peningkatan hipertropi otot (Willoughby et al. 2003). Para peneliti belum mampu menentukan komponen protein otot rangka yaitu sarkoplasma, mitokondria, miofilamen (aktin dan miosin) yang paling bertanggung jawab atas peningkatan dalam sintesis protein. Dengan mempertimbangkan peran aktin dan miosin dengan proses kontraktil dan merupakan komposisi besar dalam otot rangka masuk akal bahwa pertumbuhannya sangat bertanggung jawab atas perubahan hipertrofi otot dan kekuatan yang menghasilkan kemampuan otot sebagaimana telah dilaporkan dalam hal transportasi asam amino di seluruh otot (Wagenmakers 1999). Studi yang dilakukan Hasten et al. (2000) melaporkan bahwa hipertrofi dan perubahan dalam kekuatan sebagian besar disebabkan perubahan dalam miosin dan aktin sebagai akibat dari latihan kekuatan.

(38)

Waktu Pemberian Protein

Terpenuhinya jumlah protein yang cukup setiap hari adalah sesuatu yang mendasar dan penting, namun atlet tidak boleh berlebihan walaupun melihat pentingnya waktu asupan protein sepanjang hari, terutama setelah latihan. Konsumsi protein dan karbohidrat asupan segera setelah latihan memberikan manfaat. Karbohidrat merangsang pelepasan insulin, yang diketahui mempengaruhi penyerapan asam amino ke dalam otot sehingga kehadiran karbohidrat juga memiliki efek yang menguntungkan (Dunford 2008). White et al. (2008) dalam penelitiannya bahwa minuman yang mengandung protein yang diberikan sebelum atau sesudah latihan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan kerusakan otot namun ada kecenderungan protein yang diberikan sesudah latihan memberikan pengaruh terhadap penurunan kerusakan otot yang lebih besar.

Efek akut dari latihan adalah menempatkan tubuh ke dalam keadaan katabolik, pemecahan jaringan tertentu untuk menyediakan energi untuk mempertahankan latihan. Sebagai contoh, pemecahan glikogen otot untuk memberikan glukosa, lemak yang tersimpan dipecah untuk memobilisasi asam lemak, dan pemecahan protein otot untuk memberikan asam amino yang dapat digunakan sebagai energi (misalnya, leusin). Sebuah strategi penting pemulihan untuk atlet adalah untuk membalikkan keadaan katabolik, dan menempatkan tubuh dalam kondisi untuk pemulihan energi dan hormonal dan pertumbuhan jaringan jangka panjang.

Satu sampai dua jam pertama setelah latihan ini disebut sebagai "jendela anabolic", periode waktu tersebut penting untuk membalikkan kondisi katabolik untuk mendorong keadaan hormonal dan gizi untuk penggantian menyimpan energi dan sintesis protein bukan pemecahan. Segera setelah latihan yang yang paling penting untuk memulai penggantian glikogen yang optimal juga untuk pemulihan protein. Kondisi seperti ini membutuhkan asupan gizi yang tepat (Dunford 2008).

Stres Oksidatif Setelah Latihan Kekuatan

Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan kapasitas antioksidan di dalam sel (Powers et al. 2004). Latihan olahraga berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan menyebabkan gangguan keseimbangan homeostatis prooksidan-oksidan intraseluler. Peningkatan konsumsi oksigen pada saat olahraga dapat mencapai 10-15 kali dari kondisi istirahat, sehingga mengakibatkan pembentukan stres oksidatif yang berperan dalam menghasilkan peroksida lipid (Clarkson 1995). Radikal bebas atau reactive Oxygen Species (ROS) adalah molekul atau atom atau senyawa yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital sebelah luar. Zat ini sangat reaktif untuk menangkap elektron dari molekul orbitnya sendiri (Mark et al, 2000). Beberapa oksigen yang mengandung radikal adalah anion superoksida (O2), radikal hidroksil (OHº), hidroperoksil (HO2-), alkosil (LOº) atau ROº,

peroksil (LO2º) atau RO2º. Sedangkan nitrogen yang mengandung radikal

misalnya : nitrit oksida (NOº), nitrogen dioksida (NO2º) (Gropper et al. 2009).

(39)

sehingga mempunyai kecenderungan menarik elektron dari molekul lain dan menyebabkan molekul sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel (Utari 2011).

Radikal bebas memainkan peran penting sebagai mediator di dalam kerusakan otot rangka dan peradangan setelah latihan berat. Radikal bebas meningkat selama latihan sebagai akibat dari peningkatan konsumsi oksigen di dalam mitokondria dan fluks transportasi elektron, yang mendorong peroksidasi lipid (Dekkers 1996). Aldehida, terutama MDA, sering digunakan sebagai penanda stres oksidatif dalam respon setelah olahraga. Latihan kekuatan seperti latihan eksentrik dikenal sebagai penyebab peradangan otot, telah dihipotesiskan berkontribusi terhadap peningkatan peroksidasi lipid karena reaksi makrofag dalam jaringan (Urso dan Clarkson 2003). Maughan et al. (1989) menemukan peningkatan MDA 6 jam setelah downhill running, dengan kembali ke tingkat awal pada 72 jam setelah latihan. Subyek juga mengalami peningkatan dalam penanda kerusakan otot, (yaitu CK, laktat dehidrogenase (LDH) ) mengalami peningkatan terbesar dalam konsentrasi MDA serum. Menurut Poljsak (2011) penurunan stres oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen, atau (3) penurunan produksi stres oksidatif dengan cara menstabikan dan mengefisienkan produksi energi mitokondria.

Antioksidan

Perubahan dalam aktivitas enzim antioksidan dalam eritrosit telah digunakan untuk melihat stres oksidatif. Enzim yang paling umum diperiksa setelah stres latihan adalah superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase yang merupakan antioksidan endogenous. Fungsi SOD dalam sel sebagai antioksidan enzimatik salah satu dasar pertahanan terhadap radikal superoksida (Powers dan Lennon 1999). Peningkatan aktivitas enzim SOD sesuai dengan peningkatkan ketahanan terhadap stres oksidatif (Fielding dan Meydani 1997).

Agen pereduksi atau antioksidan adalah kebalikan dari oksidasi dengan memberi ion hidrogen atau elektron sehingga suatu senyawa tidak lagi bersifat radikal. Senyawa ini dapat menghambat, menghentikan atau mencegah oksidasi dengan cara membersihkan oksidasi (scavenger) atau dengan memperbaiki kerusakan sel yang disebabkan karena radikal bebas (Gropper et al. 2009). Menurut Utari (2011) Antioksidan dapat berasal dari tubuh (endogenous) dan dari luar tubuh (eksogenous). Antioksidan endogenous berupa enzim (sering disebut antioksidan enzimatik) yang dapat mencegah radikal bebas pada tahap inisiasi dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang kurang reaktif.

Menurut Rimbach et al. (2007) menyebutkan bahwa isoflavon berperan sebagai antioksidan melalui mekanisme penghambat oksidasi LDL, menstimulasi aktivitas enzim antioksidan (SOD dan katalase) serta induksi sintesa glutation. Sedangkan antioksidan non enzimatik berperan untuk menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi (pada phase propogasi). Contoh antioksidan ini adalah: vitamin E, Vitamin C, flavonoid termasuk isoflavon, beta karoten.

(40)

membersihkan radikal peroksil dan karena itu dapat mencegah kerusakan otot. Enzim antioksidan endogen juga memainkan peran dalam protektif pada proses peroksidasi lipid. Penelitian pada hewan pengerat dan manusia menunjukkan peningkatan yang signifikan dari malondialdehid (sebuah produk dari peroksidasi lipid) setelah latihan (Dekkers 1996). Menurut Utari (2011) Tempe kaya akan isoflavon dan kadarnya dapat dipertahankan jika tempe diolah dengan pengukusan. Pemberian tempe sebanyak 160 gram setiap hari selama 4 minggu dapat meningkatkan aktivitas superoksida dismutase (SOD) sebesar 56,9% dan menurunkan malondialdehyde (MDA) sebesar 10,4% .

Superoksida dismutase (SOD) adalah pertahanan primer terhadap stres oksidatif karena SOD yang akan mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Superoksida adalah inisiator reaksi berantai

yang kuat (Marks et al. 2000). Berdasarkan ikatannya dengan SOD, maka SOD dapat digolongkan menjadi 3 yaitu Cu/Zn-SOD, Fe-SOD dan MN-SOD (Marks et al. 2000). Cu/Zn-SOD terdapat sitosol serta kloroplas tanaman dan kemungkinan di luar sel, Mn-SOD dalam mitokondria, sedangkan Fe-SOD sering tidak terdeteksi karena umumnya Fe berikatan dengan enzim katalase atau dalam kloroplas. Aktivitas SOD terdeteksi dalam beberapa jenis pangan nabati seperti semangka dan tempe. Aktivitas SOD akan meningkat jika dalam diet seseorang terkandung cukup mineral Zn, Mn dan Cu. (Davis et al. 2000). Di dalam tubuh, SOD dapat diditeksi lewat jumlah dan aktivitasnya. Semakin tinggi aktivitas enzim tersebut, akan semakin rendah produk oksidasi lipid yang terjadi (Winarsi 2004).

Potensi Tempe Dalam Pemulihan Kerusakan Otot

Tempe adalah produk fermentasi dari kacang kedelai (Glycine max) atau kacang-kacangan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kapang Rhizopus sp. Proses fermentasi menyebabkan sejumlah protein, lemak dan karbohidrat mengalami degradasi menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana dan lebih mudah dicerna daripada bahan asalnya yaitu kedelai, selain itu proses fermentasi dapat menghilangkan atau mengurangi bau langu (beany flavor) kedelai yang disebabkan oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase yang tidak disukai (Anwar, Sulaeman & Kustiyah 1994).

Pada proses fermentasi tempe, terjadi pencernaan enzimatik pada protein, lemak dan karbohidrat. Peristiwa ini terjadi karena pada pertumbuhan kapang memerlukan energi yang diperoleh melalui pemecahan protein, lemak dan karbohidrat dengan bantuan enzim yang diproduksinya selama masa inkubasi. Enzim-enzim tersebut adalah enzim protease, lipase, amilase dan fitase.

Gambar

Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 g bahan kering               dan 100 g dalam bahan yang dapat dimakan (BDD)
Gambar 1 Nilai rerata tingkat kesukaan minuman tempe (skala1-9)
Gambar 2. Presentase penerimaan berdasarkan pada banyaknya panelis yang Persentase penerimaan panelis terhadap minuman tempe dapat dilihat pada memberikan skor antara 5 dan 9 terhadap jumlah keseluruhan panelis
Tabel 3 Kandungan asam amino pada minuman tempe terpilih dan whey per  takaran saji
+4

Referensi

Dokumen terkait