TESIS
Oleh
JULIANA ROSALI HARAHAP
107011018/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
JULIANA ROSALI HARAHAP
107011018/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA
2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Nama : JULIANA ROSALI HARAHAP
Nim : 107011018
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISA HUKUM PENETAPAN AHLI WARIS
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 1229/PDT.G/2010/PA/MDN)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
manusia. Dengan adanya harta maka kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi. Harta kekayaan dapat membuat orang bahagia atau malah membuat orang menderita. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta, terutama harta warisan. Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah mengenai cara/proses mendapatkan penetapan ahli waris, lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan ahli waris, serta alasan-alasan yang menyebabkan Hakim Pengadilan Agama menolak membatalkan penetapan ahli waris.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat para ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.
Surat keterangan waris merupakan surat yang isinya menerangkan tentang kedudukan ahli waris dan hubungannya dengan pewaris. Dengan adanya surat keterangan waris tersebut ahli waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta peninggalan pewaris. Terkait dengan penetapan ahli waris, maka prosedur yang harus ditempuh ialah mengajukan surat permohonan Penetapan Ahli Waris ke Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama selain Islam, maka surat permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri. Lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan/surat keterangan ahli waris ialah : pengadilan negeri, pengadilan agama, notaris, balai harta peninggalan, serta kelurahan/kecamatan.
people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.
The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.
Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga
dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum
Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No.
1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring
salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam,
sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.
Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu,
membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan
rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M.
Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan
Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang
sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar
dibangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
8. Guru-guru penulis, dari TK, SD hingga SMA yang dengan sabar mendidik dan
mengajar penulis agar menjadi anak yang pintar, berguna bagi nusa dan bangsa.
9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2010 yang telah
memberikan warna pada penulis, dalam menjalani hari-hari di Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Terkhusus untuk sahabat-sahabat ku, Dyna Filisia, SH, M.Kn., Masyithah, SH,
dan Rima Paramita Sita, SH yang telah banyak memberikan dukungan, dan
bantuan, yang telah mengisi hari-hari dan memberikan warna dalam hidup
penulis, yang selalu memberi keceriaan dan kebahagiaan yang tak terhingga.
Terima kasih banyak.
Khusus kepada kedua orang tua penulis, Ali Sutan Harahap, SE dan Hj.
Rosmiah Nasution, Apt. Merekalah yang telah membesarkan dan mendidik penulis
agar mampu menjalani hidup dengan berani, bijaksana, jujur, dan peduli terhadap
sesama. Serta senantiasa mengajarkan Ilmu Padi; Makin Berisi, Makin Merunduk
pada penulis. Mereka memiliki peran sangat penting dan tak terhingga, rasanya
ucapan terimakasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud
penghargaan penulis. Kepada kedua adik ku tersayang, Ismail Sati Alom Hrp dan
sayang.
Penulis menyadari, bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Masih
banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi isi dan cara penyajiannya. Hal ini
disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Seperti
kata pepatah “Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”.Untuk itu dengan
kerendahan hati dan tangan terbuka, penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan kesempurnaan isi dari tesis ini.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkannya.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Medan, Desember 2012
Penulis,
1. Nama : Juliana Rosali Harahap 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 1 Juli 1987 3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jl. Harapan Pasti no.67, Medan 7. No. Handphone : 0813-62-106-107
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Ali Sutan Harahap, SE
2. Nama Ibu : Dra. Hj. Rosmiah Nasution, Apt (almh) 3. Nama Adik : Ismail Sati Alom Harahap
Ade Ayu Lanniari Harahap
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD Al-azhar Medan
Tahun 1993-1999
2. SMP : SMP Al-azhar Medan
Tahun 1999-2002
3. SMA : SMA Negeri 17 Medan
Tahun 2002-2005
4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2005-2009
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 9
G. Metode Penelitian ... 16
BAB II PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 21
A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan ... 21
1. Pengertian Pewarisan ... 21
2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah ... 30
3. Asas, Rukun dan Syarat Hukum Waris Islam ... 33
4. Penyebab dan Penghalang Terjadinya Pewarisan ... 39
B. Prosedur Permohonan Penetapan Ahli Waris ... 42
C. Teknis Persidangan ... 48
1. Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Agama ... 48
Penetapan Ahli Waris ... 71
1. Penetapan Ahli Waris yang Dikeluarkan Oleh Pengadilan Negeri ... 71
2. Penetapan Waris yang dikeluarkan Oleh Pengadilan Agama ... 73
3. Penetapan Waris yang Dibuat Oleh Notaris ... 74
4. Keterangan Waris yang Disaksikan dan Dibenarkan oleh Kelurahan dan Diketahui oleh Camat ... 75
5. Surat Keterangan Waris yang Dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan ... 76
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HAKIM MENOLAK PEMBATALAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 77
A. Analisis Kasus ... 77
B. Faktor-faktor Penyebab Hakim Menolak Pembatalan Penetapan Ahli Waris ... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
A. KESIMPULAN ... 92
B. SARAN ... 93
Beschikking : penetapan
Different principles : prinsip perbedaan
Dubius : penafsiran ganda/mendua
Duplik : jawaban dari tergugat
Economic Equality : kesetaraan/persamaan ekonomi
Equal Right : prinsip kesetaraan
Faraidh : hukum waris dalam Islam
Fuqaha : ahli hukum islam
Immateriele goederen : barang-barang yang tidak berwujud
benda
Impartiality : prinsip ketidakberpihakan
Judicial power : kekuasaan kehakiman
Kalalah : tidak meninggalkan anak dan ayah
Legitime portie : bagian mutlak
Mahjub : tidak mendapatkan warisan
Mirats : kewarisan
Muamalah : hubungan antar manusia
Nasabiyah : karena hubungan darah
Niet ontvankelijke verklaard : tidak dapat diterima
Plaatsvervulling : penggantian tempat
Qadha : menyelesaikan
Reciprocal benefits : keuntungan yang bersifat timbal balik
Replik : jawaban atas tanggapan tergugat
Research : penelitian
Sababiyah : yang timbul karena hubungan
perkawinan yang sah.
Tirkah : harta peninggalan
SAW : Salallahu ‘alaihi wasallam
SWT : Subhanahu wata’ala
Q.S. : Qur’an Surah
Stb : Staatsblad
Jo : Juncto
HIR : Het Herziene Indonesisch Reglement
RBg : Reglement tot Regeling van het
Rechtswezen in de Gewesten Buiten
Java en Madoera
RT/RW : rukun tetangga/rukun warga
VOC : vereenigde oost indische compagnie
people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.
The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.
Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga
dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum
Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No.
1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring
salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam,
sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.
Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu,
membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan
rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M.
Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan
Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia,
hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan
yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya. Menghadapi kenyataan
seperti itu peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan
tujuan pembangunan sebagaimana yang telah ditetapkan. “Fungsi hukum dalam
pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendalian sosial saja, melainkan lebih
dari itu, yaitu melakukan upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku
sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana
yang dicita-citakan”.1 Dengan kata lain fungsi hukum adalah sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.
Islam sebagai suatu agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada firman
Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah rasul. Setiap orang Islam
berkewajiban untuk bertingkah laku dalam hidupnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya
memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar dan yang
1Otje Salman,Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, 1993,
salah. Prinsip-prinsip ini adalah kebutuhan dan kepentingan pengenalan terhadap
hukum Islam (syari’ah).
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan
tentang pembagian harta warisan dengan seadil-adilnya. Dalam kehidupan
masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah
akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan diberikan secara detail,
rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat di dalamnya tidak saling bertikai
dan bermusuhan. Dengan adanya sistem pembagian harta warisan menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang tertib, teratur dan damai.
Di Indonesia pada saat ini masih terdapat beraneka ragam sistem hukum
kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu : sistem hukum kewarisan
perdata barat yang didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sistem
hukum kewarisan adat yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah di
lingkungan hukum adat, dan sistem hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi
orang-orang yang beragama Islam. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk
umat Islam dimana saja berada di dunia ini. Akan tetapi corak suatu negara dan
kehidupan masyarakat di negara tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di
negara itu.2
Pengertian waris dalam bahasa Indonesia ialah pusaka, yakni harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal menjadi hak yang bisa dimiliki oleh para
2
ahli waris dari orang yang meninggal tersebut. Para ahli waris itu bisa menjadi ahli
waris karena hubungan darah dengan si pewaris, atau karena hubungan perkawinan
dengan si pewaris. Para ahli waris itulah yang mengambil-alih harta warisan itu
secara otomatis, artinya tanpa perlu surat menyurat resmi atau di umumkan secara
resmi di depan umum, asal saja semua ahli waris itu (tidak seorangpun dari mereka
yang menentangnya) sepakat mengenai pembagian harta warisan itu.3
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah
ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam ini bersumber dari
Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para ulama. Hukum waris menduduki tempat yang
amat penting dalam hukum Islam. Al-Qur’an mengatur tentang hukum waris dengan
jelas dan rinci. Hal ini dikarenakan sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap
orang. Di samping itu juga, hukum waris menyangkut tentang harta benda yang
apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan sengketa diantara para ahli waris.
Syari’ah Islam memberikan hak diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara
tertib sesuai dengan proporsinya, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris.
Pembagian waris menurut hukum fiqih Islam disebut juga dengan pembagian waris
menurut faraidh, artinya pembagian waris yang sudah ditentukan bagian-bagiannya.
Ketentuan-ketentuan pembagian waris dalam Islam bukan saja mengenai berapa besar
bagiannya, tetapi juga ditentukan siapa-siapa diantara para ahli waris itu sebagai ahli
waris utama (ahli waris primer) dan siapa-siapa diantara mereka yang menjadi ahli
3
waris biasa.4 Jika ahli waris utama itu masih hidup maka ahli waris biasa tidak
mendapatkan harta warisan, sebab mereka terdinding (terhijab).
Wiryono mengemukakan pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah
soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.5 Sedangkan menurut Pitlo hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di
dalam bidang kebendaan diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari
seorang yang meninggal kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara
mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.6 Hukum kewarisan mengatur hubungan
antara seseorang dengan benda dikarenakan ada orang meninggal dunia, artinya satu
sisi mungkin sekali orang memperhatikan hukum kewarisan karena mengatur benda
dihubungkan dengan subjek (orang) yang mempunyai hubungan dengan benda
tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a disebutkan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagian masing-masing. Pengertian hukum waris dalam Kompilasi Hukum
Islam di fokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum
4 Ibid
5Wiryono Projodikoro,Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1980, hal.8
6
kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam
adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar bermanfaat kepada ahli
waris secara adil dan baik. Untuk itu Islam tidak hanya memberikan warisan kepada
pihak suami atau isteri saja, tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis keatas, garis
kebawah, atau garis kesamping, sehingga hukum waris Islam bersifat bilateral
individual.7 Sedangkan Salim H.S mengatakan bahwa hukum waris adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur
mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang
diterima, serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.8
Penyelesaian kewarisan tidaklah mutlak harus secara pembagian faraidh, walaupun semua ahli waris dan pewaris adalah beragama Islam. Mereka para ahli waris jika atas kehendaknya sendiri secara sepakat bulat ingin membagikan harta warisan mereka secara hukum adat hingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama maka pembagian itu dianggap sah dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sebab para ahli waris dapat melakukan perdamaian diantara mereka dalam pembagian harta warisan tersebut.9
Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa
permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam
menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta
warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah
ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan
seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Namun demikian hak bagian harta waris
7
Tamakiran,Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1987, hal. 85
pada kondisi tertentu dapat terputus kepada ahli waris dengan beberapa faktor.
Ditetapkannya hukum waris Islam memiliki banyak hikmah dan manfaat, diantaranya
adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar dapat bermanfaat kepada
ahli waris secara adil dan baik, mencegah terjadinya pertumpahan darah akibat
proses pembagian harta warisan, memberikan rasa keadilan bagi penerima hak
warisan.
Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu antara nyonya SR sebagai
penggugat dan nyonya YS sebagai tergugat. Bahwa yang menjadi pokok
permasalahannya adalah penggugat mengajukan gugatan tentang pembatalan
penetapan waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn terhadap tergugat sekaligus memohon
agar ditetapkan sebagai ahli waris yang sah berdasarkan hukum. Bahwa pada
mulanya almarhum nyonya UK menikah dengan tuan AS dan dikaruniai seorang anak
yang bernama MS. Kemudian tuan AS menikah lagi dan dari pernikahannya tersebut
lahirlah seorang anak yaitu nyonya SR (penggugat). Sedangkan nyonya YS (tergugat)
merupakan anak dari tuan MS. Bahwa antara penggugat dan tergugat mempunyai
hubungan kekeluargaan, yaitu penggugat merupakan saudara seayah dengan
almarhum tuan MS, dimana tuan MS ini adalah anak kandung satu-satunya dari
almarhum nyonya UK dan juga merupakan ayah dari tergugat.
Permasalahan muncul karena penggugat beranggapan bahwa ia (penggugat)
berhak atas harta warisan dari almarhum nyonya UK dikarenakan penggugat
merupakan anak tiri dari almarhum nyonya UK, maka penggugat tidak termasuk ahli
hukum kewarisan dari silsilah tuan AS, baik keatas maupun kebawah. Sedangkan
tergugat adalah merupakan cucu dan satu-satunya ahli waris dari almarhum nyonya
UK. Dengan demikian tergugat mempunyai hak terhadap harta warisan dari nyonya
UK tersebut.
Oleh karena penetapan ahli waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn adalah
penetapan tentang keahliwarisan almarhum nyonya UK dalam penetapan mana
tergugat adalah sebagai cucu dan satu-satunya ahli waris maka tergugat berhak atas
harta warisan yang ditinggalkan almarhum nyonya UK. Sedangkan penggugat tidak
mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dalam penetapan ahli waris tersebut,
dan dengan demikian penggugat bukanlah sebagai pihak yang patut (persona standi
in judicio) dalam mengajukan gugatan pembatalan penetapan nomor 3/Pdt.P/2010/PA
Mdn.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut
mengenai pembatalan penetapan ahli waris. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan
melalui suatu penelitian dengan judul “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan nomor 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses untuk mendapatkan penetapan ahli waris ?
2. Lembaga-lembaga mana sajakah yang berwenang dalam mengeluarkan atau
3. Apa yang menyebabkan hakim menolak pembatalan penetapan ahli waris ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses mendapatkan penetapan ahli waris.
2. Untuk mengetahui lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan
penetapan/surat keterangan ahli waris.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan hakim menolak pembatalan
penetapan ahli waris.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan
penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang
membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan
dalam hal penetapan ahli waris.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat
dalam hal mengetahui secara jelas tentang penetapan ahli waris.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara penelitian mengenai “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi
kasus Putusan Pengadilan Agama Medan no.1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” belum
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah
asli, oleh karenanya tesis ini dapat di pertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Fungsi teori adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di
amati.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan,
pegangan teoritis.12
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di amati, dan dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif maka kerangka teori di arahkan
secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
penetapan ahli waris. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka
teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori keadilan.
10JJJ. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203 11
Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal.35
“Dalam bukunyaA Theory of JusticeJohn Rawls mengemukakan bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu ia melihat tentangEqual Rightdan jugaEconomic Equality. DalamEqual Rightdikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitudifferent principlesbekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jikabasic righttidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akanvalidjika tidak merampas hak dasar manusia”.13
“Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik(reciprocal benefits)bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, yaitu pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah”.14
Keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga
menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain.
Pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya
yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri
untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah
selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan
tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Dengan kata lain keadilan
13
Ibnu,Teori Keadilan,http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, Teori Keadilan, diakses pada tanggal 31 Mei 2012.
14 Heru, Teori Keadilan,
berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan
yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
“Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan dalam Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan. Yaitu bahwa umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari Al-Qur’an yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya”.15
Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak,
meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Oleh karenanya pertanyaan
tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak
mugkin satu. Dengan kata lain persepsi orang mengenai apa itu hukum adalah
berbeda-beda dan beraneka ragam, tergantung dari sudut pandang setiap orang
memandang hukum tersebut.
Dalam banyak hal harta kekayaan adalah hal yang paling penting dalam
hukum kewarisan. Secara terminologi, mirats (kewarisan) berarti warisan harta
kekayaan yang dibagi dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Mirats menurut syari’ah adalah undang-undang sebagai pedoman antara
orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan
kewarisan. Pewarisan harta meliputi semua harta yang dimiliki berkaitan dengan
15Nur Rahmat,Keadilan sosial Dalam Islam,http://insistnet.com/index.php?option=com
harta kekayaan dan hak-hak lain yang tergantung di dalamnya, seperti utang piutang,
hak ganti rugi, dan sebagainya. Aturan tentang kewarisan dalam syariah berdasarkan
prinsip bahwa harta peninggalan yang dimiliki almarhum yang meninggal harus
dibagikan kepada keluarganya berdasarkan hubungan darah dan hubungan
perkawinan yang mempunyai hak yang paling kuat. Syari’ah Islam memberikan hak
diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara tertib sesuai dengan proporsinya
masing-masing.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam kewarisan yaitu :16
1. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia (meninggal secara hakiki), atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia (meninggal secara hukmi), yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu tidak dapat disaksikan, tetapi karena dengan dugaan kuat dia telah meninggal dunia, maka supaya ahli waris tidak menanti-nanti dalam kesamaran hukum waris, mereka meminta Pengadilan Agama untuk menetapkan matinya pewaris secarahukmi.
2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu diantara mereka tidak terjadi waris-mewarisi.
3. Hubungan kewarisan yang sah. Maksudnya benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris yang bersangkutan berhak waris.
Adanya berbagai sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan
adanya hak waris bagi ahli waris. Baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun
perempuan dapat terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab sebagai
berikut :
1. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah
hadist nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak mewaris atas
harta orang yang non muslim, begitu juga sebaliknya.
2. Membunuh.
Yang dimaksud dengan membunuh disini adalah membunuh dengan sengaja
yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri atau sebagainya.
3. Menjadi budak orang lain.
Hukum waris Islam mempunyai prinsip yang dapat di simpulkan sebagai
berikut :17
1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang di kehendaki.
2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu membuat surat pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang jauh.
4. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, atau yang baru saja lahir, semuanya berhak atas harta warisan orangtuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian di adakan sejalan dengan besar kecilnya beban kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.
6. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris di selaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, di samping memandang jauh dekat hubungannya dengan si pewaris.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep merupakan
alat yang di pakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar.
Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari
hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental,
yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran
penelitian untuk keperluan analitis.18 Kerangka konsepsional mengungkapkan
beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian
hukum.19
Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa
sesuatu dari yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret, yang disebut dengan defenisi
operasional.20 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran ganda/mendua (dubius) dari suatu istilah yang
di pakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di
defenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian
yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini di rumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :
18Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.397
19Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.7
20
1. Waris adalah : harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
untuk di bagikan kepada yang berhak menerimanya.21
2. Pewaris adalah : orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal
berdasarkan keputusan pengadilan (agama) beragama Islam, meninggalkan ahli
waris dan harta peninggalan.22
3. Ahli waris adalah : orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris) mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam,
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.23
4. Harta peninggalan adalah : harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
5. Harta waris adalah : sejumlah harta milik orang yang meningal dunia (pewaris)
setelah diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia
menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian
wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia
berutang kepada orang lain sejumlah harta.24
6. Pembatalan penetapan hak waris adalah : suatu perbuatan yang membatalkan hak
waris dari seseorang dikarenakan tidak adanya hubungan hukum dengan si
pewaris, yang menyebabkan tidak berhaknya seseorang mewarisi harta warisan
dan tidak termasuk kedalam golongan ahli waris.
21H. Mukhlis Lubis,Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011, hal.1 22Ibid
23 Ibid
24A. Sukris Samardi,Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja
G. Metode Penelitian
Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat di defenisikan sebagai
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan.25 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah
yang disebut dengan metodologi penelitian.26 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah,
maka rangkaian kegiatan penelitian di awali dengan pengumpulan data hingga
analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai
berikut :
1. Sifat Penelitian
Rancangan tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
Deskriptif maksudnya dari suatu penelitian diperoleh gambaran secara sistematis dan
rinci tentang permasalahan yang akan di teliti. Analisis maksudnya berdasarkan
gambaran, fakta yang diperoleh akan di analisis secara cermat bagaimana menjawab
permasalahan. Jadi deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan,
menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer
maupun sekunder, langsung di olah dan di analisis untuk memperjelas data secara
kategoris, penyusunan secara sistematis, dan di kaji secara logis.27 Penelitian ini
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan
25Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang,
2009, hal. 91
26
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yokyakarta, 1973, hal.5
27Joko.P.Subagyo,Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,
pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum
doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan/studi dokumen yang ditujukan
pada peraturan hukum tertulis dan peraturan hukum lainnya. Penelitian ini dilakukan
melalui pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau
dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif.
Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara
mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
dan pendapat para ahli hukum, serta memandang hukum secara komprehensif.
Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa
yang menjadi teks undang-undang (law in book) melainkan juga melihat bagaimana
bekerjanya hukum (law in action).
Suatu penelitian juga dikatakan sebagai kegiatan ilmiah yang berkaitan
dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu. Dengan kata lain dalam penelitian
dikategorikan sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian inventarisasi
hukum positif, asas-asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum, dan
sinkronisasi hukum.28
3. Sumber Data
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu berasal dari
peraturan perundang-undangan, seperti : Kompilasi Hukum Islam,
Undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang-Undang-undang
nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti : buku, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan
hukum, dan sebagainya.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
hukum, majalah, makalah, ensiklopedi, dan sebagainya.
Disamping melakukan pengumpulan mengenai bahan hukum, juga
dikumpulkan data primer yang dilakukan peneliti dengan melakukan wawancara
(interview) dengan narasumber yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak
Drs.H.M. Hidayat Nassery.
4. Alat Pengumpulan data
28
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa
yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian
yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan
hasilnya, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan
wawancara.
a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data
dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud dimulai dari
studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku, jurnal
ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait
dengan penetapan ahli waris.
b. Wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan materi penelitian
ini. Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode wawancara dengan
menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung kepada
Hakim Pengadilan Agama Medan.
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat di rumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.29
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan
di analisa secara kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok
permasalahan dengan mengamati hal-hal yang khusus untuk kemudian ditarik
kesimpulan pada hal-hal yang umum. Selanjutnya hasil analisis disusun dengan
kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar
sesuai dengan masalah yang dibahas.
29
BAB II
PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS
A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan
1. Pengertian Pewarisan
a. Pengertian Hukum Waris Perdata
Indonesia sebagai suatu negara yang beraneka ragam penduduknya
menyebabkan hukum yang berlaku juga beraneka ragam. Terdapat lebih dari satu
sistem hukum yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia. Berbicara
mengenai hukum waris di Indonesia maka terdapat tiga sistem hukum waris yang
berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum waris perdata barat, sistem hukum waris
adat, dan sistem hukum waris Islam. Sistem hukum waris perdata barat digunakan
bagi orang-orang yang mengenyampingkan hukum adat. Sistem hukum waris Islam
berlaku bagi mereka yang beragama Islam, dan sistem hukum waris adat berlaku bagi
mereka keturunan bumi putera yang non muslim. Ketiga sistem hukum tersebut
kesemuanya juga mengatur mengenai harta warisan dan cara-cara pembagiannya.
Hukum waris perdata berlaku bagi :
1). Orang-orang keturunan Eropa.
2). Orang-orang keturunan Tionghoa/Timur Asing, seperti Arab, India.
3). Orang-orang yang menundukkan dirinya secara sukarela terhadap Hukum
Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang
beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang
yang ditunjuk.30 Menurut A.Pitlo hukum waris yaitu kumpulan peraturan yang
mengatur mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Sedangkan Subekti dan
Tjitrosoedibio mengatakan bahwa waris adalah hukum yang mengatur tentang apa
yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari seorang yang meninggal.31
Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian yang terjadi pada
seorang anggota keluarga yang memiliki harta kekayaan. Yang menjadi pokok
persoalan bukanlah mengenai peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang
ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh almarhum tersebut. Dengan demikian bahwa waris disatu sisi berakar pada
keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena
menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena
menyangkut hak waris atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
pewaris/almarhum.
Dari rumusan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam hukum waris yaitu :32
1). Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk
berdasarkan wasiat.
30Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.267 31
R. Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 56
2). Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris.
3). Hubungan hukum yaitu hak dan kewajiban ahli waris.
4). Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.
Dalam hukum waris perdata tidak dibedakan antara anak laki-laki dan
perempuan atau antara suami dan isteri, mereka semua berhak mewaris. Bagian anak
laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri/suami sama
dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak. Dalam hal pewarisan
yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta
kekayaan. Tetapi ada juga hak-hak yang sebenarnya masuk dalam bidang harta
kekayaan yang tidak dapat diwarisi, seperti hak untuk menikmati hasil dan hak untuk
mendiami rumah. Hak-hak tersebut tidak dapat diwarisi karena bersifat pribadi.
Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada hukum keluarga yang
dapat diwarisi, antara lain hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui sebagai
anak, dan hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan demikian hanya
hak dan kewajiban yang meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi, namun
terdapat beberapa pengecualian.
b. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat merupakan salah satu hukum yang memiliki karakteristik
tersendiri, selain dari 2 sistem hukum waris lainnya yang dianut oleh negara kita
Indonesia, yaitu hukum waris perdata dan hukum waris Islam. Hukum waris adat
memiliki aturan tersendiri dalam membagi warisan, apalagi terhadap seseorang yang
Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud benda(immateriele goerderen)dari pewaris kepada keturunannya atau para
ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta benda itu dapat berlangsung sejak
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa hukum waris adat adalah :
“norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun
yang immateriil dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta
yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.”33
Soepomo berpendapat bahwa : “hukum waris adat memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta
benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya.”34 Sedangkan menurut Ter Haar Bzn, “hukum waris
adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad
yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil
maupun immateriil dari turunan ke turunan.”35
Kemudian Bushar Muhammad berpendapat bahwa hukum waris adat meliputi
“aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus-menerus dari abad ke abad,
33Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV.Haji Masagung,
Jakarta, 1988, hal.161
34
R. Soepomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal.79
35Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti
ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materil maupun immateril dari
suatu angkatan ke angkatan berikutnya.”36
Dengan demikian dari pengertian hukum waris adat yang telah dikemukakan
tersebut, maka hukum waris adat mengandung beberapa unsur yaitu :
1). Hukum waris adat merupakan suatu aturan hukum
2). Aturan tersebut mengandung proses penerusan harta warisan
3). Penerusan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi kepada generasi
berikutnya.
4). Harta warisan yang diteruskan tersebut dapat berupa harta yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.
Adapun prinsip-prinsip pewarisan menurut hukum adat ialah :37
1). Pewarisan merupakan proses pengoperan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada generasi yang ditinggalkannya, yang tidak selamanya dalam keadaan terbagi-bagi.
2). Proses pengoperan itu dilakukan untuk pertama sekali secara menurun (anak, cucu, cicit, dst), jika tidak ada secara menurun maka dilakukan keatas (orang tua, kakek/nenek), jika keatas juga tidak ada maka dilakukan kesamping (saudara, anak saudara, dst). Jika kesamping juga tidak ada maka berlaku prinsip ahli waris derajat terdekat mendinding ahli waris terjauh.
3). Harta warisan itu tidak hanya harta yang berupa kebendaan, tetapi juga yang tidak berupa kebendaan, dan tidak hanya yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah ia meninggal dunia saja, tetapi meliputi juga seluruh harta yang pernah dimiliki pewaris yang sudah diberikan kepada ahli waris semasa hidupnya. 4). Sistem pewarisan dalam hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat
(plaatsvervulling).
5). Hukum waris adat tidak mengenal adanya bagian mutlak (legitime portie).
36
Bushar Muhammad,Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal.35
37 Runtung Sitepu, Pengertian dan Prinsip-prinsip Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat,
c. Pengertian Hukum Waris Islam
Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan
dialami oleh setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan
kehidupan seorang manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang
tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta
warisan ataupun tirkah, dengan cara apa kita hendak menyelesaikan atau membagi
harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita terapkan dalam penyelesaian harta
warisan itu.
Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan
manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan
seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas
tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau
dikenal juga dengan hukumfaraid.
Menurut ensiklopedia hukum Islam bahwa kata waris berasal dari bahasa
Arab yaitu wartsa/yartsu/irsan/turas yang artinya ialah mempusakai. Maksudnya
ialah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan
siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka, berapa besar bagian harta
yang diterima masing-masing ahli waris, dan juga mengandung aturan setiap pribadi
baik laki-laki maupun perempuan berhak memiliki harta warisan.38 Sedangkan
menurut bahasa, waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain,
yang tidak hanya mencakup atau berkaitan dengan harta saja tetapi juga mencakup
non harta benda. Menurut istilah, waris ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik
berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak.39
Menurut ilmu fiqih, mewaris mengandung arti ialah tentang hak dan
kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap
harta warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqih mewaris disebut
juga dengan ilmu faraid karena berbicara mengenai bagian-bagian tertentu yang
menjadi hak ahli waris.40Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris.
Sedangkan menurut Idris Djakfar dan Taufik Yahya mengemukakan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebutFaraid.41
Sehingga yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam ialah hukum yang
mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan/atau kewajiban
atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada para ahli warisnya
yang masih hidup.
39Mahyudin Syaf,Pelajaran Agama Fiqih,Sulita, Bandung, 1976, hal.116 40
H.A. Djazuli,Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,Prenada Media Group, 2005, hal.48
41Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan
adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik
laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak
maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada
sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai
jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.42
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan
hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa dalam
hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum
secara detail kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan karena kewarisan
merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan oleh AlIah
SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi
42
individu maupun kelompok masyarakat. Allah SWT memerintahkan agar setiap
orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum
kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan
siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.43
Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman yang artinya :
”...Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang
taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya
ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan)
kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan
(hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam
api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat
menghinakan...”
Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah
menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta porsi
masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian
warisan sebagaimana yang ditentukan oleh Allah SWT, yang disertai ancaman bagi
yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti
ketentuanNya, Allah menjanjikan surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang
43
Artinya : “...Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah
SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga...”
Pedoman untuk menyelesaikan sengketa perebutan harta warisan telah
diberikan oleh Allah SWT dalam ketentuan-ketentuan hukum yang disebut hukum
faraidh. Pengaturan hukum mengenai pembagian harta warisan ini pada pokoknya
terdiri atas penentuan status seseorang sebagai pewaris, harta warisan, ahli waris, dan
cara pembagian harta warisan. Harta peninggalan dari seorang pewaris yang
beragama Islam, pembagiannya wajib menggunakan hukum waris Islam (faraidh).
Kewajiban mempelajari faraidh dan mengajarkannya terdapat dalam hadist-hadist
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat
Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang
ditentukan Rasulullah. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul, dasar
kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan
kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja.
Di dalam Al-Qur’an cukup banyak ketentuan mengenai pewarisan, setidaknya
ada tiga ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat di
dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman yang artinya :
harta. Dan untuk dua orang ibu bapak/orang tua maka bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggalkan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai keturunan sedangkan ahli warisnya hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. Pembagian tersebut dilaksanakan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. Ketentuan ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan lagi maha bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan istri-istrimu, apabila mereka tidak mempunyai anak, dan apabila mereka mempunyai anak maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditingglkan istri-istrimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka istri-istrimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Jika seseorang mati, maka baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan segala utang-utangnya, dengan tidak memberikanmudharatbagi ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyayang.” (ayat 11-12)
Selain sumber hukum dari Al-Qur’an ada juga beberapa hadist yang berkaitan
dengan warisan, antara lain:44
“Dalam kitab Bulughul Maram, hadist dari Ibnu Abbas r.a ia berkata: bersabda Rasulullah SAW, serahkan pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersisa maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”.
“Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurutnash, dan apa yang tersisa maka berikanlah kepadaashabahlaki-laki yang terdekat kepada si pewaris”.
Sabda nabi Muhammad SAW lainnya adalah:45
“Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:
berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya, yang
lebih utama/yang lebih dekat adalah orang laki-laki”.
“Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena
sesungguhnya ilmufaraidhsetengahnya ilmu, ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama
yang akan diangkat dari umatku (Hadist riwayat Ibnu Majah dan Ad-Darquthuni)”.
Ayat-ayat kewarisan tersebut merupakan ketentuan dari Allah SWT yang
menyangkut mengenai siapa-siapa saja yang termasuk ahli waris berdasarkan
hubungan kekerabatan maupun karena hubungan perkawinan.
Ilmu faraidh atau waris bersumber dari Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad para
ulama. Ilmu faraidh merupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya
44
Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal. 15-16
45