• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

JULIANA ROSALI HARAHAP

107011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JULIANA ROSALI HARAHAP

107011018/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Abdullah Syah, MA) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

(5)

Nama : JULIANA ROSALI HARAHAP

Nim : 107011018

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISA HUKUM PENETAPAN AHLI WARIS

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR 1229/PDT.G/2010/PA/MDN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

manusia. Dengan adanya harta maka kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi. Harta kekayaan dapat membuat orang bahagia atau malah membuat orang menderita. Dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta, terutama harta warisan. Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini ialah mengenai cara/proses mendapatkan penetapan ahli waris, lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan ahli waris, serta alasan-alasan yang menyebabkan Hakim Pengadilan Agama menolak membatalkan penetapan ahli waris.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat para ahli hukum. Teknik pengumpulan data dalam tesis ini dilakukan secara studi kepustakaan dan wawancara.

Surat keterangan waris merupakan surat yang isinya menerangkan tentang kedudukan ahli waris dan hubungannya dengan pewaris. Dengan adanya surat keterangan waris tersebut ahli waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta peninggalan pewaris. Terkait dengan penetapan ahli waris, maka prosedur yang harus ditempuh ialah mengajukan surat permohonan Penetapan Ahli Waris ke Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama selain Islam, maka surat permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri. Lembaga-lembaga yang berhak mengeluarkan penetapan/surat keterangan ahli waris ialah : pengadilan negeri, pengadilan agama, notaris, balai harta peninggalan, serta kelurahan/kecamatan.

(7)

people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.

The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.

Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.

(8)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa

Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga

dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum

Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No.

1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring

salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam,

sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu,

membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan

rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M.

Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan

Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah

dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan

penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan

(9)

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang

sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar

dibangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama

(10)

8. Guru-guru penulis, dari TK, SD hingga SMA yang dengan sabar mendidik dan

mengajar penulis agar menjadi anak yang pintar, berguna bagi nusa dan bangsa.

9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2010 yang telah

memberikan warna pada penulis, dalam menjalani hari-hari di Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Terkhusus untuk sahabat-sahabat ku, Dyna Filisia, SH, M.Kn., Masyithah, SH,

dan Rima Paramita Sita, SH yang telah banyak memberikan dukungan, dan

bantuan, yang telah mengisi hari-hari dan memberikan warna dalam hidup

penulis, yang selalu memberi keceriaan dan kebahagiaan yang tak terhingga.

Terima kasih banyak.

Khusus kepada kedua orang tua penulis, Ali Sutan Harahap, SE dan Hj.

Rosmiah Nasution, Apt. Merekalah yang telah membesarkan dan mendidik penulis

agar mampu menjalani hidup dengan berani, bijaksana, jujur, dan peduli terhadap

sesama. Serta senantiasa mengajarkan Ilmu Padi; Makin Berisi, Makin Merunduk

pada penulis. Mereka memiliki peran sangat penting dan tak terhingga, rasanya

ucapan terimakasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud

penghargaan penulis. Kepada kedua adik ku tersayang, Ismail Sati Alom Hrp dan

(11)

sayang.

Penulis menyadari, bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Masih

banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi isi dan cara penyajiannya. Hal ini

disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Seperti

kata pepatah “Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba”.Untuk itu dengan

kerendahan hati dan tangan terbuka, penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya

membangun demi perbaikan dan kesempurnaan isi dari tesis ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

membutuhkannya.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Medan, Desember 2012

Penulis,

(12)

1. Nama : Juliana Rosali Harahap 2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 1 Juli 1987 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Harapan Pasti no.67, Medan 7. No. Handphone : 0813-62-106-107

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Ali Sutan Harahap, SE

2. Nama Ibu : Dra. Hj. Rosmiah Nasution, Apt (almh) 3. Nama Adik : Ismail Sati Alom Harahap

Ade Ayu Lanniari Harahap

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Al-azhar Medan

Tahun 1993-1999

2. SMP : SMP Al-azhar Medan

Tahun 1999-2002

3. SMA : SMA Negeri 17 Medan

Tahun 2002-2005

4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2005-2009

(13)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 9

G. Metode Penelitian ... 16

BAB II PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 21

A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan ... 21

1. Pengertian Pewarisan ... 21

2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah ... 30

3. Asas, Rukun dan Syarat Hukum Waris Islam ... 33

4. Penyebab dan Penghalang Terjadinya Pewarisan ... 39

B. Prosedur Permohonan Penetapan Ahli Waris ... 42

C. Teknis Persidangan ... 48

1. Kedudukan dan Kompetensi Pengadilan Agama ... 48

(14)

Penetapan Ahli Waris ... 71

1. Penetapan Ahli Waris yang Dikeluarkan Oleh Pengadilan Negeri ... 71

2. Penetapan Waris yang dikeluarkan Oleh Pengadilan Agama ... 73

3. Penetapan Waris yang Dibuat Oleh Notaris ... 74

4. Keterangan Waris yang Disaksikan dan Dibenarkan oleh Kelurahan dan Diketahui oleh Camat ... 75

5. Surat Keterangan Waris yang Dikeluarkan oleh Balai Harta Peninggalan ... 76

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HAKIM MENOLAK PEMBATALAN PENETAPAN AHLI WARIS ... 77

A. Analisis Kasus ... 77

B. Faktor-faktor Penyebab Hakim Menolak Pembatalan Penetapan Ahli Waris ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. KESIMPULAN ... 92

B. SARAN ... 93

(15)

Beschikking : penetapan

Different principles : prinsip perbedaan

Dubius : penafsiran ganda/mendua

Duplik : jawaban dari tergugat

Economic Equality : kesetaraan/persamaan ekonomi

Equal Right : prinsip kesetaraan

Faraidh : hukum waris dalam Islam

Fuqaha : ahli hukum islam

Immateriele goederen : barang-barang yang tidak berwujud

benda

Impartiality : prinsip ketidakberpihakan

Judicial power : kekuasaan kehakiman

Kalalah : tidak meninggalkan anak dan ayah

Legitime portie : bagian mutlak

Mahjub : tidak mendapatkan warisan

Mirats : kewarisan

Muamalah : hubungan antar manusia

Nasabiyah : karena hubungan darah

Niet ontvankelijke verklaard : tidak dapat diterima

Plaatsvervulling : penggantian tempat

Qadha : menyelesaikan

Reciprocal benefits : keuntungan yang bersifat timbal balik

Replik : jawaban atas tanggapan tergugat

Research : penelitian

Sababiyah : yang timbul karena hubungan

perkawinan yang sah.

Tirkah : harta peninggalan

(16)

SAW : Salallahu ‘alaihi wasallam

SWT : Subhanahu wata’ala

Q.S. : Qur’an Surah

Stb : Staatsblad

Jo : Juncto

HIR : Het Herziene Indonesisch Reglement

RBg : Reglement tot Regeling van het

Rechtswezen in de Gewesten Buiten

Java en Madoera

RT/RW : rukun tetangga/rukun warga

VOC : vereenigde oost indische compagnie

(17)

people fight to one another because of property, especially because of inheritance. It becomes an alternative for solving the dispute in the process of bequeathing inheritance. Islam is an equitable religion. The portion of inheritance has been divided fairly among the heirs, according to ther relationship with the testators. The problems discussed in this research were about the method/process of how to specify the right heirs, about the institution which were authorized to specify the rigth heirs, and about the reasons why the judges in the Religious Court reject to cancel the specification of heirs.

The theory used in this research was the theory of justice with judicial normative method since this research used library research or documentation study which was aimed at legal prosivisons relevant to the problems of the research, viewed from the normative aspects. In this kind of method, legal pronciples, legal provisions, jurisprudence, and legal advisers opinions would be analyzed deeply. The data were gathered by performing library research and interviews.

Certificate of Inheritance explains the position of heirs and their relationship with testators. By this Certificate of Inheritance, the heirs can perform legal action on the inheritance. The procedure of specifying the heirs is by presenting Certificate of Inheritance to the Religious Court (for Moslems) as it is stipulated in Article 49b of Law No.3/2006 on the Amandement of Law No. 7/1989 on Religious Court. For people other than Moslems, Certificate of Inherritance is presented to the District Court. The institution which have the authority to issue Certificate of Inheritance are District Court, Religious Court, Notary, Legacy Office, and Kelurahan/Subdistrict Administration.

(18)

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa

Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan, kesehatan, dan kekuatan sehingga

dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini yang berjudul “Analisa Hukum

Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No.

1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister

Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring

salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam,

sehingga kita dapat keluar dari zaman kegelapan dan kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu,

membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan

rasa terimakasih yang amat sangat kepada yang terhormat Bapak Prof. H. M.

Hasballah Thaib, MA. PhD., Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA., dan

Bapak Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., selaku Komisi Pembimbing yang telah

dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan

penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberikan

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai suatu masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia,

hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan

yang lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya. Menghadapi kenyataan

seperti itu peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan

tujuan pembangunan sebagaimana yang telah ditetapkan. “Fungsi hukum dalam

pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendalian sosial saja, melainkan lebih

dari itu, yaitu melakukan upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku

sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana

yang dicita-citakan”.1 Dengan kata lain fungsi hukum adalah sebagai sarana

pembaharuan masyarakat.

Islam sebagai suatu agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada firman

Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah rasul. Setiap orang Islam

berkewajiban untuk bertingkah laku dalam hidupnya sesuai dengan

ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya

memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar dan yang

1Otje Salman,Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, 1993,

(20)

salah. Prinsip-prinsip ini adalah kebutuhan dan kepentingan pengenalan terhadap

hukum Islam (syari’ah).

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek

kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan

tentang pembagian harta warisan dengan seadil-adilnya. Dalam kehidupan

masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah

akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan diberikan secara detail,

rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat di dalamnya tidak saling bertikai

dan bermusuhan. Dengan adanya sistem pembagian harta warisan menunjukkan

bahwa Islam adalah agama yang tertib, teratur dan damai.

Di Indonesia pada saat ini masih terdapat beraneka ragam sistem hukum

kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu : sistem hukum kewarisan

perdata barat yang didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sistem

hukum kewarisan adat yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah di

lingkungan hukum adat, dan sistem hukum kewarisan Islam yang berlaku bagi

orang-orang yang beragama Islam. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk

umat Islam dimana saja berada di dunia ini. Akan tetapi corak suatu negara dan

kehidupan masyarakat di negara tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di

negara itu.2

Pengertian waris dalam bahasa Indonesia ialah pusaka, yakni harta yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal menjadi hak yang bisa dimiliki oleh para

2

(21)

ahli waris dari orang yang meninggal tersebut. Para ahli waris itu bisa menjadi ahli

waris karena hubungan darah dengan si pewaris, atau karena hubungan perkawinan

dengan si pewaris. Para ahli waris itulah yang mengambil-alih harta warisan itu

secara otomatis, artinya tanpa perlu surat menyurat resmi atau di umumkan secara

resmi di depan umum, asal saja semua ahli waris itu (tidak seorangpun dari mereka

yang menentangnya) sepakat mengenai pembagian harta warisan itu.3

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah

ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam ini bersumber dari

Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para ulama. Hukum waris menduduki tempat yang

amat penting dalam hukum Islam. Al-Qur’an mengatur tentang hukum waris dengan

jelas dan rinci. Hal ini dikarenakan sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap

orang. Di samping itu juga, hukum waris menyangkut tentang harta benda yang

apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan sengketa diantara para ahli waris.

Syari’ah Islam memberikan hak diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara

tertib sesuai dengan proporsinya, sesuai dengan hak masing-masing ahli waris.

Pembagian waris menurut hukum fiqih Islam disebut juga dengan pembagian waris

menurut faraidh, artinya pembagian waris yang sudah ditentukan bagian-bagiannya.

Ketentuan-ketentuan pembagian waris dalam Islam bukan saja mengenai berapa besar

bagiannya, tetapi juga ditentukan siapa-siapa diantara para ahli waris itu sebagai ahli

waris utama (ahli waris primer) dan siapa-siapa diantara mereka yang menjadi ahli

3

(22)

waris biasa.4 Jika ahli waris utama itu masih hidup maka ahli waris biasa tidak

mendapatkan harta warisan, sebab mereka terdinding (terhijab).

Wiryono mengemukakan pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah

soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan

seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih

hidup.5 Sedangkan menurut Pitlo hukum waris adalah suatu rangkaian

ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di

dalam bidang kebendaan diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan dari

seorang yang meninggal kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara

mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.6 Hukum kewarisan mengatur hubungan

antara seseorang dengan benda dikarenakan ada orang meninggal dunia, artinya satu

sisi mungkin sekali orang memperhatikan hukum kewarisan karena mengatur benda

dihubungkan dengan subjek (orang) yang mempunyai hubungan dengan benda

tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a disebutkan bahwa hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris

dan berapa bagian masing-masing. Pengertian hukum waris dalam Kompilasi Hukum

Islam di fokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum

4 Ibid

5Wiryono Projodikoro,Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1980, hal.8

6

(23)

kewarisan yang berlaku bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam

adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar bermanfaat kepada ahli

waris secara adil dan baik. Untuk itu Islam tidak hanya memberikan warisan kepada

pihak suami atau isteri saja, tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis keatas, garis

kebawah, atau garis kesamping, sehingga hukum waris Islam bersifat bilateral

individual.7 Sedangkan Salim H.S mengatakan bahwa hukum waris adalah

keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur

mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang

diterima, serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga.8

Penyelesaian kewarisan tidaklah mutlak harus secara pembagian faraidh, walaupun semua ahli waris dan pewaris adalah beragama Islam. Mereka para ahli waris jika atas kehendaknya sendiri secara sepakat bulat ingin membagikan harta warisan mereka secara hukum adat hingga anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama maka pembagian itu dianggap sah dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sebab para ahli waris dapat melakukan perdamaian diantara mereka dalam pembagian harta warisan tersebut.9

Hukum waris Islam adalah suatu hukum yang adil untuk menjawab sengketa

permasalahan yang menyangkut pembagian harta warisan. Hukum waris Islam

menjadi alternatif penyelamat munculnya pertikaian dalam proses pembagian harta

warisan. Islam adalah agama yang adil. Bagian-bagian para ahli waris telah

ditetapkan secara adil jumlahnya sesuai dengan kebutuhan dan porsi kedekatan

seorang ahli waris terhadap si pemilik harta. Namun demikian hak bagian harta waris

7

Tamakiran,Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Pioner Jaya, Bandung, 1987, hal. 85

(24)

pada kondisi tertentu dapat terputus kepada ahli waris dengan beberapa faktor.

Ditetapkannya hukum waris Islam memiliki banyak hikmah dan manfaat, diantaranya

adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar dapat bermanfaat kepada

ahli waris secara adil dan baik, mencegah terjadinya pertumpahan darah akibat

proses pembagian harta warisan, memberikan rasa keadilan bagi penerima hak

warisan.

Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu antara nyonya SR sebagai

penggugat dan nyonya YS sebagai tergugat. Bahwa yang menjadi pokok

permasalahannya adalah penggugat mengajukan gugatan tentang pembatalan

penetapan waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn terhadap tergugat sekaligus memohon

agar ditetapkan sebagai ahli waris yang sah berdasarkan hukum. Bahwa pada

mulanya almarhum nyonya UK menikah dengan tuan AS dan dikaruniai seorang anak

yang bernama MS. Kemudian tuan AS menikah lagi dan dari pernikahannya tersebut

lahirlah seorang anak yaitu nyonya SR (penggugat). Sedangkan nyonya YS (tergugat)

merupakan anak dari tuan MS. Bahwa antara penggugat dan tergugat mempunyai

hubungan kekeluargaan, yaitu penggugat merupakan saudara seayah dengan

almarhum tuan MS, dimana tuan MS ini adalah anak kandung satu-satunya dari

almarhum nyonya UK dan juga merupakan ayah dari tergugat.

Permasalahan muncul karena penggugat beranggapan bahwa ia (penggugat)

berhak atas harta warisan dari almarhum nyonya UK dikarenakan penggugat

merupakan anak tiri dari almarhum nyonya UK, maka penggugat tidak termasuk ahli

(25)

hukum kewarisan dari silsilah tuan AS, baik keatas maupun kebawah. Sedangkan

tergugat adalah merupakan cucu dan satu-satunya ahli waris dari almarhum nyonya

UK. Dengan demikian tergugat mempunyai hak terhadap harta warisan dari nyonya

UK tersebut.

Oleh karena penetapan ahli waris nomor 3/Pdt.P/2010/PA Mdn adalah

penetapan tentang keahliwarisan almarhum nyonya UK dalam penetapan mana

tergugat adalah sebagai cucu dan satu-satunya ahli waris maka tergugat berhak atas

harta warisan yang ditinggalkan almarhum nyonya UK. Sedangkan penggugat tidak

mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dalam penetapan ahli waris tersebut,

dan dengan demikian penggugat bukanlah sebagai pihak yang patut (persona standi

in judicio) dalam mengajukan gugatan pembatalan penetapan nomor 3/Pdt.P/2010/PA

Mdn.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut

mengenai pembatalan penetapan ahli waris. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan

melalui suatu penelitian dengan judul “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi

Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan nomor 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses untuk mendapatkan penetapan ahli waris ?

2. Lembaga-lembaga mana sajakah yang berwenang dalam mengeluarkan atau

(26)

3. Apa yang menyebabkan hakim menolak pembatalan penetapan ahli waris ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses mendapatkan penetapan ahli waris.

2. Untuk mengetahui lembaga-lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan

penetapan/surat keterangan ahli waris.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan hakim menolak pembatalan

penetapan ahli waris.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang

membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan

dalam hal penetapan ahli waris.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat

dalam hal mengetahui secara jelas tentang penetapan ahli waris.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakan yang ada di lingkungan Universitas

(27)

Sumatera Utara penelitian mengenai “Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi

kasus Putusan Pengadilan Agama Medan no.1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)” belum

pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah

asli, oleh karenanya tesis ini dapat di pertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Fungsi teori adalah untuk

memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di

amati.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan,

pegangan teoritis.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau

petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang di amati, dan dikarenakan

penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif maka kerangka teori di arahkan

secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami

penetapan ahli waris. Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada kerangka

teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori keadilan.

10JJJ. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203 11

Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal.35

(28)

“Dalam bukunyaA Theory of JusticeJohn Rawls mengemukakan bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan. Teori Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu ia melihat tentangEqual Rightdan jugaEconomic Equality. DalamEqual Rightdikatakannya harus diatur dalam tataran leksikal, yaitudifferent principlesbekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jikabasic righttidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akanvalidjika tidak merampas hak dasar manusia”.13

“Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik(reciprocal benefits)bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, yaitu pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah”.14

Keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga

menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain.

Pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya

yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri

untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah

selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan

tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Dengan kata lain keadilan

13

Ibnu,Teori Keadilan,http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/12/01/teori-keadilan-john-rawls/, Teori Keadilan, diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

14 Heru, Teori Keadilan,

(29)

berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan

yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.

“Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan dalam Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan. Yaitu bahwa umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari Al-Qur’an yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya”.15

Hukum memang pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak,

meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Oleh karenanya pertanyaan

tentang apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya tidak

mugkin satu. Dengan kata lain persepsi orang mengenai apa itu hukum adalah

berbeda-beda dan beraneka ragam, tergantung dari sudut pandang setiap orang

memandang hukum tersebut.

Dalam banyak hal harta kekayaan adalah hal yang paling penting dalam

hukum kewarisan. Secara terminologi, mirats (kewarisan) berarti warisan harta

kekayaan yang dibagi dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada ahli

warisnya. Mirats menurut syari’ah adalah undang-undang sebagai pedoman antara

orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan

kewarisan. Pewarisan harta meliputi semua harta yang dimiliki berkaitan dengan

15Nur Rahmat,Keadilan sosial Dalam Islam,http://insistnet.com/index.php?option=com

(30)

harta kekayaan dan hak-hak lain yang tergantung di dalamnya, seperti utang piutang,

hak ganti rugi, dan sebagainya. Aturan tentang kewarisan dalam syariah berdasarkan

prinsip bahwa harta peninggalan yang dimiliki almarhum yang meninggal harus

dibagikan kepada keluarganya berdasarkan hubungan darah dan hubungan

perkawinan yang mempunyai hak yang paling kuat. Syari’ah Islam memberikan hak

diantara orang yang mendapatkan warisan itu secara tertib sesuai dengan proporsinya

masing-masing.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam kewarisan yaitu :16

1. Pewaris benar-benar telah meninggal dunia (meninggal secara hakiki), atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia (meninggal secara hukmi), yaitu sebenarnya pewaris yang dinyatakan meninggal itu tidak dapat disaksikan, tetapi karena dengan dugaan kuat dia telah meninggal dunia, maka supaya ahli waris tidak menanti-nanti dalam kesamaran hukum waris, mereka meminta Pengadilan Agama untuk menetapkan matinya pewaris secarahukmi.

2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal. Maka, jika dua orang yang saling mempunyai hak waris satu sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu diantara mereka tidak terjadi waris-mewarisi.

3. Hubungan kewarisan yang sah. Maksudnya benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris yang bersangkutan berhak waris.

Adanya berbagai sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan

adanya hak waris bagi ahli waris. Baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun

perempuan dapat terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab sebagai

berikut :

(31)

1. Berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah

hadist nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak mewaris atas

harta orang yang non muslim, begitu juga sebaliknya.

2. Membunuh.

Yang dimaksud dengan membunuh disini adalah membunuh dengan sengaja

yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri atau sebagainya.

3. Menjadi budak orang lain.

Hukum waris Islam mempunyai prinsip yang dapat di simpulkan sebagai

berikut :17

1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang di kehendaki.

2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu membuat surat pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.

3. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang jauh.

4. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.

5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil, atau yang baru saja lahir, semuanya berhak atas harta warisan orangtuanya. Namun, perbedaan besar kecilnya bagian di adakan sejalan dengan besar kecilnya beban kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.

6. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli waris di selaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, di samping memandang jauh dekat hubungannya dengan si pewaris.

(32)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep merupakan

alat yang di pakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar.

Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari

hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental,

yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran

penelitian untuk keperluan analitis.18 Kerangka konsepsional mengungkapkan

beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian

hukum.19

Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa

sesuatu dari yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret, yang disebut dengan defenisi

operasional.20 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian atau penafsiran ganda/mendua (dubius) dari suatu istilah yang

di pakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di

defenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian

yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini di rumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

18Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.397

19Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.7

20

(33)

1. Waris adalah : harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal

untuk di bagikan kepada yang berhak menerimanya.21

2. Pewaris adalah : orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal

berdasarkan keputusan pengadilan (agama) beragama Islam, meninggalkan ahli

waris dan harta peninggalan.22

3. Ahli waris adalah : orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris) mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam,

dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.23

4. Harta peninggalan adalah : harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang

berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

5. Harta waris adalah : sejumlah harta milik orang yang meningal dunia (pewaris)

setelah diambil sebagian harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika ia

menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian

wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia

berutang kepada orang lain sejumlah harta.24

6. Pembatalan penetapan hak waris adalah : suatu perbuatan yang membatalkan hak

waris dari seseorang dikarenakan tidak adanya hubungan hukum dengan si

pewaris, yang menyebabkan tidak berhaknya seseorang mewarisi harta warisan

dan tidak termasuk kedalam golongan ahli waris.

21H. Mukhlis Lubis,Ilmu Pembagian Waris, Pesantren Al-Manar, Medan, 2011, hal.1 22Ibid

23 Ibid

24A. Sukris Samardi,Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja

(34)

G. Metode Penelitian

Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat di defenisikan sebagai

usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan.25 Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah

yang disebut dengan metodologi penelitian.26 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah,

maka rangkaian kegiatan penelitian di awali dengan pengumpulan data hingga

analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai

berikut :

1. Sifat Penelitian

Rancangan tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Deskriptif maksudnya dari suatu penelitian diperoleh gambaran secara sistematis dan

rinci tentang permasalahan yang akan di teliti. Analisis maksudnya berdasarkan

gambaran, fakta yang diperoleh akan di analisis secara cermat bagaimana menjawab

permasalahan. Jadi deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan,

menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer

maupun sekunder, langsung di olah dan di analisis untuk memperjelas data secara

kategoris, penyusunan secara sistematis, dan di kaji secara logis.27 Penelitian ini

merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

25Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang,

2009, hal. 91

26

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yokyakarta, 1973, hal.5

27Joko.P.Subagyo,Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,

(35)

pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala

hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

2. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum

doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan/studi dokumen yang ditujukan

pada peraturan hukum tertulis dan peraturan hukum lainnya. Penelitian ini dilakukan

melalui pendekatan yuridis normatif karena penelitian ini merupakan penelitian

kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada

peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, atau

dengan kata lain melihat hukum dari aspek normatif.

Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut akan menelaah secara

mendalam terhadap asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,

dan pendapat para ahli hukum, serta memandang hukum secara komprehensif.

Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa

yang menjadi teks undang-undang (law in book) melainkan juga melihat bagaimana

bekerjanya hukum (law in action).

Suatu penelitian juga dikatakan sebagai kegiatan ilmiah yang berkaitan

dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara-cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal

yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu. Dengan kata lain dalam penelitian

(36)

dikategorikan sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian inventarisasi

hukum positif, asas-asas, penemuan hukum in concreto, sistem hukum, dan

sinkronisasi hukum.28

3. Sumber Data

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu berasal dari

peraturan perundang-undangan, seperti : Kompilasi Hukum Islam,

Undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang-Undang-undang

nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama,

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti : buku, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan

hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus

hukum, majalah, makalah, ensiklopedi, dan sebagainya.

Disamping melakukan pengumpulan mengenai bahan hukum, juga

dikumpulkan data primer yang dilakukan peneliti dengan melakukan wawancara

(interview) dengan narasumber yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak

Drs.H.M. Hidayat Nassery.

4. Alat Pengumpulan data

28

(37)

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa

yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian

yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan

hasilnya, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat

pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan

wawancara.

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data

dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud dimulai dari

studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara

menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku, jurnal

ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada

hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait

dengan penetapan ahli waris.

b. Wawancara dengan narasumber yang berhubungan dengan materi penelitian

ini. Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode wawancara dengan

menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung kepada

Hakim Pengadilan Agama Medan.

(38)

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

dan dapat di rumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.29

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan

di analisa secara kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok

permasalahan dengan mengamati hal-hal yang khusus untuk kemudian ditarik

kesimpulan pada hal-hal yang umum. Selanjutnya hasil analisis disusun dengan

kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar

sesuai dengan masalah yang dibahas.

29

(39)

BAB II

PROSES UNTUK MENDAPATKAN PENETAPAN AHLI WARIS

A. Tinjauan Umum Tentang Pewarisan

1. Pengertian Pewarisan

a. Pengertian Hukum Waris Perdata

Indonesia sebagai suatu negara yang beraneka ragam penduduknya

menyebabkan hukum yang berlaku juga beraneka ragam. Terdapat lebih dari satu

sistem hukum yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia. Berbicara

mengenai hukum waris di Indonesia maka terdapat tiga sistem hukum waris yang

berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum waris perdata barat, sistem hukum waris

adat, dan sistem hukum waris Islam. Sistem hukum waris perdata barat digunakan

bagi orang-orang yang mengenyampingkan hukum adat. Sistem hukum waris Islam

berlaku bagi mereka yang beragama Islam, dan sistem hukum waris adat berlaku bagi

mereka keturunan bumi putera yang non muslim. Ketiga sistem hukum tersebut

kesemuanya juga mengatur mengenai harta warisan dan cara-cara pembagiannya.

Hukum waris perdata berlaku bagi :

1). Orang-orang keturunan Eropa.

2). Orang-orang keturunan Tionghoa/Timur Asing, seperti Arab, India.

3). Orang-orang yang menundukkan dirinya secara sukarela terhadap Hukum

(40)

Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang

beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang

yang ditunjuk.30 Menurut A.Pitlo hukum waris yaitu kumpulan peraturan yang

mengatur mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai

pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini

bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun

dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. Sedangkan Subekti dan

Tjitrosoedibio mengatakan bahwa waris adalah hukum yang mengatur tentang apa

yang harus terjadi dengan harta kekayaan dari seorang yang meninggal.31

Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian yang terjadi pada

seorang anggota keluarga yang memiliki harta kekayaan. Yang menjadi pokok

persoalan bukanlah mengenai peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang

ditinggalkan. Artinya siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang ditinggalkan

oleh almarhum tersebut. Dengan demikian bahwa waris disatu sisi berakar pada

keluarga dan di sisi lain berakar pada harta kekayaan. Berakar pada keluarga karena

menyangkut siapa yang menjadi ahli waris, dan berakar pada harta kekayaan karena

menyangkut hak waris atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

pewaris/almarhum.

Dari rumusan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang

terdapat dalam hukum waris yaitu :32

1). Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk

berdasarkan wasiat.

30Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.267 31

R. Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 56

(41)

2). Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris.

3). Hubungan hukum yaitu hak dan kewajiban ahli waris.

4). Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.

Dalam hukum waris perdata tidak dibedakan antara anak laki-laki dan

perempuan atau antara suami dan isteri, mereka semua berhak mewaris. Bagian anak

laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri/suami sama

dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak. Dalam hal pewarisan

yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta

kekayaan. Tetapi ada juga hak-hak yang sebenarnya masuk dalam bidang harta

kekayaan yang tidak dapat diwarisi, seperti hak untuk menikmati hasil dan hak untuk

mendiami rumah. Hak-hak tersebut tidak dapat diwarisi karena bersifat pribadi.

Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada hukum keluarga yang

dapat diwarisi, antara lain hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui sebagai

anak, dan hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan demikian hanya

hak dan kewajiban yang meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi, namun

terdapat beberapa pengecualian.

b. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat merupakan salah satu hukum yang memiliki karakteristik

tersendiri, selain dari 2 sistem hukum waris lainnya yang dianut oleh negara kita

Indonesia, yaitu hukum waris perdata dan hukum waris Islam. Hukum waris adat

memiliki aturan tersendiri dalam membagi warisan, apalagi terhadap seseorang yang

(42)

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak

berwujud benda(immateriele goerderen)dari pewaris kepada keturunannya atau para

ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta benda itu dapat berlangsung sejak

pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa hukum waris adat adalah :

“norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun

yang immateriil dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta

yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya.”33

Soepomo berpendapat bahwa : “hukum waris adat memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta

benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia

(generatie) kepada turunannya.”34 Sedangkan menurut Ter Haar Bzn, “hukum waris

adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad

yang menarik perhatian adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan baik materiil

maupun immateriil dari turunan ke turunan.”35

Kemudian Bushar Muhammad berpendapat bahwa hukum waris adat meliputi

“aturan-aturan yang bertalian dengan proses yang terus-menerus dari abad ke abad,

33Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV.Haji Masagung,

Jakarta, 1988, hal.161

34

R. Soepomo,Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal.79

35Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh K. Ng. Soebakti

(43)

ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik materil maupun immateril dari

suatu angkatan ke angkatan berikutnya.”36

Dengan demikian dari pengertian hukum waris adat yang telah dikemukakan

tersebut, maka hukum waris adat mengandung beberapa unsur yaitu :

1). Hukum waris adat merupakan suatu aturan hukum

2). Aturan tersebut mengandung proses penerusan harta warisan

3). Penerusan harta warisan ini berlangsung antara satu generasi kepada generasi

berikutnya.

4). Harta warisan yang diteruskan tersebut dapat berupa harta yang berwujud

maupun yang tidak berwujud.

Adapun prinsip-prinsip pewarisan menurut hukum adat ialah :37

1). Pewarisan merupakan proses pengoperan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada generasi yang ditinggalkannya, yang tidak selamanya dalam keadaan terbagi-bagi.

2). Proses pengoperan itu dilakukan untuk pertama sekali secara menurun (anak, cucu, cicit, dst), jika tidak ada secara menurun maka dilakukan keatas (orang tua, kakek/nenek), jika keatas juga tidak ada maka dilakukan kesamping (saudara, anak saudara, dst). Jika kesamping juga tidak ada maka berlaku prinsip ahli waris derajat terdekat mendinding ahli waris terjauh.

3). Harta warisan itu tidak hanya harta yang berupa kebendaan, tetapi juga yang tidak berupa kebendaan, dan tidak hanya yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah ia meninggal dunia saja, tetapi meliputi juga seluruh harta yang pernah dimiliki pewaris yang sudah diberikan kepada ahli waris semasa hidupnya. 4). Sistem pewarisan dalam hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat

(plaatsvervulling).

5). Hukum waris adat tidak mengenal adanya bagian mutlak (legitime portie).

36

Bushar Muhammad,Pokok-pokok Hukum Adat,Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal.35

37 Runtung Sitepu, Pengertian dan Prinsip-prinsip Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat,

(44)

c. Pengertian Hukum Waris Islam

Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan

dialami oleh setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan

kehidupan seorang manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang

tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta

warisan ataupun tirkah, dengan cara apa kita hendak menyelesaikan atau membagi

harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita terapkan dalam penyelesaian harta

warisan itu.

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur segala sisi kehidupan

manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan

seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas

tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau

dikenal juga dengan hukumfaraid.

Menurut ensiklopedia hukum Islam bahwa kata waris berasal dari bahasa

Arab yaitu wartsa/yartsu/irsan/turas yang artinya ialah mempusakai. Maksudnya

ialah ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan

siapa yang berhak dan tidak berhak menerima harta pusaka, berapa besar bagian harta

yang diterima masing-masing ahli waris, dan juga mengandung aturan setiap pribadi

baik laki-laki maupun perempuan berhak memiliki harta warisan.38 Sedangkan

menurut bahasa, waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain,

yang tidak hanya mencakup atau berkaitan dengan harta saja tetapi juga mencakup

(45)

non harta benda. Menurut istilah, waris ialah berpindahnya hak kepemilikan dari

orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik

berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak.39

Menurut ilmu fiqih, mewaris mengandung arti ialah tentang hak dan

kewajiban ahli waris terhadap harta warisan, menentukan siapa yang berhak terhadap

harta warisan, bagaimana cara pembagiannya masing-masing. Fiqih mewaris disebut

juga dengan ilmu faraid karena berbicara mengenai bagian-bagian tertentu yang

menjadi hak ahli waris.40Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan

hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

harta peninggalan (tirkah) pewaris.

Sedangkan menurut Idris Djakfar dan Taufik Yahya mengemukakan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebutFaraid.41

Sehingga yang dimaksud dengan hukum kewarisan Islam ialah hukum yang

mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan/atau kewajiban

atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada para ahli warisnya

yang masih hidup.

39Mahyudin Syaf,Pelajaran Agama Fiqih,Sulita, Bandung, 1976, hal.116 40

H.A. Djazuli,Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,Prenada Media Group, 2005, hal.48

41Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka

(46)

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan

adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik

laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak

pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,

dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan

perempuan, besar atau kecil.

Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda

yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak

maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada

sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai

jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.42

Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang

harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,

apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan

hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan

acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa dalam

hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum

secara detail kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan karena kewarisan

merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan oleh AlIah

SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi

42

(47)

individu maupun kelompok masyarakat. Allah SWT memerintahkan agar setiap

orang yang beriman mengikuti ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum

kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan

siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.43

Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah berfirman yang artinya :

”...Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang

taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya

ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan)

kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar.

Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, serta melanggar ketentuan

(hukum-hukum) Allah dan rasulNya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam

api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat

menghinakan...”

Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah

menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta porsi

masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian

warisan sebagaimana yang ditentukan oleh Allah SWT, yang disertai ancaman bagi

yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti

ketentuanNya, Allah menjanjikan surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang

43

(48)

Artinya : “...Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah

SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga...”

Pedoman untuk menyelesaikan sengketa perebutan harta warisan telah

diberikan oleh Allah SWT dalam ketentuan-ketentuan hukum yang disebut hukum

faraidh. Pengaturan hukum mengenai pembagian harta warisan ini pada pokoknya

terdiri atas penentuan status seseorang sebagai pewaris, harta warisan, ahli waris, dan

cara pembagian harta warisan. Harta peninggalan dari seorang pewaris yang

beragama Islam, pembagiannya wajib menggunakan hukum waris Islam (faraidh).

Kewajiban mempelajari faraidh dan mengajarkannya terdapat dalam hadist-hadist

yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

2. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat

Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang

ditentukan Rasulullah. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul, dasar

kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan

kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja.

Di dalam Al-Qur’an cukup banyak ketentuan mengenai pewarisan, setidaknya

ada tiga ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat di

dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12 dan 176. Allah berfirman yang artinya :

(49)

harta. Dan untuk dua orang ibu bapak/orang tua maka bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, apabila yang meninggalkan itu mempunyai anak. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai keturunan sedangkan ahli warisnya hanya ibu dan bapak, maka bagian ibu adalah sepertiga. Apabila pewaris meninggalkan saudara, maka bagian ibu adalah seperenam. Pembagian tersebut dilaksanakan setelah pelaksanaan wasiat yang dibuat pewaris serta setelah dibayarkan utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, tidak akan kamu ketahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) mendatangkan manfaat kepadamu. Ketentuan ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan lagi maha bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta-harta yang ditinggalkan istri-istrimu, apabila mereka tidak mempunyai anak, dan apabila mereka mempunyai anak maka bagianmu (suami) adalah seperempat dari harta-harta yang ditingglkan istri-istrimu, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Para isteri memperoleh seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan apabila kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu meninggalkan anak maka istri-istrimu memperoleh seperdelapan bagian, setelah dilaksanakan wasiat dan dibayarkan utang-utangnya. Jika seseorang mati, maka baik laki-laki maupun perempuan, namun tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat seperenam harta. Tetapi apabila saudara seibu tersebut lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga tersebut, sesudah dilaksanakan wasiat yang dibuat dan dibayarkan segala utang-utangnya, dengan tidak memberikanmudharatbagi ahli waris. Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyayang.” (ayat 11-12)

(50)

Selain sumber hukum dari Al-Qur’an ada juga beberapa hadist yang berkaitan

dengan warisan, antara lain:44

“Dalam kitab Bulughul Maram, hadist dari Ibnu Abbas r.a ia berkata: bersabda Rasulullah SAW, serahkan pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersisa maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”.

“Hadist diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurutnash, dan apa yang tersisa maka berikanlah kepadaashabahlaki-laki yang terdekat kepada si pewaris”.

Sabda nabi Muhammad SAW lainnya adalah:45

“Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda:

berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya, yang

lebih utama/yang lebih dekat adalah orang laki-laki”.

“Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang lain, karena

sesungguhnya ilmufaraidhsetengahnya ilmu, ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama

yang akan diangkat dari umatku (Hadist riwayat Ibnu Majah dan Ad-Darquthuni)”.

Ayat-ayat kewarisan tersebut merupakan ketentuan dari Allah SWT yang

menyangkut mengenai siapa-siapa saja yang termasuk ahli waris berdasarkan

hubungan kekerabatan maupun karena hubungan perkawinan.

Ilmu faraidh atau waris bersumber dari Al-Qur’an, hadist, dan ijtihad para

ulama. Ilmu faraidh merupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah

perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya

44

Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal. 15-16

45

Referensi

Dokumen terkait

Pada Terminal BBM Semarang Group mesin pompa produk yang sering breakdown, yang dapat membuat kerugian waktu pengiriman bahan bakar ke SPBU di Jawa Tengah dan

Tabel.2.4 Input Latihan 4 berisi baris program yang mengandung operator kondisi dimana pada baris ke-6 [System.out.println("score="+score)] digunakan untuk mencetak

Indeks Saham Syariah Indonesia adalah salah satu acuan bagi investor di pasar modal syariah dalam mengukur kinerja keseluruhan saham syariah di

untuk pengujian hipotesis tersebut maka dilakukan uji homogenitas data perbandingan komponen biomotor ditinjau dari presentase lemak tubuh atlet futsal AIM Mitra

Aida Fitria Fathimah Azzahra , 2019, dengan judul: Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Mengembangkan Religiusitas Peserta Didik pada Masa Religious Instability

Berdasarkan pembahasan hasil sikap ba- hasa siswa kelas X GAC baik dari hasil kuesio- ner maupun hasil tulisan, diketahui pemertahan- an bahasa siswa kelas X GAC. Pemertahanan

Bahwa terhadap putusan tersebut, Termohon untuk selanjutnya disebut Pembanding telah mengajukan permohonan banding pada tanggal 20 September 2016 sebagaimana

Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/ FFA) Secara ringkas, hasil akhir dari