PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN DARI 7 JULI 2008 SAMPAI 7 JULI 2010
Oleh:
TINTON BASTANTA 070100133
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN DARI 7 JULI 2008 SAMPAI 7 JULI 2010
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh:
TINTON BASTANTA 070100133
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP. H. Adam Malik Medan dari 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010
Nama : Tinton Bastanta NIM : 070100133
Pembimbing Penguji I
(dr. Aryani Atiyatul Amra, Sp.M) (dr. Nurfida Khairina Arrasyid, M.Kes) NIP : 196405021992032003 NIP: 197008191999032001
Penguji II
(dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK) NIP: 196303201989022001
Medan, Desember 2010 Universitas Sumatera Utara
Fakultas Kedokteran Dekan
ABSTRAK
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama. Data dari beberapa penelitian tahun 1997-2003 menunjukkan prevalensi dari kelainan refraksi berkisar antara 1 – 7 % pada umur 5 – 15 tahun.
Penelitian ini bertujuan menentukan prevalensi kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik Medan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan refraksi, jenis kelamin, dan kelompok umur. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik penderita kelainan refraksi selama periode 7 Juli 2008 – 7 Juli 2010, dan sampel diambil dengan metode total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Data yang diperoleh dari data sekunder diolah dengan SPSS dan dituangkan dalam tabel distribusi.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi penderita kelainan refraksi 6,19% yaitu 283 pasien, dengan persentase terbanyak terdapat pada miopia 70.31% yaitu 199 orang, pada jenis kelamin perempuan 58,30% yaitu 165 penderita, dan pada kelompok umur 45 tahun – 64 tahun dengan jumlah 97 pasien (34,28%).
ABSTRACT
Result Eyes Morbidity and Blindness survey in Indonesia executed by Department of Health RI work along with the Gathering of Indonesia Ophthalmologist in the year 1982, indicated that refractive error was the top most sequence from 10 especial eye diseases. Data from some researches 1997-2003 showed that the range of refractive error prevalence was from 1 - 7 % at age 5 - 15 yeasr.
The purpose of this study is to know the prevalence of refractive error in Medan H Adam Malik Hospital. The specific purpose of this study is to know the prevalence of refractive error according to kind of refractive error, gender, and group of age. This research is descriptive with the approach of cross sectional. The population is the entire medical record data of refractive error patients during 7th July 2008 – 7th July 2010, and the sample was taken with a total sampling method where the whole population is considered as the sample. All the collected data were calculated with SPSS and presented in distribution tables.
The result of this study shows that the refractive error is 6,19% which is 283 persons, and the highest prevalence is found in myopia which is 55.1% (27 persons), in females which is 58,30% (165 persons), and in persons aged 45 -64 years which is 34,28% (97 persons).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
dengan judul “Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam
Malik Medan dari 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010”. Penulisan skripsi ini ditujukan
sebagai tugas akhir dalam pemenuhan persayaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis mengakui adanya kekurangan dalam tulisan ini sehingga laporan hasil
penelitian ini tidak mungkin disebut sebagai suatu karya yang sempurna.
Kekurangan dan ketidak sempurnaan tulisan ini tidak lepas dari berbagai macam
rintangan dan halangan yang selalu datang baik secara pribadi pada penulis
maupun dalam masalah teknis pengerjaan. Penulis rasakan semua itu sebagai
suatu ujian dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan penulis yang
kelak dapat member manfaat di kemudian hari.
Oleh karena kekurangan pada diri penulis dalam merampungkan karya tulis ini,
maka semua itu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran
USU Medan.
2. Ibu dr. Aryani Atiyatul Amra, Sp.M, sebagai dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan masukkan kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan
4. Seluruh pegawai dan staf bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik
Medan yang telah membantu saya dalam pengumpulan data karya tulis
ilmiah ini.
5. Seluruh pegawai dan staf pengajar bagian IKK Fakultas Kedokteran USU
yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.
6. Terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya, Samin dan
Berliana Silalahi, yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam
menyelesaikan studi saya termasuk dalam penyelesaian karya tulis ilmiah
ini.
7. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Kedokteran USU, khususnya
Michael Wijaya, Finera Winda, Axel Ivander, dan Shanthi Levanita yang
telah mendukung dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan
terima kasih atas kerja samanya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat saya tuliskan yang telah memberikan bantuan kepada saya dalam
pengerjaan karya tulis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa selalu membalas
semua kebaikan yang selama ini di berikan kepada penulis dan melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua.
Medan, November 2010
Peneliti
Tinton Bastanta
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan... i
Abstrak... ii
Abstract... iii
Kata Pengantar... iv
Daftar Isi... vi
Daftar Tabel... viii
Daftar Gambar... ix
Daftar Lampiran... x
Bab 1 Pendahuluan... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Rumusan Masalah... 3
1.3. Tujuan Penelitian... 3
1.3.1. Tujuan Umum... 3
1.3.2. Tujuan Khusus... 3
1.4. Manfaat Penelitian... 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka... 4
2.1. Anatomi mata... 4
2.2. Media Refraksi... 5
1.2.1. Kornea... 5
1.2.2. Aqueous Humor (Cairan Mata) ... 7
1.2.3. Lensa... 7
1.2.4. Badan Vitreous (Badan Kaca)... 9
1.2.5. Panjang Bola Mata... 9
2.3. Kalsifikasi... 9
1.3.1. Miopia... 10
1.3.2. Hipermetropia... 11
1.3.3. Astigmatisma... 13
Bab 3 Kerangka Konsep Penelitian dan Defenisi Operasional... 15
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 15
3.2. Defenisi Operasional... 15
Bab 4 Metode Penelitian... 18
4.1. Jenis Penelitian... 18
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 18
4.3. Populasi dan Sampel... 18
4.4. Teknik Pengumpulan Data... 19
4.5. Metode Analisa Data... 19
Bab 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 20
5.1. Hasil Penelitian... 20
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 20
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel. ... 21
5.1.2.1. Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi... 21
5.1.2.3. Diskripsi Sampel berdasarkan Kelompok Umur... 23
5.2. Pembahasan... 24
Bab 6 Kesimpulan dan Saran... 26
6.1. Kesimpulan... 26
6.2. Saran... ... 27
Daftar Pustaka... 28
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
5.1. Distribusi Jenis Kelainan Refraksi 21
5.2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Kelainan Refraksi 22
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Anatomi Mata 4
3.1. Kerangka Konsep Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP. H. Adam Malik Medan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Data Induk
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian
ABSTRAK
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama. Data dari beberapa penelitian tahun 1997-2003 menunjukkan prevalensi dari kelainan refraksi berkisar antara 1 – 7 % pada umur 5 – 15 tahun.
Penelitian ini bertujuan menentukan prevalensi kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik Medan. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan refraksi, jenis kelamin, dan kelompok umur. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik penderita kelainan refraksi selama periode 7 Juli 2008 – 7 Juli 2010, dan sampel diambil dengan metode total sampling dimana seluruh populasi dijadikan sampel. Data yang diperoleh dari data sekunder diolah dengan SPSS dan dituangkan dalam tabel distribusi.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi penderita kelainan refraksi 6,19% yaitu 283 pasien, dengan persentase terbanyak terdapat pada miopia 70.31% yaitu 199 orang, pada jenis kelamin perempuan 58,30% yaitu 165 penderita, dan pada kelompok umur 45 tahun – 64 tahun dengan jumlah 97 pasien (34,28%).
ABSTRACT
Result Eyes Morbidity and Blindness survey in Indonesia executed by Department of Health RI work along with the Gathering of Indonesia Ophthalmologist in the year 1982, indicated that refractive error was the top most sequence from 10 especial eye diseases. Data from some researches 1997-2003 showed that the range of refractive error prevalence was from 1 - 7 % at age 5 - 15 yeasr.
The purpose of this study is to know the prevalence of refractive error in Medan H Adam Malik Hospital. The specific purpose of this study is to know the prevalence of refractive error according to kind of refractive error, gender, and group of age. This research is descriptive with the approach of cross sectional. The population is the entire medical record data of refractive error patients during 7th July 2008 – 7th July 2010, and the sample was taken with a total sampling method where the whole population is considered as the sample. All the collected data were calculated with SPSS and presented in distribution tables.
The result of this study shows that the refractive error is 6,19% which is 283 persons, and the highest prevalence is found in myopia which is 55.1% (27 persons), in females which is 58,30% (165 persons), and in persons aged 45 -64 years which is 34,28% (97 persons).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang
sangat besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi
fungsi tersebut. Ada tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia,
astigmatisme, atau campuran kelainan-kelainan tersebut. Diantara kelainan
refraksi tresebut, miopia adalah yang paling sering dijumpai, kedua adalah
hipermetropia, dan yang ketiga adalah astigmatisma (H. Sidarta Ilyas, 2004).
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh
Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata
Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki
urutan paling atas dari 10 penyakit mata utama. (Departemen Kesehatan RI, 1983;
Hamurwono, 1984)
Dari hasil survai kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil
Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan
lbtiddaiah di seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi
rata-rata sebesar 11,8%. Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar
diperkirakan terdapat 5,8 juta orang anak yang menderita kelainan refraksi. (Biro
Pusat Statistik, 1986)
Miopia tinggi adalah salah satu penyebab kebutaan pada usia dibawah 40 tahun.
Miopia tinggi adalah myopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih. Pendarita dengan
minus di atas 6 dioptri akan menyebabkan 3-4 kali lebih besar untuk terjadinya
komplikasi pada mata. (Admin, 2009)
Dalam bidang oftalmologi tercatat bahwa miopia merupakan obyek penelitian
penting untuk kehidupan. Dalam sejarahnya kelainan miopia telah diketahui sejak
zaman Aristoteles, tetapi penelitian yang lebih mendalam dan akurat serta
sistematis baru dilakukan pada pertengahan abad 19 oleh Von Jaegger, Donders,
Von Graefe, Von Reuss dan Von Arlt. Pada permulaan pertengahan abad ke 19
sejalan dengan kemajuan di bidang oftalmologi dan optik, Schnabel &
Herrnheiser telah membuktikan bahwa miopia antara lain dapat disebabkan oleh
panjang sumbu bola mata. (H. Sidarta Ilyas, 2004)
Sementara, walaupun gambaran jumlah hipermetropi telah dipublikasikan, angka
pasti hipermetropi di dunia tidak diketahui. Hipermetropia diyakini menyerag
jutaan orang Amerika dan ratusan juta orang di seluruh dunia (Manolette R
Roque, 2008). Sementara bangsa Hispanik menunjukkan prevalensi hipermetropia
yang lebih tinggi daripada anak-anak Afrika di Amerika (masing-masing 26,9%
vs 20,8%, P <0,001). Prevalensi hipermetropia mencapai titik terrendah di sekitar
usia 24 bulan namun naik dan tetap lebih tinggi setelah usia itu. (Multi-Ethnic
Pediatric Eye Disease Study Group, 2010)
Astigmatisme idiopatik lebih sering. Secara klinis astigmatisme refraktif
ditemukan sebanyak 95% mata. Insidensi astigmatisme yang signifikan secara
klinis dilaporkan 7,5-75%, bergantung pada specific study dan defenisi derajat
astigmatisma yang signifikan secara klinis. Kira-kira 44% dari populasi umum
memiliki astigmatisme lebiih dari 0.50 D, 10% lebih dari 1.00 D, dan 8% lebih
dari 1.50 D. astigmatisme ditemukan 22% pada Down Syndrome. (David R
Hardten , 2009)
Dibandingkan dengan seluruh kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui
merupakan masalah yang paling besar karena menyangkut jumlah penderita
kelainan refraksi yang tertinggi serta menyebabkan gangguan terhadap kehidupan
serta pekerjaan sehari-hari. (H. Sidarta Ilyas, 2004)
Bagaimanakah prevalensi kelainan-kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik
Medan?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan menentukan prevalensi kelainan refraksi di RSUP H.
Adam Malik Medan dari 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan refraksi
(miopia, hipermetropia, dan astigmatisma)
2. mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelamin
3. mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan kelompok umur.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk manajemen,
pelaksana kebijakan pelayanan kesehatan di Sumatera Utara, dan para klinisi.
1. perbaikan pelayanan kesehatan mata terutama kelainan refraksi.
2. peningkatan kewaspadaan terhadap kesehatan mata terutama kelainan
refraksi
3. peningkatan pengetahuan dan kesadaran kita akan kesehatan mata
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata
Gambar 2.1. Anatomi Mata
Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa, dan vitreous. Media
refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media refraksi
menyebabkan visus turun (baik mendadak aupun perlahan) (Marieb EN & Hoehn
K, 2007).
Bagian berpigmen pada mata: uvea bagian iris, warna yang tampak tergantung
pada pigmen melanin di lapisan anterior iris (banyak pigmen = coklat, sedikit
pigmen = biru, tidak ada pigmen = merah / pada albino) (Marieb EN & Hoehn K,
2007).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan kaca), dan
panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan
benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi
atau istirahat melihat jauh (H. Sidarta Ilyas, 2004).
2.2.1. Kornea
Kornea (Latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput
mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi
bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:
1. Epitel
• Tebalnya 50 µ m, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
• Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
• Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
2. Membran Bowman
• Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.
• Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi 3. Stroma
• Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
• Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya
• Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µ m.
5. Endotel
• Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 µ m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan
zonula okluden
(H. Sidarta Ilyas, 2004).
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf V. saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Boeman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi samapai kepada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
Trauma atau panyakkit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunya daya regenerasi (H. Sidarta Ilyas, 2004).
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri
dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (H. Sidarta
Ilyas, 2004).
2.2.2. Aqueous Humor (Cairan Mata)
Aqueous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak
memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan
mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humor dibentuk dengan
kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus
lapisan koroid di sebelah anterior. Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi
kornea dan akhirnya masuk ke darah. Jika aqueous humor tidak dikeluarkan sama
cepatnya dengan pembentukannya (sebagai contoh, karena sumbatan pada saluran
keluar), kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuler (“di dalam mata”). Keadaan ini dikenal sebagai
glaukoma. Kelebihan aqueous humor akan mendorong lensa ke belakang ke
dalam vitreous humor, yang kemudian terdorong menekan lapisan saraf dalam
retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan retina dan saraf optikus yang dapat
menimbulkan kebutaan jika tidak diatasi (Lauralee Sherwood, 1996).
2.2.3. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam bola
mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan
terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang dapat
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik mata
belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa
di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus
sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga
membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling
dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa
dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di bagian luar nukleus ini
terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks
yang terletak di sebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior,
sedangkan dibelakangnya korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai
konsistensi lebih keras dibanding korteks lensa yang lebih muda. Di bagian perifer
kapsul lensa terdapat zonula Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh
ekuatornya pada badan siliar (H. Sidarta Ilyas, 2004).
Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:
• Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung
• Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,
• Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body dan berada di sumbu mata.
(H. Sidarta Ilyas, 2004).
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa:
• Tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia, • Keruh atau apa yang disebut katarak,
• Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi (H. Sidarta Ilyas, 2004).
Lensa orang dewasa dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah besar
2.2.4. Badan Vitreous (Badan Kaca)
Badan vitreous menempati daerah mata di balakang lensa. Struktur ini merupakan
gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), sedikit kolagen, dan
molekul asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Badan vitreous mengandung
sangat sedikit sel yang menyintesis kolagen dan asam hialuronat (Luiz Carlos
Junqueira, 2003). Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke
retina. Kebeningan badan vitreous disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah
dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhanbadan vitreous akan
memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi (H. Sidarta
Ilyas, 2004).
Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis
(Lauralee Sherwood, 1996).
2.2.5. Panjang Bola Mata
Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola
mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh
karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus
pada mekula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia,
hipermetropia, atau astigmatisma (H. Sidarta Ilyas, 2004).
2.3. Klasifikasi
Klasifikasi kelainan refraksi adalah:
1. Miopia
2. Hipermetropia, dan
Namun, presbiopia tidak termasuk dalam kelainan refraksi. Presbiapia merupakan
kelainan refraksi pada usia lanjut akibat perubahan fisiologis lensa yang menjadi
tidak kenyal.
2.3.1. Miopia
Defenisi. Miopia disebut sebagai rabun jauh, akibat ketidakmampuan untuk
melihat jauh, akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia adalah
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan
istirahat (tanpa akomodasi) akan dibias membentuk bayangan di depan retina
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Patofisiologi. Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang
terlalu kuat untuk panjangnya bola mata akibat :
1. Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter
antero-posterior yang lebih panjang, bola mata yang lebih panjang ) disebut
sebagai miopia aksial
2. Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu
cembung atau lensa mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut
miopia kurvatura/refraktif
3. Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes
mellitus. Kondisi ini disebut miopia indeks
4. Miopi karena perubahan posisi lensa. Misalnya: posisi lensa lebih ke
anterior, misalnya pasca operasi glaukoma
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Gejala Klinis. Gejala klinis miopia adalah sebagai berikut:
1. Gejala utamanya kabur melihat jauh
3. Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan
efek pinhole), dan selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda
pada mata
4. Suka membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan membaca dekat
masih belum diketahui dengan pasti
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Pembagian. Berdasarkan besar kelainan refraksi, miopia dibagi atas 3, yaitu:
1. Miopia ringan : -0,25 D s/d -3,00 D
2. Myopia sedang : -3,25 D s/d -6,00 D
3. Myopia berat : -6,25 D atau lebih.
Berdasarkan perjalan klinis, miopia dibagi sebagai berikut:
1. Myopia simpleks : dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah
sampai anak berhenti tumbuh ( ±20 tahun )
2. Myopia progresif/maligna : myopia bertambah secara cepat ( ± 4.0 D /
tahun ) dan sering disertai perubahan vitero-retinal
3. Ada satu tipe miopia pada anak dengan miopia 10 D atau lebih yang
tidak berubah sampai dewasa
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
2.3.2. Hipermetropia
Defenisi. Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam
keadaan istirahat (tanpa akomodasi ) akan dibias membentuk bayangan di
belakang retina (Dwi Ahmad Yani, 2008).
Patofisiologi. Ada 3 patofisiologi utama hipermetropia, yaitu:
1. Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari
normal
2. Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih
3. Hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebih rendah dari
normal
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Gejala Klinis. Gejala klinis hipermetropia adalah sebagai berikut:
1. Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih,
hipermetropia pada orang tua dimana amplitude akomodasi menurun
2. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan
kurang terang atau penerangan kurang
3. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan
mata yang lama dan membaca dekat
4. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif=eye strain) terutama
bila melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
dalam waktu yang lama, misalnya menonton TV, dll
5. Mata sensitif terhadap sinar
6. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
7. Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
oleh konvergensi yang berlebihan pula
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Pembagian. Berdasarkan besar kelainan refraksi, hipermetropia dibagi 3, yaitu:
1. Hipermetropia ringan : +0,25 s/d +3,00
2. Hipermetropia sedang : +3,25 s/d +6,00
3. Hipermetropia berat : +6,25 atau lebih
Berdasarkan kemampuan akomodasi, hipermetropia sebagai berikut:
1. Hipermetropia laten: kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi
dengan tonus otot siliaris secara fisiologis, di mana akomodasi masih
aktif
a. Hipermetropia manifes fakultatif : kelainan hipermetropik yang
dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya atau dengan lensa
sferis positif
b. Hipermetropia manifes absolut : kelainan hipermetropik yang
tidak dapat dikoreksi dengan akomodasi sekuatnya
3. Hipermetropia total: Hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan sikloplegia
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
2.3.3. Astigmatisme
Defenisi. Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan
garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi
lebih dari satu titik (Dwi Ahmad Yani, 2008).
Patofisiologi. Patofisiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut :
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
4. Trauma pada kornea
5. Tumor
(Dwi Ahmad Yani, 2008).
Gejala Klinis. Astigmatisma mempunyai gejala klinis sebagai berikut:
1. Pengelihatan kabur atau terjadi distorsi
2. Pengelihatan mendua atau berbayang - bayang
3. Nyeri kepala
4. Nyeri pada mata
Pembagian. Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua
bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada
salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari pada bidang
yang lain.
a. Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat
dari pada bidang horizontal.
b. Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih
kuat dari pada bidang vertikal.
2. Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
2. Astigmatisme Miopia Kompositus
3. Astigmatisme Hiperopia Simpleks
4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus
5. Astigmatisme Mixtus
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan
3.2. Defenisi Operasional
1. Jenis kelainan refraksi
Defenisi
operasional
: Kelainan refraksi responden saat didiagnosa dan dicatat
dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Alat ukur : Alat pengumpul data
Hasil ukur : Miopia, hipermetropia dan astigmatisma
Skala
pengukuran
: Nominal
2. Jenis kelamin
- Jenis kelainan refraksi
- Jenis Kelamin
- Kelompok Umur
Defenisi
operasional
: Jenis kelamin responden yang didiagnosa menderita
kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUP
H. Adam Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Laki-laki dan perempuan
Skala
pengukuran
: Nominal
3. Kelompok Umur
Defenisi
operasional
: Umur responden saat didiagnosa menderita kelainan
refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUP H. Adam
Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Hasil Ukur : Usia dalam tahun
Skala
pengukuran
4. Prevalensi kelainan refraksi
Defenisi
operasional
: Angka kejadian kelainan refraksi yang didiagnosa dan
dicatat dalam rekam medik per populasi yang beresiko di
poliklinik mata RSUP H. Adam Malik Medan dari 7 Juli
2008 sampai 7 Juli 2010
Cara ukur : Dalam Rumus
( )
Alat ukur : Alat pengumpul data
Hasil ukur : Persentase
Skala
pengukuran
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini
[image:32.595.122.503.285.369.2]adalah sebagai berikut.
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan
3.2. Defenisi Operasional
1. Jenis kelainan refraksi
Defenisi
operasional
: Kelainan refraksi responden saat didiagnosa dan dicatat
dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Alat ukur : Alat pengumpul data
Hasil ukur : Miopia, hipermetropia dan astigmatisma
Skala
pengukuran
: Nominal
2. Jenis kelamin
- Jenis kelainan refraksi
- Jenis Kelamin
- Kelompok Umur
Defenisi
operasional
: Jenis kelamin responden yang didiagnosa menderita
kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUP
H. Adam Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Laki-laki dan perempuan
Skala
pengukuran
: Nominal
3. Kelompok Umur
Defenisi
operasional
: Umur responden saat didiagnosa menderita kelainan
refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUP H. Adam
Malik Medan
Cara ukur : Rekam medik
Hasil Ukur : Usia dalam tahun
Skala
pengukuran
4. Prevalensi kelainan refraksi
Defenisi
operasional
: Angka kejadian kelainan refraksi yang didiagnosa dan
dicatat dalam rekam medik per populasi yang beresiko di
poliklinik mata RSUP H. Adam Malik Medan dari 7 Juli
2008 sampai 7 Juli 2010
Cara ukur : Dalam Rumus
( )
Alat ukur : Alat pengumpul data
Hasil ukur : Persentase
Skala
pengukuran
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif retrospektif dengan desain
cross sectional. Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana
pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan
dengan melihat data rekam medik penderita kelainan refraksi yang tercatat selama
periode 7 Juli 2008 samapai 7 Juli 2010.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2010 di poliklinik mata RSUP H. Adam
Malik Medan. Pemilihan tempat penelitian ini dimaksudkan karena RSUP H.
Adam Malik Medan adalah salah satu rumah sakit rujukan untuk wilayah
pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik di poliklinik mata RSUP H.
Adam Malik Medan selama periode 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010.
Sampel penelitian diambil dengan metoda total sampling dimana seluruh populasi
adalah subyek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian yang
diambil dengan metode total sampling, dimana seluruh populasi dijadikan sampel.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah semua pesien poliklinik mata RSUP H.
Adam Malik Medan yang tercatat dalam rekam medik.
Pengumpulan data dimulai dengan membawa surat pengantar dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara ke poliklinik mata, direktur RSUP H.
Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
sekunder yang diperoleh dari pencatatan pada rekam medis pasien poliklinik mata
RSUP H. Adam Malik Medan.
4.5. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh akan dideskripsikan dan dianalisis menggunakan program
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan
Bunga Lau 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan.
Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes
No. 355/Menkes/SK/VII/1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP H.
Adam Malik Medan telah meiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan
tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga
merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi
Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien
dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, RSUP H.
Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
RSUP H. Adam Malik Medan memiliki 1.995 orang tenaga yang terdiri 790 orang
tenaga medis dari berbagai spesialisasi dan sub spesialisasi, 604 orang paramedik
perawatan, 298 orang paramedik non perawatan dan 263 tenaga non medis serta
ditambah dengan Dokter Brgade Siaga Bencana (BSB) sebanyak 8 orang.
RSUP H. Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari
pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat
darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi
diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi
medik. Kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi
gizi,farmasi, Central Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik,
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non
Bagian rekam medis terletak di lantai dasar tepat dibelakang poliklini Obstetri
Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Sampel yang diteliti selama priode 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 sebanyak 4.571
pasien. Sampel didapat dari data sekunder pasien kelainan refraksi yaitu melalui
rekam medik. Kelainan refraksi yang dimaksud adalah miopia, hipermetropia dan
astigmatisma.
5.1.2.1. Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi
Berdasarkan penelitian, diperoleh jenis kelainan refraksi yang paling banyak
adalah miopia dimana terdapat 199 pasien (70,31%), kemudian diikuti dengan
hipermetropia dengan jumlah 62 pasien (21,91%), dan yang paling sedikit
astigmatisma dengan jumlah 22 pasien (7,77%). Hal ini dapat dilihat pada tabel
[image:38.595.108.513.443.550.2]5.1. di bawah.
Tabel 5.1. Distribusi Jenis Kelainan Refraksi
No. Jenis Kelainan Refraksi Jumlah Persentase (%)
1 Miopia 199 70.31
2 Hipermetropia 62 21,91
3 Astigmatisma 22 7,77
5.1.2.2. Diskripsi Sampel berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian, jenis kelamin pasien kelainan refraksi yang paling banyak
adalah perempuan yaitu sebanyak 165 (58,30%) pasien dan laki-laki sebanyak 118
[image:39.595.103.512.216.301.2](41,70%) pasien. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.2. di bawah.
Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Kelainan Refraksi
No. Jenis Kelainan Refraksi Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 118 41,70
2 Perempuan 165 58,30
5.1.2.3. Diskripsi Sampel berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan penelitian, diperoleh data penderita kelainan refraksi yang paling
banyak adalah kelompok berumur 45 tahun – 64 tahun dimana terdapat 97 pasien
(34,28%), kemudian diikuti dengan kelompok usia 15 tahun – 24 tahun sebanyak
47 pasien (16,61%), kelompok usia 5 tahun – 14 tahun sebanyak 42 pasien
(14,84%), kelompok umur 65 tahun ke atas sebanyak 38 pasien (13,43%),
kelompok umur 35 tahun – 44 tahun sebanyak 36 pasien (12,72%), dan yang
paling sedikit di jumpai pada kelompok 25 tahun – 34 tahun sebanyak 23 pasien
[image:40.595.113.514.319.551.2](8,13%) pasien. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.3. di bawah.
Tabel 5.3. Distribusi Kelompok Umur Pasien Kelainan Refraksi
No. Umur Jumlah Persentase (%)
1 0 hari – 28 hari 0 0
2 28 hari – 1 tahun 0 0
3 1 tahun – 4 tahun 0 0
4 5 tahun – 14 tahun 42 14,84
5 15 tahun – 24 tahun 47 16,61
6 25 tahun – 34 tahun 23 8,13
7 35 tahun – 44 tahun 36 12,72
8 45 tahun – 64 tahun 97 34,28
9 65 tahun + 38 13,43
5.2. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dari kelainan refraksi secara
umum dan mengetahui prevalensi kelainan refraksi berdasarkan jenis kelainan
refraksi, jenis kelamin, dan kelompok umur pasien di Poliklinik Mata RSUP H.
Adam Malik Medan pada periode 7 Juli 2008 – 7 Juli 2010.
Pada tabel 5.1., terlihat bahwa penderita terbanyak adalah miopia sebanyak 199
pasien atau 4,35% dari seluruh pasien poliklinik mata. Menurut hasil penelitian
Agus Supartoto (2007), prevalensi miopia pada anak usia SD di DI Yokyakarta
adalah 8,29%, dengan prevalensi di kota dan di desa masing-masing 9,49% dan
6,87%. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan hasil penelitian
Agus Supartoto (2007).
Pada tabel 5.1., terlihat bahwa penderita hipermetropia sebanyak 62 atau 1,36%
dari seluruh pasien poliklinik mata. Menurut data Infocus Center for Primary Eye
Care Development (2008), prevalensi hipermetropia di Amerika, Eropa Barat,
dan Australia untuk kelompok umur 40 tahun ke atas adalah 9.9%, 11.6%, dan
5.5%. Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan data Infocus Center
for Primary Eye Care Development (2008).
Pada tabel 5.1., terlihat bahwa penderita astigmatisma sebanyak 22 atau 0,48%
dari seluruh pasien poliklinik mata. Menurut David R. Hardten (2009), secara
klinis astigmatisme refraktif ditemukan sebanyak 95% mata. Prevalensi
astigmatisme yang signifikan secara klinis dilaporkan 7,5-75%, bergantung pada
specific study dan defenisi derajat astigmatisma yang signifikan secara klinis.
Hasil yang didapatkan oleh peneliti tidak sama dengan hasil penelitian David R.
Hardten (2009).
Pada tabel 5.2., terlihat bahwa pasien kelainan refraksi terbanyak adalah
perempuan yaitu sebanyak 165 pasien atau 3,61% dari seluruh pasien poliklinik
mata, sedangkan laki-laki sebanyak 118 pasien atau 2,58% dari seluruh pasien
poliklinik mata. Menurut penelitian David Dunaway (2009), kelainan refraksi
sedikit lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini
Pada tabel 5.3., terlihat bahwa pasien kelainan refraksi terbanyak berada pada
kelompok umur 45 tahun – 64 tahun yaitu sebanyak 97 pasien atau 2,12%.
Menurut David Dunaway (2009) prevalensi miopia terus menungkat setidaknya
sampai masa remaja. Prevalensi miopia 1 % pada umur 5 tahun, 8% pada umur 10
tahun, dan 15% pada umur 15 tahun. Menurut David Dunaway (2009),
hipermetropia lazimnya muncul pada bayi, kecuali bayi prematur. Hipermetropia
berkurang besarnya hingga usia 4 tahun. Kemudian prevalensi hipermetropia
4%-7% pada usia 5 – 20 tahun, kemudian menetap hingga dewasa muda, selanjutnya
akan bertambah pada populasi usia 45 tahun atau lebih. Mecias at al melaporkan
astigmatisma sebagai salah satu komponen kelainan refraksi yang mengakibatkan
gangguan penglihatan prevalensinya bertambah dengan bertambahnya usia. Hasil
yang didapatkan oleh peneliti tidak memiliki persamaan dengan laporan Mecias at
al dan David Dunaway (2009) tentang miopia, akan tetapi terdapat kesamaan
dengan hasil penelitian David Dunaway (2009) tentang hipermetropia, dimana
penderita penderita kelainan refraksi paling banyak pada kelompok umur 45 tahun
atau lebih.
Dari tabel 5.1., 5.2. dan 5.3., jumlah seluruh pasien kelainan refraksi di Poliklinik
Mata RSUP H. Adam Malik Medan adalah sebanyak 283 pasien atau 6,19% dari
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Jenis kelainan refraksi pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah
miopia sebanyak 199 pasien atau 4,35% dari dari seluruh pasien poliklinik
mata.
2. Jenis kelamin pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah
perempuan sebanyak 165 pasien atau 3,61% dari dari seluruh pasien
poliklinik mata.
3. Kelompok umur pada pasien kelainan refraksi paling banyak adalah 45
tahun – 64 tahun sebanyak 97 pasien atau 2,12% dari dari seluruh pasien
poliklinik mata.
4. Prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik
Medan pada periode 7 Juli 2008 – 7 Juli 2010 adalah 6,19%, yaitu 283
6.2. Saran
Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Menurut penelitian ini, kelompok usia yang paling banyak menderita
adalah kelompok usia 45 tahun – 64 tahun, untuk itu orang dewasa dan
orang tua dengan usia mendekati kelompok usia tersebut disarankan agar
melakukan pemeriksaan pada matanya.
2. Bagi pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti pihak RSUP H.
Adam Malik Medan, disarankan untuk meningkatkan kualitas pencatatan
rekam medis agar pihak peneliti selanjutnya dapat menggunakan rekam
medis secara optimal.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya sampel yang diambil lebih banyak
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2009. Minus Tinggi dan Komplikasi Mata. Masbuchin. Available from:
5 April 2010].
Agus Supartoto.2007. Lama di Depan Komputer Bisa akibatkan Miopia. Fakultas
Kedokteran UGM. Available from:
2010]
Biro Pusat Statistik. 1986. Survai Kesehatan Anak di Daerah DKI Jakarta.
Kanwil Depkes DKI & PERDAMI Cabang DKI.
David R Hardten. 2009. Astigmatism, Lasik. University of Minnesota. Available
from:
2010]
Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. 1983. Survai Morbiditas Mata dan
Kebutaan di Indonesia. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen
Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan.
Dwi Ahmad Yani. 2008. Kelainan Refraksi Dan Kacamata. Surabaya: Surabaya
Eye Clinic,17 (5).
Hamurwono,Guntur Bambang. 1984. Buku Pedoman Kesehatan Mata dan
Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Upaya
Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan.
Ilyas, H. Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata. ed. ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Junqueira, Luiz Carlos. 2007. Histologi dasar: teks dan atlas. ed. ke-10. Jakarta:
EGC.
Manolette R Roque. 2008. Ocular Immunology and Uveitis, Refractive Surgery.
Harvard Medical School. Available from:
Marieb EN & Hoehn K. 2007. Human Anatomy and Physiology. ed ke-7. San
Francisco: Pearson.
Multi-Ethnic Pediatric Eye Disease Study Group. 2010. Prevalence of Myopia and
Hyperopia in 6- to 72-Month-Old African American and Hispanic Children.
Dalam: Multi-Ethnic Pediatric Eye Disease Study Group. 2010. Ophthalmology.
Elsevier, New York.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. ed. ke-2.
Jakarta: EGC.
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Tinton Bastanta
Tempat/Tanggal Lahi : Pancur Batu, 4 Nopember 1988
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jln. Jamin Ginting Km 21,3 Deli Serdang 20353
Nomor Telepon : +6281396800872
Orang Tua : Samin Gurusinga
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri No. 101816 Pancur Batu (1995-2001)
2. SMP Negeri 2 Pancur Batu (2001-2004)